Menurut hukum Islam, hukum mandi dalam keadaan
telanjang di tempat menyendiri yang tidak diketahui orang diperbolehkan. Namun,
apabila dilakukan di depan umum atau secara kelompok adalah haram. Hal ini
banyak disebut dalam beberapa kitab fiqih. Salah
satu dasar yang disebut dan dijadikan dalil untuk mengharamkan atau membolehkan
mandi dalam keadaan tersebut adalah hadis Nabi Musa AS. Dalam hadis tersebut
nabi Musa AS. mandi
menyendiri di tempat terbuka, sehingga masih kemungkinan untuk dapat dilihat orang. Hadis
tersebut diriwayatkan oleh Imam Bukhari[1], Imam
Muslim[2]dan Ahmad
bin Hanbal[3]. Salah
satu bunyi redaksi hadis tersebut adalah sebagai berikut:
صحيح مسلم - (ج 1 / ص 183)
796 -
وَحَدَّثَني مُحَمَّدُ بْنُ رَافِعٍ حَدَّثَنَا عَبْدُ الرَّزَّاقِ حَدَّثَنَا
مَعْمَرٌ عَنْ هَمَّامِ بْنِ مُنَبِّهٍ قَالَ هَذَا مَا حَدَّثَنَا أَبُو
هُرَيْرَةَ عَنْ مُحَمَّدٍ رَسُولِ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- فَذَكَرَ
أَحَادِيثَ مِنْهَا وَقَالَ رَسُولُ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- « كَانَتْ بَنُو
إِسْرَائِيلَ يَغْتَسِلُونَ عُرَاةً يَنْظُرُ بَعْضُهُمْ إِلَى سَوْأَةِ بَعْضٍ
وَكَانَ مُوسَى - عَلَيْهِ السَّلاَمُ - يَغْتَسِلُ وَحْدَهُ فَقَالُوا وَاللَّهِ
مَا يَمْنَعُ مُوسَى أَنْ يَغْتَسِلَ مَعَنَا إِلاَّ أَنَّهُ آدَرُ - قَالَ -
فَذَهَبَ مَرَّةً يَغْتَسِلُ فَوَضَعَ ثَوْبَهُ عَلَى حَجَرٍ فَفَرَّ الْحَجَرُ
بِثَوْبِهِ - قَالَ - فَجَمَحَ مُوسَى بِإِثْرِهِ يَقُولُ ثَوْبِى حَجَرُ ثَوْبِى
حَجَرُ. حَتَّى نَظَرَتْ بَنُو إِسْرَائِيلَ إِلَى سَوْأَةِ مُوسَى قَالُوا
وَاللَّهِ مَا بِمُوسَى مِنْ بَأْسٍ . فَقَامَ الْحَجَرُ حَتَّى نُظِرَ إِلَيْهِ -
قَالَ - فَأَخَذَ ثَوْبَهُ فَطَفِقَ بِالْحَجَرِ ضَرْبًا »
Muhammad
bin Rafi’ menceritakan
kepada saya (berkata), Abd al-Razzaq menceritakan kepada kami (berkata), Ma’mar
memberitahukan kepada kami (yang diperoleh) dari Hammam bin Munabbih yang
berkata :”Ini adalah cerita yang dituturkan oleh Abu Hurairah kepada kami (yang
diperoleh) dari Rasulullah SAW., kemudian dia menyebut hadis-hadis antara lain,
Rasulullah SAW. bersabda: ”Bani Israil (kalau) mandi (bersama-sama) dalam
keadaan telanjang, (sehingga) sebagian mereka dapat melihat aurat yang lain.
Namun, Musa AS. mandi
(selalu) menyendiri, (akhirnya) kemudian mereka berkata :”Demi Allah, Musa
tidak mau mandi bersama kami karena ia memilki dua buah dzakar yang besar. Nabi
SAW.
(meneruskan) berkata: “Suatu ketika, Musa pergi mandi dan meletakkan pakaiannya
di atas batu, lalu bergeraklah batu itu membawa pakaiannya, Nabi SAW. (masih bercerita) berkata: “Musa mengejar batu yang
membawa pakaiannya seraya berteriak ”Wahai batu, pakaian saya…pakaian
saya!!,(Batu terus bergerak) sampai kemudian (akhirnya) Bani Israil melihat
kemaluannya. Mereka (setelah melihat itu) berkata:”Musa (ternyata) tidak
memiliki persoalan (dengan kemaluannya)”. Kemudian batu berhenti hingga Musa
dapat mengambil pakaiannya, lalu Musa memukul batu
tersebut.
Meskipun hadis tersebut diriwayatkan oleh Imam
al-Bukhari dan Imam Muslim, Namun dari segi matan dinilai mushkil oleh beberapa kalangan yang
ingin mendistorsi kualitas hadis, karena tidak sejalan dan selaras dengan nalar
atau logika manusia. Bagaimana mungkin seorang Nabi Musa AS. mandi di ruang terbuka dengan tanpa mengenakan
sehelai pakaipun, sehingga terlihat kemaluannya di hadapan umum? Selain itu,
bagaimana mungkin sebuah batu dapat berjalan atau bergerak dengan sendirinya?
Hal tersebut adalah aneh dan sulit diterima akal manusia.
Ke-mushkil-an hadis dapat dihindari dengan
memahami kandungan isi hadis tersebut melalui pendekatan historis. Selain
Alquran, hadis Nabi SAW. juga
menjadi sumber sejarah Islam. Dalam banyak hadis Nabi saw ditemukan keterangan
atau informasi sejarah para Nabi SAW. serta
segala sesuatu yang terjadi pada zaman mereka. Karenanya, apabila terdapat
sebuah hadis yang berisi informasi tersebut, maka akan lebih tepat dipahami
dengan melihat dimensi kesejarahan. Oleh sebab itu, pendekatan sejarah menjadi
penting untuk digunakan memahami hadis Nabi SAW., terutama hadis yang terkait dengan informasi
kesejarahan umat terdahulu. Maksud dari pendekatan historis dalam memahami
hadis adalah memahami hadis Nabi SAW. dengan
menjelaskan dan menganalisis unsur-unsur sejarah yang terdapat di dalamnya
meliputi: waktu, tempat, kejadian/peristiwa, pelaku sejarah, relevansi dunia
yang sudah lewat (ghaib) dengan dunia sekarang (nyata).
Dalam konteks hadis tersebut, waktu kejadiannya
adalah pada masa periode Nabi Musa as, namun kapan persisnya tidak disebut
secara jelas oleh hadis Nabi SAW. Selain karena tenggang waktu antara periode
Nabi SAW. dengan
periode Nabi Musa AS. sangat
jauh dan sulit dipastikan, tujuan dari disabdakannya hadis Nabi SAW. bukanlah penyampaian dimensi waktu, tetapi
informasi dimensi kejadian dan actor sejarah yang lebih diutamakan. Pada
umumnya, hadis Nabi SAW.
menampilkan siapa dan apa yang dilakukan lebih diprioritaskan daripada kapan
dan dimana peristiwa itu terjadi.
Adapun dimensi tempat kejadian Nabi Musa AS. mandi, hadis Nabi SAW. juga tidak menyatakan secara tegas. Namun dari
kisah yang disabdakan Nabi SAW., besar
kemungkinannya terjadi di tempat terbuka umum[4] karena
ada kata “batu” yang di batu itu Musa meletakkan pakaian sebagaimana yang
disebut dalam hadis. Tempat mandi yang biasanya terdapat batu adalah sumber
mata air.
Mandi dalam keadaan telanjang dan dilakukan secara
berbarengan, bahkan di tempat terbuka sekalipun untuk konteks zaman Musa AS. merupakan hal yang biasa dan diperbolehkan dalam
syariat Nabi Musa AS. Hadis riwayat Ahmad bin Hanbal menberikan informasi
sebagai berikut :
حدثنا عبد الله حدثني أبي
ثنا حسين بن محمد في تفسير شيبان عن قتادة قال حدث الحسن عن أبي هريرة ان رسول
الله صلى الله عليه و سلم قال : ان بني إسرائيل كانوا يغتسلون عراة وكان نبي الله
موسى عليه السلام منه الحياء والستر وكان يستتر إذا اغتسل……(الحديث)
فطعنوا فيه بعورة قال فبينما نبي الله موسى عليه السلام يغتسل يوما وضع ثيابه على
صخرة فانطلقت الصخرة بثيابه فاتبعها نبي الله ضربا بعصاه وهو يقول ثوبي يا حجر
ثوبي يا حجر حتى انتهى به إلى ملأ من بني إسرائيل وتوسطهم فقامت وأخذ نبي الله
ثيابه فنظروا فإذا أحسن الناس خلقا وأعدلهم صورة فقالت بنو إسرائيل قاتل الله
أفاكي بني إسرائيل فكانت براءته التي برأه الله عز و جل بها.
Dari Abu
Hurairah RA.
(berkata) bahwa Rasulullah saw bersabda sesunguhnya (kaum) Bani Israil mandi
dalam keadaan telanjang, sementara Nabi Allah Musa AS. malu menutupi diri, dan ketika mandi, ia berlindung
di balik tabir[5],,”
Dari hadis ini dapat diketahui bahwa hukum mandi pada
zaman Nabi Musa AS. dengan
bertelanjang dan dilakukan di terbuka tidak dilarang menurut syariat Musa AS. Hanya
saja, Nabi Musa AS. merasa
malu dan selalu menggunakan penutup agar auratnya tidak dilihat orang lain.
Sedangkan dalam shari’at
Nabi Muhammad SAW., mandi
dalam keadaan telanjang, sehingga ada kemungkinan orang lain dapat melihatnya,
hal ini tidak diperbolehkan. Nabi SAW. juga
pernah melihat seseorang mandi tanpa mengenakan sarung (pakaian), lalu
beliau naik mimbar dan bersabda: “Sesungguhnya Allah adalah pemalu dan suka
menutupi, Dia menyukai orang yang memiliki rasa malu dan menutupi diri.”[6]
Dengan demikian, hadis Nabi SAW. tentang Nabi Musa AS. mandi ntelanjang di depan Umum tersebut memberikan
titik tekan kepada sejarah mandinya Nabi Musa as dan kaumnya, untuk dijadikan
pengetahuan kepada sahabat Nabi SAW. dan
umatnya terhadap adanya ketersinambungan shari’at, khusunya mandi. Apa yang dicontohkan Nabi
Musa AS. tersebut
dilestarikan dalam shari’at
Nabi Muhammad SAW. Sedangkan tradisi mandi telanjang bersama di tempat terbuka
yang memungkinkan saling melihat aurat yang lain sebagaimana yang dilakukan
oleh kaum bani Isra’il tersebut, tidak dilestarikan dan diganti dengan aturan
(shir’ah)
baru dalam shari’at
Nabi Muhammad SAW. Oleh sebab itu, hadis Nabi SAW. ini tidak mushkil dari perspektif nalar dan logika
manusia apabila dikaji dari pendekatan sejarah hukum.
Mengenai ke-mushkil-an batu yang dapat bergerak
membawa pakaian Nabi Musa as, dalam perspektif teologi, maka hal tersebut
termasuk dalam kekuasaan Allah swt untuk memproteksi dan membersihkan hamba-Nya
dari tuduhan dan cemoohan kaumnya. Bentuk perlindungan Allah terhadap hambanya
dilakukan dengan berbagai cara, antara lain sebagaimana yang diceritakan oleh
Nabi Muhammad SAW dalam hadis tersebut. Cara Allah menjadikan batu dapat
bergerak sendiri adalah cara yang boleh jadi terbaik bagi perlindungan terhadap
Nabi Musa as dari tuduhan tersebut. Para pensyarah hadis umumnya mengkaitkan
peristiwa bergeraknya batu sebagai sebuah Mu’jizat Nabi Musa as. Hal ini
dimaksudkan agar kaum yang menuduh Nabi Musa as ditunjukkan kekeliruannya
melalui cara penglihatan secara langsung. Sebenarnya sangatlah mudah bagi Nabi
Musa as untuk langsung membantah tuduhan tersebut dengan menunjukkan auratnya
yang dituduh memiliki kecacatan adar[7]kepada
kaumnya tanpa harus melalui cara “ketidaksengajaan yang diskenario
Tuhan”tersebut. Namun hal itu tidak dilakukan oleh Nabi Musa as, karena ia
dikenal pemalu dan suka menutup dari serta boleh jadi ia seorang penyabar dan
tidak memperdulikan tuduhan yang tidak benar terhadapnya. Yang manarik untuk
ditelaah dari aspek etika adalah kesabaran Nabi Musa ketabahan untuk tidak
merespon tuduhan kaumnya yang tidak benar.
Bertolak dari pemahaman tersebut dapat diketahui bahwa hadis tentang Nabi Musa as mandi telanjang di depan umum tidak mengandung ke-mushkil-an dari perspektif nalar atau logika manusia.
- Hadis Tentang Nabi Musa Menampar Malaikat
- Hadis Tentang Nabi Musa Mandi Telanjang Di Depan Umum
- Hadis Tentang Cengkeraman Haid Terhadap Perempuan-Perempuan Bani Israil
- Hadis Tentang Hal-Hal Yang Menyebabkan Lupa
- Hadis Tentang Lalat Yang Masuk Ke Dalam Minuman
- Hadis Tentang Berbuat Adil Terhadap Anak
- Hadis Tentang Mahram Karena Susuan
- Hadis Tentang Perintah Patuh Kepada Pemimpin
- Hadis Melarang Makan Daging Keledai Kampung
- Hadis Keimanan Pezina, Pencuri, dan Peminum Khamr
- Hadis Tentang Memelihara Jenggot
- Hadis Tentang Kewajiban Menunaikan Zakat Fithrah
[1] Al-Bukhari, Sahih al-Bukhari, 107.
[2] Muslim bin Hajjaj, Sahih Muslim, 184.
Naisaburi
(al) Muslim bin Hajjaj, Sahih Muslim, Beirut: Dar al-Kutub, 1997.
[3] Ahmad bin Hanbal, Musnad Ahmad bin Hanbal, (Mesir: Muassasah Qurtubah, t.t.), 315.
[4] Riwayat lain menyebut di temapat muwaih yang
diartikan oleh sebagian terbesar dari riwayat yang ada dengan masyarabah yaitu
tempat sumber air minum (khufrah fi ashl al-nakhlah yujma’ al-mafiha
lisaqyiha/ kawa didasar pohon korma yang mana air terkumpul di situ untuk
diminum). Lihat Imam Nawawi, Syarh al-Nawawi ala shahih Muslim
(Beirut:Dar Ihya al-Turats al-A’rabi, 1392 H), Juz XVI, 127.
[5] Ahmad bin Hanbal, Musnad Ahmad
bin Hanbal, 315.
[6] Abu Dawud, Sunan Abi Dawud, (Beirut : Dar al-Fikr, t,t.), 39.
[7] Kata adar menurut ahli bahasa diartikan dengan عظيم الخصيتين adlim al-khushyatain (dua buah zakar yang sangat besar). Lihat Imam Nawawi, syarh Nawawi, Juz XVI, 126.