HOME

02 April, 2022

HADIS BERTENTANGAN DENGAN AKAL

 

BAB I

PENDAHULUAN

    A.     Latar Belakang

Hadis diyakini oleh sebagian besar umat Islam sebagai sumber kedua ajaran agama Islam setelah Alquran. Keyakinan ini mengharuskan umat Islam menjadikan hadis sebagai pedoman hidup, karena ia juga merupakan tuntunan Allah.

Termasuk hal yang menunjukkan kebatilan sebagian hadis yang diriwayatkan dari Nabi SAW. adalah keberadaan hadis itu bertentangan dengan akal, indera atau sejarah. Ini adalah perkara yang tidak mudah diperselisihkan, karena sang Pembawa risalah Ilahiyah yang merupakan utusan Tuhan sekalian alam, tidak keluar darinya sesuatu yang bertentangan dengan hukum akal sehat, atau kenyataan yang diraba, atau sejarah yang benar.

    B.     Rumusan Masalah

1.      Apa definisi Mukhtalif al-Hadith?

2.      Bagaimana maksud Hadis bertentangan dengan akal?

3.      Bagaimana contoh Hadis bertentangan dengan akal?

 

BAB II

PEMBAHASAN

    A.    Definisi Mukhtalif al-Hadith

Menurut Ajjaj al-Khathib, bahwa Ilmu Mukhtalif al-Hadith ialah:                                

الْعِلْمُ الَّذِيْ يَبْحَثُ فِى اْلأَحَادِيْثِ الَّتِيْ ظَاهِرُهَا مُتَعَارِضٌ فَيُزِيْلُ تَعَارُضَهَا أَوْ يُوَفِّقُ بَيْنَهَا كَمَا يَبْحَثُ فِى اْلأَحَادِيْثِ الَّتِيْ يَشْكُلُ فَهْمُهَا أَوْ تَصَوُّرُهَا فَيَدْفَعُ أَشْكَالَهَا وَيُوَضِّحُ حَقِيْقَتَهَا 

Ilmu yang membahas hadis-hadis, yang menurut lahirnya saling bertentangan atau berlawanan, kemudian pertentangan tersebut dihilangkan atau dikompromikan antara keduanya, sebagaimana yang membahas hadis-hadis yang sulit dipahami kandungannya, dengan menghilangkan kesulitannya serta menjelaskan hakikatnya.[1]

Dari pengertian ini dapat dipahami, bahwa dengan menguasai ilmu mukhtalif al-hadith, hadis-hadis yang tampaknya bertentangan akan diatasi dengan menghilangkan pertentangan dimaksud. Begitu juga ke-mushkil-an yang terlihat dalam suatu hadis, akan segera dapat dihilangkan dan ditemukan hakikat dari kandungan hadis tersebut.

Definisi yang lain menyebutkan sebagai berikut:

علم يبحث عن الاحاديث التي ظاهرها التناقض من حيث امكان الجمع بينها اما بتقييد مطلقها اوبتخصيص عامها عامها اوحملها على تعدد الحادثة اوغيرذلك

Ilmu yang membahas hadis-hadis yang menurut lahirnya saling bertentangan, karena adanya kemungkinan dapat dikompromikan, baik dengan cara men-taqyid kemutlakannya, atau men-takhsis keumumannya, atau dengan cara membawanya kepada beberapa kejadian yang relevan dengan hadis tersebut, dan lain-lain.[2]

Sebagian ulama menyamakan istilah ilmu mukhtalif al-hadith dengan ilmu mushkil al-hadith, ilmu ta’wil al-hadith, ilmu talfiq al-hadith, dan ilmu ikhtilaf al-hadith. Akan tetapi yang dimaksudkan oleh istilah-istilah di atas, artinya sama.[3]

Sasaran ilmu ini mengarah pada hadis-hadis yang saling berlawanan untuk dikompromikan kandungannya dengan jalan membatasi (taqyid) kemutlakannya dan seterusnya. Disebutkan bahwa Imam al-Shafi’i (w. 204 H.) adalah ulama yang memelopori munculnya disiplin ilmu mukhtalif al-hadith.

Hal ini terlihat dalam karya besarnya “al-Umm”, meskipun beliau tidak secara khusus mengarang kitab mukhtalif al-hadith, tetapi di dalam kitab al-Umm beliau mencantumkan pembahasan khusus tentang mukhtalif al-hadith.

Jadi, ilmu ini berusaha untuk mempertemukan (talfiq al-hadith) dua atau lebih hadits yang bertentangan maknanya. Sedangkan cara-cara mengkompromikan hadis tersebut adakalanya dengan men-taqyid kemutlakan hadis, men-takhish keumumannya, atau adakalanya dengan memilih sanad yang lebih kuat atau yang lebih banyak datangnya. Ilmu ini sangat dibutuhkan oleh ulama hadis, ulama fiqh, dan lain-lain.

 

    B.     Kontradiksi hadis dengan akal

Jika kita ketahui kalau hadis-hadis Nabawi itu tidak bertentangan dengan hukum akal sehat, maka harus kita ketahui kalau akal manusia itu berbeda-beda, selanjutnya berbeda-beda pula menerima atau menolak sebagian hadis. Maksud dengan akal disini adalah akal yang tercerahkan dengan Alquran dan Hadis yang sahih, bukan hanya akal semata, karena sesungguhnya akal saja tidak bisa menghukumi baik dan buruk.[4]

Disini terdapat ruang yang luas untuk berijtihad bagi para ulama’, mungkin sebagian ulama’ menghukumi sahih suatu hadis dengan ulama’ yang lain menolaknya bertentangan dengan akal. Masing-masing ulama itu menghukumi sesuai dengan pendapatnya. Tidak ragu, pertentangan antara hadis yang sahih dengan akal yang sehat itu tidak mungkin, maka seyogyanya ada klarifikasi dalam syarat-syarat sahnya suatu hadis disisi periwayatan.[5]

Dan disisi akal, tidak gegabah dalam menolak hadis-hadis hanya karena ada shubhat ringan, dan tidak mudah menerima hadis yang tidak sahih kecuali dengan ta’wil yang mengada-ngada.

 

    C.    Contoh hadis bertentangan dengan akal

    1.       Hadis tentang Nabi Musa menampar Malaikat

Hadis yang menginformasikan Nabi Musa AS. menampar malaikat, meskipun terdapat sedikit variasi matan, dapat dijumpai dalam beberapa kitab hadis antara lain dalam kitab yang disusun oleh Imam al-Bukhari[6], Imam Muslim[7], dan lain-lain. Salah satu redaksi sanad dan matannnya dapat dilihat dalam kitab Shahih Muslim sebagai berikut[8]:

صحيح مسلم - (ج 7 / ص 100)

6298 - حَدَّثَنَا مُحَمَّدُ بْنُ رَافِعٍ حَدَّثَنَا عَبْدُ الرَّزَّاقِ حَدَّثَنَا مَعْمَرٌ عَنْ هَمَّامِ بْنِ مُنَبِّهٍ قَالَ هَذَا مَا حَدَّثَنَا أَبُو هُرَيْرَةَ عَنْ رَسُولِ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم-. فَذَكَرَ أَحَادِيثَ مِنْهَا وَقَالَ رَسُولُ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- « جَاءَ مَلَكُ الْمَوْتِ إِلَى مُوسَى عَلَيْهِ السَّلاَمُ فَقَالَ لَهُ أَجِبْ رَبَّكَ - قَالَ - فَلَطَمَ مُوسَى عَلَيْهِ السَّلاَمُ عَيْنَ مَلَكِ الْمَوْتِ فَفَقَأَهَا - قَالَ - فَرَجَعَ الْمَلَكُ إِلَى اللَّهِ تَعَالَى فَقَالَ إِنَّكَ أَرْسَلْتَنِى إِلَى عَبْدٍ لَكَ لاَ يُرِيدُ الْمَوْتَ وَقَدْ فَقَأَ عَيْنِى - قَالَ - فَرَدَّ اللَّهُ إِلَيْهِ عَيْنَهُ وَقَالَ ارْجِعْ إِلَى عَبْدِى فَقُلِ الْحَيَاةَ تُرِيدُ فَإِنْ كُنْتَ تُرِيدُ الْحَيَاةَ فَضَعْ يَدَكَ عَلَى مَتْنِ ثَوْرٍ فَمَا تَوَارَتْ يَدُكَ مِنْ شَعْرَةٍ فَإِنَّكَ تَعِيشُ بِهَا سَنَةً قَالَ ثُمَّ مَهْ قَالَ ثُمَّ تَمُوتُ. قَالَ فَالآنَ مِنْ قَرِيبٍ رَبِّ أَمِتْنِى مِنَ الأَرْضِ الْمُقَدَّسَةِ رَمْيَةً بِحَجَرٍ. قَالَ رَسُولُ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- « وَاللَّهِ لَوْ أَنِّى عِنْدَهُ لأَرَيْتُكُمْ قَبْرَهُ إِلَى جَانِبِ الطَّرِيقِ عِنْدَ الْكَثِيبِ الأَحْمَرِ ».رواه مسلم.

“Muhammad bin Rafi’ menceritakan kepada kami (berkata) ‘Abd al-Razzaq menceritakan kepada kami, (berkata) Ma’mar meneritakan kepada kami (yang ia peroleh) dari Hammám bin Munabbih (yang berkata bahwa) : “ini (adalah berita) yang diceritakan Abu Hurairah kepada kami (yang ia dapat) dari Rasulullah saw (bahwa beliau) bersabda : “Malaikat maut datang kepada Musa AS. seraya berkata :”Jawablah (panggilan) Tuhanmu”. Kemudian Musa AS. menampar Malaikat maut itu dan menyebabkan bola matanya keluar. Malaikat kembali kepada Allah seraya berkata :”Engkau mengutus saya kepada hamba yang tidak menghendaki kematian, sehingga bola mata saya keluar seperti ini”. Allah mengembalikan matanya dan berfirman kepadanya : “Kembalilah kepada hamba-ku kemudian katakan kepadanya apakah anda ingin tetap hidup. Jika anda ingin tetap hidup, letakkan tanganmu di atas punggung lembu jantan, dari setiap rambut yang ditutupi oleh tanganmu, anda akan hidup satu tahun.”(setelah diterangkan kepada Musa) Musa bertanya :” Setelah itu bagaimana? “Allah berfirman: “setelah itu anda mati.”Musa menjawab: “Jika demikian, (saya ingin mati) sekarang, (seraya meminta kepada Tuhannya) dekatkanlah tanah suci sejauh lemparan batu. ”Kemudian Rasulullah SAW. bersabda: “Jika saya di sana, akan saya tunjukkan kuburnya berdekatan dengan bukit pasir merah.

Dari sisi kritik sanad, Hadis-hadis tentang Musa menampar malaikat ini memiliki sanad Muttasil, sehingga termasuk hadis marfu’ dan berkualitas shahih. Namun dari kritik matan, hadis ini masih diperdebatkan oleh sebagian kecil ulama, karena kandungan isinya bertentangan dengan nalar dan logika manusia. Karenanya, hadis ini dikategorikan sebagai hadis aneh janggal (mushkil). Letak ke-mushkil-annya disebabkan oleh beberapa kejanggalan berikut[9]

a. Jika seseorang menampar orang lain dan berakibat memberikan cacat orang lain, maka perbuatan tersebut termasuk perbuatan fasiq. Bagaimana dengan hal ini jika dilakukan terhadap malaikat? Tentu kefasikan dan kezaliman bertambah lebih besar lagi dari hal tersebut. Apakah mungkin seorang rasul, Musa AS. melakukan perbuatan tersebut?. 

b. Hadis tersebut menyatakan bahwa malaikat maut datang ke Nabi Musa as dengan menampakkan diri secara lahir, kemudian Musa dapat melihatnya. Apakah malaikat maut dapat dilihat oleh orang. 

c. Hadis tersebut menunjukkan bahwa Nabi Musa as tidak mengetahui bahwa dirinya akan meninggal. Bahkan Nabi Musa as ragu akan keabdiannya. Teks yang menunjukkan hal itu adalah pertanyaan Musa AS. : Thumma mah (setelah itu bagaimana)? Yang mengindikasikan bahwa Musa AS. tidak mengetahui akan adanya kematian.

Pertanyaan-pertanyaan inilah yang dijadikan dasar untuk mendeskriditkan hadis tersebut sebagai hadis yang lemah dari segi matan, sebagaimana yang dilakukan oleh sebagian kecil ulama kontemporer, yang menyatakan bahwa hadis ini bertentangan dengan akal dan logika manusia, sehingga hadis ini dari segi makna sulit diterima akal dan tidak dapat dipertanggung jawabkan secara ilmiah.

Ke-mushkil-an hadis tentang Nabi Musa as menampar malaikat maut -karena tidak logis- tidak menjadikan da’if (lemah) dari segi matan, Hal tersebut dapat dijelaskan sebagai berikut :

Pertama, pada awalnya, Nabi Musa AS. tidak mengetahui kalau yang datang tersebut adalah malaikat yang diutus oleh Allah SWT. yang tampak dihadapannya adalah seorang laki-laki datang dan ingin mencederainya. Jika ada orang datang, lalu dia hendak mencelakakan bahkan ingin membunuhnya, maka tentu orang tersebut boleh atau justru wajib membela diri. Peristiwa kedatangan malaikat yang belum diketahui bahwa ia malaikat, pernah terjadi pada Nabi Luth as yang tidak mengetahui ada orang laki-laki datang, kemudian diberitahu oleh orang tersebut bahwa dia adalah malaikat.

Andaikata malaikat tersebut tidak diizinkan untuk mengambil nyawa Nabi Musa as, tetapi Musa as memintanya penundaan kepadanya, lalu ia tidak menjawab, kemudian terjadilah kejadian yang tidak diinginkan, maka boleh jadi Nabi Musa AS. tidak bermaksud membuat matanya keluar. Dalam Alquran dijumpai peristiwa yang hampir sama, yakni Nabi Musa AS. membunuh orang Qibty sebagaimana yang dikisahkan dalam Surat al-Qashash:

وَدَخَلَ الْمَدِينَةَ عَلَى حِينِ غَفْلَةٍ مِنْ أَهْلِهَا فَوَجَدَ فِيهَا رَجُلَيْنِ يَقْتَتِلَانِ هَذَا مِنْ شِيعَتِهِ وَهَذَا مِنْ عَدُوِّهِ فَاسْتَغَاثَهُ الَّذِي مِنْ شِيعَتِهِ عَلَى الَّذِي مِنْ عَدُوِّهِ فَوَكَزَهُ مُوسَى فَقَضَى عَلَيْهِ قَالَ هَذَا مِنْ عَمَلِ الشَّيْطَانِ إِنَّهُ عَدُوٌّ مُضِلٌّ مُبِينٌ (15) قَالَ رَبِّ إِنِّي ظَلَمْتُ نَفْسِي فَاغْفِرْ لِي فَغَفَرَ لَهُ إِنَّهُ هُوَ الْغَفُورُ الرَّحِيمُ (16)

“Dan Musa masuk ke kota (Memphis) ketika penduduknya sedang lengah, maka didapatinya di dalam kota itu dua orang laki-laki yang ber- kelahi; yang seorang dari golongannya (Bani Israil) dan seorang (lagi) dari musuhnya (kaum Fir'aun). Maka orang yang dari golongannya meminta pertolongan kepadanya, untuk mengalahkan orang yang dari musuhnya lalu Musa memukulnya, dan matilah musuhnya itu. Musa berkata: "Ini adalah perbuatan syaitan sesungguhnya syaitan itu adalah musuh yang menyesatkan lagi nyata (permusuhannya).[10]

“Musa mendoa: "Ya Tuhanku, sesungguhnya aku telah menganiaya diriku sendiri karena itu ampunilah aku." Maka Allah mengampuninya, sesungguhnya Allah Dialah Yang Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.[11]

Dalam ayat tersebut, Nabi Musa as menyesal atas kematian orang itu disebabkan pukulannya, karena dia sebenarnya tidak bermaksud untuk membunuhnya, tetapi hanya senata-mata membela kaumnya.

Maksudnya hanyalah ingin membalaskan Bani Israil dari pengikut Fir’aun. Selanjutnya Musa AS. memohon ampun kepada Allah SWT, dan Allah mengabulkan permohonan Musa AS.

Kedua, secara anatomis, malaikat memang tidak memilki kontruksi fisik seperti manusia. Namun dalam beberapa riwayat malaikat dapat berubah wujud dalam bentuk manusia. Bahkan Alquran-pun merefleksikan penjelasan ini, misalnya malaikat Jibril as datang ke Nabi saw di Gua Khira’ saat wahyu pertama turun sebagaimana malaikat datang ke Nabi Ibrahim AS. dan Nabi Lut AS. menyamar sebagai tamu yang berwujud manusia sempurna. Hal ini sudah menjadi pengetahuan umum di kalangan umat Islam yang tidak dapat dipungkiri dan bukan menjadi sesuatu yang mushkil.[12]

Ketiga, kalimat tanya (istifham) yang terdapat dalam hadis Nabi SAW. tidak dapat disimpulkan dengan “ketidaktahuan atau keraguan Nabi Musa AS. akan datangnya kematian”, sehingga bertanya tsumma mah/madza? (kemudian setelah itu bagaimana?). Istifham dalam bahasa Arab memiliki jenis yang beraneka ragam, dan tidak harus dibarengi dengan ketidaktahuan atau keraguan tentang apa yang dinyatakan. Alquran juga menggunakan beberapa jenis istifham tanpa adanya keraguan seperti firman Allah” هَلْ أَتَاكَ حَدِيثُ الْغَاشِيَةِ (sudah datangkah kepadamu berita tentang hari pembalasan?). Ayat ini dapat dipahami bahwa Allah (yang bertanya) sudah mengetahui, bahkan Maha Mengetahui hal-ihwal yang dinyatakan, tetapi Allah menggunakan istifham untuk bertanya kepada Nabi SAW. Hal yang sama juga digunakan oleh Alquran ketika Allah menanyakan kepada Isa AS. (yang dari pola istifham ini tidak berarti Allah tidak mengetahui keadaan) :

وَإِذْ قَالَ اللَّهُ يَا عِيسَى ابْنَ مَرْيَمَ أَأَنْتَ قُلْتَ لِلنَّاسِ اتَّخِذُونِي وَأُمِّيَ إِلَهَيْنِ

Dan (ingatlah) ketika Allah berfirman: "Hai Isa putera Maryam, adakah kamu mengatakan kepada manusia: "Jadikanlah aku dan ibuku dua orang Tuhan selain Allah?.[13]

Dalam hadis Nabi SAW.  juga banyak dijumpai pola istifham tersebut, yang dapat dipahami dari teks dan konteks isi pertanyaan, seperti hadis tentang pertanyaan malaikat kepada Nabi SAW. tentang iman, islam, dan ihsan, padahal maliakat sudah mengetahui jawaban terhadap apa yang dinyatakan. Demikian pula dengan ucapan Nabi Musa AS. yang bertanya “thumma mah yang pada hakikatnya Nabi Musa AS. bukannya tidak mengetahui dan ragu terhadap apa yang dinyatakan.

Dengan demikian dapat diketahui bahwa hadis Nabi saw tentang Nabi Musa as memukul malaikat maut tidak mengandung ke-mushkil-an, dan tidak bertentangan dengan nalar atau logika manusia, serta sesuai dengan ajaran agama Islam. Bahkan hadis ini dicantumkan dalam Sahih al-Bukhari dan Sahih Muslim, yang diakui dan disepakati kedudukannya oleh ulama sebagai asah al-kutub ba’da Alquran. 


BACA ARTIKEL LAINNYA YANG BERKAITAN:


    2.      Hadis tentang Nabi Musa Mandi Telanjang Di Depan Umum

Menurut hukum Islam, hukum mandi dalam keadaan telanjang di tempat menyendiri yang tidak diketahui orang diperbolehkan. Namun, apabila dilakukan di depan umum atau secara kelompok adalah haram. Hal ini banyak disebut dalam beberapa kitab fiqih. Salah satu dasar yang disebut dan dijadikan dalil untuk mengharamkan atau membolehkan mandi dalam keadaan tersebut adalah hadis Nabi Musa AS. Dalam hadis tersebut nabi Musa AS. mandi menyendiri di tempat terbuka, sehingga masih kemungkinan untuk dapat dilihat orang. Hadis tersebut diriwayatkan oleh Imam Bukhari[14], Imam Muslim[15]dan Ahmad bin Hanbal[16]. Salah satu bunyi redaksi hadis tersebut adalah sebagai berikut:

صحيح مسلم - (ج 1 / ص 183)

796 - وَحَدَّثَني مُحَمَّدُ بْنُ رَافِعٍ حَدَّثَنَا عَبْدُ الرَّزَّاقِ حَدَّثَنَا مَعْمَرٌ عَنْ هَمَّامِ بْنِ مُنَبِّهٍ قَالَ هَذَا مَا حَدَّثَنَا أَبُو هُرَيْرَةَ عَنْ مُحَمَّدٍ رَسُولِ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- فَذَكَرَ أَحَادِيثَ مِنْهَا وَقَالَ رَسُولُ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- « كَانَتْ بَنُو إِسْرَائِيلَ يَغْتَسِلُونَ عُرَاةً يَنْظُرُ بَعْضُهُمْ إِلَى سَوْأَةِ بَعْضٍ وَكَانَ مُوسَى - عَلَيْهِ السَّلاَمُ - يَغْتَسِلُ وَحْدَهُ فَقَالُوا وَاللَّهِ مَا يَمْنَعُ مُوسَى أَنْ يَغْتَسِلَ مَعَنَا إِلاَّ أَنَّهُ آدَرُ - قَالَ - فَذَهَبَ مَرَّةً يَغْتَسِلُ فَوَضَعَ ثَوْبَهُ عَلَى حَجَرٍ فَفَرَّ الْحَجَرُ بِثَوْبِهِ - قَالَ - فَجَمَحَ مُوسَى بِإِثْرِهِ يَقُولُ ثَوْبِى حَجَرُ ثَوْبِى حَجَرُ. حَتَّى نَظَرَتْ بَنُو إِسْرَائِيلَ إِلَى سَوْأَةِ مُوسَى قَالُوا وَاللَّهِ مَا بِمُوسَى مِنْ بَأْسٍ . فَقَامَ الْحَجَرُ حَتَّى نُظِرَ إِلَيْهِ - قَالَ - فَأَخَذَ ثَوْبَهُ فَطَفِقَ بِالْحَجَرِ ضَرْبًا »

Muhammad bin Rafi’ menceritakan kepada saya (berkata), Abd al-Razzaq menceritakan kepada kami (berkata), Ma’mar memberitahukan kepada kami (yang diperoleh) dari Hammam bin Munabbih yang berkata :”Ini adalah cerita yang dituturkan oleh Abu Hurairah kepada kami (yang diperoleh) dari Rasulullah SAW., kemudian dia menyebut hadis-hadis antara lain, Rasulullah SAW. bersabda: ”Bani Israil (kalau) mandi (bersama-sama) dalam keadaan telanjang, (sehingga) sebagian mereka dapat melihat aurat yang lain. Namun,  Musa AS. mandi (selalu) menyendiri, (akhirnya) kemudian mereka berkata :”Demi Allah, Musa tidak mau mandi bersama kami karena ia memilki dua buah dzakar yang besar. Nabi SAW. (meneruskan) berkata: “Suatu ketika, Musa pergi mandi dan meletakkan pakaiannya di atas batu, lalu bergeraklah batu itu membawa pakaiannya, Nabi SAW. (masih bercerita) berkata: “Musa mengejar batu yang membawa pakaiannya seraya berteriak ”Wahai batu, pakaian saya…pakaian saya!!,(Batu terus bergerak) sampai kemudian (akhirnya) Bani Israil melihat kemaluannya. Mereka (setelah melihat itu) berkata:”Musa (ternyata) tidak memiliki persoalan (dengan kemaluannya)”. Kemudian batu berhenti hingga Musa dapat mengambil pakaiannya, lalu Musa memukul batu tersebut.      

Meskipun hadis tersebut diriwayatkan oleh Imam al-Bukhari dan Imam Muslim, Namun dari segi matan dinilai mushkil oleh beberapa kalangan yang ingin mendistorsi kualitas hadis, karena tidak sejalan dan selaras dengan nalar atau logika manusia. Bagaimana mungkin seorang Nabi Musa AS. mandi di ruang terbuka dengan tanpa mengenakan sehelai pakaipun, sehingga terlihat kemaluannya di hadapan umum? Selain itu, bagaimana mungkin sebuah batu dapat berjalan atau bergerak dengan sendirinya? Hal tersebut adalah aneh dan sulit diterima akal manusia.

Ke-mushkil-an hadis dapat dihindari dengan memahami kandungan isi hadis tersebut melalui pendekatan historis. Selain Alquran, hadis Nabi SAW. juga menjadi sumber sejarah Islam. Dalam banyak hadis Nabi saw ditemukan keterangan atau informasi sejarah para Nabi SAW. serta segala sesuatu yang terjadi pada zaman mereka. Karenanya, apabila terdapat sebuah hadis yang berisi informasi tersebut, maka akan lebih tepat dipahami dengan melihat dimensi kesejarahan. Oleh sebab itu, pendekatan sejarah menjadi penting untuk digunakan memahami hadis Nabi SAW., terutama hadis yang terkait dengan informasi kesejarahan umat terdahulu. Maksud dari pendekatan historis dalam memahami hadis adalah memahami hadis Nabi SAW. dengan menjelaskan dan menganalisis unsur-unsur sejarah yang terdapat di dalamnya meliputi: waktu, tempat, kejadian/peristiwa, pelaku sejarah, relevansi dunia yang sudah lewat (ghaib) dengan dunia sekarang (nyata).

Dalam konteks hadis tersebut, waktu kejadiannya adalah pada masa periode Nabi Musa as, namun kapan persisnya tidak disebut secara jelas oleh hadis Nabi SAW. Selain karena tenggang waktu antara periode Nabi SAW. dengan periode Nabi Musa AS. sangat jauh dan sulit dipastikan, tujuan dari disabdakannya hadis Nabi SAW. bukanlah penyampaian dimensi waktu, tetapi informasi dimensi kejadian dan actor sejarah yang lebih diutamakan. Pada umumnya, hadis Nabi SAW. menampilkan siapa dan apa yang dilakukan lebih diprioritaskan daripada kapan dan dimana peristiwa itu terjadi.

Adapun dimensi tempat kejadian Nabi Musa AS. mandi, hadis Nabi SAW. juga tidak menyatakan secara tegas. Namun dari kisah yang disabdakan Nabi SAW., besar kemungkinannya terjadi di tempat terbuka umum[17] karena ada kata “batu” yang di batu itu Musa meletakkan pakaian sebagaimana yang disebut dalam hadis. Tempat mandi yang biasanya terdapat batu adalah sumber mata air.

Mandi dalam keadaan telanjang dan dilakukan secara berbarengan, bahkan di tempat terbuka sekalipun untuk konteks zaman Musa AS. merupakan hal yang biasa dan diperbolehkan dalam syariat Nabi Musa AS. Hadis riwayat Ahmad bin Hanbal menberikan informasi sebagai berikut :

 حدثنا عبد الله حدثني أبي ثنا حسين بن محمد في تفسير شيبان عن قتادة قال حدث الحسن عن أبي هريرة ان رسول الله صلى الله عليه و سلم قال : ان بني إسرائيل كانوا يغتسلون عراة وكان نبي الله موسى عليه السلام منه الحياء والستر وكان يستتر إذا اغتسل……(الحديث) فطعنوا فيه بعورة قال فبينما نبي الله موسى عليه السلام يغتسل يوما وضع ثيابه على صخرة فانطلقت الصخرة بثيابه فاتبعها نبي الله ضربا بعصاه وهو يقول ثوبي يا حجر ثوبي يا حجر حتى انتهى به إلى ملأ من بني إسرائيل وتوسطهم فقامت وأخذ نبي الله ثيابه فنظروا فإذا أحسن الناس خلقا وأعدلهم صورة فقالت بنو إسرائيل قاتل الله أفاكي بني إسرائيل فكانت براءته التي برأه الله عز و جل بها.

Dari Abu Hurairah RA. (berkata) bahwa Rasulullah saw bersabda sesunguhnya (kaum) Bani Israil mandi dalam keadaan telanjang, sementara Nabi Allah Musa AS. malu menutupi diri, dan ketika mandi, ia berlindung di balik tabir[18],,”

Dari hadis ini dapat diketahui bahwa hukum mandi pada zaman Nabi Musa AS. dengan bertelanjang dan dilakukan di terbuka tidak dilarang menurut syariat Musa AS. Hanya saja, Nabi Musa AS. merasa malu dan selalu menggunakan penutup agar auratnya tidak dilihat orang lain. Sedangkan dalam shari’at Nabi Muhammad SAW., mandi dalam keadaan telanjang, sehingga ada kemungkinan orang lain dapat melihatnya, hal ini tidak diperbolehkan. Nabi SAW. juga pernah melihat seseorang mandi tanpa mengenakan  sarung (pakaian), lalu beliau naik mimbar dan bersabda: “Sesungguhnya Allah adalah pemalu dan suka menutupi, Dia menyukai orang yang memiliki rasa malu dan menutupi diri.[19]

Dengan demikian, hadis Nabi SAW. tentang Nabi Musa AS. mandi ntelanjang di depan Umum tersebut memberikan titik tekan kepada sejarah mandinya Nabi Musa as dan kaumnya, untuk dijadikan pengetahuan kepada sahabat Nabi SAW. dan umatnya terhadap adanya ketersinambungan shari’at, khusunya mandi. Apa yang dicontohkan Nabi Musa AS. tersebut dilestarikan dalam shari’at Nabi Muhammad SAW. Sedangkan tradisi mandi telanjang bersama di tempat terbuka yang memungkinkan saling melihat aurat yang lain sebagaimana yang dilakukan oleh kaum bani Isra’il tersebut, tidak dilestarikan dan diganti dengan aturan (shir’ah) baru dalam shari’at Nabi Muhammad SAW. Oleh sebab itu, hadis Nabi SAW. ini tidak mushkil dari perspektif nalar dan logika manusia apabila dikaji dari pendekatan sejarah hukum.

Mengenai ke-mushkil-an batu yang dapat bergerak membawa pakaian Nabi Musa as, dalam perspektif teologi, maka hal tersebut termasuk dalam kekuasaan Allah swt untuk memproteksi dan membersihkan hamba-Nya dari tuduhan dan cemoohan kaumnya. Bentuk perlindungan Allah terhadap hambanya dilakukan dengan berbagai cara, antara lain sebagaimana yang diceritakan oleh Nabi Muhammad SAW dalam hadis tersebut. Cara Allah menjadikan batu dapat bergerak sendiri adalah cara yang boleh jadi terbaik bagi perlindungan terhadap Nabi Musa as dari tuduhan tersebut. Para pensyarah hadis umumnya mengkaitkan peristiwa bergeraknya batu sebagai sebuah Mu’jizat Nabi Musa as. Hal ini dimaksudkan agar kaum yang menuduh Nabi Musa as ditunjukkan kekeliruannya melalui cara penglihatan secara langsung. Sebenarnya sangatlah mudah bagi Nabi Musa as untuk langsung membantah tuduhan tersebut dengan menunjukkan auratnya yang dituduh memiliki kecacatan adar[20]kepada kaumnya tanpa harus melalui cara “ketidaksengajaan yang diskenario Tuhan”tersebut. Namun hal itu tidak dilakukan oleh Nabi Musa as, karena ia dikenal pemalu dan suka menutup dari serta boleh jadi ia seorang penyabar dan tidak memperdulikan tuduhan yang tidak benar terhadapnya. Yang manarik untuk ditelaah dari aspek etika adalah kesabaran Nabi Musa ketabahan untuk tidak merespon tuduhan kaumnya yang tidak benar.

Bertolak dari pemahaman tersebut dapat diketahui bahwa hadis tentang Nabi Musa as mandi telanjang di depan umum tidak mengandung ke-mushkil-an dari perspektif nalar atau logika manusia.

    3.      Hadis Tentang Cengkeraman Haid Terhadap Perempuan-perempuan Bani Israil

 أخبرنا عبد الرزاق ، نا معمر ، عن هشام بن عروة ، عن أبيه ، عن عائشة ، قالت : كن نساء بني إسرائيل يتخذن أرجلا من خشب يشرفن بها على الرجال في المساجد فحرم عليهن المساجد وسلطت عليهن الحيضة .

Dari Aisyah ra. Berkata: “Dulu perempuan-perempuan Bani Israil menggunakan kaki-kaki dari kayu untuk melihat laki-laki di dalam masjid, maka Allah mengharamkan masjid untuk mereka, dan mendatangkan haid atas mereka”[21].

Riwayat dari Aisyah ini termasuk riwayat yang tidak bisa dinalar dengan akal, oleh karenanya riwayat semacam ini disebut juga dengan riwayat: mempunyai hukum marfu’, seperti yang dikatakan oleh Ibn Hajar.

Dhahir hadis ini menyatakan bahwa perempuan-perempuan Bani Israil dihukum dengan haidl atas perlakuan mereka itu. Hal ini tidak sesuai dengan akal, karena haidl adalah sesuatu yang dikodratkan atas semua wanita, dan tidak ada hubungannya dengan hukuman. Ketika Aisyah pergi bersama Nabi untuk haji wada’, ketika sampai di tengah jalan Aisyah berhaid. Nabi menjenguknya sedangkan ia menangis. Kemudian Nabi saw. Bersabda : “Apakah engkau sedang haidl?. Aisyah menjawab:”Ya. “Nabi bersabda : “Sesungguhnya haid adalah sesuatu yang dikodratkan Allah atas anak-anak perempuan Adam, maka lakukanlah apa yang dilakukan orang haji, tetapi jangan tawaf di Bait al-Haram sampai kamu mandi[22]. Ummu salamah juga menceritakan, bahwa ia bersama Rasulullah dalam satu selimut, kemudian ia menemukan haidl padanya, ia keluar dari selimut. Rasul bersabda : “Apakah engkau berhaidl? “Ia berkata : “Saya menemukan haid. “kemudian Rosul bersabda : “Hal itu adalah kodrat Allah bagi anak-anak perempuan Adam.[23]

    4.      Hadis Tentang Hal-hal yang menyebabkan Lupa.

الموضوعات لابن الجوزي - (3 / 34)

أنبأنا إسماعيل بن أحمد أنبأنا ابن مسعدة أنبأنا حمزة أنبأنا أبو أحمد بن عدى حدثنا هنبل بن محمد حدثنا عبدالله بن عبد الجبار حدثنا الحكم بن عبدالله حدثنى الزهري عن سعيد بن المسيب عن عائشة قالت : قال رسول الله صلى الله عليه وسلم : " ست من النسيان : سور الفار ، والقاء القملة وهى حية ، والبول في الماء الراكد ، ومضغ العلك ، وأكل التفاح ، ويحل ذلك اللبان الذكر "

Ibn al-Jauzi meriwayatkan dalam kitab al-Maudhu’at dari Aisyah, bahwa Nabi saw. Bersabda: “Enam perkara menyebabkan lupa yaitu sisa makanan tikus, membuang kutu dalam keadaan hidup, kencing di air yang berhenti, mengunyah permen karet, memakan apel…[24]

Dan tidak benar perkara-perkara ini ada hubungannya dengan penyebab lupa. Amat jauh antara lupa dan membuang kutu, atau mengunyah permen karet, atau memakan apel. Ini semua cukup untuk menghukumi batil riwayat ini.

    5.      Hadis tentang lalat yang masuk ke dalam minuman

حَدَّثَنَا خَالِدُ بْنُ مَخْلَدٍ ، حَدَّثَنَا سُلَيْمَانُ بْنُ بِلاَلٍ ، قَالَ : حَدَّثَنِي عُتْبَةُ بْنُ مُسْلِمٍ قَالَ : أَخْبَرَنِي عُبَيْدُ بْنُ حُنَيْنٍ قَالَ : سَمِعْتُ أَبَا هُرَيْرَةَ ، رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ ، يَقُولُ : قَالَ النَّبِيُّ صلى الله عليه وسلم إِذَا وَقَعَ الذُّبَابُ فِي شَرَابِ أَحَدِكُمْ فَلْيَغْمِسْهُ ثُمَّ لِيَنْزِعْهُ فَإِنَّ فِي إِحْدَى جَنَاحَيْهِ دَاءً والأُخْرَى شِفَاء

Telah bercerita kepada kami Khalid bin Makhlad, telah menceritakan kepada kami Sulaiman bin Bilal berkata; telah bercerita kepadaku ‘Utbah ibn Muslim berkata; telah mengkhabarkan kepadaku ‘Ubaid ibn Husain berkata; saya mendengar Abu Hurairah RA. berkata; Nabi SAW. bersabda; “Jika seekor lalat yang jatuh pada minuman kalian maka tenggelamkan kemudian angkatlah, karena pada satu sayapnya penyakit dan sayap lainnya terdapat obatnya”. (HR. al-Bukhari).[25]

Hadis ini tidak punya cacat sedikitpun. Tidak ada satupun ahli hadis yang  mengkritik dan melemahkannya, bahkan hadis ini diriwayatkan dan disahihkan oleh sejumlah para Imam Ahli Hadis, terutama Imam Bukhari, Imam Ibnu Khuzaimah, Imam Ibnu Hibban dan Ibnu Jarud yang memilih hadis ini dalam kitab sahih mereka.[26]

Pada awalnya, banyak kalangan yang membantah akan  hadis tersebut termasuk kaum kafir. Beberapa kalangan juga menyebut hadis ini palsu karena tidak   rasional atau masuk akal, bagaimana seekor lalat yang menjijikan yang membawa banyak penyakit dapat memberikan penawar racun. Padahal kedudukan hadis   tersebut sahih yang artinya hadis tersebut kedudukannya kuat dan bisa dijadikan pedoman atau pegangan atau landasan. Namun setelah adanya penelitian, hadis ini   bisa  dibuktikan kebenarannya.

Metode penelitian yang dilakukan cukup sederhana yaitu dengan memasukkan  lalat ke dalam masing-masing cawan  yang berisi air  dan memasukkan lalat kedalam cawan tersebut, dengan cawan 1 lalat dalam kondisi terbenam seluruhnya dan cawan 2 lalat dimasukkan ke cawan tersebut tanpa membenamkannya. Hasilnya sebagai berikut:

Ada cawan 1, awalnya tampak tumbuh koloni kecil berupa bakteri  E. Coli  namun pertumbuhanya terhambat oleh bakteri Actinomyces yang memproduksi antibiotik. Bakteri ini biasanya menghasilkan antibiotik yang dapat diekstrak, yaitu  actinomycetin  dan actinomycin yang berfungsi melisiskan (menghilangkan secara perlahan) bakteri dan bersifat antibakteri dan antifungi. Sedangkan pada cawan 2, ternyata media ditumbuhi oleh koloni bakteri patogen tipe  E.  Coli  yang merupakan  penyebab berbagai macam penyakit.

Dari penelitian di atas maka kita dapat mengambil kesimpulan bahwa masuknya lalat pada minuman dengan dan tanpa dibenamkan seluruh tubuhnya ternyata memberikan hasil yang berbeda dan signifikan. Hal ini tentu saja membenarkan apa yang telah disabdakan oleh Rasulullah SAW. sebagaimana telah dijelaskan pada hadis diatas bahwa pada sayap lalat itu terdapat penyakit dan sekaligus penawarnya.[27]


 BACA ARTIKEL LAIN YANG BERKAITAN:


BAB III

PENUTUP

    A.    Kesimpulan

Ilmu mukhtalif al-hadith, ilmu mushkil al-hadith, ilmu ta’wil al-hadith, ilmu talfiq al-hadith, dan ilmu ikhtilaf al-hadith merupakan istilah yang memiliki pengertian yang sama, yakni ilmu yang berusaha untuk mempertemukan (talfiq al-hadith) dua atau lebih hadis yang bertentangan maknanya.

Sedangkan cara-cara mengkompromikan hadits tersebut adakalanya dengan men-taqyid kemutlakan hadits, men-takhish keumumannya, atau adakalanya dengan memilih sanad yang lebih kuat atau yang lebih banyak datangnya.

Dari keterangan di atas dapat penulis simpulkan bahwa terdapat ruang yang luas untuk berijtihad bagi para ulama, mungkin sebagian ulama menghukumi sahih suatu hadits sedang ulama yang lain menolaknya karena menurutnya bertentangan dengan akal. Masing-masing ulama itu menghukumi sesuai dengan pendapatnya.

Jika kita ketahui kalau hadits-hadits nabawi itu tidak bertentangan dengan hukum akal sehat, maka harus kita ketahui kalau akal manusia itu berbeda-beda, selanjutnya berbeda-beda pula menerima atau menolak sebagian hadis. Maka seyogyanya ada klarifikasi dalam syarat-syarat sahnya suatu hadis di sisi periwayatan. Dan di sisi akal, tidak gegabah dalam menolak hadis-hadis hanya karena syubhat ringan, dan tidak mudah menerima hadis yang tidak sahih kecuali dengan takwil yang mengada-ada, sehingga akal terkurung dalam kebingungan dan keraguan.

 

DAFTAR PUSTAKA

Adlabi (al), Salahuddin ibn Ahmad. Metodologi Kritik Matan Hadis, Jakarta: Gaya Media Pratama, 2004.

Bukhari (al). Sahih al-Bukhari, Beirut: Dar al-Kutub, 2000.

Dawud, Abu. Sunan Abi Dawud, Beirut : Dar al-Fikr, t,t.

Departemen Agama, Alquran dan Terjemahannya, Bandung: Sygma, 2009.

Hanbal, Ahmad ibn. Musnad Ahmad bin Hanbal, Mesir: Muassasah Qurtubah, t.t.

Khathib (al), Ajjaj. Al-Sunnah Qabla al-Tadwin, Beirut: Dar Al-Fikr, 1997.

Naisaburi (al) Muslim bin Hajjaj, Sahih Muslim, Beirut: Dar al-Kutub, 1997.

Qasimi (al), ‘Abd Allah bin ‘Ali al-Najdi Musykilat al-Ahadits al- Nabawiyyah wa Bayanuna, Beirut: Dar al-Qalam, 1985.

Salih (al), Subhi. Ulum al-Hadits wa Mushthalahuhu, Beirut: Dar al-‘Ilmu al-Malayyin, tt.


[1] Ajjaj al-Khathib, al-Sunnah Qabla al-Tadwin, (Beirut: Dar Al-Fikr, 1997), 283.

[2] Subhi al-Shalih, ‘Ulum al-Hadits wa Mushthalahuhu, (Beirut: Dar al-‘Ilmu al-Malayyin, tt), 111.

[3] Ajjaj al-Khathib, Al-Sunnah Qabla al-Tadwin, 283.

[4] Salahuddin ibn Ahmad al-Adlabi, Metodologi Kritik Matan Hadis, (Jakarta: Gaya Media Pratama, 2004), 254.

[5] Ibid.

[6] Al-Bukhari, Shahih al-Bukhari, (Beirut: Dar Ibn Katsir, 1987), 449.

[7] Muslim bin al-Hajjaj, Shahih Muslim, (Beirut: Dar al-Kutub al-Ilmiyyah, t.t.), 1843.

[8] Ibid.

[9] Salahuddin ibn Ahmad al-Adlabi, Metodologi Kritik Matan Hadis, 256.

[10] Departemen Agama, Alquran dan Terjemahannya, (Bandung: Sygma, 2009), 385.

[11] Ibid.

[12] ‘Abd Allah bin ‘Ali al-Najdi al-Qasimi, Musykilat al-Ahadits al- Nabawiyyah wa Bayanuna , (Beirut: Dar al-Qalam, 1985), 107.

[13] Departemen Agama, Alquran dan Terjemahannya, 106.

[14] Al-Bukhari, Sahih al-Bukhari, 107.

[15] Muslim bin Hajjaj, Sahih Muslim, 184.

[16] Ahmad bin Hanbal, Musnad Ahmad bin Hanbal, (Mesir: Muassasah Qurtubah, t.t.), 315.

 

[17] Riwayat lain menyebut di temapat muwaih yang diartikan oleh sebagian terbesar dari riwayat yang ada dengan masyarabah yaitu tempat sumber air minum (khufrah fi ashl al-nakhlah yujma’ al-mafiha lisaqyiha/ kawa didasar pohon korma yang mana air terkumpul di situ untuk diminum). Lihat Imam Nawawi, Syarh al-Nawawi ala shahih Muslim (Beirut:Dar Ihya al-Turats al-A’rabi, 1392 H), Juz XVI, 127.

[18] Ahmad bin Hanbal, Musnad Ahmad bin Hanbal, 315.

[19] Abu Dawud, Sunan Abi Dawud, (Beirut : Dar al-Fikr, t,t.), 39.

[20] Kata adar menurut ahli bahasa diartikan dengan عظيم الخصيتين adlim al-khushyatain (dua buah zakar yang sangat besar). Lihat Imam Nawawi, syarh Nawawi, Juz XVI, 126.

[21] HR. Abdur Razzaq, dari Aisyah secara mauquf, dengan sanad yang sahih.(Lihat Fath al-Bari), Lihat Musnad Ishaq bi Rahawih, Maktabah Syamilah, 78/2.

[22] Lihat Shahih Muslim: 8/146-159, Sunan an-Nasaí : 1/ 180.

[23] Lihat Sunan Ibn Majah: no. 637.

[24] Ibid., dan al-Maqashid al-Halsanah, no. 1242. Syekh Abd Allah Ibn al-Siddiq dalam catatan kakinya menyebutkan bahwa al-Damiri menghukumi sahih isnad ini dalam kitabnya Hayat al-Hayawan, dan disalahkan oleh Ibn al-Sidiq.       

[25] Al-Bukhari, Sahih al-Bukhari, 158.

[26] Salahuddin ibn Ahmad al-Adlabi, Metodologi Kritik Matan Hadis, 257.

[27] Salahuddin ibn Ahmad al-Adlabi, Metodologi Kritik Matan Hadis, 258.

 

MAKALAH HADIST TENTANG HIJAB

  A.   Latar Belakang Telah disepakati oleh seluruh umat Islam bahwa al-Qur’an menjadi pedoman hidup baik tentang syariah maupun dalam keh...