HOME

20 Januari, 2022

Berzina

Berzina dengan Seseorang yang Bersuami/Beristri

Pertanyaannya ada salah satu kawan telah berzina berulang kali dengan seorang perempuan yang telah bersuami, dan dia mendesak perempuan tersebut agar minta cerai dari suaminya dan secara nyata terjadilah perceraian tersebut, setelah itu dia menikahinya dan dari pernikahannya mereka dikaruniai anak namun sebelum menikah mereka telah bertaubat dari perbuatan zina, maka apakah pernikahan keduanya bisa dianggap sah? karena kawan saya ini telah membaca fatwa nomer (201510) yang menyebutkan: Barangsiapa yang menipu seorang wanita dan mendesak dia untuk bercerai dari suaminya, lalu dia merusak rumah tangganya hingga dia meninggalkan suaminya, kemudian dia menikahinya; maka nikahnya tersebut tidak sah dan wajib supaya dipisahkan antara keduanya secara paksa, dan pendapat inilah yang dijadikan dasar oleh Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah Rahimahullah, yang pendapat ini merupakan Madzhab Al Malikiyyah, meskipun mereka menyesal dengan penyesalan yang berat, maka apa yang wajib dilakukan oleh kawan saya tersebut, dan perlu diketahui bahwasannya madzhab kawan saya ini adalah Hanafi? dan apabila jawabannya mereka berdua harus berpisah maka apa yang akan terjadi pada anak-anak mereka ?

Pertama:  Apa yang dilakukan oleh lelaki ini berupa perbuatan zina dengan wanita yang telah bersuami dan mendesaknya agar meninggalkan atau berpisah dan meminta cerai kepada suaminya merupakan kejahatan yang amat agung dan dosa besar serta kekejian yang nyata yang mengungkapkan lemahnya pemahaman agama si pelaku, dan minimnya pemahaman akan betapa banyaknya keutamaan-keutamaan Allah Azza wa Jalla, karena sesungguhnya perbuatan zina merupakan kejahatan yang teramat buruk di setiap syari’at agama-agama samawi sebagaimana yang telah dimaklumi bersama, dan menggoda serta merusak hubungan seorang perempuan dengan suaminya merupakan dosa yang teramat besar, terlebih lagi dengan ditambah dosa perzinaan, dalam sebuah riwayat terdapat ancaman yang keras akan perbuatan yang demikian sebagaimana sabda Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam :

 لَيْسَ مِنَّا مَنْ خَبَّبَ امرَأَةً عَلَى زَوجِهَا  رواه أبو داود (2175) ، وصححه الألباني في ” صحيح سنن أبي داود

” Tidaklah termasuk golongan kami seseorang yang menggoda atau menipu seorang wanita untuk berpisah dari suaminya. [Hadits Riwayat Abu Daud, dalam kitab “ Shahih Abu Daud ” ( 2175 ) dan disahihkan oleh al Albani].

عن أبي هريرة رضي الله عنه قال : قال رسول الله صلى الله عليه وسلم : ( مَنْ خَبَّبَ زَوْجَةَ امْرِئٍ أَوْ مَمْلُوكَهُ فَلَيْسَ مِنَّا ) ، وصححه الألباني في ” صحيح سنن أبي داود

Juga dalam riwayat Abu Daud ( 5170 ) dari Abu Hurairah  Radliyallahu Anhu dia berkata : Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: Barangsiapa yang menipu atau menggoda istri seseorang atau budak perempuan orang lain maka dia bukanlah dari golongan kami. [Dishahihkan oleh Al Albani dalam Shahih Sunan Abi Dawud]

As Syaikh Abdul Adzim Abadi Rahimahullah berkata : maksud dari sabda Nabi

 مَنْ خَبَّبَ

dengan huruf bak yang pertama ditasydid, yang berartikan : Menipu dan merusak,

امرَأَةً عَلَى زَوجِهَا

Maksud dari sabda Nabi tersebut adalah: yaitu dengan menyebutkan keburukan-keburukan suami di hadapan istrinya, atau kebaikan-kebaikan lelaki lain di depan wanita tersebut, dari kitab “ ‘Aunul Ma’bud ” ( 6/ 159 ). Beliau Rahimahullah juga menerangkan tentang:

 مَنْ خَبَّبَ زَوْجَةَ امْرِئ 

yaitu menipunya dan berusaha merusak rumah tangganya atau menampakkan kebaikan padanya agar dia bercerai dengan suaminya lalu dia menikahinya, atau dia menjodohkannya dengan orang lain. [Kitab Aunul Ma’bud 14/52]

Kedua : Apa yang telah dilakukan oleh seorang wanita dari perbuatan zina dengan lelaki tersebut merupakan kejahatan yang luar biasa, dan penghianatan terhadap hak-hak suaminya atasnya, dan telah merusak ranjangnya, dan hukuman yang sesuai oleh pelaku-pelaku semacam ini adalah dirajam dengan batu hingga meninggal, sebagaimana yang telah dipahami dalam As Sunnah: Hukum rajam itu merupakan sangsi yang harus diberikan kepada seseorang yang telah menikah, baik laki-laki maupun perempuan maka hal itu telah ditetapkan secara mutawatir di dalam As Sunnah. 

Juga disebutkan ; maka apabila dia ( si perempuan ) mengajukan permohonan talaq kepada suaminya dengan tanpa sebab maka dia berhak menerima hukuman sebagaimana pelaku zina, dan hal ini merupakan perkara yang diharamkan dan disebutkan dalam sebuah riwayat yang di dalamnya merupakan ancaman yang keras bagi siapa saja yang melakukan yang demikian sebagaimana sabda Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam :

 أَيُّمَا امرَأَةٍ سَأَلَت زَوجَهَا طَلَاقًا فِي غَيرِ مَا بَأسٍ فَحَرَامٌ عَلَيهَا رَائِحَةُ الجَنَّةِ  رواه أبو داود (1187) ، وصححه الألباني في ” صحيح أبي داود

Siapa saja di antara kaum wanita yang meminta cerai kepada suaminya dengan tanpa ada alasan yang diperbolehkan, maka diharamkan baginya baunya surga [Hadits riwayat Abu Daud (1187), dan disahihkan oleh Al Albani dalam kitab Shahih Abu Dawud]

Ketiga : Sebagian ulama’ berpendapat bahwasannya barangsiapa yang merusak pernikahan seorang perempuan dengan suaminya; maka tidak dihalalkan baginya untuk menikahinya, bahkan diharamkan atasnya menikahinya untuk selama-lamanya, dan pendapat ini merupakan madzhab Maliki, akan tetapi jumhur ulama’ berpendapat sahnya pernikahan dengan disertai dosa yang telah mereka lakukan.

Selanjutnya apabila lelaki ini telah menyesal dengan apa yang telah diperbuat, dan demikian pula si wanita dia juga telah menyesal dengan apa yang dia perbuat dan keduanya telah bertaubat kepada Allah: dan yang nampak secara dhohir sebagaimana ayat yang diturunkan oleh Allah Subhanahu wa Ta’ala adalah dosa zina sebelum menikah, maka hendaklah bagi mereka berdua untuk benar-benar menampakkan taubat yang sesungguhnya atau Taubah Nasuha dari apa yang telah mereka lakukan sebelumnya; dari bersekongkol untuk menyingkirkan suami yang pertama dan merusak mahligai rumah tangganya, maka sudah sepatutnya mereka berdua memperbanyak amal shaleh yang bisa menghapuskan dosa mereka di masa lampau semampu mereka yang bisa mereka lakukan, Allah Ta’ala berfirman:

 وَأَقِمِ الصَّلَاةَ طَرَفَيِ النَّهَارِ وَزُلَفًا مِنَ اللَّيْلِ إِنَّ الْحَسَنَاتِ يُذْهِبْنَ السَّيِّئَاتِ ذَلِكَ ذِكْرَى لِلذَّاكِرِينَ

Dan dirikanlah shalat itu pada kedua tepi siang (pagi dan petang) dan pada bahagian permulaan daripada malam. Sesungguhnya perbuatan-perbuatan yang baik itu menghapuskan (dosa) perbuatan-perbuatan yang buruk. Itulah peringatan bagi orang-orang yang ingat.[Hud/11: 114].

وعن أبي ذر رضي الله عنه قال لي رسول الله صلى عليه وسلم : ( اتَّقِ اللَّهِ حَيْثُمَا كُنْتَ ، وَأَتْبِعْ السَّيِّئَةَ الْحَسَنَةَ تَمْحُهَا…) رواه الترمذي (1987) وحسنه الألباني في ” صحيح سنن الترمذي

Dan dari Abu Dzar Radhiyallahu Anhu dia berkata ; Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda kepadaku : Bertakwalah dimanapun engkau berada, dan ikutilah perbuatan buruk dengan dengan perbuatan yang baik niscaya perbuatan baik akan menghapuskan perbuatan buruk [Hadits riwayat At Turmudzi  ( 1987 ) dan di Hasankan oleh Al Albani dalam kitab Shahih Sunan At- Turmudzi ]

وعن كعب بن عجرة رضي الله عنه قال : قال لي رسول الله صلى الله عليه وسلم :(والصدقةُ تُطْفِئُ الخطيئة كما يُطْفِئُ الماءُ النارَ) رواه الترمذي (614) وصححه الألباني في ” صحيح سنن الترمذي

“ Dan dari Ka’ab bin ‘Ujroh Radliyallahu Anhu dia berkata : Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda kepadaku : Dan Shadaqoh itu akan memadamkan dosa sebagaimana air yang memadamkan api [Hadits riwayat At Turmudzi ( 614 ) dan disahihkan oleh Al Albani dalam “ Shahih Sunan At- Turmudzi ”].

Dan tidak ada kewajiban bagi keduanya setelah benar-benar bertaubat untuk berpisah satu sama lain sebagaimana madzhab Jumhur Ulama’ dan di antara mereka ada Al Ahnaf, terlebih lagi keduanya telah mempunyai anak-anak yang jika keduanya berpisah maka akan membahayakan masa depan anak-anak mereka.

Baca juga artikel yang lain:


Keutamaan Menyantuni Anak Yatim

 

عَنْ سَهْلِ بَْنِ سَعْدٍ رضي الله عنه قَالَ : قَالَ رَسُولَ اَللَّهِ صلى الله عليه وسلم : أَنَا وَكَافِلُ الْيَتِيمِ فِى الْجَنَّةِ هكَذَ، وَأَشَارَ بِالسَّبَّابَةِ وَالْوُسطَى وَفَرَّجَ بَيْنَهُمَا شَيْئاً

Dari Sahl bin Sa’ad Radhiallahu ‘anhu dia berkata: Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda : “Aku dan orang yang menanggung anak yatim (kedudukannya) di surga seperti ini”, kemudian beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam mengisyaratkan jari telunjuk dan jari tengah beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam, serta agak merenggangkan keduanya.[HR al-Bukhari no. 4998 dan 5659]

Hadits yang agung ini menunjukkan besarnya keutamaan dan pahala orang yang meyantuni anak yatim, sehingga imam al-Bukhari rahimahullah mencantumkannya dalam bab: Keutamaan Orang Yang Mengasuh Anak Yatim. Beberapa faidah penting yang terkandung dalam hadits ini:

• Makna hadits ini: orang yang menyantuni anak yatim di dunia akan menempati kedudukan yang tinggi di surga dekat dengan kedudukan Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam [1].

• Arti “menanggung anak yatim” adalah mengurusi dan memperhatikan semua keperluan hidupnya, seperti nafkah (makan dan minum), pakaian, mengasuh dan mendidiknya dengan pendidikan Islam yang benar [2].

• Yang dimaksud dengan anak yatim adalah seorang anak yang ditinggal oleh ayahnya sebelum anak itu mencapai usia dewasa [3].

• Keutamaan dalam hadits ini berlaku bagi orang yang meyantuni anak yatim dari harta orang itu sendiri atau harta anak yatim tersebut jika orang itu benar-benar yang mendapat kepercayaan untuk itu [4].

• Demikian pula, keutamaan ini berlaku bagi orang yang meyantuni anak yatim yang punya hubungan keluarga dengannya atau anak yatim yang sama sekali tidak punya hubungan keluarga dengannya [5].

Ada beberapa hal yang harus diperhatikan sehubungan dengan mengasuh anak yatim, yang ini sering terjadi dalam kasus “anak angkat”, karena ketidakpahaman sebagian dari kaum muslimin terhadap hukum-hukum dalam syariat Islam, di antaranya:

1. Larangan menisbatkan anak angkat/anak asuh kepada selain ayah kandungnya, berdasarkan firman Allah:

 ادْعُوهُمْ لِآَبَائِهِمْ هُوَ أَقْسَطُ عِنْدَ اللَّهِ فَإِنْ لَمْ تَعْلَمُوا آَبَاءَهُمْ فَإِخْوَانُكُمْ فِي الدِّينِ وَمَوَالِيكُمْ

“Panggillah mereka (anak-anak angkat itu) dengan (memakai) nama bapak-bapak (kandung) mereka; itulah yang lebih adil di sisi Allah, dan jika kamu tidak mengetahui bapak-bapak mereka, maka (panggilah mereka sebagai) saudara-saudaramu seagama dan maula-maulamu” [al-Ahzaab/33: 5].

2. Anak angkat (anak asuh) tidak berhak mendapatkan warisan dari orang tua yang mengasuhnya, berbeda dengan kebiasaan di zaman Jahiliyah yang menganggap anak angkat seperti anak kandung yang berhak mendapatkan warisan ketika orang tua angkatnya meninggal dunia[6].

3. Anak angkat (anak asuh) bukanlah mahram[7], sehingga wajib bagi orang tua yang mengasuhnya maupun anak-anak kandung mereka untuk memakai hijab yang menutupi aurat di depan anak tersebut, sebagaimana ketika mereka di depan orang lain yang bukan mahram, berbeda dengan kebiasaan di masa Jahiliyah.

Baca juga artikel yang lain:

Footnote

[1]. Lihat kitab “’Aunul Ma’buud” (14/41) dan “Tuhfatul ahwadzi” (6/39).

[2]. Lihat kitab “Syarhu shahiihi Muslim” (18/113).

[3]. Lihat kitab “an-Nihaayah fi gariibil hadiitsi wal atsar” (5/689).

[4]. Lihat kitab “Syarhu shahiihi Muslim” (18/113) dan “Faidhul Qadiir” (3/49).

[5]. Ibid.

[6]. Sebagaimana dalam HSR al-Bukhari (no. 3778), lihat juga kitab “Tafsir al-Qurthubi” (14/119).

[7]. Mahram adalah orang yang tidak halal untuk dinikahi selamanya dengan sebab yang mubah (diperbolehkan dalam agama). Lihat kitab “Fathul Baari” (4/77).

19 Januari, 2022

Urgensi Pengantar Studi Islam

BAB I

PENDAHULUAN

A.    Latar Belakang

Islam merupakan agama yang terakhir sebagai penutup semua agama yang telah ada, untuk menyampaikan ajaran-ajaran tentang kemanusiaan dan keadilan bagi seluruh umat manusia. Ajaran-ajaran Islam perlu dipahami melalui jalan yang praktis karena fungsi agama ini adalah untuk memberikan solusi-solusi yang terbaik atas segala preblema sosial yang ada dalam masyarakat. Untuk mengetahui Islam lebih mendalam maka muncullah ilmu yang dinamakan studi Islam, akan tetapi studi Islam itu sendiri merupakan bidang kajian yang cukup lama. Studi Islam telah ada bersama dengan adanya agama Islam maka dari itu studi Islam menimbulkan berbagai permasalahan yang umum diantaranya: apa pengertian studi Islam, apa ruang lingkup atau objek studi Islam , apa tujuan studi Islam.

Seiring dinamika dan perkembangan zaman, kesempatan untuk mempelajari studi Islam dapat melalui segala hal, berkaitan dengan persoalan tentang mempelajari studi Islam, Islam memberikan kesempatan secara luas kepada manusia untuk menggunakan akal pikirannya secara maksimal untuk mempelajarinya.


B.     Rumusan Masalah

1.      Apa pengertian dari  Islam?

2.      Bagaimana penjelasan  Pengantar  Studi Islam ?


C.     Tujuan Masalah

1.      Untuk mengetahui pengertian dari Islam

2.      Untuk mengetahui lebih jelas tentang Pengantar Studi Islam


BAB II

PEMBAHASAN

A.   Pengertian Islam

Islam dapat kita bedah dari dua aspek, yaitu aspek kebahasaan dan aspek peristilahan. Dari aspek kebahasaan, Islam berasal dari bahasa Arab yaitu salima yang berarti selamat, sentosa, dan damai. Adapun pengertian Islam menurut segi istilah, banyak ahli yang mendefinisikannya. Menurut Harun Nasution mengatakan bahwa Islam adalah agama yang ajaran-ajarannya diwahyukan Tuhan kepada masyarakat manusia melalui Nabi Muhammad SAW sebagai Rasul.[1]

Sementara menurut Maulana Muhammad Ali mengatakan bahwa Islam adalah agama perdamaian, dan dua ajaran pokoknya, yaitu keesaan Allah dan kesatuan atau persaudaraan umat manusia menjadi bukti nyata bahwa Islam selaras dengan namanya.[2] Dilihat dari pengertian tersebut jadi seseorang yang beragama Islam (muslim) adalah orang yang membuat perdamaian dengan Tuhan dan dengan manusia. Islam juga dapat diartikan tunduk karena semua kegiatan sehari-hari secara menyeluruh hanya kepada kehendak-Nya.

Islam sebagai agama besar yang didalamnya memuat ilmu dan amal telah menarik perhatian dunia, bukan saja dari kalangan umat Islam sendiri,tetapi juga dari kalangan orang yang berada di luar Islam. Islam sebagai doktrin telah menjadi pilihan yang mengikat dan mempesona banyak orang untuk menjadi orientasi hidup dan kehidupan untuk keperluan ilmu dan amal, dalam arti mereka mengenal dan mengerti Islam secara utuh untuk menjadi referensi dan landasan dari cara pandang, berpikir, bersikap dan berprilaku dalam kehidupan pribadi, keluarga, berbangsa dan ber-negara, sehingga banyak orang ingin mempelajari Islam secara mendalam dan menyeluruh. Islam yang menampilkan doktrin yang berbeda dengan apa yang ada telah berkembang di berbagai bagian dunia dan sampai saat ini telah menjadi objek telaah keilmuan dari berbagai kalangan. Kalangan muslim ingin memperdalam (tafaquh) ajaran agamanya itu supaya mendapatkan kejernihan ilmu keislaman, sehingga mereka mendapatkan esens keilmuannya itu secara luas dan mendalam. Namun perhatian mereka terhadap bidang ini tidak pernah selesai sebagai akibat dalam dan luasnya bidang keislaman.[3]

1.      Arti Islam sebagai Agama.

Islam sebagaimana didefinisikan itu harus menjadi kepedulian setiap orang, karena hal itu menjadi objek perintah Tuhan. Sebagaimana yang tertera dalam QS:al-Baqarah:2:208) yang artinya “Hai orang-orang yang beriman, masuklah kamu ke dalam Islam secara keseluruhannya, dan janganlah kamu turuti langkah-langkah syaitan. Sesungguhnya syaitan itu musuh yang nyata bagimu.”

Islam bukan sekedar agama dunia, tetapi juga agama yang dipilih Allah untuk umat manusia. Tidak ada pilihan lain bagi orang yang biasa berspekulasi mencari agama alternatif kecuali Islam. Bagi orang yang menerima Islam sebagai agamanya dia mendapatkan harapan janji Tuhan yang tertuang dalam Al-Qur’an. Walaupun demikian banyak juga orang merasa keberatan dengan himbauan dan perintah seperti diatas bila tanpa bersamaan dengan hidayah-Nya. Dalam kalimat yang lebih ekstrim dapat dinyatakan bahwa hanya orang yang mendapatkan hidayah dari Tuhan yang mau memeluk Islam, sehingga Islam bukan ajaran yang harus dipaksakan kecuali melalui kesadaran diri. Demikian pula seseorang tidak perlu membanggakan dirinya ketika memeluk Islam dan mengolok-olokkan orang lain.

2.      Arti Islam Sebagai Pengejawantahan Orang yang Berserah Diri

Islam dalam maknanya berserah diri menjadi tuntutan bagi setiap orang dalam rangka mewujudkan perintah Allah. Berserah diri sebagai makna Islam dinyatakan dalam beberapa preposisi yang mempergunakan bermacam-macam gaya bahasa untuk menunjukkan sebagai perintah, ajakan, penegasan, pernyataan, permohonan (do’a), dan sikap. Dengan demikian berserah diri bagian dari doktrin Islam, atau berserah diri adalah watak doktrin Islam, sehingga Islam mempunyai makna korelatif dengan berserah diri. Dalam bentuk himbauan Tuhan menegaskan secara jelas dalam Al-Qur’an dan mengulas latar belakang perlunya manusia berserah diri. Latar belakang diperlukannya berserah diri karena sebab Allah telah menurunkan nikmatnya ke alam dunia ini dan setiap orang yang menerima dan merasakan nikmatnya perlu berserah diri.

3.      Arti Islam sebagai Lembaga Kedamaian dan keselamatan

Islam dalam maknanya yang lain, yaitu janji pemberian dan tuntunan keselamatan kepada pemeluknya apabila ia menerima sesuai dengan ajarannya. Orang Islam harus mampu menjaga orang lain dari kejahatannya dalam rangka membangun hubungan yang harmonis. Sedangkan makna lainnya, yaitu menebarkan perdamaian dengan berbagai prilaku dan tindakan. Dalam dialog sehari-sehari ucapan salam itu diverbalkan dengan ucapan السلام عليكم (kedamaian bagimu). Dengan demikian, Islam dalam makna premordialnya adalah berserah diri, kedamaian dan keselamatan. Orang yang menganut atau memeluk agama Islam disebut dengan muslim/muslimah. Kewajiban mereka adalah berpegang teguh kepada Islam sebagai doktrin, pandangan hidup, pedoman sikap dan perbuatan.[4]


B.   Studi Islam

Studi Islam secara etimologis merupakan terjemahan dari Bahasa Arab Dirasah Islamiyah. Sedangkan Studi Islam di barat dikenal dengan istilah Islamic Studies. Maka Studi Islam secara harfiah adalah kajian mengenai hal-hal yang berkaitan dengan Islam. Studi Islam secara sederhana dapat dikatakan sebagai usaha untuk mempelajari hal-hal yang berkaitan dengan agama Islam. Dengan kata lain Studi Islam adalah usaha sadar dan sistematis untuk mengetahui dan memahami serta membahas secara mendalam seluk beluk atau hal-hal yang berhubungan dengan agama Islam, baik ajaran, sejarah maupun praktik-praktik pelaksanaanya secara nyata dalam kehidupan sehari-hari, sepanjang sejarahnya.[5]

Adapun pengertian  islam secara terminologi sebagaimana yang di rumuskan para ahli, ulama dan cendekiawan bersifat sangat beragam,tergantung dari sudut pandang yang digunakan. Salah satu rumusan definisi Islam dalah wahyu Allah yang disampaikan kapda Nabi Muhammad SAW  sebagaimana terdapat dalam al-quran dan sunnah, berupa undang-undang serta aturan-aturan hidup. Sebagai petunjuk bagi seluruh umat manusia. Untuk mencapai kesejahteraan kedamaian hidup di dunia dan akhirat.[6]

Secara harfiyah Atho’ Mudzhar mengatakan bahwa objek kajian agama Islam adalah substansi ajaran-ajaran Islam, seperti kalam, fiqih, dan tasawuf. Dalam aspek ini, agama lebih bersifat penelitian budaya. Hal ini mengingat bahwa ilmu-ilmu keIslaman semacam ini merupakan salah satu bentuk doktrin yang dirumuskan oleh penganutnya yang bersumber dari wahyu Allah melalui proses penalaran dan perenungan. Ketika seseorang mempelajari bagaimana ajaran tentang sholat, zakat, haji, tentang konsep keesaan Allah, tentang argumen adanya Tuhan, tentang aturan etika dan moral dalam Islam, berarti ia sedang mempelajari Islam sebagai gejala budaya.[7]

Sebenarnya studi Islam telah mulai diperkenalkan kepada umat Islam semenjak mereka memulai karir kehidupannya. Namun intensitasnya lebih ditingkatkan ketika mereka telah memasuki pendidikan di lembaga-lembaga formal. Dengan alasan untuk meningkatkan wawasan keislaman dan amaliyahnya terutama bagi umat Islam, maka studi Islam semakin diintensifkan dan menjadi muatan kurikulum pendidikan. Studi Islam di lembaga-lembaga tertentu disajikan dengan strategi dan metode tertentu dan pilihan materinya disesuaikan dengan kebutuhan.[8]

1.  Tujuan Studi Islam

Adapun tujuan studi islam adalah sebagai berikut :

Pertama, untuk memahami dan mendalami serta membahas ajaran-ajaran islam agar mereka dapat melaksanakan dan mengamalkan secara benar, serta menjadikannya sebagai pegangan dan pedoman hidup.

Kedua, untuk menjadikan ajaran-ajaran islam sebagai wacana ilmiah secara transparan yang dapat diterima oleh berbagai kalangan. Dalam hal ini, seluk beluk agama dan praktik-praktik keagamaan yang berlaku bagi umat islam dijadikan dasar ilmu pengetahuan.

Tujuan ini menjadi semacam titik yang akan dituju dengan berbagai sarana dan metode untuk mencapainya. Dengan kerangka tujuan seamacam ini. Studi islam diharapkan tidak sekedar sebagai sebuah wawasan normative, tetapi juga konstektual, aplikatif, dan memberikan konstribusi konkret terhadap dinamika dan perkembangan yang ada[9].

2.  Ruang Lingkup Studi Islam

Ruang lingkup kajian islam dalam tradisi kajian barat (orientalism schoal) meliputi pembahasan mengenai ajaran. Doktrin, pemikiran, teks, sejarah, dan instuti keIslaman. Mengingat daerah koloni pada umumnya adalah negara-negara yang banyak di domisili warga negara yang beragam Islam.

Menurut Muhammad Nurhakim, memang tidak semua aspek agama. Khususnya Islam dapat menjadi objek studi. Dalam konteks khusus Studi Islam. Ada beberapa aspek tertentu dari islam yang dapat menjadi objek studi. Yaitu:

a. Islam sebagai doktrin dari tuhan yang kebenarnya bagi para pemeluknya sudah final. Dalam arti absolut. Dan diterima secara apa adanya.

b.  Sebagai gejala budaya yang berarti seluruh apa yang menjadi kreasi manusia dalam kaitanya dengan agama.

c.  Interaksi sosial yaitu realitas umat islam.[10]

Sementara menurut Amin Abdullah terdapat tiga wilayah keilmuan agama Islam yang dapat menjadi objek studi Islam :

1. Wilayah praktek keyakinan dan pemahaman terhadap wahyu yang telah di interpretasikan sedemikian rupa oleh para ulama’, tokoh panutan masyarakat pada umunya. Wilayah  praktek ini umunya tanpa memalui klarifikasi dan penjernihan teoritik keilmuan yang dipentingkan disini adalah pengalaman.

2. Wilayah teori-teori keilmuan yang dirancang dan di susun sistematika dan metologinya oleh para ilmuan, para ahli, dan para ulama’ sesuai bidang kajiannya masing-masing. apa yang ada pada wilayah ini sebenarnya tidak lain dan tidak bukan adalah “Teori-teori” keilmuan agama islam, baik secara deduktif dari Nash-nash atau teks-teks wahyu, maupun secara induktif praktik-praktik keagamaan yang dalam masyarakat era kenabian, sahabat, tabi’in maupun sepanjang sejarah perkembangan masyarakat muslim dimanapun mereka berada.

3. Telaah toritis yang lebih popular disebut metadiscourse, terhadap sejarah perkembangan jatuh bangunnya teori-teori yang disusun oleh kalangan ilmuan dan ulama’ pada lapis kedua. Wilayah pada lapis ketigayang kompleks dan sophis ticated inilah yang sesungguhnya di bidangi oleh filsafat ilmu-ilmu keislaman.

Menurut M. Atho’ Mudzhar menyatakan bahwa objek kajian agama islam adalah substansi ajaran-ajaran Islam. Seperti kalam, fiqih, dan tasawuf. Dalam aspek ini, afama lebih bersifat penelitian budaya. Hal ini mengingat bahwa ilmu-ilmu keislaman semacam ini merupakan salah satu bentuk doktrin yang dirumuskan oleh penganutnya yang bersumber dari wahyu Allah melalui proses penalaran dan perenungan. Ketika seseorang mempelajari bagaimana ajaran Islam tentang sholat, zakat, haji, tentang konsep keesaan Allah, tentang argument adanya Tuhan, tentang aturan etika dan nilai moral dalam islam, berarti ia sedang mempelajari Islam sebagai gejala budaya.[11]

3.   Sejarah Pertumbuhan Studi Islam

Sejarah pertumbuhn Studi Islam dapat dilihat pada abad ke-19, dimana kajian Islam pada masa ini lebih menekankan pada tradisi filologi. Para pengkaji dibidang ini adalah dari kalangan pakar bahasa, ahli teks-teks kunci klasik, yang melalui bahasa dan teks klasik itu mereka dapat memahami gagasan-gagasan dan konsep-konsep utama yang membentuk umat islam, tanpa memahami konteks.[12] Pendekatan filologis (philological approach) menekankan pada bahasa teks. Para pengkaji dibidang ini adalah dari kalangan pakar bahasa, ahli teks-teks kunci klasik,yang melalui bahasa dan teks klasik itu mereka dapat memahami gagasan-gagasan dan konsep-konsep utama yang membentuk umat Islam, tanpa memahami konteks.[13]

Akan tetapi, kajian Islam melalui pendekatan filologi ini memiliki keterbatasan, diantaranya adalah penekanannya adalah yang ekslusif terhadap teks. Dunia Islam di pahami melalui cara tidak langsung, tidak dengan melakukan penelitian tentang kehidupan muslim yang ada didalam masyarakatnya, tetapi melalui prisma teks yang umumnya teks-teks itu berasal dari tradisi intelektual klasik milik Islam. Kajian ini berfokus pada tulisan-tulisan muslim, bukan pada muslimnya sendiri.[14] Inilah yang menyebabkan para filolog dan orientalis banyak melakukan kesalahan di dalam memahami makna data keagamaan. Meskipun demikian, pendekatan ini sangat membantu dalam membuka kekayaan daftar materi keIslaman dari dokumen-dokumen lama, karena melakukan studi terhadap Islam tanpa menguasai Bahasa Arab adalah sebuah kemustahilan.

Pada masa berikutnya, para pengkaji mulai menyadari kelemahan kajian filologi ini, sehingga muncullah kajian sains. Para penganjur pendekatan kedua ini berpendapat bahwa kajian tentang masyarakat harus di upayakan melalui metode-metode sains seperti yang di pahami oleh ilmuan sosial. Pendekatan ini berdasarkan pada sebuah keyakinan bahawa semua masyarakat akan mengalami proses perkembangan historis. Pendekatan ini juga memiliki kelemahan, diantaranya adalah perhatian yang lebih pada fungsi daripada bentuk-bentuk atau makna atau muatan kultural dari institusi sosial. Jadi kelompok ini mencoba mencari jalan pintas. Makna dan muatan kultural dari Institusi sosial tidak relevan dan dikesampingkan. Bagi kelompok ini masyarakat bukanlah sistem makna, tetapi mesin sosial. Kelemahan kedua dari pendekatan ini adalah terlalu mengesampingkan keunikan masyarakat, menyamakan semua masyarakat di dunia yang berjalan diatas rute sama, yaitu menuju modernitas.

Dari kekurangan-kekurangan yang dimiliki oleh dua pendekatan tersebut, tampak jelas akan perlunya suatu pendekatan lain yang dapat menghindari keterbatasan dari masing-masing pendekatan tersebut, bahkan mengkombinasikan dan mengembangkan lebih jauh kekuatan keduanya. Maka muncullah kemudian pendekatan lain, yang dimunculkan oleh para pengkaji Islam, baik dari Timur maupun Barat, seperti pendekatan fenomenologi dan lain sebagainya.

4.   Pertumbuhan dan Obyek Studi Islam

Studi Islam, pada masa-masa awal terutama masa Nabi dan sahabat, dilakukan di masjid. Pusat-pusat Studi Islam sebagaimana yang dikatakan oleh Ahmad Amin, sejarahwan Islam kontemporer, berada di Hijas berpusat di Makkah dan Madinah, Irak berpusat di Basrah dan Kuffah serta Damaskus. Masing-masing daerah diwakili oleh sahabat ternama.[15]

Pada masa keemasan Islam, pada masa pemerintahan Abbaiyah, studi Islam di pusatkan di Baghdad, Bait al-Hikmah. Sedangkan pada pemerintahan Islam di Spayol dipusatkan di Universitas Cordava pada pemerintahan Abdurrahman III yang bergelar Al-Dahil. Di Mesir berpusat di Universitas Al-Azhar yang didirikan oelh Dinasti Fatimiyahdari kalangan Syi’ah.

Studi Islam sekarang berkembang hampir di seluruh negara di dunia, baik islam maupun yang bukan Islam. Di Indonesia studi Islam dilaksanakan di UIN, IAIN, STAI. Ada juga sejumlah perguruan tinggi swasta yang menyelenggarakan studi Islam seperti UNISULA (Semarang) dan UNISBA (Bandung).

Studi Islam di negara-negara non Islam  diselenggarakan di beberapa negara, antara lain di India, Chicago, Los Angeles, London, dan Kanada. Di Aligarch University India. Studi Islam di bagi menjadi dua, yaitu Islam sebagai doktrin dikaji di Fakultas Usuluddin yang mempunyai dua jurusan, yaitu jurusan Madzab Ahli Sunnah dan jurusan Madzab Syi’ah. Sedangkan Islam dari aspek sejarah dikaji di Fakultas Humaniora dalam jurusan Islamic Studies. Di jami’ah Millia Islamia, New Delhi, Islamic Studies Program di kaji di Fakultas Humaniora yang membawahi juga Arabic Studies, Persian Studies, dan Political Science.

Di Amerika, studi Islam pada umunya mengutamakan studi secara Islam, bahasa-bahasa islam selain Bahasa Arab, sastra dan ilmu-ilmu soisal. Studi Islam di Amerika berada di bawah naungan Pusat Studi Timur Tengah dan Timur Dekat.

Di UCLA, studi Islam di bagi menjadi empat komponen. Pertama, doktrin dan sejarah Islam; kedua, Bahasa Arab; ketiga, ilmu-ilmu sosial, Sejarah, dan sosiologi. Di London, Studi Islam di gabungkan dalam Scool of Oriental and African Studies (Fakultas Studi Ketimuran dan Afrika) yang memiliki berbagai jurusan bahasa dan kebudayaan di Asia dan Afrika.[16]

Dengan demikian obyek Studi Islam dapat dikelompokkan menjadi beberapa bagian, yaitu sumber-sumber Islam, doktrin Islam, ritual dan Institusi Islam, Sejarah Islam, aliran dan pemikiran tokoh, studi kawasan dan bahasa.

Baca juga artikel yang lain:

  1. Ulumul Hadist (Ilmu-ilmu Hadist)
  2. Pengertian Bid'ah
  3. Konsep Manusia Menurut Aliran Humanisme dan Islam
  4. Konsep Manusia dalam Prespektif Aliran Psikoanalisa dan Behaviorisme
  5. Psikologi Perkembangan Pada Masa Anak-Anak
  6. Keterkaitan Ilmu Pengetahuan dan Agama
  7. Studi Al-Qur'an
  8. Studi Fikih (Hukum Islam)
  9. Urgensi Pengantar Studi Islam
  10. Etika Politik dan Nilai Pancasila Sebagai Sumber Politik

BAB III

PENUTUP

A. KESIMPULAN

Islam dapat kita bedah dari dua aspek, yaitu aspek kebahasaan dan aspek peristilahan. Dari aspek kebahasaan, Islam berasal dari bahasa Arab yaitu salima yang berarti selamat, sentosa, dan damai. Adapun pengertian Islam menurut segi istilah, banyak ahli yang mendefinisikannya. Menurut Harun Nasution mengatakan bahwa Islam adalah agama yang ajaran-ajarannya diwahyukan Tuhan kepada masyarakat manusia melalui Nabi Muhammad SAW sebagai Rasul. Adapun arti lain dari Islam yaitu ; Arti Islam sebagai Agama, Arti Islam Sebagai Pengejawantahan Orang yang Berserah Diri dan Arti Islam sebagai Lembaga Kedamaian dan keselamatan.

Studi Islam secara etimologis merupakan terjemahan dari Bahasa Arab Dirasah Islamiyah. Sedangkan Studi Islam di barat dikenal dengan istilah Islamic Studies. Maka Studi Islam secara harfiah adalah kajian mengenai hal-hal yang berkaitan dengan Islam.

Dengan kata lain Studi Islam adalah usaha sadar dan sistematis untuk mengetahui dan memahami serta membahas secara mendalam seluk beluk atau hal-hal yang berhubungan dengan agama Islam, baik ajaran, sejarah maupun praktik-praktik pelaksanaanya secara nyata dalam kehidupan sehari-hari, sepanjang sejarahnya. Adapun tujuan studi islam adalah untuk memahami dan mendalami serta membahas ajaran-ajaran islam agar mereka dapat melaksanakan dan mengamalkan secara benar, serta menjadikannya sebagai pegangan dan pedoman hidup dan untuk menjadikan ajaran-ajaran islam sebagai wacana ilmiah secara transparan yang dapat diterima oleh berbagai kalangan.

Ada beberapa aspek tertentu dari islam yang dapat menjadi objek studi islam yaitu: 

a. Islam sebagai doktrin dari tuhan yang kebenarnya bagi para pemeluknya sudah final. Dalam arti absolut. Dan diterima secara apa adanya.

b. Sebagai gejala budaya yang berarti seluruh apa yang menjadi kreasi manusia dalam kaitanya dengan agama.

c. Interaksi sosial yaitu realitas umat islam.

Sejarah pertumbuhan Studi Islam dapat dilihat pada abad ke-19, dimana kajian Islam pada masa ini lebih menekankan pada tradisi filologi. Para pengkaji di bidang ini adalah dari kalangan pakar bahasa, ahli teks-teks kunci klasik yang melalui bahasa dan teks klasik itu mereka dapat memahami gagasan-gagasan dan konsep-konsep utama yang membentuk umat Islam, tanpa memahami konteks.

Studi Islam, pada masa-masa awal terutama masa Nabi dan sahabat, dilakukan di masjid, Pada masa keemasan Islam, pada masa pemerintahan Abbaiyah, studi Islam di pusatkan di Baghdad, Bait al-Hikmah. Studi Islam sekarang berkembang hampir di seluruh negara di dunia, baik islam maupun yang bukan Islam. Di Indonesia studi Islam dilaksanakan di UIN, IAIN, STAI. Ada juga sejumlah perguruan tinggi swasta yang menyelenggarakan studi Islam seperti UNISULA (Semarang) dan UNISBA (Bandung).

Studi Islam di negara-negara non Islam  diselenggarakan di beberapa negara, antara lain di India, Chicago, Los Angeles, London, dan Kanada.

DAFTAR PUSTAKA

Amin, Ahmad. Dhuha al-islam. Mesir: Dar al-Kutub al-Ilmiyyah.

Anwar, Rosihon DKK. Pengantar Studi Islam. Bandung: Pustaka Setia, 2009.

Askandar, Noor Chozin. Pendekatan dalam Studi Islam. Makalah Program Doktor IAIN Sunan Ampel Surabaya, 2003.

Baidhawy, Zakiyuddin. Perkembangan Kajian Islam dalam Studi Agama. Surakarta: Muhammadiyyah University Press,2001.

Hakim, Atang Abdul & Mubarok, Jaih. Metodologi Studi Islam. Bandung: Rosda Karya. 

http://www.percikaniman.org  

Kadir, Abd.  Dirasat Islamiyah. Sidoarjo: Dwiputra Pustaka Jaya, 2016.

Mudzar, Atho’.  Metodologi Studi Islam. Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1998.

Naim, Ngainun.  Pengantar Studi Islam. Yogyakarta: Teras, 2009.

Nasution, Harun . Islam ditinjau dari Berbagai Aspeknya. Jakarta: UI Press, 1985.

Nurhakim, Moh. Metodologi Studi Islam. Malang: UMM Press,2004.

Rosyid, Junaidi.  Pengantar Studi Islam. Surabaya:UINSA Press,2014.

Sahrodi, Jamal. Metodologi studi islam. Bandung: Pustaka Setia, 2008.


Foot note

[1] Harun Nasution, Islam ditinjau dari Berbagai Aspeknya. (Jakarta: UI Press, 1985), hlm. 24

[2] http://www.percikaniman.org  Diakses pada tanggal 19 September  2017

[3] Abd Kadir, Dirasat Islamiyah (Sidoarjo: Dwiputra Pustaka Jaya. 2016),hlm. 1

[4] Abd Kadir, Dirasat Islamiyah  (Sidoarjo: Dwiputra Pustaka Jaya. 2016),hlm.  6-17

[5] Rosihon Anwar.DKK. Pengantar Studi Islam. (Bandung: Pustaka Setia,2009), hlm.  25

[6] Ngainun Naim. pengantar studi islam. (Yogyakarta: Teras, 2009),hlm. 1

3 Atho’ Mudzar. Metodologi Studi Islam. (Yogyakarta: Pustaka Pelajar. 1998).

[8] Ibid, 14.

[9] Junaidi Rosyid. Pengantar Studi Islam, (Surabaya:UINSA Press,2014), hlm. 7

[10] Moh. Nurhakim. Metodologi Studi Islam, (Malang: UMM Press,2004), hlm. 3

[11] Jamali Sahrodi. Metodologi studi islam.(Bandung: Pustaka Setia, 2008),hlm. 9

[12] Noor Chozin Askandar, Pendekatan dalam Studi Islam  (Makalah Program Doktor IAIN Sunan Ampel Surabaya, 2003).

[13] Ibid.

[14] Zakiyuddin Baidhawy, “perkembangan Kajian Islam dalam Studi Agama,” (Surakarta: Muhammadiyyah University Press,2001)

[15] Ahmad Amin, Dhuha al-islam (Mesir: Dar al-Kutub al-Ilmiyyah,) ,hlm. 86

[16] Atang Abdul Hakim, &Jaih Mubarok, Metodologi Studi Islam. (Bandung: Rosda Karya),hlm. 12 


Studi Fikih (Hukum Islam)

DAFTAR ISI

COVER.......................................................................................................... i

DAFTAR ISI................................................................................................. ii

BAB I PENDAHULUAN............................................................................ 1

A.    Latar Belakang...................................................................................... 1

B.     Rumusan Masalah................................................................................ 1

C.    Tujuan .................................................................................................. 2


BAB II PEMBAHASAN.............................................................................. 3

A.    Pengertian Fikih.................................................................................... 3

B.     Sumber Hukum Fikih........................................................................... 4

C.    Asas-asas hukum islam........................................................................ 10        

D.    Tujuan Hukum Islam............................................................................ 14

E.     Perkembangan Hukum Islam............................................................... 15


BAB III PENUTUP..................................................................................... 18

A.    Kesimpulan.......................................................................................... 18


Daftar Pustaka.............................................................................................. 19


BAB I

PENDAHULUAN

A.          Latar Belakang

Pada umumnya Fiqh tidak pernah terlepas dari perdebatan oleh Para ulama Indonesia karna akan perbedaan pendapatnya tersebut(tentang Fiqh). Perbedaan yang di maksud adalah tentang  masalah Furu' (cabang)  dan ushul (pokok). Perbedaan itu sudah terjadi sejak zaman Raasulullah SAW. Dan di zaman ulama salafus shalih, dan mereka tidak saling bertengkar karenanya.

Dalam melaksanakan praktek ibadah, tentu kita harus menyertainya dengan dalil yang kuat, jelas dan tepat. Sehingga kita menjadi yakin jika ibadah kita akan di terima oleh Allah SWT. Karena agar dapat di terimanya suatu amalan  ibadah yang kita lakukan,maka kita harus memenuhi dua syarat, yakni : cara dalam melakukan suatu ibadah nya harus benar dan ikhlas. Kedua nya harus bersamaan, harus menjadi kesatuan yang utuh dan jangan sampai terpisahkan.

Keadaan fiqih yang demikian itu tampak menyatu dengan misi agamaIslam yang kehadirannya untuk mengatur kehidupan manusia agar tercapainyaketertiban dan keteraturan, dengan Rasulullah SAW. Sebagai aktor utamanyayang melaksanakan aturan-aturan hukum tersebut sebagai ilmu al-hal.Berdasarkan pada pengamatan terhadap fungsi hukum Islam atau fiqihtersebut, maka muncullah serangkaian penelitian dan pengembangan hukum Islam, yaitu penelitian yang ingin melihat seberapa jauh produk-produk hukum Islam tersebut masih sejalan dengan tuntutan zaman, dan bagaimanaseharusnya hukum Islam itu dikembangkan dalam rangka merespons danmenjawab secara konkret berbagai masalah yang timbul di masyarakat.Penelitian ini dinilai penting untuk dilakukan agar keberadaan hukum islamatau fiqih tetap akrab dan fungsional dalam memandu dan membimbing perjalanan umat.

                                                                          

B.           Rumusan Masalah

1.      Apa yang dimaksud dengan fikih?

2.      Apa saja sumber hukum fikih?

3.      Apa saja asas-asas dalam fikih (hukum islam)?

4.      Bagaimana tujuan hukum islam?

5.      Bagaimana perkembangan hukum islam?


C.          Tujuan

1.      Untuk mengetahui pengertian fikih

2.      Untuk mengetahui sumber-sumber hukum fikih

3.      Untuk mengetahui asas-asas dalam fikih (hukum islam)

4.      Untuk mengetahui tujuan hukum islam

5.      Untuk mengetahui perkembangan hukum islam


BAB II

PEMBAHASAN

A.   Pengertian Fikih

Fiqih dalam (Bahasa Arab :فقه  ; translitersi: fiqh ) adalah salah satu bidang ilmu dalam syariat islam yang secara khusus membahas persoalan hukum yang mengatur berbagai aspek kehidupan manusia, baik kehidupan pribadi, bermasyarakat maupun kehidupan manusia dengan Tuhannya.[1] Beberapa ulama fiqih seperti imam Abu Hanifah mendefinisikan fiqih sebagai pengetahuan seorang muslim tentang kewajiban dan haknya sebagai hamba Allah. Fiqih membahas tentang cara beribadah, prinsip rukun islam, dan hubungan antar manusia sesuai yang tersurat dalam Al-Qur’an dan Sunnah. Dalam islam terdapat empat mazhab dari sunni yang mempelajari tentang fiqih. Seseorang yang sudah menguasai ilmu fiqih disebut fakih.[2]

Secara Etimologi dalam Bahasa Arab, secara harfiah fiqih berarti pemahaman yang mendalam terhadap suatu hal. Beberapa ulama memberikan penguraian bahwa arti fiqih secara terminologi yaitu merupakan ilmu yang mendalami hukum islam yang diperoleh melali dalil di Al-Qur’an dan sunnah.[3] Selain itu fiqih merupakan ilmu yang juga membahas hukum Syar’iyyah dan hubungan dengan kehidupan manusia sehari hari baik itu dalam ibadah maupun dalam muammalah. Dalam ungkapan lain, sebagaimana dijelaskan dalam sekian banyak literatur, bahwa fiqh adalah “al-ilmu bil-ahkam asy-syar’iyyah al-amaliyyah al-muktasab min adillatiha at-tafshiliyyah”, ilmu tentang hukum-hukum syari’ah praktis yang digali dari dalil-dalilnya secara terperinci”. Terdapat sejymlah pengecualian terkait pendefinisi ini. Dari “asy-syar’iyyah”( bersifat syari’at), dikecualikan ilmu tentang hukum-hukum selain syari’at, seperti ilmu tentang hukum alam, seperti gaya gravitasi bumi. Dari “al-amaliyyah” (bersifat praktis, diamalkan), ilmu tentang hukum-hukum syari’at yang bersifat keyakinan atau akidah, ilmu tentang ini dikenal dengan ilmu kalam atau ilmu tauhid. Dari “at-tafshiliyyah” (bersifat terperinci ), ilmu tentang hukum-hukum syari’at yang didapat dari dalil-dalilnya yang “ijmali” (global), misalkan tentang bahwasannya kalimat perintah mengandung muatan kewajiban, ilmu tentang ini dikenal dengan ilmu ushul fiqh.[4]


B.   Sumber Hukum Islam ( Fikih)

1.      Al Qur’an

Al Qur’an ialah wahyu Allah swt. yang merumakan mukjizat yang diturunkan kepada Nabi Muhammad saw. sebagai sumber hukum dan pedoman hidup bagi pemeluk islam yang bernilai ibadah kepada Allah bila dibaca. Garis besar isi Al Qur’an ialah:

a.  Tauhid, kepercayan terhadap Allah, malaikat-malaikatNya, kitab-kitabNya, para RosulNya, hari kemudian, qadha dan qodar yang baik dan buruk.

b. Tuntunan ibadah sebagai perbuatan yang menghidupkan jiwa tauhid.

c.  Janji dan ancaman, Al Qur’an menjanjikan pahal bagi orang yang mau menerima dan mengamalkan isi Al Qur’an dan mengancam mereka yang mengingkarinya dengan siksa.

d.             Hukum yang dihajati pergaulan hidup bermasyarakat untuk kebahagiaan dunia dan akhirat.

e.  Inti sejarah orang-orang yang tunduk kepada Allah yaitu orang-orang yang sholeh, seperti nabi-nabi dan rosul-rosul, juga sejarah mereka yang mengingkari agama Allah dan hukum-hukumNya. Maksud sejarah ini ialah sebagai tuntunan dan teladan bagi orang-orang yang hendak mencari kebahagiaan dan meliputi tuntutan akhlaq.

Al Qur’an sebagai dasar hukum. Allah swt menurunkan Al Qur’an berguna untuk dijadikan dasar hukum dan disampaikan kepada umat manusia untuk diamalkan segala perintahnya dan ditinggalkan segala larangannya, sebagaimana firman Allah:

فاستمسك بالذى اوحى اليك (الزخرف : 43)

“Maka berpeganglah kepada apa yang diwahyukan kepadamu”

Kita mempelajari ushul fiqih gunanya untuk mengetahui bagaimana mengambil hukum dari ayat-ayat Al Qur’an. Dalam Al Qur’an terdapat beberapa macam kedudukan ayat, antara lain sebagai berikut:

1.Ada yang perintahnya jelas, tetapi caranya tidak jelas.

2.Ada yang perintahnya jelas, tetapi ukurannya tudak jelas.

3.Ada yang tempatnya jelas, misalnya tentang menyapu muka dan tangan dalam tayamum, tetapi batasnya tidak jelas, sampai di mana yang disapu.

Kalau kita menjumpai ayat-ayat semacam ini, sekali penjelasan lebuh lanjut. Tidak ada yang berhak member penjelasan ini, kecuali Nabi Muhammad saw semata-mata, sebagaimana firman Allah.


2.      Sunnah

Menurut bahasa, sunnah berarti perjalanan, pekerjaan atau cara.  Menurut istilah syara’ mempunyai arti perkataan Nabi Muhammad saw, perbuatannya da keterangannya yaitu sesuatu yang dikatakan atau diperbuat oleh sahabat dan ditetapkan oleh Nabi, tiada ditegurnya sebagai bukti bahwa perbuatannya itu tiada terlarang hukumnya. Pembagian Sunnah:

a.  Sunnah Qouliyah. Yaitu perkataan Nabi Muhammad saw yang menerangkan hukum-hukum agama dan maksud isi Al Qur’an yang berisi peradaban, hikmah, ilmu pengetahuan, dan juga menganjurkan akhlaq yang mulia. Sunnah qouliyah (ucapan) ini dinamakan juga hadits Nabi saw. Sunnah qouliyah sering juga disebut dengan khabar. Jadi, sunnah qouliyah itu boleh dinamakan sunnah, hadits, dan khabar.

Dari sudut sanadnya, yaitu banyak atau sedikitnya orang yang meriwayatkan, dibagi menjadi hadits mutawatir dan hadits ahad.

1)  Hadits mutawatir, ialah khabar yang diriwayatkan oleh orang banyak tentang sesuatu yang dipercaya oleh panca indranya yang menurut adat mereka tidak mungkin berbuat dusta disebabkan banyaknya jumlah mereka. Maksudnya ialah hadits yang diriwayatkan oleh golongan demi golongan sehingga dalam tingkatan dari sejak sahabat, tabi’in, dan tabi’it tabi’in, dan seterusnya tidak kurang dari sepuluh orang yang mendengarkan atau meriwayatkannya sampai kepada rowi yang penghabisan yang menyusun kitab hadits itu, misalnya Bukhori, Muslim, Imam Malik, dan lain-lainnya.

Hadits mutawatir ini ada dua macam, yakni:

a)      Mutawatir Lafdhi, ialah mutawatir yang lafadz-lafadz haditsnya sama atau hampir sama

b)     Mutawatir maknawi, ialah yang di dalam kata dan artinya berbeda-beda, tetapi dapat diambil dari kumpulannya satu makna yang umum, yakni satu makna dan tujuan.

2) Hadits ahad, ialah hadits yang perawi-perawinya tidak mencapai syarat-syarat perawi hadits mutawatir. Dengan kata lain yaitu yang selain hadits mutawatir.

ditinjau dari segi kualitasnya, yakni sifat-sifat orang-orang yang meriwayatkannya, terbagi atas hadits shahih, hasan dan dhoif.

a) Hadits shahih, yang syaratnya yaitu sanadnya tidak terputus-putus; orang yang meriwayatkannya bersifat adil, sempurna ingatannya, dan berakhlaq baik; tidak ada cacat atau hal-hal yang diragukan terhadap perawi dan isi haditsnya; dan keadaanya tidak dibenci dan ditolak oleh ahli-ahli hadits. Contohnya terdapat pada hadits-hadits Imam Bukhori dan Muslim

b) Hadits hasan, yaitu hadits yang memenuhi syarat hadits shahih, tetapi perawinya yang meriwayatkan kurang kuat ingatannya. Di sini boleh diterima sekalipun tingkatan hafalnya agak kurang sempurna, asal tidak berpenyakit yang membahayakannya dan tidak berbuat ganjil (syadz),

c)  Hadits dhoif, yaitu hadits yang tidak memenuhi syarat yang terdapat dalam hadits shahih dan hadits hasan.


b. Sunnah Fi’liyah. Yaitu perbuatan Nabi Muhammad saw yang menerangkan cara melaksanakan ibadah. Sunnah fi’liyah terbagi sebagai berikut:

1)   Pekerjaan Nabi saw yang bersifat gerakan jiwa gerakan hati, dan gerakan tubuh, sperti bernapas, duduk, berjalan, dan sebagainya.

2)   Perbuatan Nabi saw yang bersifat kebiasaan, seperti cara-cara makan, tidur, dan sebagainya.

3)   Perbuatan Nabi saw yang khusus untuk beliau sendiri.

4)   Pekerjaan yang bersifat menjelaskan hukum yang mujmal, seperti shalat dan haji.

5)   Pekerjaan yang dilakukan terhadap orang lain sebagai hukuman

6)   Pekerjaan yang menunjukkan kebolehan saja.


c. Sunnah Taqririyah. Yaitu diamnya Nabi saw ketika melihat perbuatan para sahabat, baik merekakerjakan dihadapannya atau bukan dan sampai berita kepadanya.

Syarat sah taqrir ialah orang yang dibiarkannya itu benar-benar orang yang tunduk kepada syara’, bukan orang kafir atau munafiq.


d.  Sunnah Hammiyah. Ialah sesuatu yang sudah diniatkan oleh Nabi, tetapi tidak jadi dikerjakan, misalnya beliau ingin puasa pada tanggal 9 Muharram, tetapi beliau telah wafat sebelum tanggal itu. Walaupun keinginan itu belum terlaksana , sebagian besar para ulama menganggap sunnah berpuasa pada tanggal 9 Muharram.


 Hujjah Sunnah.

Sunnah itu mempunyai fungsi menjelaskan maksud ayat-ayat Al Qur’an dan berdiri sendiri dalam menentukan sebagian daripada beberapa hukum.

a. Menjelaskan maksud ayat-ayat Al Qur’an. Karena sebagian besar ayat-ayat Al Qur’an yang mengandung hukum masih merupakan garis besar yang memerlukan keterangan dari nabi.

b. Berdiri sendiri di dalam menentukan sebagian daripada beberapa hukum; Adakalanya di dalam Al Qur’an tidak kita dapati hukum suatu hal yang disebut oleh Rosulullah, misalnya tentang haramnya hewan yang berkuku tajam.

c. Kedudukan hadits/sunnah menyendiri mengatur hukum syara’ secara Qur’an, sebagaiman sabda Nabi saw.

Dengan demikan, dapat kita ketahui bahwa sunnah merupakan hujjah kedua sesudah Al Qur’an yang dapat dijadikan sumber hukum juga.


3.      Ijma’

Menurut bahasa, ijma’ artinya sepakat, setuju atau sependapat. Sedangkan menurut istilah ialah kebulatan semua ahli ijtihad umat Muhammad, sesudah wafat pada suatu masa, tentang suatu perkara (hukum).

Ijma’ itu menjadi hujjah (pegangan) dengan sendirinya di tempat yang tidak didapati dalil (nash), yakni Al Qur’an dan Al Hadits. Dan tidak menjadi ijma’, kecuali telah disepakati oleh semua ulama Islam dan selama tidak menyalahi nash yang qath’i (kitabullah dan hadits mutawatir). Kehujjahan ijma’ juga berdasarkan pada dalil berikut.

يا ايها الذين آمنوا اطيعوا الله واطيعوا الرسول واولى الامر منكم (النساء : 59)

“Wahai orang-orang yang beriman, patuhilah Allah, patuhilah Rasul, dan patuhilah orang-orang yang memerintah diantara kamu”

Sandaran ijma’ ada kalanya berupa dalil yang qath’i, yaitu Al Qur’an dan hadits mutawatir, dan ada kalanya berupa dalil dhanni yaitu hadits ahad dan qiyas karena ijma’ bukanlah dalil yang berdiri sendiri.

Ijma’ dabagi menjadi 2, yaitu:

a.  Ijma’ qauli (ucapan). Yaitu ijma’ dengan cara para ulama ijtihad menetapkan pendapatnya, baik dengan lisan maupun tulisanyang menerangkan persetujuan atas pendapat mujtahid lain pada masanya. Ijma’ ini disebut juga ijma’ qath’i.

b. Ijma’ sukuti (diam). Yaitu para ulama ijtihad tidak mengeluarkan pendapat atas mujtahid lain. Ijma’ ini disebut juga ijma’ dhanni.


4.      Qiyas.

Secara bahasa berarti menyamakan atau mengukurkan sesuatu dengan yang lain. Para ahli Ushul Fiqih merumuskan qiyas dengan menyamakan atau mengukur satu kejadian yang tidak ada nash tentang hukumnya di dalam hukum yang disebutkan di dalam nash karena ada kesamaan antara dua kejadian itu di dalam ilat hukum tersebut.

Adapun firman Allah yang menyerukan untuk membandingkan sesuatu dengan yang lain.

فاعتبروا يآ اوالى الأبصار (الحشر : 2)

“hendaklah kamu mengambil i’tibar (ibarat=pelajaran) hai orang-orang yang berpikiran.”

Rukun qiyas:

a. Ashal yang menjadi pangkal/ukuran/tempat menyerupakan.

b.Far’un yang merupakan cabang yang diukur/diserupakan.

c. ‘illat, yaitu sifat yang menghubungkan pangkal dan cabang.

d.  Hukum, yang ditetapkan pada far’i sesudah tetap pada Ashal.


 Macam-macam qiyas:

a.    Qiyas Aula, ialah yang ‘illatnya sendiri menetapkan adanya hukum, sementara cabang lebih pantas menerima hukum daripada ashal.

b.      Qiyas Musawi, ialah ‘illatnya mewajibkan adanya hukum dan sama antara hukum yang ada pada ashal maupun hukum yang ada pada far’un

c.       Qiyas Adna, ialah adanya hukum far’u lebih lemah bila dirujuk dengan hukum ashal.


C.          Asas-asas Hukum Islam

Yang dibicarakan dalam kesempatan ini hanya beberapa asas hukum islam. Tim pengkajian Hukum Islam Badan Binaan Hukum Nasional Departemen Kehakiman, dalam laporan tahun 1983/1984 (Laporan 1983/1984 : 14-27) menyebut beberapa asas Hukum Islam yang (1)Bersifat Umum (2) Dalam lapangan hukum pidana (3) Dalam lapangan hukum perdata , sebagai contoh. Asas-asas hukum dilapangan Hukum tata negara, internasional dan lapangan-lapangan huku Islam lainnya tidak disebutkan dalam laporan itu.

1. Asas-asas umum

a. Asas keadilan

Dalam Surat Shad (38) ayat 26 Allah memerintahkan penguasa, penegak hukum sebagai khlaifah di bumi untuk menyelenggarakan hukum sebaik-baiknya, berlaku adil terhadap semua manusia tanpa memandang asal-usul, kedudukan, agama dari si pencari keadilan itu.[19]

b. Asas kepastian hukum

Artinya tidak ada suatu perbuatan pun dapat dihukum kecuali atas kekuatan peraturan-perundang-undangan yang ada dan berlaku pada waktu itu.

c. Asas kemanfaatan

Asas ini merupakan asas yang mengiringi asas keadilan dan kepastian hukum dimana dalam melaksanakan kedua asas tersebut seyogyanya dipertimbangkan asas kemanfaatan baik bagi yang bersangkutan maupun bagi masyarakat.

2.   Asas dalam lapangan hukum pidana.

a. Asas legalitas

Artinya tidak ada pelanggaran dan tidak ada hukuman sebelum ada undang-undang yang mengaturnya.

b. Asas larangan memindahkan kesalahan pada orang lain

Ini berarti bahwa tidak boleh sekali-kali beban (dosa) seseorang dijadikan beban (dosa) orang lain. Orang tidak dapat dimintai memikul tanggung jawab terhadap kejahatan atau kesalahan yang dilakukan orang lain. Karena pertangungjawaban pidana itu induvidual sifatnya maka tidak dapat dipindahkan kepada orang lain.

c. Asas praduga tak bersalah

Seseorang yang dituduh melakukan suatu kejahatan harus dianggap tidak bersalah sebelum hakim dengan bukti-bukti yang menyakinkan menyatakan dengan tegas kesalahannya itu.

3.   Asas dalam lapangan hukum perdata

a. Asas kebolehan (mubah)

asas ini menunjukkan kebolehan melakukan semua hubungan perdata sepanjang hubungan itu tidak dilarang oleh Qur’an dan Sunnah. Islam memberikan kesempatan luas kepada yang berkepentingan untuk mengembangkan bentuk dan macam hubungan perdata (baru) sesuai dengan perkembangan jaman dan kebutuhan masyarakat.

b. Asas kemaslahatan hidup

Asas ini mengandung makna bahwa hubungan perdata apa pun juga dapat dilakukan asal hubungan itu mendatangkan kebaikan , berguna serta berfaedah bagi kehidupan manusia pribadi dan masyarakat kendatipun tidak ada ketentuannya dalam Qur’an dan Sunnah.

c. Asas kebebasan dan kesukarelaan

Asas ini mengandung makna bahwa setiap hubungan perdata harus dilakukan secara bebas dan sukarela. Kebebasan kehendak kedua belah pihak melahirkan kesukarelaan dalam persetujuan harus senantiasa diperhatikan.

d. Asas menolak mudharat dan mengambil manfaat

Asas ini mengandung makna bahwa harus dihindari segala bentuk hubungan perdata yang mendatangkan kerugian dan mengembangkan yang bermanfaat bagi diri sendiri dan masyarakat.

e. Asas kebajikan

Asas ini mengandung pengertian bahwa setiap hubungan perdata itu harus mendatangkan kebajikan (kebaikan) kepada kedua belah pihak dan Pihak ketiga dalam masyarakat.

f. Asas kekeluargaan atau asas kebersamaan yang sederajat

Asas hubungan perdata yang disandarkan pada rasa hormat menghormati , kasih mengasihi serta tolong menolong dalam mencapai tujuan bersama.

g. Asas adil dan berimbang

Asas ini mengandung makna bahwa hubungan keperdataan tidak boleh mengandung unsur penipuan, penindasan, pengambilan kesempatan pada waktu pihak lain sedang kesempitan.

h. Asas mendahulukan kewajiban dari hak

Para pihak harus mengutamakan penunaian kewajiban lebih dahulu dari pada menuntut hak. Asas ini merupakan kondisi hukum yang mendorong terhindarnya wanprestasi atau ingkar janji.

i. Asas larangan merugikan diri sendiri dan orang lain

Para pihak yang mengadakan hubungan perdata tidak boleh merugikan diri sendiri dan orang lain dalam hubungan perdatanya itu.

j. Asas kemampuan berbuat atau bertindak

Pada dasarnya setiap manusia dapat menjadi subjek dalam hubungan perdata jika ia memenuhi syarat untuk bertindak mengadakan hubungan itu. Dalam hukum islam manusia yang dipandang mampu berbuat atau bertindak melakukan hubungan perdata ialah mereka yang mukallaf, artinya mereka yang mampu memikul hak dan kewajiban. Penyimpangan terhadap asas ini menyebabkan hubungan perdatanya batal.

k. Asas kebebasan berusaha

Pada dasarnya setiap orang bebas berusaha untuk menghasilkan sesuatu yang baik bagi dirinya sendiri dan keluarganya.

l. Asas mendapatkan sesuatu karena usaha dan jasa

Usaha dan jasa disini haruslah usaha dan jasa yang baik yang mengandung kebajikan, bukan usaha dan jasa yang mengandung unsur kejahatan, keji dan kotor.

m. Asas perlindungan hak

Semua hak yang diperoleh seseorang dengan jalan halal dan sah, harus dilindungi. Bila hak itu dilanggar oleh salah satu pihak dalam hubungan perdata, fihak yang dirugikan berhak untuk menuntut pengembalian hak itu atau menuntut kerugian pada pihak yang merugikannya.

n. Asas hak milik berfungsi sosial

Hak milik tidak boleh dipergunakan hanya untuk kepentingan pribadi pemiliknya saja, tetapi juga harus diarahkan untuk meningkatkan kesejahteraan sosial.

o. Asas yang beritikad baik harus dilindungi

Orang yang melakukan perbuatan tertentu bertangung jawab atau menanggung resiko perbuatannya itu. Tetapi jika ada pihak yang melakukan suatu hubungan perdata tidak mengetahui cacat yang tersembunyi dan mempunyai iktikad baik dalam hubungan perdata itu kepentingannya harus dilindungi dan berhak untuk menuntut sesuatu jika ia dirugikan karena iktikad baiknya itu.

p. Asas resiko dibebankan pada harta tidak pada pekerja.

Jika perusahaan merugi maka menurut asas ini kerugian itu hanya dibebankan pada pemilik modal atau harta saja tidak pada pekerjanya. Ini berarti bahwa pemilik tenaga dijamin haknya untuk mendapatkan upah sekurang-kurangnya untuk jangka waktu tertentu, setelah ternyata perusahaan menderita kerugian.

q. Asas mengatur dan memberi petunjuk

Ketentuan hukum perdata ijbari, bersifat mengatur dan memberi petunjuk saja kepada orang-orang yang akan memanfaatkannya dalam mengadakan hubungan perdata. Para pihak bisa memilih ketentuan lain berdasarkan kesukarelaan asal saja ketentuan itu tidak bertentangan dengan hukum islam

r. Asas tertulis atau diucapkan di depan saksi.

Ini berarti bahwa hubungan perdata selayaknya dituangkan dalam perjanjian tertulis di hadapan saksi-saksi.

4.   Asas-asas Hukum Perkawinan

a. Kesukarelaan

Asas kesukarelaan merupakan asas yang terpenting dalam perkawinan Islam, dimana tidak hanya kesukarelaan antara calon suami isteri saja tetapi kesukarelan dari semua pihak yang terkait.

b. Persetujuan kedua belah pihak

Artinya tidak boleh ada paksaan dalam melangsungkan perkawinan.

c. Kebebasan memilih

d. Kemitraan suami isteri

Kemitraan ini menyebabkan kedudukan suami isteri dalam beberapa hal sama, dalam hal lain berbeda.

e. Untuk selama-lamanya

Perkawinan itu dilaksanakan untuk melangsungkan keturunan dan membina rasa cinta serta kasih saying selam hidup.

f. Poligami terbuka

Dalam Surat an-Nisa ayat 129 dinyatakan bahwa seorang pria muslim diperbolehkan beristeri lebih dari seorang asal memenuhi syarat-syarat tertentu.

5.   Asas-asas Hukum Kewarisan

a. Asas Ijbari

Peralihan harta dari seorang yang meninggal dunia kepada ahli warisnya berlaku dengan sendirinya menurut ketetapan Allah tanpa digantungkan kepada kehendak pewaris atau ahli waris.

b. Bilateral

Artinya seseorang menerima hak kewarisan dari kedua belah pihak yaitu dari keturunan laki-laki dan perempuan.

c. Asas individual

Harta warisan mesti dibagi kepada masing-masing ahli waris untuk dimiliki secara perseorangan.

d. Asas keadilan berimbang

Harus senantiasa terdapat keseimbangan antara hak dan kewajiban, antara hak yang diperoleh seseorang dengan kewajiban yang harus dilaksanakannya. Sehingga antara laki-laki dan perempuan terdapat hak yang sebanding dengan kewajiban yang dipikulnya masing-masing dalam kehidupan keluarga dan masyarakat.

e. Asas kewarisan akibat kematian

Peralihan harta seseorang kepada orang lain yang disebut dengan nama kewarisan, terjadi setelah orang yang mempunyai harta meninggal dunia.


D.          Tujuan Hukum Islam

Tujuan umum dari hukum islam adalah merealisasikan kehidupan manusia di alam ini lebih baik dengan mempriotaskan kebaikan, menolak, dan menghilangkan kesukaran. Tentunya untuk mencapai tujuan tersebut dibutuhkan usaha-usaha yang nyata dengan mengikuti aturan-aturan yang telah tercantum dalam sumber-sumber hukum islam, yakni al-qur`an dan hadist. Adapun prinsip-prinsip yang harus ditegakkan untuk mencapai tujuan tersebut adalah:

1.  Umur dlaruriy, yaitu sesuatu yang harus ada demi tegak dan berdirinya kehidupan manusia. Karena hanya dengan kehidupan-kehidupan itu semua kemaslahatan bisa terealisir. Hal demikian hanya bisa dilaksanakan dengan perwujudan hak-hak dasar manusia, seperti terpeliharanya jiwa, agama, akal, dan harta benda. Tanpa demikian, maka tidak ada yang diharapkan dari kehidupan di dunia kecuali kehancuran.

2. Umur hajiyah, yaitu sesuatu yang diperlukan bagi tegaknya hukum dan implementasinya. Ketiadaannya akan menyulitkan manusia untuk melaksanakan kewajibanya secara  baik. Dalam memenuhi tuntunan kewajibanya, mukallaf memerlukan sarana dan prasarana yang menopang terlaksananya kewajiban itu. Tanpa sarana yang cukup, maka tuntunan tersebut tidak bisa dilaksanakan secara baik. Hanya dengan demikian, maka tuntunan hukum tersebut bisa dilaksanakan dengan baik, walaupun pelaksaannya hanya menyentuh pokok-pokoknya saja.

3. Umur thsiniyah, yaitu keberadaan sesuatu akan menyebabakan tuntunan hukum bisa dilaksanakan lebih indah dan sempurna. Keberadaan umur yahsiniyah menyebabkan dalam pengimplementasian tuntunan itu menjadi lebih mudah dan lebih nyaman, tetapi seandainya tidak tersedia tidak akan menyebabkan terbelangkainaya tuntunan hukum.

Dalam kitab Al-Muwafaqot juz II, karya imam Abu Ishaq al-syatibi, tujuan hukum islam itu ada lima, yang disebut maqosid al-khomsah atau maqosid as-syariah. Adapun isinya yaitu:

1.menjaga agama

2.menjaga jiwa

3.menjaga akal

4.menjaga keturunan

5.menjaga harta

Tentunya semua itu bertujuan untuk mendapatkan keridhoan Allah, kebahagiaan baik di dunia dan akhirat, dengan melaksanakan segala perintah Allah dan menjauhi semua laranganNya.


E.           Perkembangan Hukum Islam

Hukum islam selalu mengalami perkembangan dalam setiap proses perjalananya, yakni mulai pada zaman rosulullah hingga zaman sekarang. Dari masa kemasa  hukum islam selalu memiliki berbagai masalah yang berbeda-beda sesuai perkembangan zaman. Meskipun terjdi berbagai masalah yang rumit dan tentunya selalu berbeda dengan masalah yang terjadi pada masa-masa sebelumnya, kita sebagai umat islam harus bersikap bijak dalam menyelesaikan berbagai masalah dengan menjadikan dasar hukum utama, yaitu Al-quran dan hadist sebagai sumber rujukan, serta menjadikan ijmak  dan qiyas sebagai pelengkap, jika belum ditemukan solusi yang tepat.Adapun perkembangan hukum islam dibagi kedalam 3 periode[5] yaitu:

1.Periode Abad 1 H

Periode ini terjadi ketika Rosulullah masih hidup. Pada masa ini persoalan hukum yang dihadapi oleh umat muslim langsung ditentukan sendiri oleh Rosulullah SAW berdasarkan apa yang diterima nabi dari Allah SWT. Atau nabi menentukan sendiri hukum yang menjadi kebutuhan umat muslim pada waktu itu. Akan tetapi setelah rosulullah wafat, Al-Quran dan hadist yang menjadi sumber rujukan hukum islam terputus, karena dengan wafatnya rosulullah maka terpuslah wahyu yang turun dari Allah kepada nabi Muhammad. Maka dua hal inilah yang menjadi warisan serta pedoman bagi umat islam dalam menjalankan kehidupan baik yang berhubungan dengan Allah maupun dengan manusia. Seiring dengan perkembangan zaman persoalan yang timbul di kalangan kaum muslim semakin beragam,banyak masalah baru yang tidak ditemui oleh para sahabat pada saat rosulullah masih hidup, sedangkan dalam Al-Quran dan hadist juga tidak ditemukan jejak-jejak hukum. Ketika masalah ini terjadi, maka orang muslim tidak boleh pasrah dengan keadaan yang ada, tetapi sebaliknya kita dituntut untuk selalu berusaha mencari jawaban dari masalah yang terjadi. Ketika itu para sahabat terus berikhtiyar untuk menyelesaikan masalah yang terjadi, yaitu dengan berusaha mencari jawaban dari AL-Quran dan hadist, ketika tidak ditemukan hukum langkah selanjutnya adalah bertanya kepada sahabat lain atau kepada orang-orang terdekat nabi seperti keluarga beliau. Jika masih belum ditemukan titik terangnya, langkah selanjutnya adalah dengan cara musyawaroh. Sebagian sahabat melakukan musyawaroh untuk mencapai kesepakatan dalam bentuk ijma`(kesepakatan para ulama` untuk menetapkan hukum).

2. Periode Abad I-IV H.

 Pada periode ini pemikiran umat islam dalam mencari hukum semakin berkembang, hal ini ditandai dengan lahirnya para mujtahid (ulama yang mampu melakukan ijtihad ) dari berbagai kalangan. Selain pemikiran umat islam yang terus berkembang masalah-masalah yang terjadi di tengah-tengah masyarakat juga semakin variatif dan hukumnya sulit dikenali secara langsung dalam Al-Quran dan hadist. Maka ini adalah salah satu faktor yang mendorong para ulama` yang mempunyai kemampuan untuk melakukan ijtihad, dengan mengerahkan semua kemampuan untuk mendapatkan istinbath hukum sesuai dengan pendekatan, dan teknik  masing-masing para mujtahid.

Pada periode ini pula berkembang metodologi pengembangan hokum islam sebagaimana yang dilakukan oleh al Syafi`I dengan kitab al Risalahnya[6]. Sebagianulama` memperbolehkan mengambil istinbathhanya dari  hadist-hadist, dan sekalipun hadist itu sifatnya dhoif. Akan tetapi untuk sebagian ulama yang lain yang memiliki pengetahuan minim tentang hadist mereka menggunakan pendekatan ro`yu (rasional) dengan menggunakan berbagai metodologi yang dikuasai. Akan tetapi pada masa ini terjadi banyak pendapat sehingga terjadi banyak perbedaan madhab yang berkembang di kalangan umat.

3. Periode Abad V Samapai Sekarang

Pada masa ini perkembangan produk hukum mencapai anti klimaks. Para ulama`  mulai jarang menggunakan originalitas karyanya dalam karangan kitab, akan tetapi mereka sudah mulai produktif dalam mengikuti karya yang telah ada sebagai produk pengembangan. Pada dasarnya tidak ada ulama`  yang bisa menghentikan kegiatan ijtihad, karena itu adalah bagian dari hak dasar manusia.

Baca juga artikel yang lain:

  1. Ulumul Hadist (Ilmu-ilmu Hadist)
  2. Pengertian Bid'ah
  3. Konsep Manusia Menurut Aliran Humanisme dan Islam
  4. Konsep Manusia dalam Prespektif Aliran Psikoanalisa dan Behaviorisme
  5. Psikologi Perkembangan Pada Masa Anak-Anak
  6. Keterkaitan Ilmu Pengetahuan dan Agama
  7. Studi Al-Qur'an
  8. Studi Fikih (Hukum Islam)
  9. Urgensi Pengantar Studi Islam
  10. Etika Politik dan Nilai Pancasila Sebagai Sumber Politik

BAB III

PENUTUP

A. Kesimpulan

Fiqh berasal dari bahasa faqiya-yafqohu-faqihun, yang artinya mengetahui, memahami sesuatu. Menurut istilah, fiqh adalah sekelompok hukum syariat yang berpautan dengan amal perbuatan manusia yang diambil dari nash AL-Quran dan As sunnah , bila ada nash dari AL-Quran atau As sunnahyang berhubungan dengan amal perbuatan tersebut , atau yang diambil dari sumber-sumber lain, bila tidak ada nash dari Al-Quran atau As sunnah.

Agama pada umumnya dan islam pada khususnya dewasa ini semakin dituntut peranannya untuk menjadi pemandu dan pengarah kehidupan manusia agar tidak terperosok kepada keadaan yang merugikan dan menjatuhkan martabatnya sebagai makhluk yang mulia. Berkembangnya berbagai aliran mazhab dalam fiqh, adalah karena perbedaan dalam ushul fiqh-nya, setidaknya berbeda dalam penekanan penggunaan salah satu metodenya. Ijtihad sebagai dinamisator hukum islam yang memberikan peluang pada kreatifitas individu yang mempunyai syarat untuk memberikan interpretasi terhadap alquran dan alsunnah serta membuktikan bahwa islam adalah adil, memberi rahmat, maslahat dan menggandung hikkmah. Hal ini memerlukan metode agar bisa meraih kebenaran yang lebih tinggi.


DAFTAR PUSTAKA

Ramulyo, Moh. Idris. Asas-asas Hukum Islam. Jakarta: PT. Sinar Grafindo. 1995.

Bakry, Nazar. Fiqih dan Ushul Fiqih. Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada. 1996

Nata, AH Abbudin. Metodologi Studi Islam. Jakarta: PT. Raja Grafindo. 1998 Rifa’I, Mohammad. Ushul Fiqih. Bandung: PT Al-Ma’arif. 1973.

Khamzah, M. Modul Fiqih Madrasah Aliyah. Akik Pustaka.


Footnoot

[1] http://www.cybermq.com/index.php?pustaka/detail/6/1/pustaka-116.html diakses tanggal 18 september 2017

[2]  KH.Muhammad Wafi,lc,M,Si, 02 februari 2009

[3] Al-Qur’an wajib menjadi dalil syar’i yang pertama- lajnah an-Nadwah al-ilmiyyah (LNI) PP. AL Anwar

[4] I’anah ath-thalibin

[5]KadirAbd, DirosatIslamiyah, (sidoarjo:Dwiputrapustaka jaya,2016), 184

[6]Ibid, Dirosat Islamiyah.186 


MAKALAH HADIST TENTANG HIJAB

  A.   Latar Belakang Telah disepakati oleh seluruh umat Islam bahwa al-Qur’an menjadi pedoman hidup baik tentang syariah maupun dalam keh...