HOME

06 Maret, 2022

Kehujjahan Hadis Hasan

 

a.    Kehujjahan dari segi Wurud dan Dalalah

Menurut seluruh fuqaha, hadis hasan dapat diterima sebagai hujjah dan diamalkan. Demikian pula pendapat kebanyakan Muhaddisin dan ahli Usul. Alasan mereka adalah karena telah diketahui kejujuran rawinya dan keselamatan perpindahannya dalam sanad. Rendahnya tingkat  ke-dhabit-an tidak mengeluarkan rawi yang bersangkutan dari jajaran rawi yang mampu menyampaikan hadis sebagaimana keadaan hadis itu ketika didengar. Karena maksud pemisahan tersebut adalah untuk menjelaskan bahwa hadis hasan berada pada tingkat terendah dari hadis sahih, tanpa mencela ke-dabit-annya. Hadis yang kondisinya demikian cenderung dapat diterima oleh setiap orang dan kemungkinan kebenarannya sangat besar, sehingga ia dapat diterima.[1]

b.    Persamaan dan Perbedaan Kehujjahan Hadis Sahih dan Hasan

Kebanyakan ulama ahli ilmu dan fuqaha bersepakat menggunaka hadis sahih dan hasan sebagai hujjah. Di samping itu, ada ulama yang mensyaratkan bahwa hadis hasan dapat di pergunakan hujjah bila memenuhi sifat-sifat yang dapat di terima. Pendapat terakhir ini memerlukan peninjauan yang seksama. Sebab sifat-sifat yang dapat di terima itu ada yang tinggi, menengah dan rendah. Hadis yang mempunyai sifat dapat di terima yang tinggi dan menengah adalah hadis sahih, sedang hadis yang mempunyai sifat dapat di terima yang rendah adalah hadis hasan.[2]

Jadi, pada prinsipnya kedua-duanya mempunyai sifat yang dapat diterima (maqbul). Walaupun rawi hadis hasan kurang hafalannya dibanding dengan rawi hadis sahih. Tetapi rawi hadis hasan masih terkenal sebagai orang yang jujur dan terhindar dari melakukan dusta.[3]

Hadis-hadis yang mempunyai sifat yang dapat diterima sebagai hujjah disebut hadis maqbul dan hadis yang tidak mempunyai sifat-sifat yang dapat diterima disebut hadis mardud.[4]

Yang termasuk hadis maqbul ialah:

1.    Hadis sahih, baik sahih lidhatih maupun sahih lighairih

2.    Hadis hasan, baik hasan lidhatih maupun hasan lighairih

Yang termasuk hadis mardud ialah segala macam hadis da’if. Hadis mardud, tidak dapat di terima menjadi hujjah karena terdapat  sifat-sifat tercela pada rawi-rawinya atau pada sanadnya.[5]

Dengan demikian, hadis sahih baik yang ahad maupun mutawatir, yang sahih lidhatih  ataupun yang sahih lighairih  dapat dijadikan hujjah atau dalil agama dalam bidang hukum, akhlak, sosial, ekonomi, dan sebagainya kecuali di bidang akidah, hadis sahih  yang ahad di perselisihkan dikalangan ulama.[6]

Sebagaimana hadis sahih, hadis hasan dapat dijadikan sebagai hujjah baik hasan lidhatih maupun hasan lighairih, meskipun hadis hasan kekuatannya berada di bawah hadis sahih. Karena itu, sebagian ulama memasukkan hadis hasan sebagai bagian dari kelompok hadis sahih, misalnya al-Hakim al-Naysaburi, Ibn Hibban, Ibn Khuzaimah, dengan catatan bahwa hadis hasan secara kualitas berada di bawah hadis sahih.[7] Hanya saja, berbeda dengan hadis sahih, hadis hasan tidak ada yang berstatus mutawatir kesemuanya berstatus ahad baik ahad mashhur, ‘aziz, maupun gharib, sehingga status kehujjahannya juga tidak persis sama dengan hadis sahih.[8]

Baca selanjutnya, artikel yang lainya :

DAFTAR PUSTAKA 

‘Asqalani (al), Ibn Hajar. Sharh al-Nukhbah. Kairo: Dar al-Basair, 2011.

Bukhari (al), Abu Abdullah Muhammad ibn Isma’il Ibn Ibrahim. al-Jami’ al-Sahih. Beirut: Dar al-Fikr, 2006.

Idri. Studi Hadis. Jakarta: Kencana, 2010.

Ismail, M. Syuhudi. Pengantar Ilmu Hadis. Bandung: Angkasa, t.th.

‘Itr, Nuruddin, Ulum al-Hadith, terj.Mujiyo. Bandung: Remaja Rosdakarya, 2012.

Khattib (al), Muhammad ‘Ajjaj. Ushul  al-Hadis, terj. Qadirun Nur dan Ahmad Musyafiq. Jakarta: Gaya Media Pratama, 2013.

Khon, Abdul Majid. Ulum al-Hadith, Jakarta: Amzah, 2011.

Rahman, Fatchur. Ikhtisar Mustalah al-Hadis. Bandung: Alma’arif, 1974.

Shakir, Ahmad Muhammad. al-Ba’is al-Hasis sharh Ikhtisar ‘Ulum al-Hadith Li al-Hafiz Ibnu Kathir. Riyadh: Maktabah al-Ma’arif, 1995.

Suryadilaga, Muhammad al-Fatih, Ulum al-Hadith. Yogyakarta: Sukses Offset, 2010.

Tahhan, Mahmud. Taisir Mustalah al-Hadith. Beirut: Dar al-Thaqafah al-Islamiyah, t.th.

Tirmidhi (al), Abu Isa Muhammad ibn Isa Ibn Surah, Sunan al-Tirmidhi. Bairut: Dar al-Fikr, 1980.

[1] Nuruddin ‘itr, Ulum al-Hadith, 268.

[2] Fatchur Rahman, Ikhtisar Mustalah al-Hadith, 143.

[3] Ibid., 143.

[4] Ibid., 143.

[5] Ibid., 143.

[6]Idri, Studi Hadis  (Jakarta: Kencana, 2010), 175.

[7] Muhammad ‘Ajjaj al-Khatib, Ushul  al-Hadis, 300.

[8] Idri, Studi Hadis, 175.

Macam-Macam Hadis Hasan

1. Hadis Hasan li Dhatih dan Hadis Hasan li Ghairih

Hadis hasan terbagi menjadi dua yaitu hadis hasan lidhatih dan hasan lighairih. Subhi al-Shalih dan kebanyakan ulama’ hadis lainnya mengungkapkan bahwa apabila hanya disebut hadis hasan maka yang dimaksud adalah hadith hasan lidhatih.[1] Adapun definisi yang dikemukakan oleh al-Sakhawi, hadith hasan lidhatih adalah hadis yang sanadnya bersambung, dinukil oleh periwayat yang adil dan dabit, namun ke-dabit-annya tidak sempurna, meski tidak terdapat ada shadh dan ‘illat padanya.[2]

Dari definisi-definisi yang ada dapat di simpulkan bahwa yang dimaksud hasan lidhatih adalah hasan yang mencapai derajat hasan dengan sendirinya, meskipun tidak ada dukungan dari hasan lain. Dan kalau hanya di sebutkan  hadis hasan maka yang di maksud adalah hadis hasan lidhatih.[3]

Sedangkan hadith hasan lighairih adalah hasan yang bukan karena dirinya sendiri melainkan karena di bantu oleh keterangan lain, baik dari shahid atau mutabi’. Dengan demikian, hadith hasan lighairih adalah hadis yang kualitas hadisnya pada dasarnya berada di bawah derajat hadis hasan. Ia berada pada derajat hadis da’if.[4]

Dari definisi ini dapat di tarik kesimpulan bahwa hadith da’if akan bisa naik kepada derajat hasan lighairih karena dua perkara:

a.    Bila hadis tersebut diriwayatkan dari jalan lain atau lebih banyak lagi, di mana jalan yang lain tersebut semisalnya atau lebih kuat dari padanya.

b.    Bilamana sebab ke-da’if-an hadis tersebut berupa kejelekan hafalan rawinya atau karena terputus sanadnya atau tidak diketahui identitas rawi-rawi sanadnya.

Jadi hadis hasan lighairih adalah hadis yang memiliki kelemahan yang tidak terlalu parah, seperti halnya rawinya da’if  tetapi tidak keluar dari jajaran rawi yang diterima kehadirannya, atau seorang rawi mudallis yang tidak menyatakan bahwa ia meriwayatkan hadis dengan cara al-sima’, atau sanadnya munqathi’. Semua itu harus memenuhi dua syarat, yaitu hadisnya tidak janggal dan diriwayatkan pula melalui sanad lain yang sederajat atau lebih kuat, dengan redaksi yang sama maupun hanya dengan maknanya saja.[5]

Dengan demikian, tingkatan hadis hasan berada di antara hadis sahih dan hadis da’if. Kadang-kadang ia dekat kepada hadis sahih dan kadang-kadang dekat kepada hadis da’if. Hasil ijtihad serta penelitian para ‘ulama senantiasa demikian. Hadis seperti ini merupakan bahan kekhawatiran mereka, sehingga ada di antara mereka yang merasa kesulitan untuk mengungkapkan dan membatasinya; karena hal itu bergantung kepada faktor subjektivitas yang dianggap sebagai suatu hal yang kurang terpuji bagi seorang hafiz, bahkan kadang-kadang ungkapan untuknya tidak mengesankan kebersihan dan kebaikannya secara terperinci.[6]

2.Perbedaan Pokok dan Contoh Hadis Hasan dan Hadis sahih

Hadis hasan ada dua jenis, yaitu Hasan hasan li dhatih dan hadis hasan li ghairih, disebut dengan hadis hasan li dhatih  karena ke-hasan-annya muncul karena memenuhi syarat-syarat tertentu, bukan karena faktor lain di luarnya. Sedang hadis hasan li ghairih adalah hadis yang didalamnya terdapat perawimastur” yang belum tegas kualitasnya.[7] Dengan demikian, hadis hasan li ghairih mulanya merupakan hadis da’if, yang naik menjadi hasan karena ada penguat. Jadi di mungkinkan berkualitas hasan karena penguat itu, seandainya tidak ada penguat tentunya masih berstatus da’if.[8]

Bila suatu hadis hasan diriwayatkan dari jalur lain, maka ia menjadi kuat dan naik derajat hasan menuju derajat sahih. Karena perawi hadis hasan berada di bawah derajat perawi yang sempurna hafalannya, namun tetap berstatus adil. Sisi kekurangan daya hafal yang dikhawatirkan telah sirna dengan adanya jalur lain atau jalur-jalur lain yang menyumbat kekurangan itu  dan naik dari hasan ke sahih, karena masing-masing saling mengukuhkan.[9] Salah satu contohnya adalah hadis Muhammad ibn Amr dari Abu Salamah dari Abi Hurairah, bahwa Rasulullah SAW. bersabda:

حَدَّثَنَا أَبُو كُرَيْبٍ حَدَّثَنَا عَبْدَةُ بْنُ سُلَيْمَانَ عَنْ مُحَمَّدِ بْنِ عَمْرٍو عَنْ أَبِي سَلَمَةَ عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ قَالَ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ لَوْلَا أَنْ أَشُقَّ عَلَى أُمَّتِي لَأَمَرْتُهُمْ بِالسِّوَاكِ عِنْدَ كُلِّ صَلَاةٍ

Telah menceritakan kepada kami Abu Kuraib berkata, telah menceritakan kepada kami Abdah bin Sulaiman dari Muhammad bin 'Amru dari Abu Salamah dari Abu Hurairah ia berkata, Rasulullah Sallahu 'alaihi wa Sallam bersabda: “Sekiranya tidak memberatkan umatku sungguh akan aku perintahkan untuk bersiwak setiap kali akan shalat”.[10]

Muhammad Ibn Amr ibn ‘Alqamah termasuk perawi yang terkenal jujur, tetapi tidak termasuk Ahlu al-Itqan (mereka yang memiliki hafalan yang kuat). Sehingga ada yang menilainya da’if dari sisi hafalan, namun yang lain menilainya thiqat dari segi kejujurannya. Jadi hadisnya ini termasuk hasan li dhtih dan sahih lighairih. Karena ia meriwayatkan dari guru Muhammad ibn Amr dari guru-gurunya, melalui jalur lain. Ada yang meriwayatkannya dari Abu Hurairah, yaitu al-A’raj, Sa’id al-Maqbariy, ayahnya dan lain-lain.[11]

Dalam kitab al-Bukhari, al-A’raj meriwayatkan dari Abu Hurairah, bahwa Nabi bersabda:

حَدَّثَنَا عَبْدُ اللَّهِ بْنُ يُوسُفَ قَالَ أَخْبَرَنَا مَالِكٌ عَنْ أَبِي الزِّنَادِ عَنْ الْأَعْرَجِ عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ لَوْلَا أَنْ أَشُقَّ عَلَى أُمَّتِي أَوْ عَلَى النَّاسِ لَأَمَرْتُهُمْ بِالسِّوَاكِ مَعَ كُلِّ صَلَاةٍ

Telah menceritakan kepada kami 'Abdullah bin Yusuf berkata, telah mengabarkan kepada kami Malik dari Abu al-Zinad dari al-A'raj dari Abu Hurairah radiallahu 'anhu, bahwa Rasulullah sallallahu 'alaihi wasallam bersabda: "Sekiranya tidak memberatkan ummatku atau manusia, niscaya aku akan perintahkan kepada mereka untuk bersiwak  pada setiap kali hendak shalat."[12]

Baca selanjutnya, artikel yang lainya :

DAFTAR PUSTAKA 

‘Asqalani (al), Ibn Hajar. Sharh al-Nukhbah. Kairo: Dar al-Basair, 2011.

Bukhari (al), Abu Abdullah Muhammad ibn Isma’il Ibn Ibrahim. al-Jami’ al-Sahih. Beirut: Dar al-Fikr, 2006.

Idri. Studi Hadis. Jakarta: Kencana, 2010.

Ismail, M. Syuhudi. Pengantar Ilmu Hadis. Bandung: Angkasa, t.th.

‘Itr, Nuruddin, Ulum al-Hadith, terj.Mujiyo. Bandung: Remaja Rosdakarya, 2012.

Khattib (al), Muhammad ‘Ajjaj. Ushul  al-Hadis, terj. Qadirun Nur dan Ahmad Musyafiq. Jakarta: Gaya Media Pratama, 2013.

Khon, Abdul Majid. Ulum al-Hadith, Jakarta: Amzah, 2011.

Rahman, Fatchur. Ikhtisar Mustalah al-Hadis. Bandung: Alma’arif, 1974.

Shakir, Ahmad Muhammad. al-Ba’is al-Hasis sharh Ikhtisar ‘Ulum al-Hadith Li al-Hafiz Ibnu Kathir. Riyadh: Maktabah al-Ma’arif, 1995.

Suryadilaga, Muhammad al-Fatih, Ulum al-Hadith. Yogyakarta: Sukses Offset, 2010.

Tahhan, Mahmud. Taisir Mustalah al-Hadith. Beirut: Dar al-Thaqafah al-Islamiyah, t.th.

Tirmidhi (al), Abu Isa Muhammad ibn Isa Ibn Surah, Sunan al-Tirmidhi. Bairut: Dar al-Fikr, 1980.

[1] Mahmud Tahhan, Taisir , 12.

[2] Ibid., 11.

[3] Muhammad al-Fatih Suryadilaga, Ulum al-Hadith,  (Yogyakarta: Sukses Offset,2010), 262.

[4] Ibid.,263

[5] Nuruddin ‘itr, Ulum al-Hadith, 273.

[6] Ibid., 269.

[7] Ibn Hajar al-‘Asqalani, Shrh al-Nukhbah, 67.

[8] Al-Qasimi, Qawaid al-Tahdith, 102.

[9]  Muhammad ‘Ajjaj al-Khatib, Ushu.l  al-Hadith, terj. Qadirun Nur dan Ahmad Musyafiq (Jakarta: Gaya Media Pratama, 2013), 300.

[10]Abu Isa Muhammad ibn Isa Ibn Surah al-Tirmidhi, Sunan al-Tirmidhi, Juz 1 (Beirut: Dar al-Fikr, 1980), 18.

[11] Muhammad ‘Ajjaj al-Khatib, Ushul  al-Hadis, 301.

[12] Abu Abdillah Muhammad ibn Isma’il Ibn Ibrahim al-Bukhari, al-Jami’ al-Sahih, Juz 1 (Beirut: Dar al-Fikr,2006),196.

Definisi Dan Kriteria Hadis Hasan

 

a.    Pengertian Bahasa dan Perkembangan Istilah Hadis Hasan

Hadis hasan secara etimologi adalah sifat mushabbah dari al-husn berarti al-jamal (bagus).[1] Sedangkan hadis hasan secara terminologi, terdapat beberapa pendapat di kalangan para ulama hadis mengingat pretensinya berada di tengah-tengah antara sahih dan da‘if. Juga, dikarenakan sebagian mereka ada yang hanya mendefinisikan salah satu dari dua bagiannya saja.

1. Definisi al-Khataby: “Setiap hadis yang diketahui jalur keluarnya, dikenal para periwayatnya, ia merupakan rotasi kebanyakan hadis dan dipakai oleh kebanyakan para ulama dan mayoritas ulama fiqih.”.[2]

2. Definisi al-Turmudhy: “Setiap hadis yang diriwayatkan, pada sanadnya tidak ada periwayat yang tertuduh sebagai pendusta, hadis tersebut tidak al-Shadh (janggal/bertentangan dengan riwayat yang kuat) dan diriwayatkan lebih dari satu jalur seperti itu.[3]

3. Definisi Ibn Hajar adalah hadis yang bersambung sanadnya, diriwayatkan oleh rawi yang adil, yang rendah tingkat kekuatan daya hafalanya, tidak rancu dan tidak bercacat.[4]

Dr. Mahmud al-Thahhân mengatakan: seakan hadis hasan menurut Ibn Hajar adalah hadis sahih yang ringan kedabitan rawi-rawinya yaitu sedikit kedabitannya. Jadi  ini adalah definisi hadis hasan yang paling baik. Sedangkan definisi al-Khataby banyak sekali kontradiktif atau kritikan terhadapnya, sementara yang didefinisikan at-Turmudhy hanyalah definisi salah satu dari dua bagian dari hadis hasan, yaitu hasan lighairih (hasan kerana adanya riwayat lain yang mendukungnya). Pada asalnya beliau mendefinisikan hasan lidhatih sebab hasan lighairih pada dasarnya adalah hadis da’if yang meningkat kepada tingkatan hasan sebab terdukung oleh banyaknya bilangan jalan-jalannya.[5]

Dengan berdasarkan pada definisi yang dikemukakan oleh Ibnu Hajar maka hadis hasan dapat di definisikan suatu hadis yang bersambung sanadnya dan di riwayatkan oleh orang yang adil, ringan ke-dabit-annya dan orang yang semisalnya hingga puncak akhirnya, tanpa ada shadh dan ‘illah.[6]

Dengan demikian, maka yang di maksud dengan hadis hasan adalah hadis yang memenuhi syarat-syarat hadis shahih seluruhnya, hanya saja semua perawinya atau sebagiannya ke-dabit-annya lebih sedikit dibanding ke-dabit-an para perawi hadis sahih.

Kata hasan mulai di kenal sejak zaman Imam Turmudhi. Bahkan dalam kitab sunan-nya, Imam Turmudhi banyak juga menggunakan istilah hasan sahih, di samping istilah hasan. Yang dimaksud dengan istilah hasan sahih tersebut menurut sebagian ulama bahwa hadis tersebut di perselisihkan kualitasnya, yakni ada yang mengatakan sahih dan ada juga yang mengatakan hasan. Ada pula pendapat, bahwa hadis hasan tersebut kualitasnya berada antara hasan dengan sahih.[7]

 

b.    Kriteria Hadis Hasan

Dari definisi di atas terdapat lima sifat yang harus di miliki oleh suatu hadis, agar dapat dikategorikan bebagai hadis hasan, yaitu sebagai berikut:

1.     Sanadnya  bersambung (Ittisal al-sanad)

Yang di maksud dengan Ittisal al-sanad adalah bahwa setiap rawi hadis yang bersangkutan benar-benar menerimanya dari rawi yang berada di atasnya dan begitu selanjutnya sampai kepada pembicara yang pertama. Konsekuensinya, definisi ini tidak mencakup hadis mursal dan munqati’ dalam berbagai variasinya.

2.    Periwayatannya ‘adil

Keadilan rawi merupakan faktor penentu bagi diterimanya suatu riwayat, karena keadilan itu merupakan suatu sifat yang mendorong seseorang untuk bertakwa dan mengekangnya dari berbuat maksiat, dusta, dan hal-hal lain yang merusak harga diri (muru’ah) seseorang.

3.    Periwayatannya ada yang kurang dabit

Yang di maksud dengan dabit adalah bahwa rawi hadis yang bersangkutan dapat menguasai hadisnya dengan baik, baik dengan hafalannya yang kuat ataupun dengan kitabnya, kemudian ia mampu mengungkapkan kembali ketika meriwayatkannya. Ke-dhabit-an inilah yang membedakan antara hadis sahih dengan hasan. Hadis sahih ke-dabit-an seluruh perawinya harus sempurna, sedang dalam hadis hasan, kurang sedikit ke-dhabit­-annya jika di bandingkan dengan hadis sahih.

4.    Tidak rancu (shadh)

Kerancuan adalah suatu kondisi di mana seorang rawi berbeda dengan rawi lain yang lebih kuat posisinya. Kondisi ini dianggap rancu karena apabila ia berbeda dengan rawi lain yang lebih kuat posisinya, baik dari segi kekuatan daya hafalnya atau jumlah mereka lebih banyak, para rawi itu hurus diunggulkan, dan ia sendiri disebut shadh atau rancu. Dan karena kerancuannya maka timbulah penilaian negatif terhadap periwayatan hadis yang bersangkutan.

5.    Tidak ada cacat (‘illat)

Maksudnya adalah bahwa hadis yang bersangkutan terbebas dari cacat ke-sahih-annya. Yakni hadis itu terbebas dari sifa-sifat samar yang membuatnya cacat, meskipun tampak bahwa hadis itu tidak menunjukkan adanya cacat tersebut. Dengan kriteria ini maka definisi di atas  tidak mencakup hadis mu’allah (bercacat). Jadi hadis yang mengandung cacat itu bukan hadis sahih dan juga hasan.[8]

c.    Peran al-Turmudhi dalam Memperkenalkan Hadis Hasan

Menurut al-Nawawi dalam al-Taqrib, kitab al-Tirmidhi adalah kitab pertama kali  yang memunculkan hadis hasan, yang memperkenalkannya dan banyak menyebut dalam kitabnya, walaupun secara terpisah ditemukan pada sebagian syaikh pada generasi sebelumnya. Ibn Taimiyah juga mempertegas, bahwa al-Tirmidhi-lah orang pertama yang memperkenalkan pembagian hadis dari segi kualitas kepada sahih, hasan, dan da’if. Bagi al-Tirmidhi hadis hasan adalah hadis yang berbilang jumlah sanad-nya dan tidak terdapat seorang perawi yang tertuduh dusta dan syadz (ganjil). Tingkatan hadis hasan berada di bawah hadis sahih dan di atas hadis da’if. Hadis sahih yang dikenal para perawinya sebagai orang-orang yang ’adil dan dhabit. Sedang hadis da’if adalah hadis yang dikenal perawinya seorang yang tertuduh dusta atau tidak baik hafalannya.[9]

Para ulama’ sebelum al-Tirmidhi belum kenal istilah tiga hadis tersebut, yang dikenal mereka kualitas hadis ada dua macam yakni: sahih dan da’if. Kemudin hadis da’if dibagi dua macam; da’if yang tidak tercegah pengamalannya dan da’if yang wajib ditinggalkan. Barangkali da’if yang pertama menurut ulama dahulu inilah yang disebut hasan oleh al-Tirmidhi.[10]

Al-Dzahabi menyatakan bahwa tingkatan hadis hasan yang paling tinggi adalah riwayat Bahs bin Hakim dari bapaknya dari kakeknya:

حَدَّثَنَا مُحَمَّدُ بْنُ بَشَّارٍ أَخْبَرَنَا يَحْيَى بْنُ سَعِيدٍ أَخْبَرَنَا بَهْزُ بْنُ حَكِيمٍ حَدَّثَنِي أَبِي عَنْ جَدِّي قَالَ قُلْتُ يَا رَسُولَ اللَّهِ مَنْ أَبَرُّ قَالَ أُمَّكَ قَالَ قُلْتُ ثُمَّ مَنْ قَالَ أُمَّكَ قَالَ قُلْتُ ثُمَّ مَنْ قَالَ أُمَّكَ قَالَ قُلْتُ ثُمَّ مَنْ قَالَ ثُمَّ أَبَاكَ ثُمَّ الْأَقْرَبَ فَالْأَقْرَبَ

dan riwayat Amr bin Shuaib dari bapaknya dari kakeknya; dan sejenisnya yang menurut satu pendapat dinyatakan sebagai hadis sahih. Hadis hasan tingkatan ini termasuk hadis sahih pada tingkatan terendah.

Tingkatan berikutnya adalah hadis yang di persellisihkan ke-hasan-an dan ke-dhaif-annya, seperti hadis riwayat al-Haris bin abdullah[11] dan ‘Ashim bin Dhamrah.[12]

Baca selanjutnya, artikel yang lainya :


[1] Mahmud Thahhan, Taisir Mustalah al-Hadith, terj. Zainul Muttaqin (Yogyakarta: Titial Ilahi Press, 2004), 51.

[2] Ibid., 51.

[3] Ahmad Muhammad Shakir, al-Ba’is al-Hasis Sharh Ikhtisar ‘Ulum al-Hadith Li al-Hafiz Ibnu Kathir (Riyadh: Maktabah al-Ma’arif, 1995), 37.

[4] Ibn Hajar al-‘Asqalani, Sharh al-Nukhbah  (Kairo: Dar al-Basair, 2011), 65.

[5] Ibid., 52.

[6] Ibid., 52.

[7] M. Syuhudi Ismail, Pengantar Ilmu Hadis  (Bandung: Angkasa, t.th), 182.

[8] Nuruddin ‘itr, Ulum al-Hadith, terj.Mujiyo (Bandung: Remaja Rosdakarya,  2012), 241.

[9] Abdul Majid Khon, Ulumul Hadis (Jakarta: Amzah, 2011), 163.

[10] Ibid., 63.

[11] Ia adalah al-Harith al-a’war. Lihat Mizan al-I’tidal

[12] Nuruddin ‘itr, Ulum al-Hadith, 269.

MAKALAH HADIST TENTANG HIJAB

  A.   Latar Belakang Telah disepakati oleh seluruh umat Islam bahwa al-Qur’an menjadi pedoman hidup baik tentang syariah maupun dalam keh...