HOME

25 Maret, 2022

Syarat-Syarat Nasakh

 

Manna’ Khalil al-Qattan dalam Mabahist fi ‘Ulum al-Quran menyebutkan ada tiga syarat yang harus dipenuhi proses Nasakh, yaitu:[1]

  • Hukum yang diNasakh adalah hukum syariat. Bukan hukum akal atau hukum buatan manusia.
  • Dalil yang meNasakh merupakan dalil syar’i yang datang dan memiliki tenggang waktu dari dalil yang pertama (diNasakh).
  • Hukum yang diNasakh merupakan hukum yang tidak dibatasi oleh waktu. Sebab jika tidak demikian, maka hukum tersebut akan berakhir atau selesai dengan berakhirnya batas waktu tersebut.

Sedikit berbeda dengan al-Qattan, H{assan Ayyub memetakan empat syarat yang harus dipenuhi dalam meNasakh sebuah dalil sebagai berikut:[2]

1.             Hukum yang diNasakh harus berupa hukum syariat.

2.             Dalil yang meNasakh berupa dalil syari’i.

3.     Dalil yang meNasakh harus datang dalam beberapa tenggang waktu setelah dalil yang diNasakh.

4.     Adanya kontradiksi antara kedua dalil tersebut.


Baca artikel lain yang berkaitan;


[1] Manna’ Khalil al-Qattan, Mabahist fi ‘Ulum al-Quran ..., 327.

[2] H{asan Ayyub, al-H{adist fi ‘Ulumi Alquran wa al-H{adist..., 110.

Hukum Dan Dalil Nasakh

 

Mayoritas umat Islam sepakat bahwa status hukum Nasakh adalah jawaz atau boleh, sebab Nasakh memang benar terjadi baik dalam Alquran maupun hadis. Hal ini berpunggungan dengan kaum Yahudi yang tidak mempercayai eksistensi Nasakh.[1]

Adapun dalil tentang Nasakh, Muhammad ‘Abd al-‘Azim al-Zarqani dalam Manahil al-‘Irfan fi ‘Ulum al-Quran menyebutkan ada dua dalil yang membuktikan bahwa Nasakh absah dalam Alquran, yaitu ‘aqli dan sam’i.[2]

Menurut al-Zaraqani ada empat dalil‘aqli yang menjadi Nasakh, yaitu:[3]

1.       Akal tidak menafikan Nasakh dan Nasakh bukanlah hal yang mustahil bagi akal. Menurut akal adanya Nasakh adalah sah dan sangat memungkinkan.

2.       Jika memang Nasakh dilarang dan tidak boleh baik secara akal maupun syariat, maka syariat juga tidak akan memerintahkan ibadah-ibadah yang bersifat sementara dan terbatas oleh waktu, sebab selesainya ibadah tersebut termasuk dari Nasakh. Contoh puasa bulan ramadan. Syariat mewajibkan berpuasa sebulan penuh, lalu mengharamkan puasa pada tanggal 1 syawal, maka hal semacam ini juga termasuk dari Nasakh.

3.      Seandainya Nasakh tidak dibenarkan menurut akal dan syariat, maka risalah Nabi Muhammad SAW sebagai penyempurna dan pengganti risalah nabi-nabi sebelumnya juga tidak sah, dan risalah Nabi Muhammad SAW tidak boleh untuk khalayak luas secara umum (kaffah). Akan tetapi risalah Nabi Muhammad SAW untuk siapa saja tak terbatas ruang dan waktu karena risalah tersebut sebagai pengganti dan pelengkap risalah nabi-nabi sebelumnya.

4.             Adanya dalil-dalil sam’i yang menjelaskan tentang eksistensi Nasakh.


Adapun dalil Nasakh secara sam’i, al-Zarqani memetakan menjadi dua, bersumber dari syariat atau kitab-kitab terdahulu dan bersumber dari Alquran.[4]

Contoh dalil Nasakh yang bersumber dari syariat atau kitab-kitab terdahulu:[5]

1.             Allah SWT memerintahkan Nabi Ibrahim untuk menyembelih putranya, Ismail, lalu Allah melarangnya dan menyuruhnya untuk menyembelih seekor domba.

2.             Allah SWT memerintahkan Bani Israil untuk membunuh siapa saja yang menyembah patung sapi, kemudian Allah melarang mereka untuk membunuh kaum penyembah patung sapi tersebut.

3.             Dalam syariat Nabi Ya’kub, boleh hukumnya menikahi dua perempuan bersaudara sekaligus, namun hal itu diharamkan dalam syariat Nabi Musa.

4.             Bekerja di hari sabtu bagi kaum Yahudi pada mulanya diperkenankan, seperti mencari ikan. Namun kemudian diharamkan.

5.             Talak pada masa Nabi Musa dianjurkan, kemudian syariat Nabi ‘Isa datang dan mengharamkannya kecuali jika terbukti adanya perselingkuhan.


Contoh dalil Nasakh yang bersumber dari Alquran:[6]

مَا نَنسَخْ مِنْ ءَايَةٍ أَوْ نُنسِهَا نَأْتِ بِخَيْرٍ مِّنْهَآ أَوْ مِثْلِهَآ ۗ أَلَمْ تَعْلَمْ أَنَّ ٱللَّهَ عَلَىٰ كُلِّ شَىْءٍ قَدِيرٌ  

Ayat mana saja yang Kami Nasakhkan, atau Kami jadikan (manusia) lupa kepadanya, Kami datangkan yang lebih baik daripadanya atau yang sebanding dengannya. tidakkah kamu mengetahui bahwa Sesungguhnya Allah Maha Kuasa atas segala sesuatu?[7]

وَإِذَا بَدَّلْنَآ ءَايَةً مَّكَانَ ءَايَةٍۢ ۙ وَٱللَّهُ أَعْلَمُ بِمَا يُنَزِّلُ قَالُوٓاْ إِنَّمَآ أَنتَ مُفْتَرٍ ۚ بَلْ أَكْثَرُهُمْ لَا يَعْلَمُونَ  

Dan apabila Kami letakkan suatu ayat di tempat ayat yang lain sebagai penggantinya Padahal Allah lebih mengetahui apa yang diturunkan-Nya, mereka berkata: "Sesungguhnya kamu adalah orang yang mengada-adakan saja". bahkan kebanyakan mereka tiada mengetahui.[8]

(يَمْحُوا اللّٰهُ مَا يَشَاۤءُ وَيُثْبِتُ ۚوَعِنْدَهٗٓ اُمُّ الْكِتٰبِ ٣٩ 

Allah menghapuskan apa yang Dia kehendaki dan menetapkan (apa yang Dia kehendaki), dan di sisi-Nya-lah terdapat Ummul-Kitab (Lauh Mahfuzh).[9]


Baca artikel lain yang berkaitan;

DAFTAR PUSTAKA

Maliki (al), Abu  Bakr Ibn al-‘Arabi. al-Nasikh wa al-Mansukh fi Alquran al-Karim. Lebanon: Dar al-Kutub al-‘Islamiyah, 2010.

Sijistani (al), Abu Dawud. al-Sunan. Stuttgart: Maknaz al-Islami Digital, 2010.

Suyuti (al), Jalal al-Din. al-Itqan fi Ulumi Alquran. Kairo: al-Maktabah al-Taufiqiyah, 2008.

Qattan (al), Manna’ Khalil. Studi Ilmu-ilmu Qur’an, terj. Mudzakir AS. Surabaya: Litera AntarNusa, 2013.

Zarkashi (al), Muhammad bin ‘Abdillah. al-Burhan fi ‘Ulumi Alquran. Beirut: Maktabah al-Asriyyah, 2006.

Zarqani (al), Muhammad ‘Abd al-‘Azim. Manahil al-‘Irfan fi ‘Ulum Alquran. Beirut: Dar al-Kutub al-‘Arabi, 1996.


[1] Ibn al-‘Arabi al-Maliki, al-Nasikh wa al-Mansukh fi Alquran al-Karim..., 3.

[2] Muhammad ‘Abd al-‘Azim al-Zarqani, Manahil al-‘Irfan fi ‘Ulum Alquran (Beirut: Dar al-Kutub al-‘Arabi, 1996), 147.

[3] Ibid., 147-149.

[4] Ibid., 150-151.

[5] Ibid., 150.

[6] Ibid., 151.

[7] Departemen Agama, Alqur’an dan Terjemahannya..., 17.

[8] Ibid., 278.

[9] Ibid., 254.

Pengertian Nasakh, Nasikh, Dan Mansukh

 

Menurut bahasa kata “Nasakh” memiliki beberapa arti, di antaranya:

1.             Menghapus, menghilangkan sesuatu dan meniadakannya.

Misalnya: نَسَخَتْ الشَّمْسُ الظِّلَّ artinya matahari menghilangkan bayang-bayang,نَسَخَ الشَّيْبُ الشَّبَابِ artinya uban menghapus atau meniadakan masa muda.[1]

2.             Menghapus sesuatu dan menggantinya dengan yang lain.[2]

3.             Memindahkan sesuatu yang tetap ada dan sama.

Misalnya: تَنَاسَخَ الطُّلاَّبُ مِنْ كُلِّيَّةٍ إِلَى كُلَّيَّةٍ, para mahasiswa itu saling berpindah dari fakultas ke fakultas lain.[3]

4.             Menyalin.

Misalnya: نَسَخْتُ الْكِتَابَ, saya menyalin pelajaran di buku.[4]                       

Secara istilah, para ulama berbeda pendapat dalam mendefinisikan makna Nasakh. ‘Abdul Jalal dalam ‘Ulumul Quran meringkas beberapa pendapat tersebut yang setidaknya ada empat terminologi sebagai berikut:[5]

1.             Definisi Nasakh secara umum

النَّسْخُ إِبْطَالُ حُكْمٍ مُسْتَفَادٍ مِنْ نَصٍّ سَابِقٍ بِنَصٍّ لاَحِقٍ

Nasakh ialah membatalkan sebuah hukum yang diperoleh dari nas (dalil pertama) dengan nas yang baru (dalil kedua).

2.             Definisi Nasakh secara singkat

النَّسْخُ رَفْعُ الْحُكْمِ الشَّرْعِيِّ بِدَلِيْلٍ شَرْعِيٍّ


Nasakh ialah menghapus hukum syariat dengan dalil syar’i.”

3.             Definisi Nasakh secara lengkap

 

النَّسْخُ رَفْعُ الْحُكْمِ الشَّرْعِيِّ بِدَلِيْلٍ شَرْعِيٍّ مَعَ التَّرَاخِي عَلَى وَجْهٍ لَوْلاَهُ لَكَانَ الْحُكْمُ الْأَوَّلُ ثَابِتًا

Nasakh ialah menghapus hukum syariat dengan dalil syar’i dengan tenggang waktu, dan dengan syarat apabila tidak ada Nasakh tersebut maka hukum awal tetap berlaku.

4.             Definisi Nasakh yang salah

النَّسْخُ رَفْعُ عُمُوْمِ النَّصِّ السَّابِقِ أَوْ تَقْيِيْدُ مُطْلَقِهِ بِالنَّصِّ اللاَّحِقِ

Nasakh ialah membatasi keumuman nas yang terdahulu (diNasakh) atau menentukan kemutlakannya dengan nas yang baru (meNasakh).”

Menurut penulis, definisi Nasakh keempat dianggap salah karena pada dasarnya tidak ada Nasakh dalam dua hukum tersebut. Lebih tepatnya definisi tersebut bisa dikategorikan ke dalam Takhsisu al-‘Am wa Taqyidu al-Mutlaq yaitu mengkhusukan sebuah dalil yang bersifat umum dan menentukan sebuah hukum yang mutlak pada dalil tersebut. Seperti contoh ayat ‘iddah dalam surat Al-Baqarah ayat 223 dibatasi keumumannya dengan surat al-Ah{zab ayat 49.

نِسَاۤؤُكُمْ حَرْثٌ لَّكُمْ ۖ فَأْتُوْا حَرْثَكُمْ اَنّٰى شِئْتُمْ ۖ وَقَدِّمُوْا لِاَنْفُسِكُمْ ۗ وَاتَّقُوا اللّٰهَ وَاعْلَمُوْٓا اَنَّكُمْ مُّلٰقُوْهُ ۗ وَبَشِّرِ الْمُؤْمِنِيْنَ

“Isteri-isterimu adalah (seperti) tanah tempat kamu bercocok tanam, Maka datangilah tanah tempat bercocok-tanammu itu bagaimana saja kamu kehendaki. dan kerjakanlah (amal yang baik) untuk dirimu, dan bertakwalah kepada Allah dan ketahuilah bahwa kamu kelak akan menemui-Nya. dan berilah kabar gembira orang-orang yang beriman.[6]

 

يٰٓاَيُّهَا الَّذِيْنَ اٰمَنُوْٓا اِذَا نَكَحْتُمُ الْمُؤْمِنٰتِ ثُمَّ طَلَّقْتُمُوْهُنَّ مِنْ قَبْلِ اَنْ تَمَسُّوْهُنَّ فَمَا لَكُمْ عَلَيْهِنَّ مِنْ عِدَّةٍ تَعْتَدُّوْنَهَاۚ فَمَتِّعُوْهُنَّ وَسَرِّحُوْهُنَّ سَرَاحًا جَمِيْلًا  

“Hai orang-orang yang beriman, apabila kamu menikahi perempuan- perempuan yang beriman, kemudian kamu ceraikan mereka sebelum kamu mencampurinya, Maka sekali-sekali tidak wajib atas mereka 'iddah bagimu yang kamu minta menyempurnakannya. Maka berilah mereka mut'ah dan lepaskanlah mereka itu dengan cara yang sebaik- baiknya.[7]

Dalam ayat kedua, perempuan yang bercerai dan belum disentuh oleh suaminya maka ia tidak memiliki masa ‘iddah. Berbeda dengan ayat pertama yang secara umum memaparkan bahwa perempuan-perempuan yang ditalak atau cerai, masa idahnya tiga kali masa sucinya dari haid.[8]

Muhammad Al-Hadari Bik memaparkan dalam Tarikh al-Tashri’ al-Islami pengertian Nasakh menurut ahli fikih. Ahli fikih mendefinisikan Nasakh menjadi dua pengertian. Pertama,

إِبْطَالُ حُكْمٍ مُسْتَفَادٍ مِنْ نَصٍّ سَابِقٍ بِنَصٍّ لاَحِقٍ

Nasakh ialah membatalkan sebuah hukum yang diperoleh dari nas (dalil pertama) dengan nas yang baru (dalil kedua).

Dan yang kedua,

رَفْعُ عُمُوْمِ النَّصِّ السَّابِقِ أَوْ تَقْيِيْدُ مُطْلَقِهِ بِالنَّصِّ اللاَّحِقِ

Nasakh ialah membatasi keumuman nas yang terdahulu (diNasakh) atau menentukan kemutlakannya dengan nas yang baru (meNasakh).”[9]

Singkatnya, pengertian Nasakh ialah mengganti atau menyalin sebuah hukum agama dengan hukum yang lain yang lebih baik dan bijak, baik itu dalam Alquran maupun hadis.

Adapun pengertian “Nasikh” menurut bahasa berarti sesuatu yang menghapus, menghilangkan, menyalin, serta mengubah dan mengganti.[10] Jadi Nasikh secara istilah ialah dalil baru yang mengganti hukum dalil yang terdahulu.

“Mansukh” secara bahasa bermakna sesuatu yang dihapus, dihilangkan, disalin, serta diubah dan diganti.[11] Menurut istilah, Mansukh bisa diartikan dalil pertama yang diganti hukum syariatnya oleh dalil yang kedua.


Baca artikel lain yang berkaitan;


[1] H{asan Ayyub, al-H{adist fi ‘Ulumi Alquran wa al-H{adith (Kairo: Dar al-Salam, 2007), 109.

[2] Abu Bakr Ibn al-‘Arabi al-Maliki, al-Nasikh wa al-Mansukh fi Alquran al-Karim (Lebanon: Dar al-Kutub al-‘Islamiyah, 2010), 3.

[3]Abdul Jalal, ‘Ulumul Qura’n (Surabaya: Dunia Ilmu, 2013), 108.

[4] Manna’ Khalil al-Qattan, Studi Ilmu-ilmu Qur’an, terj. Mudzakir AS (Surabaya: Litera AntarNusa, 2013), 326.

[5]  Abdul Jalal, ‘Ulumul Qura’n..., 112-116.

[6] Departemen Agama, Al-Qur’an dan Terjemahannya..., 35.

[7] Ibid., 426.

[8]Abdul Jalal, ‘Ulumul Qura’n..., 116.

[9] Muhammad al-Hadari Bik, Tarikh al-Tashri’ al-Islami (Surabaya: al-Hidayah, t.h), 23.

[10]Abdul Jalal, ‘Ulumul Qura’n..., 122.

[11] Ibid., 124.

SERVICE KEYBOARD YAMAHA SURABAYA PAK ADI WARSITO Telpn. 081217262829 / 085102297969

    Kami Menerima Panggilan dan Berpengalaman  SERVICE KEYBOARD YAMAHA SURABAYA "Melayani Segala Kerusakan Dari Yang Ringan Sampai Bera...