HOME

28 Februari, 2022

Pengertian, Objek, Dan Kegunaan Ilmu Hadist

 

        1.      Pengertian Etimologis dan Terminologis

Kata ilmu hadis berasal dari bahasa Arab ‘ilm al-hadist, yang terdiri dari kata ‘ilm dan al-hadist. Secara etimologis, ilm’ berarti pengetahuan[1] jamaknya ‘ulum, yang berarti al-yaqin (keyakinan) dan al-ma’rifah (pengetahuan). Menurut ahli kalam (mutakallimun), ilmu berarti keadaan tersingkapnya sesuatu yang diketahui (objek pengetahuan). Tradisi di sebagian ulama, ilmu diartikan sebagai sesuatu yang menancap dalam-dalam pada diri seseorang yang dengannya dapat menemukan atau mengetahui sesuatu.[2]

Sedangkan kata hadis, sebagaimana telah dijelaskan sebelumnya, berasal dari bahasa Arab al-hadist berarti baru, yaitu الحديث من الاشياء (sesuatu yang baru), bentuk jamak hadis dengan makna ini hidath, hudatha’ dan huduth, dan antonimnya qadim (sesuatu yang lama).[3] Di samping berarti baru, al-hadist juga mengandung arti dekat (القريب), yakni sesuatu yang dekat, yang belum lama terjadi[4] dan juga berarti berita (الخبر) yang sama dengan hiddith yaitu  ما يحدث به و ينقل (sesuatu yang dipercakapkan dan dipindahkan dari seseorang pada orang lain).[5]

Secara terminologis, hadis oleh para ulama diartikan sebagai segala yang disandarkan pada Nabi baik berupa perkataan, perbuatan, persetujuan,


ataupun sifat-sifatnya.[6] Nur al-Din ‘Itr mendefinisikan hadis dengan segala sesuatu yang disandarkan kepada Nabi baik perkataan, perbuatan, ketetapan, sifat-sifat, tabi’at dan tingkah lakunya atau yang disandarkan kepada para sahabat dan tabi’in.[7] Dari pengertian di atas, ilmu hadis dapat diartikan sebagai ilmu yang mengkaji dan membahas tentang segala yang disandarkan kepada Nabi baik berupa perkataan, perbuatan, persetujuan, ataupun sifat-sifat, tabi’at dan tingkah lakunya atau yang disandarkan kepada sahabat dan tabi’in.

Menurut Al-Suyut}i, ilmu hadis adalah,

علم يبحث فيه كيفية اتصال الحديث برسول الله ص.م. من حيث معرفة أحوال رواتها ضبطا وعدالة ومن حيث كيفية السند اتصالا وانقطاعا وغير ذلك.[8]       

Ilmu pengetahuan yang membicarakan cara-cara persambungan hadis sampai kepada Rasul SAW. Dari segi hal-ihwal para rawinya, yang menyangkut ke-dhabit-an dan ke-‘adil-annya dan dari bersambung dan terputusnya sanad dan sebagainya.

 

     2.      Objek dan Kegunaan Ilmu Hadis

Dalam hubungannya dengan pengetahuan tentang hadit, ada ulama yang menggunakan bentuk ‘ulum al-hadist, seperti ibn Shalah (w.642 H/1246 M.) dalam kitab nya  Ulum al-hadist, dan ada juga yang menggunakan bentuk ilm al-hadist, seperti Jalaluddin al-Suyut}i dalam mukaddimah kitab hadisnya, Tadrib al-Rawi. Penggunaan bentuk jamak disebabkan ilmu tersebut bersangkut paut dengan hadis Nabi SAW. yang banyak macam dan cabangnya. Hakim al-Naisaburi (321 H/933 M-405 H/114 M) misalnya dalam kitabnya Ma’rifah Ulum al-hadist mengemukakan 52 macam ilmu hadis. Muhammad bin Nasir al-Hazimi, ahli hadis klasik, mengatakan bahwa jumlah ilmu hadis mencapai lebih dari seratus macam yang masing masing mempunya objek kajian khusus sehingga biasa dianggap sebagai suatu ilmu tersendiri.

Secara garis besar, ulama hadis mengelompokkan ilmu hadis ke dalam dua bidang pokok, yakni ilmu hadis riwayah dan ilmu hadis dirayah.

        a.)    Ilmu Hadis Riwayah

Kata riwayah artinya periwayatan atau cerita. Ilmu hadis riwayah, secara bahasa berarti ilmu-ilmu hadis yang berupa periwayatan.

Para ulama berbeda-beda dalam mendefinisikan ilmu hadis riwayah, namun yang paling terkenal diantara definisi tersebut adalah definisi ibn al-Akhfani, yaitu:

عِلْمٌ يَشْتَمِلُ عَلَى اقْوَالِ النَّبِى صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَأَفْعَالِهِ وَرِوَايَتِهَا وَضَبْطِهَا وَتَحْرِيْرَ اَلْفَاظِهَا[9]

Ilmu hadis riwayah adalah ilmu yang membahas ucapan-ucapan dan perbuatan-perbuatan Nabi SAW., periwayatannya, pencatatannya, dan penelitian lafadh-lafadhnya .

 

Namun, menurut ‘Itr, definisi ini mendapat sanggahan dari beberapa ulama hadis lainnya karena definisi ini tidak komprehensif, tidak menyebutkan ketetapan dan sifat-sifat Nabi SAW. Definisi ini juga tidak mengindahkan pendapat yang menyatakan bahwa hadis itu mencakup segala apa yang di nisbatkan kepada sahabat atau tabi’in sehingga pengertian hadis yang lebih tepat, menurut ‘Itr, adalah:

عِلْمٌ يَشْتَمِلُ عَلَى اقْوَالِ النَّبِى صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَأَفْعَالِهِ وتقريرته وصفاته وَرِوَايَتِهَا وَضَبْطِهَا وَتَحْرِيْرَ اَلْفَاظِهَ[10]ا

Ilmu yang membahas ucapan, perbuatan, ketetapan dan sifat-sifat Nabi SAW., periwayatanya, dan penelitian lafadh-lafadhnya.

Objek kajian ilmu hadis riwayah adalah segalah sesuatu yang dinisbatkan kepada Nabi SAW, sahabat dan tabi’in, yang meliputi :

1). Cara periwayatannya, yakni cara penerimaan dan penyampaian hadis dari seorang periwayat (rawi) kepada periwayat lain.

2). Cara pemeliharaan, yakni penghafalan, penulisan dan pembukuan hadis dari sudut kualitas nya, seperti tentang ‘adalah (ke-’adil-an) sanad, syadz (kejanggalan) dan ‘illat (kecacatan) matan.

Ilmu hadis riwayah bertujuan memelihara hadis Nabi SAW. dari kesalahan dalam proses periwayan atau dalam penulisan dan pembukuannya. Lebih lanjut ilmu ini juga bertujuan agar umat Islam menjadikan Nabi SAW sebagai suri tauladan melalui pemahaman terhadap riwayat yang berasal darinya dan mengamalkan nya sesuai dengan firman Allah SWT.:

لقد كان لكم فى رسول الله اسوة حسنة لمن كان يرجوا الله واليوم الاخر وذكر الله كثيرا. (الاحزاب: 21)

Sesungguh nya  telah ada pada diri Rasul Allah itu suri tauladan yangbaik bagi mu, (yaitu) bagi orang yang mengharap (rahmat) Allah dan (kedatangan) hari kiamat dan dia banyak menyebut Allah.[11]

 

Ulama yang terkenal dan dipandang sebagai pelopor ilmu hadis riwayah adalah Abu Bakar Muhammad bin Syihab al-Zuhri (51-124 H), seorang imam dan ulama besar di Hedzjaz (Hijaz) dan Syam (Syuria). Dalam sejarah perkembangan hadis, al-Zuhri tercatat sebagai ulama pertama yang menghimpun hadis Nabi SAW. Atas perintah khalifah Umar bin Abd Aziz atau Khalifah Umar II (memerintah 99 H/717 M -102 H/720 M).

Ilmu hadis riwayah ini sudah ada sejak periode Rasul Allah SAW., bersamaan dengan di mulai nya periwayatan itu sendiri. Sebagaimana diketahui para sahabat menaruh perhatian tinggi terhadap hadis Nabi Muhammad SAW. Mereka berupaya mendapat kan nya dengan menghadiri majlis Rasul Allah. Dan mendengar serta menyimak pesan atau nasihat yang di sampaikan Nabi Muhammad SAW.

Mereka juga memperhatikan dengan seksama apa yang di lakukan Rasul Allah SAW., baik dalam beribadah maupun aktifitas social, serta akhlaq nabi SAW. Sehari hari. Semua itu mereka pahami dengan baik dan mereka pelihara melalui hafalan mereka. Selanjutnya mereka menyampaikannya dengan sangat hati hati kepada sahabat lain atau tabi’in, para tabi’in-pun melakukan hal yang sama, memahami hadis, memeliharanya dan menyampaikanya kepada tabi’in lain atau tabi’ al tabi’in (generasi sudah tabi’in).

Demikianlah, periwayatan dan pemeliharaan hadis Nabi SAW. Berlangsung hingga usaha penghimpunan yang di pelopori oleh al-Zuhri. Usaha penghimpunan, penyeleksian, penulisan dan pembukuan hadis secara besar besaran dilakukan oleh ulama hadis pada abad ke 3H, seperti imam al Buhari, imam Muslim, imam Abu daud, imam al Tirmidzi. Dan ulama-ulama hadis lain nya melalui kitab hadis masing masing.

         b.)    Ilmu Hadis Dirayah

Istilah ilmu hadit dirayah, menurut al-Suyuthi, muncul setelah masa al-Khatib al-Baghdadi, yaitu pada masa al-Akfani. Ilmu ini juga di kenal dengan sebutan ilmu ushul al-hadis, ‘ulum al-hadis, musthalah alhadis, dan qowa’id al-tahdits. [12]

Menurut ‘Izzuddin bin Jama’ah, mendefinisikan,

علم بقوانين يعرف بها احوال السند والمتن.[13]

“Ilmu yang membahas pedoman-pedoman yang dengannya dapat diketahui keadaan sanad dan matan”.

Dari pengertian tersebut, kita bisa mengetahui bahwa ilmu hadis dirayah adalah ilmu yang mempelajari kaidah-kaidah untuk mengetahui hal ihwal sanad, matan, cara menerima dan menyampaikan hadis, sifat rawi dan lain-lain.

Sasaran ilmu hadis dirayah adalah sanad dan matan dengan segala persoalan yang terkandung di dalamnya yang turut memengaruhi kualitas hadis tersebut. Kajian terhadap masalah-masalah yang bersangkutan dengan sanad disebut naqd al-sanad (kritik sanad) atau kritik ekstern. Disebut demikian karena yang dibahas ilmu itu adalah akurasi (kebenaran) jalur periwayatan, mulai sahabat sampai kepala periwayat terakhir yang menulis dan membukukan hadis tersebut.

Pokok-pokok bahasan naqd al-sanad adalah sebagai berikut:

1.)    Ittishal al-sanad (persambungan sanad). Dalam hal ini tidak dibenarkan adanya rangkaian sanad yang terputus, tersembunyi, tidak diketahui identitasnya (wahm) atau samar.

2.)    Tsiqat al-sanad, yakni sifat ‘adl (adil), dhabit (cermat dan kuat) dan tsiqah (terpercaya) yang harus dimiliki seorang periwayat.

3.)    Syadz, yakni kejanggalan yang terdapat atau bersumber dari sanad. Misalnya hadis yang diriwayatkan oleh seorang yang tsiqah, tetapi menyendiri dan bertentangan dengan hadis yang diriwayatkan oleh periowayat-periwayat tsiqah lainnya.

4.)    ‘Illat, yakni cacat yang tersembunyi pada suatu hadis yang kelihatannya baik atau sempurna. Syadz dan ‘Illat ada kalanya terdapat juga pada matan dan untuk menelitinya diperlukan penguasaan ilmu hadis yang mendalam.[14]

Kajian terhadap masalah yang menyangkut matan disebut naqd al- matn (kritik matan) atau kritik intern. Disebut demikian karena yang dibahasnya adalah materi hadis itu sendiri, yaitu perkataan, perbuatan atau ketetapan Rasul Allah SAW. Pokok pembahasannya meliputi:

a.)    Kejanggalan-kejanggalan dari segi redaksi.

b.)    Fasad al-ma’na, yakni terdapat cacat atau kejanggalan pada makna hadis karena bertentangan dengan fakta al-hiss (indra) dan akal, bertentangan dengan nash al-Qur’an dan bertentangan fakta sejarah yang terjadi pada masa Nabi SAW. serta mencerminkan fanatisme golongan yang berlebihan.

c.)    Kata-kata gharib (asing), yakni kata-kata yang tidak bisa dipahami berdasarkan makna yang umum dikenal.[15]

Tujuan dan faedah ilmu hadis dirayah adalah: 1.) mengetahui pertumbuhan dan perkembangan hadis dan ilmu hadis dari masa ke masa Rasul Allah SAW. sampai masa sekarang; 2.) mengetahui tokoh-tokoh dan usaha-usaha yang telah dilakukan dalam mengumpulkan, memelihara dan meriwayatkan hadis; 3.) menetahui kaidah-kaidah yang dipergunakan oleh para Ulama dalam mengklasifikasikan hadis lebih lanjut; dan 4.) mengetahui istilah-istilah, nilai-nilai dan kriteria-kriteria hadis sebagai pedoman dalam menetapkan suatu hukum syara’.[16]

Dengan mengetahui ilmu hadis dirayah, kita bisa mengetahui dan menetapkan maqbul (diterima) dan mardad (ditolak)-nya suatu hadis. Karena dalam perkembangannya hadis Nabi SAW. telah dikacaukan dengan munculnya ahdis-hadis palsu yang tidak saja dilakukan oleh musuh-musuh Islam, tetapi juga oleh umat Islam sendiri dengan motif kepentingan pribadi, kelompok atau golongan.

Oleh karena itu, ilmu hadis dirayah ini mempunyai arti penting dalam usaha pemeliharaan hadis Nabi SAW. Dengan ilmu hadis dirayah, kita dapat meneliti hadis mana yang dapat dipercaya berasal dari Rasul Allah SAW., yang sahih, dhaif, dan maudhu’ (palsu).

Baca juga artikel yang lainya:

DAFTAR PUSTAKA
Departemen Agama, Alquran dan Terjemahannya, Bandung: Sygma, 2009.
‘Itr, Nur al-Din. Manhaj al-Naqd fi Ulum al-hadist al-Nabawi, Damaskus: Dar al-Fikr, 1997.
Ichwan, Mohammad Nor. Membahas Ilmu-Ilmu Hadis, Semarang: Rasail Media  Group, 2013.
Khatib (al), Muhammad ‘Ajjaj. al-Sunnah qabl al-Tadwin, Beirut: Dar al-Fikr, 1971.
______(al), Muhammad ‘Ajaj. Ushul al-Hadith, Kairo: Dar al-Fikr, 1989.
Munawwir, Ahmad Warson. Kamus Al-Munawwir, Surabaya: Pustaka Progresif, 1997.
Ranuwijaya, Utang. Ilmu Hadis, Jakarta: Gaya Media Pratama, 1996.
Shabbagh (al), Muhammad. al-hadist al Nabawi, Riyad}: al-Maktab al-Islami, 1972.
Soetari, Endang. Ilmu Hadits; Kajian Riqayah dan Dirayah, Bandung: Mimbar Pustaka, 2005.
Solahudin, M. Agus. Ulum al-hadist, Bandung: Pustaka Setia, 2009.
Suyut}i (al), Jalal al-Din ‘Abd al-Rahman ibn Abi Bakr. Tadrib al-Rawi fi Syarh Taqrib al-Nawawi, Vol.             I, Beirut: Dar al-Fikr, 1988.
Syihab, Muhammad ibn Muhammad Abu. al Wasith fi Ulum wa Mushthalah al-Hadits (Beirut: Dar al-                Fikr, tth.
Thahhan (al), Mahmud. Taysir Musthalah al-Hadits, Surabaya: Syirkah Bungkul Indah, tth.
Tirmisi (al), Muhammad Mahfuzh ibn ‘Abd Allah. Manhaj Dzawi al-Nazhar, Beirut: Dar al-Fikr, 1974.


[1] Ahmad Warson Munawwir, Kamus Al-Munawwir, (Surabaya: Pustaka Progresif, 1997), 966, 243.

[2] Muhammad ibn Muhammad Abu Syihab, al Wasith fi Ulum wa Mushthalah al-Hadits (Beirut: Dar al-Fikr, tth.), 23.

[3] Muhammad al-Shabbagh, al-hadist al Nabawi, (Riyad}: al-Maktab al-Islami, 1972), 13.

[4] Muhammad Mahfuzh ibn ‘Abd Allah al-Tirmisi, Manhaj Dzawi al-Nazhar, (Beirut: Dar al-Fikr, 1974), 8.

[5] Muhammad al-Shabbagh, al-hadist al Nabawi, 13.

[6] Muhammad ‘Ajjaj al-Khatib, al-Sunnahqabl al-Tadwin, (Beirut: Dar al-Fikr, 1971), 20.

[7] Nur al-Din ‘Itr, Manhaj al-Naqd fiUlum al-hadist al-Nabawi, (Damaskus: Dar al-Fikr, 1997), 26.

[8] Jalal al-Din ‘Abd al-Rahman ibn Abi Bakr al-Suyut}i, Tadrib al-Rawi fi Syarh Taqrib al-Nawawi, Vol. I, (Beirut: Dar al-Fikr, 1988), 5-6.

[9] Jalal al-Din ‘Abd al-Rahman ibn Abi Bakr al-Suyuthi, Tadrib al-Rawi fi Syarh Taqrib al-Nawawi, 5-6.

[10] Nur al-Din ‘Itr, Manhaj al-Naqd fi Ulum al-hadist al-Nabawi, 26.

[11] Departemen Agama, Alquran dan Terjemahannya, (Bandung: Sygma, 2009), 418.

[12] Jalal al-Din ‘Abd al-Rahman ibn Abi Bakr al-Suyuthi, Tadrib al-Rawi fi Syarh Taqrib al-Nawawi, 7.

[13] Nur al-Din ‘Itr, Manhaj al-Naqd fiUlum al-Hadits al-Nabawi, 30.

[14] Utang Ranuwijaya, Ilmu Hadis, (Jakarta: Gaya Media Pratama, 1996), 77.

[15] Utang Ranuwijaya, Ilmu Hadis, 78.

[16] Ibid., 79.

MAKALAH HADIST TENTANG HIJAB

  A.   Latar Belakang Telah disepakati oleh seluruh umat Islam bahwa al-Qur’an menjadi pedoman hidup baik tentang syariah maupun dalam keh...