HOME

28 Februari, 2022

Sejarah Pertumbuhan & Penghimpunan Ilmu Hadist

 

Sunnah atau hadis sebagai dasar tasyri’ yang kedua setelah Aluran dalam sejarahnya telah melalui beberapa tahapan perkembangan yang cukup panjang. Para ahli berbeda pendapat di dalam menentukan periodisasi pertumbuhan dan penghimpunannya.[1]Dalam makalah ini dijelaskan dalam tiga periodisasi, yakni masa Rasulullah SAW, sahabat dan tabi’in.

      1.      Hadis pada masa Rasulullah SAW

Seluruh perbuatan, ucapan serta gerak- gerik Nabi dijadikan pedoman hidup bagi umatnya. Ada suatu keistimewaan pada masa ini yang membedakannya dengan masa lainnya, yaitu umat Islam dapat secara langsung memperoleh hadis dari Rasulullah SAW sebagai sumber hadis. Pada masa ini tidak ada jarak atau hijab yang dapat menghambat atau mempersulit pertemuan mereka.

Ada beberapa cara yang digunakan Rasulullah SAW dalam menyampaikan hadis kepada para sahabatnya, yaitu:

a.) Melalui para jamaah yang berada dipusat pembinaan atau majelis al- ilmi.

b.) Dalam banyak kesempatan, Rasulullah SAW juga menyampaikan hadisnya melalui para sahabat tertentu, kemudian mereka menyampaikannya kepada orang lain.

c.) Cara lain yang dilakukan Rasulullah SAW adalah melalui ceramah atau pidato ditempat terbuka, seperti haji wada’ dan futuh makkah.

d.)   Para sahabat dalam menerima hadis Nabi berpegang teguh pada hafalannya, yakni menerima dengan jalan hafalan bukan jalan menulis. Mereka mendengar dengan hati-hati apa yang Nabi sabdakan kemudian makna atau lafadz tergambar dalam dzin (benak) mereka. Pun juga mereka menyampaikan kepada orang lain lewat hafalan pula.[2]

       2.      Hadis pada masa Sahabat

Periode kedua sejarah perkembangan hadis adalah masa sahabat, khususnya Khulafa’ al-Ras}idun yaitu sekitar tahun 11 H sampai 40 H. Masa ini juga disebut masa sahabat besar. Karena pada masa ini perhatian para sahabat masih terfokus pada pemeliharaan dan penyebaran al-Qur’an. Periwayatan hadis belum begitu berkembang dan masih dibatasi. Oleh karena itu para ulama menganggap masalah ini sebagai masa yang menunjukan adanya masa pembatasan periwayatan (al-Tasabbut wa al-Iqlal min al-Riwayah).[3]

Meskipun begitu Rasul sangat memerintahkan sahabat untuk mentablighkan  hadis seperti dibawah ini:

نَضَّرَاللهُ امْرَاءً سَمِعَ  مِنِّيْ  مَقَالَتِيْ  مَحَفِظَهَا  وَوَعَاهَا فَاَدَّاهَا كَمَا سَمِعَ فَرُبَّ مُبَلَّغِ اَوْعَى مِنْ سَامِعٍ[4].

 “Mudah-mudahan Allah mengindahkan seseorang yang mendengar ucapanku, lalu dihafalkan dan dipahamkan dan disampaikan kepada orang lain persis sebagaimana yang dia dengar karena banyak sekali orang yang disampaikan berita kepadanya, lebih paham dari pada yang mendegarkan sendiri“. (HR. Tirmidzi )

 

Hadis  pada masa Abu Bakar dan Umar hanya disampaikan kepada yang memerlukan saja dan apabila perlu saja, belum bersifat pelajaran. Pada masa ini hadis belum diluaskan karena beliau mengerahkan minat umat untuk menyebarkan al-Qur’an dan memerintahkan para sahabat untuk berhati-hati dalam menerima riwayat-riwayat itu. Perkembangan hadis dan riwayatnya terjadi pada masa Utsman dan Ali.

Pada masa Utsman dan Ali hadis lebih diaplikasikan dalam kehidupan untuk menjawab semua permasalahan dalam masyarakat dikala itu.

        3.      Hadis pada masa Tabi’in

Sesudah masa Utsman dan Ali, timbulah usaha yang lebih serius untuk mencari dan menghfal hadis serta menyebarkannya ke masyarakat luas dengan mengadakan perlawatan-perlawatan untuk mencari hadis.

Pada tahun 17 H tentara islam mengalahkan Syiria dan Iraq. Pada tahun 20 H mengalahkan Mesir. Pada tahun 21 H mengalahkan Persia. Pada tahun 56 H tentara islam sampai di Samarkand. Pada tahun 93 H tentara islam menaklukan Spanyol. Para sahabat berpindah ketempat-tempat itu. Kota itu menjadi “perguruan“ tempat mengajarkan al-Qur’an dan hadis yang menghasilkan sarjana-sarjana tabi’in dalam bidang hadis.

Tercatat beberapa kota sebagai pusat pembinaan dalam periwayatan hadis, sebagai tempat tujuan para tabi’in dalam mencari hadis, ialah Madinah al-Munawarah, Makkah Al-Mukaramah, Kufah, Basrah, Syam, Mesir, Maghribi dan Andalusia.

Intinya pajda masa ini periwayatan hadis masih bersifat dari mulut ke mulut (al-Musyafahat ), seperti seorang murid langsung memperoleh hadis dari guru dan mendengarkan langsung dari penuturan mereka, dan selanjutnya disimpan melalui hafalan mereka. Perbedaannya dengan periode sebelumnya adalah bahwa  pada masa ini periwayatan hadis sudah semakin meluas dan banyak sehingga dikenal dengan Iktsar al-Riwayah (pembanyakan riwayat)[5]

Baca juga artikel yang lainya:

DAFTAR PUSTAKA
Departemen Agama, Alquran dan Terjemahannya, Bandung: Sygma, 2009.
‘Itr, Nur al-Din. Manhaj al-Naqd fi Ulum al-hadist al-Nabawi, Damaskus: Dar al-Fikr, 1997.
Ichwan, Mohammad Nor. Membahas Ilmu-Ilmu Hadis, Semarang: Rasail Media  Group, 2013.
Khatib (al), Muhammad ‘Ajjaj. al-Sunnah qabl al-Tadwin, Beirut: Dar al-Fikr, 1971.
______(al), Muhammad ‘Ajaj. Ushul al-Hadith, Kairo: Dar al-Fikr, 1989.
Munawwir, Ahmad Warson. Kamus Al-Munawwir, Surabaya: Pustaka Progresif, 1997.
Ranuwijaya, Utang. Ilmu Hadis, Jakarta: Gaya Media Pratama, 1996.
Shabbagh (al), Muhammad. al-hadist al Nabawi, Riyad}: al-Maktab al-Islami, 1972.
Soetari, Endang. Ilmu Hadits; Kajian Riqayah dan Dirayah, Bandung: Mimbar Pustaka, 2005.
Solahudin, M. Agus. Ulum al-hadist, Bandung: Pustaka Setia, 2009.
Suyut}i (al), Jalal al-Din ‘Abd al-Rahman ibn Abi Bakr. Tadrib al-Rawi fi Syarh Taqrib al-Nawawi, Vol.             I, Beirut: Dar al-Fikr, 1988.
Syihab, Muhammad ibn Muhammad Abu. al Wasith fi Ulum wa Mushthalah al-Hadits (Beirut: Dar al-                Fikr, tth.
Thahhan (al), Mahmud. Taysir Musthalah al-Hadits, Surabaya: Syirkah Bungkul Indah, tth.
Tirmisi (al), Muhammad Mahfuzh ibn ‘Abd Allah. Manhaj Dzawi al-Nazhar, Beirut: Dar al-Fikr, 1974.

[1] Mohammad Nor Ichwan, Membahas Ilmu-Ilmu Hadis, (Semarang: Rasail Media  Group, 2013), 109.

[2] Mahmud al-Thahhan, Taysir Musthalah al-hadist, 230

[3] M. Agus Solahudin, Ulum al-hadist, 130.

[4] Ibid.

[5] M. Agus Solahudin, Ulum al-Hadits, (Bandung: Pustaka Setia, 2009), 133.

Pembagian & Cabang Ilmu Hadist

 

        1.      Pembagian kajian Ilmu Hadis

Secara garis besar, menurut kajian mutaakhirun, ilmu hadis terbagi menjadi dua, yaitu ilmu hadis dirayah dan ilmu hadis riwayah.

Ilmu hadis riwayah berkenaan dengan riwayat hadis yang berasal dari Nabi SAW. baik berupa perkataan, perbuatan, ataupun ketetapan dan sebagainya. Sedangkan ilmu hadis dirayah berkenaan dengan kaidah-kaidah dan asas-asas yang dapat digunakan untuk mengetahui keberadaan sanad dan matan.[1]

        2.      Cabang-cabang Ilmu Hadis

Dari pembagian ilmu hadis dirayah dan ilmu hadis riwayah itu, muncul cabang-cabang ilmu hadis lainnya. Diantaranya cabang-cabang hadis tersebut dibagi menjadi tiga bagian, dilihat dari segi sanad, dilihat dari segi matan dan dari segi sanad dan matan.

Disiplin-disiplin ilmu yang berpangkal pada sanad adalah: Ilmu Rijal al-hadist, Thabaqat al-Ruwah, Tarikh Rijal al-hadist dan al-Jarh wa al-Ta’dil. Ilmu-ilmu yang berpangkal pada matan antara lain: Ilmu Gharib al-hadist, Asbab al-Wurud al-hadist, Tawarikh al-Mutun, Nasikh wa al-Mansukh dan Talfiq al-hadist. Sedangkan ilmu-ilmu yang berpangkal pada sanad dan matan antara lain Ilmu ‘Ilal al-hadist[2].

            a.       Ilmu Rijal al-hadist

Ilmu Rijal al-hadist adalah ilmu yang membahas hal-ihwal dan sejarah para rawi semenjak masa sahabat, tabi’in, tabi’ al-tabi’in dan generasi-generasi berikutnya yang terlibat dalam periwayatan hadis. Secara terminologis, Ilmu Rijal al-hadist adalah:

عِلْمُ يُبْحَثُ فِيْهِ عَنْ رُوَاةِ الْحَدِيْثِ مِنَ الصَّحَابِةِ وَالتَّابِعِيْنَ وَمَنْ بَعْدَهُم[3]

“Ilmu yang membahas tentang keadaan para periwayat hadis baik dari kalangan sahabat, tabi’in, maupun generasi-generasi berikutnya”.

 

Ilmu ini mempunyai kedudukan yang sangat penting dalam ranah kajian ilmu hadis karena kajian ilmu hadis pada dasarnya terletak pada dua hal, yaitu matan dan sanad. Ilmu Rijal al-hadist mengambil tempat yang khusus mempelajari persoalan-persoalan sekitar sanad maka mengetahui keadaan rawi yang mnejadi sanad merupakan separuh dari pengetahuan.

Bagian dari Ilmu Rijal al-hadist ini adalah Ilmu Tarikh Rijal al-hadist. Ilmu ini secara khusus membahas periahal para rawi hadis dengan penekanan pada aspek-aspek tanggal kelahiran, nasab atau garis keturunan, guru sumber hadis, jumlah hadis yang diriwayatkan dan murid-muridnya.,

Diantara kitab-kitab terkenal dalam cabang ilmu hadis ini adalah al-Isti’ab fi Ma’rifah al-Ashab karya Ibnu Abd al-Bar (w. 463 H), Tahdzib al-Tahdzib karya Ibnu Hajar al-Asqalani dan Tahdzib al-Kamal karya Abu al-Hajjaj Yusuf bin al-Zakki al-Mizzi (w. 742 H.)

            b.      Ilmu Gharib al-hadist

عِلْمٌ يُعْرَفُ بِهِ مَعْنَى مَاوَقَعَ فىمتون اْلاَحَادِيْثِ مِنَ اْلأَلْفَاظِ الْعَرَبِيَّةِ عَنْ أَذْهَانِ الَّذِيْنَ بَعْدَ عَهْدِهِمْ بِالْعَرَبِيَّةِ الْخَالِصَةِ.[4]

Ilmu Gharib al-hadist adalah ilmu yang menerangkan makna kalimat yang terdapat dalam matan hadis yang sulit diketahui maknanya dan jarang terpakai oleh umum.

Ilmu Gharib al-hadist ini membahas lafadz yang muskil dan susunan kalimat yang sulit dipahami sehingga orang tidak akan menduga-duga dalam memahami redaksi hadis.

Pada masa sesudah sahabat, yaitu pada abad pertama dan masa tabi’in sekitar tahun 150 H., bahasa arab yang tinggi mulai tidak dipahami oleh umum dan hanya kalangan terbatas yang memahaminya. Untuk itu, para ahli hadis mengumpulkan kata-kata yang tidak dapat dipahami oleh umum dan kata-kata yang jarang terpakai dalam pergaulan sehari-hari.

Menurut sejarah, orang yang yang mula-mula berusaha untuk mengumpulkan lafadz yang gharib adalah Abu Ubaidah Ma’mar ibn al-Mutsanna (w. 210 H), kemudian dikembangkan oleh Abd al-Hasan al-Mazini (w. 204 H).[5]

Tiga kitab gharib al-hadist pada abad III H adalah susunan Abu ‘Ubaid al-Qasami ibn Sallam (w. 224 H), Ibnu Qutaidah al-Dainuri (w. 276 H) dan al-Khaththabi (w. 378 H). Kitab lainnya setelah itu adalah Gharib Alquran dan al-hadist susunan al-Harawi (w. 401 H) dan al-Faiq susunan al-Zamakhsari. Kitab terbesar adalah al-Nihayah susunan Ibn al-Athir (w. 606 H) yang diikhtisarkan oleh al-Suyuthi (w. 911 H) dalam kitab al-Durr al-Natsir.[6]

            c.       Ilmu Talfiq al-hadist

     Ilmu Talfiq al-hadist adalah:

عِلْمٌ يُبْحَثُ فِيْهِ عَنِ التَّوْقِيْفِ بَيْنَ اْلأَحَادِيْثِ الْمُتَنَاقِضَةِ ظَاهِرً.[7]

Ilmu yang membahas cara mengumpulkan hadis-hadis yang berlawanan lahirnya.

Cara mengumpulkan dalam Talfiq al-hadist ini adalah dengan men-takhsis-kan makna hadis yang ‘am (umum), men-tasydid-kan hadis yang mutlaq, atau melihat berapa banyak hadis itu terjadi. Para Ulama menamai ilmu hadis ini dengan Mukhtalif al-hadist.

Di antara para ulama yang merintis ilmu ini adalah al-Syafi’i (w. 204 H) dengan kitab Mukhtalif al-hadist-nya, dilanjutkan oleh Ibn al-Qutaibah (w. 276 H), al-Thahawi (w.321 H), Ibn al-Jauzi (w. 597 H) yang menyusun kitab al-Tahqiq, yang di-syarah dengan baik oleh Ahmad Muhammad Syakir.[8]

            d.      Ilmu Nasikh wa al-Mansukh al-hadist

Nasakh secara etimologi berarti الازالة (menghilangkan) dan النقل (mengutip, menyalin). Sedangkan secara terminologi adalah:

Ilmu yang membahas hadis-hadis yang saling bertentangan yang tidak mungkin bisa dikompromikan, dengan cara menentukan sebagiannya sebagai ‘nasikh’ dan sebagian lainnya sebagai  ‘mansyukh’. Yang terbukti datang terdahulu sebagai mansyukh dan yang terbukti datang kemudian sebagai nasikh.[9]

Ilmu ini sangat bermanfaat untuk pengamalan hadis bila ada dua hadis maqbul yang tanakud yang tidak daoat dikompromikan atau dijama’. Bila dapat dikompromikan, hanya sampai batas pada tingkat Mukhtalif al-hadist, kedua hadis maqbul tersebuat dapat diamalkan. Bila tidak bisa dijama’ (dikompromikan), hadis maqbul yang tanakud tersebut di-tarjih atau di-nasakh.

Bila diketahui mana diantara kedua hadis yang di-wurud-kan lebih dahulu dan yang di-wurud-kan kemudian, wurud kemudian (terakhir) itulah yang diamalkan. Yang belakangan disebut nasikh, yang duluan disebut mansyukh.

Kaidah yang berkaitan dengan nasakh, antara lain berupa cara mengetahui nasakh, yakni penjelasan dari Rasul Allah SAW. sendiri, keterangan sahabat dan dari tarikh datangnya matan yang dimaksud.

Perintis ilmu ini adalah al-Syafi’i dilanjutkan oleh Ahmad ibn Ishaq al-Dinari (w. 318 H). Kitab hadis yang disusun tentang Nasikh dan Mansyukh Hadis, diantaranya yaitu Nasikh wa al-Mansukh karya Qatadah bin Di’amah al-Sadusi.[10]

        e.       Ilmu Asbab al-Wurud al-hadist

Definisi Ilmu Asbab al-Wurud al-hadist adalah:

عِلْمٌ يُعْرَفُ بِهِ السَّبَبُ الَّذِى وَرَدَ ِلأَجْلِهِ الْحَدِيْثُ وَالزَّمَانُ الَّذِي جَأَفِيْه

“Ilmu yang menerangkan sebab-sebab Nabi SAW. menyampaikan sabdanya dan masa-masa Nabi menuturkannya”.[11]

 

Ilmu ini sangat penting untuk memahami dan menafsirkan hadis serta mengetahui hikmah-hikmah yang berkaitan dengan wurud hadis tersebut, atau mengetahui kekhususan konteks makna hadis, sebagaimana pentingnya asbab al-nuzul dalam memahami Alquran.

Ulama yang mula-mula menyusun kitab Asbab al-Wurud al-hadist adalah Kaznah al-Jubari dan Abu Hafash ‘Umar ibn Muhammad ibn Raja’ al-Ukbari (339 H). Kitab yang terkenal adalah kitab al-Bayan wa al-Ta’rif yang disusun oleh Ibrahim ibn Muhammad al-Husaini (w. 1120 H).[12]

            f.       Ilmu ‘Ilal al-hadist

Pengertian Ilmu ‘Ilal al-hadist adalah:

“Ilmu yang menerangkan sebab-sebab yang tersembunyi, tidak nyata yang dapat mencacatkan hadis yang berupa menyambungkan (meng-ittishal-kan) hadis yang munqathi’, me-marfu’-kan hadis yang mauquf, atau memasukkan suatu hadis ke hadis lain dan yang serupa dengan itu”. [13]

Abu ‘Abd Allah al-Hakim al-Naisaburi dalam kitabnya Ma’rifah Ulum al-Hadith menyebutkan bahwa Ilmu ‘Ilal al-hadist adalah ilmu yang berdiri sendiri, selain dari ilmu sahih dan dhaif, jarh dan ta’dil. Ia menerangkan, illat hadis tidak termasuk dalam bahasan jarh sebab hadis yang majruk adalah hadis yang gugur dan tidak dipakai. Illat hadis yang banyak terdapat pada hadis yang diriwayatkan oleh orang-orang kepercayaan, yaitu orang-orang yang menceritakan hadis yang mengandung illat tersembunyi. Karen illat tersebut, hadisnya disebut ma’lul. Lebih jauh lagi, al-Hakim menyebutkan bahwa dasar penetapan illat hadis adalah hapalan yang semprna, pemahaman yang mendalam dan pengetahuan yang cukup.[14]

Baca juga artikel yang lainya:

DAFTAR PUSTAKA
Departemen Agama, Alquran dan Terjemahannya, Bandung: Sygma, 2009.
‘Itr, Nur al-Din. Manhaj al-Naqd fi Ulum al-hadist al-Nabawi, Damaskus: Dar al-Fikr, 1997.
Ichwan, Mohammad Nor. Membahas Ilmu-Ilmu Hadis, Semarang: Rasail Media  Group, 2013.
Khatib (al), Muhammad ‘Ajjaj. al-Sunnah qabl al-Tadwin, Beirut: Dar al-Fikr, 1971.
______(al), Muhammad ‘Ajaj. Ushul al-Hadith, Kairo: Dar al-Fikr, 1989.
Munawwir, Ahmad Warson. Kamus Al-Munawwir, Surabaya: Pustaka Progresif, 1997.
Ranuwijaya, Utang. Ilmu Hadis, Jakarta: Gaya Media Pratama, 1996.
Shabbagh (al), Muhammad. al-hadist al Nabawi, Riyad}: al-Maktab al-Islami, 1972.
Soetari, Endang. Ilmu Hadits; Kajian Riqayah dan Dirayah, Bandung: Mimbar Pustaka, 2005.
Solahudin, M. Agus. Ulum al-hadist, Bandung: Pustaka Setia, 2009.
Suyut}i (al), Jalal al-Din ‘Abd al-Rahman ibn Abi Bakr. Tadrib al-Rawi fi Syarh Taqrib al-Nawawi, Vol.             I, Beirut: Dar al-Fikr, 1988.
Syihab, Muhammad ibn Muhammad Abu. al Wasith fi Ulum wa Mushthalah al-Hadits (Beirut: Dar al-                Fikr, tth.
Thahhan (al), Mahmud. Taysir Musthalah al-Hadits, Surabaya: Syirkah Bungkul Indah, tth.
Tirmisi (al), Muhammad Mahfuzh ibn ‘Abd Allah. Manhaj Dzawi al-Nazhar, Beirut: Dar al-Fikr, 1974.

[1] M. Agus Solahudin, Ulum al-Hadits, (Bandung: Pustaka Setia, 2009), 106.

[2] Ibid.

[3] Mahmud al-Thahhan, Taysir Musthalah al-Hadits, (Surabaya: Syirkah Bungkul Indah, tth.), 224.

[4] Endang Soetari, Ilmu Hadits; Kajian Riqayah dan Dirayah, (Bandung: Mimbar Pustaka, 2005), 211.

[5] M. Hasbi al-Shiddieqy, Sejarah dan Pengantar Ilmu Hadits, (Jakarta: Bulan BIntang, 1987), 153.

[6] M. Agus Solahudin, Ulum al-Hadits, (Bandung: Pustaka Setia, 2009), 117.

[7] M.Hasbi al-Shiddieqy, Sejarah dan Pengantar Ilmu Hadits, 164.

[8] M. Agus Solahudin, Ulum al-hadist, 121.

[9] Ibid., 119.

[10] M. Agus Solahudin, Ulum al-hadist, 120.

[11] Mahmud al-Thahhan, Taysir Musthalah al-hadist, (Surabaya: Syirkah Bungkul Indah, tth.), 225.

[12] M. Agus Solahudin, Ulum al-Hadits, 122.

[13] Ibid., 116.

[14] M. Agus Solahudin, Ulum al-Hadihs, 116.

MAKALAH HADIST TENTANG HIJAB

  A.   Latar Belakang Telah disepakati oleh seluruh umat Islam bahwa al-Qur’an menjadi pedoman hidup baik tentang syariah maupun dalam keh...