HOME

23 Januari, 2022

Akhlak Pribadi sebagai Makhluk, Diri Sendiri, Masyarakat, Keluarga

BAB I

PENDAHULUAN

A.    Latar Belakang

Manusia adalah makhluk yang sempurna, yakni memiliki akal dan nafsu. Sebagai makhluk yang sempurna, manusia tentunya harus lebih tinggi derajatnya disbanding sengan hewan manupun malaikat. Diturunkannya agama islam adalah juga untuk mengajarkan bagaimana akhlak yang baik dalam kehidupan ini. Serta diturunkannya Nabi Muhammad SAW tujuan utamanya adalah menyempurnakan akhlak. Sebagai manusia tentunya kita tidak hanya hidup sendiri, tetapi kita hidup berdampingan dengan makhluk yang lain. Untuk itu perlu dipelajari bagaimana berakhlak kepada makhluk yang lain, diri sendiri, anggota masyarakat, keluarga, dan di lingkungan sekitar. Untuk itu kita sebagai manusia dituntut  untuk beakhlak kepada siapapun seperti halnya yang telah disyari’atkan dalam agama islam, agar kita menjadi manusia yang insan kamil.

B.     Rumusan Masalah

1.      Bagaimana akhlak pribadi sebagai makhluk ?

2.      Bagaimana akhlak pribadi sebagai dirinya sendiri ?

3.      Bagaimana akhlak pribadi sebagai anggota masyarakat ?

4.      Bagaimana akhlak pribadi dalam keluarga ?

5.      Bagaimana akhlak pribadi dalam proses belajar mengajar ?                                                            

C.    Tujuan Penulisan

1.      Dapat memahami akhlak pribadi sebagai makhluk.

2.      Dapat memahami akhlak pribadi sebagai dirinya sendiri.

3.      Dapat memahami akhlak pribadi sebagai anggota masyarakat.

4.      Dapat memahami akhlak pribadi dalam keluarga.

5.      Dapat memahami akhlak pribadi dalam proses belajar mengajar.


BAB II

PEMBAHASAN

A.    Akhlak Pribadi Sebagai Makhluk

Dari Abu Hurairah ra. Rasulullah SAW bersabda :

“Orang mukmin yang sempurna imannya adalah yang paling baik budi pekertinya.” (HR. At-Tirmidzi).[1]

Sedangkan manusia yang unggul adalah mereka yang berakhlak baik. Hal ini selaras dengan sabda Rasulullah SAW:

“Sesungguhnya yang paling unggul diantara kamu adalah orang yang paling baik akhlaknya.” (HR. Bukhari).[2]

Sebagai manusia juga harus berakhlak baik kepada alam disekitar yakni :

1.      Memelihara keseimbangan kehidupan

QS. Al-A’raf aayt 56  yang artinya :

“Dan janganlah kamu membuat kerusakan di muka bumi, sesudah (Allah) memperbaikinya dan berdo’alah kepada-Nya dengan rasa takut (tidak akan diterima) dan harapan (akan dikabulkan). Sesungguhnya rahmat Allah amat dekat kepada orang-orang yang berbua baik.”

2.      Memanfaatkan alam sesuai denga kebutuhan

Seperti dalam QS. Ar-Ruum: 41 yang artinya :

“Telah nampak kerusakan di darat dan di laut dsebabkan karena perbuatan tangan manusia, supaya Allah merasakan kepada mereka sebahagiaan dari (akibat) perbuatan mereka, agar mereka kembali (ke jalan yang benar).”

3.      Memperbaiki kerusakan alam

Cara menjaga dan memperbaiki kerusakan alam diantaranya dengan tidak membuang sampah sembarangan, tidak menebang hutan secara liar, mengolah limbah industri dengan baik agar tidak menimbulkan pencemaran, melakukan reboisasi, dan lain sebagainya.[3]

B.  Akhlak Pribadi Sebagai Dirinya Sendiri

Sebagai pribadi muslim kita harus berbuat baik kepada sesama manusia, seperti yang telah dijelaskan dalam QS. An-Nisaa : 36[4]

“Sembahlah Allah dan jangan kamu mempersekutukan-Nya dengan sesuatupun. Dan berbuat baiklah kepada dua ibu bapakmu, karib kerabat, anak-anak yatim, orang-orang miskin, tetangga yang dekat dan tetangga yang jauh, teman sejawat, ibnu sabil dan hamba sahaya. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang sombong dan membangga-banggakan diri.”

Setiap manusia pasti tidak bisa hidup tanpa orang lain, oleh karena itu setiap pribadi harus bisa bergaul dengan makhluk disekitarnya. Dan pastinya tentu sesorang akan berinteraksi dengan lawan jenisnya. Adapun adab bergaul dengan lawan jenis diantaranya :

1. Menjaga Pandangan

Dalam sebuah hadis disebutkan :

“Tidaklah seorang muslim sedang melihat keindahan wanita kemudian ia menundukkan pandangannya, kecuali Allah akan menggantinya dengan ibadah yang ia dapatkan kemanisannya.” (HR.Ahmad).

Dalam hadis lain disebutkan:

“semua mata pada hari kiamat akan menangis, kecuali mata yang menundukkan atas apa yang diharamkan oleh Allah, mata yang terjaga di jalan Allah dan mata yang menangis karena takut kepada Allah.” (HR. Ibnu Abi Dunya)

Pada masa modern ini tentunya kegiatan komunikasi semakin canggih seperti facebook dan twitter, dimana didalamnya memajang foto lawan jenis. Alangkah baiknya foto tersebut diganti dengan gambar makhluk yang tidak bernyawa, begitupun jika kita melakukan obrolan langsung di dunia maya. Hal tersebut akan menimbulkan syahwat.[5] Tentunya pada saat ini seseorang sulit menghindari hal tersebut, oleh karena itu yang terpenting seseorang dapat menjaga syahwatnya.

2.  Menutup aurat secara sempurna

3. Bagi wanita tidak melembutkan suara di hadapan laki-laki bukan mahram.

Allah berfirman dalam QS.  Al-Ahzab: 32) yang artinya :

“Hai istri-istri Nabi, kamu sekalian tidaklah seperti wanita yang lain, jika kamu bertakwa . Maka janganlah kamu tunduk dalam berbicara sehingga berkeinginanlah orang yang ada penyakit dalam hatinya dan ucapkanlah perkataan yang baik.”

Maksud dari “tunduk” disini adalah berbicara dengan sikap yang menimbulkan keberanian orang bertindak yang tidak baik terhadap mereka. Sedangkan yang dimaksud dengan “ada penyakit dalam hatinya” disini adalah orang yang memiliki niat buruk seperti melakukan zina.

Dari ayat diatas sangat berbanding terbalik, di zaman ini kalau diterapkan dalam obrolan chatting adalah dengan kata-kata lembut atau mendayu-dayu dari wanita yang menimbulkan godaan pada pria, seperti kata “sayang”.

4. Dilarang bagi wanita berpergian sendiri tanpa mahramnya sejauh perjalanan satu hari

Dalam sebuah hadis dijelaskan :

“Dari Abu Hurairah RA, ia berkata : Rasulullah SAW bersabda : tidak halal bai seorang perempuan yang beriman kepada Allah dan hari akhir untuk berpergian yang memakan waktu sehari semalam kecuali bersama mahramnya.” (HR. Bukhari Muslim dikutip Imam Nawawi dalam tarjamah Riyadush Shalihin)

5. Dilarang berkhalwat antara laki-laki dengan perempuan

Dalam sebuah hadis dijelaskan :

“Dari Ibnu Abbas r.a, ia berkata : Raasulullah SAW beersabda : Janganlah sekali-kali salah seorang diantara kalian bersunyi-sunyi dengan perempuan, kecuali disertai muhrim.” (HR. Bukhari Muslim dikutip Imam Nawawi dalam tarjamah Riyadush Shalihin)

6. Laki-laki dilarang berhias Menyerupai perempuan begitupun sebaliknya

Dalam sebuah hadis dijelaskan :

“Dari Ibnu Abbas r.a, ia berkata : Rasulullah SAW melaknat kaum laki-laki yang suka menyerupai kaum wanita dan melaknat kaum wanita yang suka meyerupai kaum laki-laki.” (HR. Bukhari Muslim dikutip Imam Nawawi dalam tarjamah Riyadush Shalihin.)[6]

C.    Akhlak Pribadi Sebagai Anggota Masyarakat

Ada beberapa hadis Rasulullah tentang cara bergaul yang baik. Dengan sanad hasan, Ibnu Mrdawih meriwayatkan bahwa seorang laki-laki bertanya kepada Rasulullah SAW tentang akhlak yang baik, kemudian ia membacakan Q.S. Al-A’raf, 7:199 yang artinya.

“Jadilah engkau pemaaf dan suruhlah orang mengerjakan yang ma’ruf, serta berpalinglah dari pada orang-orang yang bodoh”  

Kemudian Rasulullah SAW bersabda yang artinya:

“Yaitu hendaknya engkau menyambungkan hubungan orang yang memutuskan hubungan denganmu, memberi kepada orang yang tidak mau memberi kepadamu dan memaafkan orang yang membuat zhalim kepadamu.”

Kemudian Imam Tirmidzi juga meriwayatkan dari Abu Dzarr ra:

“Seorang laki-laki berkata kepada Rasulullah SAW, ‘berilah aku wasiat’, beliau bersabda,’bertakwalah kepada Allah kapan saja dan dimana saja kamu berada’, lelaki itu berkata,’tambahlah, beliau bersabda,’balaslah keburukan itu dengan kebaikan, niscaya  kebaikan itu akan menghapus keburukannya’, lelaki itu berkata,’tambahlah’, beliau bersabda,’pergaulilah manusia dengan akhlak yang baik’.”[7]

Akhlak yang seharusnya diterapkan dalam kehidupan bermasyarakat diantaranya yaitu :

1.    Berbuat baik kepada tetangga

2.    Suka menolong orang lain

3.    Menjadikan masyarakat sebagai media berdakwah

4.    Berperan aktif dan mempunyai nilai positif bagi masyarakat

Adapun masyarakat yang dikehendaki dalam islam yaitu tuhidullah (mengesakan Allah), ukhuwwah (persaudaraan), ta’awun (tolong-menolong), Musyawarah, ummatan wasathan (umat yang harmonis), istiqomah (teguh pendirian), jihad (membela yang benar), dan sebagainya.[8]

Salah satu contoh berakhlak baik sebagai anggota masyarakat adalah berbuat baik kepada tetangga, seperti sabda Rasulullah SAW :

“Barang siapa yang beriman kepada Allah dan hari akhir, hendaklah ia berkata baik atau diam. Barang siapa yang beriman kepada Allah dan hari akhir, hendaklah ia memuliakan tetangganya. Dan barang siapa yang beriman kepada Allah dan hari akhir maka hendaklah ia memulikan tamunya.”(HR. Bukhari Muslim).

“Demi Allah, dia tidak beriman! Demi Allah, dia tidak beriman! Demi Allah, dia tidak beriman!Seorang sahabat bertanya : siapa dia (yang tidak beriman itu)Ya Rasulallah ? Beliau menjawab :Orang yang tetangganya tidak aman dari keburukannya”. (HR. Mutafaqun Alaih).

“Tidak masuk surga orang yang tetangganya tidak aman dari keburukannya”.(HR. Muslim).

Dari beberapa hadis diatas terlihat, bahwa kita dalam bertetangga harus dengan akhlak baik. Sehingga sanggat penting keberadaan tetangga, seperti sbda Nabi SAW :

“Tetangga sebelah rumah, kawan sebelum jalan, dan bekal sebelum perjalanan”. (HR. Khathib).

“Apabila engkau membuat suatu masakan, maka perbanyaklah kuahnya. Kemudian undanglah tetanggamu atau engkau dapat membaginya kepada mereka”. (HR. Muslim).

“Berapa banyak tetangga yang bergantung dengan tetangganya pada hari kiamat. Ia berkata , Wahai Rabb, orang ini menutup pintunya di hadapanku dan tidak pernah memberikan bantuan”.[9]

Sebagai anggota masyarakat seseorang juga harus bersikap adil, seperti yang disabdakan Nabi SAW :

“Apakah kamu menengahi dengan hukuman yang telah ditetapkan oleh Allah,Wahai Usamah? Demi Allah, sekalipun Fathimah binti Muhammad mencuri,saya akan memotong tangannya”. (HR. Bukhari no. 3288)[10]

D.    Akhlak Pribadi Dalam Keluarga

Dalam hal ini kita sebagai anggota keluarga harus berakhlak yang baik agar keharmonisan dalam keluarga tetap terjaga dan menjadi contoh bagi anggota keluarga yang lainnya. At-tirmidzi meriwayatkan dari Ayyub bin Musa dari ayahnya dari kakeknya, bahwa Rasululloh SAW bersabda:

“Tidak ada suatu pemberian yang diberikan oleh seorang ayah kepada anaknya yang lebih utama daripada pemberian budi pekerti yang baik.”

Dari Ibnu Majah meriwayatkan dari Ibnu Abbas ra., bahwa Rasululloh SAW bersabda:

“Muliakanlah anak-anak kalian dan didiklah mereka dengan budi pekerti yang baik.”

Dalam hadis lain juga disebuatkan. Abdur Razzaq, sa’I bin Mansyur dan lainnya meriwayatkan hadis Ali ra:

“Ajarkanlah kebaikan kepada anak-anak kamu dan keluarga kamu dan didiklah mereka dengan budi pekerti yang baik.”

Al-Baihaqi meriwayatkan hadis dari Ibnu Abbad ra, dari Rasululloh SAW bersabda:

“Diantara hak orang tua kepada anaknya adalah mendidiknya dengan budi pekerti yang baik dan memberinya nama yang baik.”

Dari rentetan hadis diatas dapat disimpulkan bahwa dalam keluarga baik kita sebagai orang tua atau anak, dianjurkan untuk berakhlak baik dan hal tersebut merupakan suatu  kewajiban sekaligus hak, dimana anak berhak memperoleh pengajaran akhlak yang baik begitupun orang tua berhak mendapatkan pengajaran yang baik dari anaknya.

Rasulullah telah bersabda bagaimana cara mendidik anak yaitu yang diriwayatkan oleh Ibnu Hibban meriwayatkan dari Anas ra.

“Seorang anak itu diaqiqoh pada hari ketujuh dari kelahirannya, diberi nama dan hilangkan penyakitnya (dicukur rambutnya). Jika sudah menginjak usia enam tahun, maka ia diberi pendidikan. Jika sudah samapai usia Sembilan tahun, maka ia dipisahkan tempat tidurnya. Jika sudah sampai usia tiga belas tahun, maka ia dipukul (bila tidak mau melakukan) shalat dan puasa. Dan jika telah sampai usia enam belas tahun, maka ayahnya mengawinkannya, lalu mendekatkan anaknya itu dengan tangannya dan berkata kepadanya, “Aku telah mendidikmu, mengajarimu, dan mengawinkan kamu. Aku berlindung kepada Allah SWT dari fitnah (yang disebabkan)mu, dan dari adzab yang (disebabkan oleh)mu (juga).””

Dari hadis tersebut dapat dilihat bahwa keluarga memiliki tanggung jawab yang sangat besar dalam mendidik moral seseorang terutama ayah dan ibu.  Dalam hal ini mereka harus mendidik anak-anaknya untuk berlaku benar, jujur, istiqomah, menghormati orang lain, menghindarkan dari perkataan-perkataan yang kotor dan lain sebagainya.[11]

Sebagai anak juga harus memiliki akhlak yang baik terhadap orang tuanya, seperti dalam firman Allah yang artinya :[12]

“Dan kami perintahkan kepada manusia (berbuat baik) kepada duaibubapaknya, ibunya yang mengandungnya dalam keadaan lemah, dan menyapihnya dalam dua tahun. Bersyukurlah kepada-Ku dan kepada kedua ibu bapakmu, hanya kepada-Kulah kamu kembali.Dan jika keduanya memaksamu untuk mempersekutukan dengan Aku sesuatu yang tidak ada pengetahuan tentang itu, maka janganlah kamu megikuti keduanya, dan pergaulilah keduanya di dunia dengan baik, dan ikutilah jalan orang yang kembali kepada-Ku. Kemudian kepada-Kulah kamu kembali, maka Kuberitahukan kepadamu apa yang telah kamu kerjakan.” (QS. Luqman : 14-15).

Hak-hak orang tua yang harus dilakukan seorang anak antara lain :

1.    Anak harus patuh kepada setiap perintah dan larangannya selama hal tersebut sesuai dengan ajaran islam.

2.    Anak harus memuliakan dan menghormatinya dalam segala kondisi dan kesempatan.

3.    Anak harus melakukan tugas terbaik terhadap kedua orang tuanya.[13]

E.     Akhlak Pribadi Dalam Proses Belajar Mengajar

Ada beberapa macam pendidikan pada anak yaitu :

1.         Pendidikan anak dengan akidah yang kuat

Anak yang dari kecil sudah di didik dan diajarkan tentang landasan agama maka akan berpotensi melakukan hal-hal yang mulia, karena mereka sudah terbiasa dengan hal-hal yang baik.

2.         Pendidikan anak jauh dari akidah

Anak yang dari kecil lemah dalam pemahaman tentang ajaran islam, dapat maka dia akan tumbuh menjadi orang fasik, menyimpang dan sesat.[14]

Jika kita dalam posisi sebagai guru, maka kita harus mempunyai sifat dibawah ini :[15]

1.    Guru itu bersih jiwa dan raganya

2.    Bersifat ikhlas

3.    Harus menjaga kehormatannya

4.    Memiliki ilmu dan metode mengajar

5.    Harus tahu tabi’at atau karakter murid

6.    Memiliki kasih sayang kepada muridnya

7.    Memiliki watak yang baik.

Menghormati seorang guru itu wajib. Salah satu contoh imam Syafi’i beliau berkata : “saya tidak dapat membolak-balik lembaran kitab dengan suara keras di hadapan guru saya, supaya guru saya jangan sampai terganggu. Saya pun tidak bisa meminum air di hadapan guru saya, sebagai rasa hormt dan takzim kepadanya.” [16]

Kewajiban murid terhadap gurunya yaitu :

1.      Berusaha untuk menghormati guru

Ada beberapa hadis yang menjelaskan :

“Muliakanlah orang-orang yang kamu belajar daripadanya.” (HR. Abu    Hasan Al-Mawardi)

“Muliakanlah guru-guru agama, karena barang siapa memuliakan mereka, maka berarti mereka memuliakan akau.” (HR. Abu Hasan Al-Mawardi)

Al-Ghazali mengatakan : “tidak layak bagi seorang murid berlaku sombong terhadap gurunya, dan sebaliknya harus ada hubungan yang baikantara guru dan murid. Ilmu itu tiddak akan didapat kecuali dengan rasa rendah diri.”

2.      Mendengarkan dan memperhatikan perkataan guru

3.      Seorang murid harus taat kepada guru seperti taatnya kepada orang tua.[17]

Dalam mendidik anak, ada beberapa hal sifat yang harus dihindarkan dari anak didik yaitu :

1.    Suka berbohong

Kebohongan ini merupakan sifat yang buruk dan dimurkai oleh Allah. Imam Muslim dan lainnya telah meriwayatkan dari Abu Hurairah r.a. Bahwa Rasululloh saw bersabda :

“ada tiga macam manusia yang tidak akan diajak bicara oleh Allah pada hari kiamat, tidak akan disucikan dan tidak akan diperhatikan, dan mereka mendapat adzab yang sangat pedih yaitu kakek-kakek yang berzina, raja yang pendusta, dan orag kekuranga yang sombong.”

Rasulullah SAW telah mengingatkan pada manusia, meskipun bohong itu hanya sekedar permainan atau buukan itupun dilarang,  Ahmad meriwayatkan dari Ibnu Abid Dunya dari Abu Hurairah ra. Dari Rasuullah SAW beliau bersabda :

“Barang siapa berkata kepada seorang anak kecil, ‘kemarilah dan ambilah sesuau’, lalu ia tdak memberinya, maka perbuatan itu adalah suatu dusta.”

2.    Suka mencuri

Dalam hal ini seperti orang tua yang mudah percaya denga uang yang dimiliki oleh anaknya, padahal belum tentu itu berasal dari jalan yang halal seperti pemberian temannya dan lain sebagainya.

3.      Suka mencelah atau mencemooh

Nabi melarang sifat mencelah ini, terdapat beberaa hadis yang menjelaskannya diantaranya :

“Mencela orang Muslim itu adalah perbuatan fusuq. Sedangkan mebunuhnya adalah perbuatan kufur.” (HR. Bukhari Muslim dan lainnya)

Dalam hadis lain juga dijelaskan :

“Sesungguhnya dosa terbesar diantara dosa-dosa besar adalah jika seseorang mengutuk kedua orang tuanya. Dikatakan, ‘Wahai Rasulullah, bagaimana seseorang itu dikatakan mengutuk kedua orang tuanya?’ Beliau menjawab, ‘Apabila seseorang mrncela bapak orang lain, sehingga orang itu mencela bapaknya lagi. Dan apabila ia mencela ibunya, sehingga ia mencela ibunya lagi.” (HR. Bukhari dan Ahmad)

4.      Kenakalan dan penyimpangan

Hal ini dipengaruhi oleh beberapa faktor salah satunya yaitu faktor westernisasi (kebarat-baratan). Di xaman sekarang anak-ank lebih suka dengan gaya paaian, gaya berbicara dan tingkah lakunya orang barat. Tentunya hal ini membuat seseorang tak lagi dapat mengenali sifat kepribadiannya sendiri.

Faktor-faktor yang menyebabkan penyimpangan moral pada anak didik diantaranya :

1.    Orang tua yang tidak memperhatikan pergaulan anaknya.

2.    Sila kebebasan yang terlalu, sehingga anak tidak ada yang mengontrol.

3.    Penanaman pondasi islam dan penerapanya yang kurang di kehidupan seorang anak.[18]

Baca juga artikel yang lain:

  1. Pengertian Bid'ah
  2. Konsep Manusia Menurut Aliran Humanisme dan Islam
  3. Konsep Manusia dalam Prespektif Aliran Psikoanalisa dan Behaviorisme
  4. Psikologi Perkembangan Pada Masa Anak-Anak
  5. Keterkaitan Ilmu Pengetahuan dan Agama
  6. Studi Al-Qur'an
  7. Studi Fikih (Hukum Islam)
  8. Urgensi Pengantar Studi Islam
  9. Etika Politik dan Nilai Pancasila Sebagai Sumber Politik
  10. Maqamat dan Ahwal dalam Tasawuf
  11. Akhlak Pribadi sebagai Makhluk dan Anggota Masyarakat
  12. Tipologi Tasawuf
  13. Akhlak Tasawuf
  14. Pendidikan Akhlak
  15. Thareqat di Indonesia
  16. Konsep Baik dan Buruk, Hak dan Kewajiban dalam Akhlak
  17. Ma’rifat dan Mahabbah dalam Tasawuf
  18. Nafsu dan Penyakit Hati
  19. Pengertian Tasawuf
  20. Akhlak Pribadi sebagai Makhluk, Diri Sendiri, Masyarakat, Keluarga

BAB III

KESIMPULAN

Sebagai manusia juga harus berakhlak baik kepada alam disekitar yakni memelihara keseimbangan kehidupan, memanfaatkan alam sesuai denga kebutuhan, memperbaiki kerusakan alam.

Adab bergaul dengan lawan jenis diantaranya menjaga pandangan, menutup aurat secara sempurna, bagi wanita tidak melembutkan suara di hadapan laki-laki bukan mahram, dilarang bagi wanita berpergian sendiri tanpa mahramnya sejauh perjalanan satu hari, dilarang berkhalwat antara laki-laki dengan perempuan, laki-laki dilarang berhias Menyerupai perempuan begitupun sebaliknya

Akhlak yang seharusnya diterapkan dalam kehidupan bermasyarakat diantaranya yaitu berbuat baik kepada tetangga, suka menolong orang lain, menjadikan masyarakat sebagai media berdakwah, berperan aktif dan mempunyai nilai positif bagi masyarakat

Hak-hak orang tua yang harus dilakukan seorang anak antara lain anak harus patuh kepada setiap perintah dan larangannya selama hal tersebut sesuai dengan ajaran islam, anak harus memuliakan dan menghormatinya dalam segala kondisi dan kesempatan, anak harus melakukan tugas terbaik terhadap kedua orang tuanya.

Ada beberapa macam pendidikan pada anak yaitu pendidikan anak dengan akidah yang kuat dan pendidikan anak jauh dari akidah

Jika kita dalam posisi sebagai guru, maka kita harus mempunyai sifat yaitu guru itu bersih jiwa dan raganya, bersifat ikhlas, harus menjaga kehormatannya, memiliki ilmu dan metode mengajar, harus tahu tabi’at atau karakter murid, memiliki kasih sayang kepada muridnya, memiliki watak yang baik. Sedangkan kewajiban murid terhadap gurunya yaitu berusaha untuk menghormati guru, mendengarkan dan memperhatikan perkataan guru, seorang murid harus taat kepada guru seperti taatnya kepada orang tua.

Dalam mendidik anak, ada beberapa hal sifat yang harus dihindarkan dari anak didik yaitu suka berbohong, suka mencuri, mencelah atau mencemooh, kenakalan dan penyimpangan.

Faktor-faktor yang menyebabkan penyimpangan moral pada anak didik diantaranya orang tua yang tidak memperhatikan pergaulan anaknya, memberi kebebasan yang terlalu, sehingga anak tidak ada yang mengontrol, penanaman pondasi islam dan penerapanya yang kurang di kehidupan seorang anak.


DAFTAR PUSTAKA

Hidayat, Nur. 2015. Akidah Akhlak dan Pembelajarannya. Yogyakarta: Penerbit Ombak.

Abdurrahman, Muhammad. 2016. AKHLAK : Menjadi Seorang Muslim Berakhlak Mulia. Jakarta : Rajawali Pers, cet.1.


Footnood

[1] Nur Hidayat, Akidah Akhlak dan Pembelajarannya, (Yogyakarta: Penerbit Ombak, 2015), h.129.

[2] Nur Hidayat, Akidah Akhlak dan Pembelajarannya, (Yogyakarta: Penerbit Ombak, 2015), h.154.

[3] Nur Hidayat, Akidah Akhlak dan Pembelajarannya, (Yogyakarta: Penerbit Ombak, 2015), h.185-187.

[4] Muhammad Abdurrahman, AKHLAK : Menjadi seorang Muslim Berakhlak Mulia, (Jakarta : Rajawali Pers, cet.1, 2016), h.133.

[5] Nur Hidayat, Akidah Akhlak dan Pembelajarannya, (Yogyakarta: Penerbit Ombak, 2015), h.173-175.

[6] Nur Hidayat, Akidah Akhlak dan Pembelajarannya, (Yogyakarta: Penerbit Ombak, 2015), h.175-178.

[7]  Nur Hidayat, Akidah Akhlak dan Pembelajarannya, (Yogyakarta: Penerbit Ombak, 2015), h. 22-23.

[8] Nur Hidayat, Akidah Akhlak dan Pembelajarannya, (Yogyakarta: Penerbit Ombak, 2015), h.181-184.

[9] Muhammad Abdurrahman, AKHLAK : Menjadi seorang Muslim Berakhlak Mulia, (Jakarta : Rajawali Pers, cet.1, 2016), h.216-220.

[10] Muhammad Abdurrahman, AKHLAK : Menjadi seorang Muslim Berakhlak Mulia, (Jakarta : Rajawali Pers, cet.1, 2016), h.255.

[11] Nur Hidayat, Akidah Akhlak dan Pembelajarannya, (Yogyakarta: Penerbit Ombak, 2015), h.5-7.

[12] Muhammad Abdurrahman, AKHLAK : Menjadi seorang Muslim Berakhlak Mulia, (Jakarta : Rajawali Pers, cet.1, 2016), h.133.

[13] Muhammad Abdurrahman, AKHLAK : Menjadi seorang Muslim Berakhlak Mulia, (Jakarta : Rajawali Pers, cet.1, 2016), h.137.

[14] Nur Hidayat, Akidah Akhlak dan Pembelajarannya, (Yogyakarta: Penerbit Ombak, 2015), h.1-2.

[15] Buku 2 h.191-192

[16] Muhammad Abdurrahman, AKHLAK : Menjadi seorang Muslim Berakhlak Mulia, (Jakarta : Rajawali Pers, cet.1, 2016), h.188.

[17] Muhammad Abdurrahman, AKHLAK : Menjadi seorang Muslim Berakhlak Mulia, (Jakarta : Rajawali Pers, cet.1, 2016), h.193-194.

[18] Nur Hidayat, Akidah Akhlak dan Pembelajarannya, (Yogyakarta: Penerbit Ombak, 2015), h.8-21.

Tasawuf

BAB II

PEMBAHASAN

A.    Pengertian Tasawuf.

Tasawuf adalah ilmu untuk mengetahui cara menyucikan jiwa, menjernikan akhlak, membangun dhahir dan batin untuk mencapai kebahagiaan yang abadi yang merupakan gerakan zuhud (meninggalkan urusan duniawi).

Sedangkan arti tasawuf dalam buku mempertajam mata hati (dalam melihat Allah). Menurut Syekh Ahmad ibn Athaillah yang diterjemahkan oleh Abu Jihaduddin Rafqi al-Hānif :

1.      Berasal dari kata suffah (صفة) artinya segolongan sahabat-sahabat Nabi yang menyisihkan dirinya di serambi masjid Nabawi, karena di serambi itu para sahabat selalu duduk bersama-sama Rasulullah untuk mendengarkan fatwa-fatwa beliau untuk disampaikan kepada orang lain yang belum menerima fatwa itu.

2.      Berasal dari kata sūfatun (صوفة) artinya bulu binatang, sebab orang yang memasuki tasawuf itu memakai baju dari bulu binatang dan tidak senang memakai pakaian yang indah-indah sebagaimana yang dipakai oleh kebanyakan orang.

3.      Berasal dari kata sūuf al sufa’ (صوفة الصفا) artinya bulu yang terlembut, dengan dimaksud bahwa orang sufi itu bersifat lembut-lembut.

4.      Berasal dari kata safa’ (صفا) artinya suci, bersih. Karena orang-orang yang mengamalkan tasawuf itu, selalu suci bersih lahir dan bathin dan selalu meninggalkan perbuatan-perbuatan yang kotor yang dapat menyebabkan kemurkaan Allah.

Pengertian-pengertian tasawuf diatas maka dapat disimpulkan bahwa nama-nama dan istilah menurut bahasa adalah arti simbolik yang bermakna kebersihan dan kesucian untuk senantisa berhubungan dengan Allah.

Setelah mengetahui pengertian tasawuf beradaskan akar katanya (secara etimologis), maka akan dibahas pula pengertian tasawuf secara terminologi (secara istilah). Dalam hal ini, para ahli memiliki pendapat yang berbeda-beda pula,[1] diantaranya:

1.   Syekh Zakaria al Anshari berkata bahwa tassawuf adalah ilmu yang dengannya dapat diketahui tentang pembersihan jiwa, perbaikan budi pekerti serta pembangunan lahir dan batin untuk memperoleh kebahagiaan yang abadi.

2.   Syekh Ahmad Zaruq membedakan antara tasawuf, fiqh dan ilmu tauhid. Tasawuf diartikan sebagai ilmu yang bertujuan memperbaiki hati dan memfokuskannya hanya untuk Allah semata. Fiqih merupakan ilmu yang bertujuan untuk memperbaiki amal, memelihara aturan dan menampakkan hikmah dari setiap hukum. Sedangkan ilmu tauhid diartikan sebagai ilmu yang bertujuan untuk mewujudkan dari dalil dan menghiasi iman dan keyakinan[2]

3.  Abu Hasan Asy Syadzilli mendefinisikan tasawuf untuk melatih jiwa agar tekun beribadah dan mengembalikannya kepada hukum-hukum keTuhanan.

4.   Ibnu Ujaibah mengartikan tasawuf sebagai ilmu yang dengannnya diketahui cara untuk mencapai Allah, membersihkan batin dari akhlak tercela dan menghiasinya dengan akhlak terpuji. Bahkan beliau membagi tasawuf dalam 3 kategori, awalnya tasawuf merupakan ilmu, tengahnya amal, dan akhirnya merupakan karunia. Atau bisa didefinisikan sebagai tiang penyangga untuk penjernihan hati dari kotoran materi, dan pondasinya adalah hubungan manusia dengan Sang Pencipta yang Agung. Jadi seeorang sufi merupakan orang yang hati dan interaksi yang murni hanya untuk Allah, sehingga Allah memberinya karamah[3]

5.   Utsman Al Makki menyatakan bahwa tasawuf adalah keadaan dimana seorang hamba setiap waktu melakukan suatu perbuatan (amal) yang lebih baik dari waktu yang sebelumnya.

6.  Syekh Abdul Qadir Al Jaelani berpendapat bahwa tasawuf adalah mensucikan hati dan melepasskan nafsu dari pangkalnya dengan kholwat, riyadhah, dan terus menerus berdzikir dengan dilandasi iman yang benar, mahabbah, taubat dan ikhlas[4]

7.   Abul Qasim Al Qusyairi mengatakan tasawuf adalah menjabarkan ajaran-ajaran Al Qur’an dan As Sunanh, berjuang dalam mengendalikan nafsu, menjauhi perbuatan bid’ah, mengendalikan syahwat, serta menjauhi dalam hal-hal yang meringan-ringankan ibadah.

8.  Abdul Wahhab As Sya’roni menyebutkan, bahwa ilmu tasawuf adalah ilmu pengetahuan yang dilimpahkan ke dalam hati para wali dikala hati mereka telah disinari oleh cahaya Al Qur’an dan Sunnah Nabi[5]

9.   Dan ada pendapat lain yang menyatakan bahwa tasawuf adalah pencapaian karakter mulia melalui penyucian hati atau pengetahuan yang membawa sang penempuh mendaki pengetahuan tanpa akhir tentang Allah SWT[6]

10.  Sedangkan ilmu tasawuf dapat diartikan sebagai ilmu untuk mengetahui keadaan jiwa manusia, terpuji atau tercela, bagaimana cara menyucikan jiwa dari berbagai sifat yang tercela dan menghiasinya dengan sifat-sifat terpuji dan bagaimana cara mencapai jalan menuju Allah[7]


B.    Obyek Studi Ilmu Tasawuf.

Objek ilmu tasawuf meliputi dua aspek yaitu obyek material dan obyek formal

Objek material, menurut al-Kurdi yang menjadi objek kajian ilmu tasawuf adalah amalan hati (batin) dan perasaan dalam hal membersihkan atau menyucikan diri. Sedangkan menurut Ibn ‘Ata-illah dalam kitabnya al-Hikam mengemukakan bahwa objek ilmu tasawuf adalah al-Nufus wa al-Qulub wa al-Arwah (masalah jiwa, hati dan ruh). Dari pendapat Amin al-Kurdi dan Ibn ‘Ata-illah tersebut, dapatlah disimpulkan bahwa yang menjadi obyek kajian ilmu tasawuf adalah hal-ihwal batin, yang menyangkut jiwa, hati dan ruh.

Obyek formalnya, menurut Asmaran yang menjadi obyek kajian ilmu tasawuf adalah aspek esoteris yang berorientasi kepada pembinaan moral dan ibadah . Dari sini dapat diambil pengertian bahwa yang menjadi obyek forma dari ilmu tasawuf itu adalah segala usaha yang dilakukan untuk tujuan membentuk kepribadian yang baik dan bersih hingga dekat dengan Allah Swt.


C.                 Asal-usul Ajaran Tasawuf.

Kalau kita perhatikan, pertumbuhan tasawuf pada mulanya dapatlah dipandang bahwa tahannuts Rasulullah di gua Hiro’, merupakan awal tasawuf pada diri nabi SAW. Tetapi karena tahannuts terjadi sebelum al-Qur’an diturunkan, maka tahannuts tidak dapat dijadikan awal tasawuf Islam. Hanya peri hidup Rasul setelah turun al-Qur’an lah yang kita pandang awal tasawuf Islam.

Tahannuts Rasulullah SAW di gua Hira’ memang untuk mensucikan rohani, tetapi karena hal itu bukan dari ajaran Allah yang diturunkan setelah datangya syariat Islam, maka tahannuts Rasul di gua Hira’ tidak dapat dijadikan sebagai sumber tasawuf Islam.

Setelah Muhammad menjadi Rasul maka mulailah beliau mengajak manusia membersihkan rohaninya dari kotoran-kotaran syirik dan kotoran-kotoran nafsu amarah yang tidak sesuai dengan fitrah aslinya. Beliau berdakwah menyeru manusia memperteguh tauhid dan mempertinggi akhlaknya untuk mencapai keridhaan Allah.

Peri hidup Muhammad SAW sudah cukup menjadi suri teladan para sufi yang ingin menempuh jalan kebenaran. Rasulullah menempuh hidupnya yang penuh liku-liku dengan iman yang mantap dan ketabahan yang bergelora.

Jiwa Rasulullah telah ditempa dengan ajaran-ajaran kerohanian yang murni datang dari Illahi. Tidaklah salah cerita Sa’id ibn Hisyam : “ Aku datang menemui Ibu ‘Aisyah lalu aku tanyakan tentang akhlak Rasulullah SAW. Ibu ‘Aisyah menjawab :” Bisakah engkau membaca al-Qur’an ?”, kataku : “ada” ujar beliau : “Akhlak Rasulullah adalah al-Qur”an itu.

Rasulullah Saw tidak membenci dunia, tetapi beliau tidak mau terpengaruh terhadap urusan dunia. Sabda Rasulullah SAW : ”sesungguhnya ada hak kewajibanmu terhadap dirimu, maka puasalah kamu  dan berbuka, bangunlah untuk beribadah pada malam hari dan tidur, karena aku bangun beribadah pada malam hari dan tidur, aku berpuasa dan juga berbuka , aku makan daging dan lemak, dan aku datangi perempuan-perempuan. Barang siapa tidak suka kepada sunnahku itu, maka tidaklah dia termasuk sebagian dari umatku. Kemudian dihimpunkannya orang banyak lalu beliau berkhutbah dihadapan mereka, katanya: Apakah halnya dengan beberapa kaum, mereka mengharamkan perempuan, makanan, wangi-wangian, tidur, dan syahwat dunia ?. ketahuilah bahwa aku tidak menyuruh kamu menjadi pendeta-pendeta dan rahib-rahib. Maka sesungguhnya tidak ada dalam agamaku meningglkan makan daging dan meninggalkan perempuan dan tidak pula membuat-buat ibadah. Dan bahwasannya perlawatan umatku ialah puasa dan rubbaniyah (kebiasan) mereka ialah jihad. Sembahlah Allah dan jangan sekutukan sesuatu dengan Dia. Kerjakanlah haji serta umrah, dirikanlah shalat, keluarkanlah zakat, puasalah di bulan Ramadhan, dan tetaplah atas yang demikian, niscaya kamu akan dimantapkan. Sesungguhnya orang-orang yang dahulu daripada kamu binasa sebab memberat-beratkan urusan agama. Mereka berat-beratkan atas diri mereka lalu Allah memberatkannya. Maka itulah peninggalan-peninggalan mereka pada gereja-gereja dan tempat-tempat peribadatan.”

Demikianlah patokan dari Rasulullah tentang pandangan hidup seorang muslim. Dunia boleh dimanfaatkan tetapi jangan sampai terpengaruh oleh godaannya. Orang yang mengingkari patokan diatas merupakan orang yang sesat dan bukan termasuk umat Muhammad. Jadi ciri khas tasawuf di masa Rasul ialah berpegang teguhnya kaum muslimin dengan al-Qur’an dan sunnahnya.

Demikian halnya yang terjadi masa sahabat, yang mencontoh langsung cara hidup Rasul dan mereka adalah manusia-manusia yang berakhlak mulia dan membaktikan hidupnya untuk kepentingan agama.

Diwaktu Rasul masih hidup, Abu Bakar yang hartawan itu telah mengurbankan harta bendanya secara keseluruhan untuk kepentingan agama. Pernah Rasul bertanya kepadanya :”apalagi yang engkau buat wahai Abu Bakar?” Abu Bakar menjawab :”Cukup bagiku Allah dan Rasulnya.”

Umar bin Khattab merupakan seorang sahabat yang berbudi tinggi, dia menyediakan malamnya untuk beribadah, dan siangnya untuk urusan negara. Meskipun ia seorang pemimpin negara, namun pakaiannya biasa-biasa saja, rendah hati, wara’ dan berbudi luhur.

Utsman bin Affan adalah seorang yang dermawan. Beliau telah memberikan sebagian dari hartanya untuk kepentingan agama. Apabila dia berada dirumah, maka Al Qur’an tidak pernah lepas dari tangannya. Beliau acap kali mentilawahkan Al Qur’an dan memahami kandungannya sampai larut malam.

Sedangkan Ali bin Abi Thallib terkenal akan tawadhu’nya, beliau tidak malu memakai pakaian yang baertambal-tambal, bahkan ia sendiri yang menambal pakainnya. Sekali waktu ia pernah menjinjing daging dari pasar, lalu ada seseorang yang bertanya :”apakah tuan tidak malu membawa daging itu ya Amirul Mu’minin?” Beliau menjawab :” yang kubawa ini merupakan barang halal, apa yang kumalukan terhadapnya ?.”

Berdasarkan beberapa uraian di atas dapat disimpukan bahwa para sahabat tetap berpegang teguh terhadap ajaran Al Qur’an dan meneladani Rasul yang baru saja menghilang dari tengah-tengah mereka. Dan ciri-ciri tasawuf pada masa sahabat adalah :

1.       Memegang teguh ajaran kerohanian yang dipetik dari Al Qur’an.

2.      Meneladani perihidup Rasulullah SAW sepenuhnya.

Para tabi’in yang dekat dengan sahabat-sahabat nabi, terutama denga sahabat-sahabat besar dan Huzaifah bin Al Yaman, mendapatkan ajaran tassawuf secara langsung dari beliau-beliau itu. Dan mereka dapat meneladani perihidup para sahabat-sahabat nabi.

Munculnya istilah tasawuf baru dimulai pada pertengahan abad 3 H, oleh Abu Hasyim al Kufy dengan meletakkan al sufi dibelakang namany, sebagaimana dikatakan oleh Nicholson bahwa sebelum Hasyim ada ahli yang mendahuluinya dalam zuhud, wara’, tawakal dan dalam hal mahabbah, akan tetapi dia adalah yang pertama kali diberi gelar al sufi.

Hasan Al Basri merupakan orang pertama yang merintis ilmu tasawuf dan mengajarkan ilmu ini di masjid Basrah. Ajaran-ajaran tasawuf beliau senantiasa berlandaskan Al Qur’an dan Al Hadis, karena beliau memanglah ahli hadis dan ahli fiqih yang memiliki madzab sendiri. Pandangan yang amat teguh dipegangnya adalah zuhud, raja’ dan khauf. Hasan tidaklah terpengaruh oleh gangguan mata benda duniawi yang telah mulai menulari sebagian kaum muslimin dimasa itu. Beliau tidak suka menjadi seorang pejabat, karena takut terganggu urusan agamanya.

Ajaran zuhud yang dilandasi oleh raja’ dan khauf  membawa Hasan Al Basri menjadi seorang yang taat dalam beribadah. Ia selalu mengharapkan keridhaan dan maghfirah dari Allah dan senantiasa takut kalau iabdah yang telah dilaksanakan masih amat kurang menurut pandangan Allah. Bertitik tolak dari inilah, ia memandang remeh segala harta benda dunia.

Disamping adanya madarasah Hasan Al Basri di Basrah, mungul pula madrasah tasawuf di Madinah di bawah asuhan Sa’id bin Musayyab. Beliau mendapat banyak didikan dari sahabat Abu Hurairah. Ia dikenal dengan zuhud dan wara’.

­Di Kuffah, muncullah madarasah Sufyah Ats Tsauri. Beliau adalah seorang sufi yang teguh akan pendiriannya dalam menghadapi raja-raja ayng diktator dimasanya, dan beliau termashur dengan zuhud dan banyak beribadah. Beliau juga seorang pemuka ahli hadis yang mendapat julukan nama “Amirul Mu’minin fil Hadits” dan dalam bidang fiqih, beliau memiliki madzab sendiri.

Ada juga sufi perempuan yang bernama Rabi’ah Al Adawiyyah. Corak tasawuf Rabi’ah ini masih mirip dengan tasawuf pada periode awal masa tabi’in. Dan mahabbahlah yang mendorong beliau mengabdikan dirinya sepanjang hari kepada mahbub-Nya Allah SWT.

Selain para sufi diatas, timbul pula shufiyah yang antara lain, Malik bin Dinar, Tsabit al Banani, Ayyub As Saktayani, Muhammad bin Wasi’, Thaus, Rabi bin Khaitsam, Ibrahim bin Adham dan lain sebagainya.

Tasawuf dimasa tabi’in ini masih menurut jiwa al Qur’an dan Menurut praktek hidup Rasulullah SAW yang ditiru dan dileadani oleh para sahabat nabi. Dari para sahabat inilah para tabi’in meneladani cara hidup Rasul. Dan di masa tabi’in ini pelajaran tasawuf sudah mulai diajarkan sebagai sebuah disiplin ilmu.

Pada hakikatnya, tasawuf merupakan bagian dari syariat Islam, yakni wujud dari ihsan, salah satu dari tiga kerangka ajaran Islam (iman, Islam, dan ihsan). Oleh karena itu perilaku tasawuf harus tetap berada dalam kerangka syariat Islam. Iman dalam perkembangan disiplin ilmunya menjelma menjadi ilmu aqidah atau ilmu kalam, dimana didalamnya terdapat enam ajaran rukun iman dengan segala rangkaiannya. Sedangkan Islam, menjelma menjadi hukum dan rukun Islam yang masing-masing terdiri atas lima perkara, serta masalah-masalah yang berkaitan dengannya. Sementar Ihsan, menjelma menjadi ilmu tasawuf, yakni suatu bentuk spiritualitas Islam dengan berbagai varian yang tertuju pada satu tujuan, yakni kesadaran dan ”komunikasi” langsung dengan Allah SWT. Hal ini sesuai dengan sabda Rasulullah SAW sebagaimana disebutkan dalam hadis riwayat Muslim yang melukiskan tentang dialog Rasulullah dengan malaikat Jibril mengenai sendi-sendi agama Islam. Setelah Rasul menjelaskan tentang keimanan dan keIslaman, maka ketika Rasulullah SAW ditanya tentang ihsan, maka beliau menjawab: “ Hendaknya engkau menyembah Allah dengan seakan-akan engkau melihat-Nya. Maka jika tidak bias melihat-Nya, ketauhilah bahwa sesungguhnya Dia melihatmu.”

Inti dari pernyataan Rasulullah SAW adalah pentingnya kesadaran dalam beribadah, sekaligus penghayatan yang mendalam terhadap ajaran Islam. Melalui kesadaran dan penghayatan, maka segala sesuatu yang diperbuat oleh seorang Muslim maupun yang terjadi pada dirinya merupakan kehendak Allah SWT. Pada gilirannya kesadaran dan penghayatan ini dalam istilah tasawuf akan melahiran sikap taubat, wara’ (kehati-hatian), zuhud (tidak terpaut terhadap materi), sabar, qana’ah (menerima keadaan), ridha, tawakal, mahabbah (cinta), ma’rifatullah (mengenal Allah dan lain sebagainya, yang pada akhirnya akan membentuk nilai-nilai akhlaq al karimah (budi pekerti yang mulia).


D. Sumber dan Dasar Tasawuf

Di kalangan orientalis Barat terdapat pendapat yang mengatakan bahwa sumber tasawuf  terdiri dari lima, yaitu[8]:

1. Unsur Islam

Ajaran Islam mengatur kehidupan yang bersifat lahiriyah maupun bathiniyah. Dan pada unsur kehidupan uang bersifat bathiniyah itulah lahir tasawuf. Unsur kehidupan tasawuf ini mendapat perhatian yang cukup besar dari sumber ajaran Islam, yaitu al-Qur’an dan as-Sunnah.

Al-Qur’an antara lain berbicara tentang kemungkinan manusia dengan Tuhan dapat saling mencintai (mahabbah) adalah dalam surat al-Maidah ayat ke 54. Adapun perintah agar manusia bertaubat adalah terdapat pada surah at-Tahrim ayat ke 8. Dan petunjuk bahwa manusia senantiasa bertemu dengan Tuhan dimanapun mereka berada terdapat dalam surah al-Baqarah ayat ke 110. Dan masiih banyak lainnya.

Sedangkan contoh praktek sufi oleh Nabi Muhammad dapat kita lihat ketika Nabi memilih untuk bertafakkur di gua Hira menjelang datangnya wahyu. Beliau menjahui pola hidup kedendaan dimana waktu itu orang Arab terbenam didalamnya, seperti dalam praktek perdagangan yang menggunakan segala cara yang menghalalkan.

2. Unsur Luar Islam

Dalam berbagai literatur yang ditulis oleh orientalis Barat sering dijumpai bahwa uraian yang menjelaskan bahwa tasawuf Islam dipengaruhi oleh adanya unsur agama Masehi, unsur Yunani, unsur Hindu Budha dan Unsur Persia. Hal ini secara akademik bisa saja diterima, namun secara aqidah perlu kehati-hatian. Para Orientalis Barat menyimpulkan bahwa adanya unsur luar Islam masuk kedalam Tasawuf disebabkan karena secara historis agama-agama tersebut telah ada sebelum Islam, bahkan banyak dikenal oleh masyarakat Arab yang kemudian masuk Islam.

Unsur-unsur luar Islam yang diduga mempengaruhi Tasawuf Islam selajutnya dapat dijelaskan sebagai berikut:

a. Unsur Masehi

Von Kromyer berpendapat bahwa Tasawuf adalah buah dari unsur agama Nasrani yang terdapat pada zaman Jahiliyah. Hal ini diperkuat oleh Gold Ziher yang mengatakan bahwa setiap fakir dalam Islam Islam adalah meruapakan cabang dari agama Nasrani. Selanjutnya Noldicker mengatakan bahwa pakaian wol kasar yang kelak digunakan para sufi sebagai lambang kesederhanaan hidup merupakan pakaian yang biasa dipakai oleh para pendeta. Sedangkan Nicholson mengatakan bahwa istilah-istilah Tasawuf itu berasal dari berasal dari agama Nasrani dan bahkan ada yang berpendapat bahwa aliran tasawuf berasal dari agama Nasrani.

b. Unsur Yunani

Kebudayaan Yunani yaitu filsafatnya telah masuk pada dunia di mana perkembangannya dimulai pada akhir Daulah Umayyah dan puncaknya pada Daulah Abbasiyah metode berfikir filsafat Yunani ini juga telah ikut mempengaruhi pola berpikir sebagian orang Islam yang ingin berhubungan dengan Tuhan. kalau pada bagian uraian dimulai perkembangan tasawuf ini baru dalam taraf amaliah atau akhlak dalam pengaruh filsafat Yunani ini maka uraian uraian tentang tasawuf itu pun telah berubah menjadi tasawuf filsafat. 

Apabila diperhatikan memang cara kerja dari filsafat itu adalah segala sesuatu diukur menurut akal pikiran.  Tetapi dengan munculnya filsafat aliran neoplatonis menggambarkan bahwa hakikat yang tertinggi dan hanya dapat dicapai lewat yang diletakkan Allah pada hati setiap hamba setelah seseorang itu membersihkan dirinya dari pengaruh materi.  Ungkapan neoplatonis yaitu ‘kenal lah dirimu dengan dirimu’ diambil oleh para sufi dan di antara sufi berkata ‘siapa yang mengenal dirinya maka dia mengenal Tuhannya’.

c. Unsur Hindu Budha

Antara tasawuf dan sistem kepercayaan agama Hindu dapat dilihat adanya hubungan seperti sikap Fakir.  Al-Birowi  mencatat bahwa ada persamaan antara cara ibadah dan mujahadah tasawuf dengan Hindu.  kemudian pula paham reinkarnasi yaitu perpindahan roh dari satu badan kepada yang lain, cara pelepasan dari dunia versi hindu atau bunda dengan persatuan diri dengan jalan mengingat Allah.

Salah satu mah qomat sufiah al-Fana  tampaknya ada persamaan dengan ajaran tentang nirwana dalam agama hindu.  Gold Ziher mengatakan bahwa ada hubungan persamaan antara tokoh Sidharta gautama dengan ibrahim bin adham tokoh sufi.

Menurut Qomar kailani pendapat pendapat ini terlalu ekstrim sekali karena kalau diterima bahwa ajaran tasawuf itu berasal dari hindu atau udah berarti pada zaman nabi Muhammad telah berkembang adanya ajaran hindu budha itu ke mekah padahal sepanjang sejarah belum ada kesimpulan seperti itu.

d. Unsur Persia

Sebenarnya antara arab dan persia itu sudah ada hubungan sejak lama yaitu hubungan dalam bidang politikو pemikiran kemasyarakatan, dan sastra. Akan tetapi belum ditemukan hal yang kuat yang menyatakan bahwa kehidupan rohani persia dalam masuk ke tanah Arab. Yang jelas adalah kehidupan kerohanian Arab masuk ke persia itu terjadi melalui ahli-ahli tasawuf di dunia ini. Namun barangkali ada persamaan antara istilah zuhud di arab dengan zuhud menurut agama Manu dan agama Mazdaq dan hakikat Muhammad menyerupai paham Harmuz yaitu tuhan kebaikan dalam agama Zarathustra.


E. Hakikat Tasawuf dan Korelasinya dengan Ilmu Pengetahuan

Tasawuf bertujuan untuk memperoleh suatu hubungan khusus langsung dari tuhan. Hubungan yang dimaksud mempunyai makna dengan penuh kesadaran bahwa manusia sedang berada di hadirat tuhan.  Kesadaran tersebut akan menuju kontak komunikasi dan dialog antara ruh manusia dengan Tuhan hal ini melalui cara bahwa manusia perlu menghasilkan diri keberadaannya yang dekat dengan tuhan akan berbentuk ijtihad yaitu bersatu dengan tuhan demikian ini menjadi inti persoalan-persoalan yaitu sufi semua baik pada agama islam maupun di luarnya.

Tasawuf atau mistisme dalam islam ber resensi pada hidup dan berkembang mulai dari bentuk hidup atau kezuhudan yaitu menjauhi kemewahan duniawi dalam bentuk tasawuf amali kemudian tasawuf falsafi. Tasawuf tasawuf inilah yang merupakan kunci kesempurnaan amalia ajaran islam. Memang di samping aspek tasawuf dalam islam ada aspek lain yaitu apa yang disebut dengan akidah dan syariat atau dengan kata lain bahwa yang dimaksud agama adalah terdiri dari islam iman dan hiasan di mana ketiga aspek tersebut merupakan atau kesatuan.

Untuk mengetahui hukum Islam kita harus lari kepada syariah atau fakta untuk mengetahui rukun iman kita harus selalu pada Ushuluddin atau akidah dan untuk mengetahui kesempurnaan Ihsan kita masuk ke dalam tasawuf Oleh karena itu tasawuf ada kalanya membawa orang menjadi sesat dan musyrik Apabila seseorang berdasar bertambah bertauhid dan bersyariat. [9]

Korelasi dengan Ilmu Pengetahuan

Ilmu yang di zaman Yunani kuno diberi Citra akan diidentikkan dengan filsafat dan di zaman abad pertengahan dikembangkan atas dasar dan diarahkan untuk kepentingan agama. Baru memperoleh sifat kemandiriannya semenjak adanya gerakan renaissance dan aufklarung. Semenjak itu pula manusia merasa bebas tidak mempunyai komitmen dengan apa dan siapapun selain komitmen dengan dirinya sendiri untuk mempertahankan kebebasan dan kemandirian nya dalam menentukan cara dan sarana menuju kehidupan yang hendak dicapai.

Diperlukan tuntunan agar ilmu dalam yang dimiliki manusia itu dapat memberikan kedamaian dan kebahagiaan bagi umat manusia.Karena itu selama perkembangan ilmu itu dikendalikan oleh kemauan bebas manusia sendiri selama itu pula mereka diliputi oleh rasa takut resah dan cemas dalam mengarungi hari-hari mereka dan dalam menata masa depan. Di sini tasawuf yang berorientasi untuk membersihkan jiwa manusia dari keserakahan hawa nafsu merupakan alternatif yang dapat dijadikan sebagai solusi krisis dunia modern. Jadi sejarah lahirnya dapat dipandang bahwa ilmu telah mampu memberikan sesuatu kepada umat manusia namun secara batiniyah belum mampu menyentuhnya dan di sini letak ajaran tasawuf untuk mengisi kekurangan itu.[10]

Baca juga artikel yang lain:

  1. Pengertian Bid'ah
  2. Konsep Manusia Menurut Aliran Humanisme dan Islam
  3. Konsep Manusia dalam Prespektif Aliran Psikoanalisa dan Behaviorisme
  4. Psikologi Perkembangan Pada Masa Anak-Anak
  5. Keterkaitan Ilmu Pengetahuan dan Agama
  6. Studi Al-Qur'an
  7. Studi Fikih (Hukum Islam)
  8. Urgensi Pengantar Studi Islam
  9. Etika Politik dan Nilai Pancasila Sebagai Sumber Politik
  10. Maqamat dan Ahwal dalam Tasawuf
  11. Akhlak Pribadi sebagai Makhluk dan Anggota Masyarakat
  12. Tipologi Tasawuf
  13. Akhlak Tasawuf
  14. Pendidikan Akhlak
  15. Thareqat di Indonesia
  16. Konsep Baik dan Buruk, Hak dan Kewajiban dalam Akhlak
  17. Ma’rifat dan Mahabbah dalam Tasawuf
  18. Nafsu dan Penyakit Hati
  19. Pengertian Tasawuf
  20. Akhlak Pribadi sebagai Makhluk, Diri Sendiri, Masyarakat, Keluarga

 Footnood

[1] Yunasril Ali, Pengantar Ilmu Tasawuf, (Jakarta: Pedoman Ilmu Jaya, 1987), 6.

[2] Saifuddin Amandan dan Abdul Qadir Isa, Tasawuf Revolusi Mental, Zikir Mengolah Jiwa dan Raga, (Banten: Ruhama, 2014), 77.

[3] Amin Syukur, Sufi Healing, Terapi dengan Metode Tasawuf, (Jakarta :Erlangga, 2012), 51.

[4] Cecep Alba, Tasawuf dan Tarekat, Dimensi Esoteris Ajaran Islam, (Bandung : Remaja Rosdakarya, 2012), 11

[5] Yunasril Ali, Pengantar Ilmu Tasawuf, (Jakarta: Pedoman Ilmu Jaya, 1987), 7.

[6] Amatullah Armstrong, Khazanah Istilah Sufi, Kunci Memasuki Dunia Tasawuf, (Bandung : Mizan, 1996), 289-290.

[7] Cecep Alba, Tasawuf dan Tarekat, Dimensi Esoteris Ajaran Islam, (Bandung : Remaja Rosdakarya, 2012), 12.

[8] Abuddin Nata, Akhlak Tasawuf, (Jakarta; PT Raja Grafindo Persada, 1996), 181.

[9] Mustofa, Akhlaq Tasawuf, (Bandung; Pustaka Setia,1999), 206.

[10] Asmaran, Pengantar Studi Tasawuf, (Jakarta;PT Raja Grafindo Persada, 1993), 24-27.

Nafsu dan Penyakit Hati

BAB I

PENDAHULUAN

A.    LATAR BELAKANG

Setiap perbuatan manusia itu ada yang baik dan ada yang tidak baik atau buruk. Baik dan buruk merupakan dua istilah yang banyak digunakan untuk menentukan suatu perbuatan yang dilakukan oleh seseorang. Pernyataan tersebut dapat dijadikan indikator untuk menilai perbuatan itu baik atau buruk sehingga dapat dilatar belakangi sesuatu yang mutlak dan relatif.

Pernyataan-pernyataan tersebut perlu dicarikan jawaban dan dapat dijadikan rumusan masalah sehingga para pembaca menilai sesuatu itu baik atau buruk memiliki indikator tang pasti. Untuk itu dijadikan pembahasan masalah adalah bagaimana ukuran menilai baik dan buruk menurut pandangan islam.

B.     RUMUSAN MASALAH

Rumusan masalah dari pembahasan makalah ini adalah sebagai berikut:

1.      Apakah yang dimaksud dengan nafsu?

2.      Berapa penyakit hati yang dimiliki manusia?

3.      Bagaiman cara mengobati penyakit hati manusia?

4.      Bagaimana konsekuensi Akhlak Madzmumah dalam Kehidupan Muslim?

C.     TUJUAN

Makalah ini bertujuan untuk:

1.      Untuk mengethui apa itu nafsu.

2.      Untuk mengetahui macam-macam penyakit hati.

3.      Untuk mengetahui bagaimana mengobati penyakit hati.

4.      Untuk mengetahui konsekuensi Akhlak Madzmumah dalam Kehidupan Muslim.


BAB II

PEMBAHASAN

A.    Pengertian Akhlak Mahmudah dan Akhlak Madzmumah

Akhlak adalah sesuatu yang erat dengan perbuatan manusia. Mempersoalkan baik dan buruk perbuatan manusia memang dinamis dan sulit dipecahkan.[1] Dalam kehidupan sehari-hari akhlak atau perbuatan manusia terbagi menjadi dua, yaitu akhlak mahmudah dan akhlak madzmumah.

Akhlak mahmudah disebut juga sebagai akhlak terpuji. Akhlak terpuji erat kaitannya dengan kebaikan atau perbuatan baik. Menurut Ali bin Abi Thalib sesuatu yang baik memiliki pengertian menjauhkan diri dari larangan, mencari sesuatu yang halal dan memberikan kelonggaran pada keluarga. [2]

Akhlak madzmumah disebut juga akhlak tercela. Akhlak ini erat kaitannya dengan keburukan atau perbuatan buruk. Keburukan adalah sesuatu yang rendah, hina, menyusahkan dan dibenci manusia. Sesuatu yang memperlambat suatu kebaikan.[3]

B.     Macam-Macam Akhlak Mahmudah dan Akhlak Madzmumah

1.       Amanah

Amanah secara bahasa berarti kejujuran, kesetiaan, dan kepercayaan, menurut istilah amanah adalah sifat, sikap, dan perbuatan seseorang yang terpercaya atau jujur dalam melaksanakan tugas dan tanggung jawab yang dibebankan di atas pudaknya. “al-Amin” adalah sebutan bagi orang yang dapat dipercaya, orang yang jujur atau setia.

Artinya: Sesungguhnya Allah menyuruh kamu menyampaikan amanah kepada yang berhak, dan (menyuruh kamu) apabila menetapkan hukum diantara manusia supaya kamu menetapkan dengan adil. (QS. An-Nisa: 58).

Sifat amanah erat sekali hubungannya dengan iman. Seorang yang beriman pasti dapat memegang teguh amanah. Bentuk-bentuk amanah yang harus dijaga dan dipertanggung jawabkan oleh setiap muslim, antara lain jabatan/pekerjaan, harta kekayaan, istri, anak, keluarga, dan lain sebagainya.

2.      Ikhlas

Ikhlas menurut bahasa berati suci, bersih, murni, atau tidak tercampur dengan apapun. Sedangkan menurut istilah ikhlas adalah mengerjakan suatu perbuatan (amal atau ibadah) semata-mata hanya mengharap keridhoan Allah SWT. Amal ibadah tanpa keikhlasan menjadi tidak bermakna.dalam surat An-Nisa: 146 menyatakan:

Artinya: Kecuali orang-orang yang taubat dan mengadakan perbaikan dan berpegang teguh kepada agama Allah dan tulus ikhlas mengerjakan agama mereka karena Allah (QS. An-Nisa: 146).

Ikhlas berkedudukan sebagai inti dari suatu ibadah. Artinya tanpa keikhlasan, maka amal ibadah yang dikerjakan oleh seseorang akan menjadi sia-sia, sebab tidak bermakna di hadapan Allah.

3.      Sabar

Sabar dapat didefinisikan dengan tahan menderita dan menerima cobaan dengan hati ridha serta menyerahkan diri kepada Allah SWT setelah berusaha. Menurut Al-Muhasibi, ciri utama sabar adalah tidak mengadu kepada siapa pun ketika mendapat musibah dari Allah.[4]

Sabar terbagi tiga macam yaitu sebagai berikut:

a.   Sabar dari maksiat, artinya bersabar diri untuk tidak melakukan perbuatan yang dilarang agama.

b.   Sabar karena taat kepada Allah artinya sabar untuk tetap melaksanakan perintah Allah dan menjauhi larangan-Nya dengan senantiasa meningkatkan ketakwaan kepada-Nya.

c.   Sabar karena musibah, artinya sabar ketika ditimpa kemalangan dan ujian, serta cobaan dari Allah.

4.   Tawakal

Hakikat tawakal adalah menyerahkan segala urusan kepada Allah ‘Azza wa Jalla membersihkannya dari ikhtiar yang keliru, dan tetap menapaki kawasan-kawasan hukum dan ketentuan. Tawakal merupakan gambaran keteguhan hati dalam menggantungkan diri hanya kepada Allah SWT.[5] Al-Ghazali mengaitkan tawakal dengan tauhid, dengan penekanan bahwa tauhid sangat berfungsi sebagai landasan tawakal.

Tawakal adalah  kesungguhan  hati dalam bersandar kepada Allah SWT untuk mendapatkan kemaslahatan serta mencegah kemudaratan, baik menyangkut urusan dunia maupun akhirat. Allah berfirman:

Artinya: Kemudian apabila engkau telah membulatkan tekad maka bertawakallah kepada Allah. Sungguh Allah mencintai orang-prang yang bertawakal. (Ali Imran: 159)

5.      Pemaaf

Istilah pemaaf berasal dari bahasa Arab “al-afwu” yang berarti memberi maaf, berlapang dada terhadap kesalahan atau kekeliruan orang lain dan tidak memiliki atau menyimpan rasa dendam dan sakit hati kepada orang yang berbuat kesalahan kepadanya. [6]Memberi maaf  merupakan perbuatan yang sangat berat, tetapi sangat mulia. Memberi maaf harus dilakukan dengan cara yang ikhlas, bersifat lahir batin dan bukan karena terpaksa.

Memberi maaf  harus dilakukan oleh setiap muslim pasa setiap kesempatan, baik dalam lingkungan keluarga, antar keluarga, linkungan kerja maupun dalam kehidupan masyarakat yang yang lebih luas (bertetangga, bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara) tanpa menunggu permintaan maaf dari pihak lainnya.

6.       Kasih saying

Kasih sayang (ramah) merupakan salah satu sifat asli (fitrah) yang dibawa oleh manusia sejak lahir ke dunia, perlu dijaga, dipelihara, dan dikembangkan dengan sebaik-baiknya. Hal-hal yang dapat menghilangkan kasih sayang dalam diri seseorang antara lain: kebencian, kemarahan, iri hati, dengki, dendam, permusuhan, dan lain sebagainya.

Kasih sayang adalah perasaan belas kasih yang tumbuh dalam hati seseorang yang mendorong orang tersebut untuk memakukan sesuatu yang baik. Kasih sayang terhadap makhluk Allah yang lain, seperti tumbuh-tumbuhan, binatang, dan alam yang ada disekitarnya. Kasih sayang dapat juga muncul karena ia melihat kesalahan atau kesesatan yang dilakukan oleh seseorang, sehungga ia tergerak untuk menolong dengan mengingatkan atau paling tidak mendoakan agar orang tersebut diberi petunjuk oleh Allah sehingga dapat sadar dan insaf atas kesalahannya.

Kasih sayang yang tertanam dalam jiwa seseorang akan melahirkan sifat-sifat terpuji lai, seperti ramah, pemaaf, terbuka, toleran, pemurah, senagng menolong, senang kepada perdamaian, senagn kepada persaudaraan, selalu berusaha menyambung tali silaturahim dan lain sebagainya.

7.      Adil

Adil berasal dari bahasa Arab “al-‘Adl” mempunyai pengertian meletakkan sesuatu pada tempatnya. Keadilan akan menjaga kedamaian, ketentraman, keharmonisan hubungan, dan kesejahteraan masyarakat. Sebaliknya ketidakadilan akan menimbulkan ketidak percayaan, ketidak senangan, kebencian, dendam, permusuhan, peperangan dan lain sebagainya.[7]

انّ الله يأمركم بالعدل والاحسا ن

Artinya: Sesungguhnya Allah menyuruh (kamu) berlaku adil dan berbuat kebajikan. (QS. Al-Nahl: 90).

Sifat adil dapat dikelompokkan menjadi lima kelompok, yaitu:

a.       Berlaku adil dalam menetapkan hukum.

b.      Berlaku adil terhadap istri.

c.       Berlaku adil pada anak-anaknya.

d.      Berlaku adil dalam kesaksian, baik dalam bentuk kata-kata atau tulisan.


e.       Berlaku adil dalam  mendamaikan orang-orang yang sedang berselisih.

Keadilan akan menciptakan ketenangan, ketentraman, dan kedamaian dalam kehidupan dirinya, keluarganya, dan masyarakat di sekitarnya.

8.      Taubat

Taubat secara bahasa berarti kembali. Secara istilah berarti kembai kepada kesucian atau kebenaran setelah seseorang melakukan perbuatan dosa atau  maksiat. Jadi, taubat adalah  tekad yang sunguh-sungguh untuk meninggalkan perbuatan dosa dan kemudian berketetapan hati untuk tidak lagi melakukan perbuatan perbuatan tersebut.

Agar taubat yang dilakukan oleh seseorang dapat berhasil, maka diperlukan persyaratan:

a.       Menyadari kesalahan yang telah dilakukan.

b.      Menghentikan kesalahan tersebut setelah sadar.

c.       Memohon ampun kepada Allah atas kesalahan tersebut.

d.      Memohon perlindungan Alla agar tidak mengulang kesalahan tersebut.

e.       Segera mengganti kesalahan yang dilakukan dengan melakukan kebaikan. [8]

Artinya: Hai orang-orang yang beriman, bertaubatlah kepada Allah dengan semurni-murninya. (QS. At-Tahrim: 8).

Agar taubat seseorang diterima oleh Allah, maka ia harus mengikuti taubat itu dengan melakukan perbuatan baik.

9.      Raja’

Raja’ secara bahasa berarti harapan. Secara istilah raja’ dapat diartikan denga sikap yang penuh keyakinan (optimisme) bahwa Allah adalah tempat segala harapan dan Allah akan memberikan rahmat dan karunia yang paling baik untuk dirinya. Sifat raja’ akan membangkitkan sikap optimisme dan sikap tidak kenal putus asa dalam menghadapi dan memecahkan setiap masalah yang muncul dalam kehidupan sehari-hari. Sifat raja’ akan mendorosetiap muslim untukberserah diri sepenuhnya hanya kepada Allah dan kemudian mengaharap pertolongan, perlindungan, rahmat dan ridho-Nya.

10.  Kufur

Kufur secara bahasa berarti menutupi. Kufur merupakan kata sifat dari kafir. Jadi, kafir adalah orangnya, sedangkan kufur adalah sifatnya. Menurut syara’, kufur adalah tidak beriman kepada Allah SWT dan Rasul-Nya, baik dengan mendustakan atau tidak mendustakan.[9]

Kufur ada dua jenis, yaitu kufur  besar dan kufur kecil. Kufur besar  adalah perbuatan yang menyebabkan pelakunya keluar dari agama Islam dan abadi dalam neraka. Kufur besar ada lima macam, yaitu berikut di bawah ini. [10]

a.   Kufur karena mendustakan para rasul. Dalilnya adalah Q.S. Al-Ankabut: 68

b.  Kufur karena enggan dan sombong, padahal tahu kebenaran risalah para rasul. Dalinya adalah Q.S. Al-Baqarah: 34

c.  Kufur karena ragu, yaitu ragu-ragu terhadap kebenaran para rasul. Dalilnya adalah Q.S. Al-Kahf: 35-38

d. Kufur karena berpaling, yaitu berpaling secara menyeluruh dari agama dan apa yang dibawa para rasul. Dalilnya adalah Q.S. Al-Ahqaf: 3

e.  Kufur karena nifak, yakni nifak  i’tikad, menampakkan keimanan dan menyembunyikan kekufuran. Dalilnya adalah Q.S. Al-Munafiqun: 3

11.  Nifak dan Fasik

Secara bahasa, nifak berarti lubang tempat keluarnya yarbu (binatang sejenis tikus) dari sarangnya.

Nifak menurut syara’,  artinya menampakkan Islam dan kebaikan, tetapi menyembunyikan kekufuran dan kejahatan. Dengan kata lain, nifak adalah menampakkan sesuatu yang bertentangan dengan apa yang terkandung di dalam hati. Atas dasar itu, Allah SWT mengingatkan bahwa orang-orang munafik itu adalah orang-orang fasik (Q.S. At-Taubah: 67), yaitu mereka yang keluar dari syara’.

Nifak terbagi menjadi dua macam, yaitu nifak  I’tiqadi dan nifak ‘amali. Nifak i’tiqadi adalah  nifak besar yang pelakunya menampakkan keislaman, tetapi menyembunyikan kekufuran dalam hatinya. Jenis nifak ini menyebabkan pelakunya keluar dari agama Islam dan abadi dalam neraka. Allah SWT menyifati pelakunya dengan sifat-sifat buruk: kafir, tidak memiliki iman, mengolok-olok Islam dan pemeluknya, dan cenderung kepada musuh Allah SWT.

Nifak i’tiqadi ini ada enam macam, yaitu sebagai berikut.

a.       Mendustakan Rasulullah SAW.

b.      Mendustakan sebagian apa yang dibawa Rasulullah SAW.

c.       Membenci Rasulullah SAW.

d.      Membenci sebagian apa yang dibawa Rasulullah SAW.

e.       Merasa gembira dengan kemunduran agama Rasulullah SAW.

f.       Membenci kemenangan agama Rasulullah.

Nifak ‘amali, yaitu melakukan sesuatu yang merupakan perbuatan orang  munafik, tetapi dalam hatinya masih terdapat iman. Nifak ini tidak mengeluarkan pelakunya dari agama Islam, tetapi merupakan washilah (perantara) kepada yang demikian. Pelakunya berada dalam keadaan iman-nifak. Jika perbuatan nifaknya lebih banyak, hal itu bisa menjerumuskan ke dalam nifak yang sesungguhnya.

Perbedaan antara nifak besar dan nifak kecil dapat dijelaskan sebagai berikut.

a.  Nifak besar menyebabkan pelakunya keluar dari agama Islam, sedangkan nifak kecil tidak demikian.

b.  Nifak besar berarti bertolak belakang antara apa yang disembunyikan dan apa yang ditampakkan mengenai keyakinan, sedangkan nifak kecil bertolak belakang antara apa yang disembunyikan dan apa yang ditampakkan mengenai perbuatan semata, bukan keyakinan.

c.   Nifak besar tidak akan keluar dari seorang mukmin, sedangkan nifak kecil terkadang keluar darinya.

d. Pelaku nifak besar umumnya tidak bertobat kepada Allah SWT, sedangkan pelaku nifak kecil terkadang bertobat kepadanya.

12.  Takabur dan Ujub

Allah SWT mencela perbuatan takabur dalam beberapa firman-Nya, di antaranya:

Q.S. Al-A’raf: 146 dan Q.S. Al-Mu’minun: 60

Takabur terbagi dalam dua bagian, yaitu batin dan lahir. Takbur batin adalah perilaku dan akhlak diri, sedangkan takabur lahir adalah perbuatan-perbuatan buruk yang muncul dari takabur batin. Perbuatan-perbuatan buruk yang muncul dari takabur batin sangat banyak sehingga tidak  dapat disebutkan satu per satu.

Dilihat dari subjeknya, takabur terbagi menjadi tiga bagian.

Pertama, takabur kepada Allah SWT. Inilah takabur yang paling berat dan keji. Ini seperti yang Fir’aun lakukan, ia mengaku sebagai Tuhan dan merasa dirinya dapat memerangi Tuhan langit.

Kedua, takabur kepada rasul, yaitu tidak mau mengamalkan ajaran Nabi Muhammad SAW serta menghina dan menyepelekan ajarannya. Ini seperti perilaku orang-orang kafir Quraisy yang menentang dakwah Nabi Muhammad SAW.

Ketiga, takabur terhadap sesama manusia, yaitu menganggap orang lain remeh dan hina. Meskipun tingkatannya lebih rendah dari yang pertama dan kedua, kesombingan jenis ketiga ini tetap saja merupakan perilaku yang sangat dicela karena kesombongan, keagungan, dan kemuliaan tidak layak, kecuali bagi Allah, Tuhan semesta alam. Dalam sebuah hadis qudsi, Allah berfirman:

“Kesombongan  adalah  selendang-Ku  dan kemuliaan adalah pakaian-Ku. Siapa yang mengambil salah satunya dari-Ku maka akan Aku campakkan dia ke dalam neraka.”

Al-Ghazali menuturksn bahwa seseorang tidak takabur atau ujub kecuali ketika ia merasa memiliki kesempurnaan, baik berkaitan dengan agama atau dunia. Berkaitan dengan agama, misalnya, ia takabur karena merasa paling dekat dengan Allah SWT dibandingkan dengan lainnya. Adapun berkaitan dengan dunia, ia merasa dirinya, misalnya, lebih kaya atau terhormat daripada yang lainnya.

13.  Dengki

Dalam bahasa Arab, dengki disebut hasad, yaitu perasaan yang timbul dalam diri seseorang setelah memandang sesuatu yang tidak dimiliki olehnya, tetapi dimiliki oleh orang lain, kemudian dia menyebarkan berita bahwa yang dimiliki orang tersebut diperoleh dengan tidak sewajarnya. Adapun menurut Imam Al-Ghazali, dengki adalah membenci kenikmatan yang diberikan Allah SWT kepada orang lain dan ingin agar orang tersebut kehilangan kenikmatan itu.

Di antara beberapa dalil yang mencela perbuatan dengki adalah sebagai berikut.

a.       Allah SWT berfirman dalam Q.S. An-Nisa’: 54

b.      Sabda Rasulullah SAW.

“Jauhilah sifat dengki karena dengki itu melalap kebaikan sebagaimana api memakan kayu.”

“Janganlah kamu saling mendengki, saling membenci, dan saling merugikan. Jadilah kamu hamba-hamba Allah yang bersaudara.”

Al-Ghazali membagi dengki pada empat tingkat. Pertama, menginginkan lenyapnya kenikmatan dari orang lain, meskipun kenikmatan itu tidak berpindah kepada dirinya. Kedua, menginginkan lenyapnya kenikmatan dari orang lain karena dia sendiri menginginkannya. Ketiga, tidak menginginkan kenikmatan itu sendiri, tetapi menginginkan kenikmatan serupa. Jika gagal memperolehnya, dia berusaha merusak kenikmatan orang lain. Keempat, menginginkan kenikmatan serupa. Jika gagal memperolehnya, dia tidak ingin lenyapnya keinginan itu dari orang lain. Sikap keempat ini diperbolehkan dalam urusan agama.

Oleh karena itu, apabila penyakit dengki ini mulai bersarang di dalam hati, maka perlu kita obati. Adapun cara mengobatinya adalah dengan cara berikut.

a.   Minta maaf kepada orang yang didengki (dihasadi), walaupun terasa berat.

b.   Menyadari dan mengingat bahwa semua nikmat yang diberikan Allah SWT kepada umat Islam yang dikehendaki-Nya, sudah pasti tidak merugikan orang lain.

14.  Gibah (Mengumpat)

Gibah atau mengumpat memiliki beberapa definisi.

a.  Menurut Raghib Al-Ashfahani, gibah adalah membicarakan aib orang lain dan tidak ada keperluan dalam penyebutannya.

b. Menurut Al-Ghazali, gibah adalah menuturkan sesuatu yang berkaitan dengan orang lain, yang apabila penuturan itu sampai padayang bersangkutan, ia tidak menyukainya.

c.   Menurut Ibnu Atsir, gibah adalah membicarakan keburukan orang lain yang tidak pada tempatnya walaupun keburukan itu memang ada padanya.

Berdasarkan definisi-definisi tersebut dan kesepakatan para ulama, maka gibah hukumnya haram. Adapun dasar larangan berbuat gibah adalah sebagai berikut. Firman Allah SWT Q.S. Al-Hujurat: 12, Q.S. Al-Humazah: , Q.S. Al-Qalam: 11

Al-Qathani menuturkan beberapa sebab kemunculan perbuatan gibah.

a.       Melampiaskan kebencian.

b.      Dengki kepada seseorang.

c.       Keinginan meninggikan status sendiri dan merendahkan status orang lain.

d.      Bergaul dengan orang-orang tidak baik.

e.       Bangga menjadi ahli maksiat.

f.       Menganggap remeh orang lain

15.  Riya’

Kata riya’ diambil dari dasar ar-ru’yah, yang artinya memancing perhatian orang lain agar dinilai sebagai orang baik. Riya’ adalah memperlihatkan diri kepada orang lain. Maksudnya beramal bukan karena Allah SWT, tetapi karena manusia. Riya’ erat hubungannya dengan takabur.

Sifat riya’ dapat muncul dalam beberapa bentuk kegiatan seperti berikut ini.

a.       Riya’ dalam beribadah

Riya’ dalam beribadah maksudnya memperlihatkan kekhusukan apabila di tengah-tengah jamaah karena ada orang yang melihatnya.

b.      Riya’ dalam berbagi kegiatan atau pekerjaan (Firman Allah Q.S. Al-Anfal: 47)

c.       Riya’ dalam berderma atau bersedekah. (Firman Allah Q.S. Al-Baqarah: 264)

d.      Riya’ dalam berpakaian.


C.     Pembagian Nafsu Manusia, Penyakit Hati dan obatnya dalam Akhlak Madzmumah

1.      Nafsu manusia

Nafsu dalam ensklopedi Indonesia, berarti diri seseorang, roh, jiwa, tubuh, nyawa, niat dan kehendak. Maka secara istilah nafsu adalah pendorong yang mewujudkan berbagai keinginan seperti keinginan makan, minum, berpakaian, bersenang-senang, berumah tangga, hubungan biologis, ingin pangkat, jabatan atau kemewahan dunia. Adapun rem untuk nafsu adalah ajaran agama, sebab agama memberi petunjuk kepada kebaikan yang berguna dan bermanfaat. Selain itu Islam memberi peringatan tentang larangan mengikuti hawa nafsu, sebagai mana dalam al-Qur’an surat an-nisa’ ayat 135 yang artinya:

“Maka janganlah kamu mengikuti hawa nafsu karena ingin menyimpang dari kebenaran. Dan jika kamu memutar balikkan (kata-kata) atau enggan menjadi saksi, maka sesungguhnya Allah adalah Maha Mengetahui segala apa yang kamu kerjakan.” 

Nafsu adalah organ rohani yang bersar pengaruhnya dan paling banyak di antara anggota rohani yang mengeluarkan instruksi kepada anggota jasmani untuk berbuat atau bertindak. Jika nafsu seseorang itu baik, maka ia akan melahirkan akhlak yang baik. Sebaliknya jika nafsu seseorang itu buruk maka ia akan melahirkan akhlak yang buruk pula.

Adapun dorongan-dorongan nafsu itu ada tiga macam, yaitu sebagai berikut:

a.       Nafsu amarah

Nafsu amarah adalah jiwa yang belum mampu membedakan mana yang baik dan mana yang buruk, belum memperoleh tuntunan, belum menentukan mana yang manfaat, mana yang mudarat. Allah berfirman dalam surat as-Sajadah ayat 13 yang artinya: Dan kalau Kami menghendaki niscaya Kami akan berikan kepada tiap- tiap jiwa petunjuk, akan tetapi telah tetaplah perkataan dari padaKu: "Sesungguhnya akan Aku penuhi neraka jahannam itu dengan jin dan manusia bersama-sama." 

b.      Nafsu Lawwamah (Nafsu Hewaniah) 

Nafsu lawwamah adalah jiwa yang mempunyai rasa insaf dan menyesal sesudah melakukan sesuatu pelanggaran. Nafsu lawwamah dapat melihat dirinya dengan keadaan sadar, dapat membedakan baik dan buruk, hanya rentan dengan kejahatan. 

c.       Nafsu Muthmainnah (Nafsu fitrah Manusia)

Nafsu Muthmainnah adalah jiwa yang mendapat tuntunan, bimbingan dan pemeliharaan yang baik. Ia dapat mendatangkan ketenangan jiwa, perbuatan baik dan membentengi serangan kekejian dan kejahatan.

2.      Penyakit hati dan obatnya

Penyakit hati adalah perasaan tidak enak yang muncul di dalam diri manusia sehingga menyebabkan hatinya menjadi terasa tidak tenang, gelisah, dan waswas. Perasaan tidak enak itu mirip seperti sebuah virus yang menyerang komputer, ia muncul karena adanya sesuatu yang tidak beres di dalam hati dan pikiran manusia, tidak peduli laki-perempuan, tua-muda, besar-kecil, maupun kaya-miskin.[11]

Menurut para muallaf, orang-orang yang hatinya sedang sakit itu biasanya sering mengalami kesulitan untuk mengendalikan emosinya. Sebab, emosi orang yang sedang sakit itu sangat tidak stabil. Karena itu ia gampang sekali goyah. Hal itu terjadi karena orang yang hatinya sedang sakit itu sering mengalami kesulitan dalam melihat hakikat dan suatu persoalan atau situasi yang sedang terjadi di hadapannya. Akibatnya, ia gampang sekali terpancing emosi, dan terkadang larut dalam situasi yang sedang terjadi.[12]

Dari pengertian diatas dapat disimpulkan bahwa penyakit hati adalah suatu penyakit yang menimbulkan perasaan tidak enak dalam jiwa seseorang yang disebabkan oleh virus (bisikan setan dan hawa nafsu) sehingga menyebabkan hati menjadi keras bahkan mati. Orang yang terkena penyakit hati ini biasanya tidak bisa dinasehati dan menganggap semua perbuatannya paling benar. 

a.       Macam-macam Penyakit Hati

1)      Syirik

Syirik secara bahasa adalah menyamakan dua hal, sedangkan menurut,istilah, terdiri atas defenisi umum dan defenisi khusus. Defenisi umum adalah menyamakan sesuatu dengan Allah SWT dalam hal-hal yang secara khusus dimiliki Allah SWT. 

Syirik ada dua macam, yaitu syirik akbar (syirik besar) dan syirik ashgar(syirik kecil). Syirik akbar adalah menjadikan sekutu selain Allah SWT. Lalu menyembahnya. Pelakunya keluar dari islam dan segala amal baiknya terhapus. Jika mati dalam keadaan seperti itu, ia akan abadi dalam neraka jahannam. Siksanya tidak akan diringankan sedikit pun. Adapun syirik ashgar adalah setiap perbuatan yang menjadi perantara menuju syirik akbar, atau atau perbuatan yang dicap syirik oleh nash, tetapi tidak sampai mencapai derajat syirik akbar[13]

Syirik merupakan penyakit hati yang sangat berbahaya, sebab syirik pada hakikatnya adalah menempatkan kepercayaan yang salah dalam hati yang diciptakan Allah SWT sebagai tempat yang tepat bagi keyakinan atau keimanan yang benar.

2)      Sombong

Sombong adalah sifat, prilaku yang merasa diri lebih baik dari orang lain. Kesombongan adalah warisan dari iblis yang menolak mengikuti perintah Allah SWT untuk bersujud (hormat) kepada Nabi karena merasa lebih baik dan lebih mulia dari Adam.

Sifat sombong ataupun kesombongan hanyalah pantas dimiliki Allah SWT tidak boleh dimiliki oleh manusia, karena hanya Allah SWT yang berkuasa dan memiliki semua alam semista ini beserta isinya termasuk manusia.

Sombong merupakan penyakit hati yang sangat buruk. Nabi SAW. bersabda : “Siapa yang didalam lubuk hatinya terdapat satu dzarrah saja dari kesombongan (Al-kibr), Allah SWT mengharamkan baginya masuk surga.”

3)      Riya’

Kata Riya’ diambil dari kata dasar Ar-Ru’yah, yang artinya memancing perhatian orang lain agar dinilai sebagai orang baik. Riya’ merupakan salah satu penyakit hati yang harus dihindari dan dibuang jauh-jauh dalam jiwa kaum muslimin, karena riya’ dapat menggugurkan amal ibadah. Riya’ adalah memperlihatkan diri kepada orang lain. Maksudnya beramal bukan karena Allah SWT tetapi karena manusia. Oleh karena itu orang riya’ itu melakukan ibadah pada saat ada orang lain melihatnya.[14]

Riya’ juga termasuk pada syirik, akan tetapi tidak sampai mengeluarkan pelakunya, karena termasuk pada syirik ashghar (syirik kecil), tetapi termasuk pada kedzaliman, yaitu dzalim kepada Allah SWT. Dengan demikian riya’ harus dihindari. Allah SWT melarang makhluq-Nya bersifat riya’.

4)      Ujub

Ujub adalah sikap berbangga diri. Ujub juga termasuk sifat buruk, hati yang ujub mula-mula muncul dalam bentuk kekaguman pada diri sendiri. Jika sudah begitu, semua selain dirinya seolah harus tunduk kepadanya.

Ujub merupakan sifat yang melekat dalam diri seseorang karena merasa dirinyalah yang paling sempurna diantara makhluk yang lain, contohnya: berbangga diri karena mendapat juara kelas berkat usahanya sendiri. Tidak merasa bahwa yang memberikan semua itu adalah Allah SWT.

5)      Dengki

Dengki dalam bahasa arab disebut dengan hasad, yaitu perasaan yang timbul dalam diri seseorang setelah setelah memandang sesuatu yang tidak dimiliki olehnya, tetapi dimiliki oleh orang lain, kemudian dia menyebarkan berita bahwa yang dimiliki orang tersebut diperoleh dengan tidak sewajarnya.

Penyakit dengki ini umumnya muncul akibat seseorang tidak mampu memperoleh sesuatu (jabatan, kedudukan, pangkat, dan sebagainya) yang diperebutkan dalam kehidupan. Lalu hatinya dongkol, geram, dan ingin berbuat sesuatu yang mengakibatkan binasanya orang tersebut. [15]

Dari pengertian diatas kita dapat menyimpulkan bahwa penyakit dengki itu adalah suatu penyakit hati yang tidak bisa menerima jika nikmat Allah SWT diberikan pada orang lain dan menginginkan nikmat tersebut hilang dari orang tersebut dan berindah padanya.

b.      Cara Mengobati Penyakit Hati

1)      Mengekang atau mengembalikan hawa nafsu diri sendiri. Hawa nafsu selalu mengajak kepada kejahatan dan kemaksiatan. Al Nafs al Ammarah. Nafsu jenis ini disebutkan dalam surat yusuf ayat 53: “Dan aku tidak membebaskan diriku (dari kesalahan). Karena sesungguhnya nafs itu selalu menyuruh kepada kejahatan, kecuali yg diberi rahmat oleh tuhanku yang maha pengasih dan maha penyayang.”

2)      Waspada dan berlindung kepada Allah SWT dari godaan syetan yang terkutuk. syetan adalah makhluk Allah SWT yang berusaha agar segenap anak cucu adam berada dalam kesesatan dan durhaka kepada Allah SWT. Untuk itu, kita di anjurkan untuk berlindung kepada Allah SWT untuk terhindar dari bujuk rayu syetan sehingga kita menang dengan rayuan syetan tersebut.

3)      Beristiqomah dalam taat kepada Allah SWT, melalui serangkain ibadah, dzikir (tahlil; kalimat lailahaillahu, tasbih; kalimat subhanallah, tahmid; kalimat Alhamdulillah, takbir; kalimat Allahu akbar, hauqalah; kalimat laa haula wala quwwata illa billah, dan al kalimat al thayyibah lainnya), shalat (wajib dan sunnat), puasa (wajib dan sunnat), dan memperbanyak shalawat kepada nabi Muhammad saw.

Dengan memperbanyak dan membiasakan hal diatas maka iman seorang akan kokoh dan mantab serta dapat membendung godaan syetan dan kehendak nafsu yang tidak terkendali sehingga dapat terhindar dari penyakit-penyakit hati yang disebut diatas. 


D.    Konsekuensi Akhlak Madzmumah dalam Kehidupan Muslim

Adapun bahaya yang ditimbulkan oleh maksiat atau perbuatan dosa itu seperti di sebutkan oleh Ibnu Qoyyim rahimullah, sebagai berikut:

1.  Terhalangnya ilmu agama karena ilmu itu cahaya yang diberikan Allah di dalam hati, dan maksiat mematikan itu.

2.   Terhalangnya rezeki, seperti dalam hadits riwayat Imam Ahmad, "Seorang    hamba bisa terhalang rezekinya karena dosa yang menimpanya."

3.    Perasaan alienasi pada diri si pendosa yang tiada tandingannya dan tiada terasa kelezatan.

4.   Kegelapan yang dialami oleh tukang maksiat di dalam hatinya seperti perasaan di kegelapan malam.

5.    Terhalangnya ketaatan.

6.    Maksiat memperpendek umur dan menghapus keberkahannya.

7.   Maksiat akan melahirkan maksiat lain lagi, demikian kata ulama salaf: Hukum kejahatan adalah kejahatan lagi sebagaimana kebaikan akan melahirkan kebaikan lagi.

8.    Orang yang melakukan dosa akan terus berjalan ke dalam dosanya sampai dia merasa dirinya hina. Itu pertanda-tanda kehancuran.

9.     Kemaksiatan menyebabkan kehinaan. Dan kebaikan melahirkan kebanggaan dan kejayaan.

10.   Maksiat merusak akal, sedang kebaikan membangun akal.

Baca juga artikel yang lain:

  1. Pengertian Bid'ah
  2. Konsep Manusia Menurut Aliran Humanisme dan Islam
  3. Konsep Manusia dalam Prespektif Aliran Psikoanalisa dan Behaviorisme
  4. Psikologi Perkembangan Pada Masa Anak-Anak
  5. Keterkaitan Ilmu Pengetahuan dan Agama
  6. Studi Al-Qur'an
  7. Studi Fikih (Hukum Islam)
  8. Urgensi Pengantar Studi Islam
  9. Etika Politik dan Nilai Pancasila Sebagai Sumber Politik
  10. Maqamat dan Ahwal dalam Tasawuf
  11. Akhlak Pribadi sebagai Makhluk dan Anggota Masyarakat
  12. Tipologi Tasawuf
  13. Akhlak Tasawuf
  14. Pendidikan Akhlak
  15. Thareqat di Indonesia
  16. Konsep Baik dan Buruk, Hak dan Kewajiban dalam Akhlak
  17. Ma’rifat dan Mahabbah dalam Tasawuf
  18. Nafsu dan Penyakit Hati
  19. Pengertian Tasawuf
  20. Akhlak Pribadi sebagai Makhluk, Diri Sendiri, Masyarakat, Keluarga

Footnote

[1] Musthofa, Akhlak Tasawuf . (Bandung: Pustaka Setia, 2006) hal 61

[2] M. Sayoti, Ilmu Akhlak,  (Bandung: Lisan, 1987) hal 38

[3] Ibid, 39

[4] Rosihon Anwar dan Abdul Rozak, Akhlak Taswuf (Bandung, Pustaka Setia 2003) hal 134

[5] Ibid, 134

[6]  Imam Suraji, Etikadalam Persepktif Al-Quran dan Hadist (Jakarta: PT.Pustaka Al-Husna Baru, 2006) hal 253

[7] Ibid, 258

[8] Ibid, 263

[9] Ibid, 125

[10] Ibid, 125

[11]Ahmad Barozi dan Abu Azka Fathin Mazayasya, Penyakit Hati dan Penyembuhannya, (Yogyakarta: Darul Hikmah, 2008), 19.

[12] Ibid, 21

[13] Rosihon Anwar, Akhlak Tasawuf, (Bandung: CV. Pustaka Setia, 2010), 123

[14] Ibid, 137

[15]Rif’at Syauqi Nawawi, Kepribadian Qur’ani, (Jakarta: Amzah, 2014), 203.

MAKALAH HADIST TENTANG HIJAB

  A.   Latar Belakang Telah disepakati oleh seluruh umat Islam bahwa al-Qur’an menjadi pedoman hidup baik tentang syariah maupun dalam keh...