HOME

21 April, 2022

Muhammad Yasin Al-Fadani

 


 

PENDAHULUAN

    A.  Latar Belakang Masalah

Autentisitas, memang menjadi wacana yang terlalu penting untuk dilewatkan dalam kajian hadis. Hadis sebagai pedoman yang cukup menginspirasi manusia dalam dinamika kehidupannya, pula sebagai bekal serta sokongan bagi orang yang tengah mengejar nilai-nilai kebenaran, kini tengah dipertanyakan banyak orang keotentikannya bila dihadapkan pada realita sejarah. Realita historis peradaban Islam yang tak pernah bisa lepas dari noda hitam sepanjang perjalanannya banyak mengundang rasa skeptis berhimpun di benak para pengkaji intelektual.

            Bukan lagi mempersoalkan tentang posisi hadis dalam bingkai keagamaan, karena terlalu gegabah untuk diabaikan dalam kehidupan beragama.

 

بِالْبَيِّنٰتِ وَالزُّبُرِۗ وَاَنْزَلْنَآ اِلَيْكَ الذِّكْرَ لِتُبَيِّنَ لِلنَّاسِ مَا نُزِّلَ اِلَيْهِمْ وَلَعَلَّهُمْ يَتَفَكَّرُوْنَ [1] 

“Dan kami turunkan kepadamu al-Quran agar kamu menerangkan kepada umat manusia apa yang telah diturunkan kepada mereka dan supaya mereka memikirkan”

 

Namun yang lebih diperhitungkan adalah, bagaimana upaya purifikasi dengan mengandalkan pertolongan dari kenyataan sejarah ini, berhasil membuktikan autentisitas teks agama dan sejauh mana otoritas elemen-elemen di dalamnya bernilai akurat.

            Disini, transmisi menjadi poin pertama yang perlu ditinjau lebih mendalam, karena berhubungan erat dengan keabsahan historis, tanpa melupakan tinjauan esensi atau matan hadis. Proses transmisi teraplikasikan melalui sistem sanad. Aplikasinya mirip dengan rantai, saling sambung menyambung, hingga pada akhirnya jika terdapat seseorang yang meriwayatkan sebuah hadis, bisa ditelusuri balik ke belakang hingga rantai dapat terpautkan kepada Nabi SAW. Sekali lagi, guna mencapai tingkat kebenaran yang tak lagi samar. Sehingga sudah barang pasti, hadis tak akan eksis sampai kini tanpa keberadaan sanad dan matan. Karena keduanya merupakan komponen vital yang tak bisa dipisahkan.

 Indonesia, sebagai negara yang mayoritas penduduknya muslim, memiliki salah seorang ulama yang mencapai derajat musnid. Bukan hanya sekedar musnid, namun ia merupakan pemegang sanad tertinggi di masanya, sampai-sampai ia dijuluki musnid al-dun’ya, yakni ulama ahli musnad dunia dalam bidang periwayatan hadis. Intelektualnya yang berkualitas tinggi membuat banyak ulama timur tengah maupun pelajar nusantara yang mengejar ijazah sanad hadis darinya. Dialah Syeikh Yasin al-Fadani, sebagaimana yang tertoreh dalam media massa Republika, dikenalkan sebagai putra Minang yang jadi guru di Makkah.

Dalam makalah ini, penulis akan membahas hal-hal yang berhubungan dengan sosok Syekh Yasin al-Fadani, khususnya intelektualitas beliau dalam bidang hadis. Pembahasan serta mencantumkan riwayat hidup beliau.

    B.  Rumusan Masalah

1.    Siapakah Yasin al-Fadani?

2.    Bagaimana pemikirannya dalam bidang hadis?

    C.  Tujuan Penelitian

1.    Mengetahui perjalanan hidup Yasin al-Fadani

2.    Mengetahui pemikirannya dalam disiplin ilmu hadis

    D.  Kegunaan Penelitian

1.    Memberikan wawasan tentang riwayat hidup Yasin al-Fadani bagi penulis dan pembaca makalah.

2.    Untuk menjelaskan lebih spesifik bagaimana pemikiran Yasin al-Fadani dalam bidang hadis

    E.  Kerangka Makalah

Bab I:  Pendahuluan

a.       Latar Belakang Masalah

b.      Rumusan Masalah

c.       Tujuan Penelitian

d.      Kegunaan Penelitian

e.       Kerangka Makalah

Bab II: Pembahasan

a.    Riwayat Hidup Yasin al-Fadani

b.    Pemikiran Yasin al-Fadani dalam Hadis

Bab IV: Penutup

Daftar pustaka


BACA ARTIKEL LAINNYA YANG BERKAITAN :

BAB II

PEMBAHASAN

    a.      Riwayat Hidup Yasin al-Fadani

Bernama lengkap Muhammad Yasin bin Muhammad Isa al-Fadani al-Fadani al-Makki. Lahir di Mekkah, tepatnya di al-Misfalah pada tanggal 17 Juni 1916 dan wafat di Mekkah, 20 Juli 1990 di usianya yang ke 75 tahun. Ayahnya juga seorang ulama yang hidup di Mekkah bernama Muhammad Isa. Nama al-Fadani merupakan nisbat kepada daerah asal keluarga besarnya, Padang Sumatera Barat.  Guru Yasin al-Fadani ketika masih kecil ialah ayahnya sendiri. Ia menghafal al-Quran sedari kecil. Bahkan, dirinya telah menghafal beberapa syair atau nazm ilmu-ilmu asas Islam.[2]

Diceritakan, ketika remaja Yasin mengungguli teman-temannya dalam menguasai ilmu agama, meliputi bidang hadis dan fikih. Guru-gurunya pun kagum dengan kecerdasannya ini. Kedua orang tuanya, Muhammad Isa al-Fadani dan Maimunah binti Abdullah al-Fadani pun turut bangga dengan kemahiran Yasin. Selain berguru kepada orang tuanya, ia juga banyak belajar dari pamannya sendiri yaitu Syekh Mahmud Engku Hitam al-Fadani.[3]

Pada tahun 1346, ia meneruskan pelajarannya di madrasah Saulatiyyah. Madrasah Saulatiyyah merupakan madrasah termasyhur ketika zamannya. Namun, di tengah ia berpindah ke madrasah Dar al-Ulum. Perpindahannya ini dilatarbelakangi oleh perlakuan tidak menyenangkan pihak madrasah Saulatiyyah  kepada para pelajar asing asal Asia Tenggara. Dikatakan Yasin al-Fadani ikut berjasa dalam perkembangan Dar al-Ulum, hal ini terlihat ketika banyaknya murid yang pindah ke Dar al-Ulum dari Saulatiyyah, jumlahnya mencapai 120 orang, padahal Dar al-Ulum termasuk madrasah baru kala itu. Kemudian selanjutnya, ia menjabat sebagai wakil direktur madrasah Dar al-Ulum dan mengajar di sana dan di tempat-tempat lainnya. Ia juga mengajar di Masjidil Haram. Materi-materi yang ia sampaikan sangat luar biasa sehingga banyak penuntut ilmu yang memenuhi majelis ilmunya, terutama yang berasal dari Asia Tenggara. [4]

Kepribadiannya sangatlah sederhana, low profile, ia tak segan untuk pergi ke pasar dan memikul belanjaannya sendiri, meskipun ia sudah terhitung sebagai ulama terkemuka. Dirinya sering terlihat mengenakan kaos oblong biasa dan sarung sambil menghirup shisha di kedai teh. Rumahnya pun tak pernah sepi dari tamu-tamu ulama dan cendekiawan dari berbagai penjuru dunia. Apalagi jika musim haji tiba, banyak tamu yang ia temui hanya untuk berdiskusi mengenai perkembangan Islam. Gusdur pun pernah menyambangi rumahnya. Syekh Yasin juga sering mengadakan kunjungan ke luar negeri, terlebih ke tanah airnya Indonesia. [5]

    b.      Guru-Guru Yasin al-Fadani

Syekh Yasin termasuk orang yang sangat rajin menimba ilmu kepada banyak guru. Hingga ada yang mengatakan bahwa ia berguru kepada 700 syeikh. Ada yang berasal dari tanah air dan banyak pula yang luar negeri. Apalagi berdomisili di Mekkah memudahkan dirinya untuk bertemu dengan banyak ulama yang singgah sementara di tanah suci untuk berhaji. Beberapa gurunya antara lain Syeikh Umar Hamdan al-Mahrisi, Syekh Muhammad Ali bin Husain al-Maliki, Syekh Umar Bajunaid, Mufti Syafi’iyah Makkah, Syekh Said bin Muhammad al-Yamani dan Syeikh Hassan al-Yamani. Syeikh Muhsin bin Ali al-Musawa al-Falimbani, Sayyid Alawi bin ‘Abbas al-Maliki al-Makki, Syeikh Hasan al-Mashshay, Syeikh Ahmad al-Mukhallalati, Syeikh Muhammad al-Arabi al-Tabbani, Syeikh Muhammad Nur Sayf, Syeikh Amin Kutubi al-Hasani, Syeikh Ibrahim al-Fatani. Beberapa yang berasal dari luar tanah suci seperti Syeikh Ahmad bin Rafi’ al-Tahtawi, Syeikh Muhammad Ibrahim al-Samaluti, Syeikh Muhammad Bakhit al-Muti’i, Syeikh Muhammad Hasanain Makhluf, Syekh Muhammad al-Hafiz al-Tijani, Syeikh Muhammad al-Khidr Husain, Syeikh Mahmud bin Muhammad al-Dumi, Syeikh Muhammad Anwar al-Kashmiri, Syeikh Ashraf Ali al-Tahanawi, Syeikh Mufti Syafi’ al-Deobandi, Syeikh Ahmad al-Siddi al-Ghumari, Syeikh Abdullah al-Siddi al-Ghumari, Syeikh Abd al-Hay al-Kattani.[6]

Murid-Murid Yasin al-Fadani

Banyak pelajar yang berguru padanya hanya untuk memburu ketinggian sanad yang ia miliki. Biasanya, di bulan Ramadhan beliau selalu membaca dan mengijazahkan salah satu dari kutub al-sittah, hal ini sudah terjadi selama 20 tahun. Tidak hanya pelajar saja, bahkan setingkat ulama pun banyak menimba ilmu sekaligus sanad kepadanya. Syeikh Ali Jum’ah mufti Mesir misalnya. Beberapa muridnya antara lain: Habib Umar bin Muhammad dari Yaman, Syeikh Muhammad Ali al-Sabuni dari Syam, Muhammad Hasan al-Dimashqi, Syeikh Ismail Zain al-Yamani, Syeikh Hasan Qatirji, H. M. Zaini Abdul Ghani dari Kalimantan, Tuan guru Haji Abdullah bin Abdul Rahman dari Kelantan, Tuan guru Haji Hashim bin Haji Abu Bakar dari Kelantan, Syeikh Muhammad Nuruddin Marbu al-Banjari al-Makki dari Bogor. Sebagian muridnya selain diberi ijazah sanad adapula yang di izinkan untuk mengajar di Dar al-Ulum seperti H. Sayyid Hamid al-Kaff, Dr. Muslim Nasution, H. Ahmad Damanhuri dan Dr. Said Agil Munawwar.

Karya Ilmiah Yasin al-Fadani

Diantara karya-karyanya ialah:

·         Al-Durr al-Mandlud Sharh Sunan Abi Dawud, 20 Juz

·         Fath al-'Allam Sharh Bulugh al-Maram, 4 jilid

·         Nayl al-Ma'mul 'ala Lubb al-Ushul wa Ghayah al-wushul

·         Al-Fawaid al-Janiyyah Ala Qawa'idil Al-Fiqhiyah

·         Jam'u al-Jawani

·         Bulghah al-Musytaq fi 'Ilm al-Isytiqaq

·         Idha-ah an-Nur al-Lami' Sharh al-Kaukab as-Sathi'

·         Hashiyah 'ala al-Asybah wan an-Nazhair

·         Al-Durr al-Nadhid

·         Bulghyah al-Musytaq Sharh al-Luma' Abi Ishaq

·         Tatmim al-Dukhul Ta'liqat 'ala Makhdal al-Wushul ila 'Ilm al-Ushul

·         Nayl al-Ma'mul Hasyiyah 'ala Lubb al-Ushul wa sharhih Ghayah al-Wushul

·         Manhal al-Ifadah

·         Al-Fawaid al-Janiyyah Hasyiyah 'ala al-Qawaid al-Fiqhiyyah

·         Janiyy al-Thamar Sharh Manzhumah Manazil al-Qamar

·         Mukhtashar al-Muhadzdzab fi Istikhraj al-Awqat wa al-Qabilah bi ar-Rubi'i al-Mujib

·         Al-Mawahib al-Jazilah sharh Tsamrah al-Washilah fi al-Falaki

·         Tastnif al-Sami'i Mukhtashar fi Ilmi al-Wadh'i

·         Husn al-Shiyaghah sharh kitab Durus al-Balaghah

·         Risalah fi al-Mantiq

·         Ithaf al-Khallan Tawdhih Tuhfah al-Ikhwan fi 'Ilm al-Bayan

·         Al-Risalah al-Bayaniyyah 'ala Thariqah as-Sual wa al-Jawab

Komentar Ulama terhadap Yasin al-Fadani

Syeikh Zakariyya ‘Abdullah, salah seorang ulama Makkah yang masyhur berkata: “Sewaktu saya mengajar Qawa’id al-Fiqh di Saulatiyyah, saya seringkali mendapati kesulitan, Namun setelah terbit kitab al-Fawa’id al-Janiyyah karangan Syeikh Yasin al-Fadani, segala kesukaran menjadi mudah semuanya, dan beban dalam mengajar menjadi ringan”.

          Dr. ‘Abd al-Wahhab Abu Sulaiman dari Universitas Umm al-Qura di dalam kitabnya al-Jawahir al-Thaminah fi Bayan Adillah ‘Alim al-Madinah berkata: “Syeikh Yasin adalah seorang muhaddis, faqih, mudir Madrasah Dar al-‘Ulum, pengarang banyak kitab dan salah seorang ulama Masjid al-Haram”. 

Syeikh ‘Umar ‘Abd al-Jabbar melalui pernyataannya dalam surat kabar Akhbar al-Bilad terbitan Jumat, 24 Dhulkadah 1379 H /1960 M berkata: “Bahkan yang terbesar dari pengorbanan Syeikh Yasin al-Fadani adalah membuka madrasah puteri (al-banat) pada tahun 1362H. Meskipun perjalanannya selalu menghadapi rintangan, namun beliau dapat mengatasinya dengan penuh kesabaran dan ketabahan”.

Dr. ‘Ali Jum‘ah, mantan Mufti Mesir dalam kitabnya Hasyiah Almam al-Bayjuri ala Jawharah al-Tawhid yang ditahkiknya mengatakan bahawa beliau pernah menerima ijazah sanad dari Syeikh Yasin al-Fadani yang digelarinya sebagai Musnid al-Dunya. Habib Saqqaf bin Muhammad al-Saqqaf (m. 1373H), seorang tokoh ulama dari Hadramaut menceritakan kekaguman beliau terhadap Syeikh Yasin al-Fadani, dan menjulukinya sebagai ‘Suyuti Zamanihi’. 

Pemikiran dan Kontribusi Yasin al-Fadani terhadap Hadis

Dengan kemahirannya dalam bidang hadis dan ilmunya, nama Yasin al-Fadani sepadan dengan nama-nama ulama hadis terkenal lainnya, seperti Syeikh Abu al-Tayyib Shams al-Din al-Azim Abadi, pengarang kitab ‘Awn al-Ma’bud dan syeikh Muhammad Khalil al-Saharanfuri, keduanya merupakan pensharah kitab Sunan Abi Dawud. Syeikh Yasin juga turut mensharhkan kitab Sunan Abi Dawud, dengan judul al-Dur al-Mandud, setebal 20 jilid. Sayangnya, kitab tersebut tidak diketemukan keberadaannya. Hanya saja, Syeikh Mahmud Mamduh mengakui pernah melihat sebagian buku tersebut di perpustakaan pribadi Syeikh Yasin.

Syeikh Yasin al-Fadani adalah seorang yang gigih bertalaqqi (berguru secara berhadapan) dalam menimba ilmu dan menghimpunkan sanad-sanad periwayatan daripada alim ulama di zaman beliau. Tinggalnya beliau di Tanah Suci Makkah memudahkan beliau bertemu dengan ramai alim ulama Islam, meliputi ulama tanah suci dan luar tanah suci yang datang ke tanah suci, seperti dari Syria, Lebanon, Palestina, Yaman, Mesir, Maghribi, Iraq, Pakistan, Rusia, India, Indonesia dan juga Malaysia sehingga terkumpullah di sisi beliau pelbagai macam sanad periwayatan ilmu dan hadis. Dikatakan, keseluruhan guru-guru yang beliau pernah temui  atau beliau utuskan surat untuk meminta ijazah berjumlah sekitar 700 orang. Menurut Dr. Yahya al-Ghawthani, beliau memperolehi isnad hadis daripada lebih 700 syeikh, dan jumlah itu sukar ditandingi oleh ulama lain di masanya.

Jumlah yang besar ini menjadikan ketokohan Syeikh Yasin al-Fadani dalam ilmu riwayat al-hadith tidak ada tolok bandingnya di kalangan ulama muta’akhirin dunia Islam, kecuali Syeikh ‘Abd al-Hayy bin ‘Abd al-Kabir al-Kattani (m. 1382H), seorang ahli hadis besar dari Maghribi. Dikatakan kedudukan Syeikh Yasin adalah setelah beliau. Meskipun guru al-Kattani hanya sekitar 500 orang. Maka dari itu Syeikh Yasin dijuluki‘Musnid al-Dunya’ atau ‘Musnid al-‘Asr’.

-          Yasin al-Fadani dan Sanad Hadis

Mayoritas buku-buku Yasin al-Fadani dalam bidang hadis berisi tentang rekaman jalur-jalur sanad. Beliau gemar menyusun periwayatan sanad miliknya, ataupun menyusun periwayatan sanad milik guru-gurunya. Buku Yasin al-Fadani yang membahas wacana ini diperkirakan berjumlah sekitar 70. Mayoritas ia terbitkan dengan uang pribadinya.

Sudah menjadi hal biasa, bila ulama merekam jalur periwayatan atau sanadnya dalam sebuah kitab. Kitab-kitab ini dijuluki berbagai macam nama. Ahlu maghrib atau ulama bagian barat Islam sekarang menyebutnya dengan istilah fahrasah. Ulama timur menyebutnya thabat, ulama Andalusia menyebutnya barnamij. Sedangkan orang-orang dulu menyebutnya dengan istilah mashakhah, adapula yang menggunakan istilah mu’jam dengan alasan mereka mengurutkan nama-nama syeikh mereka berdasarkan urutan huruf hijaiyah.

Di samping  terdapat ulama yang merekam jalur sanadnya. Adapula ulama yang tidak mengimpunnya dalam sebuah kitab, atau ia menghimpunnya akan tetapi tidak seutuhnya atau tidak lengkap. Kondisi seperti inilah yang biasanya membuat para murid ulama ini yang menghimpunkan jalur sanad milik gurunya ini. Dan syekh Yasin al-Fadani adalah orang yang cukup rajin dan tekun merekam sanad-sanad gurunya dalam sebuah kitab. Hal ini ia lakukan, karena rasa prihatin dan perhatiannya terhadap keilmuan guru-gurunya. Di antara guru-gurunya yang pernah ia himpunkan sanadnya ialah al-Kuzbari, Ibn Hajar al-Haytami, ‘Abd al-Baqi al-Ba‘li, Khalifah al-Nabhan, Sayyid Muhsin al-Musawwa, Muhammad ‘Ali al-Maliki, ‘Umar Hamdan dan Ahmad al-Mukhallalati.

Mengenai ijazah sanad pun, Yasin al-Fadani mempunyai cara tersendiri. Ia membagi pemberian ijazahnya menjadi tiga macam. Ijazah khas, ‘am dan mutlak. Ijazah khas maksudnya, Yasin al-Fadani memberikan ijazah terhadap beberapa orang dan ulama tertentu yang dipandang dirinya memiliki keistimewaan tertentu terlebih dalam keilmuan. Beliau menyusun sendiri kitab sebagai bentuk ijazah beliau kepada yang bersangkutan. Kitab tersebut berisi rekaman sanad-sanad beliau yang khusus diijazahkan kepada yang bersangkutan. Selain itu, setiap satu tokoh diberikan jalur sanad yang khusus yang tidak beliau berikan kepada yang lain. Dengan kata lain, Yasin al-Fadani memberikan ciri khas tersendiri dalam kitab ijazahnya bagi setiap tokoh yang mendapatkannya. Sehingga, antar satu penerima ijazah khas ini  dengan yang lainnya tidaklah mendapat hal yang sama. di antara tokoh yang pernah mendapatkan ijazah khas ini adalah Syekh Muhammad bin ‘Alawi al-Maliki, Syeikh Mahmud Sa‘id Mamduh, Syeikh Yahya Ghawthani, Syeikh Zakariyya Bila, al-Sayyid Muhammad al-Hasyimi dan lain-lain. 

Mengenai ijazah ‘am, sebagai contoh, dalam beberapa bukunya ia menyatakan memberikan ijazah sanad kitab tersebut kepada semua orang yang hidup pada zamannya dengan objektif agar bermanfaat bagi para pelajar yang menuntut ilmu dan dapat menyebarkan sanad-sanad periwayatannya. Sebagai contoh dalam kitab al-‘Ujalah fi al- ahadith al-Musalsalah beliau mengatakan: “Aku ijazahkan ini kepada semua orang di zamanku yang ingin meriwayatkannya atau mendapatkan sanad dariku”. Namun, ijazah dengan bentuk sepeti ini merupakan ijazah yang paling lemah nilainya.

Yasin al-Fadani juga merupakan sosok yang sangat peduli akan perkembangan intelektual di nusantara. Dirinya termasuk orang pertama yang mempopulerkan posisi intelektual ulama-ulama tanah air dalam periwayatan hadis. Beliau juga yang memperkenalkan istilah “kyai” dalam Indonesia kepada penjuru dunia melalui kitab-kitab rekaman sanadnya dikarenakan ia juga mengambil sebagian sanadnya dari ulama tanah air. Di antaranya ; Syeikh Nawawi bin ‘Umar al-Bantani, Syeikh ‘Abd al-Samad bin ‘Abd al-Rahman al-Falimbani, Kyai Hasyim bin Asy‘ari al-Jombangi, ‘Aqib bin Hasan al-Din al-Falimbani, Kyai Jam‘an bin Samun al-Tanqarani.

BAB III

Penutup

    1.      Muhammad Yasin bin Muhammad Isa al-Fadani al-Fadani al-Makki. Lahir di Mekkah, tepatnya di al-Misfalah pada tanggal 17 Juni 1916 dan wafat di Mekkah, 20 Juli 1990 di usianya yang ke 75 tahun. Ayahnya juga seorang ulama yang hidup di Mekkah bernama Muhammad Isa. Nama al-Fadani merupakan nisbat kepada daerah asal keluarga besarnya, Padang Sumatera Barat.

    2.      Kepribadiannya sangatlah sederhana, low profile, ia tak segan untuk pergi ke pasar dan memikul belanjaannya sendiri, meskipun ia sudah terhitung sebagai ulama terkemuka.

    3.      Syeikh Yasin juga turut mensharhkan kitab Sunan Abi Dawud, dengan judul al-Dur al-Mandud, setebal 20 jilid. Sayangnya, kitab tersebut tidak diketemukan keberadaannya. Hanya saja, Syeikh Mahmud Mamduh mengakui pernah melihat sebagian buku tersebut di perpustakaan pribadi Syeikh Yasin.


BACA ARTIKEL LAINNYA YANG BERKAITAN:


[1] al-Qur’an, 16: 44.

[2] http://www.republika.co.id/berita/dunia-islam/khazanah/14/01/06/myz9jf-syekh-yasin-alfadani-putra-minang-yang-jadi-guru-di-makkah

[3] http://www.republika.co.id/berita/dunia-islam/khazanah/14/01/06/myz9jf-syekh-yasin-alfadani-putra-minang-yang-jadi-guru-di-makkah

[4] https://id.wikipedia.org/wiki/Muhammad_Yasin_Al-Fadani

[5] http://www.nu.or.id/post/read/27657/syeikh-yasin-padang-layani-sendiri-gus-dur

KH Moenawar Chalil

 

BAB I

PENDAHULUAN

A.    Latar Belakang

Tidak dapat dipungkiri bahwa hadis atau sunnah memliki peran penting dalam kehidupan umat islam. Ia merupakan sumber hukum kedua setelah alquran. Keduanya adalah dasar agama dan merupakan petunjuk menuju jalan yang benar.  Para ulama sangat memahami akan peran dan kedudukan hadis yang sangat tinggi. Oleh karena itu, mereka berusaha sekuat tenaga menjaganya dan melestarikannya baik dalam tulisan maupun amalan.[1]

sejak masa sahabat sampai masa tabi’in kemurnian hadis terus tetap dijaga. Para ulama terus mengembangkan metode ilmu hadis guna menjaga kemurnian dan kelestarian hadis. Dan akhirnya, tersusunlah beberapa kitab hadis meskipun dengan sistem penulisan yang belum bagus.

Dalam konteks Indonesia,  memang tidak terlalu banyak ditemukan ulama ahli hadis atau yang betul-betul menekuni hadis dan ilmu hadis. Salah satu contoh ulama asal Indonesia yang mungkin bisa dikategorkan ahli hadis adalah KH. Mahfud Termas, KH. Hasyim Asy’ari dan Syeikh Yasin al-Fadani.

Dalam mengkaji pemikira ulama indonesia dalam bidang hadis, kita bisa melacak dari beberapa buku-buku mereka atau melalui organisasi keagamaan yang ada di Indonesia. makalah ini, mencoba untuk mengkaji dan memaparkan pemikiran KH Moenawar Chalil dalam bidang hadis. Beliau adalah salah seorang ulama Indonesia yang hidup di awal abad 20 dan memiliki beberapa karya tulis dalam bidang keagamaan khususnya dalam bidang sejarah.

B.     Rumusan Masalah

Adapun rumusan masalah pada makalah ini adalah:

1.      Apa yang diketahui tentang KH Moenawar Chalil?

2.      Apa yang diketahui tentang Pemikiran KH Moenawar Chalil dalam bidang hadis?

 

C.    Tujuan

Adapun tujuan dari makalah ini adalah :

1.      Mengetahui tentang Ibn Majah

2.      Mengetahui tentang Kitab Sunan Ibn Majah

 

BAB II

PEMBAHASAN

    A.  Biografi KH. Moenawar Chalil

1.    Nama dan Kelahiran KH. Moenawar Chalil

Moenawar Chalil dilahirkan di Kendal, Jawa Tengah, pada bulan Februari 1908. Beliau berasal dari keluarga terpandang dan ahli agama. Ayahnya adalah KH. Chalil, seorang Ulama terpandang, sekaligus mapan dan sukses dalam bidang perdagangan.[2]

Pada usia tujuh belas tahun, Moenawar Chalil aktif dalam Syarikat Islam (SI). Tahun 1921, SI pecah : SI pimpinan H.O.S. Cokroaminoto dan SI Merah pimpinan Semaun yang kemudian berubah menjadi Partai Komunis Indonesia (PKI). Pada tahun 1926, Moenawar Chalil terlibat dalam pemberontakan terhadap pemerintahan HinbeliauBelanda dan akhirnya beliau ditangkap.[3]

Karena keterlibatannya dalam pemberontakan, Moenawar Chalil akhirnya diputuskan untuk dibuang ke Boven Digul, Irian Jaya. Namun ternyata hal tersebut tidak pernah dilaksanakan karena sang ayah, KH. Chalil berhasil membujuk pejabat wilayah setempat (wedono) untuk membatalkannya. Ada yang mengatakan bahwa ia dibebaskan karena sang ayah mengirim surat permohonan pencabutan keputusan penahanan tersebut dengan alasan bahwa Moenawar Chalil akan dkirim ke Arab Saudi untuk belajar. [4]

2.    Keilmuan KH. Moenawar Chalil

Setelah berhasil dibebaskan dan penahanannya dibatalkan, Moenawar Chalil dikirim ke Mekkah oleh ayahnya untuk memperdalam ilmu-ilmu keislaman. Di sana beliau menetap selama empat tahun (1926-1929). Di Mekkah, beliau banyak berkenalan dengan para pemuda Islam Indonesia yang juga merantau di sana termasuk beberapa gurunya dari Solo yang melarikan diri ke Mekkah dan juga beberapa pemuda asal Sumatera seperti  H. Abdul Malik Karim Amrullah (Hamka).[5]


BACA ARTIKEL LAINNYA YANG BERKAITAN :

3.    KH. Moenawar Chalil Antara Wahhabisme dan Kaum Modernis

Thoha Hamim mencatat bahwa selama memperdalam ilmu-ilmu keagamaan di Mekkah, Moenawar Chalil ternyata lebih dekat dengan pemikiran-pemikiran wahhabisme bahkan beliau menjadi saksi atas berbagai usaha kaum reformis wahhabi dalam membangun supremasi politik dan keagamaan di jazirah arab. Selain itu, Moenawar Chalil sendiri ternyata juga tidak asing dengan pemikiran wahhabisme ini, karena beliau sudah mengenalnya sejak berada di Indonesia.[6]

Berbeda dengan Moenawar Chalil, beberapa pelajar dari indonesia yang juga tinggal di Mekkah pada masa itu khususnya yang berasal dari daerah jawa, mereka ternyata lebih condong untuk mendalami ilmu fiqih dan tasawwuf serta berguru kepada para ulama yang bisa dikatakan notabene banyak berseberangan dengan paham wahhabisme. Bahkan di antara mereka banyak yang menjadi ulama besar di Mekkah dan menjadi guru bagi para pelajar dari indonesia yang datang kemudian.

Salah satu contoh ulama indonesia yang yang diakui keilmuannya serta menjadi pengajar dan ulama besar di Mekkah adalah Syekh Mahfudz Termas. Begitu juga Syekh Muhammad Mukhtar Al-Bughuri yang juga sezaman dengan Syekh Mahfudz. Banyak ulama-ulama indonesia yang berguru kepada kedua Syekh tersebut, salah satunya adalah KH. Hasyim Asy’ari, KH. R. Maskumambang Surabya, KH. Abbas dan KH. Anas Cirebon, KH. Ihsan Dahlan Jampes dan Syekh Muhammad Yasin Padang.[7]  

Selain banyak berkecimpung dengan pemikiran wahhabisme, Moenawar Chalil juga banyak terpengaruh oleh pemikiran kaum reformis Modernis yang dipelopori oleh Muhammad Abduh di Mesir. Thoha Hamim mencatat bahwa Moenawar Chalil betul-betul kagum akan sosok Muhammad Abduh. Bahkan ketika mengutip pendapat Muhammad Abduh, beliau sering merujuknya sebagai “yang mulia”. Sehingga tidaklah mengherankan jika gaya penafsiran Moenawar Chalil sangat dipengaruhi oleh gaya penafsiran Muhammad Abduh.[8]      

4.    Dunia Pergerakan dan Organisasi

Sekembalinya dari tanah suci Pada bulan Juni 1929, Moenawar Chalil, diangkat oleh Muhammadiyah cabang Kendal menjadi guru di Sekolah Menengah (Madrasah Al-Wustha) Muhammadiyah dan Ketua Bagian Tabligh Muhammadiyah cabang Kendal. Atas ajakan KH. Mas Mansur dari Pimpinan Pusat Muhammadiyah, beliau diangkat menjadi Anggota Majlis Tarjih Pimpinan Pusat Muhammadiyah pada tahun 1930. Selain itu, menjadi pembantu utama majalah Pembela Islam yang terbit di Bandung. Pada tahun 1933, beliau pindah ke Semarang dan diangkat oleh Muhammadiyah cabang Semarang menjadi guru pada kursus agama Islam dan kursus muballigh.[9]

Moenawar Chalil juga pernah diangkat menjadi Sekretaris Lajnah Ahli-Ahli Hadis Indonesia sejak organisasi tersbut didirikan pada 1941 samapai beliau wafat pada 23 mei 1961, dengan Ketua KH. Ma’shum dari Yogyakarta dan Wakil Ketua KH. Ghozali dari Solo.[10]

Ketika Jepang menjajah Indonesia pada tahun 1942, beliau terlibat dalam kegiatan birokrasi pemerintahan. Beliau diangkat menjadi Kepala Wilayah Departemen Agama Karesidenan Semarang. Pada tahun 1951, beliu mengundurkan diri dari jabatan tersebut karena merasa tidak cocok dengan rezim pemerintahan saat itu. Beliau juga sempat terlibat dalam pemberontakan Darul Isam (DI) yang akhirnya gagal.[11]

Moenawar Chalil, selain aktif sebagai pengurus Majlis Tarjih Muhammadiyah, beliau juga  aktif sebagai anggota Persis, bahkan pernah menjabat sebagai ketua Majelis Ulama PP Persis. Sejak tahun 1930, beliau sudah masuk menjadi anggota Persis paa saat beliau aktif menjadi kolumnis pada majalah terbitannya, Pembela Islam, untuk wilyah kendal.[12]  

5.    Karya-Karya KH. Moenawar Chalil

Moenawar Chalil merupakan seorang ulama tang sangat produktif dalam bidang tulis menulis. Selain aktif menulis di berbagai media, majalah atau bulletin, beliau juga aktif menulis buku, salah satu buku karyanya adalah:

a.       Kelengkapan Tarikh Nabi Muhammad SAW

Buku ini memuat secara luas dan lengkap sejarah Nabi Muhammad SAW. Edisi pertama buku ini diterbitkan oleh Penerbit Penyiaran Islam Yogyakarta, mulai tahun 1936 sampai menjelang pecahnya Perang Dunia II dalam bentuk 4 jilid buku tipis yang mirip dengan majalah. Kemudian edisi kedua dicetak dan diterbitkan oleh Bulan Bintang mulai tahun 1957 dengan 1-4 jilid hingga terakhir dengan 1-8 jilid. Selanjutnya Penerbit Gema Insani Perss dengan 1-6 jilid.[13]

b.      Biografi Empat Serangkai Imam Madzhab

Buku ini memuat penjelasan tentang biografi lengkap empat imam pendiri madzhab fiqih yaitu Hanafi, Maliki, Syafi’i, dan Hambali. Buku ini membahas mulai dari kelahiran, sifat dan akhlak, karya-karya, dan sekaligus dasar-dasar madzhab fikih para Imam empat tersebut.[14]

c.       Kembali Kepada Alquran dan Assunnah

Buku ini memuat tentang pemikiran KH. Moenawar Chalil dalam bidang Ushuluddin dan Ushul Fiqh. Salah satunya adalah pembahasan tentang kedudukan alquran dan sunnah dalam islam, macam-macam dalil dlam hukum islam. 


    B.  Mengenal Pemikiran KH. Moenawar Chalil tentang Sunnah

Untuk mengetahui pemikiran KH. Moenawar Chalil tentang Sunnah, penulis merujuk pada buku beliau yang berjudul Kembali Kepada Alquran dan Assunnah. Berikut adalah beberpa pemikiran beliau tentang sunnah dan hal-hal yang berkaitan dengannya.

1.    Definisi Sunnah atau Hadis menurut KH. Moenawar Chalil

Dalam mendefinisikan sunnah dan hadis, Moenawar Chalil terlebih dahulu membahasnya dari segi bahasa. Menurut beliau Sunnah dari sefi bahasa setidaknya mumpunyai empat arti.

a.    Undang-undang atau peraturan yang tetap berlaku. Belaiau berdasar pada firman Allah:

[15]سُنَّةَ مَنْ قَدْ أَرْسَلْنَا قَبْلَكَ مِنْ رُسُلِنَا وَلَا تَجِدُ لِسُنَّتِنَا تَحْوِيلًا

kami menetapkan yang demikian sebagai suatu ketetapan terhadap Rasul-rasul Kami yang Kami utus sebelum kamudan tidak akan kamu dapati perobahan bagi ketetapan Kami itu.

b.      Cara yang diadakan. Untuk makna ini, beliau berdalil pada hadis nabi:

من سن سنة حسنة....... ومن سن سنة سيئة

Barang siapa yang mengada-adakan suatu cara yang baik….dan barang siapa yang mengada-adakan suatu cara yang jelek..

 

c.    Jalan yang telah dijalani. Hal ini berdasarkan sabda nabi

النكاح سنتي

Nikah itu termasuk sunnahku

Maksudnya adalah jalanku yang aku pilih dan aku berjalan di atasnya.

d.   Keterangan. Hal ini sesuai dengan ungkapan

سن الرجل الأمر

Orang lelaki itu telah menerangkan satu urusan 

2.    Pembagian Sunnah menurut KH. Moenawar Chalil

Salah satu pemikiran KH. Moenawar Chalil yang sangat menarik tentang hadis adalah pembagian beliau terhadap sunnah. Dalam hal ini, beliau membagi sunnah menjadi lima;

a.       Sunnah Qauliyah

Menurut Moenawar  Chalil sunnah qauliyah sunnah Nabi yang berupa perkataan atau penjelasan-penjelasan yang diberikan oleh Nabi tentang hukum-hukum dan anjuran-anjurannya mengenai budi pekerti dalam pergaulan hidup bersama. Dalam hal ini beliau memberi contoh hadis Nabi:

مِنْ حُسْنِ إِسْلاَمِ الْمَرْءِ تَرْكُهُ مَا لاَ يَعْنِيهِ

b.      Sunnah fi’liyah

Dalam membahas sunnah fi’liyah, ternyata Moenawar  Chalil menjelaskan maksudnya dengan berdasarkan pada pendapat-pendapat ulama ushul fiqh. Setidaknya ada lima kategri sunnah fi’liyah yang dianut oleh Moenawar  Chalil:

1.      Pekerjaan atau perbuatan Nabi yang merupakan tabiat manusia biasa seperti makan dan minum

2.      Pekerjaan atau perbuatan yang hanya khusus kepada beliau, seperti dibolehkannya Nabi menikah lebih dari empat

3.      Perbuatan Nabi yang menjadi penjelas bagi alquran

4.      Perbuatan Nabi yang bukan termasuk tabiat, kekhususan ataupun penjelas bagi alquran

5.      Pekerjaan Nabi yang tidak nyata dengan sengaja unutk mendekatkan diri kepada Allah. Maka ulama berbeda pendapat. Ada yang mengatakan wajib, ada yang mengatakan mubah, ada yang mengatakan sunnah dan ada yang berpendapat waqf (belum dpat diberikan keoastian hukum. 

c.       Sunnah Taqririyah

Yang dimaksud dengan sunnah taqririyah menurut Moenawar  Chalil adalah penetapan atau pengakuan Nabi terhadap perbuatan-perbuatan sahabat-sahabatnya yang dikerjakan di hadapannya atau tidak di depannya yang beritanya sampai kepadanya, tetapi Nabi tidak menegurnya, tidak menjalankannya, berarti Nabi menyetujuinya atau membenarkannya.

Beliau memberi contoh ketika Nabi membiarkan shabat Khalid bin Walid memakan hewan dhab di hadapan beliau.

d.      Sunnah Hammiyah

Sunnah hammiyah adalah suatu pekerjaan yang dicita-citakan Nabi akan mengerjakannya, namaun beliau wafat sebelum sempat mengerjakannya.

Dalam hal ini, beliau memberi contoh tentang puasa tanggal sembilan bulan muharram.

e.       Sunnah Tarkiyah

Moenawar  Chalil dalam menjelaskan maksud dari sunnah tarkiyah terlebih dahulu memberikan pendahuluan bahwa ketika nabi mengerjkan sesuatu yang sunnah, maka sunnah juga hukumnya bagi kita untuk melakukannya. Begitu juga sunnah bagi kita untuk meninggalkannya ketika Nabi meninggalkannya. 


BACA ARTIKEL LAINNYA YANG BERKAITAN:

DAFTAR PUSTAKA

Alquranul Karim

Abu Zahw, Muhammad, al-H{adith wal al-Muh}addithun. Riyad}: tp, 1984.

Bizawie, Zainul Milal, Materpiece Islam Nusantara Sanad dan Jejaring Ulama-Santri 1830-1945. Tangerang: Pustaka Compass, 2016.

Chalil, Moenawar, Biografi Empat Serangkai Imam Madzhab. Jakarta: Bulan Bintang, 1955

Chalil, Moenawar, Kembali Kepada Alquran dan Assunnah. Jakarta: Bulan Bintang, 2011

Hamim, Thoha, Paham Keagamaan kaum Reformis: Studi Kasus Pemikiran KH. Moenawar Chalil. Yogyakarta: Tiara WacanaYogya, 2000.

KH. Moenawar Chalil, Biografi Empat Serangkai Imam Madzhab (Jakarta: Bulan Bintang, 1955).

Sejarawan Indonesia: KH. Moenawar Chalil, dalam http://lukisansamsul.blogspot.co.id/2012/11/sejarawan-indonesia-kh-moenawar-chalil.html (24-5-2016,  15.07)


[1] Muhammad Abu Zahw, al-H{adith wal al-Muh}addithun (Riyad}: tp, 1984), 5-6.

[2] Thoha Hamim, Paham Keagamaan kaum Reformis: Studi Kasus Pemikiran KH. Moenawar Chalil (Yogyakarta: Tiara WacanaYogya, 2000), 31

[3]Sejarawan Indonesia: KH. Moenawar Chalil, dalam http://lukisansamsul.blogspot.co.id/2012/11/sejarawan-indonesia-kh-moenawar-chalil.html (24-5-2016,  15.07)

[4] Thoha Hamim, Paham Keagamaan, 32.

[5] Ibid.

[6] Ibid, 33.

[7] Zainul Milal Bizawie, Materpiece Islam Nusantara Sanad dan Jejaring Ulama-Santri 1830-1945 (Tangerang: Pustaka Compass, 2016), 422-444.

[8] Thoha Hamim, Paham Keagamaan, 34-35.

[9] Ibid, 40. Lihat juga Sejarawan Indonesia: KH. Moenawar Chalil, dalam http://lukisansamsul.blogspot.co.id/2012/11/sejarawan-indonesia-kh-moenawar-chalil.html (24-5-2016,  15.07)

[10] Thoha Hamim, Paham Keagamaan, 41

[11] Ibid, 35.

[12] Ibid, 53.

[13] Sejarawan Indonesia: KH. Moenawar Chalil, dalam http://lukisansamsul.blogspot.co.id/2012/11/sejarawan-indonesia-kh-moenawar-chalil.html (24-5-2016,  15.07)

[14] Lebih lengkapnya silahkan lihat; KH. Moenawar Chalil, Biografi Empat Serangkai Imam Madzhab (Jakarta: Bulan Bintang, 1955).

[15] QS. Al-Isra’ : 77

Materi Akidah Akhlak Kelas VII Semester Genap BAB II : Iman Kepada Para Malaikat

  Materi Akidah Akhlak Kelas VII Semester Genap BAB II : Iman Kepada Para Malaikat dan Makhluk Ghaib PEMBAHASAN 1.        Malaikat Pengertia...