HOME

22 September, 2023

RAMALAN CUACA MENURUT ISLAM

Sudah kita ketahui bahwa mendatangi peramal dan mempercayainya adalah perbuatan syirik. Nah, bagaimana hukumnya jika kita percaya terhadap sebuah ramalan (atau prakiraan) yang disimpulkan melalui sebuah proses keilmuan dan ditunjang dengan data-data yang akurat seperti ramalan cuaca?

Apakah itu termasuk syirik? Adakah pernyataan yang mendasarinya?


Jawaban

Assalamu ''alaikum warahmatullahi wabarakatuh, 

Islam telah mengharamkan ramalan atas nasib, masalah jodoh, rejeki, hoki dan juga ramalan bindang. Para penyihir telah menggunakan konstalasi bintang-bintang di langit sebagai dasar atas kebohongannya.

Dari Ibnu Abbas Radhiallahu ''anhuma bahwa Rasulullah SAW bersabda, "Siapa yang mempelajari ilmu dari bintang-bintang, berarti telah mempelajari salah satu cabang dari ilmu sihir. Semakin bertambah ilmunya, semakin dalam ia mempelajari sihir tersebut." (QS. Abu Dawud)

Demikian juga riwayat Al-Bazzar dengan sanad yang bagus dari Imran bin Hushain, dari Rasulullah Shallallahu ''alaihi wa sallam bahwa beliau bersabda:

"Bukan termasuk golongan kita orang yang meramal atau minta diramalkan, orang yang berdukun atau minta didukunkan, orang yang menggunakan sihir (santet) atau mengambil faidah dari ilmu santet." 


Maka siapa saja yang mengaku mengetahui perihal ghaib bisa termasuk tukang nujum, atau yang sejenis itu. Karena Allah telah merahasiakan ilmu ghaib. Sebagaimana firman Allah:

"Katakanlah, tidak ada yang mengetahui keghaiban di langit dan di bumi melainkan Allah.." 

Prakiraan Cuaca Bukan Ramalan Cuaca

Istilah yang benar barangkali bukan ramalan cuaca, melainkan prakiraan cuaca. Istilah "ramalan cuaca" adalah nama program siaran TVRI zaman dahulu.


Para ulama di Hijaz dalam banyak kesempatan secara tegas menyebutkan bahwa prakiraan cuaca bukanlah bagian dari ramalan penyihir yang haram. Karena prakiraan ini adalah hasil pengamatan tanda-tanda di atmosfer terkait dengan tekanan, suhu, arah angin, kelembaban dan sebagainya.

Semua merupakan sebuah ilmu yang tidak ada kaitannya dengan alam ghaib. Dan prakiraan cuaca ini sangat diperlukan untuk penerbangan dan hal lainnya. Jadi bukan mengada-ada atau bersifat klenik.

Prakiraan cuaca ini terkadang meleset juga, terutama untuk negeri kita. Barangkali karena satelite pemantau cuaca yang kita miliki sangat terbatas. Berbeda dengan beberapa negeri maju yang memang telah memiliki satelit pemantau cuara yang sudah sangat baik, sehingga akurasinya sudah sedemikian detail. Jumlahnya pun tidak sedikit.

Prakiraan cuaca didasarkan atas hasil pengamatan satelit buatan ini. Satelit mengawasi cuaca dan iklim Bumi, dan dapat melihat lebih banyak awan dan sistem awan, termasuk juga cahaya perkotaan, kebakaran, polusi, cahaya aurora, badai pasir ataudebu, tumpukan salju, pemetaan es, gelombang samudra, pembuangan energi dan lainnya.

Yang menarik, dengan satelit cuaca ini, semua gambar yang dikirim akan terlhat real time, sehingga memang wajar kalau bisa diperkirakan akan terjadi hujan di mana dalam berapa lama dan seterusnya. Karena pergerakan awan memang bisa terlihat dengan jelas.

Namun secanggih apa pun sebuah satelit pengamat cuaca, harus diakui bahwa karakteristik lokal setempat mempunyai peranan sangat penting pada pola cuaca lokal. Jadi belum tentu apa yang terlihat di layar satelit itu menjadi kenyataan di atas tanah.

Wallahu a''lam bishshawab, wassalamu ''alaikum warahmatullahi wabarakatuh, 

BACA ARTIKEL LAINNYA YANG BERKAITAN:

BOM BUNUH DIRI ATAU BOM MATI SYAHID


Bagaimana menurut ustadz tentang hukum bom bunuh diri, baik dari segi fenomena di Palestina dan Indonesia? Jawaban ini untuk bahan disertasi saya.

jawaban

Assalamu ''alaikum warahmatullahi wabarakatuh,

Istilah ''bom bunuh diri'' kalau dikaitkan dengan perlawanan bangsa Paletina melawan jagal Israel tentu sangat tidak tepat. Bahkan penggunaan istilah itu sendiri adalah bagian dari propaganda Israel dalam menghancurkan mentalitas saudara kita di sana.

Yang mereka lakukan bukan operasi bunuh diri, melainkan perang suci membela agama, nusa dan bangsa serta hak-hak hidup paling asasi di muka bumi.

Tidak ada bedanya apa yang mereka lakukan dengan yang dilakukan oleh arek-arek Suroboyo di tahun 1945, ketika mereka menyongsong meriam Belanda hanya berbekal bambu runcing. Dilihat dari hitung-hitungan biasa, meriam Belanda itu pasti akan membunuh mereka semua. Lalu apalah artinya bambu runcing menghadapi meriam-meriam itu?

Tetapi semua kita tahu bahwa mereka adalah pahlawan yang tiap tahun kita peringati jasanya pada hari pahlawan. Tidak ada seorang pun di antara kita yang menyebut tindakan mereka sebagai bunuh diri. Padahal apa yang mereka lakukan lebih dahsyat dari sekedar apa yang dikerjakan oleh mujahidin Palestina sekarang.

Maka di luar medan perang, sebenarnya masih ada peperangan lainnya yang tidak kalah dahsyat. Yaitu perang urat syaraf, perang opini dan perang media. Kalau sebagai muslim kita sampai hati menyebut perjuangan bangsa Palestina itu sebagai ''bom bunuh diri'', maka pada hakikatnya kita adalah korban perang. Sebab kita sudah termakan perang opini yang mereka buat, karena sudah berhasil membuat kita berhenti dari mendukung perjuangan bangsa terjajah itu.

Sebagai muslim, kita tahu bahwa apa yang mereka lakukan dengan meledakkan bom di tengah kerumunan Yahudi bukanlah bunuh diri. Sebab orang yang bunuh diri itu adalah orang yang tidak punya harapan lagi. Mereka kecewa dan mengakhiri hidup dengan menghilangkan nyawa diri sendiri.

Sedangkan pejuang muslim Palestina itu tidak putus asa, melainkan mereka sedang menjalankan perintah Allah SWT. Mereka tidak takut mati asalkan demi mempertahankan agama Allah. Mereka telah berkorban harta dan jiwa, janganlah kita zalimi dengan berbagai tuduhan versi orang-orang kafir. Janganlah kita termakan dengan propaganda asing yang ingin memecah belah persatuan umat Islam sedunia.

Mereka yang mati dalam rangka mempertahankan negeri dari penjajah kafir, tentu saja akan mati bahagia. Bahkan mereka tidak mati, melainkan tetap hidup. Kalau orang bunuh diri pasti mati. Tetapi orang yang terbunuh di jalan Allah, tidak mati melainkan tetap hidup di sisi Allah dan tetap mendapat rizki.

Dan janganlah kamu mengatakan terhadap orang-orang yang gugur di jalan Allah, mati; bahkan mereka itu hidup, tetapi kamu tidak menyadarinya. (QS Al-Baqarah: 154)

Janganlah kamu mengira bahwa orang-orang yang gugur di jalan Allah itu mati; bahkan mereka itu hidup disisi Tuhannya dengan mendapat rezki. (QS Ali Imran: 169)

Bom yang diledakkan di luar wilayah peperangan yang syar''i tidak bisa dikatakan jihad, melainkan pembunuhan massal. Pelakunya harus ditangkap dan dihukum sesuai syariat Islam.

Senjata pembunuh hanya dihalalkan untuk digunakan membunuh orang dalam batas-batas yang dibenarkan syariah Islam. Salah satunya adalah medan tempur. Selain itu senjata yang digunakan untuk membela diri dari ancaman langsung. Juga senjata para eksekutor yang menjalankan keputusan pengadilan untuk mengeksekusi para terhukum.

Sedangakan meledakkan bom di tempat umum yang mengorbankan banyak nyawa tak bersalah, baik nyawa itu milik seorang muslim atau pun milik seorang non muslim, hukumnya dosa besar serta termasuk kriminal. Tidak ada kaitannya dengan jihad.

Jihad pisik dengan senjata punya aturan main tersendiri. Untuk itulah para fuqaha menyusun bab khusus dalam banyak kitab fiqih mereka, yaitu bab Al-Jihad. Sebuah bab yang secara khusus membahas semua hukum fiqih tentang jihad dan peperangan.

Selain harus memenuhi semua hukum fiqih, pelaksanaan jihad pisik juga harus ditetapkan berdasarkan syura (musyawarah) dari para pemimpin umat Islam. Kalau ada negara Islam, maka pemimpin negeri itulah yang punya hak untuk menetapkan perang. Kalau tidak ada pemimpin umat yang formal, maka harus ada majelis permusyawaratan para pemimpin mujahidin. Seperti yang dahulu pernah terjadi di masa perang pembebasan Afghanistan dari cengkraman Uni Soviet.

Bila tidak ada syura dan masing-masing kelompok jalan sendiri-sendiri serta mementingkan urusannya sendiri, apalagi ditambah dengan tidak ada support secara hukum fiqih, maka jihad itu adalah jihad yang keliru. Sulit untuk mendapatkan kemenangan. Bahkan sekedar legitimasi dan dukungan dari umat Islam sekali pun juga sulit.

Khusus kasus peledakan bom di JW Mariot dan Bali, banyak pihak yang yakin 100% bahwa pelaku di belakang layarnya tidak lain adalah pihak-pihak yang ingin memojokkan umat Islam. Banyak fakta yang tidak bisa dipungkiri. Kalau pun pelakunya beragama Islam, satu pun tidak ada yang paham dengan hukum syariah, khusus bab fiqih jihad.

Dan aroma intervensi asing dengan Datasemen 88 adalah fakta yang telalu terbuka untuk mengungkat betapa di balik semua bom itu, ada kepentingan asing.

Wallahu a''lam bishshawab, wassalamu ''alaikum warahmatullahi wabarakatuh,

Ahmad Sarwat, Lc.


BACA ARTIKEL LAINNYA YANG BERKAITAN:

MENYEKOLAHKAN ANAK DI SEKOLAH NON ISLAM

 

Ini adalah dilemma para orang tua yang sadar akan kualitas pendidikan buat putra puteri mereka. Sekaligus juga tantangan bagi para pendidik muslim untuk meningkatkan kualitas pendidikan Islam.

Sejatinya, kualitas pendidikan Islam harus lebih tinggi dari sekolah lainnya. Karena Islam sendiri sangat memberikan perhatian penuh pada masalah pendidikan.

Bahkan bila kita hitung-hitung, di masa Nabi masih hidup, bayaran yang diberikan kepada para pengajar terbilang tinggi. Ketika perang Badar berakhir, ada banyak tawanan perang dari pihak Quraisy. Kepada mereka ini bila ingin bebas dari perbudakan, wajib mengajarkan 10 orang muslim sekedar bisa membaca dan menulis.

Padahal harga budak cukup besar, barangkali bila dikurs di zaman ini bisa mencapai harga puluhan dan ratusan juta. Tetapi harga yang tinggi itu oleh Rasulullah SAW sebanding dengan jasa mengajarkan baca tulis 10 orang saja.

Jadi ini adalah tantangan bagi dunia pendidikan Islam. Apakah akan terus begini atau akan bangkit dan menjadi yang terbaik. Sementara di sisi lain, lembaga pendidikan non-Islam telah jauh mendahului. Dan kita semua tahu bahwa lembaga pendidikan dan sekolah adalah salah satu sarana paling efektif dalam menyebarkan seuatu ajaran. Itulah yang selalu dikerjakan oleh para penjajah dimana pun, yaitu membangun sekolah dan lembaga pendidikan.

Sekolah-sekolah seperti ini sudah sangat berjasa dalam menyebarkan agama nasrani baik langsung atau tidak langsung. Artinya tidak harus semuanya masuk kristen, tetapi apa yang diajarkan dan disampaikan tidak akan jauh dari misi itu. Ini sesuatu yang wajar sekali terjadi di negeri ini.

Namun alhamdulillah, satu dua lembaga pendidikan di negeri ini sudah mampu mengejar ketertinggalan mereka dan meski belum mengungguli, paling tidak bisa menyamai prestasi mereka.

Jadi tinggal anda memilih saja antara keduanya. Yang satu jelas milik nasrani dan telah punya peranan besar dalam menyebarkan paham mereka sedikti atau banyak, yang lain meski barangkali kualitasnya tidak setenar yang pertama, bukan berarti tidak baik, iya kan ?

Kualitas pendidikan bukan ditentukan semata-mata oleh lembaganya saja, tetapi lebih dari itu juga kemampuan anak didiknya juga.

Wallahu a`lam bishshowab


BACA ARTIKEL LAINNYA YANG BERKAITAN:

PANDANGAN ISLAM DALAM MENGUCAPKAN SELAMAT NATAL DAN MENGHADIRINYA

Mengucapkan selamat natal itu sebenarnya punya makna yang mendalam dari sekedar basa-basi antar agama. Karena tiap upacara dan perayaan tiap agama memiliki nilai sakral dan berkaitan dengan kepercayaan dan akidah masing-masing.

Karena itu masalah mengucapkan selamat kepada penganut agama lain tidak sesedarhana yang dibayangkan. Sama tidak sederhananya bila seorang mengucapkan dua kalimat syahadat. Syahadatian itu punya makna yang sangat mendalam dan konsekuensi hukum yang tidak sederhana. Termasuk hingga masalah warisan, hubungan suami istri, status anak dan seterusnya. Padahal cuma dua penggal kalimat yang siapa pun mudah mengucapkannya.

Nah, dalam hal ini pengucapan tahni`ah (ucapan selamat) natal kepada nashrani juga memiliki implikasi hukum yang tidak sederhana. Benar bahwa muslimin menghormati dan menghargai kepercayaan agama lain bahkan melindungi bila mereka zimmi. Namun perlu diberi garis tengah yang jelas. Manakah batasan hormat dan ridha disini. Hormat adalah suatu hal dan ridha adalah yang lain.

Kita hormati nasrani karena memang itu kewajiban. Hak-hak mereka kita penuhi karena itu kewajiban. Tapi memberi ucapan selamat, ini mempunyai makna ridha, artinya kita rela dan mengakui apa yang mereka yakini. Ini sudah jelas masuk masalah akidah. Dan inilah yang menjadi batas tegas disini.

Jangan sampai ada perasaan takut di hati para tokoh agama kita bila belum mengucapkan selamat natal, maka kita kurang toleran, kurang ramah dan kurang menghargai agama lain. Ini penyakit kejiwaan yang hingga dalam lubuk sanubari kebanyakan kita. Sehingga terkadang menjelma menjadi sikap yang kurang tepat.

Bila kita tidak mengucapkan selamat natal bukan berarti kita tidak ingin adanya persaudaraan dan perdamaian antar penganut agama. Bahkan sebenarnya tidak perlu lagi umat Islam ini diajari tentang toleransi dan kerukunan. Adanya orang nasrani di Republik ini dan bisa beribadah dengan tenang selama ratusan tahun adalah bukti kongkrit bahwa umat Islam menghormati mereka. Toh mereka bisa hidup tenang tanpa kesulitan. Bandingkan dengan negeri dimana umat Islam minoritas, bagaimana mereka diteror, dipaksa, dipersulit, dibuat tidak betah, diganggu dan dianiyaya. Dan fakta-fakta itu bukan isapan jempol. Hal itu terjadi dimana pun dimana ada umat Islam yang minoritas baik eropa, amerika, australia dan sebagainya.

Jadi tidak mengucapkan selamat natal itu justru toleransi dan saling menghormati akidah masing-masing. Dan sebaliknya, saling memberi ucapan selamat justru menginjak-injak akidah masing-masing karena secara sadar kita melecehkan akidah yang kita anut.

Wallahu a`lam bis-shawab.


BACA ARTIKEL LAINNYA YANG BERKAITAN:

21 September, 2023

HADIS TENTANG HIJAB

 MAKALH IHTIJAB

A.  Latar Belakang

Telah disepakati oleh seluruh umat Islam bahwa al-Qur’an menjadi pedoman hidup baik tentang syariah maupun dalam kehidupan sehari-harinya. Selain al-Qur’an, Sunnah Rasulullah juga diyakini sebagai sumber kedua setelahnya. Al-Qur’an yang sebagian ayatnya bersifat universal membutuhkan penjelasan yang hanya bisa dilakukan oleh Rasulullah sebagai penerima wahyu dari Allah SWT.

Sunnah sendiri meiliki manfaat yang besar terhadap al-Qur’an adakalanya ia sebagai sebagai bayan tasyri’, tafsir, takhshish dan lain sebgainya. Maka kandungan Sunnah sama halnya dengan al-Qur’an yang berisikan seluruh ajaran agama dan kehidupan. Ada sebuah hadis yang berisikan tentang perintah Rasulullah terhadap istrinya agar ia berhijab disaat ada Ibnu Ummi Maktum padahal ia adalah seorang yang buta. Namun masalah yang muncul adalah di hadis yang lain disebutkan bahwa Rasulullah bahkan menyuruh Fatimah untuk beriddah bersamanya. Maka dari itu muncullah pertanyaan apakah yang dimaksud dengan kedua hadis ini? Apakah bertentangan atau di dalamnya ternyata ada hukum takhsis. Oleh karenannya penulis membahas masalah tersebut.

 

B.  Hadis Tentang Hijab

1.    Hadis tentang hijab

قَالُوا: رُوِّيتُمْ أَنَّ ابْنَ أُمِّ مَكْتُومٍ، اسْتَأْذَنَ عَلَى رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَعِنْدَهُ امْرَأَتَانِ مِنْ أَزْوَاجِهِ، فَأَمَرَهُمَا بِالِاحْتِجَابِ، فَقَالَتَا: "يَا رَسُولَ اللَّهِ إِنَّهُ أَعْمَى"، فَقَالَ: "أَفَعَمْيَاوَانِ أَنْتُمَا ". وَالنَّاسُ مُجْمِعُونَ عَلَى أَنَّهُ لَا يَحْرُمُ عَلَى النِّسَاءِ أَنْ يَنْظُرْنَ إِلَى الرِّجَالِ إِذَا اسْتَتَرْنَ، وَقَدْ كُنَّ يَخْرُجْنَ فِي عَهْدِ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِلَى الْمَسْجِدِ، وَيُصَلِّينَ مَعَ الرِّجَالِ.[1]

Diriwayatkan bahwasanya Ibnu Ummi Maktum meminta izin kepada Rsulullah SAW sedangkan didekatnya ada kedua istrinya, kemudian Rasulullah menyuruh keduanya untuk berhijab, kedua berkata ya Rasulullah bukankan dia buta?, lalu Rasul menjawab “apakah kalian berdua buta?”.

Perempuan tidak diharamkan melihat kaum laki-laki jika mereka menggunakan satir (penghalang/ penutup), sedangkan kaum perempuan juga pergi ke masjid untuk melaksanakan salat berjamaah bersama kaum laki-laki.

2.    Takhrij al-h}adith

Pencarian yang dilakukan penulis dalam kitab al-Mu‘jam al-Mufahras li Alfaz} al-H}adith al-Nabawi karya A. J Wensink dengan menggunakan kata ‘ama, ditemukan riwayat yang menggunakan lafazh afa‘amyawani ini ditemukan dalam tiga tempat. Tepatnya ditemukan dalam riwayat Abu Daud bab libas 34, al-Tirmidhi baba dab 29 dan Ahmad juz 6 nomer 2960.[2] Jalal al-Din al-Suyut}i dalam kitab Jami‘ al-Ah}adith, penulis menemukan kesamaan yakni dengan pencarian menggunakan kata tersebut ditemukan dalam tiga riwayat seperti yang sudah dijelaskan di atas.[3] Ketiga riwayat tersebut akan dicantumkan di bawah ini:

a.    Riwayat Abu Daud[4]

4112 - حَدَّثَنَا مُحَمَّدُ بْنُ الْعَلَاءِ، حَدَّثَنَا ابْنُ الْمُبَارَكِ، عَنْ يُونُسَ، عَنِ الزُّهْرِيِّ، قَالَ: حَدَّثَنِي نَبْهَانُ، مَوْلَى أُمِّ سَلَمَةَ، عَنْ أُمِّ سَلَمَةَ، قَالَتْ: كُنْتُ عِنْدَ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَعِنْدَهُ مَيْمُونَةُ، فَأَقْبَلَ ابْنُ أُمِّ مَكْتُومٍ وَذَلِكَ بَعْدَ أَنْ أُمِرْنَا بِالْحِجَابِ، فَقَالَ النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: «احْتَجِبَا مِنْهُ» ، فَقُلْنَا: يَا رَسُولَ اللَّهِ، أَلَيْسَ أَعْمَى لَا يُبْصِرُنَا، وَلَا يَعْرِفُنَا؟ فَقَالَ النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: «أَفَعَمْيَاوَانِ أَنْتُمَا [ص:64]، أَلَسْتُمَا تُبْصِرَانِهِ» ، قَالَ أَبُو دَاوُدَ: «هَذَا لِأَزْوَاجِ النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ خَاصَّةً، أَلَا تَرَى إِلَى اعْتِدَادِ فَاطِمَةَ بِنْتِ قَيْسٍ عِنْدَ ابْنِ أُمِّ مَكْتُومٍ» ، قَدْ قَالَ النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ لِفَاطِمَةَ بِنْتِ قَيْسٍ: «اعْتَدِّي عِنْدَ ابْنِ أُمِّ مَكْتُومٍ، فَإِنَّهُ رَجُلٌ أَعْمَى تَضَعِينَ ثِيَابَكِ عِنْدَهُ»

b.    Riwayat al-Tirmidhi[5]

2778 - حَدَّثَنَا سُوَيْدٌ قَالَ: حَدَّثَنَا عَبْدُ اللَّهِ قَالَ: أَخْبَرَنَا يُونُسُ بْنُ يَزِيدَ، عَنْ ابْنِ شِهَابٍ، عَنْ نَبْهَانَ، مَوْلَى أُمِّ سَلَمَةَ، أَنَّهُ حَدَّثَهُ أَنَّ أُمَّ سَلَمَةَ، حَدَّثَتْهُ أَنَّهَا كَانَتْ عِنْدَ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَمَيْمُونَةَ قَالَتْ: فَبَيْنَا نَحْنُ عِنْدَهُ أَقْبَلَ ابْنُ أُمِّ مَكْتُومٍ فَدَخَلَ عَلَيْهِ وَذَلِكَ بَعْدَ مَا أُمِرْنَا بِالحِجَابِ، فَقَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: «احْتَجِبَا مِنْهُ» ، فَقُلْتُ: يَا رَسُولَ اللَّهِ أَلَيْسَ هُوَ أَعْمَى لَا يُبْصِرُنَا وَلَا يَعْرِفُنَا؟ فَقَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: «أَفَعَمْيَاوَانِ أَنْتُمَا أَلَسْتُمَا تُبْصِرَانِهِ» : «هَذَا حَدِيثٌ حَسَنٌ صَحِيحٌ»

 

c.    Riwayat Imam Ah}mad ibn H}anbalAh}mad[6]

26537 - حَدَّثَنَا عَبْدُ الرَّحْمَنِ بْنُ مَهْدِيٍّ، حَدَّثَنَا عَبْدُ اللهِ بْنُ الْمُبَارَكِ، عَنْ يُونُسَ بْنِ يَزِيدٍ، عَنِ الزُّهْرِيِّ، أَنَّ نَبْهَانَ، حَدَّثَهُ أَنَّ أُمَّ سَلَمَةَ حَدَّثَتْهُ قَالَتْ: كُنْتُ عِنْدَ رَسُولِ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَمَيْمُونَةُ، فَأَقْبَلَ ابْنُ أُمِّ مَكْتُومٍ حَتَّى دَخَلَ عَلَيْهِ، وَذَلِكَ بَعْدَ أَنْ أَمَرَنَا بِالْحِجَابِ، فَقَالَ رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: " احْتَجِبَا مِنْهُ " فَقُلْنَا: يَا رَسُولَ اللهِ، أَلَيْسَ أَعْمَى، لَا يُبْصِرُنَا وَلَا يَعْرِفُنَا؟ قَالَ: " أَفَعَمْيَاوَانِ أَنْتُمَا، أَلَسْتُمَا (1) تُبْصِرَانِهِ؟ " (2)

3.    Skema sanad

 

Ummu Salamah

 

 

Nabhan

 

 

Ibn Shihab al-Zuhri

 

 

Yunus ibn Yazid

 

 

‘Abd Allah ibn al-Mubarak

 

‘Abd al-Rah}man ibn Mahdi

Suwaid

Muh}ammad ibn al-‘Ala’

Ah}mad ibn H}anbal

Al-Tirmidhi

Abu Daud

 

Tabel di atas adalah susunan skema sanad dari ketiga riwayat yakni Abu Daud, al-Tirmidhi dan Ahmad. Ketiga riwayat ini memiliki mata rantai rawi yang sama dari rawi pertama sampai kelima. Baru kemudian di tingkat keenamlah terjadi perbedaan rawi dan bisa dlihat di tabel. Oleh karenanya, penulis akan melakukan penelitian terkait sifat adil dan tingkat hafalannya pada delapan rawi tersebut. Sebagai berikut:

a.    Ummu Salamah[7]

Ia bernama lengkap Hindun binti H}udhaifah ibn al-Mughirah w. 63

Lebih dikenal dengan Ummu Salamah, ia seorang Umm al-Mu’minin, zauj al-Nabi.

b.    Nabhan[8]

Ia adalah budak Ummu Salamah

Al-Dhahabi                    : thiqah

Ibnu H}ajar al-‘Asqalani           : maqbul

c.    Ibn Shihab al-Zuhri

Muh}ammad ibn Muslim al-Zuhri m. 52 dan w. 124 H[9]

Abu H}atim al-Razi : faqih

d.   Yunus ibn Yazid w. 159 H[10]

Abu Zur‘ah al-Razi : la ba’sa bih

e.    ‘Abd Allah ibn al-Mubarak m. 118 w. 181 H[11]

Abu H}atim al-Razi : thiqah imam

f.     Suwaid ibn Nas}r ibn Suwaid m. 149 w. 240 H[12]

Ibnu H}ajar al-‘Asqalani : thiqah

g.    ‘Abd al-Rah}man ibn Mahdi m. 135 w. 198 H[13]

Abu H}atim al-Razi : thiqah imam

h.    Muh}ammad ibn al-‘Ala’ m. 161 w. 248 H[14]

Abu H}atim al-Razi : s}aduq

4.    Hijab

a.    Pengertian hijab

Hijab menurut bahasa adalah satr (penutup/ sekat pembatas). Artinya sesuatu bisa dikatakan tertutup pandangannya jika sesuatu itu berada dibalik sesuatu yang lain.[15] jika demikian maka diantara dua orang tersebut tidak dapat melihat antara satu sama lain. Menurut Shahab, hijab adalah pemisah pergaulan anatra laki-laki dan perempuan.[16] Begitu pula dalam KBBI (Kamus Besar Bahasa Indonesia) dikatakan bahwa hijab adalah tertutup (penutup); tirai; kain selubung; cadar.[17]

Menurut Syuqqah, makna hijab secara istilah jika dipahami dari ayat al-Qur’an maka ia adalah sesuatu yang menghalangi antara dua sisi, sehingga salah satu dari keduanya tidak dapat melihat. Oleh karenanya, yang dimaksud dengan hijab tidak mungkin berbentuk pakaian yang biasa digunakan kaum hawa meskipun sudah menutupi seluruh tubuhnya. Karena yang demikian itu masih bisa melihat sekelilingnya.[18] Makna hijab yang demikian lebih mengena daripada dimaknai hanya sekedar pakain yang menutup seluruh tubuh.

Definisi hijab yang dikemukakan oleh al-Ghaffar sesuai dengan apa yang tertulis dalam kamus. Ia menambahi bahwa hijab tidak disyaratkan harus seperti ‘aba’ah (yang terbuat dari kain wol) yang berlaku di Irak.[19] Jika hijab dimaknai demikian maka berimplikasi pada penerapan hijab yakni hijab lebih

dari sekedar penghalang antara dua sisi. Maksudnya adalah hijab merupakan penghalang yang bisa menghalangi penglihatan kaum laki-laki terhadap perempuan atau sebaliknya. Karena tanpa adanya hijab maka sukar untuk mengendalikan luapan nafsu syahwat yang merupakan naluri yang sangat kuat dan dominan. Sedangkan manusia terkadang akan goyah dan berubah.[20]

Ada istilah lain yang sering disamakan dengan hijab yakni jilbab. Al-Qur’an juga pernah menyebut kata jilbab ini namun dalam bentuk jamaknya.[21] Kata jilbab diambil dari jalaba yang artinya menutup sesuatu dengan sesuatu yang lain agar tidak terlihat. Kata jilbab juga ada yang mengatakan bahwa ia berasal dari kata jalbu yang artinya menarik atau menghimpun.[22] Adapula yang mengartikan jilbab sebagai gaun longgar yang menutupi sekujur tubuh perempuan.[23]

Menurut Ahmad Suhendra dalam jurnalnya diantara kedua istilah yang tepat untuk mempresentasikan pakaian yang digunakan kaum hawa baik menutupi sebagian kepala sampai seluruh badannya atau hanya sebagian adalah jilbab. Istilah jilbab menurut bahasa menjadi kurang tepat jika dikaitkan dengan pakaian yang digunakan perempuan untuk menutupi kepalanya. Menurutnya, istilah yang lebih tepat untuk pakaian perempuan yang digunakan untuk menutupi kepala adalah khimar.[24]

 

Ada pendapat yang mengatakan bahwa jilbab mirip dengan rida’ (sorban). Menurut istilah, jilbab adalah pakaian dalam (gamis) atau pakaian yang melapisi pakaian perempuan bagian luar sehingga bisa menutupi semua tubuhnya seperti mantel. Paling tidak, pakaian tersebut bisa menutupi bagian kepala, dada dan bagian belakang tubuh perempuan.[25]

Li Partic dalam bukunya mengatakan bahwa jilbab dan kerudung sebenarnya berbeda. Jilbab adalah kain yang menutupi seluruh tubuh dari kepala hingga ujung kaki. Adapun kerudung adalah penutup kepala, leher dan dada.[26] Kerudung dalam KBBI dijelaskan bahwa ia adalah kain penutup kepala (muka), cadar.[27]

Ada lagi yang menggunakan kata khimar (kerudung, istilah orang Indoensia). Istilah khimar ini lebih pas jika dimaknai dengan penutup kepala. Khimar merupakan istilah umum untuk pakaian penutup kepala dan leher. Adapula yang memaknai dengan qina’ yakni penutup muka atau kerudung lebar.[28]

b.    Sejarah hijab

Peradaban Yunani dan Romawi telah menunjukkan bahwa perempuan pada awalnya menggunakan tudung atau jilbab. Perempuan pada masa itu, perempuan telah memperhatikannya dengan ketat sampai mereka menutupi seluruh tubuhnya bahkan, mereka hanya akan keluar rumah dengan menggunakan jilbab. Selain itu, ia menggunakan selendang panjang yang menjulur hingga menutupi tubuhnya dari kepala hingga ujung kaki dan mereka juga memakai ‘aba’ah (yang terbuat dari wol) sehingga tidak memudahkan orang lain untuk melihat lekak tubuhnya.

Tradisi menggunakan jilbab yang terjadi pada masa Yunani dan Romawi telah berlangsung lama sebelum Islam datang. Jilbab banyak ditemukan pada bangsa kuno yang lebih melekat pada orang Persia. Jadi sebelum Islam datang ke tanah Arab, jilbab sudah digunakan oleh bangsa kuno. Telah terjadi di beberapa daerah bahwa perempuan di tempat tersebut menggunakan jilbab secara ketat sampai menutup wajah mereka.  

Murthada Muthahari menjelaskan bahwa jilbab merupakan tradisi orang Yunani dan Romawi beratus-ratus tahun sebelum datangnya Islam. Jilbab juga telah ada di kalangan banyak bangsa kuno sebelum Islam datang, dan lebih melekat pada orang-orang Persia (Sassan Iran) dibandingkan di tempat lain. Dengan demikian, budaya berpakaian dengan jilbab sudah ada jauh sebelum Islam datang ke tanah Arab. Bahkan, di beberapa tempat perempuan setempat menggunakan Jilbab secara ketat sampai dengan menutup muka mereka. Menurut Murtadha Muthahhari, selama zaman Jahiliyyah, di kalangan orang-orang Arab Badui tidak ada jilbab karena pada saat itu keadaan aman. Pada saat yang sama keadaan tak aman dan penyerangan terhadap para perempuan besar di Iran, sehingga para perempuan menutup diri mereka. Adapun penyerangan seperti ini tidak ada pada suku-suku di Negeri Arab. Karakter kesukuan sangat melindungi perempuan.

5.    Sharh}

Ibnu Qutaibah dalam kitabnya mengomentari hadis di atas dengan salah satu firman Allah SWT surat an-Nur ayat 31:

وَقُلْ لِلْمُؤْمِنَاتِ يَغْضُضْنَ مِنْ أَبْصَارِهِنَّ وَيَحْفَظْنَ فُرُوجَهُنَّ وَلَا يُبْدِينَ زِينَتَهُنَّ إِلَّا مَا ظَهَرَ مِنْهَا وَلْيَضْرِبْنَ بِخُمُرِهِنَّ عَلَى جُيُوبِهِنَّ وَلَا يُبْدِينَ زِينَتَهُنَّ إِلَّا لِبُعُولَتِهِنَّ أَوْ آبَائِهِنَّ أَوْ آبَاءِ بُعُولَتِهِنَّ أَوْ أَبْنَائِهِنَّ أَوْ أَبْنَاءِ بُعُولَتِهِنَّ أَوْ إِخْوَانِهِنَّ أَوْ بَنِي إِخْوَانِهِنَّ أَوْ بَنِي أَخَوَاتِهِنَّ أَوْ نِسَائِهِنَّ أَوْ مَا مَلَكَتْ أَيْمَانُهُنَّ أَوِ التَّابِعِينَ غَيْرِ أُولِي الْإِرْبَةِ مِنَ الرِّجَالِ أَوِ الطِّفْلِ الَّذِينَ لَمْ يَظْهَرُوا عَلَى عَوْرَاتِ النِّسَاءِ وَلَا يَضْرِبْنَ بِأَرْجُلِهِنَّ لِيُعْلَمَ مَا يُخْفِينَ مِنْ زِينَتِهِنَّ وَتُوبُوا إِلَى اللَّهِ جَمِيعًا أَيُّهَ الْمُؤْمِنُونَ لَعَلَّكُمْ تُفْلِحُونَ (31)

Katakanlah kepada wanita yang beriman: "Hendaklah mereka menahan pandangannya, dan kemaluannya, dan janganlah mereka menampakkan perhiasannya, kecuali yang (biasa) nampak dari padanya. Dan hendaklah mereka menutupkan kain kudung kedadanya, dan janganlah menampakkan perhiasannya kecuali kepada suami mereka, atau ayah mereka, atau ayah suami mereka, atau putera-putera mereka, atau putera-putera suami mereka, atau saudara-saudara laki-laki mereka, atau putera-putera saudara lelaki mereka, atau putera-putera saudara perempuan mereka, atau wanita-wanita islam, atau budak-budak yang mereka miliki, atau pelayan-pelayan laki-laki yang tidak mempunyai keinginan (terhadap wanita) atau anak-anak yang belum mengerti tentang aurat wanita. Dan janganlah mereka memukulkan kakinyua agar diketahui perhiasan yang mereka sembunyikan. Dan bertaubatlah kamu sekalian kepada Allah, hai orang-orang yang beriman supaya kamu beruntung.

 

Menurutnya, yang dimaksud dengan kata “janganlah menampakkan perhiasan” adalah celak dan cincin. Sedangkan Abu Muh}ammad mengomentari bahwa Allah SWT telah memerintahkan kepada istri-istri Rasulullah untuk berhijab seperti yang tertera dalam surat al-Ahzab ayat 53:

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا لَا تَدْخُلُوا بُيُوتَ النَّبِيِّ إِلَّا أَنْ يُؤْذَنَ لَكُمْ إِلَى طَعَامٍ غَيْرَ نَاظِرِينَ إِنَاهُ وَلَكِنْ إِذَا دُعِيتُمْ فَادْخُلُوا فَإِذَا طَعِمْتُمْ فَانْتَشِرُوا وَلَا مُسْتَأْنِسِينَ لِحَدِيثٍ إِنَّ ذَلِكُمْ كَانَ يُؤْذِي النَّبِيَّ فَيَسْتَحْيِي مِنْكُمْ وَاللَّهُ لَا يَسْتَحْيِي مِنَ الْحَقِّ وَإِذَا سَأَلْتُمُوهُنَّ مَتَاعًا فَاسْأَلُوهُنَّ مِنْ وَرَاءِ حِجَابٍ ذَلِكُمْ أَطْهَرُ لِقُلُوبِكُمْ وَقُلُوبِهِنَّ وَمَا كَانَ لَكُمْ أَنْ تُؤْذُوا رَسُولَ اللَّهِ وَلَا أَنْ تَنْكِحُوا أَزْوَاجَهُ مِنْ بَعْدِهِ أَبَدًا إِنَّ ذَلِكُمْ كَانَ عِنْدَ اللَّهِ عَظِيمًا (53)

Keharusan menggunakan hijab ini berlaku baik yang masuk adalah laki-laki yang buta maupun tidak maka istri Rasulullah tetap harus dihalangi dengan hijab karena mereka ma‘s}um. Hal ini khusus bagi istri Nabi seperti halnya diharamkan menikah dengan seluruh muslim. Jika mereka para istri Nabi ingin melaksanakan hajat maka tidak diwajibkan menggunakan hijab.[29]

Muh}ammad Ashraf ibn Amir dalam kitabnya ‘Aun al-Ma‘bud ketika men-sharah} hadis di atas berpendapat bahwa hadis ini menunjukkan bahwa perempuan haram melihat laki-laki seperti halnya laki-laki diharamkan melihat perempuan. Menurutnya keharamannya ini karena khawatir timbulnya fitnah karena perempuan lebih cepat mengundang syahwat daripada kaum laki-laki.

Ada hadis dari Aisyah yang bisa dijadikan hujjah bahwa perempuan boleh melihat laki-laki selain sesuatu yang ada diantara pusar dan lutut yaitu, hadis dibawah ini:

5236 - حَدَّثَنَا إِسْحَاقُ بْنُ إِبْرَاهِيمَ الحَنْظَلِيُّ، عَنْ عِيسَى، عَنِ الأَوْزَاعِيِّ، عَنِ الزُّهْرِيِّ، عَنْ عُرْوَةَ، عَنْ عَائِشَةَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهَا، قَالَتْ: «رَأَيْتُ النَّبِيَّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَسْتُرُنِي بِرِدَائِهِ، وَأَنَا أَنْظُرُ إِلَى الحَبَشَةِ يَلْعَبُونَ فِي المَسْجِدِ، حَتَّى أَكُونَ أَنَا الَّتِي أَسْأَمُ» ، فَاقْدُرُوا قَدْرَ الجَارِيَةِ الحَدِيثَةِ السِّنِّ، الحَرِيصَةِ عَلَى اللَّهْوِ. متفق عليه

Hadis ini menunjukkan bahwa perempuan diperbolehkan melihat laki-laki dengan syarat adanya penghalang (satir). Selain hadis Aisyah, adapula hadis riwayat Fat}imah binti Qais yang diriwayatkan oleh al-Bukhari dan Muslim bahwa ia diperbolehkan tinggal bersama Ibnu Ummi Maktum ketika masa iddah.[30]

Al-Mubarakfuri berkomentar tentang hadis ini bahwa ada yang berpendapat haram mutlak. Sebagian yang lain mengharamkan pada saat-saat tertentu untuk menghindar dari fitnah. Pendapat kedua ini berdasarkan hadis riwayat Aisyah saat melihat al-Habasyah sedang bermain di masjid. Menurut qaul yang as}ah}h} perempuan diperbolehkan memandang laki-laki sebatas apa yang di atas pusar dan dibawah lutut dengan tanpa syahwat. Lagi pula para istri Rasul juga melakukan salat berjamaah ke masjid. Hal ini pasti mereka bisa melihat kaum pria. Seandainya tidak boleh melihatnya, maka pasti mereka tidak diperintahkan untuk ikut salat di masjid.[31]

Penjelasan di atas ini sama dengan pendapat Ibnu Qudamah bahwa hadis tersebut menunjukkan bahwa perempuan haram memandang kaum laki-laki yakni harus dengan adanya hijab.[32]

Hadis yang diriwayatkan Qutaibah dianggap berlawanan dengan hadis riwayat berikut:

2284 - حَدَّثَنَا الْقَعْنَبِيُّ، عَنْ مَالِكٍ، عَنْ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ يَزِيدَ مَوْلَى الْأَسْوَدِ بْنِ سُفْيَانَ، عَنْ أَبِي سَلَمَةَ بْنِ عَبْدِ الرَّحْمَنِ، عَنْ فَاطِمَةَ بِنْتِ قَيْسٍ، أَنَّ أَبَا عَمْرِو بْنَ حَفْصٍ طَلَّقَهَا الْبَتَّةَ وَهُوَ غَائِبٌ، فَأَرْسَلَ إِلَيْهَا وَكِيلَهُ بِشَعِيرٍ فَتَسَخَّطَتْهُ [ص:286]، فَقَالَ: وَاللَّهِ مَا لَكِ عَلَيْنَا مِنْ شَيْءٍ، فَجَاءَتْ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَذَكَرَتْ ذَلِكَ لَهُ، فَقَالَ: «لَهَا لَيْسَ لَكِ عَلَيْهِ نَفَقَةٌ» ، وَأَمَرَهَا أَنْ تَعْتَدَّ فِي بَيْتِ أُمِّ شَرِيكٍ، ثُمَّ قَالَ: «إِنَّ تِلْكَ امْرَأَةٌ يَغْشَاهَا أَصْحَابِي، اعْتَدِّي فِي بَيْتِ ابْنِ أُمِّ مَكْتُومٍ، فَإِنَّهُ رَجُلٌ أَعْمَى، تَضَعِينَ ثِيَابَكِ، وَإِذَا حَلَلْتِ فَآذِنِينِي» ، قَالَتْ: فَلَمَّا حَلَلْتُ ذَكَرْتُ لَهُ أَنَّ مُعَاوِيَةَ بْنَ أَبِي سُفْيَانَ، وَأَبَا جَهْمٍ خَطَبَانِي، فَقَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: «أَمَّا أَبُو جَهْمٍ فَلَا يَضَعُ عَصَاهُ عَنْ عَاتِقِهِ، وَأَمَّا مُعَاوِيَةُ فَصُعْلُوكٌ لَا مَالَ لَهُ، انْكِحِي أُسَامَةَ بْنَ زَيْدٍ» ، قَالَتْ: فَكَرِهْتُهُ، ثُمَّ قَالَ: «انْكِحِي أُسَامَةَ بْنَ زَيْدٍ» ، فَنَكَحْتُهُ، فَجَعَلَ اللَّهُ تَعَالَى فِيهِ خَيْرًا كَثِيرًا، وَاغْتَبَطْتُ بِهِ،[33]

Oleh karenanya, imam Abu Daud maupun penjelasan yang ada dalam syarah yang telah penulis sebutkan di atas mentakhsis hadis ini. Jadi hadis pertama yang diriwayatkan dari Nubhan dari Ummi Salamah merupakan hukum yang khusus bagi istri Nabi. Sedangkan hadis yang diriwayatkan oleh Fat}imah binti Qais berlaku untuk seluruh muslimat selain istri Rasul.[34]

Hadis yang pertama merupakan hadis mufrad karena Nubhan hanya meriwayatkan hadis dari Ummu Salamah dan dia hanya meriwayatkan dua hadis yakni hadis yang pertama dan hadis di bawah ini:

3928 - حَدَّثَنَا مُسَدَّدُ بْنُ مُسَرْهَدٍ، حَدَّثَنَا سُفْيَانُ، عَنِ الزُّهْرِيِّ، عَنْ نَبْهَانَ، مُكَاتَبِ أُمِّ سَلَمَةَ قَالَ: سَمِعْتُ أُمَّ سَلَمَةَ، تَقُولُ: قَالَ لَنَا رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: «إِنْ كَانَ لِإِحْدَاكُنَّ مُكَاتَبٌ، فَكَانَ عِنْدَهُ مَا يُؤَدِّي فَلْتَحْتَجِبْ مِنْهُ»

Kendati demikian, riwayat budak dari Ummu Salamah ini masih bisa diterima karena ia tidak memiliki cacat yang jelek yang bisa merusak periwayatan. Selain itu, salahsatu dari perawi hadis mufrad ini ada yang bernama Yunus ibn Yazid yang oleh sebagian ulama kritikus dianggap s}aduq. Oleh Ahmad ibn Hanbal dia dikomentari kathir al-khat}a’ kadang-kadang ia thiqah. Sedangkan Ibnu Hajar al-‘Asqalani mengomentarinya dengan thiqah jika ia meriwatkannya dari Ibnu Shihab al-Zuhri dan itu sangat sedikit sekali. Secara garis besar, walaupun sendiri dalam sanad, hadis ini masih bisa diterima. Hanya saja, hadis ini tidak sejalan dengan hadis riwayat Fatimah yang diriwayatkan oleh rawi yang bersifat thiqah semua. Maka lebih mengutamakan hadis Fatimah daripada hadis Ummu Salamah.

Walau demikian menurut hemat penulis, kedua hadis ini memiki kualitas sahih tetapi ada yang lebih unggul dalam segi sanad. Konteksnya sama-sama berbicara tentang Ibnu Ummi Maktum hanya saja objeknya berbeda. Yang pertama berbicara tentang istri Rasul yang memiliki keistimewaan tersendiri yang kedua adalah sahabat Fatimah. Jadi penulis lebih sepakat jika kedua hadis ini ditakhsis.

 

 

C.  Kesimpulan

1.      Hadis di atas sebenarnya tidaklah bertentangan dengan hadis yang lain yakni hadis dari Fatimah bint Qais karena diantara keduanya terdapat kekhususan tersediri. Jadi hadis yang pertama ini dikhususkan kepada istri Rasul saja. Mengingat mereka Ummul Mukminin sangatlah istimewa maka perlakuan tersebut salahsatu dari bentuk penghormatan baginya.

2.      Terkait kualtas hadis, hadis yang pertama meskipun bisa dikatakan sahih hanya saja Nubhan adalah operawi yang hanya meriwayatkan dua hadis saja namun hadisnya masih bisa doterima.


DAFTAR PUSTAKA

Abadi, Muh}ammad ibn Ashraf ibn Amir. ‘Aun al-Ma‘bud. juz. 11. Beirut: Dar al-Kutub al-‘Ilmiyah, 1415 H.

Ghaffar (al),  A.  A  H. Wanita  Islam  &  Gaya  Hidup Modern, terj.  Bahrudin  Fanani,  Bandung:  Pustaka Hidayah, 1995.

Ibrahim, F. L. Perempuan dan Jilbab. T.t: PT Mapan, 2009

Mizi (al), Yusuf ibn ‘Abd al-Rah}man. Tahdhib al-Kamal fi Asma’ al-Rijal. juz. 35. Beirut: Mu’assasah al-Risalah, 1980.

Mubarakfuri (al), Abu al-‘Ala’ Muh}ammad ‘Abd al-Rah}man ibn ‘Abd al-Rah}im. Tuh}fat al-Ah}wadhi. juz. 8. Beirut: Dar al-Kutub al-‘Ilmiyah, t.th.

Naisaburi (al), Muslim ibn al-H}ajjaj. S}ah}ih} Muslim. juz. 2. Beirut: Dat Ih}ya’ al-Turath al-‘Arabi, t.th.

Partic, Li. Jilbab Bukan Jilboob. Jakarta: Kalil, 2014.

Qutaibah, Abu Muh}ammad ‘Abd Allah ibn Muslim ibn. Ta’wil Mukhtalif al-H}adith. t.t: al-Maktabah al-Islami, 1999.

Qudamah, Abu Muh}ammad Muqif al-Din Ibn. al-Mughni li ibn Qudamah. juz. 7. Kairo: Maktabah al-Qahirah, 1968.

Sijistani (al), Abu Daud Aulaiman ibn al-Ash‘ath. Sunan Abi Daud. juz. 4. Beirut: al-Maktabah al-‘As}riyah, t.th.

Suhendra, Ahmad. Kontestasi Identitas Melalui Pergeseran Interpretasi Hijab dalam Al Qur’an, Palastren, vol. 6, No. 1, Juni 2013.

Shahab, H., Jilbab Menurut al-Qur’an dan as-Sunnah. Bandung: Mizan, 2004.

Shaibani (al), Abu ‘Abd Allah Ah}mad ibn Muh}ammad ibn H}anbal. Musnad al-Imam Ah}mad ibn H}anbal. juz. 44. Beirut: mu’assasah al-Risalah, 2001.

Suyut}i (al), Jalal al-Din. Jami‘ al-Ah}adith. juz. 5. tt: t.p, t.th.

Syuqqah, A. H. M. A., Busana dan Perhiasan Wanita menurut al-Qur’an  dan  Hadis,  terj.  Mudzakir  Abdussalam. Bandung: Mizan, 1998.

Tirmidhi (al), Muh}ammad ibn ‘Isa ibn Saurah ibn al-D}ah}h}ak. Sunan al-Tirmidhi. Juz. 5. Mesir: Shirkah Maktabah wa Mat}ba‘ah Mus}t}fa al-Babi al-H}albi, 1975.

Wensink, A. J. al-Mu‘jam al-Mufahras li Alfaz} al-H}adith al-Nabawi. juz. 4. Leiden: Maktabah Bribl, 1936.

Tim Penyusun Kamus Pusat Bahasa. Kamus Bahasa Indonesia. Jakarta: Pusat Bahasa, 2008.


[1] Abu Muhammad ‘Abd Allah ibn Muslim ibn Qutaibah, Ta’wil Mukhtalif al-Hadith (t.t: al-Maktabah al-Islami, 1999), 328.

[2] A. J Wensink, al-Mu‘jam al-Mufahras li Alfaz al-Hadith al-Nabawi, juz. 4 (Leiden: Maktabah Bribl, 1936), 389.

[3] Jalal al-Din al-Suyuti, Jami‘ al-Ahadith, juz. 5 (tt: t.p, t.th), 267.

[4] Abu Daud Aulaiman ibn al-Ash‘ath al-Sijistani, Sunan Abi Daud, juz. 4 (Beirut: al-Maktabah al-‘Asriyah, t.th), 63.

[5] Muhammad ibn ‘Isa ibn Saurah ibn al-Dahhak al-Tirmidhi, Sunan al-Tirmidhi, Juz. 5 (Mesir: Shirkah Maktabah wa Matba‘ah Mustfa al-Babi al-Halbi, 1975), 102.

[6] Abu ‘Abd Allah Ahmad ibn Muhammad ibn Hanbal al-Shaibani, Musnad al-Imam Ahmad ibn Hanbal, juz. 44 (Beirut: mu’assasah al-Risalah, 2001), 159.

[7] Yusuf ibn ‘Abd al-Rahman al-Mizi, Tahdhib al-Kamal fi Asma’ al-Rijal, juz. 35 (Beirut: Mu’assasah al-Risalah, 1980), 317.

[8] Ibid, juz. 29, 311.

[9] Ibid, Juz 26, 419.

[10] Ibid, juz. 32, 551.

[11] Ibid, juz. 16, 5.

[12] Ibid, juz. 12, 272.

[13] Ibid, juz. 17, 430.

[14] Ibid, juz. 26, 243.

[15] A.  A  H. al-Ghaffar, Wanita  Islam  &  Gaya  Hidup Modern, terj.  Bahrudin  Fanani (Bandung:  Pustaka Hidayah, 1995), 35.

[16] H. Shahab, Jilbab Menurut al-Qur’an dan as-Sunnah (Bandung: Mizan, 2004), 18-19.

[17] Tim Penyusun Kamus Pusat Bahasa, Kamus Bahasa Indonesia (Jakarta: Pusat Bahasa, 2008), 522.

[18] A. H. M. A. Syuqqah, Busana dan Perhiasan Wanita menurut al-Qur’an  dan  Hadis,  terj.  Mudzakir  Abdussalam (Bandung: Mizan, 1998), 16.

[19] al-Ghaffar, Wanita  Islam …, 35-36.

[20] Shahab, H., Jilbab Menurut al-Qur’an dan as-Sunnah (Bandung: Mizan, 2004), 18-19.

[21] Lihat al-Qur’an surah al-Ahzab; 59.

[22] Ibrahim, 6-7.

[23] Ibid, 3

[24] Ahmad Suhendra, Kontestasi Identitas Melalui Pergeseran Interpretasi Hijab dalam Al Qur’an, Palastren, vol. 6, No. 1, Juni 2013, 4-5

[25] F. L. Ibrahim Perempuan dan Jilbab (T.t: PT Mapan, 2009), 7.

[26] Li Partic, Jilbab Bukan Jilboob (Jakarta: Kalil, 2014), 2.

[27] Kbbi, 708

[29] Qutaibah, Ta’wil Mukhtalif..., 328-329.

[30] Muhammad ibn Ashraf ibn Amir Abadi, ‘Aun al-Ma‘bud, juz. 11 (Beirut: Dar al-Kutub al-‘Ilmiyah, 1415 H), 114.

[31] Abu al-‘Ala’ Muhammad ‘Abd al-Rahman ibn ‘Abd al-Rahim al-Mubarakfuri, Tuhfat al-Ahwadhi, juz. 8 (Beirut: Dar al-Kutub al-‘Ilmiyah, t.th), 52.

[32] Abu Muhammad Muqif al-Din Ibn Qudamah, al-Mughni li ibn Qudamah, juz. 7 (Kairo: Maktabah al-Qahirah, 1968), 106.

[33] al-Sijistani, Sunan Abi Daud, juz. 2, 285. Lihat pula Muslim ibn al-Hajjaj al-Naisaburi, Sahih Muslim, juz. 2 (Beirut: Dat Ihya’ al-Turath al-‘Arabi, t.th), 1114.

[34] Qudamah, al-Mughni li ibn Qudamah,,,. 106.

MAKALAH HADIST TENTANG HIJAB

  A.   Latar Belakang Telah disepakati oleh seluruh umat Islam bahwa al-Qur’an menjadi pedoman hidup baik tentang syariah maupun dalam keh...