HOME

31 Maret, 2022

Saluran Dan Cara Islamisasi Di Indonesia

 

Ada beberapa cara Islamisasi di Indonesia yang dijelaskan oleh ahli sejarah dan penulis mengutip dari penjelasan Badri Yatim dalam bukunya Sejarah Peradaban Islam. Adapunn cara-cara yang digunakan dalam meng-Islam-kan penduduk Indonesia adalah:[1]  

1.    Saluran Perdagangan

Pada abad ke-7 hingga ke-16 M merupakan situasi sibuknya lalu lintas perdagangan sehingga para pedagang Muslim baik yang dari Arab, Persia dan India ikut andil dalam perdagangan dari negeri bagian barat, tenggara dan timur Benua Asia. Para penguasa juga ikut serta dalam perdagangan bahkan menjadi pemilik kapal dan saham.[2]

Sebagian dari pedagang ini ada yang tinggal untuk sementara waktu maupun menetap. Kemudian tempat tinggal mereka ini menjadi koloni-koloni, seperti koloni China dan koloni Arab. Pada tahap selanjutnya, koloni-koloni tersebut menjadi perkampungan pecinan (kampong China) dan Pajokan (kampong orang India yang kemudian diambil alih oleh orang Arab).[3]

2.    Perkawinan

Saudagar-saudagar muslim memiliki status sosial lebih tinggi daripada penduduk pribumi dari segi ekonomi maka tidak heran jika putri-putri bangsawan ingin menjadi istri dari saudagar tersebut. Maka terjadilah perkawinan antara saudagar asing dengan penduduk pribumi yang sebelumnya telah diislamkan.[4] Ikatan perkawinan inilah menjadi awal mula terbentuknya masyarakat muslim karena mereka memiliki keturunan sehingga menjadi keluarga muslim yang nantinya Islam akan berkembang secara turun temurun.[5] Kemudian anak keturunan dari keluarga muslim ini dididik dan memang dipersiapkan untuk menjadi penerus dalam menyebarkan agama Islam.[6]

Lewat perkawinan ini akan lebih menguntungkan jika terjadi antara saudagar dengan putri bangsawan atau putri raja karena akan memudahkan dalam proses islamisasi. Seperti yang terjadi antara Raden Rahmat dengan Nyai Manila, Sunan Gunung Jati dengan putri kawunganten, Brawijaya dengan putri Campa yang menurunkan Raden Patah (raja pertama Demak), dan lain-lain.[7]

3.    Tasawuf

Sebelum Islam, Hindu dan Budha terlebih dahulu dikenal oleh masyarakat Indonesia. Mereka telah mahir dalam bidang magis dan kekuatan menyembuhkan. Ajaran tasawuf yang dibawa oleh orang Islam memiliki persamaan dengan kepercayaan masyarakat pribumi sehingga mudah diterima.[8] Adapun ahli tasawuf tersebut diantaranya Hamzah Fansuri, Syamsudin al-Sumaterani, Syaikh Siti Jenar, dan Sunan Panggung.[9]

4.    Pendidikan

Daerah Islam di Indonesia memiliki system pendidikan yang menitik beratkan pada pendidikan al-Qur’an, pelaksanaan shalat, dan pelajaran tentang kewajiban pokok agama. Lembaga umum yang menampung kebutuhan pendidikan antara lain, masjid, langgar, atau komunitas kecil seperti keluarga. Pendidikan awal dengan belajar membaca al-Qur’an kemudian dilanjutkan belajar di pondok atau pesantren yang didirikan oleh guru agama, ulama atau kiai.[10]

Pesantren atau pondok ini dibangun untuk mendidik generasi muda dalam bidang agama yang siap untuk berdakwah. Setelah mereka keluar dari pesantren mereka pulang ke kampong halamannya masing-masing baru kemudian berdakwah ke tempat tertentu untuk mengajarkan agama Islam. Seperti pesantren yang didirikan oleh Raden Rahmat di Ampel Denta Surabaya dan Sunan Giri. Alumni pesantren Giri ini kemudian banyak di undang ke Maluku untuk mengajarkan agama Islam.[11] Selain berdakwah untuk masyarakat umum, ada juga yang sengaja di undang oleh bangsawan atau raja untuk mengajar agama pada keluarganya. Adapula kiai yang kemudian menjadi penasehat kerajaan, sehingga memungkinkan untuk memberi pengaruh dalam hal politik.[12]

5.    Kesenian

Selain dengan cara-cara yang telah disebutkan diatas, salah satu cara yang dilakukan untuk mengislamkan masyarakat pribumi ialah melalui seni baik seni tari, seni music, dan seni sastra. Nilai-nilai keislaman juga dimasukkan dalam upacara-upacara keagamaan misalnya maulid Nabi sering dipertunjukkan seni tari atau seni music tradisional. Sekaten yang terdapat di keratin Yogyakarta dan Surakarta, di Cirebon ada seni music yang dibunyikan ketikan perayaan grebek maulud. Begitu pula dengan tarian dedewan, debu, birahi dan bebeksan. Seni yang paling popular adalah seni wayang yang dimainkan oleh Sunan Kalijaga. Setiap kali melakukan pertunjukan beliau tidak pernah meminta upah, tetapi beliau meminta agar penonton mengikutinya membaca syahadat. Sebagian wayangnya diambil dari cerita Mahabrata dan Ramayana kemudian nama-namanya diganti dengan nama pahlawan Islam.[13]

6.    Politik

Rakyat Maluku dan Sulawesi Selatan kebanyakan masuk Islam setelah rajanya memeluk agama Islam. Masuk Islamnya para raja ini sangat mempengaruhi tersebarnya agama Islam. Baik di Sumatera, Jawa maupun Indoonesia bagian timur, mereka memerangi kerajaan non-muslim untuk kepentingan politik. Secara politis, kemenangan kerajaan Islam ini menarik penduduk pribumi untuk memeluk Islam.[14]

Ira M. Lapidus dalam bukunya Sejarah Sosial Ummat Islam, menjelaskan bahwa ada tiga teori yang bisa menjelaskna penerimaan Islam di Nusantara. Pertama, peran pedagang yang tinggal di wilayah pesisir yang melakukan perkawinan dengan keluarga penguasa lokal. Selain itu mereka telah menyumbangkan peran diplomatik serta pengalaman internasional terhadap perusahaan perdagangan penguasa pesisir. Para penguasa lokal menjalin persekutuan untuk menyaingi pedagang Hindu dari Jawa. Kedua, peran guru sufi yang sekaligus menjadi pedagang dan politisi. Para guru sufi ini memasuki lingkungan istana penguasa, perkampungan pedagang, dan pedalaman. Para sufi berhasil mengkomunikasikan visi agamanya karena disesuaikan dengan keyakinan yang berkembang di Nusantara. Ketiga, ajaran Islam sendiri telah menyumbang sebuah landasan teologis bagi kebijakan individu, solidaritas kaum tani, dan pedagang.[15]

BACA ARTIKEL LAINNYA YANG BERKAITAN


[1] Dalam masalah ini bisa di lacak pula di Amin, Sejarah Peradaban, 306-309. Lihat pula Azyumardi Azra,  Ensiklopedi Islam,  (Jkarta: PT Ichtiar Baru Van Hoeve, t. th), 180-181.

[2] Yatim, Sejarah Peradaban, 201.

Yatim, Badri. Sejarah Peradaban Islam. Jakarta: Rajawali Pers. 2010.

[3] Huda, Islam Nusantara, 45.

Huda, Nur.  Islam Nusantara: Sejarah Sosial Intelektual Islam di Indonesia. Jogjakarta: Ar-Ruzz Media. 2007.

[4] Yatim, Sejarah Peradaban, 202.

[5] Asyumardi Azra, Ensiklopedi Islam (Jakarta: Ichtiar Baru Van Hoeve, t.th), 180.

[6] Huda, Islam Nusantara, 45-46

[7] Yatim, Sejarah Peradaban, 202

[8] Ibid.

[9] Huda, Islam Nusantara, 47.

[10] Ibid, 48.

[11] Yatim, Sejarah Peradaban, 202.

[12] Huda, Islam Nusantara, 48.

[13] Ibid, 50, lihat pula Yatim, Sejarah Peradaban, 203, lihat pula Musyrifah Sunanto, Sejarah Peradaban Islam Indonesia (Jakarta: Rajawali Pers, 2012), 12.

[14] Yatim, Sejarah Peradaban, 203-204.

[15] Ira M. Lapidus, Sejarah Sosila Ummat Islam, terj. Ghufron A. Mas’adi (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 1999), 720-721.

Teori Datangnya Islam Ke Indonesia

 

    A.  Kondisi dan Situasi Politik Kerajaan-kerajaan di Indonesia

Pada abad pertama atau kedua Masehi, pedagang India melalui jalur pelayaran Indonesia mengenalkan agama Hindu. Akibat adanya kontak perdagangan ini, agama Hindu masuk dalam kultur masyarakat Indonesia. Kemudian mereka berkeinginan untuk menetap dan melakukan perkawinan dengan penduduk pribumi. Para Brahmana India sengaja datang ke Indonesia untuk memberikan legitimasi politik kepada para raja. Berbeda dengan agama Hindu, kedatangan agama Budha pada abad keenam Masehi melakukan kunjungan resmi ke istana raja untuk mengenalkan ajaran agama Budha. Setelah mendapat kepercayaan dari krataon baru kemudian menyebar luaskan ke daerah-daerah lain.[1]

Selanjutnya kedua agama ini saling mempengaruhi para raja sehingga pada tahun 600-an muncul kerajaan Hindu pertama yakni Sriwijaya di Palembang. Kemudian kerajaan ini menjadi pusat pendidikan agama Budha Mahayana. Kerajaan yang kedua yakni Sailendra di Jawa Tengah berdiri pada tahun 732 Masehi dan menjadi pusat pengembangan Bahasa Sansekerta.[2]

Pada abad ke-1 H/ abad ke-7 M, para pedagang muslim dan mubaligh membentuk komunitas Islam dan inilah yang menjadi cikal bakal Islam di Indonesia. Usaha yang telah dirintis tersebut hilang dalam hegemoni maritime Sriwijaya di Palembang, kerajaan Singasari dan Majapahit di Jawa Timur.[3]

Pada abad ke-7- ke-10 M ketika Islam datang ke Indonesia, kerajaan Sriwijaya telah melakukan perluasan daerah kekuasaannya ke daerah Semenanjung Malaka sampai ke Kedah. Hal ini dikarenakan Selat Malaka merupakan kunci pedagangan Internasional. Awalnya pedagang muslim tidak ikut andil dalam masalah politik karena mereka hanya fokus dalam hal berdagang. Keterlibatan saudagar Muslim terlihat pada abad ke-9 M yakni pada pemberontakan petani China terhadap penguasanya (Kaisar Hi-Tsung 878-889 M). Kaum Muslim ada yang terbunuh dalam pemberontakan tersebut dan sebagian yang lain lari ke Kedah yang sudah dibawah kekuasaan Sriwijaya. Pada saat itu kerajaan Sriwijaya melindungi orang-orang yang ada di daerah kekuasaannya sehingga kaum muslim membuat perkampungan muslim di Palembang.[4]

Kerajaan Sriwijaya mengalami kemajuan dalam bidang politik dan ekonomi hingga abad ke-12 M tetapi pada akhir abad ini justru mengalami kemunduran. Di saat yang sama kerajaan Singasari sedang bangkit di Jawa sehingga mempercepat kemunduran Sriwijaya. Kerajaan Singasari melakukan ekspedisi hingga ke Pamalayu pada tahun 1275 M dan mengalahkan kerajaan Melayu di Sumatera. Selain Singaraja, kelemahan Sriwijaya juga dimanfaatkan oleh saudagar muslim untuk mendapatkan keuntungan politik dan perdagangan. Saudagar tersebut mendukung daerah yang melepaskan diri dari Sriwijaya dan menyatakan sebagai kerajaan bercorak Islam yakni Samudera pasai. Daerah Samudera Pasai telah dijadikan persinggahan saudagar asing sejak abad ke-7 M sehingga Islam telah dikenal sejak abad itu. Kekacauan terjadi di dalam tubuh Sriwijaya sendiri akibat perebutan kekuasaan sehingga tidak bisa mengontrol daerah-daerah yang ada di bawah kekuasaannya. Hal ini menyebabkan kerajaan Samudera Pasai dan Malaka bisa berkembang pesat dan mencapai kemajuan hingga abad ke-16 M.[5]

    B.  Munculnya Pemukiman Muslim di Kota Pesisir

Pada abad ke-13 M, berdiri kerajaan Islam pertama yakni Samudera Pasai di Sumatera. Pada saat itu pula terjadi penyebaran agama Islam dengan pesat sehingga lahirlah kerajaan Islam yang kedua. Kerajaan ini akhirnya bisa mendominasi dalam hal pelayaran dan perdagangan dengan mengalahkan kerajaan Samudera Pasai. Pada abad ke-15 M, Malaka jatuh ke tangan Portugis sehingga kapal-kapal berlayar menelusuri pantai barat Sumatera. Kemudian kapal-kapal tersebut memasuki Selat Sunda menuju pelabuhan di pantai Utara Jawa.[6]

Menurut Tome Pires seperti yang dikutip Badri Yatim mengemukakan bahwa pada abad 15 di daerah Sumatera Utara dan Selat Malaka telah terdapat masyarakat dan kerajaan Islam. Sedangkan di Jawa, dengan ditemukannya makam Fatimah binti Maimun di Gresik telah membuktikan adanya masyarakat muslim.[7] Islam belum tersebar luas di daerah Jawa sampai pada puncak kemajuan kerajaan Majapahit banyak ditemukan bukti terjadinya Islamisasi. Misalnya batu nisan di Troyolo, Trowulan, dan Gresik. Bahkan di pusat kota kerajaan Majapahit atau di pesisir telah terbentuk masyarakat muslim.[8]

Perkembangan Islam di Jawa memunculkan kerajaan Demak dan kota pelabuhan Jepara, Tuban dan Gresik sehingga terbentuklah rangkaian kota pelabuhan. Kemudian munculnya kerajaan seperti di Cirebon, Jayakarta, dan Banten terbentuk pula jalinan hubungan pelayaran, perekonomian, dan politik dengan kerajaan Demak yang pada saat itu menjadi pusat kerajaan Islam di Jawa.[9] Tersebarnya Islam di Jawa tidak bisa di lepaskan dari perjuangan Wali Sanga. Bahkan sebagian dari mereka di sebut pencipta kesenian untuk menjelaskan Islam dalam idiom lokal.[10]

Menurut catatan kuno Tiongkok, telah ada pemukiman muslim Arab di pesisir Sumatera sekitar tahun 625 M. Pada periode ini Islam tidak berkembang secara menyeluruh hanya di beberapa wilayah saja misalnya di Sumatera dan sebagian pantai utara Jawa. Baru pada abad ke-12 M, Islam berkembang pesat ke berbagai daerah di Nusantara yang di bawa oleh saudagar Arab, Gujarat maupun penduduk pribumi yang sudah memeluk Islam terlebih dahulu.[11]

Pada akhir abad ke-12 Masehi, terdapat wilayah Islam di Perlak yakni di pantai timur Sumatera. Wilayah ini kemudian mendirikan kerajaan Islam pertamakali yang didirikan oleh pedagang asing dari Mesir, Maroko, Persia, dan Gujarat. Pedagang ini telah menetap di Perlak sejak awal abad ke-12. Pendiri kerajaan ini keturunan Quraisy yang kemudian mengawini perempuan pribumi dan memiliki keturunan yang bernama Sayid Abdul Aziz dan menjadi raja Perlak. Agama Islam yang dianut raja ini adalah agama Islam yang bermazhab Syiah. Ia berkuasa sejak tahun 1161 Masehi sampai tahun 1186 Masehi.[12]

    C.  Teori datangnya Islam ke Indonesia

Datangnya Islam ke Indonesia menjadi perdebatan para ahli sejarah yang memunculkan beberapa teori, yaitu: teori Arab, teori Cina, teori India, dan teori Persia.[13]

1.    Teori India

Pijnappel, salah seorang yang memegang teori India seperti yang dikutip Nur Huda menjelaskan bahwa Islam datang ke Indonesia berasal dari India bukan dari Arab atau Persia langsung. Banyak orang Arab yang bermazhab Syafi’i berimigrasi dan menetap di India sebelum ke Indonesia. Baru kemudian mereka  melanjutkan perjalanannya ke Indonesia untuk menyebarkan Islam di Nusantara. Mereka datang dari Gujarat dan Malabar tetapi pernyataan ini ditolak oleh C. Snouck Hurgronje yang mengatakan bahwa mereka dari Malabar dan Coromandel. Sebelumnya para imigran telah menetap di kedua wilayah tersebut. Kemudian yang menjadi perantara perdagangan dengan penduduk Indonesia adalah penduduk yang berasal dari Deccan. Baru kemudian penduduk Deccan banyak yang menetap di Indonesia khususnya di kota pelabuhan untuk menabur benih-benih Islam. Setelah itu datanglah orang Arab yang disebut sayyid atau sharif yang melanjutkan penyebaran Islam di Indonesia. C. Snouck Hurgronje menentang pendapat Pijnappel dengan alasan bahwa paham Syafi’iyah yang ada di wilayah Coromandel sama dengan yang ada di Indonesia. Ia juga menyebutkan bahwa kemungkinan besar awal  ke Indonesia pada abad ke 12. [14]

J. P. Moquette juga berkesimpulan bahwa Islam di Indonesia berasal dari Gujarat India. Pendapatnya didasarkan pada pengamatannya terhadap bentuk batu nisan di Pasai yang berangka 17 Dzulhijjah 831 H/ 27 September 1428. Selain itu, ia juga mengamati batu nisan pada makam Maulana Malik Ibrahim (w. 822 H/ 1419) di Gresik. Menurutnya bentuk batu nisan tersebut sama dengan batu nisan di Cambay, Gujarat. Ia berpendapat bahwa batu nisan yang dihasilkan oleh penduduk Gujarat tidak hanya dijual di pasar lokal tetapi juga di ekspor ke wilayah lain seperti Jawa dan sumatera. Bagi Moquette, orang Indonesia kemungkinan besar belajar Islam dari pedagang Gujarat.[15]

Banyak ahli sejarah yang lain mendukung pendapat Moquette ini seperti R. A. Kern, R. O. Winstedr, G.H.M. Vlekke, J. Gonda, B.J.O. Schrieke, dan D.G.E. Hall. Ada pula yang menolak pendapat Moquette yaitu S.Q. Fatimi yang menyatakan bahwa batu nisan tersebut lebih mirip dengan batu nisan yang ada di Bangladesh dan berbeda jauh dengan batu nisan yang ada di Gujarat. Hal ini didukung dengan adanya batu nisan pada makam Siti Fatimah binti Maimun (475 H/ 1082) yang ditemukan di Leran Jawa Timur. Oleh karenanya ia berpendapat bahwa Islam di Indonesia berasal dari Bangladesh namun, pendapat tersebut tidak bisa menandingi pendapat Moquette yang didukung oleh para ahli sejarah.[16]

Selain Fatimi, Morisson juga tidak menyetujui pendapat Moquette karena baginya teori Gujarat memiliki kelemahan. Ia berpendapat bahwa Islam tidak datang dari Gujarat sekalipun batu nisan tersebut berasal dari Gujarat. Alasan yang dikemukakan adalah raja pertama kerajaan Samudera Pasai wafat pada tahun 698 H/ 1297, sedangkan Gujarat masih sebuah kerajaan Hindu. Gujarat ditaklukkan oleh umat Islam satu tahun kemudian.[17] Kerajaan Samudera Pasai yang didirikan oleh Sultan Malik al-Shaleh adalah kerajaan yang berbasis Islam. Bahkan raja-raja berikutnya sangat berpegang teguh dengan ajaran Islam dan ikut serta dalam menyebarkan agama Islam. Hasilnya sangat memuaskan karena perkembangan tersebut memjadikan Samudera Pasai sebagai pusat penyebaran agama Islam.[18] Tidak heran jika Morisson berkesimpulan bahwa Islam di Indonesia tidak berasal dari Gujarat tetapi dibawa oleh pendakwah Muslim dari pantai Coromandel pada akhir abad ke 13. Pendapat Morisson ini mendukung pendapat Thomas W. Arnold yang berpendapat bahwa Islam di Indonesia antara lain berasal dari Coromandel dan Malabar.[19] Bagi Arnold, Coromandel dan Malabar bukanlah satu-satunya tempat asal Islam tetapi juga dari Arabia. Pedagang Arab sejak abad pertama Hijriyah / abad ke-7 dan ke-8 Masehi, telah mendominasi perdagangan barat-timur. Maka sangat pantaslah jika berasumsi bahwa pedagang Arab juga berperan dalam menyebarkan Islam. Menjelang akhir perempatan ketiga abad ke-7, dalam sumber China disebutkan bahwa ada seorang pedagang Arab yang menjadi pemimpin sebuah pemukiman muslim di pantai Sumatera.[20]

2.    Teori Arab

Crawfurd mengatakan bahwa Islam dikenalkan kepada penduduk Indonesia langsung dari Tanah Arab. Ia tidak memungkiri bahwa hubungan antara Melayu-Indonesia dengan India merupakan faktor penting. Teori ini juga didukung oleh Keyzer yang mendasarkan pendapatnya pada persamaan mazhab Syafi’i. selain itu ia berpendapat bahwa Islam di Indonesia berasal dari Mesir. Neimann dan De Hollander berpendapat bahwa Islam Indonesia berasal dari Hadramaut.[21] Arnold juga berpendapat bahwa selain pedagang dari Coromandel, Islam juga dibawa oleh pedagang Arab yang sudah aktif melakukan perdagangan sejak awal abad ke-7 dan ke-8 Masehi. Pendapat ini didasarkan pada sumber China yang menyebutkan bahwa menjelang perempatan abad ke-7, seorang pedagang Arab menjadi pemimpin pemukiman Arab Muslim di pesisir barat Sumatera.[22]

Naguib al-Attas juga sepakat dengan teori ini karena ia tidak bisa menerima penemuan epigrafis yang diajukan Moquette yakni batu nisan yang ditemukan di Nusantara adalah bukti bahwa Islam dibawa langsung oleh Muslim India. Menurutnya, saat mengkaji kedatangan Islam ke Nusantara yang paling penting untuk dikaji adalah karakteristik internal Islam yang ada di Indonesia-Melayu. Kesimpulannya seluruh literature keagamaan Islam sebelum abad ke-17 tidak ada satupun yang tulis oleh muslim India. Sarjana Barat menyebutkan pengarang literature tersebut meskipun dianggap berasal dari Arab atau Persia, pada akhirnya mereka berasal dari Arab baik secara etnis maupun kultural. Nama dan gelar para pembawa Islam ke Nusantara menunjukkan orang Arab atau Arab-Persia.[23]

Salah satu pakar sejarah dan arkeologi Islam, Uka Tjandrasasmita menduga bahwa Islam datang ke Indonesia pada abad ke-7 atau ke-8. Menurutnya, pada abad ini memungkinkan adanya hubungan antara orang Islam dari Arab, Persia, dan India dengan Indonesia. Hal ini dikarenakan pada abad tersebut sangat dimungkinkan terjadi kemajuan perhubungan pelayaran sebagai akibat dari persaingan di antara kerajaan besar yakni, kerajaan Bani Umayyah di Asia Barat, kerajaan Sriwijaya di Asia Tenggara, dan dinasti T’ang di Asia Timur.[24]

Bahkan di suatu riwayat diceritakan bahwa pada abad pertama Hijriyah, Rasulullah telah mengutus Sa’ad bin Abi Waqqash ke negeri China dan memperkenalkan Islam di China dan pada abad ini pula telah ada pemukiman Muslim di Kanton. Pada abad pertama Hijriyah/ abad ke-7 Masehi muslim di Kanton berpindah ke Palembang dan Kedah. Disana, mereka telah melakukan aktifitas keagamaan dan adat dengan baik.[25] Beberapa literature menyebutkan bahwa duta Muslim juga mengunjungi kerajaan Sriwijaya yang pada zaman itu kerajaan Sriwijaya dalam masa keemasan. Bahkan tidak ada satu ekspedisi pun yang menuju China dan Gujarat dari Timur Tengah tanpa melewati selat Malaka dan biasanya akan singgah di kerajaan Sriwijaya. Kedekatan kerajaan Sriwijaya dengan Islam di Timur Tengah berjalan dengan baik hingga masa kepemimpinan khalifah Umar bin Abdul Aziz.[26]

3.    Teori Persia

P.A. Hoesein Djadiningrat, salah satu pendukung teori ini mengatakan bahwa Islam di Indonesia berasal dari Persia dengan beberapa alasan; pertama, pengaruh sufisme Persia terhadap ajaran mistik Islam Indonesia. Seperti ajaran Syaikh Siti Jenar yakni manunggaling kawula gusti menurut Hoesein adalah pengaruh dari ajaran al-Hallaj. Kedua, istilah Bahasa Persia dalam mengeja huruf Arab masih digunakan hingga sekarang di pedalaman Banten. Ketiga, peringatan Ashura’ atau 10 Muharram sebagai salah satu hari yang diperingati oleh kaum Syi’ah. Pada tanggal 10 Muharram, di Jawa peringatan ini ditandai dengan bubur Ashura’. Di Sumatera Tengah sebelah barat, ada upacara Tabut yaitu mengarak (keranda Husain) untuk dilemparkan ke sungai.[27]

4.    Teori China

H.J. de Graaf yang telah berhasil menyunting beberapa literature Jawa klasik mengatakan bahwa peranan orang China dalam pengembangan Islam di Indonesia perlu dipertimbangkan. Disebutkan dalam literatur tersebut bahwa tokoh besar dalam menyebarkan Islam seperti Sunan Ampel (raden Rahmat/ Bong Swo Hoo) dan raja Demak (raden Fatah/ Jin Bun) adalah keturunan China. Pendapat ini didukung oleh Slamet Muljana dan Denys Lombard. Pengaruh China bisa terlihat dari beberapa hal antara lain makanan, pakaian, bahasa, seni bangunan, dan sebagainya.[28]


BACA ARTIKEL LAINNYA YANG BERKAITAN


[1] Ajid Thohir, Studi Kawasan Dunia Islam: Perspektif Etno-Linguistik dan Geo-Politik (Jakarta: Rajwali Pers, 2011), 388-389.

[2] Ibid, 390.

[3] Badri Yatim, Sejarah Peradaban Islam (Jakarta: Rajawali Pers, 2010), 194.

[4] Yatim, Sejarah Peradaban, 194. Lihat pula Uka Tjandrasasmita, “kedatangan dan Penyebaran Islam” dalam ensiklopedi Tematis Dunia Islam, jil.5 (t.t: Ichtiar Baru Van Hoeve, t.th), 10.

[5] Ibid, 195. Lihat pula Samsul Munir Amin, Sejarah Peradaban Islam (Jakarta: Amzah, 2013), 309-310.

[6] Ibid, 197.

[7] Tjandrasasmita, Ensiklopedi Tematis, 12.

[8] Yatim, Sejarah Peradaban, 197.

[9] Nur Huda, Islam Nusantara: Sejarah Sosial Intelektual Islam di Indonesia (Jogjakarta: Ar-Ruzz Media, 2007), 52-53.

[10] Michael Laffa, Sejarah Islam di Nusantara, terj. Indi Aunullah dan Rini Nurul Badariah (Yogyakarta: PT Bentang Pustaka, 2015), 8. Lihat pula Ridin Sofwan, dkk, Islamisasi di Jawa; Walisongo, Penyebar Islam di Jawa, Menurut Penuturan Babad (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2004), 230-231.

[11] Amin, Sejarah Peradaban, 305-306.

[12] Slamet Muljana, Runtuhnya Kerajaan Hindu-Jawa dan Timbulnya Negara-negara Islam di Nusantara (Yogyakarta: Lkis, 2005), 132.

[13] Huda, Islam Nusantara, 32. Lihat pula Rizem Aizid, Sejarah Peradaban Islam Terlengkap (Yogyakarta: DIVA Press, 2015), 481. Lihat pula Thohir, Studi Kawasan, 394. Lihat pula SKI UIN Yogyakarta, Sejarah Peradaban Islam di Indonesia (Yogyakarta: Pustaka, 2006), 34-42.

[14] Huda, Islam Nusantara, 32-33. Lihat juga Azyumardi Azra, Jaringan Ulama Timur Tengah dan Kepulauan Nusantara Abad XVII  & XVIII (Jakarta: Kencana, 2005), 3.

[15] Huda, Islam Nusantara, 33.

[16] Huda, Islam Nusantara, 34. Lihat pula Azra, Jaringan Ulama, 4.

[17] Huda, Islam Nusantara, 35.

[18] Aizid, Sejarah Peradaban, 489.

[19] Huda, Islam Nusantara, 35.

[20] Azra, Jaringan Ulama,6.

[21] Huda, Islam Nusantara, 36. Lihat pula Azra, Jaringan Ulama, 7-8.

[22] Huda, Islam Nusantara, 35.

[23] Azra, Jaringan Ulama, 8-9.

[24] Huda, Islam Nusantara, 36.

[25] Amin, Sejarah Peradaban, 304.

[26] Sulasman dan Suparman, Sejarah Islam di Asia dan Eropa (Bandung: CV Pustaka Setia, 2013), 301.

[27] Ibid, 38.

[28] Ibid, 38-39.

MAKALAH HADIST TENTANG HIJAB

  A.   Latar Belakang Telah disepakati oleh seluruh umat Islam bahwa al-Qur’an menjadi pedoman hidup baik tentang syariah maupun dalam keh...