HOME

13 April, 2022

Perawi Hadis Era Dinasti Umayyah

Masa sahabat kecil dan tabi‘in besar diperkirakan mulainya saat berakhirnya masa khulafa’ rashidin, yakni tahun 40 hijriah. Dimana, kala itu kekuasaan pemerintahan dipegang oleh bani Umayyah.[1]

Pada saat itu, ekspansi yang dilakukan para muslimin sejak masa khulafa’ rashidin berhasil membuat wilayah Islam meluas ke seluruh penjuru. Meliputi Mesir, Syam, Basrah, Kufah, Yaman, Tunisia, di sebelah timur pada masa Muawiyah daerah kekuasaan melebar ke Khurasan hingga ke sungai Oxus dan juga Afghanistan sampai ke Kabul. Lalu kekuasaan melebar lagi di zaman khalifah Abdul Malik hingga ke India. Seluruh Afrika utara mencakup Alexandria, Aljazair, Maroko juga telah berada dibawah kekuasaan muslimin, beserta Spanyol.[2]

Oleh karena itu, sahabat yang sebelumnya hanya di Madinah dan Makkah, akhirnya menyebar ke seluruh penjuru akibat ekspansi Islam. Disamping misi memperluas wilayah, mereka juga menyampaikan ajaran Nabi SAW. Hadis nabawi yang dibawa para sahabat pun ikut tersebar ke seluruh penjuru. Sehingga lebih memudahkan tabi‘in yang ada di berbagai wilayah yang jauh dari Makkah dan Madinah untuk mendapatkan hadis nabi. Tak ayal, zaman tersebut dikenal sebagai masa menyebarnya periwayatan hadis (intishar al- riwayah).[3]

Terdapat markas-markas ilmiah di beberapa daerah, tempat majelis sahabat mengajar dan meriwayatkan hadis, di antaranya seperti:

    1.      Madinah, dari kalangan sahabat: khulafa rashidin, Abu Hurairah, Siti Aisyah, Abdullah bin Umar dan Abu Sa‘id Al-Khudri. Menghasilkan pembesar tabiin seperti Sa‘id bin Musayyab, Urwah bin Zubair dan Ibnu Shihab Al-Zuhri.[4]

    2.      Makkah, dari kalangan sahabat: Muadh bin Jabal, ‘Atab bin Asid, ‘Utbah bin Haris. Dan tabiin: Ikrimah maula Ibnu Abbas, Tawus bin Kaisan, Mujtahid bin Jabar dan ‘Ata’ bin Rabah.[5]

    3.      Kufah, dari kalangan sahabat: Ali bin Abi Thalib, Sa’ad bin Abi Waqas dan Abdullah bin Mas‘ud. Dan tabiin: Al-Rabi‘ bin Qasim, Kamal bin Zaid Al-NakhaI, Sa‘id bin Zubair Al-Asadi.[6]

    4.      Basrah, dari kalangan sahabat: Anas bin Malik, Abdullah bin Abbas dan Abu Sa‘id Al-Ansari. Dan tabiin: Al-Hasan Al-Basri, Muhammad bin Sirrin, Yunus bin Uba‘id.[7]

    5.      Syam, dari kalangan sahabat: Bilal bn Rabah, Ubadah bin Samit, Muadh bin Jabal, Abu Ubaidah Al-Jarrah. Dan tabiin: Salim bin Abdillah Al-Muharibi, Abu Idris Al-Khaulani, Abu Sulaiman Al-Darani.[8]

    6.      Mesir, dari kalangan sahabat: ‘Amru bin ‘As, ‘Uqbah bin Amr, Abdullah bin Al-Haris. Dan tabiin: Amr bin Al-Haris, Khair bin Nu‘aimi Al-Hadrami dan Yazid bin Abi Habib.[9]

    7.      Maghribi dan Andalus, dari kalangan sahabat: Mas‘ud bin Al-Aswad Al-Balwi, Walid bin ‘Uqbah bin Abi Muid, Bilal bin Haris bin ‘Asim Al-Muzani. Dari tabiin: Ziyad bin An‘am Al-Muafil, Abdurrahman bin Ziyad, Muslim bin Yasar.[10]

    8.      Yaman, dari kalangan sahabat: Muadh bin Jabal, Abu Musa Al-Ash‘ary. Dan tabiin: Hammam bin Munabah, Wahab bin Munabah, Tawus dan Ma‘mar bin Rashid.[11]

    9.      Khurasan, dari kalangan sahabat yang meriwayatkan hadis disana terdapat Buraidah bin Hasib Al-Aslamy, Abu Barzah Al-Aslamy, Hakam bin ‘Amru Al-Ghifari.[12]

    10.  Jurjan, ada beberapa sahabat yang pernah meriwayatkan hadis disana seperti Abu Abdullah Al-Husain bin Ali, Hasan bin Ali, Abdullah bin Umar, Hudhaifah bin Yaman, Sa‘id bin ‘As, Suwaid bin Muqarin, Abu Hurairah, dan Abdullah bin Zubair.[13]

    11.  Qazwen, dari kalangan sahabat: Barra’ bin ‘Azib, Sa‘id bin ‘As, Salman Al-Farisi, Abu Hurairah. Dan tabiin: Ibrahim bin Yazid Al-Nakh‘i, Shamr bin ‘Atiyyah bin Abdurrahman, Talihah bin Khuwailid Al-Asadi.[14]

 

BACA ARTIKEL LAINNYA YANG BERKAITAN :


A.          METODE PERIWAYATAN HADIS

Sejak awal, para sahabat sangatlah berhati-hati dalam meriwayatkan apapun yang dinisbahkan kepada nabi Muhammad SAW. Mereka tidak akan menyampaikan hadis yang ia miliki kecuali setelah ia yakin dan telah memastikan kebenaran huruf dalam lafal matannya dan memahami betul isi dan maknanya.[15]

Bahkan ada diantara mereka yang tidak mau meriwayatkan apapun dari Rasulullah SAW, sebab takut bila mengurangi atau menambahi porsi yang ada. Diceritakan dalam sebuah riwayat dari Al-‘Ala’ bin Sa‘ad bin Mas‘ud, ia berkata: “Dikatakan kepada salah seorang dari sahabat Rasulullah SAW. Mengapa anda tidak meriwayatkan hadis seperti Fulan dan Fulan? Ia menjawab: saya mendengarkan hadis sebagaimana mereka mendengarnya, saya pula menghadiri majlis Nabi SAW. sebagaimana mereka menghadirinya. Akan tetapi ia belum mempelajari apa yang akan terjadi nanti, dan orang-orang berpegang padanya. Maka saya temukan kiranya saya tidak meriwayatkan, dengan mereka pun telah cukup. Dan saya tidak suka melakukan pengurangan atau penambahan terhadap hadis Rasulullah SAW”.[16]

Lalu bagaimana metode mereka meriwayatkan hadis? Apakah mereka meriwayatkan sesuai dengan lafal aslinya (lafziyah) atau meriwayatkan hadis dengan lafal mereka sendiri tapi tidak mengubah makna yang terkandung dalam hadis tersebut (secara maknawi)? Ajjaj Al-Khatib menuturkan dalam Sunnah Qabla Tadwin, mayoritas para sahabat menekuni periwayatan sesuai lafal Nabi SAW. Disisi lain memang ada beberapa sahabat yang melonggarkan dirinya untuk meriwayatkan secara maknawi saat berada dalam suatu kondisi yang mendesak. Apa yang ditempuh sahabat dalam metode periwayatan di atas, nampaknya diikuti oleh para tabiin sesudahnya.[17]

Namun, tanpa diragukan sesungguhnya seluruh sahabat pastinya menghendaki periwayatan lafziyah, sebagaimana yang Nabi SAW. ucapkan. Bahkan sebagian dari mereka tidak ridho, tidak mau mengubah satu huruf dengan huruf yang lain ataupun mengubah tatanan kalimatnya, dengan mendahulukan satu kalimat dan mengakhirkan kalimat yang lain. Diriwayatkan dari Umar RA, ia berkata “siapa yang mendengar hadis lalu meriwayatkan hadis tersebut sebagaimana yang ia dengar, maka ia telah selamat”. Diriwayatkan pula dari Abdullah bin Umar dan Zaid bin Arqam riwayat yang serupa.[18]

Sahabat yang terkenal sangat keras menekuni periwayatan lafziyah sesuai dengan apa yang diucapkan Nabi SAW. adalah Abdullah bin Umar. Diceritakan dari Muhammad bin Sauqah, ia berkata: aku mendengar Abu Ja‘far berkata: jika Abdullah bin Umar mendengar sesuatu dari Nabiyullah SAW, atau menyaksikan suatu peristiwa bersamanya, tidak melewatkan atau memendekkan apapun.[19]

Adapula sebagian dari sahabat yang sangat keras kala menjaga lafal dalam naskah hadis. Mereka melarang menambahi satu huruf atau menghilangkannya, meskipun bila hal tersebut dilakukan tidak akan mengubah makna dan isi dari hadis itu sendiri.

Periwayatan maknawi juga dilakukan oleh sahabat, akan tetapi periwayatan ini tidak dapat dilakukan oleh sembarang orang. Terdapat ada ketentuan dan syaratnya. Kondisi ini diperbolehkan ketika sahabat sedang berada dalam situasi yang sangat mendesak. Contohnya, ketika kejadian perawi lupa dengan lafal tertentu dalam hadis yang ingin disampaikan, namun ia berada dalam kondisi yang sangat membutuhkan pengetahuan hadis tersebut. Maka, ia diperbolehkan meriwayatkan secara maknawi dalam kondisi terdesak seperti di atas.[20]

Terdapat riwayat-riwayat yang memperbolehkan periwayatan hadis maknawi dari beberapa sahabat seperti Abdullah bin Mas‘ud, Abu Darda’, Anas bin Malik, Siti Aisyah dan ‘Amru bin Dinar.[21]

 

B.           KONDISI SOSIAL POLITIK PADA MASA SAHABAT KECIL DAN TABI‘IN BESAR

Berangkat dari peristiwa tahkim (arbitrase) -sebagai tanda berakhirnya khulafa’ rashidin dengan digulingkannya Ali bin Abi Thalib dari jabatan khalifah oleh kubu Muawiyah- periode sahabat kecil dan tabiin besar dimulai. Bila disebut, periode ini dimulai dari tahun 40 hijriah hingga akhir abad ke 1. Maka masa ini dimulai sejak arbitrase hingga pemerintahan Umar bin Abdul Aziz (99 H-102H).[22]

Pada zaman tersebut, kondisi sosial politik umat Islam sangatlah rumit. Telah terjadi perpecahan diantara umat, akibat tipu daya kubu Muawiyah dalam arbitrase. Meskipun sebenarnya, bibit-bibit perpecahan ini telah tercium sejak pemerintahan separuh terakhir dari Ustman bin Affan. Dimana ia mengganti para pejabat pemerintah dengan orang-orang yang notabene adalah keluarga besarnya sendiri. Sehingga tak elak, menimbulkan perselisihan antar umat Islam kala itu. Hanya saja, puncaknya ketika golongan pengikut Ali keluar dalam barisan pasca arbitrase. Dan mengikrarkan diri sebagai kelompok khawarij. Yang awalnya memihak Ali, namun kemudian keluar dari barisan, tetapi juga tidak memihak pada Muawiyah.[23]

Semenjak itu ada kelompok khawarij, kubu syiah pengikut Ali, kubu Muawiyah dan sebagian masyarakat yang tidak mau ikut-ikutan dan masuk dalam medan politik tersebut, mereka ini ada yang berada dalam kubu Muawiyah dan ada yang berada dalam kubu Ali. Golongan yang terakhir ini banyak diisi oleh para ulama kala itu. [24]

Muhammad Muhammad Abu Zahwu menyatakan, pada waktu itu yang terjadi adalah fitnah bagi muslimin. Dan kaum khawarij menjadi golongan yang berbahaya bagi prajurit Ali maupun Muawiyah. Karena, khawarij menganggap barangsiapa yang tidak menentukan hukum sesuai dengan apa yang diturunkan Allah maka mereka termasuk golongan kafir. Dan hasil arbitrase dalam kacamata mereka bukanlah keputusan yang sesuai dengan hukum Allah. Dan mereka melimpahkan kesalahan kepada Ali bin Abi Thalib, Muawiyah dan Amru bin ‘As.  Hingga akhirnya mereka berniat membunuh ketiga orang ini, namun hanya pembunuhan Ali lah yang berhasil. Abdurrahman bin Muljam yang menikamnya.[25]

Khawarij sendiri adalah orang badui Arab. Sebagaimana diketahui orang badui Arab sangatlah literlek dalam memahami nas Quran ataupun hadis. Dan sangat disayangkan bahwa mereka tidak mempercayai dan mengakui riwayat hadis dari jumhur muslimin. Mereka hanya mengakui hadis yang diriwayatkan oleh imam yang notabene dari kalangan mereka sendiri.[26]

Mereka mempunyai paham orang yang berdusta adalah kafir. Karena pelaku dosa besar adalah kafir. Dan berbohong dalam perspektif mereka termasuk dosa besar. Namun, disamping paham yang mereka anut, tak mengelakkan bahwa mereka juga melakukan dusta dengan memalsukan hadis nabi. Gunanya, tentu untuk memperkuat otoritas paham batil mereka. Salah satunya adalah hadis yang berbunyi “jika datang kepadamu sebuah hadis dariku maka bandingkanlah dengan Al-Quran. Apabila sesuai dengan kitab Allah maka memang aku yang mengatakannya…”[27]

Kemudian, beralih ke Syiah. Kelompok ini menghendaki Ali sebagai khalifah pasca wafatnya nabi. Mereka berpendapat bahwa khilafah adalah warisan. Karena warisan, maka Ali lah yang lebih berhak. Disamping karena warisan, dari sisi kedekatan dan keutamaan, Ali lebih unggul dibanding sahabat lainnya. Dari ikatan darah ialah yang terdekat, dan ia termasuk orang yang pertama masuk Islam, ikut dalam perang Badar dan perang-perang lainnya. Dan ia adalah suami buah hati Nabi SAW., Fatimah Al-Zahra. Hanya saja ketika jabatan itu diamanahkan kepada Abu Bakar, mereka tidak memberontak demi menjaga persatuan umat Islam. Begitu juga ketika Umar menjabat dan Ustman.[28]

Pergerakan mereka semakin menjadi-jadi dan berkembang pesat pasca arbitrase. Yang awalnya hanyalah gerakan politik, ia terus berkembang menjadi sebuah ideologi. Mereka menganggap bahwa Ali tidak mati. Ia akan kembali lagi suatu hari nanti dan memerintah dengan sangat adil, juga ada yang beranggapan bahwa Ali adalah nabi. Jibril keliru ketika menurunkan risalah kepada Muhammad, karena sebetulnya itu untuk Ali. Bahkan ada yang menganggapnya sebagai Tuhan.[29]

Ketiga kelompok tersebut, Bani Umayyah, Syiah dan Khawarij kesemuanya berusaha untuk menguasai khilafah. Tidak sedikit pertumpahan darah yang terjadi hanya karena kekuasaan. Masing-masing satu sama lain saling menguatkan otoritasnya dengan memalsukan hadis nabawi.

 

C.           IMPLIKASI KONDISI SOSIAL POLITIK TERHADAP HADIS

Setiap kelompok berusaha membenarkan mazhabnya, memperkuat otoritasnya melalui berbagai cara. Memalsukan hadis salah satunya. Syiah memalsukan hadis-hadis yang berkaitan tentang sifat Ali bin Abi Thalib. Mereka meninggikan derajat Ali bin Abi Thalib dari yang seharusnya. Diantara hadis palsunya “barangsiapa yang meninggal dan di dalam hatinya ada rasa benci pada Ali bin Abi Thalib maka ia mati Yahudi dan Nasrani”. “ sesungguhnya setiap nabi mempunyai wasiat dan warisan, dan aku mewasiatkan dan mewariskannya kepada Ali bin Abi Thalib”.[30] Itupula yang dilakukan oleh golongan lainnya. Meskipun dari segi kuantitas, khawarij dipandang paling sedikit memalsukan hadis.

Sehingga pada masa ini tidak bisa dielakkan, ia membawa pengaruh negatif pada sejarah perkembangan hadis. Pergolakan politik yang terjadi secara langsung maupun tak langsung mampu mempengaruhi perkembangan ilmu hadis.[31] Karena banyaknya pemalsuan, sejak perang Shiffin Ibnu Sirrin mengatakan orang-orang mulai menyebutkan sanad ketika meriwayatkan hadis. Kiranya ada pengaruh positif dalam masa ini.

Selain itu, masa inilah yang memberikan kontribusi ide atas kodifikasi hadis. Dimana Umar bin Abdul Aziz memandang hadis palsu yang sudah merajalela di khalayak menjadi suatu kondisi yang mendesak dan membutuhkan suatu kegiatan yaitu pembukuan hadis, untuk mengumpulkan hadis-hadis asli, sahih ditengah-tengah wabah hadis palsu, dan menyelamatkannya dari kemusnahan.[32] 


BACA ARTIKEL LAINNYA YANG BERKAITAN:

DAFTAR PUSTAKA

Asqolani (Al), Ibnu Hajar. Sharh Nukhbah Nuzhah Al-Nadr fi Taudihi Nukhbat Al-Fikr. Ed. Nuruddin ‘Itr. Kairo: Dar Al-Basa’ir. 2011.

Azra, Azyumardi, “Tabiin”, Ensiklopedi Islam, Vol. 7, Jakarta: Ichtiar Baru Van Hoeve, t.th.

Bukhari (Al), Al-Jami‘ Al-Sahih Al-Mukhtasar, Beirut: Dar Ibn Kathir, 1407 H.

Chair, Abd, “Dinasti Bani Umayyah”, Ensiklopedi Tematis Dunia Islam, Vol. 2, ed. Taufik  Abdullah, et al., Jakarta: Ichtiar Baru Van Hoeve, t.th.

Idri, Studi Hadis, Jakarta: Kencana, 2013.

Ismail, M. Syuhudi, Pengantar Ilmu Hadis, Bandung: Angkasa, 1991.

Kathir, Ibnu, Al-Ba’ith Al-Hathith Sharh Ikhtisar Ulumi Al-Hadith, tq. Ali bin Hasan bin Ali bin Abdul Hamid Al-Athary, Riyadh: Maktabah Al-Ma‘arif, 1996.

Khatib (Al), Muhammad Ajjaj, Usul Al-Hadith Ulumuhu wa Mustalahuhu, Lebanon: Dar Al-   Fikr, 1989.

______, Al-Sunnah Qabla Al-Tadwin, Lebanon: Dar Al-Fikr, 2008.

Khidir (Al), ‘Adnan ‘Ali, Al-Muwazanah baina Manhaj Al-Hanafiyah wa Manhaj Al-  Muhaddisin fi Qabuli Al-’Ahadith wa Raddiha, Syiria: Dar Al-Nawadir, 2010.

Manzur, Ibnu, Lisan Al-‘Arab, Vol. 2, tq. Abdullah Ali Al-Kabir, Kairo: Dar Al-Ma‘arif, t.th.

Muslim, Al-Sahih, tq. Muhammad Fuad Abdul Baqy, Beirut: Dar Ihya’ Al-Turath Al-‘Araby,   t.th.

Shuhbah, Muhammad Muhammad Abu, Fi Rihabi Al-Sunnah Al-Kutub Al-Sihhah Al-Sittah, Kairo: Majma‘ Al-Buhuth Al-Islamiyah, 1969.

______, Al-Wasit fi Ulumi wa Mustalah Al-Hadith, Kairo: Maktabah Sunnah, 2006.

Suparta, Munzier, Ilmu Hadis, Jakarta: Rajawali Press, 2013.

‘Uwais, ‘Abdul Halim, Al-Hadarah Al-Islamiyah Ibda‘ Al-Mady wa  `Afaq Al-Mustaqbal, Kairo: Maktabah `Usrah, 2012.

Yatim, Badri, Sejarah Peradaban Islam Dirasah Islamiyah II, Jakarta: Rajawali Press, 2013.

Zabidy (Al), Muhammad Murtada Al-Husaini, Taj Al-‘Urush min Jawahir Al-Qamus, Vol. 5, tq.    Abdu Al-Satar Ahmad Faraj, Kuwait: Wizarat Al-’Irshad wa Al-’Anba’, 1965.

Zahwu, Muhammad Muhammad Abu, Al-Hadis wa Al-Muhadisun, Lebanon: Dar Al-Fikr,    t.th.

Zuhri, Muh., Tela’ah Matan Hadis Sebuah Tawaran Metodologis, Yogyakarta: Lesfi, 2003.

Http:// anasafrida.blogspot.co.id/2012/01/materi-ulumul-hadist.html?m=1


[1] Abd Chair, “Dinasti Bani Umayyah”, Ensiklopedi Tematis Dunia Islam, Vol. 2, ed. Taufik Abdullah, et al. (Jakarta: Ichtiar Baru Van Hoeve, t.th), 65.

[2]Badri Yatim, Sejarah Peradaban Islam Dirasah Islamiyah II (Jakarta: Rajawali Press, 2013), 43.

[3] Munzier Suparta, Ilmu Hadis, (Jakarta: Rajawali Press, 2013), 85.

[4] Ibid., 86. Lihat juga Endang Soetari, Ilmu Hadis (Bandung: Amal Bakti Press, 1997), 48.

[5] Ibid., 48. Suparta, Ilmu Hadis, 86.

[6] Endang Soetari, Ilmu Hadis, 48-49. Lihat Suparta, Ilmu Hadis, 86.

[7] Endang Soetari, Ilmu Hadis, 48-49. Lihat Suparta, Ilmu Hadis, 86.

[8] Ibid., 87.

[9] Ibid., 87.

[10] Ibid., 87.

[11] Ibid., 87.

[12] Ajjaj Al-Khatib, Usul Al-Hadith, 125-126.

[13] Ajjaj Al-Khatib, Usul Al-Hadith, 125-126.

[14] Ajjaj Al-Khatib, Usul Al-Hadith, 125-126.

[15] Muhammad Ajjaj Al-Khatib, Al-Sunnah Qabla Al-Tadwin, (Lebanon: Dar Al-Fikr, 2008),85-87.

[16] Ibid., 85-87.

[17] Ibid., 85-87.

[18] Ibid., 85-87.

[19]Ibid., 85-87.

[20]Ibid., 89.

[21]Ibid., 89.

[22] Abd Chair, Dinasti Bani Umayyah, 65.

[23] Muhammad Muhammad Abu Zahwu, Al-Hadis wa Al-Muhadisun, (Lebanon: Dar Al-Fikr, t.th), 82.

[24] Ibid., 82.

[25] Ibid., 83.

[26] Ibid., 84.

[27] Ibid., 87.

[28] Ibid., 88.

[29] Ibid., 90.

[30] Ibid., 93.

[31] Suparta, Ilmu Hadis, 88.

[32] Suparta, Ilmu Hadis, 88. 

Tabi'in

 

Secara etimologi, ia berasal dari kata tabi‘ahu, yang berarti berjalan dibelakangnya.[1] Secara terminology, tabiin menurut para muhadisin tidak jauh berbeda dengan pengertian sahabat. Tabiin adalah seseorang yang bertemu sahabat dalam keadaan muslim dan mati dalam keadaan Islam. Disamping itu, ada yang mengatakan, ia adalah seseorang yang menemani sahabat bukan sekedar berjumpa saja, seperti yang paparkan Al-Khatib Al-Baghdadi.[2]

Menurut Al-Hakim yang disebut tabiin adalah orang yang bertemu sahabat dan meriwayatkan hadis darinya meskipun belum menemaninya. Sedangkan Ibnu Kathir berpendapat, tidaklah cukup hanya dengan bertemu, sebagaimana sahabat didapatkan hanya dengan bertemu Rasulullah SAW. karena nilai kemuliaan pertemuan dengan Nabi SAW sangatlah tinggi. Berbeda dengan bertemu sahabat.[3]

Tabiin besar adalah tabiin yang memiliki riwayat paling banyak dari para sahabat.[4] Ulama sepakat dalam mengakategorikan tabiin, tingkatan pertama -dalam kata lain adalah tabiin besar menurut penulis- ialah tabiin yang pernah bertemu dan bersahabat dengan sepuluh sahabat yang dijanjikan surga (Abu Bakar Al-Siddiq, Umar bin Khattab, Usman bin Affan, Ali bin Abi Thalib, Sa‘ad bin Abi Waqas, Said bin Zaid bin Amr bin Nufail, Talhah bin Ubaidillah, Zubair bin Awwam, Abdurrahman bin Auf dan Abu Ubaidah bin Jarrah). Sedangkan tingkatan terakhir atau tabiin kecil adalah tabiin yang sempat berjumpa atau melihat sahabat yang paling akhir meninggal.[5]

Al-Hakim mengklasifikasikan tabiin menjadi 15 tingkatan. Tingkatan yang paling atas adalah mereka yang meriwayatkan hadis dari ashrah mubasshirin bi al-jannah. Seperti Sa‘id bin Musayyab dan Qais bin Abi Hazim. Oleh sebagian ulama Sa‘id bin Musayyab dinilai tabiin yang paling utama, sementara masyarakat di Basrah lebih mengunggulkan Al-Hasan Al-Basri.[6] Kemudian, sebutan tabiin besar kiranya dimulai setelah tahun 40 hijriah sampai akhir abad ke 1. Dan masa tersebut adalah masa dimana bani Umayyah berkuasa atas pemerintahan. Maka sesiapa dari kalangan tabiin yang hidup pada masa tersebut bisa dikatakan bahwa ia adalah tabiin besar. 


BACA ARTIKEL LAINNYA YANG BERKAITAN:


[1] Anasafrida, Tentang Periwayatan Hadis,  http://anasafrida.blogspot.co.id/2012/01/materi-ulumul-hadist.html?m=1,(2 November 2015)., 408

[2] Ibnu Kathir, Al-Ba’ith Al-Hathith Sharh Ikhtisar Ulumi Al-Hadith, tq. Ali bin Hasan bin Ali bin Abdul Hamid Al-Athary, (Riyadh: Maktabah Al-Ma‘arif, 1996), 520. Bandingkan dengan Azyumardi Azra, “Tabiin”, Ensiklopedi Islam, Vol. 7, (Jakarta: Ichtiar Baru Van Hoeve, t.th), 4.

[3] Ibid., 520.

[4] ‘Uthaimin menjelaskan tabiin terdiri atas 3 kategori, tabiin besar, tabiin kecil dan tabiin wusta. kategori tersebut dilihat dari segi periwayatan dan masa kedekatannya dengan para sahabat. Lihat lebih lanjut Muhammad Salih ‘Uthaimin, Mustalah Hadith, (Saudi Arabia: Dar Ibnu Al-Jauzi, 1424 H), 58.

[5] Azra, Tabiin, 4. Azra, Azyumardi, “Tabiin”, Ensiklopedi Islam, Vol. 7, Jakarta: Ichtiar Baru Van Hoeve, t.th.

[6] Ibid., 520.

Sahabat

Secara bahasa, sahabat berasal dari kata suhbah, yang berarti bergaul, bertemu (melihat) dan berkumpul dalam jangka waktu yang lama ataupun pendek.[1] Adapun makna lain menyatakan suhbah berarti bertemu dan berkumpul bersama dalam majelis. Makna inilah yang diambil para ulama usul sebagai pondasi dari definisi sahabat. Sehingga bagi mereka, sahabat adalah seseorang yang memenuhi kriteria sebagai berikut; pertama, yang telah lama menemani nabi. Dan kedua, ia sering berkumpul dengan Nabi SAW. atau menghadiri majelisnya.[2]

Secara terminologi, Sahabat adalah seorang yang bertemu Nabi SAW, dalam keadaan beriman kepadanya dan ia mati dalam keadaan Islam (meninggal sebagai muslim).[3] Itulah yang dituturkan Ibnu Hajar dalam kitabnya Sharh Nukhbah. Sementara itu, ada sebagian muhadisin yang mengartikan sahabat adalah seorang muslim yang melihat Nabi SAW. Bukhari juga mengatakan hal yang serupa di dalam karya fenomenalnya. “Barang siapa yang menemani Nabi SAW atau melihatnya dan ia dari kaum muslimin, maka ia termasuk para sahabatnya”.[4]

Disamping itu terdapat riwayat yang dinukil dari Said bin Musayyab. Said bin Musayyab berpendapat bahwa seseorang tidak bisa dikategorikan sebagai sahabat kecuali ia telah bermukim bersama Nabi SAW. selama setahun atau dua tahun dan berperang bersama beliau sekali atau dua kali. Perspektif Said bin Musayyab nampaknya mirip dengan pendapat para ulama usul. Karena keduanya mensyaratkan masa tenggang waktu yang tidak sebentar untuk mendapatkan posisi sahabat.[5]

Dan kiranya definisi Ibnu Hajar ini lebih tepat dibandingkan dengan apa yang didefinisikan ulama lainnya. Mengingat istilah rukyah (melihat) yang ditawarkan Bukhari dan sebagian muhadisin yang lain, membuat Ibnu Ummi Maktum[6] tidak termasuk sebagai sahabat melalui definisi ini, disebabkan beliau buta.[7] Sedangkan, jumhur sepakat bahwa beliau termasuk sahabat Nabi. Dan pertemuan atau liqa‘, istilah yang dipakai Ibnu Hajar rasanya tepat menjadi solusi dalam hal ini. Kemudian sahabat haruslah seseorang yang meninggal dalam keadaan muslim, meskipun ia pernah murtad sebelum ajalnya.

Kategori sahabat kecil terhitung setelah tahun ke 40 hijriah, yakni setelah masa khulafa’ rashidin berakhir. Al-Hakim membagi tabaqah sahabat menjadi 12 tingkatan.[8] Pertama, golongan yang telah masuk Islam di Makkah dahulu. Kedua, sahabat yang telah masuk Islam sebelum adanya musyawarah penduduk Makkah di Dar Al- Nadwah. Ketiga, muhajirin Habasyah. Keempat, golongan ‘Aqbah pertama. Kelima, golongan ‘Aqbah kedua. Ketujuh, Ahlu Badar. Kedelapan, yang berhijrah diantara Badar dan Hudaibiyah. Kesembilan, ahlu bai‘ah ridwan di Hudaibiyah. Kesepuluh, yang berhijrah antara Hudaibiyah dan Makkah. Kesebelas, yang masuk Islam ketika fathu Makkah. Tingkatan terakhir adalah anak-anak kecil dan bayi yang lahir dan melihat Rasulullah ketika fathu Makkah dan haji wada‘.[9] Maka pastinya bisa dikatakan golongan yang ke delapan termasuk dalam kategori sahabat kecil. Seperti Abdullah bin Abbas.

Dengan demikian, yang dimaksud dengan sahabat kecil ialah sahabat yang jarang bergaul dengan nabi disebabkan tempat tinggalnya yang jauh atau disebabkan keislamannya yang terhitung terakhir.[10]


BACA ARTIKEL LAINNYA YANG BERKAITAN:


[1] Muhammad bin Muhammad Abu Shuhbah, Al-Wasit fi Ulumi wa Mustalah Al-Hadith, (Kairo: Maktabah Sunnah, 2006), 504.

[2] Ibid., 509.

[3] Al-Asqalani, Sharh Nukhbah, 41.

[4] Abu Shuhbah, Al-Wasit fi Ulumi, 506.

[5] Abu Shuhbah, Al-Wasit fi Ulumi, 506.

[6] Bernama lengkap Abdullah bin Qais bin Zaidah, ada yang mengatakan ‘Amru bin Qais bin Zaidah. Masuk Islam pada masa awal. Ia pernah mengimami sholat jamaah ketika nabi bepergian. 

[7] Al-Asqalani, Sharh Nukhbah, 41.

[8] Muhammad Ajjaj Al-Khatib, Usul Al-Hadith Ulumuhu wa Mustalahuhu, (Lebanon: Dar Al-Fikr, 1989), 390.

[9] Ibid., 390.

[10]Anasafrida, Tentang Periwayatan Hadis,  http://anasafrida.blogspot.co.id/2012/01/materi-ulumul-hadist.html?m=1,(2 November 2015).

Materi Akidah Akhlak Kelas VII Semester Genap BAB II : Iman Kepada Para Malaikat

  Materi Akidah Akhlak Kelas VII Semester Genap BAB II : Iman Kepada Para Malaikat dan Makhluk Ghaib PEMBAHASAN 1.        Malaikat Pengertia...