A.
Pendahuluan
Alquran
yang menjadi mukjizat terbesar bagi Nabi Muhammad SAW oleh umat Islam dijadikan
sumber hukum yang paling utama. Sedangkan Sunnah Rasulullah dijadikan sumber
hukum kedua karena Rasulullah adalah contoh praktis dalam mengamalkan ajaran
agama. Terlebih dalam Alquran disebutkan agar umat manusia mentaati Rasulullah
yang implikasinya adalah wajib mentaati apa-apa yang telah disampaikannya. Oleh
karena, Sunnah Rasulullah dijadikan sumber hukum dan penuntun akhlak selain
Alquran.[1]
Selain itu Sunnah memiliki peran penting terhadap Alquran yakni bayan taqrir, tafsil, taqyid, takhsis dan
tashri‘.[2]
Hadis Nabi menjadi sumber ajaran agama setelah Alquran,
maka hadis juga perlu untuk dipelajari dan diteliti lebih dalam lagi. Bahkan ulama-ulama
telah melakukan penelitian dan kajian terhadap hadis untuk
menentukan dan mengetahui kualitas hadis sehingga bisa
dijadikan hujjah.[3] Maka hadis menjadi sesuatu yang menarik untuk dikaji,
apalagi hadis ditulis setelah Rasulullah meninggal sehingga menimbulkan
keraguan dari segi validitasnya.
Banyak ulama muslim yang melakukan
penelitian terhadapnya tetapi tidak sedikit pula non muslim yang ikut serta
dalam meneliti hadis dengan tujuan tertentu. Misalnya orang barat yang mengkaji
tentang dunia timur yang disebut dengan orientalis. Awalnya orientalis mengkaji
materi keislaman secara umum termasuk sastra dan sejarah. Pada masa selanjutnya
mereka memfokuskan kajiannya pada hadis-hadis Nabi.[4]
Adapun orientalis yang pertama kali
melakukan kajian dalam bidang hadis oleh ahli sejarah masih diperdebatkan.
Diantaranya ada yang mengatakan bahwa orientalis yang pertama kali mengadakan
kajian khusus terhadap hadis adalah Alois Spenger. Kemudian kajian itu
dilanjutkan oleh Sir Willian Muir dan kajian ini mencapai puncaknya dilakukan
oleh Ignaz GHoldziher[5]
yang disebut bapak orientalis. Oleh karenanya perlu untuk mengemkakan pendapat
orientalis terhadap hadis dan Sunnah itu sendiri.
B. Pembahasan
1.
Pengertian Orientalisme dan Orientalis
Orientalisme berasal dari bahasa
Perancis yang berasal dari kata ”orient” yang artinya timur dan ”isme” artinya
faham, ajaran, cita-cita atau sikap.[6]
Adapula yang mengatakan bahwa kata ”orient” berasal dari bahasa Latin ”oriri”
yang berarti terbit, dan dalam bahasa Inggris artinya ”direction of rising
sun” (arah terbitnya matahari atau bumi belahan Timur).[7]
H.M. Joesoef Sou’yb berpendapat bahwa Orientalisme asalnya adalah orient yang
secara bahasa artinya timur dan secara geografis berarti dunia belahan timur. Kata
orient yang ditambahi isme atau ism memberi arti sebuah paham atau aliran yang
ingin meneliti hal-hal yang berkaitan dengan bangsa-bangsa Timur beserta
lingkungannya.[8]
Sederhanyanya, orientalisme diartikan
sebagai sebuah gerakan pemikiran terhadap luar Eropa.artinya, orientalis adalah
orang-orang yang mengkaji tentang ketimuran baik itu sastra, Bahasa,
antropologi, sosiologi, psikologi, sampai pada agama dengan menggunakan
paradigm eorocentrisme. Dengan begitu, kajian yang mereka lakukan
menghasilkan konklusi yang distortif tentang apa yang dikaji.[9]
Makna luasnya, orientalis bisa diartikan suatu kegiatan yang berkaitan dengan
bangsa-bangsa timur beserta lingkungannya sampai meliputi aspek kehidupannya.
Namun secara sempit, orientalis adalah kegiatan ahli ketimuran barat tentang
agama-agama di timur terutama agama Islam.[10]
Secara termenelogis, biasanya identic dengan paradigma berpikir,[11]
perbedaan ontologis dan epistimologis yang dibuat antara Timur (the orient) dan
barat 9the occident).[12]
Menurut Edward Said orientalisme adalah
suatu gaya berpikir yang berdasarkan pada pembedaaan ontologis dan
epistimologis yang dibuat antara “Timur” (the orient) dan hampir selalu “Barat”
(the occident).[13]
Orientalis adalah pelaku atau orang
yang melakukan kegiatan penelitian terhadap hal-hal yang berakitan dengan Timur.[14]
Lebih luas lagi orientalis adalah sarjana Barat yang meneliti bahasa dunia
Timur dan kesusastraannya serta mengkaji secara mendalam tentang agama-agama
dunia Timur, sejarahnya, adat-istiadatnya, dan ilmu-ilmunya.[15]
Sebenarnya kegiatan belajar mereka bisa diartikan sebagai kegiatan yang sengaja
menyerang umat Islam dan mendikreditkan Islam, sedangkan mempelajari tradisi
Islam merupakan topeng an sich saja.[16]
2. Hadits dalam
Pandangan Orientalis
‘Ajjaj al-Khatib mendefinisikan sunnah sebagai berikut:
كل ما أثر عن النبي من قول أو فعل أو تقرير أو صفة خلقية
أو خلقية أو سيرة سواء كانت ذالك قبل البعثة كتحنثه في غار حراء أو بعدها
Segala sesuatu
yang datang dari Nabi baik berupa perkataan, perbuatan, pengakuan, sifat baik
itu sifat fisik atau perangai, atau sejarah baik sebelum di angkat menjadi
Rasul seperti menyendiri beribadah di dalam gua hira atau sesudahnya.[17]
Sedangkan hadis menurut orientalis
adalah sekumpulan dongeng. Hal ini dikarenakan hadis menurut mereka tidak ada
yang sahih bersumber dari Nabi Muhammad dan hanya sedikit yang benar-benar dari
Nabi. Sebagaimana dalam sejarah disebutkan bahwa hadis baru ditulis secara
keseluruhan dan dibukukan setelah Rasulullah wafat. Sehingga bagi orientalis,
hadis mudah untuk di-distorsikan secara keseluruhan.
faktor yang menjadikan kajian hadis
menarik bagi orientalis adalah pertama; hadis lebih mudah untuk dicari
kelemahannya dibandingkan dengan Alquran. Bisa dikatakan bahwa penelitian
orientalis terhadap Alquran gagal dalam mencari keleman-kelemahannya. Bahkan
ada keinginan kuat dari beberapa orientalis untuk mendiskriditkan Islam. Kedua;
terjadinya kontradiksi dalam tubuh hadis itu sendiri.[18]
Di tambah dengan adanya pengakuan dari pemalsu hadis yang telah membuat
hadis-hadis palsu secara sengaja untuk tujuan tertentu.
Ada beberapa aspek yang sering
dikemukakan oleh orientalis dalam kajian
hadis yakni aspek pribadi Rasulullah sendiri, sanad dan matan, dan kodifikasi
hadis. Bagi mereka hadis bukanlah wahyu tetapi buatan manusia. Dalam kajian
isnad banyak dari orientalis yang tidak mempercayai adanya sanad. Salah satu orientalis
yaitu H. Motzki menyatakan bahwa sangat kecil kemungkinan untuk melakukan
pemalsuan isnad. Sanad yang terdapat dalam kitan musannaf patut
dipercaya karena dari sekian banyaknay perawi tidak mungkin melakukan
kebohongan berencana.[19]
Menanggapi pemikiran orientalis, ulama
muslim telah melakukan bantahan dengan tulisannya misalnya Muhammad Mustafa
Azami. Ia berpendapat bahwa sejak Rasulullah masih hidup, sahabat sudah menulis
hadis-hadis yang didengar dari Rasulullah. Bukti nyata bahwa ada sebagian
sahabat yang memiliki catatan hadis antara lain Ibnu Sa’ad Bin Ubadah
Al-Ansary, Abdullah bin Abi Aufa. Tidak kurang dari 52 sahabat yang memiliki
catatan hadis begitu juga dengan atbi’in yang memiliki catatan hadis dan mereka
berjumlah 247 tabi’in.[20]
Orang Islam beranggapan bahwa
orientalis adalah orang Barat yang mengkaji dunia Timur dalam segala bidang,
baik itu budaya, keilmuan, politik dan sejarah. Penelitian tersebut dilakukan
untuk konsumsi politik penjajahan maupun penelitian ilmiah yang murni atau
sebuah misi jahat yang terselubung di dalamnya. Sebagian besar dari orientalis
memiliki niat negative tetapi ada juga sebagian dari mereka dalam penelitiannya
yang menggunakan metode ilmiah. Hal ini terlihat dari kajian Islam di Barat di
beberapa lembaga tidak lagi dibawah organisasi keagamaan atau para peniliti
bukan dari golongan agamawan.[21]
Hasil penelitian orientalis yang
disebutkan terakhir ini yang menghasilkan karya dan memberikan kontribusi bagi
perkembangan kajian ke-Islaman baik umtuk muslim atau non-muslim. Misalnya
berbagai kitan indeks hadis, kamus, dan ensiklopedi baik secara kolektif maupun
peorangan. Karya orientalis yang banyak digunakan umat Islam khususnya ilmu
hadis adalah Consordance et Indices da la Traadition Musulmane yang dikenal
dengan al-Mu’jam al-Mufahras li Alfadhi al-hadith karya A. J Wensink.[22]
Belum ada kitab yang menjelaskan indeks
hadis yang susunannya lebih baik dari karya A. J. Wensink tersebut. Karena
dengan adanya kitab tersebut pelajar dipermudah dalam mencari perawi hadis,
matan hadis dan di dalam kitab apa saja yang meriwaytakan hadis yang dicari.
Hal ini sangat penting karena hadis tidak seperti Alquran yang mudah untuk
mengecek kevalid-annya. Bahkan Alquran sudah final tidak membutuhkan penelitian
lagi dalam masalah tersebut.
Karya A. J. Wensink ini sangat membantu
dalam mencari matan hadis tidak perlu membuka satu persatu kitab hadis induk tetapi
cukup dengan mencari kata kunci atau pokok bahasan hadis tersebut baru kemudia
mengecek kepada kitab yang telah tercantum dalam kitab indeks.[23]
Kesulitan
yang dihadapkan kepada peneliti jaman
sekarang adalah kitab indeks tersebut disusun berdasarkan kitab hadis sebelum
tahun 1939 M. Sementara kitab-kitab hadis tersebut telah diterbitkan lagi
dengan berbaai edisi, sudah di-tahqiq sehingga terdapat ketidak cocokan
antara data yang diperoleh dari kitab indeks dengan kib induk hadis.
Ignaz Goldziher
Hadis secara Bahasa memiliki makna yang
sama namun memiliki cakupan yang berbeda karena sunah biasanya dimaknai lebih
luas dibandingkan dengan hadis. Secara istilah, hadis adalah sesuatu yang
disandarkan kepada Nabi baik itu berupa perkataan, prilaku serta taqrir
Rasulullah SAW.[24]
Sedangkan sunah adalah segala sesuatu yang disandarkan kepada Nabi baik itu
ucapan, prilaku, ketetapan, sifat, sikap, gerak-gerik, keinginan baik di alam
nayata atau dalam mimpi.[25]
Menurut Ignaz, hadis merupakan suatu
disiplin ilmu yang bersifat teoritis, sedangkan sunah berisi aturan-aturan
praktis.[26]
Baginya sunah adalah segala sesuatu yang menjelaskan tentang tradisi, budaya,
adat-istiadat dan kebiasaan orang Arab dari para leluhurnya. Kesimpulannya,
baginya sunah hanyalah pelestarian budaya Arab kuno. Ia menyebut sunah dengan
istilah anamisme atau jahiliyah yang digunakan umat Islam.[27]
Lebih lanjut ia mengatakan bahwa hadis
adalah bentuk komunikasi lisan yang disandarkan kepada Nabi Muhammad SAW.
Sedangkan sunah merupakan budaya, aturan dan kebiasaan yang dilestarikan umat
Islam tanpa memandang apakah ada dalam hadis atau tidak.[28]
Maka pantas saja jika ia meragukan bahwa hadis adalah sumber hukum Islam.
Dengan tegas ia katakan bahwa hadis tidak bisa dijadikan bukti yang autentik di
masa awal Islam. Hadis hanyalah peninggalan orang Arab kuno yang dikembangkan
pasca Islam.[29]
Nabia Abbott
Menurutnya kata Sunnah terkadang
menggunakan kata plural (Sunnah) tidak hanya terbatas pada prilaku Nabi saja,
melainkan juga berlaku pada sahabat yang memiliki kedudukan tertinggi dalam
pemerintahan. Dilihat dari segi fungsi dan kedudukannya, ia berpendapat bahwa
sunah adalah praktik hukum atau legalitas terhadap suatu bidang dibandingkan
sebagai jawaban atau solusi beberapa aktifitas kehidupan. Sedangkan makna sunah
dalam bentuk jamak, tidak hanya sebatas contoh atau prilaku Nabi saja, namun juga
digunaan untuk khalifah dan sejumlah tokoh terkemuka yang berada dalam deretan
pemerintahan. Sunah tidak hanya solusi dari beragam kehidupan namun merupakan
bagian dari bidang administrasi dan sebuah praktek hukum.[30]
Alois Sprenger
Alois Sprenger oleh pemerhati
orientalis dianggap orientalis pertama kali yang mempelajari hadis. Dalam
tesisnya ia mengatakan bahwa hadis adalah kumpulan anekdot (cerita-cerita
bohong tetapi menarik). Jadi hadis adalah teks palsu bukan berasal dari
Rasulullah SAW. Hal ini didukung oleh temannya yaitu William Mur yang
mengatakan bahwa dalam literature hadis nama Nbi Muhammad SAW sengaja dicatat
untuk menutupi bermacam-macam kebohongan dan keganjilan. Oleh karenanya ia
menolak hadis yang diriwayatkan oleh al-Bukhari. Katanya, setidaknya separuh
dari 4000 hadis yang diriwayatkan al-Bukhari harus ditolak.[31]
C. PENUTUP
Orientalisme berasal dari bahasa
Perancis yang berasal dari kata ”orient” yang artinya timur dan ”isme” artinya
faham. Kata orientalisme dipahami sebagai paham atau aliran yang ingin meneliti
hal-hal yang berkaitan dengan bangsa-bangsa Timur beserta lingkungannya.
Sedangkan orientalis adalah pelaku atau para peniliti “Timur” baik itu dalam
bidang sejarah, agama, ilmu, politik maupun budaya.
Awal mulanya kajian oerientalis
bersifat umum dalam bidang ke-Islamannya namun pada masa selanjutnya mereka
fokus pada kajian hadis. penelitian itu dilakukan baik misi murni penelitian
ilmiah atau misi tertentu. Sebagian besar dari mereka beranggapan negative
terhadap hadis tetapi ada pula yang memiliki nilai positif terhadap hadis.
beberapa hasil karya mereka banyak membantu para peneliti hadis baik untuk
muslim-maupun non-muslim.
Menurut Ignaz Gholzhiher, hadis adalah sesuatu
yang disandarkan kepada Nabi baik itu berupa perkataan, prilaku serta taqrir
Rasulullah SAW. Sedangkan sunah adalah segala sesuatu yang disandarkan kepada
Nabi baik itu ucapan, prilaku, ketetapan, sifat, sikap, gerak-gerik, keinginan
baik di alam nayata atau dalam mimpi.
- MAKALAH CINTA KASIH
- ETIKA BERMEDIA SOSIAL BAGI GENERASI MUDA DALAM ISLAM
- MAKALAH KRITIK MUSTAFA 'AZAMI TERHADAP PANDANGAN ORIENTALIS TENTANG HADIS DAN SUNNAH NABI
- MAKALAH PANDANGAN ORIENTALIS TENTANG HADIS DAN SUNNAH
- Teks Khutbah Idul Adha Bahasa Jawa
DAFTAR PUSTAKA
Abdurrahman,
M. “Ilmu Hadis Sebagai Sumber Pemikiran” dalam Ensiklopedi Tematis Dunia
Islam , jil. 4. Jakarta: PT Ichtiar baru Van Houve, 2002.
A‘Zami,
(al) Mustafa. Dirasat fi al-Hadith al-Nabawi; Tarikh Tadwinihi. Beirut: al-Maktab
al-Islami, 1980.
Buchari, Mannan. Menyingkap Tabir
Orientalisme. Jakarta: Amzah, 2006.
Bakkar,
Muhammad Mahmud Ahmad. Bulugh al-‘Amal min Mustalah al-Hadith wa al-Rijal. Kairo:
Dar al-Salam, 2012.
Darmalaksana, Wahyudin. Hadits
dimata Orientalis. Bandung: Benang Merah Press, 2004.
Dewan Redaksi Ensiklopedia Islam, Ensiklopedi
Islam, jil. 4. Jakarta: PT. Ichtiar Baru Van Hoeve, 2002.
Fatimah,
Siti. “Sistem Isnad dan Otentisitas Hadits” dalam Ulul Albab; Jurnal Studi
Islam, vol. 15, no. 2, Juli-Desember 2014.
Gholdziher,
Ignaz. Mulism Studies, vol. II, terj. Barber dan Stern. London: Ruskin
House Musuem Street, 1971.
Hanafi, A. Orientalis Ditinjau
Menurut Kacamata Agama (Qur’an dan Hadits). Jakarta: Pustaka Al-Husna,
1981.
Haqan,
Arina . Orientalisme dan Islam dalam Pergulatan Sejarah, Mutawatir, vol.
1, no. 2, Juli-Desember, 2011.
Izzan, Ahmad dan Saifuddin Nur. Ulumul
Hadis. Bandung: Humaniora, 2011.
Ismail, M. Syuhudi Ismail. Metodologi
Penelitian Hadits Nabi. Jakarta: Bulan Bintang, 1992.
Idri, Al-Tahrir, Jurnal Pemikiran
Islam. vol. 11, no. 1 Mei 2011.
Idri, Studi Hadis. Jakarta: Kencana, 2013.
Khathib (al),
M. Ajaj. Hadits
Nabi Sebelum dibukukan. Terj. AH. Akrom Fahmi. Jakarta: Gema Insani Press. 1999.
Khatib,
(al) Muhammad ‘Ajjaj. Usul al-Hadith ‘Ulumuhu wa Mustalahuhu. Beirut:
Dar al-Fikr, 1989.
Khatib, (al) ‘Ajjaj. al-Sunnah Qabl al-Tadwin. Beirut: Dar al-Fikr, 1997.
Maufuf, Mustolah. Orientalisme;
Serbuan Ideologis dan Intelektual. Jakarta: Pustaka al-Kautsar, 1995.
Rahim,
Abdul. Sejarah Perkembangan Orientalisme, Hunafa, vol. 7. No. 2,
Desember 2010.
Sou’yb, Joesoef. Orientalisme dan
Islam. Jakarta: PT Bulan Bintang, 1995.
Said, Edward E. Orientalisme,
terj. Asep Hikmat. Bandung: Pustaka, 1994.
Wizan,
Adnan M. Akar GeerakanOrientalisme dari Perang Fisik Menuju Perang Fikir, terj.
Ahmad Rafiq Zainul Mun’im dan Fathurrahman. Yogyakarta: Fajar Pustaka, 2003.
Yaqub, Ali Mustafa. Kritik Hadits.
Jakarta: PT Pustaka Firdaus, 1996.
Dewan Redaksi Ensiklopedia Islam, Ensiklopedi Islam, jil. 4. Jakarta: PT. Ichtiar Baru Van Hoeve, 2002.
[1] M. Ajaj al-Khathib, Hadits Nabi Sebelum dibukukan, Terj. AH. Akrom Fahmi (Jakarta: Gema Insani Press, 1999), 21.
[2] Ahmad Izzan dan Saifuddin Nur, Ulumul Hadis (Bandung: Humaniora, 2011), 30.
[3] M. Syuhudi Ismail, Metodologi Penelitian Hadits Nabi (Jakarta: Bulan Bintang, 1992), 28
[4] Ali Mustafa Yaqub, Kritik Hadits (Jakarta: PT Pustaka Firdaus, 1996), 8.
[5] Idri, Al-Tahrir, Jurnal Pemikiran Islam (vol. 11, no. 1 Mei 2011), 201.
[6] Dewan Redaksi Ensiklopedia Islam, Ensiklopedi Islam, jil. 4 (Jakarta: PT. Ichtiar Baru Van Hoeve, 2002), 5.
[7] Mustolah Maufur, Orientalisme; Serbuan Ideologis dan Intelektual (Jakarta: Pustaka al-Kautsar, 1995), 11.
[8] Joesoef Sou’yb, Orientalisme dan Islam (Jakarta: PT Bulan Bintang, 1995), 1.
[9] Arina Haqan, Orientalisme dan Islam dalam Pergulatan Sejarah, Mutawatir, vol. 1, no. 2, Juli-Desember, 2011, 156.
[10] Abdul Rahim, Sejarah Perkembangan Orientalisme, Hunafa, vol. 7. No. 2, Desember 2010, 182.
[11] Adnan M. Wizan, Akar GeerakanOrientalisme dari Perang Fisik Menuju Perang Fikir, terj. Ahmad Rafiq Zainul Mun’im dan Fathurrahman (Yogyakarta: Fajar Pustaka, 2003), 1.
[12] Edward W. Said, Orientalisme, terj. Asep Hikmat (Bandung: Pustaka, 1996), 6.
[13] Edward E. Said, Orientalisme, terj. Asep Hikmat (Bandung: Pustaka, 1994), 23.
[14] Sou’yb, Orientalisme dan Islam, 1.
[15] A. Hanafi, Orientalis Ditinjau Menurut Kacamata Agama (Qur’an dan Hadits) (Jakarta: Pustaka Al-Husna, 1981), 8.
[16] M. Abdurrahman, “Ilmu Hadis Sebagai Sumber Pemikiran” dalam Ensiklopedi Tematis Dunia Islam , jil. 4 (Jakarta: PT Ichtiar baru Van Houve, 2002), 59.
[17]‘Ajjaj al-Khatib, al-Sunnah Qabl al-Tadwin (Beirut: Dar al-Fikr, 1997), 18.
[18] Wahyudin Darmalaksana, Hadits dimata Orientalis (Bandung: Benang Merah Press, 2004), 81.
[19] Siti Fatimah, Ulul Albab, Jurnal Studi Islam, vol. 15, no. 2, Juli-Desember 2014, 210.
[20] Yaqub, Kritik Hadits, 30.
[21] Mannan Buchari, Menyingkap Tabir Orientalisme (Jakarta: Amzah, 2006), 11.
[22] Ibid.
[23] Ibid, 111.
[24] Muhammad ‘Ajjaj al-Khatib, Usul al-Hadith ‘Ulumuhu wa Mustalahuhu (Beirut: Dar al-Fikr, 1989), 32.
[25] Muhammad Mahmud Ahmad Bakkar, BUlugh al-‘Amal min Mustalah al-Hadith wa al-Rijal (Kairo: Dar al-Salam, 2012), 43.
[26] Idri, Studi Hadis (Jakarta: Kencana, 2013), 311.
[27] Mustafa al-A‘Zami, Dirasat fi al-Hadith al-Nabawi; Tarikh Tadwinihi (Beirut: al-Maktab al-Islami, 1980), 6.
[28] Ignaz Gholdziher, Mulism Studies, vol. II, terj. Barber dan Stern (London: Ruskin House Musuem Street, 1971), 26.
[29] Ibid., 5.
[30] Nabia Abbott, Studies in Arabic Literary Papyri II; Qur’anic Commentry and Tradition, 27.
[31] Siti Fatimah “Sistem Isnad dan Otentisitas Hadits” dalam Ulul Albab; Jurnal Studi Islam, vol. 15, no. 2, Juli-Desember 2014, 209.