HOME

23 Januari, 2022

Ma’rifat dan Mahabbah dalam Tasawuf

DAFTAR ISI

COVER............................................................................................... i

KATA PENGANTAR.......................................................................... ii

DAFTAR ISI....................................................................................... iii

BAB 1 PENDAHULUAN................................................................... 1

A. Latar Belakang.............................................................................. 1

B. Rumusan Masalah.......................................................................... 1

C. Tujuan............................................................................................ 2

BAB 2 PEMBAHASAN..................................................................... 3

A. Mahabbah dalam Tasawuf............................................................. 3

B. Ma’rifat dalam Tasawuf................................................................. 6

C. Tokoh-Tokoh yang Mengembangkan

 D. Ilmu Mahabbah dan Ma’rifat...................................... ………......11

BAB 3 KESIMPULAN....................................................................... 17

DAFTAR PUSTAKA.......................................................................... 18


BAB I

PENDAHULUAN

A.    LATAR BELAKANG

“Mahabbah” adalah cinta, atau cinta yang luhur  kepada Tuhan yang suci dan tanpa syarat,tahapan menumbuhkan cinta kepada Allah, yaitu: keikhlasan, perenungan, pelatihan spiritual, interaksi diri terhadap kematian, sehingga tahap cinta adalah tahap tertinggi oleh seorang ahli yang menyelaminya. Didalamnya kepuasan hati (ridho), kerinduan (syauq) dan keintiman (uns).

Sedangkan Ma’rifah ialah ilmu atau pengetahuan yang diperoleh melalui akal.Dalam kajian ilmu tasawuf “Ma’rifat” adalah mengetahui Tuhan dari dekat, sehingga hati sanubari dapat melihat Tuhan”. Menurut shufi jalan untuk memperoleh ma’rifah ialah dengan membersihkan jiwanya serta menempuh pendidikan shufi yang mereka namakan maqamat, seperti hidup zuhud, ibadah dan barulah tercapai ma’rifat.  

Dalam makalah ini kita akan membahas tentang Mahabbah dan Ma’rifah beserta tujuan, kedudukan, paham, tokoh sufi,serta mahabah dan ma’rifah dalam pandangan al-Qur’an dan al hadits, Maka jika ada kesalahan yang sekiranya di luar kesadaran, kami siap menerima kritik dan saran yang membangun dari para pembaca sekalian.

B.     RUMUSAN MASALAH

Sebelum lebih lanjut mengenai pembahasan dalam pembuatan makalah ini terlebih dahulu kita akan menyampaikan beberapa permasalahan atau pembahasan yang akan kita bahas dalam makalah ini, diantaranya:

1.      Bagaimana Pengertian, Tujuan, Kedudukan, dan alat untuk mencapai Mahabbah dalam Tasawuf ?

2.      Bagaimana Pengertian, Tujuan, Kedudukan, dan alat untuk mencapai Ma’rifat dalam Tasawuf ?

3.      Siapa saja tokoh-tokoh yang mengembangkan doktrin Ma’rifat dan Mahabbah dalam Tasawuf ?

C.    TUJUAN

Dengan bebrapa permaslaahan yang telah kami sebutkan di atas diahrapkan kita dapat memahami beberapa hal berikut ini:

1.     Untuk mengetahui Pengertian, Tujuan, Kedudukan Ma’rifat dan Mahabbah dalam Tasawuf

2.     Untuk mengetahui Alat untuk Mencapai Ma’rifat dan Mahabbah

3.     Untuk mengetahui tokoh-tokoh yang mengembangkan ilmu ma’rifat dan mahabbah dalam tasawuf


BAB II

PEMBAHASAN

A.    Mahabbah dalam Tasawuf

1.      Pengertian Mahabbah

Secara terminologi, Mahabbah berarti cinta kepada Allah SWT. Sedangkan menurut pendapat dari sebagian sufi, Mahabbah adalah kecenderungan hati kepada sesuatu yang diinginkan serta disenanginya. Menurut Al-Ghazali, Mahabbah adalah suatu kecenderungan terhadap sesuatu yang memberikan manfaat. Apabila kecenderungan itu mendalam dan menguat, maka ia dinamakan rindu. Sedangkan sebaliknya, benci adalah kecenderungan untuk menghindari sesuatu yang menyakiti. Apabila kecenderungan untuk menghindari itu mendalam dan menguat, maka ia dinamakan benci.[1]

Menurut Abu Yazid al-Busthami, mahabbah adalah menganggap sedikit milikmu yang sedikit dan menganggap banyak milik Dzat yang kau cintai. Sedangkan menurut Rabiah al-Adawiyah, Mahabbah memiliki beberapa pengertian sebagai berikut:

a.      Memeluk kepatuhan kepada Tuhan dan membenci sikap melawan kepada-Nya.

b.      Menyerahkan seluruh diri kepada yang dikasihi.

c.       Mengosongkan hati dari segala-galanya kecuali dari diri yang dikasihi.[2]

Menurut Abu Nahsr ath-Thusi, cinta kepada Tuhan terbagi menjadi tiga macam cinta[3] yaitu: Pertama, cinta orang awam. Cinta seperti ini muncul karena kebaikan dan kasih sayang Tuhan kepada mereka. Ciri-ciri cinta ini adalah ketulusan dan keteringatan (dzikir) yang terus menerus. Karena jika orang mencintai sesuatu, maka ia pun akan sering mengingat dan menyebutnya.

Kedua, cinta orang-orang yang shadiq dan mutahaqqiq. Cinta mereka ini timbul karena penglihatan mata hati mereka teradap kekayaan, keagungan, kebesaran, pengetahuan, dan kekuasan Tuhan. Ciri-ciri cinta ini adalah “terkoyaknya tabir” dan “tersingkapnya rahasia” Tuhan. Selain itu, ciri yang lain adalah lenyapnya kehendak serta hilangnya semua sifat (kemanusiaan dan keinginan duniawi.

Ketiga, cinta orang-orang shiddiq dan arif. Cinta macam ini timbul dari penglihatan dan pengenalan mereka terhadap ke-qadim-an cinta Tuhan tanpa sebab (illat) apapun.

Sedangkan menurut Zunnun al-Misry, Mahabbah adalah mencintai apa yang dicintai Allah, membenci apa yang dibenci Allah, mengerjakan secara paripurna apa yang diperintahkan, dan meninggalkan segala sesuatu yang akan membuat kita jauh dari Allah, tidak takut pada apapun selain Allah, dan bersifat lembut terhadap saudara dan bersifat keras terhadap musuh-musuh Allah, dan mengikuti jejak Rasulullah dalam segala hal.

Dengan uraian tersebut dapat diperoleh pemahaman bahwa Mahabbah adalah suatu keadaan jiwa yang mencintai Tuhan sepenuh hati sehingga sifat-sifat yang dicintai (Tuhan) masuk ke dalam diri yang mencintai.

2.      Tujuan Mahabbah

Mahabbah dapat berarti kecenderungan pada sesuatu yang sedang berjalan, dengan tujuan untuk memperoleh kebutuhan yang bersifat material maupun spiritual, seperti cintanya seseorang yang kasmaran pada sesuatu yang dicintainya. Mahabbah pada tingkat selanjutnya berarti suatu usaha sungguh-sungguh dari seseorang untuk mencapai tingkat rohaniah tertinggu dengan tercpainya gambaran yang mutlak, yaitu cinta kepada Tuhan, untuk memperoleh kesenangan batiniah yang sulit dilukiskan dengan kata-kata, tetapi hanya dapat dirasakan oleh jiwa.[4]

Kata Mahabbah selanjutnya digunakan untuk menunjukkan suatu paham atau aliran dalam tasawuf. Mahabbah obyeknya lebih ditujukan pada Tuhan. Jadi, Mahabbah artinya kecintaan yang mendalam secara ruhiah pada Tuhan.

3.      Kedudukan Mahabbah

Dibandingkan dengan Ma’rifat, roh Mahabbah lebih tinggi tingkatannya dari Ma’rifah. Karena Ma’rifah merupakan tingkat pengetahuan pada Tuhan melalui mata hati (al-qolb), sedangkan Mahabbah adalah perasaan kedekatan dengan tuhan melalui cinta. Oleh karena itu, menurut Al-Ghazali Mahabbah merupakan manifestasi Ma’rifah kepada Tuhan.[5]

4.      Alat untuk Mencapai Mahabbah

Para ahli tasawuf tasawuf menggunakan pendekatan psikologi untuk mencapai mahabbah, yaitu pendekatan yang melihat adanya potensi rohaniah yang ada dalam diri manusia. Harun Nasution mengatakan alat untuk memperoleh ma’rifat oleh sufi disebut sir. Harun Nasution mengutip pendapat al-Quraisy bahwa, ada 3 alat yang digunakan untuk berhubungan dengan Tuhan[6], yaitu:

a.      Al-Qalb, yaitu hati sanubari, sebagai alat mengetahui sifat-sifat Tuhan.

b.      Roh, yaitu alat untuk mencintai Tuhan.

c.       Sir, yaitu alat untuk melihat Tuhan.

Dari keterangan tersebut, dapat diketahui bahwa alat untuk mencapai Tuhan adalah roh, yaitu roh yang sudah dibersihkan dari dosa dan maksiat, serta dikosongkan dari kecintaan kepada segala sesuatu, melainkan hanya berisi cinta kepada Tuhan.[7] Roh yang digunakan untuk mencintai Tuhan itu, sebenarnya telah dianugerahkan Tuhan kepada manusia sejak dalam kandungan ketika berumur empat bulan, dengan demikian alat untuk mencintai Tuhan sebenarnya telah diberikan Tuhan. Manusia tidak mengetahui sebenarnya hakikat roh itu, yang mengetahui hanyalah Tuhan. Allah SWT berfirman:

وَيَسْــئَلُوْنَكَ عَنِ الرُّوْحِ   ۗ  قُلِ الرُّوْحُ مِنْ اَمْرِ رَبِّيْ وَمَاۤ اُوْتِيْتُمْ مِّنَ الْعِلْمِ اِلَّا قَلِيْلًا

Artinya:"Dan mereka bertanya kepadamu (Muhammad) tentang roh, katakanlah, Roh itu termasuk urusan Tuhanku, sedangkan kamu diberi pengetahuan hanya sedikit." (QS. Al-Isra' 17: Ayat 85)

فَاِذَا سَوَّيْتُهٗ وَنَفَخْتُ فِيْهِ مِنْ رُّوْحِيْ فَقَعُوْا لَهٗ سٰجِدِيْنَ

Artinya: "Maka apabila Aku telah menyempurnakan (kejadian)nya, dan Aku telah meniupkan roh (ciptaan)-Ku ke dalamnya, maka tunduklah kamu kepadanya dengan bersujud." (QS. Al-Hijr 15: Ayat 29)

Selanjutnya, Rasulullah juga bersabda dalam sebuah hadist yang diriwayatkan oleh Imam Bukhari dan Muslim, yaitu:

“Sesungguhnya manusia dilakukan penciptaannya dalam kandungan ibunya, selama empat puluh hari dalam bentuk nutfah (segumpal darah), kemudian menjadi alaqah (segmpal daging), pada waktu juga empat puluh hari, kemudian dijadikan mudghah (segumpal daging yang telah berbentuk), pada waktu empat puluh hari juga, kemudian Allah mengutus malaikat untuk menghembuskan roh kepadanya”.(HR. Bukhari-Muslim).

Dua ayat dan satu hadist tersebut selain menginformasikan bahwa manusia dianugerahkan roh oleh Tuhan, juga menunjukkan bahwa roh itu pada dasarnya memiliki watak tunduk dan patuh pada Tuhan. Roh yang wataknya demikian itulah yang digunakan para sufi untuk mencintai Tuhan.[8]


B.     Ma’rifat dalam Tasawuf

1.      Pengertian Ma’rifat

Ma’rifat berasal dari kata arafa, ya’rifu, irfan, ma’rifah yang artinya prngetahuan atau pengalaman.[9] Dan apabila dihubungkan dengan pengamalan tasawuf, maka istilah ma’rifat disini berarti mengenal Allah ketika Shufi mencapai maqam dalam tasawuf. Hal ini didasarkan pada hadis Rasulullah yang berbunyi: “ man ‘Arafa Nafsahu. Faqod ‘Arafa Rabbahu”, (artinya: siapa yang mengenal dirinya, maka sesungguhnyadia telah mengenal Tuhannya)[10] dan ma’rifat ini dapat pula berarti pengetahuan tentang rahasia hakikat agama, yaitu ilmu yang lebih tinggi daripada ilmu yang biasa didapati oleh orang-orang pada umumnya.[11] Menurut Harun Nasution dalam falsafat dan Mistisisme dalam Islam. “ Ma’rifat adalah mengetahui tuhan dari dekat, sehungga hati sanubari dapat melihat Tuhan”.

Ma’rifat adalah pengetahuan yang objeknya bukan pada hal-hal yang bersifat ahir, tetapi lebih mendalam terhadap batinnya dengan mengetahui rahasianya. Hal ini didasarkan pada pandangan bahwa akal manusia sanggup mengetahui hakikat ketuhanan, dan hakikat itu satu, dan segala yang  maujud berasal dari satu. Selanjutnya Ma’rifat digunakan untuk mrnunjukkan pada salah satu tingkatan dalam Tasawuf. Dalam arti sufistik ini, Ma’rifat diartikan sebagai pengetahuan menegani Tuhan: melalui hati dan sanubari. Pengetahuan itu demikian lengkap dan jelas sehingga jiwanya merasa satu dengan yan diketahuinya itu, yaitu Tuhan. Selanjutnya Harun Nasution mengatakan bahwa ma’rifat menggambarkan hubungan rapat dalam bentuk gnosis, pengetahuan dengan hati sanubari.[12]

Ma’rifat menurut al-Ghozali adalah keinginan untuk mengenal zat, sifat Allah dan menolak segala sifat kekurangan serta menetapkan sifat kesempurnaan bagi Allah SWT, karena sangat sesuai dengan Al-Qur’an dan sunnah serta ijma’ ummat. Dr. Mustafa Zahri menemukakan salah satu pendapat Ulama Tasawuf yang mengatakan, “ma’rifat adalah ketetapan hati dalam mempercayai hadirnya)wujud yang wajib hadirnya adanya (Allah) yang segala kesempurnaannya.”

Asy-SyekhIhsan Muhammad Dahlan al-Kadiry mengemukakan pendapat Abuth Thayyib as-Saamiriy yang mengatakan: “Ma’rifat adalah hadirnya kebenaran Allah (pada Shufi) dalam keadaan hatinya selalu berhubungan dengan Nur Illahi”

Imam Al-Qusyairy mengemukakan pendapat Abdur Rahman bin Muhammad Bin Abdillah yang mengatakan: “Ma’rifat membuat ketenangan hati, sebagaimana ilmu pengetahuan membuat ketenangan (dalam akal pikiran). Barangsiapa yang meningkat ma’rifatnya, maka meningkat pula ketenangan (hatinya).”                                                                                                        

Jadi, ma’rifat adalah sadar kepada Allah SWT, yakni hati menyadari bahwa segala sesuatu, termasuk gerak-gerik dirinya lahir batin seperti: melihat, mendengar, merasa, menemukan, bergerak, berdiam, berangan-angan, berfikir, dan sebagainya, semua adalah Allah, yang menciptakan dan yang menggerakkan.jadi semuanya dan segala sesuatu adalah Billah. Ma’rifat adalah mengetahui rahasia-rahasia Tuhan dengan menggunakan hati sanubari.[13]

2.      Tujuan Ma’rifat

Orang yang berma’rifah kepada Allah tidak pernah menyombongkan diri. Sebagai makhluk yang lemah dan tanpa daya, manusia tidak bisa berbuat apa-apa kecuali atas pertolongab dan izin dari Allah Yang Maha Perkasa. Karena itu ia pun selalu mencari jalan untuk lebih mendekatkan diri kepada-Nya guna mendapatkan pertolongan, perlindungan, dan karunia-Nya. Sedang apapun yang dapat menghalangi jalannya untuk bertaqarrub kepada Allah SWT, ia singkirkan jauh-jauh dari lubuk hatinya, seperti sifat serakah kepada dunia, kikir sombong, riya’, bakhil, dan berbagai sifat tercela lainnya.

Menurut sorang ahli Ma’rifat terkenal al-Junaidi, bahwas seseorang belum bisa disebut Ma’rifat sebelum dirinya mempunyai sifat-sifat:

a.    Mengenal Allah secara mendalam, hingga seakan-akan dapat berhubungan secara langsung dengan-Nya.

b.      Dalam beramal selalu berpedoman kepada petunjuk-petunjuk Rasulullah SAW (al-Hadis).

c.       Berserah diri kepada Allah, dalam hal mengendalikan hawa nafsunya.

d.      Merasa bahwa dirinya adalah kepunyaan Allah dan kelak akan pasti kembali kepada-Nya.

Adapun menurut Imam al-Ghazali sebagaimana yang ditulis dalam kitab Ihya’ Ulumudin, di sana disebutkan bahwa ada 4 hal yang harusdikenal dan dipelajari oleh seseorang yang berma’rifat kepada Allah. Keekmpat hal tersebut adalah:[14]

a.   Mengenal siapa dirinya sebagai hamba, maka ia harus menyembah tuhan-Nya.

b.   Menegnal siapa Tuhannya Maka Dia harus disembah.

c.  Menegnal duinianya, maka harus digunakan sebgai kesembpatan untuk mempertanggungjawabkan segala macam perbuatan yang pernah dilakukan semasa hidupnya.

3.      Kedudukan Ma’rifat

Sebagaimana dengan halnya mahabba, ma’rifat ini terkadang dipandang sebagai maqam dan terkadang dianggap sebagai hal. Dalam literature barat, ma’rifah dikenal dengan istilah gnosis. Dalam pandangan al-Junaidi, ma’rifah dianggap sebagai hal, sedangkan dalam risalah al-Qusyairiyah, ma’rifah dianggap sebagai maqam. Sementara itu al-Ghazali dalam kitabnya Ihya’ ‘ulumudin memandnag ma’rifah datang sebelum mahabbah. Sedangkan al-Kalabazi menjelaskan bahwa ma’rifah datang sesudah mahabbah. Selanjutnya ada pula yang mengatakanbahwa ma’rifah dan mahabbah meruoakan kembar dua yang selalu disebut berbarengan. Keduanya menggambarkan keadaan dekatnya hubungan seorang sufi dengan Tuhan. Dengan kata lain mahabbahdan ma’rifah menggambarkan dua aspek dari hubungan rapat yang ada antara seorang sufi dengan Tuhan.[15]

Dengan demikian, kelihatannya yang lebih mudah dipahami bahwa ma’rifah datang sesudah mahabbah sebagaimana dikemukakan al-kalabazi. Hal ini disebabkan karena ma’rifah lebih mengacu kepada pengetahuan, sedangkan mahabbah menggambarkan kecintaan.

4.      Alat untuk Ma’rifah

Alat untuk mencapai ma’rifah adalah al-Qalb (hati). Menurut al-Ghazali qalb mempunyai dua pengertian. Arti pertama adalah hati jasmani (al-Qalb al-jasmani) atau daging sanubari (al-lahm al-sanubari), yaitu daging khusus yag berbentuk jantung pisang yang terletak di rongga dada sebelah kiri dan berisis darah hitam kental.

Qalb dalam arti ini erat hubungannya dengan ilmu kedokteran, dan tidak banyak menyangkut maksud-maksud agama dan kemanusiaan, karena hewan dan orang mati pun mempunyai qalb. Sedangkan qalb dalam arti kedua adalah sebagai luthf rabbani ruhi. Hal ini sesuai dengan pernyataannya dalam kitab ihya’’ulum ad-Din.

“qalb adalah dzat yang halus bersifat ketuhanan an rohani, bagi sifat-sifat tersebutdengan qalb jasmaniah ini berkaitan dan dzat yang halus trsebut merupakan hakikat manusia, dan dia bagian dari diri manusia yang menemukan dan mengetahui, dan diapula yangmenerima perintah agama dan yang disiksa”.

Demikian juga menurut al-Qusyairi, qalb terdapat ruh dan sirr. Sirr merupakan alat musyahadah (menyaksikan alam ghaib), sedang ruh merupakan alat mahabbah (mencintai Tuhan). Sedang al-Qalb tempat pengetahuan (ma’rifah).

Ia (hati) adalah tempat menyaksikan sebagaimana ruh adalah tempat cinta dan hati adalah tempat pengetahuan. Oleh Karena itu Abu Hamid al-Ghazali mengumpamakan qalb sebagai kaca cermin, di mana kaca cermin dapat menghasilkan gambar kebenaran dari segala hal. Al-Qalb sebagai cermin mampu menampakkan gambar kebenaran dari segala hal, termasuk hal yang tertulisdi dalam lauh al-mahfudz.

Gambar kebenaran atau tulisan akan tampak di dalam hati, manakala hati itu tidak terdapat penghalang. Ada beberapa penghalang yang menyebabkanhati itu tidak berfungsi sebagai cermin atau setidaknya fungsinya menjadi berkurang atau gambarnya menjadi kurang jelas. Penghalang itu adalah pertama, kekurang-sempurnaan hati sehingga tidak bisa menampakkan gambar pengetahuan. Kekurang sempurnaan hati ini misalnya hati anak-anak. Kedua, kotoran maksiat yang menumpuk diatas permukaan hati. Ketiga, hati tidak lurus kea rah yang dituju. Hati seseorang yang shaleh dan taat misalnya, tidak akan muncu gambar kebenaran karena tidak diarahkan pada kebenaran itu sendiri. Keempat, keyakinnan yang dibawa sejka kecilmelalui taqlid yang terlanjur menempel di hati sehingga menghalangi kebenaran muncul kedalam hati. Hal seperti ini banyak dialami oleh mereka yang fanatik terhadap golongan atau mazdhabnya. Kelima, tidak tahu arah terhadap gambar kebenaran yang dicari.

Proses sampainya qalb pada cahaya Tuhan ini erat kaitannya dengan konsep takahlli, tahalli, dan tajalli. Takhalli yaitu mengosongkan diri dari akhlak tercela dan perbuatan maksiatmelalui taubat. Hal ini dilanjutkan dengan tahallli yaitu menghiasi diri dengan akhalk yang mulia dan amal ibadah. Sedangkan tajalli adalah terbukanya hijab, sehingga tampak jelas cahaya Tuhan. Hal ini sejalan dengan firman Allah SWT:

فَلَمَّا تَجَلَّىٰ رَبُّهُ لِلْجَبَلِ جَعَلَهُ دَكًّا وَخَرَّ مُوسَىٰ صَعِقًا ۚ

Artinya: “tatkala Tuhannya Nampak bagi gunung itu, kejadian itu menjadikan gunung itu hancur luluh dan Musa jatuh pingsan. (QS. Al-A’raf, 7: 143)

Kemungkinan manusia mencapai tajjali atau mendapatkan limpahan cahaya Tuhan itu dapet pula dilihat dari syarat ayat berikut ini:

نُورٌ عَلَىٰ نُورٍ ۗ يَهْدِي اللَّهُ لِنُورِهِ مَنْ يَشَاءُ ۚ

Artinya: cahaya diatas cahaya, Allah mengkaruniakan cahayanya kepada siapa yang dikehendaki-Nya. (QS. Al-Nur: 35)

Dengan limpahan cahaya Tuhan itulah manusia dapat mengetahui rahasia-rahasia yang ada pada Tuhan. Dengan cara demikian ia dapat mengetahui hal-hal yang tidak diketahui oleh manusia biasa. Orang  yang sudah mencapai ma’rifah ia memperoleh hubungan langsung dengan sumber ilmu yaitu Allah. Dsngan hati yang dilimpahi cahaya, ia dapat diibaratkan seperti orang yang memiliki antene parabola yang mendapatkan langsung pengetahuan dan Tuhan. Allah berfirman:

وَفَوْقَ كُلِّ ذِي عِلْمٍ عَلِيمٌ

Artinya: “Dan di atas yang berilmu pengetahuan ada lagi Yang Maha Mengetahui (Allah SWT). (QS. Yusuf, 12:76)

Ma’rifah yang dicapai seseorang itu terkadang diberi nama yang bermacam-macam. Imam al-Syarbasi (pancaran). Ibn Sina menyebut al-faid (limpahan). Sementara di kalangan dunia pesantren dikenal dengan istilah futuh (pembuka), dan di kalangan masyarakat Jawa dikenal dengan nama ilmu laduni, dan di kalangan kebatinan disebut wangsit.

Menurut Dzunun Al-Mishriy yang mnegatakan: alat untuk mencapai ma’rifah ada 3 macam : yakni Qalby (hati), Sirr (perasaan), dan rub hal tidak beda jauh dengan apa yang dikatakan oleh para sufi. Sedanghkan tanda-tanda yang dimiliki oleh shufi bila sudah sampai kepada tingkatan ma’rifah, antara lain:

a.       Selalu memancar cahaya ma’rifah padanya dalam segala sikap dan perilakunya. Karena itu, sikap wara’ selalu ada pada dirinya.

b.      Tidak menjadikan keputusan pada sesuatu yang berdasarkan fakta yang bersifat nyata, karena hal-hal yang nyata menurut ajaran tasawuf, belum tentu benar.

c.       Tidak menginginkan nikmat Allah yang banyak buat dirinya, karena hal itu bisa membawanya kepada perbuatan yang haram.

Dari sinilah kita dapat melihat bahwa seorang shufi tidak membutuhkan kehidupan yang mewah, kecuali tingkatan kehidupan yang hanya sekedar dapat menunjang kegiatan ibadahnaya kepada Allah SWT, sehungga Asy-Syekh Muhammad bin al-Fadhal mengatakan bahwa ma’rifah yang dimiliki shufi, cukup dapat memberikan kebahagiaan batin padanya, Karena selalu merasa bersama-sama dengan Tuhan-nya.


C.    Tokoh-Tokoh yang Mengembangkan Ilmu Mahabbah dan Ma’rifat

1.      Tokoh yang Mengembangkan Ilmu  Mahabbah

Hampir seluruh literatur bidang tasawuf menyebutkan bahwa tokoh yang memperkenalkan ajaran Mahabbah adalah Rabi’ah al-Adawiyah.[16] Hal ini didasarkan pada ungkapan yang menggambarkan bahwa ia menganut paham tersebut.

Rabiah al-Adawiyah adalah sosok sufi perempuan yang sangat dikenal dalam dunia tasawuf. Ia hidup di di abad kedua Hijriah, dan meninggal pada tahun 185 H.[17] ia berasal dari keluarga miskin, ditinggal mati oleh ayahnya ketika masih kanak-kanak, dan dirundung keprihatinan hidup di masa remajanya. Ia dilahirkan dimana tidak ada sesuatu apapun untuk dimakan dan yang dapat dijual. Malam gelap gulita karena minyak untuk penerangan telah habis.

Pada suatu hari menjelang usia remajanya, ketika keluar rumah, ia ditangkap oleh pejabat dan dijual dengan harga 6 dirham. Rabiah menghabiskan waktunya dengan melaksanakan segala perintah majikannya, sedangkan malam harinya ia selalu berdoa. Pada suatu malam, majikannya melihat tanda kebesaran rohani Rabi’ah, ketika Rabi’ah berdoa kepada Allah: “Ya Rabbi, engkau telah membuatku menjadi budak belian seorang manusia sehingga aku mengabdi kepadanya, seandainnya aku bebas pasti akan kupersembahkan seluruh waktu dalam hidupku untuk berdoa kepada-Mu”. Tiba-tiba tampak cahaya di dekat kepalanya, dan melihat itu majikannya sangat ketakutan, dan esok harinya Rabi’ah dibebaskan.[18]

Dalam hidup selanjutnya, ia banyak beribadah, bertaubat, menjauhi hidup duniawi dan menolak bantuan material yang diberikan kepadanya. Selain itu juga ia betul-betul hidup dalam keadaan zuhud dan hanya ingin berada dekat dengan Allah SWT dan selalu menolak lamaran pria salih dengan mengatakan: “Akad nikah adalah bagi milik kemaujudan luar biasa. Sedangkan pada diriku hal itu tidak ada, karena aku telah berhenti maujud dan telah lepas naungan firman-Nya. Akad nikah mesti diminta dari-Nya, bukan dariku”.[19]

Rabiah dipandang sebagai pelapor tasawuf Mahabbah (cinta mistik), yaitu penyerahan diri total kepada “Kekasih” (Allah SWT). Hakikat tasawufnya adalah habbul-illah (mencintai Tuhan Allah SWT). Ibadah ia lakukan bukan terdorong oleh rasa takut akan siksa neraka atau penuh harap akan pahala dan surge, melainkan semata-mata terdorong oleh rasa rindu pada Tuhan untuk menyelami keindahan-Nya yang azali (wujud abadi tanpa awal). Mahabbah sebagai martabat untuk mencapai tingkat Ma’rifat (ilmu yang dalam untuk mencari dan mencapai kebenaran dan hakikat) diperoleh Rabi’ah setelah melalui martabat-martabat kesufian, dari tingkat ibadah dan zuhud ke tingkat ridho (rahmat) dan ihsan (kebajikan), sehingga cintanya hanya kepada Allah SWT.

Bagi Rabi’ah, dorongan Mahabbah kepada Allah berasal dari dirinya sendiri dan juga karena hak Allah untuk dipuja dan dicintai. Mahabbah disini bertujuan untuk melihat keindahan Allah SWT. Puncak pertemuan Mahabbah antara hamba dan cinta kepada Allah-lah yang menjadi akhir keinginannya.

Corak tasawuf Rabi’ah yang begitu menonjolkan suatu corak tasawuf yang baru dizamannya. Pada saat itu, tasawuf lebih didominasi corak kehidupan zuhud yang sebelumnya dikembangkan oleh Hasan al-Bashri byang mendasarkan ajarannya pada rasa takut (khauf) kepada Allah. Corak yang dikembangkan oleh Rabi’ah tersebut kelak membuatnya begitu dikenal dan menduduki posisi penting dalam dunia tasawuf.[20]

Sedemikian tulusnya cinta kepada Allah yang dikembangkan oleh Rabi’ah, bisa dilihat, misalnya, didalam sebuah munajat yang ia panjatkan: “Tuhanku, sekiranya aku beribadah kepada-Mu karena takut neraka-Mu, biarlah diriku terbakar api jahanam. Dan sekiranya aku beribadah kepada-Mu karena mengharap surga-Mu, jauhkanlah aku darinya. Tapi, sekirannya aku beribadah kepada-Mu hanya semata cinta kepada-Mu, Tuhanku, janganlah Kau halangi aku melihat keindahan-Mu yang abadi”[21].

Begitu besar dan tulusnya cinta Rabi’ah kepada Allah, maka seolah cintanya telah memenuhi seluruh kalbunya. Taka ada lagi tersisa ruang di hatinya untuk mencintai selain Allah, bahkan kepada Nabi Muhammad SAW sekalipun. Begitu juga, tidak ada ruang lagi di kalbunya untuk membenci apapun, bahkan kepada setan sekalipun. Seluruh hatinya telah penuh dengan cinta kepada Allah SWT semata. Hal ini juga ia tunjukkan dengan memutuskan untuk tidak menikah seumur hidupnya karena ia menganggap seluruh diri dan hidupnya hanya untuk Allah semata.[22] Luapan cinta itu sebagaimana terucap dalam syair-syairnya:

“Aku mencintai-Mu dengan dua cinta: cinta karena diriku dan cinta karena diri-Mu, cinta karena diriku adalah keadaanku yang selalu mengungkapkan tabir, sehingga Engkau kulihat. Baik untuk ini maupun untuk itu. Pujianku bukanlah bagiku, bagi-Mu lah semua pujian itu. Buah hatiku, hanya Engkaulah yang kukasihi, beri ampunlah pembuat dosa yang datang kehariban-Mu, Engkau harapanku, kebahagiaanku, dan kesenanganku, hatiku enggan mencintai selain Engkau”.

“Aku membawa obor dan seember air, untuk membakar surge dan memadamkan neraka karena aku ingin manusia beribadah dan beramal bukan karena ingin mendapat surga-Mu dan menjauhkan neraka-Mu, tapi semata-mata karena engkau”.

2.      Tokoh yang Mengembangkan Ilmu Ma’rifat

Dalam literatur Tasawuf di jumpai dua orang tokoh yang mengenalkan paham Ma’rifah, Yaitu Imam al-Ghazali dan Zun-al Nun al- Misri.

Al-Ghazali lahir 1095 M di Ghazaleh,suatu kota kecil terletak di dekat Tus di Khurasan. Ia pernah belajar pada imam al-Haramain al-Juwaini, Guru Besar di madrasah al-Nisamiah Nisyafur  Setelah mempelajari ilmu agama,ia mempelajari ilmu teologi,ilmu pengetahuan alam,filsafat dan lain lain, akhirnya ia memilih jalan tasawuf sebagai jalan hidupnya. Setelah bertahun tahun mengembara sebagai sufi ia kembali ke Tus ditahun 1105M, dan meninggal disana  tahun1111 M.[23]

Zun al-Msri lahirnya tidak banyak diketahui,yang di ketahui hanya wafatnya tahun 860M berasal dariNaubah negeri  yang terletak Sudan dan Mesir. Menurut Hamka, beliaulah puncaknya kaum sufi dalam abad ketiga Hijriyah. Beliaulah yang banyak sekali menambahkan jalan buat menuju Tuhan.Yaitu mencintai Tuhan, membenci yang sedikit,menuruti garis perintah yang di turunkan, dan takut terpaling dari jalan yang benar.[24]

Ia disebut “Zunnun” yang artinya “yang empunya ikan Nun”, karena pada suatu hari dalam pengembaraannya dari satu tempat lain ia menumpang sebuah kapal saudagar kaya. Tiba-tiba saudagar itu kehilangan sebuah permata  yang sangat berharga dan Zunnun dituduh sebagai pencurinya. Ia kemudian disiksa dan dianiaya serta dipaksa untuk mengembalikan permata yang dicurinya. Saat tersiksa dan teraniaya itu Zunnu  menengadahkan kepalanya ke langit sambil berseru: “Ya Allah, Engkaulah Yang Maha Tahu”. Pada waktu itu secara tiba-tiba muncullah ribuan ekor ikan Nun besar ke permukaan air mendekati kapal sambil membawa permata dimulut masing-masing. Zunnun mengambil sebuah permata dan menyerahkannya kepada saudagar tersebut. Dalam pandangan umum Zunnun sering memperlihatkan sikap dan perilaku yang aneh-aneh dan sulit dipahami masyarakat umum. Karena itulah ia pernah dituduh pernah melakukan bid’ah, sehingga ditangkap dan dibawa ke Baghdad untuk diadili dihadapan Khalifah al-Mutawakkil (khalifah Abbasiyah, memerintah tahun 232 H/ 847 M – 247 H / 861 M). zunnun dipenjara selama 40 hari. Konon ketika wafatnya tahun 860 M, tatkala orang-orang mengusung jenazahnya, muncullah sekawan burning hijau yang memayungi jenazahnya dan seluruh pengiring jenazah dengan sayap-sayap hijau burung tersebut. Dan pada hari kedua, orang-orang menemukan tulisan pada nisan makam beliau, “Zunnun adalah kekasih Allah, diwafatkan karena Rindu” dan setiap kali orang akan menghapus tulisan itu, maka muncul kembali seperti sedia kala.

Menurut Hamka beliaulah puncaknya kaum sufi dalam abad ke-tiga Hijriyah. Beliaulah yang banyak sekali menambahkan jalan buat menuju Tuhan, yaitu mencintai Tuhan, membenci yang sedikit, menuruti garis yang diperintahkan, dan takut berpaling dari jalan yang benar.

Mengenai bukti bahwa kedua tokoh tersebut membawa paham marifah dapat di ikuti dari pendapat pendapatnya. Al Ghazali mengatakan marifah adalah tampak jelas rahasia rahasia ketuhanan dan pengetahuan mengenai susunan urusan ketuhanan yang mencangkup segala yang ada Lebih lanjut al Ghazali mengatakan, ma’rifah adalah  Memandang kepada wajah(rahasia) Allah.

Seterusnya al-Ghazali menjelaskan bahwa orang yang mempunyai marifah tentang Tuhan,Yaitu arif tidak akan mengatakan ya Allah atau Ya Rabb karena memanggil Tuhan dengan kata kata serupa ini  menyatakan bahwa Tuhan ada di belakang Tabir. Orang yang duduk berhadapan dengan temannya tidak akan memanggil temannya itu.

Tetapi bagi al-Ghazali marifah urutannya terlebih dahulu dari pada mahabah, karena mahabbah timbul dari ma’rifah. Namun mahabbah  yang di maksud al Ghazali berlainan dengan mahabbah yang di ucapkan oleh Rabi’ah al- Adawiyah, yaitu mahabbah dalam bentuk cinta seseorang kepada seseorang yang berbuat baik kepadanya,cinta yang timbul dari kasih dan Rahmat Tuhan kepada manusia yang memberi manusia hidup,rezeki,kesenangan dan lain lain. Al Ghazali lebih lanjut mengatakan bahwa ma,rifah danmahabah itulah setinggi tinggi tingkat yang dapat di capai seorang sufi. Dan pengetahuan yang di peroleh dari marifah lebih tinggi mutunya dari pengetahuan yang di peroleh dengan akal.

Adapun ma’rifat yang diajukan oleh Zun al-Nun al-Misri adalah pengethaun hakiki tentang Tuhan. Menurutnya ma’rifat hanya terdapat pada kamu sufi yang snaggup melihat Tuhan dengan hati sanubari mereka. Pengetahuan yang serupa ini hanya diberikan Tuhan kepada kepada kaum sufi. Ma’rifah dimasukkan tuhan ke dalam hati seorang sufi sehingga hatinya pebuh dnegan cahaya. Ketika Zun al-Nun al-Misri ditanya bagaimana ia memperoleh ma’rifat tentang Tuhsn, ia menjawab “Aku mengetahui Tuhan dengan Tuhan dan sekiranya tidak karena Tuhan aku tak akan tau Tuhan” ungkapan tersebut menunjukkan bahwa ma’rifat tidak diperoleh begitu saja, tetapi melalui pemberian Tuhan. Ma’rifat bukanlah hasil pemikiran manusia, tetapi tergantung kehendak dan rahmat Tuhan.  Ma’rifat adalah pemberian Tuhan kepada shufiyang sanggup menerimanya. Pemberian tersebut dicapai setelah seseorang sufi lebih dahulu menunjukkan kerajinan, kepatuhan dan ketaatan mengabdikan diri sebagai hamba Allah dalam beramal secara lahiriah sebagai pengabidan yang dikerjakan oleh tubuh untuk beribadah. “memikirkan zat Allah adalah kebodohan, mengisyaratkan sesuatu kepada-Nya adalah kesyirikan, dan hakikat ma’rifat adalah kebingungan”

Zunnun ber mutawatta’ dan mempelajari disiplin ilmu fiqh kepada Malik ibn Anas, dan Zunnun pernah mengatakan:

“aku menempuh perjalanan 3 kali dan mendapatkan 3 ilmu. Pada pejalanan pertama aku dapatkan ilmu yang bisa diterima kalangan awam dan khass, pada perjalanan kedua aku dapatkan ilmu yang hanya yang bisa diterima kalangan khass, dan pada perjalanan yang ketiga aku dapatkan ilmu yang tidak bisa diterima oleh kalangan awam maupun khass. Maka tinggalah aku hampa papa seorang diri”

Maka dari pernyataan diatas itu Zunnun pun membagi tingkatan ma’rifat dalam 3 tingkatan, yaitu yang pertama adalah tingkat awam, dan yang kedua adalah tingkat ulama’ dan yang ketiga adalah tingkat sufi.

Baca juga artikel yang lain:

  1. Pengertian Bid'ah
  2. Konsep Manusia Menurut Aliran Humanisme dan Islam
  3. Konsep Manusia dalam Prespektif Aliran Psikoanalisa dan Behaviorisme
  4. Psikologi Perkembangan Pada Masa Anak-Anak
  5. Keterkaitan Ilmu Pengetahuan dan Agama
  6. Studi Al-Qur'an
  7. Studi Fikih (Hukum Islam)
  8. Urgensi Pengantar Studi Islam
  9. Etika Politik dan Nilai Pancasila Sebagai Sumber Politik
  10. Maqamat dan Ahwal dalam Tasawuf
  11. Akhlak Pribadi sebagai Makhluk dan Anggota Masyarakat
  12. Tipologi Tasawuf
  13. Akhlak Tasawuf
  14. Pendidikan Akhlak
  15. Thareqat di Indonesia
  16. Konsep Baik dan Buruk, Hak dan Kewajiban dalam Akhlak
  17. Ma’rifat dan Mahabbah dalam Tasawuf
  18. Nafsu dan Penyakit Hati
  19. Pengertian Tasawuf
  20. Akhlak Pribadi sebagai Makhluk, Diri Sendiri, Masyarakat, Keluarga

BAB III

KESIMPULAN

Pengertian mahabbah secara terminology berarti cinta kepada Allah. Sedangkan menurut pendapat dari sebagian sufi, cinta adalah kecenderungan hati kepada sesuatu yang diinginkan serta disenanginya.

Pengertian ma’rifat berasal dari kata “arafa” yang berarti mengetahui atau mengenal sesuatu. Dan apabila dihubungkan dengan pengamalan Tasawuf, maka istilah ma’rifat di sini berarti mengenal Allahketika Shufi mencapai maqam dalam tasawuf.  

Alat untuk mencapai mahabbah dan ma’rifat yaitu menggunakan pendekatan psikologi melihat adanya potensi rohaniah yang ada dalam diri manusia. Sedangkan alat yang digunakan untuk berhubungan dengan Tuhan yaitu al-Qalb, roh dan Sirr.

Robi’ah al-Adawiyah dan mahabbah: sosok sufi perempuan yang snagat dikenal dunia tasawuf. Ia hidup di abad kedua hijriyah, dan meninggal pada tahun 185 H, ia berasal dari keluarga miskin, ia ditinggal mati ayahnya selagi ia masih kanak-kanak, dan dirundung keperihatinan hidup pada masa remajanya.

Dalam literatur tasawuf dijumpai dua orang tokoh yang mengenalkan paham ma’rifat yaitu al-Ghazali dan Dzun al-Nun al-Misri.


DAFTAR PUSTAKA

A. Mustofa. Akhlak Tasawuf. (Bandung: CV Pustaka Setia). 1997.

Alberry, A.J. Pasang Surut Aliran Tasawuf.  (Bandung: Mizan) 1985.

Al-Ghazali. Ihya Ulumuddi.  (Beirut: Dar al-Ma’rifah)

Aththahal.  Tadzkirat al-Aul.  (Mesir: Al-Ma’arif)

ath-Thusi, Abu Nashr as-Sarraj. al-Luma’. (Mesir: Dar al-Kutub al-Haditsah). 1960.

IAIN Sumatera Utara, Pengantar Ilmu Tasawuf, (Sumatra Utara)

Mahmud , Abdul Halim.  At-Tasawuf Fi Al-Islam. (Bandung: CV Pustaka Setia). 2002.

Mas’ud, Ali. Akhlak Tasawuf  (Surabaya: UIN SA Press). 2014.

Mustofa. Akhlak Tasawuf . (Bandung: Pustaka Setia). 2010.

Nasution, Harun. Filsafat dan Materialisme dalam Islam. cetakan III.  (Jakarta: Bulan Bintang). 1983.

Nata, Abuddin.  Akhlak Tasawuf  (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada). 2013.

Nata, Abuddin. Akhlak Tasawuf. (Jakarta: Rajawali Pers) 2009.


Footnoode

[1] Al-Ghazali, Ihya Ulumuddin (Beirut: Dar al-Ma’rifah, tt), h. 29.

[2] A. Mustofa, Akhlak Tasawuf (Bandung: CV Pustaka Setia, 1997), h.240.

[3] Abu Nashr as-Sarraj ath-Thusi, al-Luma’ (Mesir: Dar al-Kutub al-Haditsah, 1960), h. 68-88.

[4] Abdul Halim Mahmud, At-Tasawuf Fi Al-Islam (Bandung: CV Pustaka Setia, 2002), h. 95.

[5] Abuddin Nata, Akhlak Tasawuf (Jakarta: Rajawali Pers, 2009), h. 110.

[6] Ali Mas’ud, Akhlak Tasawuf  (Surabaya: UIN SA Press, 2014), h.147.

[7] Ibid, 147.

[8] Abuddin Nata, Akhlak Tasawuf  (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2013), h. 184.

[9] IAIN Sumatera Utara, Pengantar Ilmu Tasawuf, (Sumatra Utara, 1983), h. 122

[10] Labib MZ, Syarah Alhikam Ibn Atho’ (Surabaya: Tiga Dua, 2001), h. 11 dalam buku Ali Mas’ud, Akhlak Tasawuf  (Surabaya: UIN SA Press, 2014), h.159

[11] Jamil Saliba, Mu’jam al-Falsafi, jilid II, (Beirut: Dar al-Kitab, 1979). H. 72 dalam buku Abuddin Nata, Akhlak Tasawuf  (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2013), h. 220

[12] Harun Nasution, Filsafat dan Materialisme dalam Islam, cetakan III, (Jakarta: Bulan Bintang, 1983), h. 75

[13] Abuddin Nata, Akhlak Tasawuf  (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2013), h. 221

[14] Al-Ghazali, Ihya’ ‘Ulumudin, (Beirut: Dar al-Fikr,tt), h. 399.

[15] Harun Nasution, Filsafat dan Materialisme dalam Islam, cetakan III, (Jakarta: Bulan Bintang, 1983), h. 75

[16] Ibid, 185

[17] A.J Alberry, Pasang Surut Aliran Tasawuf (Bandung: Mizan, 1985), h.49.

[18] Mustofa, Akhlak Tasawuf (Bandung: Pustaka Setia, 2010), h.247.

[19] Aththahal, Tadzkirat al-Aula (Mesir: Al-Ma’arif, tt), h. 66.

[20] A.J Alberry, Pasang Surut Aliran Tasawuf (Bandung: Mizan, 1985), h. 153.

[21] Abuddin Nata, Akhlak Tasawuf  (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2013), h. 186.

[22] Harun Nasution, Filsafat dan Mistisisme dalam Islam (Jakarta: Bulan Bintang: 1973), h.74.

[23] Harun Nasution, Falsafah dan Mistisisme dalam Islam,(Jakarta,Bulan bintang 1983)hal.43

[24] Ibid, hal. 227

Konsep Baik dan Buruk, Hak dan Kewajiban dalam Akhlak

DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR                                                                                 1

BAB I PENDAHULUAN

A.    Latar Belakang                                                                                    3

B.     Rumusan Masalah                                                                               3

C.     Tujuan                                                                                                 3

BAB II

PEMBAHASAN                                                                                         4

A.    Pengertian baik dan buruk, hak dan kewajiban dalam akhlak            4

B.     Pandangan dan aliran tentang baik dan buruk                                    7

C.     Baik dan buruk menurut ajaran agama Islam                                    11

D.    Hubungan antara hak, kewajiban, keutamaan dengan akhlak            14

BAB III

KESIMPULAN                                                                                          20

DAFTAR PUSTAKA                                                                                  21


BAB I

PENDAHULUAN

A.    Latar Belakang

Setiap perbuatan manusia itu ada yang baik dan ada yang tidak baik atau buruk. Baik dan buruk merupakan dua istilah yang banyak digunakan untuk menentukan suatu perbuatan yang dilakukan oleh seseorang. Pernyataan tersebut dapat dijadikan indikator untuk menilai perbuatan itu baik atau buruk sehingga dapat dilatar belakangi sesuatu yang mutlak dan relatif.

Pernyataan-pernyataan tersebut perlu dicarikan jawaban dan dapat dijadikan rumusan masalah sehingga para pembaca menilai sesuatu itu baik atau buruk memiliki indikator tang pasti. Untuk itu dijadikan pembahasan masalah adalah bagaimana ukuran menilai baik dan buruk menurut pandangan islam.

B.     Rumusan Masalah

1.      Apakah pengertian baik dan buruk, hak dan kewajiban dalam akhlak?

2.      Bagaimana pandangan dan aliran tentang baik dan buruk?

3.      Bagaimana pandangan baik dan buruk menurut ajaran agama Islam?

4.      Apa hubungan antara hak, kewajiban, keutamaan dengan akhlak?

C.     Tujuan

1.      Untuk mengetahui pengertian baik dan buruk, hak dan kewajiban dalam akhlak.

2.      Untuk mengetahui pandangan dan aliran tentang baik dan buruk.

3.      Untuk mengetahui pandangan baik dan buruk menurut ajaran agama islam.

4.      Untuk mengetahui hubungan akhlak antara hak, kewajiban, keutamaan dengan akhlak.


BAB II

PEMBAHASAN

A.    Pengertian Baik dan Buruk, Hak dan Kewajiban dalam akhlak

Pada hakekatnya di dunia ini berisi dua hal, yaitu perbuatan atau tingkah laku manusia yang baik dan yang buruk. Menilai yang baik dan yang buruk dari segi peninjauan yang berbeda; menurut siapa yang menyaksikan dan siapa yang menilainya, maka hal ini merupakan masalah. Mungkin sebagian orang beranggapan bahwa sesuatu itu baik, tetapi sebagian lagi akan mengatakan sesuatu itu tidak baik dan buruk.

Adapun pengertian baik menurut Ilmu Akhlak adalah sesuatu yang berharga, tidak berguna untuk tujuan, apalagi yang merugikan, atau yang menyebabkan tidak tercapainya tujuan adalah buruk.[1]

Setiap tindakan seseorang atau golongan dalam melakukan aktivitasnya sehari-hari pasti mempunyai tujuan tertentu, di mana tujuan itu satu sama lain adalah berbeda, namun pada akhirnya mempunyai tujuan yang sama, yaitu menginginkan kebaikan, kebaikan untuk dirinya ataupun golongannya. Akan tetapi untuk mencapai tujuan tidak boleh menggunakan segala macam cara. Oleh karenanya, cara atau sarana untuk sampai kepada tujuan harus tetap menggunakan norma yang baik.

Pengertian hak dan kewajiban, hak dapat diartikan wewenang atau kekuasaan yang secara etis seseorang dapat mengerjakan, mimiliki, meninggalkan, mempergunakan atau menuntut sesuatu. Hak juga dapat berarti panggilan kepada kemauan orang lain dengan perantaraan akalnya, perlawanan dengan kekuasaan atau kekuaan fisik untuk mengakui wewenang yang ada pada pihak lain.[2]

Poedjawijatna mengatakan bahwa yang di maksud dengan hak ialah semacam milik, kepunyaan, yang tidak hanya merupakan benda saja, melainkan pula tindakan, pikiran dan hasil pikiran itu.[3] Jika seseorang misalnya mempunyai hak atas sebidang tanah, maka ia berwenang, berkuasa untuk bertindak atau memanfaatkan terhadap miliknya itu, misalnya menjual, memberikan kepada orang lain, mengolah dan sebagainya.

Selanjutnya jika seseorang misalnya mempunyai hak dan mengarang, maka ia dapat berbuat semaunya terhadap hasil karangannya itu dengan cara menjual, menyuruh cetak, menerbitkan dan seterusnya.

Di dalam Al-Qur’an jika jumpai juga kata al-haqq, namun pengertiannya agak berbeda dengan pengertian hak yang dikemukakan di atas. Jika pengertian di atas mengacu kepada semacam hak memiliki, tetapi al-haqq dalam Al-Qur’an bukan itu artinya. Kata memiliki yang merupakan terjemahan dari kata hak tersebut di atas dalam bahasa Al-Qur’an disebut milik dan orang yang menguasai disebut malik.

Pengertian al-haqq dalam Al-Qur’an sebagaimana dikemukakan Al-Raghib al-Asfahani adalah al-muthabaqah wa al muwafaqah artinya kecocokan, kesesuian dan kesepakatan, seperti cocoknya kaki pintu sebagai penyangganya.[4]

Dalam perkembangan selanjutnya kata al-haqq dalam Al-Qur’an digunakan untuk empat pengertian. Pertama, untuk menunjukkan terhadap pelaku yang mengadakan sesuatu yang mengandung hikmah, seperti adanya Allah disebut sebagai al-haqq karena Dialah yang mengadakan sesuatu yang mengandung hikmah dan nilai bagi kehidupan. Penggunaan al-haqq dalam arti yang demikian dapat dijumpai pada contoh ayat yang berbunyi:

ثّمَّ رُدُّوْآإلَى الله مَوْلَهُمُ اْلحَقِّ (الانعام: ٦٢)

“kemudian kembalilah kamu sekalian kepada Allah. Dialah Tuhan mereka yang haq”. (QS. al-An’am, 6:62).

Kedua, kata al-haqq digunakan untuk menunjukkan kepada sesuatu yang diadakan yang mengandung hikmah. Misalnya Allah SWT. Menjadikan matahari dan bulan dengan al-haqq, yakni mengandung hikmah bagi kehidupan. Penggunaan kata al-haqq seperti ini dapat dijumpai misalnya pada ayat yang berbunyi.

مَاخَلَقَ اللهُ ذَلِكَ اِلاَّبِالْحَقِّ (يونس: ٥)

“Allah tidak menciptakan yang demikian itu (matahari dan bulan) kecuali dengan haqq”. (QS.Yunus, 10:5).

Ketiga kata al-haqq digunakan untuk menunjukkan keyakinan (i’tiqad) terhadap sesuatu yang cocok dengan jiwanya, seperti keyakinan seseorang terhadap adanya kebangkitan diakhirat, pahala, siksaan, surga dan neraka. Penggunaan kata al-haqq seperti ini dapat dijumpai pada contoh ayat yang berbunyi:

فَهَدَى الله الَّذِيْنَ اَمَنُوْالِمَااخْتَلَفُوْافِيْهِ مِنَ الْحَقِّ (البقرة: ٢١٣)

“Maka Allah memberikan petunjuk kepada orang-orang yang beriman terhadap apa yang mereka perselisihkan dari haqq”. (QS. al-Baqarah, 2:213).

Keempat, kata al-haqq digunakan untuk menunjukkan terhadap perbuatan atau ucapan yang dilakukan menurut kadar atau porsi yang seharusnya dilakukan sesuai dengan keadaan waktu dan tempat. Penggunaan kata al-haqq yang demikian itu sejalan dengan ayat dan berbunyi:

وَلَوِاتَّبَعَ الْحَقُّ اَهْوَآءَهُمْ لَفَسَدَتِ السَّمَوَاتُ وَاْلاَرْضُ (المؤمنون: ٧١)

“Dan seandainya al-haqq itu menuruti hawa nafsunya, maka terjadilah kerusakan langit dan bumi”. (QS. al-Mu’minun, 23:71).

Selain itu kata al-haqq dapat berarti upaya mewujudkan keadilan, argumentasi yang kuat, menegakkan syari’at secara sempurna, dan isyarat tentang adanya hari kiamat. Dengan demikian seluruh kata al-haqq yang terdapat dalam Al-Qur’an tidak ada satupun yang mengandung arti hak milik, sebagaimana arti hak yang umumnya lazim digunakan masyarakat.

Pengertian hak dapat arti memiliki sesuatu dan dapat menggunakan sekehendak hatinya, dalam bahasa Arab dikenal dengan istilah al-milk. Misalnya pada ayat yang berbunyi:

وَتَّخَذُوْامِنْ دُوْنِهِ آلِهَةُ لاَّيَحْلُقُوْنَ شَيْئًاوَّهُمْ يُحْلَقُوْنَ وَلاَ يَمْلِكُوْنَ لِاَنْفُسِهِمْ ضَرًّاوَّلاَنَفْعًاوَّلاَ يَمْلِكُوْنَ مَوْتًاوَّلاَحَيَوةًوَّلاَ نُسُّوْرًا. (الفرقان: ٣)    

“Kemudian mereka mengambil tuhan-tuhan selain daripada-Nya, (untuk disembah), yang tuhan-tuhan itu tidak menciptakan apa pun, bahkan mereka sendiri diciptakan dan tidak kuasa untuk (menolak) sesuatu kemudharatan dari dirinya yang dan tidak (pula untuk mengambil) sesuatu kemanfaatanpun dan (juga) tidak kuasa mematikan, menghidupkan dan tidak (pula) membangkitkan. (QS. al-Furqan, 25: 3).

Pada ayat tersebut kata al-milk dihubungkan dengan kemampuan untuk menolak kemudharatan dan mengambil manfaat. Arti inilah yang digunakan dalam tulisan ini.


B.     Pandangan dan Aliran Tentang Baik dan Buruk

Pada pembahasan terdahulu telah diterangkan, bahwa perbuatan manusia itu ada yang baik dan ada yang buruk, untuk mengetahui tengtang pengetahuan yang baik dan yang buruk itu perlu dikemukakan tentang sumber-sumber yang menjadi ketentuan mana yang baik dan mana yang buruk. 

Untuk membahas masalah ini akan diuraikan beberapa aliran dalam filsafat Akhlak, baik dari gerakan-gerakan moral agama maupun moral skuler. Dari aliran-aliran sekuler sebagaimana yang dipaparkan oleh Humaidi Tatapangarsa[5] ada enam aliran moral sekuler yaitu:

1.      Aliran Etopiricisme (Empiris/ pengalaman)

Aliran ini berpendapat bahwa pengalaman manusia adalah satu-satunya alat yang terpecaya untuk mengetahui yang baik dan yang buruk.

2.      Aliran Intuitionisme (Intuisi/bisikan hati)

Aliran ini berpendapat bahwa sumber pengetahuan yang baik dan buruk adalah intuisi yang dalam bahasa Arab disebut dengan istilah “ Madzhab Laqonah”

3.      Aliran Rasionalisme (Rasio/akal)

Aliran ini berpendapat bahwa Rasionallah yang menjadi sumber moral dan bukannya yang lain. Termasuk pelopor aliran ini adalah Ploto, Aristoteles, Hegel dan Spinoza.

4.      Aliran Tradisionalisme (Tradisi/adat kebiasaan)

Aliran ini berpendapat bahwa yang menjadi norma baik dan buruk adalah tradisi.

5.      Aliran Hedonisme (Madzhab Sa’adah)

Berpendapat bahwa kebahagiaan merupakan norma baik dan buruk. Maksudnya, sesuatu perbuatan itu baik kalau mendatangkan kebahagiaan dan sebaliknya, perbuatan itu buruk kalau mendatangkan penderitaan. Aliran ini dibagi menjadi dua:

a.       Egoitic Hedonisme (madzhab Sa’adah Syahlisiyah).

Berpendapat bahwa kebahagiaan yang menjadi norma baik dan buruk tersebut adalah kebahagiaan individual.

b.      Universalistic Hedonisme (madzhab Sa’adah ‘Amman)

Berpendapat bahwa kebahagiaan yang menjadi norma baik dan buruk adalah kebahagiaan yang bersifat universal. Aliran ini juga disebut dengan Utilitarianisms.

6.      Aliran Evolusionisme

Berpendapat bahwa perbuatan-perbuatan moral itu tumbuh berkembang secara berangsur-angsur dan meningkat maju demi sedikit. Ia berproses terus menuju idealisme yang menjadi tujuan hidup. Oleh karena itu, suatu perbuatan dikatakan baik apabila mendekati idealisme dan sebaliknya perbuatan dikatakan buruk, jika jauh dari idealisme. Aliran ini bertitik tolak dari teori Evolusinya March, cendekiawan Francis (1774-1829) dan teori Darwin, Sarjana Inggris (1809-1889). Sedang tokohnya iaiah Herbert Spencer, seorang filosof Inggris. (1820-1903).

Sedangkan untuk menentukan persoalan dengan apa orang menentukan baik dan buruk itu, tidak hanya diperdebatkan oleh mereka yang berpaham sekularisme saja, namun juga diperdebatkan oleh para ulama Islam

Menurut pedapat Ahli Sunnah.

الحسن ماجعله الشارع حسناوالقبيح مارسم انه قبيح وليس للعقل سلطان بياالخيروالشرمن نفسه.

Artinya: baik adalah apa yang dijadikan baik oleh agama, dan buruk ialah apa yang ditentukan buruk oleh agama. Sedangkan akal pikiran tidaklah mampu menjelaskan baik dan buruk itu.[6]

Berbeda dengan pendapat ahli sunnah di atas, orang yang Mu’tazilah berpendirian:

ان المعرفة وشكر المنعم ومعرفة الحسن والقبيح واجبات العقل.

Artinya: Bahwasannya mengenal dan bersyukur kepada Allah pemberi kenikmatan, dan mengetahui baik dan buruk itu termasuk kewajiban akal.

Sedangkan al-Ghazali mempunyai pendapat agak berbeda dengan kedua pendapat diatas, yaitu:

فاداعي الى محض التقليد مع غزل العقل بالكلية جاهل والمتكفى بمجرد العقل عن انوار القرأن والسنة مغرور.

Artinya: orang yang mengajak kepada taklid saja dengan mengenyampingkan akal sama sekali, adalah ia seorang yang bodoh, sedang orang yang hanya mencukupkan akal saja terlepas dari petunjuk Al-Qur’an dan As-sunnah, adalah orang yang tertipu. (Ihya Ulumiddin III).

Kalau kita cermati pendapat al-Ghazali, beliau sebenarnya menengahi atau menggabungkan antara pendirian Ahli Sunnah dengan Mu’tazilah. Berdasarkan pendapat al-Ghazali ini, maka sumber atau alat pengukur baik dan buruk, adalah:

1.      Al-Qur’anul Karim.

2.      Sunnah Rasulullah SAW.

3.      Akal pikiran.

Apa yang dikatakan oleh al-Ghazali itu barang kali diilhami oleh hadits yang diriwayatkan oleh Muadz bin Jabal, tatkala diutus Rasulullah SAW, ke negeri Yaman:

قال: تقض اذاعرض لك قضاء, قال: اقضى بكتاب الله, قال فان لم تجد فى كتاب الله قال: فبسنة رسول الله ص.م. قال: فان لم تجد في سنة رسول الله ولافى كتاب الله قال: اجتهد رأيى ولاالو. فضرب رسول الله صدرى وقال: الحمد لله الذى وفق رسول الله لمايرض رسول الله.

Artinya: Rasulullah SAW bersabda: bagaimana kamu menghukumi bila dihadapkan kepadamu sesuatu persoalan? Mu’adz menjawab: Saya memutuskan dengan kita Allah. Nabi bertanya: jika tidak ditemuka dalam kitabullah? Muadz menjawab: Dengan Sunnah Rasulullah. Nabi bertanya lagi: seandaiannya persoalan itu tidak terdapat: dalam Sunnah Rasulullah? Mu’adz menjawab: Saya berijtihad dengan menggunakan akal saya dan saya tidak akan berlaku ceroboh. Mu’adz berkata: Maka Rasulullah SAW, menepuk dadaku setelah aku berkata demikian dan Nabi bersabda: Segala puji hanya bagi Allah yang telah menunjuki utusan Rasulullah kepada apa yang diridha oleh Rasulullah[7].

Menurut Abul A’la Haududi, salah seorang ulama dan pemikir Islam masa kini, berpendapat agak lebih luas. Menurutnya sumber nilai-nilai moral Islam terdiri dari:

1.      Bimbingan Tuhan, sebagai sumber pokok. Yang dimaksud bimbingan Tuhan adalah al-Qur’an dan as-Sunnah.

2.      Pengalaman, rasio dan Intuisi manusia, sebagai sumber tambahan atau sumber pembantu[8]


C.    Baik dan Buruk Menurut Ajaran Islam

Ajaran Islam adalah ajaran yang bersumberkan wahyu Allah swt., al-qur’an yang dalam penjabarannya dilakukan oleh hadis Nabi Muhammad SAW. Masalaj akhlak dalam ajaran Islam sangat mendapatkan perhatian yang begitu besar.

Menurut ajaran Islam penentuan baik dan buruk harus didasarkan pada petunjuk al-qur’an dan al-hadis. Jika kita perhatikan al-qur’an atau hadis dapat dijumpai berbagai istilah yang mengacu kepada baik dan ada pula yang mengacu kepada yang buruk. Diantara istilah yang mengacu kepada yang baik misalnya al-hasanah, thayyibah, khairah, karimah, mahmudah, azizah dan al-birr.

Al-hasanah sebagaimana dikemukakan oleh Al-raghib al- Asfahani adalah suatu istilah yang digunakan untuk menunjukkan sesuatu yang disukai atau dipandang baik. Al-hasanah terbagi menjadi 3 bagian, pertama hasanah dari segi akal, kedua dari segi hawa nafsu/keinginan dan hasanah dari segi pancaindera. Pemakaian kata al-hasanah kta jumpai pada ayat-ayat yang berbunyi :

“ajaklah manusia menuju Tuhanmu dengan hikmah dan pelajaran yang baik (Q.S al-Nahl, 16: 125)”.

Adapun kata at-tayyibah khusus digunakan untuk menggambarkan sesuatu yang memberikan kelezatan kepada pancaindera dan jiwa seperti makan dan sebagainya. Hal ini misalnya terdapat pada ayat yang berbunyi:

“Kami turunkan kepadamu “manna” dan “salwa”. Makanlah dari makanan yang baik-baik yang kami berikan kepadamu. (Q.S. al-baqarah, 2:57)”.

Selanjutnya kata al-khair digunakan utnuk menunjukkan sesuatu yang baik oleh seluruh umat manusia, seperti berakal, adil, keutamaan dan segala sesuatu yang bermanfaat misalnya terdapat pada ayat yang berbunyi:

“Barangsiapa yang melakukan kebaikan dengan kerelaan hati, maka sesungguhnya Allah Maha Mensyukuri kebaikan lagi Maha Mengetahui (Q.S. al-baqarah, 2: 158)”.

Adapun kata al-mahmudah digunakan untuk menunjukkan sesuatu yang utama sebagai akibat dari melakukan sesuatu yang disukai oleh Allah swt., dengan demikian kata al-mahmudah lebih menujukkan pada kebaikan yang bersifat batin dan spiritual. Misalnya dinyatakan dalam ayat yang berbunyi :

“Dan dari sebagian malam hendaknya engkau bertahajjud mudah-mudahan Allah akan mengangkat derajatmu pada tempat yang terpuji (Q.S al-Isra, 17: 79)”.

Selanjtnya kata al-karimah digunakan untuk menunjukkan pada perbuatan dan akhlak yang terpuji yang ditampakkan dalam kenyataan hidup sehari-hari. Selanjutnya kata al-karimah biasanya digunakan untuk menunjukkan perbuatan terpuji yang sekalanya besar, seperti menafkahkan harta di jalan Allah, berbuat baik kepada kedua orang tua dan sebagainya:

“Dan janganlah kamu mengucapkan kata “uf-cis” kepada kedua orang tua, dan janganlah membentaknya, dan ucapkanlah pada keduanya ucapan yang mulia (Q.S. al-ISra, 17: 23)”.

Adapun kata al-birr digunakan untuk menunjukkan pada upaya memperluas atau memperbanyak melakukan perbuatan yang baik. Terkadang digunakan sebagai sifat Allah, dan terkadang juga untuk sifat manusia. Jika kata tersebut digunakan untuk sifat Allah, maka maksudnya adalah bahwa Allah memberikan balasan pahala yang besar, dan jika digunakan untuk manusia maka yang dimaksud adalah ketaatannya.

Adanya berbagai istilah kebaikan yang demikian variatif yang diberikan al-qur’an dan hadis itu menunjukkan bahwa penjelasan tentang sesuatu yang baik menurut ajaran Islam jauh lebih lengkap dan komprehensif dibandingkan dengan arti kebaikan yang dikemukakan sebelumnya. Berbagai istilah yang mengacu pada kebaikan itu menunjukkan bahwa kebaikan dalam pandangan Islam meliputi kebaikan yang bermanfaat bagi fisik, akal, rohani, jiwa, kesejahteraan di dunia dan akhirat serta akhlak yang mulia.

Untuk menghasilkan kebaikan yang demikian, Islam memberikan tolok ukur yang jelas, yaitu selama perbuatan yang dilakukan itu ditujukan untuk mendapatkan  keridlaan Allah yang dalam pelaksanaannya dilakukan dengan ikhlas.

Selanjutnya dalam menentukan perbuatan yang baik dan buruk itu, Islam memperhatikan kriteria lainnya yaitu dari segi cara melakukan perbuatan itu. Seseeorang yang berniat baik, tapi dalam melakukannya menempuh cara yang salah, maka perbuatan itu dipandang tercela.

Selain itu perbuatan yang dianggap baik oleh Islam juga adalah perbuatan yang sesuia dengan petunjuk al-qur’an dan al-sunnah, dan perbuatan yang buruk adalah perbuatan yang bertentangan dengan al-qur’an dan al-sunnah. Namun demikian, al-qur’an dan al-sunnah bukanlah sumber ajaran yang eksklusif atau tertutup. Kedua cumber itu bersikap terbuka untuk menghargai bahkan menampung pendapat akal pikiran, adat istiadat dan sebagainya yang dibuat manusia, dengan catatan semuanya itu tetap sejalan dengan petunjuk al-qur’an dan al-sunnah. Ketentuan baik dan buruk yang didasarkan pada logika dan filsafat dengan berbagai alirannya tertampung dalam istilah etika, atau ketentuan baik-birik yang didasarkan atas istilah adat istiadat tetap diakui dan dihargai keberadaannya. Ketentuan baik-buruk yang terdapat pada etika dan moral dapat digunakan sebagai sarana atau alat untuk menjabarkan ketentuan baik dan buruk yang ada didalam al-qur’an.

D.    Hubungan Antara Hak, Kewajiban, Keutamaan dengan Akhlak

Hak dapat diartikan wewenang atau kekuasaan yang secara etis seseorang dapat mengerjakan, memiliki, meninggalkan, mempergunakan atau menuntut sesuatu. Poedjawijatna mengatakan bahwa yang dimaksud hak ialah semacam milik, kepunyaan yang tidak hanya kepunyaan benda saja, melainkan pula tindakan, pikiran, dan hasil pemikiran itu. Sedangkan kewajiban adalah suatu tindakan yang harus dilakukan oleh setiap manusia dalam memenuhi hubungan sebagai makhluk individu, social dan tuhan.

Dan Keadilan merupakan peringkat tertinggi dalam menentukan segala bentuk permasalahan yang ada hubungannya dengan kepentingan orang banyak.

Perintah berlaku adil ditujukan kepada setiap orang, tanpa pandang bulu. Kemestian berlaku adil pun mesti ditegakkam di dalam keluarga dan masyarakat muslim itu sendiri, bahkan kepada orang kafir pun umat Islam diperintahkan berlaku adil. Maka hanya dengan menerapkan konsep keadilan yang ideal seperti itu, maka umat Islam pada khususnya akan terbebas dari belenggu perbudakan kaum impratif modern.

Keutamaan ialah akhlak yang baik. Dan akhlak itu sendiri adalah kehendak yang dibiasakan. Sedangkan sifat utama ialah kehendak orang dengan membiasakan sesuatu yang baik. Dari definisi di atas dapat diketahui bahwa orang utama adalah orang yang mempunyai akhlak baik yang membiasakan memilih perbuatan yang sesuai dengan apa yang diperintahkan. Sehingga keutamaan merupakan sifat jiwa sedangkan kewajiban hanya perbuatan luar.

Keutamaan juga dapat disimpulkan sebagai segala yang lebih baik. Hal ini sejalan dengan maksud dari Kamus Besar Bahasa Indonesia, bahkan juga terdapat dalam Kalamullah:

يَآيُّهَاالَّذِيْنَ اَمَنُوْآاَطِيْعُوااللهَ وَاَطِيْعُواالرَّسُوْلَ وَاُولىِ الْاَمْرِمِنْكُمْ, فَاِنْ تَنَازَعْتُمْ فِيْ شَيْءٍ فَرُدُّوْهُ اِلَى اللهِ وَالرَّسُوْلِ اِنْ كُنْتُمْ تُؤْمِنُوْنَ بِاللهِ وَالْيَوْمِ الْاَخِرِ, ذَلِكَ خَيْرٌوَّاَحْسَنُ تَأْوِيْلاً.

Artinya:“Hai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah Rasul (Nya), dan ulil amri di antara kamu. kemudian jika kamu berlainan Pendapat tentang sesuatu, Maka kembalikanlah ia kepada Allah (Al Quran) dan Rasul (sunnahnya), jika kamu benar-benar beriman kepada Allah dan hari kemudian. yang demikian itu lebih utama (bagimu) dan lebih baik akibatnya".(An-Nisa’ 59).

Dalam ta’wil yang di khabarkan, Ayat ini tetap (tidak berubah), dan bahwasanya (menghadapi persoalan baru yang bertentangan pendapat antara ulama’ satu dengan ulama’ lain) lebih Utama mengembalikan sesuatu tersebut kepada ta’wil dasar hukumnya, baik lebih utama hakikat-nya (kebenaran-nya), lebih utama Mudhir-nya (yang di nyatakan-nya), maupun murji’-nya (pengembalian kepada Al-Quran & Al-Hadits).

Selain pengertian-penegrtian diatas, keutamaan diartikan dengan berbagai tafsiran menurut beberapa keadaan diantaranya adalah:

-  Menurut perbedaan masa. Contohnya ialah Keberanian dulu diartikan tahan dari penderitaan badan, tetapi kini diartikan lebih luas  dari itu. Begitupun dengan adil.

-  Menurut perubahan akal dan pergaulan bangsa bangsa. Contoh kebijakan seseorang dengan memberi sedekah adalah terhitung keutamaan yang terpenting pada abad  pertengahan sedangkan pada masa sekarang ini soal keutamaan tersebut menjadi tempat kecaman.

- Menurut perbedaan keadaan masing-masing orang dan perbuatan mereka. Contoh keutamaan saudagar tidak sebagai keutamaan ahli pengetahuan.

Amat sukar sekali untuk memperdalam soal ini. Dan menerangkan perbedaan yang kecil-kecil di antara orang-orang yang menimbulkan perbedaan di dalam nilai keutamaan pada umumnya. Seperti jujur, adil, dan sebagainya.

Keutamaan dapat dimasukkan di dalam keutamaan yang lebih seperti jujur dapat dimasukkan di dalam arti adil dan rasa puas. Sebagian keutamaan dilahirkan dari gua keutamaan atau lebih ,seperti sabar tibul jadi perwira dan berani.

Terdapat beberapa pendapat tokoh tentang pokok keutamaan yang menjadi dasar bagi keutamaan yang laindiantaranya adalah:

Socrates berpendapat bahwa “tidak ada keutamaan kecuali pengetahuan(ilmu)”. Yang dapat disimpulkan bahwa:

a. Sesungguhnya manusia itu tidak dapat berbuat kebaikan kalau tiada tahu kebaikan.

b. Pengetahuan manusia tentang baiknya sesuatu itu tentu mendorong untuk mengerjakannya.

Socrates memperluas teorinya. Maka menurut pendapatnya bahwa manusia yang baik itu ialah yang mengetahui kewajibannya. Tepatlah Socrates  di dalam mengambil kesimpulan bahwa dasar keutamaan itu ialah pengetahuan, karena manusia tidak menjadi utama sehingga mengetahui kebaikan dan perbuatannya ditujukan ke arah kebaikan.

Aristoteles menolak pandangan Socrates karena menurutnya jiwa manusia tidak hanya tersusun dari akal. Kebanyakan perbuatan manusia itu dikuasai oleh perasaan dan syahwat. Menurut pendapat Socrates keutamaan itu hanya ada satu. Ialah pengetahuan atau boleh engkau namai kebijaksanaan, sedang keutamaan lain-lainnya seperti berani, perwira, dan adil, hanya gejalanya dan bersumber dari padanya.

Plato berpendapat bahwa keutamaan yang benar bukan hanya pebuatan yang benar. Karena perbuatan yang benar terkadang timbul dari dasar yang batal. Akan tetapi, keutamaan yang benar ialah perbuatan baik yang timbul dari pengetahuan benar dan sebab apa ia benar. Dari itu ia membagi keutamaan itu, menjadi: keutamaan filsafat dan keutamaan biasa. Keutamaan filsafat ialah perbuatan baik yang berdasar dengan akal dan timbul dari pendirian yang dipeluknya setelah mempergunakan pikiran. Adapun keutamaan biasa ialah perbuatan baik yang timbul karena adat atau perasaan baik. Keutamaan yang kedua ini ialah keutamaan bagi umumnya orang; mereka berbuat kebaikan karena orang-orang mengerjakannya dengan tiada berfikit sebab-sebab kebaikannya.

Adapun Aristoteles berpendapat bahwa pokok-pokok keutamaan ialah “Tunduknya syahwat kepada hukum akal” atau dengan arti lain: “Menyerahnya syahwat kepada akal yang memimpinnya” keutaman itu mempunyai dua anasir: akal dan syahwat.

Perkataan tersebut menarik kepada Aristoteles untuk meletakkan “Teori Tengah-tengah” berarti bahwa tiap-tiap keutamaan itu di tengah-tengah antara dua keburukan, keburukan berlebih-lebihan dan keburukan berkurang maka keberanian umpamanya adalah di antara membabi buta dan takut, dermawan adalah di antara boros dan kikir dan demikianlah seterusnya.

Teori ini dibantah dengan beberapa bantahan

a) Tengah-tengah menurut keterangan Aristoteles berarti tidak selalu, di titik tengah-tengah berarti bahwa keutamaan itu dua jarak yang jauhnya tidak sama dari dua keburukan.

b) Banyak keutamaan yang tidak kelihatan bahw ia berada di tengah-tengah antara dua keburukan, seperti jujur, dan adil.

c) Kita tidak mempunyai ukuran yang tepat yang dapat menjelaskan titik tengah-tengah.

Keutamaan dibagi menjadi tiga:

1. Perseorangan

1) Mengekang hawa nafsu

2) Mendidik nafsu

2. Masyarakat

Keutamaan masyarakat mengandung sifat adil ialah menyampaikan hak-hak manusia kepada mereka dan kebajikan member kebutuhan mereka di atas hak-hak mereka.

3. Agama

Keutamaan agama mengandung sifat-sifat manusia yang harus dipakai untuk Tuhannya. Pandangan kita dalam memberi hukum kepada sesuatu akan baik dan buruknya, adalah suara hati itu menjadi petunjuk yang baik.

Hak adalah sesuatu yang diterima setelah manusia diberatkan atas suatu kewajiban. Antara hak dan kewajiban tidak bisa dipisahkan, keduanya harus seimbang.Sehingga dapat tercipta suatu keselarasan kehidupan dalam masyarakat yang kemudian tercipta suatu kesejahteraan secara menyeluruh.

Selain ada hak dan kewajiban dalam diri manusia ada juga keutamaan yang merupakan akhlak baik sebagai implementasi dari pelaksanaan  hak dan kewajiban yang seimbang.

Baca juga artikel yang lain:

  1. Pengertian Bid'ah
  2. Konsep Manusia Menurut Aliran Humanisme dan Islam
  3. Konsep Manusia dalam Prespektif Aliran Psikoanalisa dan Behaviorisme
  4. Psikologi Perkembangan Pada Masa Anak-Anak
  5. Keterkaitan Ilmu Pengetahuan dan Agama
  6. Studi Al-Qur'an
  7. Studi Fikih (Hukum Islam)
  8. Urgensi Pengantar Studi Islam
  9. Etika Politik dan Nilai Pancasila Sebagai Sumber Politik
  10. Maqamat dan Ahwal dalam Tasawuf
  11. Akhlak Pribadi sebagai Makhluk dan Anggota Masyarakat
  12. Tipologi Tasawuf
  13. Akhlak Tasawuf
  14. Pendidikan Akhlak
  15. Thareqat di Indonesia
  16. Konsep Baik dan Buruk, Hak dan Kewajiban dalam Akhlak
  17. Ma’rifat dan Mahabbah dalam Tasawuf
  18. Nafsu dan Penyakit Hati
  19. Pengertian Tasawuf
  20. Akhlak Pribadi sebagai Makhluk, Diri Sendiri, Masyarakat, Keluarga

BAB III

KESIMPULAN

Setiap tindakan seseorang atau golongan dalam melakukan aktivitasnya sehari-hari pasti mempunyai tujuan tertentu, di mana tujuan itu satu sama lain adalah berbeda, namun pada akhirnya mempunyai tujuan yang sama, yaitu menginginkan kebaikan, kebaikan untuk dirinya ataupun golongannya. Hak adalah sesuatu yang diterima setelah manusia diberatkan atas suatu kewajiban. Antara hak dan kewajiban tidak dipisahkan, keduanya harus seimbang. Sehingga dapat diciptakan atau keselarasan kehidupan dalam masyarakat yang kemudian tercipta suatu kesejahteraan secara menyeluruh.

Pandangan dan aliran tentang baik dan buruk, antara lain: Aliran Etopiricisme (Empiris/ pengalaman), Aliran Intuitionisme (Intuisi/bisikan hati), aliran Rasionalisme (rasio/akal), Aliran Tradisionalisme (Tradisi/adat kebiasaan), Aliran Hedonisme (Madzhab Sa’adah), Aliran Evolusionisme.

Menurut ajaran Islam penentuan baik dan buruk harus didasarkan pada petunjuk al-qur’an dan al-hadis.

Hak dapat diartikan wewenang atau kekuasaan yang secara etis seseorang dapat mengerjakan, memiliki, meninggalkan, mempergunakan atau menuntut sesuatu. Keutamaan ialah akhlak yang baik. Dan akhlak itu sendiri adalah kehendak yang dibiasakan.


DAFTAR PUSTAKA

-          Nata, Abudin, Akhlak Tasawuf, Jakarta: Rajawali Pers, 2009.

-          Mas’ud, Ali, Akhlak Tasawuf, Surabaya: UIN Sunan Ampel Press, 2014, cet-1

-          http://aan888.blogspot.co.id/2015/05/makalah-akhlak-tasawuf-hak-kewajiban.html?m=1

-          Nata, Abudin, Akhlak Tasawuf, Jakarta: Rajawali Pers, 2010.


Footnoode

[1] Rahmad Djatmika, Sistem Etika Islami (Surabaya: Pustaka Islam, 1985), 33.

[2] Ahmad Charris Zubair, Kuliah Akhlak, (Jakarta: Rajawali Pers, 1990), cet.ll, 59.

[3] Poedjawijatna, Etika Filsafat Tingkah Laku, (Jakarta: Bina Aksara, 1982), cet.IV, 60.

[4] Al-Raghib al-Asfahani, mu’jam Mufradat Al-Fadz Al-Qur’an, (Beirut: Dar al-Fikr, t.t.), 124.

[5] Humaidi Tatapangarsa, Akhlak yang Mulia (Surabaya: Bina Ilmu, 1980), 25-27.

[6] Ibid.,28.

[7] Abu Dawud Al-Sijistani, Sunan Abu Dawud II. Beirud: Dar Al Fikri, tt, 303.

[8] Tatapangarsa, Akhlak yang Mulia, 29.

Thareqat di Indonesia


BAB I

PENDAHULUAN

A.    Latar Belakang

Untuk mendekatkan diri pada tuhan maka harus menempuh jalan ikhtiar,salah satu jalan ikhtiar yaitu dengan mendalami lebih jauh ilmu tasawuf ,untuk mengetahui sesuatu maka pasti ada ilmunya,banyak dikalangan orang awam yang kurang mengetahui tentang ilmu mengenal tuhan (Tarekat).

Seorang penganut ilmu agama akan memulai pendekatannya dengan mempelajari hukum Islam, yaitu praktik eksoteris atau duniawi Islam. Dan kemudian berlanjut pada jalan pendekatan mistis keagamaan yang berbentuk tariqah, melalui praktik spritual dan bimbingan seorang pemimpin tarekat, calon penghayat tarekat akan berupaya untuk mencapai haqiqah ( hakikat, atau kebenaran hakiki ).

Bila ditinjau dari sisi lain, tarikat itu mempunyai tiga sistem, yaitu: sistem kerahasiaan, sistem kekerabatan ( persaudaraan ), dan sistem hirarki seperti khalifah tawajjuh atau khalifah suluk, syekh atau mursyid, wali atau qutub. Kedudukan guru tarekat diperkokoh dengan ajaran wasilah dan silsilah.


B.     Rumusan Masalah

Dari penulisan latar belakang diatas, maka akan dirumuskan permasalahan sebagai berikut :

1.      Apa Pengertian Thareqat?

2.      Apa Faktor Timbulnya Thareqat?

3.      Bagaimana Pelaksanaan Thareqat?

4.      Jelaksan Macam-macam Thareqat di Indonesia?


C.     Tujuan

Ada beberapa tujuan dalam penulisan makalah ini, yaitu sebagai berikut:

1.      Untuk Mengetahui Pengertian Thareqat.

2.      Untuk Mengetahui Faktor Timbulnya Thareqat.

3.      Untuk Mengetahui Pelaksanaan Thareqat.

4.      Untuk Mengetahui Macam-macam Thareqat di Indonesia.


BAB II

PEMBAHASAN

A.    Pengertian Thareqat.

Ada beberapa definisi terkait maksalah thareqat, yang pertama dalam tinjauan etimologi bahwa tarekat berasal dari bahasa Arab yaitu al-thariq, jamaknya al-thuruq  merupakan isim musytaraq, yang secara etimologi berarti jalan, tempat, atau metode.[1]

Sedangkan menurut terminology ada beberapa ahli yang mendefinisikan tentang thareqat, diantaranya menurut Abu Bakar Aceh, thareqat adalah petunjuk dalam melaksanakan sesuatu ibadah sesuai dengan ajaran yang ditentukan dan diajarkan oleh Rasul, dikerjakan oleh sahabat dan tabi’in, turun temurun sampai pada guru-guru, sambung-menyambung dan rantai-berantai. Atau suatu cara mengajar dan mendidik, yang akhirnya meluas menjadi kumpulan kekeluargaan yang mengikat penganut-penganut sufi,untuk memudahkan menerima ajaran dan latihan-latihan dari para pemimpin dalam suatu ikatan.

Harun Nasution mendefinisikan thareqat sebagai jalan yang harus ditempuh oleh seorang sufi, dengan tujuan untuk berada sedekat mungkin dengan Allah SWT.[2]

Syekh Muhammad Amin Kurdy mendefinisikan thareqat sebagai pengalaman syari’at dan dengan tekun melaksanakan ibadah dan menjauhkan diri dari sikap mempermudah pada apa yang memang tidak boleh dipermudah.[3]

Zamakhsyari Dhofier memberikan definisi terhadap thareqat sebagai suatu istilah generic, perkataan thareqat berarti “jalan menuju surga” dimana waktu melakukan amalan-amalan thareqat tersebut si pelaku berusaha mengangkat dirinya melampaui batas-batas kediriannya sebagai manusia dan mendekatkan dirinya ke sisi Allah SWT.[4]

Dari beberapa definisi diatas, maka dapat disimpulkan bahwa thareqat adalah melakukan pengalaman yang berdasarkan syari’at yang disertai dengan ketekunan dalam beribadah sehingga sampai pada kedekatan diri dengan Allah. Hal inilah yang menjadi tujuan utama dalam berthareqat yakni kedekatan diri kepada Allah (taqarrub ila al Allah). Jadi, amalan thareqat merupakan sebuah amalan ibadah sesuai dengan ajaran yang dicontohkan oleh Rasulullah SAW. Dan dikerjakan oleh para shabat, tabi’in, dan tabi’ tabi’in secara turun temurun hingga kepada para ulama’ yang menyambung hingga pada masa kini.[5]


B.     Faktor Timbulnya Thareqat

Pada mulanya thareqat melalui oleh seorang sufi secara individual, namun seiring dengan perjalannnya, thareqat diajarkan baik secara individual maupun secara kolektif. Pengajaran thareqat pada orang lain ini sudah dimulai sejak al Hallaj (858-922 M) dan dilakukan pula oleh sufi-sufi besar lainnya. Dengan demikian timbullah dalam sejarah Islam kumpulan sufi yang mempunyai syaikh yang menganut thareqat tertentu sebagai amalannya dan mempunyai pengikut.[6]

Sistem hubungan antara mursyid dan murid menjadi pondasi bagi pertumbuhan thareqat sebagai sebuah organisasi dan jaringan.[7] Fungsi mursyid yang sedemikian sentral sebagai pembimbing rohani dalam rangka menjalani maqamat, menjadikan murid secara alami menerima otoritas dan bimbingannya. Penerimaan ini tampak didasarkan atas keyakinan bahwa setiap manusia mempunyai kemungkinan yang inheren dalam dirinya berupa kemampuan untuk mewjudkan proses dalam pengalaman “bersatu” dengan Tuhan akan tetapi, potensi ini terpendam dan dapat terwujud hanya dengan iluminasi tertentu yang dianugerahkan oleh Tuhan tanpa bimbingan dari seorang mursyid.[8]

Amalan thareqat merupakan aspek yang inheren dalam tradisi sufi tanpa harus dihubungkan dengan tradisi thareqat tertentu. Sesungguhnya, sebelum timbulnya organisasi-organisasi thareqat (jauh sebelum abad ke 15), dalam masyarakat Islam telah berkembang amalan-amalan thareqat yang semata-mata merupakan aliran-aliran doktrin tasawuf. Organisasi-organisasi thareqat pada taraf awal pertumbuhannya merupakan kelanjutan faham-faham tasawuf yang berkembang mulai abad ke 9, dan oleh karena itu istilah thareqat teteap dipakai sesuai dengan arti aslinya, yaitu suatu cara atau jalan yang ideal menuju kesisi Allah dengan menekankan pentingnya aspek-aspek doktrin disamping pelaksanaan praktek-praktek spiritual yang tidak menyeleweng dari contoh-contoh yang diberikan oleh para Nabi dan para sahabat.[9]


C.    Pelaksanaan Thareqat

Tarekat merupakan jalan yang harus dilalui untuk mendekatkan diri kepada Allah SWT. maka orang yang menjalankan tarekat tersebut harus menjalankan syariat dan murinya harus memenuhi beberapa unsure-unsur berikut:

1. Mempelajari ilmu pengetahuan yang berkaitan dengan syariat agama.

2. Mengamati dan berusaha semaksimal mungkin untuk mengikuti jejak dari guru serta melaksanakan perintahnya dan menjauhi larangannya.

3. Tidak mencari-cari keringanan dalam beramal agar tercapai kesempurnaan yang hakiki.

4. Berbuat dan mengisi waktu seefisien mungkin dengan segala Wirid dan do’a guna pemantapan dan kekhusuan dalam mencapai maqomat (stasion) yang lebih tinggi.

5. Mengekang hawa nafsu agar terhindar dari kesalahan yang dapat menodai amal.

Dan tata cara pelaksanaan tarekat yakni berikut penjelasannya:

a.  Zikir, yaitu ingat yang terus menerus kepada Allah dalam hati serta menyebutkan namanya dengan lisan. Zikir ini berguna sebagai alat control bagi hati, ucapan dan perbuatan agar tidak menyimpang dari garis yang sudah ditetapkan Allah.

b.  Ratib, yaitu mengucap lafal la ilaha illa Allah dengan gaya, gerak dan irama tertentu.

c.  Musik, yaitu dalam membacakan wirid-wirid dan syair-syair tertentu diiringi dengan bunyi-bunyian (instrumentalia) seperti memukul rabana.

d. Menari, yaitu gerak yang dilakukan mengiringi wirid-wirid dan bacaan-bacaan tertentu untuk menimbulkan kekhidmatan.

e.  Bernafas, yaitu mengatur cara bernafas pada waktu melakukan zikir yang tertentu.


D.    Macam-macam Thareqat di Indonesia

Thareqat berkembang secara pesat di hampir seluruh dunia, termasuk di Indonesia. Perkembangan thareqat yang pesat membawa dampak positif bagi perkembangan dakwah, karena perkembangan thareqat juga merupakan perkembangan dakwah Islam. Diantara thareqat-thareqat yang berkembang di Indonesia adalah sebagai berikut :

1.      Thareqat Qadiriyah

Thareqat qadiriyah didirikan oleh Syaikh Abdul Qadir Al jaelani (470-561 H / 1077-1166 M )[10] beliau terkenal dnegan kekuatan ma’rifatnya. Dasar-dasar pokoknya ialah tinggi cita-citanya, menjaga kehormatan, baik pelayanan, kekuatan pendirian, dan membesarkan nikmat Tuhan.

Menurut thareqat ini, siapa yang tinggi cita-citanya, naiklah martabatnya. Siapa yang memelihara kehormatannya, siapa yang baik khidmatnya, kekallah ia dalam petunjuk. Siapa yang membesarkan Allah (karena ni’matnya) dia akan mendapatkan tambahan nikmat dari-Nya. Diantara amalan-amalan thareqat qadiriyah adalah dzikir yang paling penting diantara aliran-aliran yang lain.

2.      Thareqat Rifa’iyah

Thareqat ini didirikan oleh Ahmad bin Ali bin Abbas al Rifa’i. beliau wafat di Umm Abidah pada tanggal 22 Jumadil Awal 578 H/ 23 September 1106 M.

Para penganut thareqat ini terkenal dengan keramat dan ketinggian fatwanya. Di Aceh, thareqat Rifa’iyah terkenal dengan tradisi tabuhan Rafa’ kemudian di Sumatra ada pemain debus. Thareqat ini mampu mempunyai tiga prinsip yaitu tidak meminta sesuatu, tidak menolak sesuatu, dan tidak menunggu sesuatu.

Cara berdzikit thareqat rifa’iyah ini dilakukan dengan besama-sama dan diiringi oleh suara gendang yang bertalu-talu. Dzikir tersebut dilakukan sampai mencapai suatu keadaan.

3.      Thareqat naqsabandiayah

Thareqat ini didirikan oleh ulama’ tasawuf terkenal yaitu Muhammad bin Muhammad Baha’ al din al uwaisi al Buhkhori Naqsabandi (717-791 H/ 1318-1389 M) dilahirkan disebuah desa qashrul arifah, dekat dari bukhara tempat kelahiran imam al bukhari.[11] Beliau dikenal dengan keahliannya melukiskan kehidupan yang ghaib dan menyelam dalam lautan dan kesatuan dan kefanaan.

Thareqat naqsabandiyah mempunyai kedudukan yang istimewa karena berasal dari Abu Bakar. Thareqat ini mengajarkan tentang adab dan dzikir, tawasul dalam thareqat, adap suluk, tentang salik dan maqam-Nya, juga tentang ribath.

Dzikir dalam thareqat naqsabandiyah adalah dengan mengingat Allah dan menyebut asma Allah berulang-ulang atau mengucapkan kalimat laa ilaaha illallah dengan tujuan untuk mencapai kesadaran akan Allah yang lebih langsung dan permanen. Bagi penganut thareqat ini dzikir umumnya dilakukan dengan diam (dzikir khafi: diam/tersembunyi).

Thareqat naqsabandiyah memiliki dua macam dzikir, yang pertama dzikir ism al dzat, mengingat nama Yang Hakiki dengan mengucap nama Allah berulang-ulang dalam hati, ribuan kali dihitung dengan tasbih dengan memusatkan kepada Allah semata. Kedua, dzikir tauhid artinya mengingat keesaan. Dzikir ini dilakukan dengan perlahan diiringi dengan pengaturan nafas. Selain dua dzikir tersebut ada dzikir yang peringkatnya lebih tinggi namanya dzikr lathaif, dzikir ini mengharuskan pelaku dzikir memusatkan kesadarannya dan membayangkan nama Allah itu smapai bergetar dan memancarkan panas berturut-turur pada tujuh titik halus pada tubuh.

4.      Thareqat Sammaniyah

Thareqat ini didirikan oleh Muhammad bin Abd al Karim al Madani al Syafi’I al Samman (1130-1189 H/1718-1775 M). ia lahir di Madinah dari keluarga Quraisy, di kalangan murid dan Pengikutnya beliau lebih dikenal dengan nama al Sammani atau Muhammad Samman.[12]

Para pengikut thareqat ini biasanya berdzikir dengan suara keras dan melengking. Sewaktu melantunkan dzikir laa ilaha illallah dalam intensitas yang semakin cepat maka yang terdengar dari mulut mereka hanya “Hu” yang artinya “Dia Allah”. Thareqat sammaniyah mengajari oara pengikutnya untuk memperbanyak dzikir dan sholat, menolong orang miskin, tidak diperbudak kesenangan duniawi, dan beriman secara tulus hanya kepada Allah.

5.      Thareqat Khalwatiyah

Thareqat ini didirikan oleh Zhahiruddin dan Syaikh Qasim al Khalwati di Khurasan. Thareqat khalwatiyah merupakan cabang dari thareqat suhrawardi yang didirikan oleh Abd Qadir Suhrawardi yang wafat pada tahun 1167 M. amalan thareqat khalwatiyah mempu mentransformasi jiwa dari tingkat yang rendah dari tingkat yang lebih sempurna melalui tujuh tingkatan nafs.

6.      Thareqat al Hadad

Thareqat ini didirikan oleh Sayyid Abdullah bin Alwi bin Muhammad al Hadad. Ia lahir di Tarim, sebuah kota yang terletak di Hadramaut, pada tanggal 5 Shafar 1044 H. ia banyak mengarang kitab dalam ilmu tasawuf diantaranya Nsaih al Diniyah (nasehat-nasehat agama), dan al Muawannah fi suluk thariq al akhirah (pandangan mencapai hidup di akhirat).

7.      Thareqat Khalidiyah

Thareqat ini adalah salah satu cabang dari thareqat Naqsabandiyah di Turki, yang berdiri pada abad XIX. Pokok-pokok thareqat khalidiyah dibangun oleh syaikh Sulaiman Zuhdi al Khalidi. Thareqat ini berisi tentang adab dan dzikir, tawasul dalam thareqat, adab suluk, tentang saik dan maqamnya, tentang ribath dan beberapa fatwa pendek dai syaikh sulaiman az zuhdi al khalidi mengenai beberapa persoalan yang diterima dari bermacam-macam daerah.

Thareqat ini banyak berkembang di Indonesia dan mempunyai syaikh khalifah dan mursyid yang diketahui dari beberapa surat yang berasal dari Banjarmasin dan daerah-daerah lain yang dimuat dalam kitab kecil yang berisi fatwa Sulaiman az Zuhdi al Khalidi.

Baca juga artikel yang lain:

  1. Pengertian Bid'ah
  2. Konsep Manusia Menurut Aliran Humanisme dan Islam
  3. Konsep Manusia dalam Prespektif Aliran Psikoanalisa dan Behaviorisme
  4. Psikologi Perkembangan Pada Masa Anak-Anak
  5. Keterkaitan Ilmu Pengetahuan dan Agama
  6. Studi Al-Qur'an
  7. Studi Fikih (Hukum Islam)
  8. Urgensi Pengantar Studi Islam
  9. Etika Politik dan Nilai Pancasila Sebagai Sumber Politik
  10. Maqamat dan Ahwal dalam Tasawuf
  11. Akhlak Pribadi sebagai Makhluk dan Anggota Masyarakat
  12. Tipologi Tasawuf
  13. Akhlak Tasawuf
  14. Pendidikan Akhlak
  15. Thareqat di Indonesia
  16. Konsep Baik dan Buruk, Hak dan Kewajiban dalam Akhlak
  17. Ma’rifat dan Mahabbah dalam Tasawuf
  18. Nafsu dan Penyakit Hati
  19. Pengertian Tasawuf
  20. Akhlak Pribadi sebagai Makhluk, Diri Sendiri, Masyarakat, Keluarga

BAB III

PENUTUP

A.    KESIMPULAN

Definisi tentang thareqat, banyak para ahli mendefinisikan thareqat, diantaranya adalah Syaikh Amin al Kurdi, Harun Nasution hingga Zamakhsyarie Dhofier, masing-masing mempunyai definisi yang berbeda namun jika ditarik inti dari thareqat maka ada kesamaan dari beberapa definisi tersebut, yakni melakukan pengalaman berdasarkan syari’at yang disertai dengan ketekunan dalam beribadah sehingga sampai pada kedekatan diri dengan Allah. Hal inilah yang menjadi tujuan utama dalam berthareqat yakni kedekatan diri kepada Allah (Taqarrub ila al Allah). Jadi, amalan thareqat merupakan sebuah amalan ibadah sesuai dengan ajaran yang dicontohkan oleh Rasulullah SAW. Dan dikerjakan oleh para sahabat, tabi’in, dan tabi’ tabi’in secara turun temurun hingga kepada para ulama’ yang menyambung hingga pada masa kini.

Thareqat yang berkembang di Indonesia hingga sekarang cukup banyak, sebagaimana yang disebutkan diatas, yaitu thareqat qadiriyah, thareqat Rifa’iyah, thareqat naqsabandiyah, thareqat sammaniyah, thareqat khalwatiyah, thareqat al hadad, dan thareqat khalidiyah.


B.     Saran

Setelah kita mempelajari dan mengetahui isi dalam makalah ini, diharapkan kita dapat mengaplikasikan ilmunya yang positif dalam kehidupan sehari-hari, sehingga ilmu kita bermanfaat.

Demikianlah yang dapat kami paparkan mengenai materi yang menjadi pokok bahasan dalam makalah ini, tentunya masih banyak kekurangan dikareakan terbatasnya pengetahuan dan kurangnya refrensi. Semoga makalah ini berguna bagi penyusun dan para pembaca. Amin.


DAFTAR PUSTAKA

Rusli, Ris’an. Tasawuf dan Tareqat. Jakarta: Rajawali Press.  2013

Rifa’I, A Bachrun dan Mud’is, Hasan. Filsafat Tasawuf. Bandung: Pustaka Setia. 2010

Dhofier, Zamakhsyari.  Tradsis Pesantren. Jakarta: LP3ES. 2011

Amin, Samsul Munir. Ilmu Tasawuf. Jakarta: Amzah. 2015

Bruinessen, Martin Van. Thareqat Naqsabandiyah di Indonesia. Bandung: Mizan. 2006

Mulyati, Sri. Thareqat-tareqat Muktabarah di Indonesia. Jakarta: Kencana Prenada Media Group. 2006

Azra, Azyumardi. Jaringan Ulama’ Timur Tengah dan Kepulauan Nusantara Abad Xvii & Xviii: Akar Pembaruan Islam di Indonesia. Jakarta: Prenada. 2004

Footnood

[1] Ris’an Rusli, Tasawuf dan Tareqat, (Jakarta: Rajawali Press, 2013), hal. 184

[2] Ibid, hal. 185

[3] A. Bachrun Rifa’i dan Hasan Mud’is, Filsafat Tasawuf, (Bandung: Pustaka Setia, 2010), hal. 233

[4] Zamakhsyari Dhofier, Tradsis Pesantren, (Jakarta: LP3ES, 2011), hal. 212

[5] Samsul Munir Amin, Ilmu Tasawuf, (Jakarta: Amzah, 2015), hal. 290

[6] Ibid, hal. 298

[7] Martin Van Bruinessen, Thareqat Naqsabandiyah di Indonesia, (Bandung: Mizan, 2006), hal. 17

[8] Samsul Munir Amin, Ilmu Tasawuf, (Jakarta: Amzah, 2015), hal. 290

[9] Zamakhsyari Dhofier, Tadris Pesantren, (Jakarta: LP3ES, 2011), hal. 213

[10] Sri Mulyati, Thareqat-tareqat Muktabarah di Indonesia, (Jakarta: Kencana Prenada Media Group, 2006), hal. 34

[11] Sri Mulyati, Thareqat-tareqat Muktabarah di Indonesia, (Jakarta: Kencana Prenada Media Group, 2006), hal. 89

[12] Azyumardi Azra, Jaringan Ulama’ Timur Tengah dan Kepulauan Nusantara Abad Xvii & Xviii: Akar Pembaruan Islam di Indonesia, (Jakarta: Prenada, 2004), hal. 159

MAKALAH HADIST TENTANG HIJAB

  A.   Latar Belakang Telah disepakati oleh seluruh umat Islam bahwa al-Qur’an menjadi pedoman hidup baik tentang syariah maupun dalam keh...