Ditulis oleh: Ahmad Sarwat, Lc
Gambar yang Terhina
adalah Halal
Setiap perubahan dalam masalah gambar yang tidak mungkin diagung-agungkan sampai kepada yang paling hina, dapat pindah dari lingkungan makruh kepada lingkungan halal. Dalam hal ini ada sebuah hadis yang menerangkan, bahwa Jibril a.s. pernah minta izin kepada Nabi untuk masuk rumahnya, kemudian kata Nabi kepada Jibril:
"Masuklah!
Tetapi Jibril menjawab: Bagaimana saya masuk, sedang di dalam rumahmu itu ada
korden yang penuh gambar! Tetapi kalau kamu tetap akan memakainya, maka
putuskanlah kepalanya atau potonglah untuk dibuat bantal atau buatlah
tikar." (Riwayat Nasa'i Ban Ibnu Hibban)
Oleh
karena itulah ketika Aisyah melihat ada tanda kemarahan dalam wajah Nabi karena
ada korden yang banyak gambarnya itu, maka korden tersebut dipotong dan dipakai
dua sandaran, karena gambar tersebut sudah terhina dan jauh daripada menyamai
gambar-gambar yang diagung-agungkan.
Beberapa
ulama salaf pun ada yang memakai gambar yang terhina itu, dan mereka menganggap
bukan suatu dosa. Misalnya Urwah, dia bersandar pada sandaran yang ada
gambarnya, di antaranya gambar burung dan orang lakilaki. Kemudian Ikrimah
berkata: Mereka itu memakruhkan gambar yang didirikan (patung) sedang yang
diinjak kaki, misalnya di lantai, bantal dan sebagainya, mereka menganggap
tidak apa-apa.
Photografi
Satu
hal yang tidak diragukan lagi, bahwa semua persoalan gambar dan menggambar,
yang dimaksud ialah gambar-gambar yang dipahat atau dilukis, seperti yang telah
kami sebutkan di alas.
Adapun
masalah gambar yang diambil dengan menggunakan sinar matahari atau yang kini
dikenal dengan nama fotografi, maka ini adalah masalah baru yang belum pernah
terjadi di zaman Rasulullah s.a.w. dan ulama-ulama salaf. Oleh karena itu
apakah hal ini dapat dipersamakan dangan hadis-hadis yang membicarakan masalah
melukis dan pelukisnya seperti tersebut di atas?
Orang-orang
yang berpendirian, bahwa haramnya gambar itu terbatas pada yang berjasad
(patung), maka foto bagi mereka bukan apa-apa, lebih-lebih kalau tidak sebadan
penuh. Tetapi bagi orang yang berpendapat lain, apakah foto semacam ini dapat
dikiaskan dengan gambar yang dilukis dengan menggunakan kuasa? Atau apakah
barangkali illat (alasan) yang telah ditegaskan dalam hadis masalah pelukis,
yaitu diharamkannya melukis lantaran menandingi ciptaan Allah --tidak dapat
diterapkan pada fotografi ini? Sedang menurut ahli-ahli usul-fiqih kalau illatnya
itu tidak ada, yang dihukum pun (ma'lulnya) tidak ada.
Jelasnya
persoalan ini adalah seperti apa yang pernah difatwakan oleh Syekh Muhammad
Bakhit, Mufti Mesir: "Bahwa fotografi itu adalah merupakan penahanan
bayangan dengan suatu alat yang telah dikenal oleh ahli-ahli teknik (tustel).
Cara semacam ini sedikitpun tidak ada larangannya.
Karena
larangan menggambar, yaitu mengadakan gambar yang semula tidak ada dan belum
dibuat sebelumnya yang bisa menandingi (makhluk) ciptaan Allah. Sedang
pengertian semacam ini tidak terdapat pada gambar yang diambil dengan alat
(tustel)."
Sekalipun
ada sementara orang yang ketat sekali dalam persoalan gambar dengan segala
macam bentuknya, dan menganggap makruh sampai pun terhadap fotografi, tetapi
satu hal yang tidak diragukan lagi, bahwa mereka pun akan memberikan rukhshah
terhadap hal-hal yang bersifat darurat karena sangat dibutuhkannya, atau karena
suatu maslahat yang mengharuskan, misalnya kartu pendliduk, paspor, foto-foto
yang dipakai alat penerangan yang di situ sedikitpun tidak ada tanda-tanda
pengagungan. atau hal yang bersifat merusak aqidah. Foto dalam persoalan ini
lebih dibutuhkan daripada melukis dalam pakaian-pakaian yang oleh Rasulullah
sendiri sudah dikecualikannya.
Subjek Gambar
Yang
sudah pasti, bahwa subjek gambar mempunyai pengaruh soal haram dan halalnya.
Misalnya gambar yang subjeknya itu menyalahi aqidah dan syariat serta tata
kesopanan agama, semua orang Islam mengharamkannya.
Oleh
karena itu gambar-gambar perempuan telanjang, setengah telanjang, ditampakkannya
bagian-bagian anggota khas wanita dan tempat-tempat yang membawa fitnah, dan
digambar dalam tempat-tempat yang cukup membangkitkan syahwat dan menggairahkan
kehidupan duniawi sebagaimana yang kita lihat di majalah-majalah, surat-surat
khabar dan bioskop, semuanya itu tidak diragukan lagi tentang haramnya baik
yang menggambar, yang menyiarkan ataupun yang memasangnya di rumah-rumah,
kantor-kantor, toko-toko dan digantung di dinding-dinding. Termasuk juga
haramnya kesengajaan untuk memperhatikan gambar-gambar tersebut.
Termasuk
yang sama dengan ini ialah gambar-gambar orang kafir, orang zalim dan
orang-orang fasik yang oleh orang Islam harus diberantas dan dibenci dengan
semata-mata mencari keridhaan Allah. Setiap muslim tidak halal melukis atau
menggambar pemimpin-pemimpin yang anti Tuhan, atau pemimpin yang menyekutukan
Allah dengan sapi, api atau lainnya, misalnya orang-orang Yahudi, Nasrani yang
ingkar akan kenabian Muhammad, atau pemimpin yang beragama Islam tetapi tidak
mau berhukum dengan hukum Allah; atau orang-orang yang gemar menyiarkan
kecabulan dan kerusakan dalam masyarakat seperti bintang-bintang film dan
biduan-biduan.
Termasuk
haram juga ialah gambar-gambar yang dapat dinilai sebagai menyekutukan Allah
atau lambang-lambang sementara agama yang samasekali tidak diterima oleh Islam,
gambar berhala, salib dan sebagainya.
Barangkali
seperai dan bantal-bantal di zaman Nabi banyak yang memuat gambar-gambar
semacam ini. Oleh karena itu dalam riwayat Bukhari diterangkan; bahwa Nabi
tidak membiarkan salib di rumahnya, kecuali dipatahkan.
Ibnu
Abbas meriwayatkan:
"Sesungguhnya Rasulullah s.a. w. pada waktu tahun
penaklukan Makkah melihat palung-patung di dalam Baitullah, maka ia tidak mau
masuk sehingga ia menyuruh, kemudian dihancurkan." (Riwayat Bukhari).
Tidak
diragukan lagi, bahwa patung-patung yang dimaksud adalah patung yang dapat
dinilai sebagai berhala orang-orang musyrik Makkah dan lambang kesesatan mereka
di zaman-zaman dahulu.
Ali
bin Abu Talib juga berkata:
"Rasulullah s.a.w. dalam (melawat) suatu jenazah ia
bersabda: Siapakah di kalangan kamu yang akan pergi ke Madinah, maka jangan
biarkan di sana satupun berhala kecuali harus kamu hancurkan, dan jangan ada
satupun kubur (yang bercungkup) melainkan harus kamu ratakan dia, dan jangan
ada satupun gambar kecuali harus kamu hapus dia? Kemudian ada seorang laki-laki
berkata: Saya! Ya, Rasulullah! Lantas ia memanggil penduduk Madinah, dan
pergilah si laki-laki tersebut. Kemudian ia kembali dan berkata: Saya tidak
akan membiarkan satupun berhala kecuali saya hancurkan dia, dan tidak akan ada
satupun kuburan (yang bercungkup) kecuali saya ratakan dia dan tidak ada
satupun gambar kecuali saya hapus dia. Kemudian Rasulullah bersabda:
Barangsiapa kembali kepada salah satu dari yang tersebut maka sungguh ia telah
kufur terhadap apa yang diturunkan kepada Muhammad s.a.w." (Riwayat Ahmad;
dan berkata Munziri: Isya Allah sanadnya baik)
Barangkali
tidak lain gambar-gambar/patung-patung yang diperintahkan Rasulullah s.a.w.
untuk dihancurkan itu, melainkan karena patung-patung tersebut adalah lambang
kemusyrikan jahiliah yang oleh Rasulullah sangat dihajatkan kota Madinah supaya
bersih dari pengaruh-pengaruhnya. Justru itulah, kembali kepada hal-hal di atas
berarti dinyatakan kufur terhadap ajaran yang dibawa oleh Nabi Muhammad.
Kesimpulan Hukum
Gambar dan Yang Menggambar
Dapat
kami simpulkan hukum masalah gambar dan yang menggambar sebagai berikut:
2. Termasuk
dosa juga, orang-orang yang melukis sesuatu yang tidak disembah, tetapi
bertujuan untuk menandingi ciptaan Allah. Yakni dia beranggapan, bahwa dia
dapat mencipta jenis baru dan membuat seperti pembuatan Allah. Kalau begitu
keadaannya dia bisa menjadi kufur. Dan ini tergantung kepada niat si pelukisnya
itu sendiri.
3. Di bawah
lagi patung-patung yang tidak disembah, tetapi termasuk yang diagung-agungkan,
seperti patung raja-raja, kepala negara, para pemimpin dan sebagainya yang
dianggap keabadian mereka itu dengan didirikan monumen-monumen yang dibangun di
lapangan-lapangan dan sebagainya. Dosanya sama saja, baik patung itu satu badan
penuh atau setengah badan.
4. Di
bawahnya lagi ialah patung-patung binatang dengan tidak ada maksud untuk
disucikan atau diagung-agungkan, dikecualikan patung mainan anak-anak dan yang
tersebut dari bahan makanan seperti manisan dan sebagainya.
5. Selanjutnya
ialah gambar-gambar di pagan yang oleh pelukisnya atau pemiliknya sengaja
diagung-agungkan seperti gambar para penguasa dan pemimpin, lebih-lebih kalau
gambar-gambar itu dipancangkan dan digantung. Lebih kuat lagi haramnya apabila
yang digambar itu orang-orang zalim, ahli-ahli fasik dan golongan anti Tuhan.
Mengagungkan mereka ini berarti telah meruntuhkan Islam.
6. Di bawah
itu ialah gambar binatang-binatang dengan tidak ada maksud diagung-agungkan,
tetapi dianggap suatu manifestasi pemborosan. Misalnya gambar gambar di dinding
dan sebagainya. Ini hanya masuk yang dimakruhkan.
7. Adapun
gambar-gambar pemandangan, misalnya pohon-pohonan, korma, lautan, perahu,
gunung dan sebagainya, maka ini tidak dosa samasekali baik si pelukisnya
ataupun yang menyimpannya, selama gambar-gambar tersebut tidak melupakan ibadah
dan tidak sampai kepada pemborosan. Kalau sampai demikian, hukumnya makruh.
8. Adapun
fotografi, pada prinsipnya mubah, selama tidak mengandung objek yang
diharamkan, seperti disucikan oleh pemiliknya secara keagamaan atau disanjung-sanjung
secara keduniaan. Lebih-lebih kalau yang disanjung-sanjung itu justru
orang-orang kafir dan ahli-ahli fasik, misalnya golongan penyembah berhala,
komunis dan seniman-seniman yang telah menyimpang.
9. Terakhir,
apabila patung dan gambar yang diharamkan itu bentuknya diuubah atau
direndahkan (dalam bentuk gambar), maka dapat pindah dari lingkungan haram
menjadi halal. Seperti gambar-gambar di lantai yang biasa diinjak oleh kaki dan
sandal.
BACA ARTIKEL LAINNYA YANG BERKAITAN:
- PENJARA DALAM PERSPEKTIF ISLAM
- CATUR MENURUT PANDANGAN ISLAM
- SENI RUPA MENURUT PANDANGAN ISLAM
- SENI MUSIK MENURUT PANDANGAN ISLAM
- SALON MUSLIMAH MENURUT PANDANGAN ISLAM
- TELIVISI MENURUT PANDANGAN ISLAM
- PANDANGAN ISLAM TERHADAP BUNGA
- KEKUASAAN NEGARA DALAM ISLAM (PENDEKATAN DAKWAH)
- KHILAFAH ISLAMIYAH DALAM PERSPEKTIF SEJARAH
Tidak ada komentar:
Posting Komentar