Bahwa
kehidupan janin (anak dalam kandungan) menurut pandangan syariat Islam
merupakan kehidupan yang harus dihormati, dengan menganggapnya sebagai suatu
wujud yang hidup yang wajib dijaga, sehingga syariat memperbolehkan wanita
hamil untuk berbuka puasa (tidak berpuasa) pada bulan Ramadhan, bahkan kadang-kadang
diwajibkan berbuka jika ia khawatir akan keselamatan kandungannya.
Karena
itu syariat Islam mengharamkan tindakan melampaui batas terhadapnya, meskipun
yang melakukan ayah atau ibunya sendiri yang telah mengandungnya dengan susah
payah. Bahkan terhadap kehamilan yang haram “yang dilakukan dengan jalan
perzinaan” janinnya tetap tidak boleh digugurkan, karena ia merupakan manusia
hidup yang tidak berdosa:
مَنِ اهْتَدٰى فَاِنَّمَا يَهْتَدِيْ لِنَفْسِهٖۚ وَمَنْ ضَلَّ فَاِنَّمَا يَضِلُّ عَلَيْهَاۗ وَلَا تَزِرُ وَازِرَةٌ وِّزْرَ اُخْرٰىۗ وَمَا كُنَّا مُعَذِّبِيْنَ حَتّٰى نَبْعَثَ رَسُوْلًا
Barangsiapa berbuat sesuai dengan petunjuk (Allah), maka sesungguhnya itu untuk (keselamatan) dirinya sendiri; dan barang siapa tersesat maka sesungguhnya (kerugian) itu bagi dirinya sendiri. Dan seorang yang berdosa tidak dapat memikul dosa orang lain, tetapi Kami tidak akan menyiksa sebelum Kami mengutus seorang rasul. (al-Isra': 15)
Selain
itu, kita juga mengetahui bahwa syara' mewajibkan penundaan pelaksanaan hukum
qishash terhadap wanita hamil yang dijatuhi jenis hukuman ini demi menjaga
janinnya, sebagaimana kisah wanita al-Ghamidiyah yang diriwayatkan dalam kitab
sahih. Dalam hal ini syara' memberi jalan kepada waliyul-amri (pihak
pemerintah) untuk menghukum wanita tersebut, tetapi tidak memberi jalan untuk
menghukum janin yang ada di dalam kandungannya.
Seperti
kita lihat juga bahwa syara' mewajibkan membayar diat (denda) secara sempurna kepada
seseorang yang memukul perut wanita yang hamil, lalu dia melahirkan anaknya
dalam keadaan hidup, namun akhirnya mati karena akibat pukulan tadi.
Ibnul
Mundzir mengutip kesepakatan ahli ilmu mengenai masalah ini : Sedangkan jika
bayi itu lahir dalam keadaan mati, maka dia tetap dikenakan denda karena
kelengahannya (ghirrah), sebesar seperdua puluh diat.
Kita
juga melihat bahwa syara' mewajibkan si pemukul membayar kafarat -disamping
diat dan ghirrah- yaitu memerdekakan seorang budak yang beriman, jika tidak
dapat maka ia harus berpuasa dua bulan berturut-turut. Bahkan hal itu
diwajibkan atasnya, baik janin itu hidup atau mati.
Ibnu
Qudamah berkata, "Inilah pendapat kebanyakan ahli ilmu, dan pendapat ini
juga diriwayatkan dari Umar r.a.. Mereka berdalil dengan firman Allah:
وَمَا كَانَ لِمُؤْمِنٍ اَنْ يَّقْتُلَ مُؤْمِنًا اِلَّا خَطَـًٔا ۚ وَمَنْ قَتَلَ مُؤْمِنًا خَطَـًٔا فَتَحْرِيْرُ رَقَبَةٍ مُّؤْمِنَةٍ وَّدِيَةٌ مُّسَلَّمَةٌ اِلٰٓى اَهْلِهٖٓ اِلَّآ اَنْ يَّصَّدَّقُوْا ۗ فَاِنْ كَانَ مِنْ قَوْمٍ عَدُوٍّ لَّكُمْ وَهُوَ مُؤْمِنٌ فَتَحْرِيْرُ رَقَبَةٍ مُّؤْمِنَةٍ ۗوَاِنْ كَانَ مِنْ قَوْمٍۢ بَيْنَكُمْ وَبَيْنَهُمْ مِّيْثَاقٌ فَدِيَةٌ مُّسَلَّمَةٌ اِلٰٓى اَهْلِهٖ وَتَحْرِيْرُ رَقَبَةٍ مُّؤْمِنَةٍ ۚ فَمَنْ لَّمْ يَجِدْ فَصِيَامُ شَهْرَيْنِ مُتَتَابِعَيْنِۖ تَوْبَةً مِّنَ اللّٰهِ ۗوَكَانَ اللّٰهُ عَلِيْمًا حَكِيْمًا
"...
dan barangsiapa membunuh seorang mukmin karena tersalah (tidak sengaja)
hendaklah ia memerdekakan seorang hamba sahaya yang beriman serta membayar diat
yang diserahkan kepada keluarganya (si terbunuh itu), kecuali jika mereka (keluarga
terbunuh) bersedekah. Jika ia (si terbunuh) dari kaum yang memusuhimu, padahal
ia mukmin, maka (hendaklah si pembunuh) memerdekakan hamba sahaya yang mukmin.
Dan jika ia (si terbunuh) dari kaum (kafir) yang ada perjanjian (damai) antara
mereka dengan kamu, maka (hendaklah si pembunuh) membayar diat yang diserahkan
kepada keluarganya (si terbunuh) serta memerdekakan hamba sahaya yangmukmin.
Barangsiapa yang tidak memperolehnya, maka hendaklah ia (si pembunuh) berpuasa
dua bulan berturut-turut sebagai cara tobat kepada Allah; dan adalah Allah Maha
Mengetahui lagi Maha Bijaksana." (an-Nisa': 92)
Mereka
berkata, "Apabila wanita hamil meminum obat untuk menggugurkan
kandungannya, maka ia wajib membayar denda, tidak boleh mewarisi sesuatu
daripadanya (sebab orang yang membunuh tidak boleh mewarisi sesuatu dari yang
dibunuh), dan wajib memerdekakan seorang budak. Denda tersebut hendaklah
diberikan kepada ahli waris si janin.
Semua
sanksi itu dikenakan padanya karena ia telah melakukan perbuatan jahat yaitu
menggugurkan janin. Sedangkan memerdekakan budak merupakan kafarat bagi tindak
kejahatannya. Demikian pula jika yang menggugurkan janin itu ayahnya maka si
ayah harus membayar denda, tidak boleh mewarisi sesuatu daripadanya, dan harus
memerdekakan budak.
Jika
tidak mendapatkan budak (atau tidak mampu memerdekakan budak), maka ia harus
berpuasa selama dua bulan berturut-turut, sebagai cara tobat kepada Allah SWT.
Lebih
dari itu adalah perkataan Ibnu Hazm dalam al-Muhalla mengenai pembunuhan janin
setelah ditiupkannya ruh, yakni setelah kandungan berusia seratus dua puluh
hari, sebagaimana disebutkan dalam hadits sahih. Ibnu Hazm menganggap tindakan
ini sebagai tindak kejahatan pembunuhan dengan sengaja yang mewajibkan
pelakunya menanggung segala risiko, seperti hukum qishash dan lain-lainnya.
Beliau
berkata: "Jika ada orang bertanya, 'Bagaimana pendapat Anda mengenai
seorang perempuan yang sengaja membunuh janinnya setelah kandungannya berusia
seratus dua puluh hari, atau orang lain yang membunuhnya dengan memukul (atau
tindakan apa pun) terhadap perut si perempuan itu untuk membunuh si janin?'
Kami
jawab bahwa sebagai hukumannya wajib dikenakan hukum qishash, tidak boleh
tidak, dan ia tidak berkewajiban membayar denda. Kecuali jika dimaafkan, maka
dia wajib membayar ghirrah atau denda saja karena itu merupakan diat, tetapi
tidak wajib membayar kafarat karena hal itu merupakan pembunuhan dengan
sengaja. Dia dikenakan hukuman qishash karena telah membunuh suatu jiwa
(manusia) yang beriman dengan sengaja, maka menghilangkan (membunuh) jiwa harus
dibalas dengan dibunuh pula. Meski demikian, keluarga si terbunuh mempunyai dua
alternatif, menuntut hukum qishash atau diat, sebagaimana hukum yang ditetapkan
Rasulullah saw. terhadap orang yang membunuh orang mukmin. Wa billahit
taufiq."
Mengenai
wanita yang meminum obat untuk menggugurkan kandungannya, Ibnu Hazm berkata:
"Jika anak itu belum ditiupkan ruh padanya, maka dia (ibu tersebut) harus
membayar ghirrah. Tetapi jika sudah ditiupkan ruh padanya --bila wanita itu
tidak sengaja membunuhnya-- maka dia terkena ghirrah dan kafarat. Sedangkan
jika dia sengaja membunuhnya, maka dia dijatuhi hukum qishash atau membayar
tebusan dengan hartanya sendiri."
Janin
yang telah ditiupkan ruh padanya, oleh Ibnu Hazm dianggap sebagai sosok
manusia, sehingga beliau mewajibkan mengeluarkan zakat fitrah untuknya.
Sedangkan golongan Hanabilah hanya memandangnya mustahab, bukan wajib.
Semua
itu menunjukkan kepada kita betapa perhatian syariat terhadap janin, dan betapa
ia menekankan penghormatan kepadanya, khususnya setelah sampai pada tahap yang
oleh hadits disebut sebagai tahapan an-nafkhu fir-ruh (peniupan ruh). Dan ini
merupakan perkara gaib yang harus kita terima begitu saja, asalkan riwayatnya
sah, dan tidak usah kita memperpanjang pembicaraan tentang hakikatnya, Allah
berfirman: "... dan tidaklah kamu diberi pengetahuan melainkan
sedikit." (al-Isra': 85)
Saya
kira, hal itu bukan semata-mata kehidupan yang dikenal seperti kita ini,
meskipun para pensyarah dan fuqaha memahaminya demikian. Hakikat yang
ditetapkan oleh ilmu pengetahuan sekarang secara meyakinkan ialah bahwa
kehidupan telah terjadi sebelum itu, hanya saja bukan kehidupan manusia yang
diistilahkan oleh hadits dengan "peniupan ruh." Hal ini ditunjuki
oleh isyarat Al- Qur'an: "Kemudian Dia menyempurnakan dan meniupkan ke
dalam (tubuh)-nya ruh (ciptaan)-Nya ..." (as-Sajdah: 9)
Tetapi
diantara hadits-hadits sahih terdapat hadits yang tampaknya bertentangan dengan
hadits Ibnu Mas'ud yang menyebutkan diutusnya malaikat untuk meniup ruh setelah
usia kandungan melampaui masa tiga kali empat puluh hari (120 hari).
Imam
Muslim meriwayatkan dalam Shahih-nya dari hadits Hudzaifah bin Usaid, ia
berkata: "Aku mendengar Rasulullah saw. bersabda: "Apabila nutfah
telah berusia empat puluh dua malam, maka Allah mengutus malaikat, lalu
dibuatkan bentuknya, diciptakan pendengarannya, penglihatannya, kulitnya,
dagingnya, dan tulangnya. Kemudian malaikat bertanya, ra Rabbi, laki-laki
ataukah perempuan?' Lalu Rabb-mu menentukan sesuai dengan kehendak-Nya, dan
malaikat menulisnya, kemudian dia (malaikat) bertanya, Ya Rabbi, bagaimana
ajalnya?' Lalu Rabb-mu menetapkan sesuai dengan yang dikehendaki-Nya, dan
malaikat menulisnya. Kemudian ia bertanya, 'Ya Rabbi, bagaimana rezekinya?'
Lalu Rabb-mu menentukan sesuai dengan yang dikehendaki-Nya, dan malaikat
menulisnya. Kemudian malaikat itu keluar dengan membawa lembaran catatannya,
maka ia tidak menambah dan tidak mengurangi apa yang diperintahkan itu."
Hadits
ini menjelaskan diutusnya malaikat dan dibuatnya bentuk bagi nutfah setelah
berusia enam minggu (empat puluh dua hari)6 bukan setelah berusia seratus dua
puluh hari sebagaimana disebutkan dalam hadits Ibnu Mas'ud yang terkenal itu.
Sebagian ulama mengompromikan kedua hadits tersebut dengan mengatakan bahwa
malaikat itu diutus beberapa kali, pertama pada waktu nutfah berusia empat
puluh hari, dan kali lain pada waktu berusia empat puluh kali tiga hari (120
hari) untuk meniupkan ruh.
Karena
itu para fuqaha telah sepakat akan haramnya menggugurkan kandungan setelah
ditiupkannya ruh padanya. Tidak ada seorang pun yang menentang ketetapan ini,
baik dari kalangan salaf maupun khalaf. Adapun pada tahap sebelum ditiupkannya
ruh, maka diantara fuqaha ada yang memperbolehkan menggugurkan kandungan sebelum
ditiupkannya ruh itu, sebagian saudara kita yang ahli kedokteran dan anatomi
mengatakan, "Sesungguhnya hukum yang ditetapkan para ulama yang terhormat
itu didasarkan atas pengetahuan mereka pada waktu itu. Andaikata mereka
mengetahui apa yang kita ketahui sekarang mengenai wujud hidup yang membawa
ciri-ciri keturunan (gen) kedua orang tuanya dan keluarganya serta jenisnya,
niscaya mereka akan mengubah hukum dan fatwa mereka karena mengikuti perubahan
'illat (sebab hukum), karena hukum itu berputar menurut 'illat-nya, pada waktu
ada dan tidak adanya 'illat.
Diantara
kasih sayang Allah kepada hamba-hamba-Nya ialah bahwa di kalangan ahli
kandungan dan anatomi sendiri terdapat perbedaan pendapat --sebagaimana halnya
para fuqaha-- di dalam menetapkan kehidupan janin pada tahap pertama: sebelum
berusia 42 hari dan sebelum 120 hari. Perbedaan diantara mereka ini juga
memperkokoh perbedaan pendapat para fuqaha mengenai janin sebelum berusia 40
hari dan sebelum 120 hari.
Barangkali
ini merupakan rahmat Allah kepada manusia agar udzur dan darurat itu mempunyai
tempat. Maka tidak apalah apabila saya sebutkan sebagian dari perkataan fuqaha
mengenai persoalan ini:
Syekhul
Islam al-Hafizh Ibnu Hajar didalam Fathul-Bari menyinggung mengenai pengguguran
kandungan setelah membicarakan secara panjang lebar mengenai masalah 'azl
mencabut zakar untuk menumpahkan sperma di luar vagina pada waktu ejakulasi)
serta perbedaan pendapat ulama tentang boleh dan tidaknya melakukan hal itu,
yang pada akhirnya beliau cenderung memperbolehkannya karena tidak kuatnya
dalil pihak yang melarangnya.
Beliau
berkata: "Dan terlepas dari hukum 'azl ialah hukum wanita menggunakan obat
untuk menggugurkan (merusak) nutfah (embrio) sebelum ditiupkannya ruh.
Barangsiapa yang mengatakan hal ini terlarang, maka itulah yang lebih layak;
dan orang yang memperbolehkannya, maka hal itu dapat disamakan dengan 'azl.
Tetapi kedua kasus ini dapat juga dibedakan, bahwa tindakan perusakan nutfah
itu lebih berat, karena 'azl itu dilakukan sebelum terjadinya sebab
(kehidupan), sedangkan perusakan nutfah itu dilakukan setelah terjadinya sebab
kehidupan (anak).
Sementara
itu, diantara fuqaha ada yang membedakan antara kehamilan yang berusia kurang
dari empat puluh hari dan yang berusia lebih dari empat puluh hari. Lalu mereka
memperbolehkan menggugurkannya bila belum berusia empat puluh hari, dan
melarangnya bila usianya telah lebih dari empat puluh hari. Barangkali yang
menjadi pangkal perbedaan pendapat mereka adalah hadits Muslim yang saya
sebutkan di atas.
Didalam
kitab Nihayah al-Muhtaj, yang termasuk kitab mazhab Syafi'i, disebutkan dua
macam pendapat para ahli ilmu mengenai nutfah sebelum genap empat puluh hari:
"Ada
yang mengatakan bahwa hal itu tidak dapat dihukumi sebagai pengguguran dan
pembunuhan. Ada pula yang mengatakan bahwa nutfah harus dihormati, tidak boleh
dirusak, dan tidak boleh melakukan upaya untuk mengeluarkannya setelah ia
menetap di dalam rahim (uterus). Diantara fuqaha ada pula yang membedakan
antara tahap sebelum penciptaan janin dan tahap sesudah penciptaan
(pembentukan). Lalu mereka memperbolehkan aborsi(pengguguran) sebelum
pembentukan dan melarangnya setelah pembentukan.
Didalam
an-Nawadir, dari kitab mazhab Hanafi, disebutkan, "Seorang wanita yang
menelan obat untuk menggugurkan kandungannya, tidaklah berdosa asalkan belum
jelas bentuknya.”
Didalam
kitab-kitab mereka juga mereka ajukan pertanyaan: bolehkah menggugurkan
kandungan setelah terjadinya kehamilan? Mereka menjawab: Boleh, asalkan belum
berbentuk. Kemudian di tempat lain mereka berkata, "Tidaklah terjadi
pembentukan (penciptaan) melainkan setelah kandungan itu berusia seratus dua
puluh hari. "
Banyak
di antara ulama mereka yang membolehkan pengguguran seperti itu bila alasannya
adalah kemashlahatan yang lebih besar, bukan karena malu hamil di luar nikah.
Menurut
pendapat ulama Hanafi, kemashlahatan anak bayi yang telah dilahirkan adalah
lebih besar, karena bayi itu masih sangat membutuhkan perawatan dan
pemeliharaan secara intensif oleh ibunya. Bila si ibu harus hamil lagi, maka
hak-hak bayi itu menjadi hilang. Atau dalam kasus dimana kehamilan itu
membahayakan nyawa si ibu seperti bila kelahiran sebelumnya dengan car
pembedahan yang tidak memungkinkan seorang wanita segera hamil lagi setelah
itu.
Atau
karena masalah penyakit yang bakal diidap oleh bayi karena penyakit genetis dan
seterusnya, maka pendapat yang membolehkan itu memang ada.
Dalilnya
lebih banyak menggunakan menggunakan kaidah : mengambil resiko yang paling
ringan (Akhaffudh-dhararain). Muhaqqiq (ulama ahli menetapkan hukum) mazhab
Hanafi, al-Kamal bin al-Hammam, berkata, "Ini berarti bahwa yang mereka
maksud dengan penciptaan atau pembentukan itu ialah ditiupkannya ruh, sebab
jika tidak demikian berarti keliru, karena pembentukan itu telah dapat disaksikan
sebelum waktu itu.
Perkataan
al-Allamah (al-Kamal) ini adalah benar, diakui oleh ilmu pengetahuan sekarang.
Sedangkan
pernyataan mereka yang mutlak itu memberi pengertian bahwa kebolehan
menggugurkan kandungan itu tidak bergantung pada izin suami. Hal ini dinyatakan
di dalam kitab ad-Durrul Mukhtar: "Mereka berkata, 'Diperbolehkan
menggugurkan kandungan sebelum berusia empat bulan, meskipun tanpa izin
suami.'"
Namun
demikian, diantara ulama Hanafiyah ada yang menolak hukum yang memperbolehkan
pengguguran secara mutlak itu, mereka berkata, "Saya tidak mengatakan
halal, karena orang yang sedang ihram saja apabila memecahkan telur buruan itu
harus menggantinya, karena itulah hukum asal mengenai pembunuhan. Kalau orang
yang melakukan ihram saja dikenakan hukuman pembalasan, maka tidak kurang
dosanya bagi orang yang menggugurkan kandungan tanpa udzur."
Diantara
mereka ada pula yang mengatakan makruh, karena air sperma) setelah masuk ke
rahim belumlah hidup tapi mempunyai hukum sebagai manusia hidup, seperti halnya
telur binatang buruan pada waktu ihram. Karena itu ahli tahqiq mereka berkata,
"Maka kebolehan menggugurkan kandungan itu harus diartikan karena dalam
keadaan udzur, atau dengan pengertian bahwa ia tidak berdosa seperti dosanya
membunuh. Akan tetapi, kebanyakan ulama menentang pendapat ini dan tidak
memperbolehkan pengguguran, meskipun sebelum ditiupkannya ruh.
Hal
ini disebabkan adanya segolongan ulama yang melarang 'azl dan mereka anggap hal
ini sebagai "pembunuhan terselubung" sebagaimana disebutkan dalam
beberapa hadits. Mereka beralasan bahwa 'azl berarti menghalangi sebab-sebab
kehidupan untuk menuju realitas atau perwujudannya. Karena itu mereka melarang
menggugurkan kandungan dan mengharamkannya dengan jalan qiyas aulawi
(maksudnya, kalau 'azl saja terlarang, maka pengguguran lebih terlarang lagi),
karena sebab-sebab kehidupan disini telah terjadi dengan bertemunya sperma
laki-laki dengan sel telur perempuan dan terjadinya pembuahan yang menimbulkan
wujud makhluk baru yang membawa sifat-sifat keturunan yang hanya Allah yang
mengetahuinya.
Tetapi
ada juga ulama-ulama yang memperbolehkan 'azl karena alasan-alasan yang
berhubungan dengan ibu atau anaknya (yang baru dilahirkan), atau bisa juga
karena pertimbangan keluarga untuk kebaikan pendidikan anak-anak, atau lainnya.
Namun demikian, mereka tidak memperbolehkan aborsi (pengguguran) dan
menyamakannya dengan pembunuhan terselubung, meskipun tingkat kejahatannya
berbeda. Diantara yang berpendapat begitu ialah Imam al-Ghazali. Saya lihat
beliau --meskipun beliau memperbolehkan 'azl dengan alasan-alasan yang akurat
menurut beliau-- membedakan dengan jelas antara menghalangi kehamilan dengan
'azl dan menggugurkan kandungan setelah terwujud, dengan mengatakan:
"Hal
ini --mencegah kehamilan dengan 'azl-- tidak sama dengan pengguguran dan
pembunuhan terselubung; sebab yang demikian (pengguguran dan pembunuhan
terselubung) merupakan tindak kejahatan terhadap suatu wujud yang telah ada,
dan wujud itu mempunyai beberapa tingkatan. Tingkatan yang pertama ialah masuknya
nutfah (sperma) ke dalam rahim, dan bercampur dengan air (mani) perempuan
(ovum), serta siap untuk menerima kehidupan. Merusak keadaan ini merupakan
suatu tindak kejahatan. Jika telah menjadi segumpal darah atau daging, maka
kejahatan terhadapnya lebih buruk lagi tingkatannya. Jika telah ditiupkan ruh
padanya dan telah sempurna kejadiannya, maka tingkat kejahatannya bertambah
tinggi pula. Dan sebagai puncak kejahatan terhadapnya ialah membunuhnya setelah
ia lahir dalam keadaan hidup. Perlu diperhatikan, bahwa Imam al-Ghazali
rahimahullah menganggap pengguguran sebagai tindak kejahatan terhadap wujud
manusia yang telah ada, tetapi beliau juga menganggap pertemuan sperma dengan
ovum sebagai "siap menerima kehidupan.
Nah,
bagaimanakah persepsi beliau seandainya beliau tahu apa yang kita ketahui
sekarang bahwa kehidupan telah terjadi semenjak bertemunya sel sperma laki-laki
dengan sel telur wanita? Karena itu saya katakan, "Pada dasarnya hukum
aborsi adalah haram, meskipun keharamannya bertingkat-tingkat sesuai dengan
perkembangan kehidupan janin."
Pada
usia empat puluh hari pertama tingkat keharamannya paling ringan, bahkan
kadang-kadang boleh digugurkan karena udzur yang muktabar (akurat); dan setelah
kandungan berusia diatas empat puluh hari maka keharaman menggugurkannya
semakin kuat, karena itu tidak boleh digugurkan kecuali karena udzur yang lebih
kuat lagi menurut ukuran yang ditetapkan ahli fiqih.
Keharaman
itu bertambah kuat dan berlipat ganda setelah kehamilan berusia seratus dua
puluh hari, yang oleh hadits diistilahkan telah memasuki tahap peniupan ruh.
Dalam
hal ini tidak diperbolehkan menggugurkannya kecuali dalam keadaan benar-benar
sangat darurat, dengan syarat kedaruratan yang pasti, bukan sekadar
persangkaan. Maka jika sudah pasti, sesuatu yang diperbolehkan karena darurat
itu harus diukur dengan kadar kedaruratannya.
Menurut
pendapat saya, kedaruratan disini hanya tampak dalam satu bentuk saja, yaitu
keberadaan janin apabila dibiarkan akan mengancam kehidupan si ibu, karena ibu
merupakan pangkal/asal kehidupan janin, sedangkan janin sebagai fara' cabang).
Maka tidak boleh mengorbankan yang asal (pokok) demi kepentingan cabang. Logika
ini disamping sesuai dengan syara' juga cocok dengan akhlak etika kedokteran,
dan undang-undang.
Tetapi
ada juga diantara fuqaha yang menolak pendapat itu dan tidak memperbolehkan
tindak kejahatan (pengguguran) terhadap janin yang hidup dengan alasan apa pun.
Didalam kitab-kitab mazhab Hanafi disebutkan:
"Bagi
wanita hamil yang posisi anak didalam perutnya melintang dan tidak mungkin
dikeluarkan kecuali dengan memotong-motongnya, yang apabila tidak dilakukan
tindakan seperti ini dikhawatirkan akan menyebabkan kematian si ibu ... mereka
berpendapat, 'Jika anak itu sudah dalam keadaan meninggal, maka tidak terlarang
memotongnya; tetapi jika masih hidup maka tidak boleh memotongnya karena
menghidupkan suatu jiwa dengan membunuh jiwa lain tidak ada keterangannya dalam
syara'.
Meskipun
demikian, dalam hal ini sebenarnya terdapat peraturan syara', yaitu memberlakukan
mana yang lebih ringan mudaratnya dan lebih kecil mafsadatnya.
Sementara
itu, sebagian ulama masa kini membuat gambaran lain dari kasus di atas, yaitu:
Adanya ketetapan secara ilmiah yang menegaskan bahwa janin --sesuai dengan
sunnah Allah Ta'ala-- akan menghadapi kondisi yang buruk dan membahayakan, yang
akan menjadikan tersiksanya kehidupannya dan keluarganya, sesuai dengan kaidah:
"Bahaya itu ditolak sedapat mungkin."
Tetapi
hendaknya hal ini ditetapkan oleh beberapa orang dokter, bukan cuma seorang.
Pendapat
yang kuat menyebutkan bahwa janin setelah genap berusia empat bulan adalah
manusia hidup yang sempurna. Maka melakukan tindak kejahatan terhadapnya sama
dengan melakukan tindak kejahatan terhadap anak yang sudah dilahirkan.
Adalah
merupakan kasih sayang Allah bahwa janin yang mengalami kondisi yang sangat
buruk dan membahayakan biasanya tidak bertahan hidup setelah dilahirkan,
sebagaimana sering kita saksikan, dan sebagaimana dinyatakan oleh para
spesialisnya sendiri.
Hanya
saja para dokter sering tidak tepat dalam menentukannya.
Saya
kemukakan disini suatu peristiwa yang saya terlibat didalamnya, yang terjadi
beberapa tahun silam. Yaitu ada seorang teman yang berdomisili di salah satu
negara Barat meminta fatwa kepada saya sehubungan para dokter telah menetapkan
bahwa janin yang dikandung istrinya --yang berusia lima bulan-- akan lahir
dalam kondisi yang amat buruk. Ia menjelaskan bahwa pendapat dokter-dokter itu
hanya melalui dugaan yang kuat, tidak ditetapkan secara meyakinkan.
Maka
jawaban saya kepadanya, hendaklah ia bertawakal kepada Allah dan menyerahkan
ketentuan urusan itu kepadaNya, barangkali dugaan dokter itu tidak tepat. Tidak
terasa beberapa bulan berikutnya saya menerima sehelai kartu dari Eropa yang
berisi foto seorang anak yang molek yang disertai komentar oleh ayahnya yang
berbunyi demikian:
"Pamanda
yang terhormat, Saya berterima kasih kepadamu sesudah bersyukur kepada Allah
Ta'ala, bahwa engkau telah menyelamatkanku (keluargaku) dari pisau para dokter
bedah. Fatwamu telah menjadi sebab kehidupanku, karena itu saya tidak akan
melupakan kebaikanmu ini selama saya masih hidup." Kemajuan ilmu
kedokteran sekarang telah mampu mendeteksi kerusakan (cacat) janin sebelum
berusia empat bulan sebelum mencapai tahap ditiupkannya ruh. Namun demikian,
tidaklah dipandang akurat jika dokter membuat dugaan bahwa setelah lahir nanti
si janin (anak) akan mengalami cacat --seperti buta, tuli, bisu-- dianggap
sebagai sebab yang memperbolehkan digugurkannya kandungan. Sebab cacat-cacat
seperti itu merupakan penyakit yang sudah dikenal di masyarakat luas sepanjang
kehidupan manusia dan disandang banyak orang, lagi pula tidak menghalangi
mereka untuk bersamasama orang lain memikul beban kehidupan ini. Bahkan manusia
banyak yang mengenal (melihat) kelebihan para penyandang cacat ini, yang
nama-nama mereka terukir dalam sejarah.
Selain
itu, kita tidak boleh mempunyai keyakinan bahwa ilmu pengetahuan manusia dengan
segala kemampuan dan peralatannya akan dapat mengubah tabiat kehidupan manusia
yang diberlakukan Allah sebagai ujian dan cobaan:
"Sesungguhnya
Kami telah menciptakan manusia dan setetes mani yang bercampur yang Kami hendak
mengujinya ..." (al-Insan: 2) "Sesungguhnya Kami telah menciptakan
manusia berada dalam susah payah." (al-Balad: 4)
Sesungguhnya
ilmu pengetahuan dan teknologi pada zaman kita sekarang ini telah turut andil
dalam memberikan pelajaran kepada orang-orang cacat untuk meraih keberuntungan,
sebagaimana keduanya telah turut andil untuk memudahkan kehidupan mereka. Dan
banyak diantara mereka (orang-orang cacat) yang turut menempuh dan memikul
beban kehidupan seperti orang-orang yang normal. Lebih-lebih dengan sunnah-Nya
Allah mengganti mereka dengan beberapa karunia dan kemampuan lain yang luar
biasa.
Allah
berfirman dengan kebenaran, dan Dia-lah yang memberi petunjuk ke jalan yang
lurus. Wallahu a`lam bisshawab
Tidak ada komentar:
Posting Komentar