HOME

30 Maret, 2022

Pembentukan Negara Madinah

 

Setelah Nabi hijrah ke Yathrib, kota tersebut dijadikan pusat jamaah kaum muslimin, dan selanjutnya diubah namanya menjadi kota Madinah. Di kota ini, keadaan Nabi dan umat muslim mengalami perubahan besar, dari kaum yang tertindas menjadi kaum yang mempunyai kedudukan yang baik dan kuat serta mandiri. Nabi sendiri menjadi kepala masyarakat yang baru dibentuk itu, sampai kekuasaanya meliputi seluruh Semenanjung Arabia di akhir hayatnya. Dengan kata lain, otoritas Muhammad di Madinah bukan hanya sebagai Rasul saja tetapi sebagai kepala Negara.

Mengingat kondisi masyarakat Madinah yang menyambut baik dakwah Nabi, maka cara Nabi dakwah pun diarahkan dalam rangka menciptakan dan membina suatu masyarakat Islam, karena jumlah umat Islam sudah banyak. Rasulullah kemudian meletakkan dasar-dasar kehidupan bermasyarakat sebagai berikut:

1.    Membangun Masjid Nabawy.

Selain sebagai sarana shalat, Masjid Nabawy berperan penting sebagai tempat untuk mempersatukan kaum muslimin dan mempertalikan jiwa mereka, di samping sebagai tempat bermusyawarah merundingkan masalah-masalah yang dihadapi. Masjid Nabawy juga berfungsi sebagai pusat pemerintah Islam.

Masjid itu merupakan sebuah ruangan terbuka yang luas, keempat temboknya dibuat dari batu bata dan tanah. Atapnya sebagian terdiri dari daun kurma dan yang sebagian lagi dibiarkan terbuka, dengan salah satu bagian lagi digunakan tempat kaum fakir miskin yang tidak punya tempat tinggal. Tak ada penerangan dalam masjid itu pada malam hari. Hanya pada waktu shalat isya’ diadakan penerangan dengan mebakar jerami. Yang demikian ini berjalan selama Sembilan tahun. Sesudah itu kemudian baru mempergunakan lampu-lampu yang dipasang pada batang-batang kurma yang dijadikan penopong atap itu. Sebenarnya tempat tinggal nabi sendiri tidak lebih mewah keadaannya dari pada masjid, meskipun memang sudah sepatutnya lebih tertutup.[1]


2.    Mendamaikan suku Aus dah suku Khazraj.

Sebelum Islam datang suku Aus dan Khazraj selalu terjadi perselisihan dan bersitegang bahkan tidak jarang terjadinya pertumpahan darah, hal ini dipicu oleh adanya pihak ketiga, yakni Yahudi. Kedatangan Rasulullah SAW memberikan dampak yang sangat positif pada kedua suku tersebut. Kedua suku tersebut banyak yang memeluk agama Islam, sehingga semuanya telah terikat dalam tali keimanan. Walaupun sama sekali tidak bisa meninggalkan sisi fanatisme kesukuan namun telah tertanam dalam jiwa mereka bahwa semua manusia dalam pandangan Islam sama. Yang membedakan derajat manusia disisi Allah hanyalah ketakwaanya.

 

3.    Ukhuwah Islamiyah.

Sekarang ia bermusyawarah dengan kedua wazirnya itu, Abu Bakar dan Umar. Dengan sendirinya yang menjadi pokok pikirannya yang mula-mula adalah menyusun barisan Muslimin serta mempererat persatuan mereka guna menghilangkan segala bayangan yang akan membangkitkan api permusuhan lama di kalangan mereka sendiri. Untuk mencapai tujuan ini ia mempersaudarakan muslimin masin-masing dua orang, demi Allah. Dia sendiri bersaudara dengan Ali bin Abi T{alib, Hamzah pamannya bersaudara dengan Zaid bekas budaknya, Abu Bakar bersaudara dengan Kharijah bin Zaid, Umar bin al-Khattab dipersaudarakan dengan Itban bin Malik al-Khazraji. Demikian juga setiap orang dari kalangan muhajirin yang sekarang sudah banyak jumlahnya di Yathrib (sesudah mereka yang tadinya masih tinggal di mekah menyusul ke maadinah setelah Rasul hijrah) dipersaudarakan dengan setiap orang dari pihak Ansar, yang oleh Rasulullah lalu dijadikan hukum saudara sedarah senasab. Dengan persaudaraan demikian, persaudaraan muslimin bertambah kukuh adanya.[2]

Nabi berusaha mempersaudarakan antara kaum Muhajirin dengan kaum Ansar, dengan demikian diharapkan setiap muslimin merasa terikat dalam satu persaudaraan dan kekeluargaan. Dan inilah bentuk baru ikatan persaudaraan, yakni tidak berdasarkan pada ikatan darah melainkan atas dasar agama.


4.    Mendeklarasikan Piagam Madinah.

Umat Islam yang hidup bebas dan merdeka di Madinah di bawah kepemimpinan Rasulullah bukanlah satu-satunya komunitas yang hidup di kota ini. Ada banyak komunitas lain yang terdiri dari Yahudi  dan sisa-sisa suku Arab yang belum mau menerima Islam dan masih memuja berhala.[3] dan Nabi juga mempersatukan antara golongan Yahudi dari Bani Qainuqa’, Bani Nadir dan Bani Quraizah.

Mengingat hal itu, Nabi kemudian menawarkan deklarasi kepada kedua golongan ini guna menciptakan stabilitas keamanan dalam masyarakat Madinah. Deklarasi yang kemudian dikenal dengan nama Piagam Madinah ini didasarkan pada prinsip al-adalat al-insaniyah (keadilan dan kemanusiaan), al-shura, al-wahdah al-islamiyah, dan al-ukhuwah al-islamiyah.

Rasululah menawarkan sebuah perjanjian yang isinya merupakan kesepakatan untuk saling memberikan kebebasan menjalankan agama, memutar kekayaan, tidak boleh saling menyerang, dan memusuhi. Setelah dikukuhkan di kalangan kaum Muslimin, lalu disodorkan kepada kaum yahudi. Berikut ini adalah butir-butir perjanjian tersebut:

1.    Orang-orang yahudi dari bani ‘Auf adalah satu umat dengan kaum mukminin. Orang Yahudi dengan agamanya dan orang-mukmin dengan agamanya sendiri. Termasuk pengikut-pengikut mereka serta diri mereka sendiri. Hal ini juga berlaku bagi kelompok Yahudi di luar bani ‘Auf.

2.    Tanggungan nafkah dibebankan kepada masing-masing. Orang-orang Yahudi menanggung beban nafkahnya, demikian juga orang-orang mukmin.

3.    Mereka harus bersatu memerangi siapa saja yang hendak membatalkan perjanjian ini.

4.    Mereka harus saling menasehati, berbuat kebaikan dan tidak boleh berbuat jahat.

5.    Tidak boleh menyakiti dan berbuat jahat terhadap orang yang sudah terikat dengan perjanjian ini.

6.    Harus menolong orang yang dizalimi

7.    Orang-orang Yahudi harus beriringan bersama kaum mukminin selagi mereka dalam kondisi berperang.

8.    Yasrib menjadi kota suci bagi setiap orang yang terikat dengan perjanjian ini.

9.    Jika ada perselisihan antara orang-orang yang terikat dengan perjanjian ini sehingga khawatir mengarah pada kerusakan, maka harus dikembalikan kepada Allah dan Muhammad Rasul-Nya.

10.    Orang-orang Quraish tidak memperoleh pertolongan dan perlindungan

11.    Mereka harus bersatu melawan pihak yang hendak menyerang Yasrib.

12.    Perjanjian ini tidak boleh dilanggar.[4]

Dengan disepakati perjanjian ini. Kota Madinah dan sekitarnya seakanakan menjadi sebuah negara yang makmur yang menjadi presidennya adalah Rasulullah saw. Jalannya pemerintahan didomonasi oleh peran kaum muslim sehingga dengan begitu kota Madinah menjadi ibu kota bagi Islam.[5]


5.    Meletakkan  Dasar-Dasar Politik , Ekonomi, dan Sosial.

Ketika masyarakat islam terbentuk maka diperlukan dasar-dasar yang kuat bagi masyarakat  yang baru tersebut. Oleh  karena itu ayat-ayat Alquran  yang diturunkan saat di Madinah ditujukan kepada pembinaan hukum. Ayat-ayat tersebut dijelaskan oleh Rasulullah,baik lisan maupun tulisan. Sehingga jadilah dua pedoman umat Islam al-Quran dan hadis. Dari dua sumber hukum islam tersebut didapat suatu sistem untuk bidang politik, yaitu sistem musyawarah. Dan untuk bidang ekonomi dititikberatkan pada jaminan keadilan sosial, serta  dalam bidang kemasyarakatan, diletakkan pula dasar-dasar persamaan derajat antara masyarakat atau manusia, dengan penekanan bahwa yang menentukan derajat manusia adalah ketakwaan.

BACA ARTIKEL LAINNYA YANG BERKAITAN


[1] Muhamad Husain Haekal, Sejarah Hidup Muhammad (Bogor: Litera Antar Nusa2011), 196.

[2] Ibid., 200.

[3]  Badri Yatim, Sejarah Peradaban Islam, 26.

[4] Hisam, Abi Muhammad Abd al-Malik ibn. al-Sirah al-Nabawi (Bairut: Dar Ibn Hazm, 2009), 232.

[5] Safi al-Rahman al-Mubarakfuri, al-Rahiq al-Makhtum (Kairo: Dar al-Wafa’, 2010), 181.

Perjuangan Dakwah Nabi Muhammad

 

Menjelang usianya yang keempat puluh, dia sudah terlalu biasa memisahkan diri dari kegalauan masyarakat, berkontemplasi ke gua Hira, beberapa kilometer di utara Mekkah. Di sana Muhammad mula-mula berjam-jam kemudian berhari-hari bertafakur. Pada tanggal 17 Ramadhan tahun 611 M. Malaikat Jibril muncul di hadapannya, menyampaikan wahyu Allah yang pertama: Bacalah dengan nama Tuhanmu yang telah mencipta. Dia telah menciptakan manusia dari segumpal dara. Bacalah, dan Tuhanm itu Maha Mulia, dia telah mengajar dengan Qalam. Dia telah mengajar manusia apa yang tidak mereka ketahui (QS. al-‘Alaq: 1-5). Dengan turunnya wahyu pertama itu, berarti Muhammad telah di pilih Tuhan sebagai Nabi. Dalam wahyu pertama ini, dia belum diperintahkan untuk menyeru manusia kepada suatu agama.[1]

Setelah wahyu pertama itu datang, Jibril tidak muncul lagi untuk beberapa lama, sementara Nabi Muhammad selalu menantikannya dan selalu datang ke gua Hira’. Dalam keadaan menanti itulah turun wahyu yang membawa perintah kepadanya. Wahyu itu berbunyi sebagai berikut: Hai orang yang berselimut, bangun dan beri ingatlah Hendaklah engka besarkan Tuhanmu dan bersihkanlah pakaianmu, tinggalkanlah perbuatan dosa dan janganlah engkau memberi (dengan maksud) memperoleh (balasan) yang lebih banyak dan untuk (memenuhi perintah) Tuhanmu bersabarlah  (QS. Al-Muddathtsir :1-7).[2]

Dengan turunnya perintah itu, mulailah Rasulullah berdakwah. Pertama-tama, beliau melakukannya secara diam-diam di lingkungan sendiri dan dikalangan rekan-rekannya. Karena itulah, orang yang pertama kali menerima dakwahnya adalah keluarga dan sahabat dekatnya. Mula-mula istrinya sendiri, Khadijah, kemudian saudara sepupunya Ali bin Abi T{alib yang baru berumur 10 tahun. Kemudian Abu Bakar, sahabat karibnya sejak kanak-kanak. Lalu Zaid, bekas budak yang telah menjadi anak angkatnya. Ummu Aiman, pengasuh Nabi sejak ibunya Aminah masih hidup, juga termasuk orang yang pertama masuk Islam. sebagai seorang pedagang yang berpengaruh, Abu Bakar berhasil mengislamkan beberapa orang dekatnya, seperti Uthman bin Affan, Zubair, Abdurrahman bin Auf, Sa’ad bin Abi Waqqas, dan T{alhah bin Ubaidillah. Mereka dibawa Abu Bakar langsung kepada Nabi dan masuk Islam di hadapan Nabi sendiri. Dengan dakwah diam-diam ini belasan orang telah memeluk agama Islam[3].

Langkah dakwah seterusnya yang diambil Nabi Muhammad adalah menyeru masyarakat umum. Nabi mulai menyeru segenap lapisan masyarakat kepada Islam dengan terang-terangan baik golongan bangsawan maupun hamba sahaya. Mula-mula ia menyeru penduduk Mekkah, kemudian penduduk negeri-negeri lain. Disamping itu, ia juga menyeru orang-orang yang datang ke Mekkah, dari berbagai negeri untuk mengerjakan haji. Kegiatan dakwah dijalakan tanpa mengenal lelah. Dengan usahanya yang gigih, hasil yang diharapkan mulai terlihat jumlah pengikut nabi yang tadinya hanya belasa orang, makin hari makin bertambah. Mereka terutama terdiri dari kaum wanita, budak, pekerja, dan orang-orang yang tak punya. Meskipun kebanyakan mereka adalah orang-orang yang lemah namun semangat mereka sungguh membaja.[4]

Setelah dakwah terang-terangan itu. Pemimpin Quraish mulai menghalangi dakwah Rasul. Semakin bertambahnya jumlah pengikut Nabi, semakin keras tantangan dilancarkan kaum Quraish. Menurut Ahmad Syalabi, ada lima faktor yang mendorong orang Quraish menentang seruan Islam itu[5](1) mereka tidak dapat membedakan antara kenabian dengan kekuasaan. Mereka mengira bahwa tunduk kepada seruan Muhammad berarti tunduk kepada kepemimpinan Bani Abdul Mutalib. Yang terakhir ini sangat tidak mereka inginkan. (2) Nabi Muhammad menyerukan persamaan hak antara bangsawan dengan hamba sahaya. Hal ini tidak disetujui oleh bangsawan Quraish. (3) Para pemimpin Quraish tidak dapat menerima ajaran tentang kebangkitan kembali dan pembalasan di akhirat. (4) Taqlid kepada nenek moyang adalah kebiasaan yang berurat berakaar pada bangsa Arab. (5) Pemahat dan penjual patung memandang Islam sebagai penghalang rezeki.[6]

Banyak cara yang ditempuh para pemimpin Quraish untuk mencegah dakwah Nabi Muhammad. Pertama-tama mereka mengira bahwa, kekuatan Nabi terletak pada perlindungan dan pembelaan Abu T{alib dan mengancam dengan mengatakan: “Kami minta Anda memilih satu di antara dua: memerintahkan Muhammad berhenti dari dakwahnya atau anda menyerahkannya kepada kami. Dengan demikian Anda akan terhindar dari kesulitan yang tidak di inginkan.” Tampaknya, Abu T{alib cukup terpengaruh dengan ancaman tersebut, sehingga ia mengharapkan Muhammad menghentikan dakwahnya. Namun, Nabi menolak dengan mengatakan: “Demi Allah saya tidak akan berhenti memperjuangkan amanat Allah ini, walaupun seluruh anggota keluarga dan sanak saudara akan mengucilkan saya.” Abu T{alib sangat terharu mendengar jawaban kemenakannya itu, kemudian berkata: “Teruskanlah, demi Allah aku akan terus membelamu”.[7]

Merasa gagal dengan cara ini, kaum Quraish kemudian mengutus Walid bin Mughirah dengan membawa Umarah bin Walid, seorang pemuda yang gagah dan tampan. Untuk mempertukarkan dengan Nabi Muhammad. Walid bin Mughirah berkata kepada Abu T{alib: “Ambillah dia menjadi anak saudara, tetapi serahkan Muhammad kepada kami untuk kami bunuh.” Usul ini langsung ditolak keras oleh Abu T{alib.[8]

Untuk kali berikutnya, mereka langsung kepada Nabi Muhammad. Mereka Mengutus Utbah bin Rabiah, Seorang ahli retorika, untuk membujuk nabi. Mereka menawarkan tahta, wanita, dan harta asal Nabi Muhammad bersedia menghentikan dakwahnya. Semua tawaran itu ditolak Muhammad dengan mengatakan: “Demi Allah, biar pun mereka meletakkan matahari di tangan kananku dan bulan ditangan kiriku, aku tidak akan berhenti melakukan ini, hingga agama ini menang atau aku binasa karenanya.”[9]

Setelah cara-cara diplomatik dan bujuk rayu dilakukan oleh kaum Quraish gagal, tindakan-tindakan kekerasan secara fisik yang sebelumnya sudah dilakukan semakin ditingkatkan. Tindakan kekesaras itu lebih intensif dilaksanakan setelah mereka mengetahui bahwa dilingkungan rumah tangga mereka sendiri sudah ada yang masuk Islam. Budak-budak yang selama ini mereka anggap sebagai harta, sekarang sudah ada yang masuk Islam dan mempunyai kepercayaan yang berbeda dengan tuan mereka. Budak-budak itu disiksa tuannya dengan sangat kejam. Para pemimpin Quraish juga mengharuskan setiap keluarga untuk menyiksa keluarganya yang masuk Islam sampai dia murtad kembali[10]

Kekejaman yang dilakukan oleh penduduk Mekkah terhadap kaum muslimin itu, mendorong Nabi untuk mengungsikan sahabat-sahabatnya ke luar Mekkah. Pada tahun lima kerasulannya, Nabi menetapkan Habshah (Ethiopia) sebagai negeri tempat pengungsian, karena Negus (Raja) negeri itu adalah seorang yang adil. Rombongan pertama sejumlah sepuluh orang pria dan empat orang wanita. Diantaranya Uthman bin Affan beserta Isrinya Rukayah puteri Rasulullah, Zubair bin Awwam dan Abdurrahman bin Auf. Kemudian, menyusul rombongan kedua sejumlah hampir seratus orang, dipimpin oleh Ja’far bin Abu Thalib. Usaha orang-orang Quraish untuk menghalangi hijrah ke Habasyah ini, termasuk membujuk Negus agar menolak kehadira umat Islam di sana, gagal. Disamping itu, semakin kejam mereka mempermalukan umat Islam, Semakin banyak orang yang masuk agama ini. Bahkan ditengah meningkatnya kekejaman itu, dua orang kuat Quraish masuk Islam, Hamzah dan Umar bin Khattab. Dengan masuk Islamnya dua tokoh besar ini posisi umat Islam semakin kuat.[11]

Menguatnya posisi umat Islam memperkeras reaksi kaum musyrik Quraish. Mereka menempuh cara baru dengan melumpuhkan kekuatan Muhammad yang bersandar pada perlindungan Bani Hashim. Dengan demikian, untuk melumpuhkan kaum Muslimin yang dipimpin oleh Muhammad mereka harus melumpuhkan Bani Hashim terlebih dahulu secara keseluruhan. Cara yang ditempuh adalah pemboikotan. Mereka memutuskan segala bentuk hubungan dengan suku ini. Tidak seorang penduduk Mekkah pun diperenankan melakukan hubungan jual beli dengan Bani Hashim. Persetujuan dibuat dalam bentuk piagam dan ditanda tangani bersama dan disimpan didalam Ka’bah. Akibat boikot tersebut Bani Hashim menderita kelaparan, kemiskinan, dan kesengsaraan yang tak ada bandingnya. Untuk meringankan penderitaa itu, Bani Hashim akhirnya pindah ke suatu lembah diluar kota Mekkah. Tindakan pemboikotan yang dimulai pada tahun ke-7 kenabian ini berlangsng selama tiga tahun. Ini merupakan tindakan paling menyiksa dan melemahkan umat Islam.[12]

Pemboikotan itu baru berhenti setelah beberapa pemimpin Quraish menyadari bahwa apa yang telah mereka lakukan sungguh suatu tindakan yang keterlaluan. Setelah boikot dihentikan, Bani Hashim seakan dapat bernapas kembali dan pulang kerumah masing-masing. Namun, tidak lama kemudian Abu T{alib, Paman Nabi yang merupakan pelindung utamanya, meninggal dunia dalam usia 87 tahun. Tiga hari setelah itu, Khadijah, Isteri Nabi, meninggal dunia pula. Peristiwa itu terjadi pada tahun kesepuluh kenabian. Tahun ini merupakan tahun kesedihan bagi Nabi Muhammad saw. Sepeninggal dua pendukung itu, kafir Quraish tidak segan-segan lagi melampiaskan nafsu amarahnya terhadap Nabi. Melihat reaksi penduduk Mekkah demikian rupa, Nabi kemudian berusaha menyebarkan Islam ke luar kota. Namun di T{aif ia diejek, disoraki, dan dilempari batu, bahkan sampai terluka dibagian kepala dan badannya.[13]

Untuk menghibur Nabi yang sedang ditimpa duka, Allah meng-isra’ dan me-mi’raj-kan beliau pada tahun ke-10 kenabian itu. Berita tentang isra’ mi’raj ini menggemparkan masyarakat Mekkah. Bagi orang kafir, ia dijadikan bahkan propaganda untuk mendustakan nabi. Sedangkan, bagi orang yang beriman, ia merupakan ujian keimanan[14]

Setelah peristiwa Isra’ Mi’raj, suatu perkembangan besar bagi kemajuan dakwah Islam muncul. Perkembangan datang dari sejumlah penduduk  Yathrib yang berhaji ke Mekkah. Mereka yang terdiri dari suku Aus dan Khazraj, masuk Islam dalam tiga gelombang, pertama, pada tahun kesepuluh kenabian beberapa orang Khazraj berkata kepada nabi: “Bangsa kami telah lama terlibat dalam permusuhan, yaitu antara suku Khazraj dan Aus. Mereka benar-benar merindukan perdamaian kiranya Tuhan mempersatukan mereka kembali dengan perantaraan engkau dan ajaran-ajaran yang engkau bawa. Oleh karena itu, Kami akan berdakwah agar mereka mengetahui agama yang kami terima dari engkau ini.” Mereka giat mendakwahkan Islam di Yathrib. Kedua, pada tahun kedua belas delegasi Yathrib, terdiri dari sepuluh suku Khazraj dan dua orang suku Aus serta seorang wanita menemui nabi di suatu tempat bernama Aqabah. Dihadapan nabi mereka menyatakan ikrar kesetiaan. Rombongan ini kemudian kembali ke Yathrib sebagai juru dakwah dengan ditemani oleh Mus’ab bin Umair yang sengaja di utus nabi atas permintaan mereka. Ikrar ini dinamakan perjanjian Aqabah yang pertama. Pada musim haji berikutnya, jamaah haji yang datang dari Yastrib berjumlah 73 orang. Atas nama penduduk Yathrib, mereka meminta pada Nabi agar berkenan pindah ke Yathrib. Mereka berjanji akan membela nabi dari segala ancaman. Nabi pun menyetujui usul yang mereka ajukan. Perjanjian ini disebut dengan perjanjian Aqabah kedua.[15]

Setelah kaum musyrikin Quraish mengetahu adanya perjanjian antara Nabi dengan orang-orang Yathrib itu mereka kian gila melancarkan intimidasi terhadap kaum muslimin. Hal ini membuat nabi segera memerintahkan para sahabatnya untuk hijrah ke Yathrib. Dalam waktu dua bulan, hampir semua kaum muslimin, kurang lebih 150 orang, telah meninggalkan kota Mekkah. Hanya Ali dan Abu Bakar yang tetap tinggal di Mekkah bersama nabi. Keduanyaa membela dan menemani Nabi sampai ia pun berhijrah ke Yathrib karena kafir Quraish sudah merencanakan akan membunuhnya.[16]

Dalam perjalanannya ke Yathrib nabi ditemani oleh Abu bakar. Ketika tiba di Quba, sebuah desa yang jaraknya sekitar lima kilometer dari Yathrib, nabi istirahat beberapa hari lamanya. Dia menginap di rumah Kulsum bin Hindun. Di halaman rumah ini nabi membangun sebuah masjid. Inilah masjid pertama yang di bangun nabi, sebagai pusat peribadatan. Tak lama kemudian, Ali menggabungkan diri dengan nabi, setelah menyelesaikan segala urusan di Mekkah. Sementara itu, penduduk Yathrib menunggu-nunggu kedatangannya. Waktu yang meraka tunggu-tunggu itu tiba. Nabi memasuki Yathrib dan penduduk kota ini mengelu-elukan kedatangan beliau dengan penuh kegembiraan. Sejak itu, sebagai penghormatan terhadap nabi, nama kota Yathrib diubah menjadi Madinat al-Nabi (Kota Nabi) atau sering pula disebut Madinat al-Munawarah (Kota yang Bercahaya), karena dari sanalah Islam memancar ke seluruh dunia. Dalam istilah sehari-hari, kota ini cukup disebut Madinah saja.[17]

BACA ARTIKEL LAINNYA YANG BERKAITAN


[1] Ibid., 18.

Yatim, Badri. Sejarah Peradaban Islam. Jakarta Rajawali pers, 2011.

[2] Ibid., 19.

[3] Ibid.

[4] Ibid., 20.

[5]Ahmad Syalabi, op. cit., hlm. 87.

Syalabi, Ahmad. Sejarah dan Kebudayaan Islam. Jakarta: Pustaka al-Husna, 1992.

[6] Badri Yatim, Sejarah Peradaban Islam, 20.

Yatim, Badri. Sejarah Peradaban Islam. Jakarta Rajawali pers, 2011.

[7]Ibid., 21.

[8]Ibid., 21.

[9]Ibid., 22.

[10]Ibid., 22.

[11]Ibid., 22.

[12] Ibid., 23.

[13] Ibid., 23.

[14] Ibid., 24.

[15] Ibid., 24.

[16] Ibid., 24-25.

[17] Ibid., 25.

Letak Geografi Arab Pra-Islam

 

Jazirah Arabia adalah semenanjung yang paling luas di dunia. Para Geografis Arab menamakan semenanjung Arab itu dengan nama jazirah (pulau). Sebab ketiga sisinya dikelilingi oleh tiga laut. Letaknya di sebelah barat daya benua Asia. Sebelah timur jazirah berbatasan dengan Teluk Persia. Sebelah selatannya di batasi oleh Lautan Hindia dan sebelah baratnya di batasi oleh Laut Merah. Sedangkan sebelah utaranya merupakan batasan yang tidak jelas. Hanya saja para ahli geografis Arab membatasinya mulai Teluk Aqabah memanjang sampai teluk Persia.[1] Kaum Muslimin membagi Jazirah Arabia menjadi lima daerah:

a.    Hijaz : Ialah daerah yang memanjang dari Teluk Aqabah sampai ke Yaman. Nama Hijaz berarti suatu dataran rendah yang memanjang di sekitar laut merah

b.    Tihamah

c.    Yaman

d.   Najed: Ialah dataran tinggi yang memanjang dari Hijaz sampai ke Laut Arab dan Laut Merah. Dataran ini merupakan suatu padang pasir dan gunung-gunung.

e.    Yamamah: ialah daerah yang memanjang dari Yaman sampai Najed yang menghubungkan kedua laut (Laut Arab dan Laut Merah). Pembagian diatas berdasarkan pembagian Abdullah bin Abbas.[2]

 

Arab Pra-Islam

Ketika Nabi Muhamad saw lahir (570M), Mekkah adalah sebuah kota yang sangat penting dan terkenal di antara kota-kota di negeri Arab, baik karena tradisinya maupun karena letaknya. Kota ini dilalui jalur perdaganyan yang ramai, menghubungkan Yaman di selatan dan Siria di utara. Dengan adanya ka’bah ditengah kota, Mekkah menjadi pusat keagamaan Arab. Ka’bah adalah tempat mereka berziarah. Di dalamnya terdapat 360 berhala, megelilingi berhala utama,Hubal. Agama dan masyarakat Arab ketika itu mencerminkan realitas kesukaan masyarakat jazirah Arab dengan luas satu juta mil persegi[3]

Bila di kelompokkan, bangsa Arab terdiri dari tiga golongan: Pertama: Arab Ba’idah, Arab ‘Aribah, dan ketiga Arab Musta’ribah. Kelompok pertama adalah kelompok yang sulit dilacak datanya oleh para ahli sejarah, kecuali dari kitab al-Qur’an dan Hadis. Kelompok ini adalah Arab Asli keturunan Iram bin Syam bin Nuh, terdiri dari Sembilan bangsa: ‘Ad, Tsamud, Amim, Amil, Thasam, Jadis, Imliq, Jurhum Ula dan Wabar, Bangsa-bangsa tergolong tua sesudah kaum Nabi Nuh. Menurut riwayat, mereka tergolong makmur dan memiliki peninggalan sejarah yang tidak sedikit. Dari Babilon mereka eksodus ke jazirah Arab dan mendirikan beberapa kerajaan dan benteng sampai mereka dikalahkan oleh bangsa Arab keturunan Ya’rib ibnu Qahtan. Hanya kaum’Ad dan Tsamud yang disebutkan dalam al-Qur’an. Yang kedua (Arab ‘Aribah), adalah keturunan Jurhum dan Qahtan, putra A<bir dan Aibar (alias Nabi Hud), tinggal di Hijaz atau dikenal dengan al-Yamaniyah. Mereka sebenarnya berasal dari Suku Saba’, Abdu Shamsin bin Shasjub bin Ya’rib bin Qatan. Saba’ mempunyai beberapa anak laki- laki, di antaranya Himyar dan Kuhlan, adapun kerajaan ini akhirnya terpecah menjadi tiga bagian setelah di hanyutkan oleh banjir (129SM).[4]

Adapun yang ketiga adalah (Arab Musta’ribah) adalah mereka yang dikenal dengan Ismailiyah yang menurunkan Adnan dan seterusnya sampai Nabi Muhammad. Ismail yang berasal dari Ibrahim, bukan bangsa Arab, tapi Kan’an yang eksodus ke Mekkah. Kelompok kedua dan ketiga disebut Arab Baqiyah, karena sumber-sember tentang mereka masih bisa di telusuri oleh ahli sejarah.[5]

Masa sebelum Islam, khususnya kawasan Jazirah Arab disebut dengan masa jahiliyah, julukan semacam ini terlahir disebabkan oleh terbelakangnya moral masyarakat Arab khususnya arab pedalaman (badui) yang hidupnya menyatu dengan padang pasir dan area tanah yang gersang. Mereka pada umumya hidup berkabilah dan nomaden. Mereka berada dalam lingkungan miskin pengetahuan.

Situasi yang penuh dengan kegelapan dan kebodohan tersebut mengakibatkan mereka sesat jalan, tidak menemukan nilai-nilai kemanusiaan, membunuh anak dengan dalih kemuliaan, memuaskan kekayaan dengan perjudian, membangkitkan peperangan dengan alasan harga diri dan kepahlawanan. Suasana semacam ini terus berlangsung hingga datang Islam ditengan-tengah mereka.

Bangsa Arab kebanyakan masih menganut agama asli mereka, yaitu percaya kepada banyak dewa yag diwujudkan dalam bentuk berhala dan patung. Setiap kabilah mempunyai berhala sendiri. Berhala-berhala tersebut dipusatkan di Ka’bah, meskipun ditempat-tempat lain juga ada. Berhala-berhala yang terpenting adalah Hubal, yang dianggap sebagai dewa terbesar, terletak di ka’bah; Lata, dewa tertua, terletak di Thaif, Uzza, bertempat di Hijaz, kedudukannya dibawah Hubal dan Manat yang bertempat di Yathrib. Berhala-berhala itu mereka jadikan tempat menanyakan dan mengetahui nasib baik dan nasib buruk. [6]

BACA ARTIKEL LAINNYA YANG BERKAITAN


[1] Abu al-Hasan Ali al-Hasani al-Nadwy, Riwayat Hidup Rasulullah (Surabaya: PT Bina Ilmu,1983) 37.

[2] Ibid., 37.

[3]Badri Yatim, Sejarah Peradaban Islam (Jakarta Rajawali pers,2011), 9.

[4]Rusydi Sulaiman, Pengantar Metodologi Studi Sejarah Peradaban Islam (Jakarta: Rajawali Pers,2014), 168.

[5]Ibid., 169.

[6] Badri Yatim, Sejarah Peradaban Islam, 15.

Penyulingan Air

  Kita hidup di Indonesia yang dikelilingi oleh lautan, sungai-sungai, danau, dan sebagainya. Selama ini kita tidak pernah pusing akan kekur...