HOME

07 Februari, 2022

Puasa Sunnah

BAB I

Konsep Dasar Puasa Sunnah

A.    Latar Belakang

Ibadah puasa adalah ibadah yang agung dan sudah ada sebelum Nabi Muhammad SAW diutus sebagai rasul, sebagaimana firman Allah SWT dalam al- Qur’an:

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا كُتِبَ عَلَيْكُمُ الصِّيَامُ كَمَا كُتِبَ عَلَى الَّذِينَ مِنْ قَبْلِكُمْ لَعَلَّكُمْ تَتَّقُونَ

“Hai orang-orang yang beriman, diwajibkan atas kamu berpuasa sebagaimana diwajibkan atas orang-orang sebelum kamu agar kamu bertakwa.” (QS. Al- Baqarah : 183)

Dalam ayat ini dijelaskan bahwa kewajiban puasa bagi setiap muslim yang sudah baligh dan berakal sehat. Dengan adanya perintah ini, tidak ada alasan seorang muslim yang sudah memnuhi syarat sah menunaikan ibadah puasa untuk tidak melaksanakan kewajiban tersebut.

Puasa merupakan ibadah yang mampu menjadi sarana latihan yang luar biasa, baik secara jasmani maupun rohani. Seorang muslim yang sedang berpuasa mempunyai hubungan yang sangat dekat dengan Allah SWT. Kedekatan itulah yang mendorong seseorang mampu memenuhi perintah Allah SWT dengan meninggalkan sesuatu yang dalam kehidupan sehari-hari dibolehkan, seperti makan, minum, dan berhubungan intim dengan istrinya, sejak terbit fajar sampai terbenamnya matahari.


B.     Rumusan Masalah

1.      Apa saja macam-macam puasa sunnah?

2.      Apa dalil puasa sunnah?

3.      Apa saja keutamaan puasa sunnah?

4.      Siapa yang diperbolehkan rukhsoh puasa wajib?

5.      Apa pengertian qadha dan fidyah?


C.     Tujuan

1.      Mampu mengetahui macam-macam puasa sunnah.

2.      Mampu mengetahui dalil-dalil puasa sunnah.

3.      Mampu mengetahui keutamaan melaksanakan puasa sunnah.

4.      Mampu mengetahui siapa yang diperbolehkan rukhsoh puasa wajib.

5.      Mampu mengetahui pengertian qadha dan fidyah.


BAB II

PEMBAHASAN

A.    Macam-macam puasa sunnah

Dalam islam puasa adalah salah satu rukun islam, yaitu rukun islam yang ke-4. Banyak disebutkan dalam Al- Qur’an anjuran wajib menunaikan ibadah puasa bagi setiap muslim yang telah memenuhi syarat sah puasa.

Dalam islam pula, puasa dibagi menjadi 2 bagian, yaitu puasa wajib dan puasa sunnah. Puasa sunnah juga bisa dikatakan puasa tathawwu’ yang artinya mendekatkan diri kepada Allah dengan melaksanakan ibadah yang tidak wajib. Adapun puasa sunnah yang disepakati oleh para ulama adalah:

1.      Puasa 6 hari di bulan Syawwal

Puasa syawwal yaitu puasa yang dilakukan setelah selesai mengerjakan puasa Ramadhan. Hukum puasa ini adalah sunnah. Tata cara melakukan puasa sunnah ini adalah boleh dilakukan secara urut atau tidak (acak) tetapi lebih afdhol apabila dilakukan secara berurutan. Pahala melakukan puasa ini akan dilipat gandakan sepuluh kali lipat. Sebulan senilai dengan sepuluh bulan, enam hari senilai dengan enam puluh hari sehingga totalnya setahun penuh.

2.      Puasa 10 hari pertama dibulan Dzulhijjah

Puasa ini hukumnya sunnah. Jumlah puasa yang dikerjakan yaitu selama 9 hari. Adapun tata cara melaksanaknnya adalah boleh dilakukan selama 9 hari atau hanya sampai pada hari kedelapan (hari Tarwiyah) dan hari kesembilan (hari Arafah).

3.      Puasa Arafah

Puasa ini dilakukan pada hari kesembilan dari bulan Dzulhijjah bagi orang yang tidak berhaji. Hukum puasa Arafah adalah sunnah. Puasa arafah bagi orang yang menunaikan ibadah haji adalah tidak dianjurkan agar tersedia kekuatan untuk berdo’a dan juga demi mengikuti sunnah sebagaimana diriwayatkan oleh Bukhari dan Muslim. Akan tetapi, menurut madzhab Hanafi, orang yang sedang berhaji boleh melakukan puasa di hari Arafah, jika puasa tersebut tidak membuat nya lemah dalam melaksanakan ibadah haji.

4.      Puasa Muharram

Puasa ini dikerjakan pada bulam Muharram dan hukum puasa ini adalah sunnah. Jumlah waktu untuk berpuasa Muharram adalah tidak dibatasi atau semampunya terutama pada tanggal 10 Muharram (hari Asyuro).

5.      Puasa hari Tasu’a dan Asyura’

Puasa yang dikerjakan pada tanggal 9 dan 10 bulan Muharram. Hukum puasa ini adalah sunnah. Jumlah waktu untuk berpuasa adalah 2 hari.[1]

Hikmah puasa Asyura dijelaskan oleh Ibnu Abbas dengan perkataanya “ketika tiba di Madinah, Nabi Muhammad SAW melihat kaum yahudi berpuasa Asyura. Beliau lantas bertanya, apa sebabnya kalian berpuasa pada hari ini? Mereka menjawab, ini adalah hari yang agung sebab pada hari inilah Allah menyelamatkan Musa dari Bani Israil dari muisuh mereka, lalu Musa berpuasa pada hari ini. Mendengar penejlasan itu Nabi Muhammad SAW bersabda : aku lebih berhak atas Musa daripada kalian. Kemudia beliau berpuasa pada hari itu dan menyuruh kaum Muslimin berpuasa pula.

Menurut madzhab Syafi’i apabila kita hanya melakukan puasa Asyura tanpa Tasu’a maka disunnahkan untuk berpuasa pada tanggal 11 pula. Bahkan Imam Syafi’i menyebutkan dalam kitab al-Umm dan al-Imlaa’ yang menyatakan tengntang kesunnahan berpuasa pada tiga hari tersebut sekaligus. Sementara Madzhab Hambali mengatakan bahwa jika seorang Muslim tidak dapat memastikan awal bulan, hendaknya dia berpuasa tiga hari agar dia bisa yakin telah melaksanakan puasa ini. Tasu’a dan Asyuro adalah hari dibulan Muharram yang paling dianjurkan untuk di isi dengan puasa atau hal-hal kebaikan.

Menurut jumhur, tidak makruh kecuali mengkhususkan puasa hanya pada tanggal 10.

6.      Puasa Sya’ban

Puasa ini adalah puasa yang dikerjakan pada bulan Sya’ban selama satu bulan. Hukum puasa ini adalah sunnah.

7.      Puasa pada bulan-bulan haram

Puasa ini dikerjakan pada bulan haram yakni: Dzulqo’dah, Dzulhijjah, Muharram, dan Rajab. Hukum puasa ini adalah sunnah.

Kesunnahan berpuasa pada bulan-bulan ini adalah menurut madzhab Maliki dan madzhab Syafi’i. Sementara madzhab Hambali hanya menyunnahkan pada bulan Muharram. Menurut madzhab Hambali puasa ini adala puasa yang paling utama setelah puasa bulan Ramadhan. Sedangkan menurut madzhab Hanafi yang disunnahkan dalam empat bulan yang suci itu adalah berpuasa tiga hari pada masing-masingnya, yaitu: hari Kamis, Jum’at, Sabtu.

8.      Puasa Senin-Kamis

Puasa senin kamis ini dilakukan sebagaimana Rasulullah yang berpuasa pada hari senin atau hari kelahirannya.

9.      Puasa Ayyamul Bidh (hari-hari putih)

Puasa ini dikatakan ayyamul bidh karena hari-hari tersebut terang, malamnya dengan bulan dan siangnya dengan matahari. Puasa ini dilakukan setiap pada tanggal 13,14, dan 15 pada bulan Hijriah. Jumlah waktu dalam melaksanakan puasa ini adalah 3 hari. Hukum puasa ini adalah sunnah. Pahala mengerjakan puasa ini setara dengan puasa dahr, karena pahala dilipat gandakan (satu kebajikan diberi pahala sepuluh kali lipat) tanpa ada mudharat atau aspek negatif seperti yang ada dalam puasa dahr.

10.  Puasa Daud

Puasa daud adalah sehari berpuasa dan sehari berbuka. Waktu melaksanakan puasa ini adalah tidak ditentukan atau kapan saja bisa dilakukan. Hukum puasa ini adalah sunnah.[2]


B.     Dalil-dalil tentang puasa sunnah

Puasa adalah amalan yang sangat utama. Di antara ganjaran puasa disebutkan dalam hadits berikut,

كُلُّ عَمَلِ ابْنِ آدَمَ يُضَاعَفُ الْحَسَنَةُ عَشْرُ أَمْثَالِهَا إِلَى سَبْعِمِائَةِ ضِعْفٍ قَالَ اللَّهُ عَزَّ وَجَلَّ إِلاَّ الصَّوْمَ فَإِنَّهُ لِى وَأَنَا أَجْزِى بِهِ يَدَعُ شَهْوَتَهُ وَطَعَامَهُ مِنْ أَجْلِى لِلصَّائِمِ فَرْحَتَانِ فَرْحَةٌ عِنْدَ فِطْرِهِ وَفَرْحَةٌ عِنْدَ لِقَاءِ رَبِّهِ. وَلَخُلُوفُ فِيهِ أَطْيَبُ عِنْدَ اللَّهِ مِنْ رِيحِ الْمِسْكِ

“Setiap amalan kebaikan yang dilakukan oleh manusia akan dilipatgandakan dengan sepuluh kebaikan yang semisal hingga tujuh ratus kali lipat. Allah Ta’ala berfirman (yang artinya), “Kecuali amalan puasa. Amalan puasa tersebut adalah untuk-Ku. Aku sendiri yang akan membalasnya. Disebabkan dia telah meninggalkan syahwat dan makanan karena-Ku. Bagi orang yang berpuasa akan mendapatkan dua kebahagiaan yaitu kebahagiaan ketika dia berbuka dan kebahagiaan ketika berjumpa dengan Rabbnya. Sungguh bau mulut orang yang berpuasa lebih harum di sisi Allah daripada bau minyak kasturi” (HR. Muslim no. 1151).

Adapun puasa sunnah adalah amalan yang dapat melengkapi kekurangan amalan wajib. Selain itu pula puasa sunnah dapat meningkatkan derajat seseorang menjadi wali Allah yang terdepan (as saabiqun al muqorrobun). Lewat amalan sunnah inilah seseorang akan mudah mendapatkan cinta Allah. Sebagaimana disebutkan dalam hadits qudsi,

وَمَا يَزَالُ عَبْدِى يَتَقَرَّبُ إِلَىَّ بِالنَّوَافِلِ حَتَّى أُحِبَّهُ ، فَإِذَا أَحْبَبْتُهُ كُنْتُ سَمْعَهُ الَّذِى يَسْمَعُ بِهِ ، وَبَصَرَهُ الَّذِى يُبْصِرُ بِهِ ، وَيَدَهُ الَّتِى يَبْطُشُ بِهَا وَرِجْلَهُ الَّتِى يَمْشِى بِهَا ، وَإِنْ سَأَلَنِى لأُعْطِيَنَّهُ ، وَلَئِنِ اسْتَعَاذَنِى لأُعِيذَنَّهُ

“Hamba-Ku senantiasa mendekatkan diri pada-Ku dengan amalan-amalan sunnah sehingga Aku mencintainya. Jika Aku telah mencintainya, maka Aku akan memberi petunjuk pada pendengaran yang ia gunakan untuk mendengar, memberi petunjuk pada penglihatannya yang ia gunakan untuk melihat, memberi petunjuk pada tangannya yang ia gunakan untuk memegang, memberi petunjuk pada kakinya yang ia gunakan untuk berjalan. Jika ia memohon sesuatu kepada-Ku, pasti Aku mengabulkannya dan jika ia memohon perlindungan, pasti Aku akan melindunginya” (HR. Bukhari no. 2506).[3]

a.       Puasa daud

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

أحَبُّ الصِّيَامِ إلى اللهِ صِيَامُ دَاوُدَ، وَأحَبُّ الصَّلاةِ إِلَى اللهِ صَلاةُ دَاوُدَ: كَانَ يَنَامُ نِصْفَ الليل، وَيَقُومُ ثُلُثَهُ وَيَنَامُ سُدُسَهُ، وَكَانَ يُفْطِرُ يَوْمًا وَيَصُوْمُ يَوْمًا

“Puasa yang paling disukai oleh Allah adalah puasa Nabi Daud. Shalat yang paling disukai Allah adalah Shalat Nabi Daud. Beliau biasa tidur separuh malam, dan bangun pada sepertiganya, dan tidur pada seperenamnya. Beliau biasa berbuka sehari dan berpuasa sehari.” (HR. Bukhari no. 3420 dan Muslim no. 1159).

b.      Puasa senin-kamis

Dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

تُعْرَضُ الأَعْمَالُ يَوْمَ الاِثْنَيْنِ وَالْخَمِيسِ فَأُحِبُّ أَنْ يُعْرَضَ عَمَلِى وَأَنَا صَائِمٌ

“Berbagai amalan dihadapkan (pada Allah) pada hari Senin dan Kamis, maka aku suka jika amalanku dihadapkan sedangkan aku sedang berpuasa.” (HR. Tirmidzi no. 747. Shahih dilihat dari jalur lainnya).

Dari ‘Aisyah radhiyallahu ‘anha, beliau mengatakan,

إِنَّ رَسُولَ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- كَانَ يَتَحَرَّى صِيَامَ الاِثْنَيْنِ وَالْخَمِيسِ.

“Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam biasa menaruh pilihan berpuasa pada hari senin dan kamis.” (HR. An Nasai no. 2360 dan Ibnu Majah no. 1739. Shahih).

c.       Puasa ayyamul bidh

Dianjurkan berpuasa tiga hari setiap bulannya, pada hari apa saja.

Dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, ia berkata,

أَوْصَانِى خَلِيلِى بِثَلاَثٍ لاَ أَدَعُهُنَّ حَتَّى أَمُوتَ صَوْمِ ثَلاَثَةِ أَيَّامٍ مِنْ كُلِّ شَهْرٍ ، وَصَلاَةِ الضُّحَى ، وَنَوْمٍ عَلَى وِتْرٍ

“Kekasihku (yaitu Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam) mewasiatkan padaku tiga nasehat yang aku tidak meninggalkannya hingga aku mati: berpuasa tiga hari setiap bulannya, mengerjakan shalat Dhuha, mengerjakan shalat witir sebelum tidur.”( HR. Bukhari no. 1178).

Namun, hari yang utama untuk berpuasa adalah pada hari ke-13, 14, dan 15 dari bulan Hijriyah yang dikenal dengan ayyamul biid. Dari Ibnu ‘Abbas radhiyallahu ‘anhuma, beliau berkata,

كَانَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ لَا يُفْطِرُ أَيَّامَ الْبِيضِ فِي حَضَرٍ وَلَا سَفَرٍ

“Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam biasa berpuasa pada ayyamul biidh ketika tidak bepergian maupun ketika bersafar.” (HR. An Nasai no. 2345. Hasan).

Dari Abu Dzar, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda padanya,

يَا أَبَا ذَرٍّ إِذَا صُمْتَ مِنَ الشَّهْرِ ثَلاَثَةَ أَيَّامٍ فَصُمْ ثَلاَثَ عَشْرَةَ وَأَرْبَعَ عَشْرَةَ وَخَمْسَ عَشْرَةَ

“Jika engkau ingin berpuasa tiga hari setiap bulannya, maka berpuasalah pada tanggal 13, 14, dan 15 (dari bulan Hijriyah).” (HR. Tirmidzi no. 761 dan An Nasai no. 2424. Hasan).[4]

d.      Puasa Sya’ban

‘Aisyah radhiyallahu ‘anha mengatakan,

لَمْ يَكُنِ النَّبِىُّ - صلى الله عليه وسلم - يَصُومُ شَهْرًا أَكْثَرَ مِنْ شَعْبَانَ ، فَإِنَّهُ كَانَ يَصُومُ شَعْبَانَ كُلَّهُ

“Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak biasa berpuasa pada satu bulan yang lebih banyak dari bulan Sya’ban. Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam biasa berpuasa pada bulan Sya’ban seluruhnya.” (HR. Bukhari no. 1970 dan Muslim no. 1156).

Dalam lafazh Muslim, ‘Aisyah radhiyallahu ‘anha mengatakan,

كَانَ يَصُومُ شَعْبَانَ كُلَّهُ كَانَ يَصُومُ شَعْبَانَ إِلاَّ قَلِيلاً.

“Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam biasa berpuasa pada bulan Sya’ban seluruhnya. Namun beliau berpuasa hanya sedikit hari saja.” (HR. Muslim no. 1156)

Yang dimaksud di sini adalah berpuasa pada mayoritas harinya (bukan seluruh harinya)sebagaimana diterangkan oleh Az Zain ibnul Munir. Para ulama berkata bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak menyempurnakan berpuasa sebulan penuh selain di bulan Ramadhan agar tidak disangka puasa selain Ramadhan adalah wajib.[5]

e.     Puasa Enam Hari di Bulan Syawal

Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

مَنْ صَامَ رَمَضَانَ ثُمَّ أَتْبَعَهُ سِتًّا مِنْ شَوَّالٍ كَانَ كَصِيَامِ الدَّهْرِ

“Barangsiapa yang berpuasa Ramadhan kemudian berpuasa enam hari di bulan Syawal, maka dia seperti berpuasa setahun penuh.” (HR. Muslim no. 1164).

f.     Puasa di Awal Dzulhijah

Dari Ibnu ‘Abbas, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

« مَا مِنْ أَيَّامٍ الْعَمَلُ الصَّالِحُ فِيهَا أَحَبُّ إِلَى اللَّهِ مِنْ هَذِهِ الأَيَّامِ ». يَعْنِى أَيَّامَ الْعَشْرِ. قَالُوا يَا رَسُولَ اللَّهِ وَلاَ الْجِهَادُ فِى سَبِيلِ اللَّهِ قَالَ « وَلاَ الْجِهَادُ فِى سَبِيلِ اللَّهِ إِلاَّ رَجُلٌ خَرَجَ بِنَفْسِهِ وَمَالِهِ فَلَمْ يَرْجِعْ مِنْ ذَلِكَ بِشَىْءٍ ».

"Tidak ada satu amal sholeh yang lebih dicintai oleh Allah melebihi amal sholeh yang dilakukan pada hari-hari ini (yaitu 10 hari pertama bulan Dzul Hijjah)." Para sahabat bertanya: "Tidak pula jihad di jalan Allah?" Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam menjawab: "Tidak pula jihad di jalan Allah, kecuali orang yang berangkat jihad dengan jiwa dan hartanya namun tidak ada yang kembali satupun." (HR. Abu Daud no. 2438, At Tirmidzi no. 757, Ibnu Majah no. 1727, dan Ahmad no. 1968. Shahih). Keutamaan sepuluh hari awal Dzulhijah berlaku untuk amalan apa saja, tidak terbatas pada amalan tertentu, sehingga amalan tersebut bisa shalat, sedekah, membaca Al Qur’an, dan amalan sholih lainnya. Di antara amalan yang dianjurkan di awal Dzulhijah adalah amalan puasa.

Dari Hunaidah bin Kholid, dari istrinya, beberapa istri Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam mengatakan,

كَانَ رَسُولُ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- يَصُومُ تِسْعَ ذِى الْحِجَّةِ وَيَوْمَ عَاشُورَاءَ وَثَلاَثَةَ أَيَّامٍ مِنْ كُلِّ شَهْرٍ أَوَّلَ اثْنَيْنِ مِنَ الشَّهْرِ وَالْخَمِيسَ.

“Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam biasa berpuasa pada sembilan hari awal Dzulhijah, pada hari ‘Asyura’ (10 Muharram), berpuasa tiga hari setiap bulannya...” (HR. Abu Daud no. 2437. Shahih).

g.    Puasa ‘Arafah

Puasa ‘Arofah ini dilaksanakan pada tanggal 9 Dzulhijjah. Abu Qotadah Al Anshoriy berkata,

صِيَامُ يَوْمِ عَرَفَةَ أَحْتَسِبُ عَلَى اللَّهِ أَنْ يُكَفِّرَ السَّنَةَ الَّتِى قَبْلَهُ وَالسَّنَةَ الَّتِى بَعْدَهُ وَصِيَامُ يَوْمِ عَاشُورَاءَ أَحْتَسِبُ عَلَى اللَّهِ أَنْ يُكَفِّرَ السَّنَةَ الَّتِى قَبْلَهُ

“Nabi shallallahu ’alaihi wa sallam ditanya mengenai keutamaan puasa ‘Arofah? Beliau menjawab, ”Puasa ‘Arofah akan menghapus dosa setahun yang lalu dan setahun yang akan datang.” Beliau juga ditanya mengenai keistimewaan puasa ’Asyura? Beliau menjawab, ”Puasa ’Asyura akan menghapus dosa setahun yang lalu” (HR. Muslim no. 1162).

Sedangkan untuk orang yang berhaji tidak dianjurkan melaksanakan puasa ‘Arofah. Dari Ibnu ‘Abbas, beliau berkata,

أَنَّ النَّبِىَّ -صلى الله عليه وسلم- أَفْطَرَ بِعَرَفَةَ وَأَرْسَلَتْ إِلَيْهِ أُمُّ الْفَضْلِ بِلَبَنٍ فَشَرِبَ

“Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak berpuasa ketika di Arofah. Ketika itu beliau disuguhkan minuman susu, beliau pun meminumnya.” (HR. Tirmidzi no. 750. Hasan shahih).

h.     Puasa ‘Asyura

Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

أَفْضَلُ الصِّيَامِ بَعْدَ رَمَضَانَ شَهْرُ اللَّهِ الْمُحَرَّمُ وَأَفْضَلُ الصَّلاَةِ بَعْدَ الْفَرِيضَةِ صَلاَةُ اللَّيْلِ

“Puasa yang paling utama setelah (puasa) Ramadhan adalah puasa pada bulan Allah - Muharram. Sementara shalat yang paling utama setelah shalat wajib adalah shalat malam.” (HR. Muslim no. 1163). An Nawawi -rahimahullah- menjelaskan, “Hadits ini merupakan penegasan bahwa sebaik-baik bulan untuk berpuasa adalah pada bulan Muharram”.[6]


C.     Keutamaan puasa sunnah

1.      Puasa 6 hari di bulan Syawwal

Adapun keutamaan melaksanakan puasa ini adalah seperti puasa selama setahun.

2.      Puasa 10 hari pertama dibulan Dzulhijjah

Adapun keutamaan puasa ini adalah tidak ada hari-hari yang amalan shaleh didalamnya itu lebih dicintai oleh Allah daripada hari-hari tersebut.

3.      Puasa Arafah

Adapun keutamaan dari puasa ini adalah menghapus dosa-dosa kecil selama dua tahun, satu tahun yang lalu dan satu tahun yang akan datang.

4.      Puasa Muharram

Adapun keutamaan dari puasa ini adalah puasa yang paling utama setelah puasa Ramadhan.

5.      Puasa hari Tasu’a dan Asyura’

Adapun keutamaan dari puasa ini adalah menghapus dosa-dosa pada tahun sebelumnya.

6.      Puasa Sya’ban

Adapun keutamaan dari puasa ini adalah sebagai latihan atau pemanasan sebelum memasuki bulan Ramadhan. Jika seseorang sudah terbiasa berpuasa sebelum puasa Ramadhan, tentu dia akan lebih kuat dan lebih bersemangat untuk melakukan puasa wajib di bulan Ramadhan.

7.      Puasa pada bulan-bulan haram

Adapun keutamaan dari puasa ini adalah sangat dianjurkan beramal shaleh pada bulan-bulan haram.

8.      Puasa senin-kamis

Adapun keutamaan dari puasa ini adalah hari amal diangkat kepada Allah.

Adapun dibawanya amal-amal tersebut oleh Malaikat, adalah satu kali  malam dan satu kali siang hari; dan tentang dibawanya pada bulan sya’ban adalah dibelokkan pada pengertian, dibawanya amal satu tahun secara keseluruhan. Puasa hari senin lebih Afdhal dari pada kamis, karena adanya kekhususan-kekhususan yang banyak dikemukakan oleh para Ulama.

9.      Puasa Ayyamul Bidh (hari-hari putih)

Adapun keutamaan dari puasa ini adalah seperti berpuasa sepanjang masa.

10.  Puasa daud

Adapun keutamaan dari puasa ini adalah puasa yang paling disukai oleh Allah.[7]


D.    Rukhsoh puasa wajib

Ibadah puasa adalah wajib untuk dilakukan terutama bagi setiap muslim yang telah memenuhi syarat sah ibadah puasa. Puasa Ramadhan adalah puasa wajib bagi setiap muslim dimanapun berada. Barang siapa yang meninggalkan puasa di bulan Ramadhan dengan sengaja maka akan mendapat dosa. Akan tetapi, agama islam adalah agama yang sungguh memudahkan bagi siapapun yang memeluknya.

Dalam ajaran islam ada istilah rukhsoh (keringanan) bagi setiap muslim. Dalam hal ini rukhsoh puasa diberikan bagi orang-orang tertentu. Berikut orang yang diberi rukhsoh (keringanan) tidak berpuasa:

1.      Orang sakit

Orang yang sedang sakit boleh tidak melaksanakan puasa wajib di bulan Ramadhan seperti dijelaskan dalam firman Allah SWT :

وَمَنْ كَانَ مَرِيضًا أَوْ عَلَى سَفَرٍ فَعِدَّةٌ مِنْ أَيَّامٍ أُخَرَ

“Dan barang siapa sakit atau dalam perjalanan (lalu ia berbuka), maka (wajiblah baginya berpuasa), sebanyak hari yang ditinggalkannya itu, pada hari-hari yang lain.” (QS. Al Baqarah: 185)

Barang siapa yang meninggalkan atau tidak melaksanakan puasa dikarenakan sakit maka hukumnya wajib untuk mengqadha atau mengganti puasa yang ditinggalkan pada hari yang lain.

2.      Musafir

Orang yang sedang dalam perjalanan atau bepergian mendapat rukhsoh ketika sedang menjalankan puasa wajib. Akan tetapi orang yang meninggalkan puasa karena bepergian atau musafir maka wajib untuk mengqadha atau mengganti puasa yang ditinggalkan pada hari yang lain. Adapun syarat untuk bisa dikenai hukum rukshoh ini adalah ia melakukan perjalanan sebelum terbit fajar.

3.      Orang yang lanjut usia dan pekerja berat

Orang yang telah lanjut usia dan pekerja berat boleh untuk tidak melaksanakan ibadaha puasa akan tetapi ia wajib untuk membayar fidyah yaitu memberi makan orang miskin sebanyak satu mud (sekitar 544 gram) makanan pokok.

4.      Wanita hamil dan menyusui

Menurut madzhab Hanafi wanita yang hamil atau menyusui boleh untuk tidak melaksanakan ibadah puasa akan tetapi ia wajib untuk mengqadha dan tidak wajib membayar fidyah.

Adapun menurut madzhab Syafi’i adalah wajib mengqadha dan membayar fidyah apabila berbuka karena khawatir terhadap keselmatan anak, wajib mengqadha saja jika berbuka karena khawatit terhadap keselamatan diri sendiri atau keselamatan diri dan anaknya.

5.      Wanita haid dan nifas

Wanita yang mengalami haid atau nifas diberi rukshoh untuk tidak melaksanakan ibadah puasa dengan wajib mengqadha atau mengganti puasa yang ditinggalkan pada hari yang lain.[8]

6.      Rasa lapar dan haus yang luar biasa

Boleh untuk tidak melaksanakan puasa bagi yang memiliki rasa lapar dan haus yang luar biasa akan tetapi wajib untuk mengqadha pada hari yang lain. Hal ini diperbolehkan karena dikhawatirkan akan mati, atau kecerdasannya menurun, atau salah satu indranya tidak bisa berfungsi dengan baik.

7.      Pemaksaan

Boleh untuk tidak melaksnakan puasa bagi orang yang dipaksa orang lain, akan tetapi menurut para jumhur wajib untuk mengqadha pada hari lain. Sedangkan menurut Imam Syafi’i puasa orang yang dipaksa itu hukumnya tidak batal.

8.      Menyelamatkan orang lain yang hampir tenggelam dan sejenisnya

Madzhab Hambali mengatakan bahwa wajib berbuka bagi setiap orang yang dibutuhkan bantuannya oleh orang lain untuk menyelamatkan manusia lain dari kematian (tenggelam dan sejenisnya) dan ia tidak perlu membayar fidyah.[9]


E.     Qadha puasa dan fidyah

1.      Qadha puasa

Pertama: hal-hal yang berkaitan dengan pembatalan puasa

Madzhab Maliki mengatakan ada 7 hal yang terjadi akibat pembatalan puasa, yaiyu qadha, kafarat besar, kafarat kecil (fidyah) imsak (menjauhi pembatal puasa), terputusnya keberlanjutan, saknsi, dan terputusnya niat.

Kedua: hukum qadha

Para fuqaha sepakat bahwa wajib mengqadha atas orang yang batal puasanya sehari atau lebih dibulan Ramadhan baik karena adanya udzur atau tidak.

Puasa yang wajib di qadha adalah puasa Ramadhan, puasa kafarat, puasa nadzar serta puasa sunnah yang dimulai (menurut madzhab hanafi dan Maliki). Hanya saja menurut madzahb Maliki mewajibkan qadha atas orang yang sengaja membatalkan puasa sunnahnya. Adapun orang membatalkan puasanya karena lupa diperbolehkan meneruskan puasanya tanpa ada kewajiban untuk mengqadha nya dan ini adalah ijma’ karena tidak ada hukum bagi orang yang lupa. Jika dia membatalkan puasa sunnah karena udzur maka dia tidak wajib untuk mengqadha.

Waktu qadha

Qadha puasa bulan Ramadhan dilakukan setelah habisnya bulan itu sampai datangnya bulan Ramadhan berikutnya. Disunnahkan menyegerakan qadha agar cepat bebas tanggungannya dan gugur kewajibannya.

Madzhab Syafi’i memandang wajib melaksanakan qadha dengan segera apabila pembatalan puasa di bulan Ramadhan itu terjadi tanpa ada udzur syar’i. Bagi orang yang punya tanggungan puasa Ramadhan makruh hukumnya apabila mengerjakan puasa sunnah. Jika seseorang menunda mengqadha puasa hingga tiba Ramadhan berikutnya maka ia wajib emngqadha dan membayar kafarat (fidyah). Sedangkan madzhab Hanafi, berpendapat bahwa tidak ada kewajiban membayar fidyah atsnya, baik penundaan qadha terjadi karena ada udzur maupun tidak adanya udzur. Menurut madzhab Syafi’i, fidyah berulang-ulang seiring bergantian tahun.

Qadha secara berturut-turut

Mayoritas fuqoha sepakat bahwa disunnhakan qadha secara berturut-turut (berkelanjutan). Akan tetapi qadha puasa Ramadhan tidak disyari’atkan berturut-turut maupun segera.

Wali berpuasa qadha atas nama kerabatnya yang meninggal

Bagi orang yang meninggal dengan memiliki tanggungan puasa bulan Ramadhan ada dua kondisi:

Pertama, dia mati sebelum memungkinakan untuk berpuasa baik karena semptnya waktu atau karena adanya udzur (sakit, perjalanan, tidak mampu berpuasa). Dalam kondisi demikian, dia tidak wajib menebus apapun, menurut mayoritas ulama. Sebab dia tidak melakukan kelalaian juga tidak berdosa karena itu adalah kewajiabn yang tidak sempat ditunaikannya karena dia terburu meninggal dunia. Maka, hukumnya gugur tanpa harus diganti amalan lain seperti haji.

Kedua, dia meninggal setelah memungkinkan untuk mengqadha. Dalam kondisi ini walinya tidak berpuasa atas namanya, yakni puasanya tidak wajib menurut para fuqoha. Menurut madzhab Syafi’i hal diatas hukumnya tidak sah. Karena hal itu adalah ibadah badaniyah mahdhah yang wajib berdasarkan dalil syara’. Maka ia tidak dapat diwakilkan semasa masih hidup maupun sesudah meninggal dunia sama seperti sholat.

Menurut madzhab Hambali, wali disunnahkan berpuasa atas nama kerabatnya yang meninggal dunia sebab yang demikian itu lebih ihtiyath untuk terbebasnya tanggungan si mayit.

Mengqodho Puasa Menurut Empat Imam Madzhab

Empat imam madzhab sepakat bahwa puasa ramadhan adala fardu atas segenap kaum Muslim. Ia merupakan salah satu dari rukun Islam. Mereka juga sepakat bahwa puasa Ramadhan wajib dilasnakan oleh setiap Muslim yang telah baig, berakal seahat, suci(tidak sedang haid atau nifas), bermukim ( tidak dalam perjalanan), dan sanggup mengerjakannya.

Perempuan yang sedang haid dan nifas haram berpuasa. Apabila mereka tetap mengerjakannya, maka puasanya tidak sah dan tetap berkewajiban mengqadhanya. 

Perempuan yang sedang hamil dan perempuan yang sedang menyusui anaknya boleh tidak beruasa jika mereka khawatir terhadap kesehatan dirinya dan kesehatan anaknya.Tetapi, jika mereka tetap berpuasa maka puasaya sah. Adapun jika mereka tidak berpuasa lantaran khawatir terhadap kesehatan anaknya maka ia wajib mengqadhanya serta membayar kafarah, yaitu untuk setiap harinya satu  mud. Demikian menurut pendapat Syafi’iyang paling kuat dan Hambali. Hanafiberpendapat : Tidak ada kafarah atas keduanya. Dari Malikidiperoleh dua riwayat. Pertama, wajib kafarah bagi perempuan yang sedang menyusui anaknya,tidak bagi yang sedang hamil. Kedua, tidak ada kafarah atas keduanya.

Ibn ‘Umar dan Ibn Abbas r.a. menyatakan, “ Wajib kafarah, tetapi tidak wajib mengqadha”.

Puasa bagi Musafir

Empat imam mazhab sepakat bahwa orang yang sedang bepergian (musafir) dan penderita sakit yang tidak bisa disembuhkan boleh tidak berpuasa. Tetapi, jika mereka tetap berpuasa maka puasanya sah.Sementara itu jika mereka berpuasa, padahal puasa itu membahayakan diri mereka, maka hukumnya adalah makruh.

Sebagian ulama ahli zahir mengatakan : tidak sah puasa dalam safar.

Al- Awza’i berpendapat:  Tidak berpuasa bagi orang yang bepergian adalah lebih utama secara mutlak.

Menurut tiga imam mazhab: barang siapa yang berpuasa pada pagi hari, lalu ia melakukan perjalanan, maka ia tidak boleh membatalkan puasa nya.Hambali: Ia membatalkan puasanya. Inilah pendapat al-Muzni.

Apabila musafir yang tidak berpuasa telah sampai di tempat tujuannya, orang sakit sudah sembuh, anak-anak sudah balig, orang kafir masuk Islam, atau perempuan haid telah suci pada pertengahan siang, mereka wajib  imsak, yaitu menahan diri dari hal-hal yang membatalkan puasa pada sisa hari itu. Demikian menurut  Hanafi  dan  Hambali. Maliki  berpendapat: Disukai  imsak. Ini juga pendapat paling saih dari Syafi’i.

Apabila orang murtad kembali masuk Islam maka ia wajib mengsadha puasa yang ditinggalkannya ketika murtad. Demikian menurut tiga imam mazhab. Hanafi  berpendapat: Tidak wajib mengqadhanya.


Puasa Anak kecil, Orang Gila, Orang Sakit

Empat Imam Mazhab sepakat bahwa anak kecil yang belum mampu berpuasa dan orang gila yang terus-menerus tidak dikenai kewajiban puasa. Tetapi, anak kecil itu hendaknya diperintah mengerjakannya jika sudah berumur tujuh tahun dan dipukul jika (tidak berpuasa) pada umur sepuluh tahun.

Hanafi berpendapat: tidak sah puasa anak kecil. Jika orang gila sembuh dari gilanya maka ia tidak wajib mengqadha puasa yang ditinggalkannya. Demikian menurut pendapat Hanafi dan Syafi’i. Maliki berpendapat: Wajib qadha. Hambali memiliki dua riwayat. Orang sakit yang tidak bisa disembuhkan dan orang tua renta tidak wajib berpuasa, tetapi diwajibkan membayar fidyah. Demikian pendapatHanafi. Seperti itu juga pendapat aling sahih dari Safi’i.

Hanafi :  Fidyah terseut adalah setengah  sha’  gandum setiap hari.Sedangkan menurut Syafi’i:  Satu  mud .

Maliki: Tidak wajib berpuasa dan tidak wajib membayar fidyah.Demikian juga salah satu pendapat Syafi’i.

Hambali: Ia harus memberi makan 1 sha’ kurma atau 1 mud gandum.[10]

2.      Fidyah

Hukum fidyah adalah wajib dengan dalil firman Allah

...وَعَلَى الَّذِيْنَ يُطِيْقُونَهٗ فِدْيَةٌ طَعَامٌ مِسْكِيْنٍ184

            “...dan bagi orang yang berat menjalankannya, wajib membayar fidyah, yaitu memberi makan seorang miskin..” (al-Baqarah:184)

      Yakni, wajib membayar fidyah bagi orang-orang yang menjalani puasa dengan susah payah. Menurut madzhab Hanafi, fidyah adalah berupa setengah Sha’ gandum, yakni uang seharga itu, dengan syarat berlanjutnya ketidakmampuan orang yang tua renta itu sampai kematiannya. Sedangkan menurut jumhur, fidyah itu berupa satu mudd makanan pokok untuk tiap hari puasa yang ditinggalkannya. Alokasi distribusi fidyah, nadzar yang mutlak, kafarat dan sedekah yang wajib adalah sama dengan alokasi distribusi zakat.

Sebab fidyah antara lain:

a.       Tidak mampu berpuasa. Semua fuqaha sepakat bahwa fidyah wajib atas orang yang sama sekali tidak mampu menjalani puasa, yaitu lelaki atau wanita yang tua renta. Apabila mereka sukar sekali menunaikan puasa, mereka boleh tidak berpuasa, melainkan harus memberi makan seorang miskin untuk tiap hari puasanya, seperti dalam surah al-Baqarah ayat 184.

b.      Semua fuqaha sepakat bahwa fidyah juga wajib atas orang sakit yang tidak punya harapan untuk sembuh. Sebab, puasa tidak wajib atasnya, sebagaimana telah dijelaskan sebelumnya, dengan dalil firman allah azza wa jalla.

“..dan Dia tidak menjadikan kesukaran untukmu dalam agama..” (al-Hajj : 78)

c.       Fidyah juga wajib, menurut jumhur (selain madzhab Hanafi), di samping mengqadha atas wanita yang hamil dan yang menyusui apabila mereka khawatir atas anak mereka. Adapun jika mereka khawatir atas diri mereka sendiri, mereka boleh tidak berpuasa, tapi hanya wajib mengqadha saja; dan hal ini disepakati semua fuqaha. Dalilnya yakni al-Baqarah ayat 184.

d.      Fidyah juga wajib disamping mengqadha (menurut jumhur, selain madzhab Hanafi) atas orang yang lalai dalam mengqadha puasa ramdhan; yakni dia menunda-nundanya sampai datang bulan ramadhan tahun berikutnya. Besarnya fidyah sesuai dengan jumlah hari yang ditinggalkannya. Hal ini dibiaskan kepada orang yang sengaja membatalkan puasanya, karena kedua-duanya menyepelekan kesucian puasa. Fidyah tidak wajib atas orang yang uzurnya berlangsung terus, entah uzur itu adalah sakit, perjalanan, gila, haid, atau nifas.

BAB III

STUDI KASUS

Terdapat banyak masalah di kehidupan sehari-hari kita mengenai puasa sunnah, berikut kami sebutkan beberapa studi kasus tentang puasa sunnah :

1.      Seorang remaja sedang berpuasa daud, kemudian tiba saatnya dia berpuasa daud di hari senin. Pada hari senin itu remaja tersebut juga ingin mengerjakan puasa sunnah. Bagaimana hukum menggabungkan puasa?

2.      ??

3.      ??

Berdasarkan hasil diskusi kelompok kami, berikut jawaban atau solusi dari beberapa studi kasus di atas :

1.      Menggabungkan puasa itu diperbolehkan selama itu sama sama puasa sunnah. Menggabungkan puasa tidak diperbolehkan jika menggabungkan antara puasa sunnah dengan puasa wajib, seperti puasa hari senin dengan qadha puasa ramadhan.

Baca juga artikel yang lain;

  1. Konsep Dasar Psikologi
  2. Metode Kajian Psikologi
  3. Biografi Ibnu Thuffail
  4. Konsep Dasar Puasa Sunnah
  5. Pendidikan Wanita dalam Islam
  6. Hubungan Ilmu Akhlak dengan Ilmu-ilmu yang Lain
  7. Sejarah Pendidikan Islam
  8. Sejarah Perkembangan Psikologi
  9. Jarh wa Ta'dil
  10. Sosiolinguistik Amerika dan Indonesia
  11. Menonton Telivisi dan Pembentukan Karakter
  12. Budaya Membaca dan Budaya Menonton TV

BAB IV

KESIMPULAN

Puasa ada 2, yakni puasa wajib dan puasa sunnah. Puasa sunnah ada banyak macamnya, dan kelompok kami menyebutkan 10 macam yaitu, puasa Puasa 6 hari di bulan Syawwal, Puasa 10 hari pertama dibulan Dzulhijjah, Puasa Arafah, Puasa Muharram, Puasa hari Tasu’a dan Asyura’, Puasa Sya’ban, Puasa pada bulan-bulan haram, Puasa Senin-Kamis, Puasa Ayyamul Bidh (hari-hari putih), Puasa Daud. Adapun setiap puasa sunnah tersebut mempunyai keutamaannya masing-masing.

Dalam ajaran islam ada istilah rukhsoh (keringanan) bagi setiap muslim. Dalam hal ini rukhsoh puasa diberikan bagi orang-orang tertentu. Yaitu : Orang sakit, Musafir, Orang yang lanjut usia dan pekerja berat, Wanita hamil dan menyusui, Wanita haid dan nifas, Rasa lapar dan haus yang luar biasa, Pemaksaan, Menyelamatkan orang lain yang hampir tenggelam dan sejenisnya

Para fuqaha sepakat bahwa wajib mengqadha atas orang yang batal puasanya sehari atau lebih dibulan Ramadhan baik karena adanya udzur atau tidak. Puasa yang wajib di qadha adalah puasa Ramadhan, puasa kafarat, puasa nadzar serta puasa sunnah yang dimulai (menurut madzhab hanafi dan Maliki).

Hukum fidyah itu wajib bagi oarang-orang yang termasuk dalam sebab-sebab fidyah antara lain, orang yang tidak mampu berpuasa, orang sakit yang tidak mempunyai harapan untuk sembuh, wanita hamil dan menyusui, serta orang yang lalai dalam mengqadha puasa ramadhan.s


[1] Fachrur Mu’is, Puasa A-Z (Solo: Tinta Medina, 2011), 137.

[2] Wahbah az-Zuhaili, Fiqih Islam wa Adillatuhu 3 (Jakarta: Gema Insani, 2011), 45.

[3] Sayyid Sabiq, Fikih Sunnah (Bandung: Alma’arif, 2007), 3.

[4] Helmi Basri, Fiqih Ibadah (Pekanbaru: Suska press, 2010), 105.

[5] Al Minhaj Syarh Shahih Muslim, Yahya bin Syarf An Nawawi, Al Minhaj Syarh Shahih Muslim, 8/37, (Dar Ihya’ At Turots,.)

[6] Al Minhaj Syarh Shahih Muslim, 8/55.

[7] Fachrur Mu’is, Puasa A-Z (Solo: Tinta Medina, 2011), 133-141.

[8] Fachrur Mu’is, Puasa A-Z (Solo: Tinta Medina, 2011), 45.

[9] Wahbah az-Zuhaili, Fiqih Islam wa Adillatuhu 3 (Jakarta: Gema Insani, 2011), 96.

[10] Syaikh al-“allamah muhammad, Fiqih Empat Mazhab (Bandung: Hasyimi, 2001), 154.

Pendidikan Wanita dalam Islam

 

A.    Konsep Dasar Pendidikan Wanita dalam Islam

Dalam bahasan Islam and Women’s Education, Haiffa A. Jawad mengemukakan bahwa salah satu hak terpenting bagi kaum wanita di dalam Islam adalah hak untuk memperoleh pendidikan.

Sebenarnya secara konseptual Islam tidak ada persoalan yang layak diperdebatkan tentang pentingnya arti pendidikan bagi kehidupan manusia baik itu bagi laki-laki maupun perempuan. Karena jelas disebutkan bahwa menuntut ilmu itu wajib bagi setiap muslim laki-laki dan perempuan. Pentingnya pendidikan bagi perempuan juga berkaitan erat dengan peran penting mereka dalam peningkatan kualitas generasi muda. Dalam hal ini diperlukan adanya peningkatan kesadaran pada seorang ibu terhadap tanggung jawab dan perannya sebagai pendidik pertama dan utama. Merupakan suatu yang kodrati bahwa perempuan yang melahirkan anak, membesarkan generasi bangsa yang secara alamiah ia memiliki hubungan emosional yang paling dekat dengan anak. Sesuai dengan harkat, martabat dan kodratnya, kaum perempuan mempunyai peran yang sangat besar dan menentukan. Merekalah yang membentuk, menentukan, dan memberi warna kualitas generasi muda bangsa. Karena itu tidaklah berlebihan apabila dikatakan bahwa, berada ditangan perempuan kualitas generasi muda, penerus cita-cita perjuangan itu ditentukan. Sebuah pepatah Arab mengatakan: “Al-Mar’ah ‘Imad alBilad. Idza shaluhat shaluha al-Bilad, wa idza fasadat fasada al-bilad” (perempuan adalah pilar negara, bila baik, maka negara akan menjadi baik, bila ia rusak, maka hancurlah negara).[1]

Oleh karena itu perempuan yang notabenenya adalah pemegang kualitas generasi penerus bangsa di masa yang akan datang seharusnya mendapat perlakuan dalam hal pendidikan. Karena bagaimana seorang ibu bisa mendidik anaknya menjadi lebih baik jika sang ibu masih kurang dalam mengenyam pendidikannya.

Banyak yang mendukung untuk berlanjutnya pendidikan wanita, mulai dari al-Qur’an, hadits, maqolah, dan banyak buku – buku. sebab seperti yang sudah dijelaskan tadi bahwa generasi penerus bangsa yang dibawah kendali seorang wanita, maka wanita tersebut haruslah berpendidikan.

B.     Eksistensi Pendidikan Wanita dalam Islam

Karena dalam islam tidak diajarkan untuk berkumpul lain jenis, maka sekarang banyak terjadi pendidikan berbasis gender. Jadi laki – laki dan perempuan dipisah tidak dalam satu kelas. Tapi dengan adanya kegiatan tersebut maka cenderung akan terjadi diskriminasi terhadap satu sama lain. Maka dari itu, dalam pendidikan berbasis gender, orang tua memiliki peran yang sangat penting dalam mendidik dan mengarahkan anak-anaknya, karena apabila dalam satu keluarga tersebut terjadi bias gender maka hal ini akan sangat berpengaruh pada pola pikir anak-anaknya dimasa yang akan datang. Ketidakadilan gender dalam keluarga sering kali termanifestasi dalam berbagai bentuk, diantaranya adalah marginalisasi (peminggiran) perempuan, subordinasi (penomorduaan) perempuan, stereotipe (pelabelan negatif) terhadap perempuan, kekerasan (violence) terhadap perempuan serta beban kerja lebih banyak dan panjang (doble burden). Dan anak akan sangat peka terhadap reaksi sosial yang ditimbulkan oleh kedua orang tuanya tersebut.[2]

Anak yang sudah terpengaruh terhadap kebiasaan orang tuanya yang kurang benar maka hal itu akan menjadikan seorang anak tersebut anak yang nakal dan bisa berbuat lebih dari kebiasaan buruk orang tuanya. 

Betapa pentingnya pendidikan wanita dalam islam, karena kebiasaan atau adat istiadat dari berbagai tempat yang mengesampingkan pendidikan bagi perempuan yang kebanyakan berada di indonesia. Tapi dengan mendapatkannya para perempuan hak – hak mereka maka lebih mungkin bisa masa depan bangsa akan lebih baik, sebab anak – anak di masa depan akan mendapatkan ibu – ibu mereka adalah seorang yang berilmu dan berpendidikan, yang mampu mendidik mereka dan menasihati mereka. Dan pendidikan ini bukan hanya tentang ilmu pengetahuan saja tapi juga tentang akhlak dan budi pekerti agar nantinya bukan hanya otak – otak mereka terisi tapi akhlak dan tingkah laku mereka akan selalu senantiasa terjaga.

C.      Tokoh tokoh dan Konsep Pendidikan Wanita dalam Islam

1.       Syifa’ bint ‘Abd Allâh

            Nama lengkapnya adalah al-Syifa’ bint ‘Abd Allâh ibn ‘Abd Syams ibn Khalaf ibn Shaddâd ibn ‘Abd Allâh ibn Qurth ibn Razâh ibn ‘Adi ibn Ka’b ibn Lu’ay. Dia adalah ibu dari Sulaiman ibn Abû Hatsamah. Ibunya bernama Fâtimah bint Abû Wahab ibn ‘Amr ibn ‘Â’id ibn ‘Umar ibn Makhzûm.

            Al-Syifâ’ termasuk golongan pertama yang masuk islam, turut berhijrah ke madinah, ikut berbaiat kepada Rasulluah SAW., dan merupakan salah satu dari sedikit perempuan yang cerdas dan mulia pada masanya. Dikisahkan Nabi SAW pernah memberikan bagian rumah kepada al-Syifâ’ di daerah penambang emas, yang kemudian dia tempati bersama anaknya, Sulaimân. ‘Umar ibn al-Khaththâb pun selalu berkonsultasi dengannya, selalu mendahulukan pendapat – pendapatnya, dan pernah menjadikannya pegawai pasar, sebagaimana diceritakan dalam kitab al-Isti’âb.

            Oleh karena itu, al-Syifâ’ merupakan salah satu wanita hebat pada masa itu maka banyak hal atau kegiatan yang al-Syifâ’ lakukan dan berguna bagi yang lain, seperti merupakan salah satu perawi hadits, seorang penawar luka, Guru dari Hafshah dan al-Syifâ’ adalah seorang yang rajin solat.

Perawi Hadits

Abû Bakar dan ‘Utsmân, putra Sulaimân ibn Hatsmah, meriwayatkan sebuah hadits dari al-Syifâ’. Dalam musnad al-imâm Ahmad disebutkan sebuah hadits ‘Abd Allâh ibn ‘Umair, dari seorang lelaki dari keluarga Abû Hatsmah,dari al-Syifâ’ bint Abd Allah berkata.”Rasulullah saw. pernah ditanya tentang perbuatan paling muliah.” Beliau menjawab, “Iman kepada Allah, Berjihad di jalan-Nya, dan haji yang mabrur.”

Penawar luka

Menurut riwayat ‘Utsman ibn Sulaimân ibn Hatsmah, al Syifâ’ bint ‘Abd Allâh dikenal masyarakat Jahiliah sebagai pemilik jampi – jampi penyembuh luka. Setelah berbaiat kepada nabi saw. di makkah dan sebelum berangkat ke madinah, al Syifâ’ pergi menemui Nabi dan berkat, “Wahai Rasulullah, dulu saya berprofesi sebagai peruqyah, dan aku ingin menunjukkan ruqyah itu kepadamu.” Nabi saw. lalu berkata, “Coba tunjukkan!” Al-Syifâ’ lalu mempraktikkan ruqyah (jampi – jampi penawar luka) itu. Nabi saw. bersabda, “Meruqyahlah dengan itu dan ajarkanlah kepada Hafshah. Dengan nama Allah, shalwun, shalbun, jabrun, aku berlindung dari mulut- mulutnya sehingga tidak membahayakan orang. Ya Allah, hilangkanlah penyakit ini, wahai Penguasa manusia.” Al-Syifâ membacakan jampi – jampi itu kepada minyak kasturi sebanyak tujuh kali, lalu minyak tersebut diletakkan di wadah yang bersih dan dicampur dengan cuka merah Tsaqif, kemudian dioleskan di atas luka.

Guru Hafshah

            Dalam Sunan Abû Dâwud disebutkan, Rasulullah saw. berkata kepada al-Syifâ’, “Ajarkanlah ruqyah al-namilah kepada Hafshah, sebagaimana engkau mengajarkan tulis-menulis kepadanya.” Hadis ini menjadi dalil dibolehkannya mengajarkan ilmu tulis menulis kepada kaum perempuan. Menurut Abû sulaiman al-Khaththabi, hadis ini menjadi dalil bahwa bahwa hukum belajar tulis – menulis bagi perempuan adalah mubah, tidak makruh.[3]

2.      Rahmah el-Yunusiyah

Namanya Rahmah El-Yunusiah tidak tercatat sebagai salah satu nama pahlawan nasional. Namanya juga masih asing didengar dan belum banyak dikenal di dunia pendidikan. Tidak semasyhur nama besar pahlawan wanita seperti Cut Nyak Dien, Dewi Sartika, ataupun Raden Ajeng Kartini. Meskipun begitu, perjuangannya dalam dunia pendidikan tidak dapat diragukan lagi. Sebuah nama besar seorang Rahmah El-Yunusiah yang lahir pada tanggal 1 Rajab 1318 Hijriyah atau 20 Desember 1900 di jalan Lubuk Mata Kucing, Kanagarian, Bukit Surungan, Padang Panjang, tanah Minangkabau. Dia anak bungsu dari lima bersaudara, yaitu Zainuddin Labay (1890-1924 M), Mariah (1893-1972 M), Muhammad Rasyad (1895-1956 M), dan Rihanah (1898-1968 M)3 dan Rahmah masih mempunyai saudara lain ibu, yaitu Abdus Samad, Hamidah, Pakih Bandaro, Liah, Aminuddin, Safiah, Samihah dan Kamsiah. Ayahnya bernama Syaikh Muhammad Yunus (1846-1906 M) yang terkenal sebagai ulama besar dan seorang qadhi/ hakim yang ahli ilmu falak dan hisab di Pandai Sikat. Riwayat pendidikan ayahnya, Syaikh Muhammad Yunus pernah belajar selama 4 tahun di tanah suci Mekkah. Sedangkan ibunya bernama Rafi’ah dari keturunan suku Sikumbang yang berasal  dari negeri Langkat, Bukittinggi Kabupaten Agam. Ibunya Rafi’ah juga masih berdarah keturunan ulama, empat tingkat diatasnya masih ada hubungan dengan mamak Haji Miskin, sang pembaharu gerakan Paderi. Ibunya berhijrah ke bukit Surungan Padang Panjang pada abad XVIII M yang lalu. Dan menikah dalam usia yang masih belia, 16 tahun sedangkan Syaikh Muhammad Yunus sudah berusia 42 tahun.

Rahmah memang berasal dari keluarga atau keturunan yang pintar – pintar serta taat beragama. Itu semua bisa dilihat dari riwayat hidup Ayahnya, Ibunya, Kakeknya, Kakak – kakaknya yang mana banyak yang merupakan seorang ulama - ulama terkenal.

Karena latar belakang dirinya yang taat beragama dan aktif dalam gerakan pembaharuan, maka hal itu menjadikan dirinya lebih peka dan kritis terhadap lingkungan sekitar. Pada awal abad ke-20 itu, Rahmah  berfikir mengenai sebuah hadits yang berarti bahwa Wanita adalah tiang negara. Dan dengan hadits yang seperti itu maka seharusnya perempuan juga mendapat pendidikan sama seperti p ara kaum pria. Dan ditambah sebuah hadits lagi yang berbunyi “mencari ilmu itu wajib bagi setiap laki – laki dan perempuan. Tapi hal itu bertentangan dengan sistem pendidikan di tempat tinggalnya tersebut, yang mana sistem pendidikannya yang bercorak tradisional itu tidak mendukung perempuan untuk ikut mengenyam pendidikan sama seperti laki – laki.

Meskipun Rahmah El-Yunusiah sempat mengenyam pendidikan agama dari model Surau, namun tetap saja perempuan memiliki keterbatasan dalam lingkungan pendidikan ini. Perempuan tidak bisa sebebas kaum laki-laki dalam menuntut ilmu di Surau. Meskipun dalam kebudayaan minang seorang perempuan berhak memiliki keutamaan khusus tertentu tapi akses perempuan dalam mendapat ilmu dan pendidikan masihlah terbatas.

Keterbatasan dalam hal akses keilmuan inilah yang nampaknya mendorong Rahmah ikut terlibat dalam arus “pembaharuan” bagi kaum perempuan. Pijakan awal pembaharuan yang dibawa oleh Rahmah dalam konsepnya tentang pendidikan kaum perempuan jelas berbeda dengan asumsi dasar kaum feminis yang menganggap bahwa kaum perempuan mengalami diskriminasi.

Kajian ilmiah modern dan data-data akurat telah mengungkapkan bahwa ibu memegang peranan sangat penting dalam perkembangan anak-anak. Pada wilayah inilah nampaknya Rahmah El-Yunusiah bergerak, tentu saja terlepas dari fakta hasil kajian ilmiah modern dan data-data terkait yang baru ada setelah masa sesudahnya. Inilah jalan pendidikan yang menjadi pemikiran Rahmah, tidak hanya terpaku dalam kebudayaan dan tradisi masyarakatnya yang tertutup bagi perempuan tapi bagaimana konsep pendidikan yang berdasarkan Islam dapat menyesuaikan dan menjadi solusi untuk perkembangan pendidikan perempuan. Dipadukan lagi dengan sistem pendidikan tradisional surau yang mulai tergantikan dengan sistem pendidikan madrasah yang selangkah lebih modern. Dan terus ada upaya dari Rahmah untuk melakukan pembaharuan di bidang pendidikan khususnya pendidikan bagi perempuan. 

Dilihat dari aktivitas yang dilakukannya, nampaknya Rahmah El-Yunusiah ingin menerapkan “pembelajaran sepanjang hayat” dalam konsep pendidikan yang digagasnya. Hal ini tercermin dalam model pendidikan yang dimulai dari masa anak-anak sampai perguruan tinggi. Dan dari madrasah-madrasah yang dibangun dan dikembangkannya yang dimulai dari jenjang taman kanak-kanak hingga perguruan tinggi. Pendidikan yang tidak mengenal usia baik yang masih anak-anak maupun yang sudah renta. Hal ini berlaku selama manusia masih bernafas maka masih dianjurkan menuntut ilmu.[4]

3.      Khadijah binti Khuwailid

Beliau adalah Ummul Mukminin  pemimpin kaum wanita seluruh alam pada masanya. Ummul Qasim binti Khuwailid bin Asab bin Abdul Uzza bin Qushai bin Kilab al_Quraisyiyah al-Asadiyah. Ibu anak – anak Rasulullah SAW. Orang pertama yang beriman dan percaya kepada beliau sebelum siapapun juga.

Ia memiliki banyak sekali keutamaan, dan termasuk diantara wanita sempurna. Ia wanita berakhlak mulia, patuh beragama, terjaga, dan mulia. Ia termasuk salah satu penghuni surga. Nabi SAW memuji dan melebihkannya diantara seluruh Ummahatul mukminin (istri – istri beliau).

Memilih Nabi sebagai suami yang kala itu miskin, sementara ia sendiri kaya raya yang menjadi incaran para lelaki kaya dan terhormat di tengah – tengah kaumnya namun enggan menerima mereka, sudah cukup menunjukkan kebijaksanaan dan kekuatan akal, ia tahu bahwa kejantanan sempurna, kemuliaan sifat ksatria, dan watak yang lurus tidak berada di dalam kekayaan materi dan harta benda yang pasti akan lenyap.

Ia mencari kekayaan jenis lain!

Kekayaan jiwa, nurani, dan kelembutan perangai! Di mana gerangan ia bias menemukan semua itu secara sempurna pada sosok selain Muhammad? Meski demikian, sebagian referensi menyebut salah satu alasan Khadijah mendekati nabi SAW adalah keahlian beliau dalam berjual beli, kejujuran, dan amanah dalam berdagang, atau factor – factor lain seperti yang didengar Khadijah.

Namun kami sampaikan, meski faktor tersebut menjadi salah satu penyebab wanita menginginkan lelaki—terlebih bagi wanita berharta seperti Khadijah RA yang menginginkan seorang lelaki yang bias memperdagangkan harta miliknya.

Mungkin pertimbangan tersebut menjadi salah satu faktor utama yang membenarkan alasan Khadijah menikah dengan Muhammad yang lima belas tahun lebih muda. Karena beliau kala itu berusia dua puluh lima tahun, sementara ia sendiri berusia empat puluh tahun.

Terlebih kala itu beliau minim harta, tidak memiliki kedudukan dan kepemimpinan. Namun Khadijah menemukan sesuatu di balik kejujuran, amanat, keahlian dalam berdagang, dan nasab terhormat yang membenarkan alasannya menikahi Muhammad SAW di hadapan kaumnya.

Hanya saja saat mencari tahu faktor hakiki pernikahan sang wanita yang sudah menginjak usia empat puluh tahun ini dengan Muhammad SAW artinya usia kematangan akal dan kedewasaan, bukan lagi sebagai gadis dungu ataupun wanita tua yang sudah lapuk. Faktor hakiki  pendorong pernikahan ini adalah upaya Khadijah untuk mencari kejantanan sempurna. Kejantanan yang dimaksud mencakup akhlak, sifat ksatria, kekuatan masa muda, sikap mengalah (mementingkan orang lain), dan sifat – sifat mulia.

Muhammad SAW tidak akan mau menikah dengan Khadijah RA meski memiliki harta benda sepenuh bumi, dan meski ia wanita tercantik di dunia, andai saja bukan karena kekuatan akal, kecerdasan, dan pengakuan kaumnya akan kemuliaan sifat, perilaku terpuji, menjaga diri, hati nan lurus dan nasab terhormat yang beliau ketahui.

Karena semua alasan inilah, keinginan Khadijah selaras dengan keinginan Muhammad SAW untuk hidup berdampingan.

Benar dugaan Muhammad SAW terkait Khadijah, karena ia adalah seorang istri dan sandaran terbaik. Kekuatan akal dan kecerdasannya mendorong untuk beriman kepada apa yang disampaikan Muhammad SAW mengikuti segala perilaku keimanan dan ketaatan.

Suatu ketika, Nabi SAW pulang ke rumah Khadijah setelah diajari Jibril tata cara shalat. Beliau kemudian menyampaikan hal itu kepada Khadijah lalu Khadijah pun berkata, “Ajarkan kepadaku ( tata cara shalat ) yang Jibril ajarkan kepadamu.”

Nabi SAW kemudian mengajarkan shalat kepada Khadijah. Khadijah berwudlu seperti beliau, kemudian shalat bersama beliau dan berkata, “Aku bersaksi bahwa engkau adalah utusan Allah.”[5]

4.      Asma’ binti Abu Bakar

Asma’ lahir di mekah 27 tahun sebelum kenabian. Ayahnya lebih baik dari seluruh manusia setelah para nabi dan rasul. Ia adalah orang pertama dari sepuluh sahabat yang dijamin surge, yakni Abu Bakar Ash-Shiddiq RA.

Suami saudarinya adalah pemimpin orang-orang terdahulu dan kemudian, yakni Muhammad bin Abdullah SAW.

Saudarinya seayah adalah Ummul Mukminin, yakni Aisyah RA.

Kakek dari jalur ayahnya adalah Abu Quhafah yang masuk islam dan meraih kemuliaan mendampingi Rasulullah SAW.

Nenek dari jalur ayahnya adalah Ummul Khair, Sulma binti Sakhr yang masuk islam dan meraih kemuliaan mendampingi Rasulullah SAW.

Tiga bibinya adalah para sahabat wanita, mereka adalah; Ummu Amir, Qaribah, Ummu Farwah. Mereka adalah putri – putri Abu Quhafah.

Suaminya adalah pembela Rasulullah SAW yang tidak lain adalah sepupu beliau. Ia satu diantara sepuluh sahabat yang dijamin surge, dan orang pertama yang menghunus pedang di jalan Allah; Zubair bin Awwam RA.

Anaknya adalah khalufah Abdullah bin Zubair, salah satu panji ibadah dan jihad.

Saudara kandungnya, Abdullah, salah satu sahabat mulia.

Saudara seayahnya, Abdurrahman—saudara sekandung Aisyah—termasuk salah satu pemberani dan pemanah jitu.

Oleh karena itu, ada yang mengatakan; diantara rumah-rumah para sahabat, tidak satupun diantaranya yang memiliki empat anggota keluarga yang semuanya melihat Nabi SAW, tidak juga mereka semua berstatus sahabat, atau sebagian diantaranya melahirkan yang lain, kecuali rumah Abu Bakar. Sebab Asma’, ayahnya, kakeknya, dan anaknya (Ibnu Zubair), mereka semua selama empat generasi adalah para sahabat.

Asma’ tumbuh berkembang di rumah ayahnya, Abu Bakar Ash-Shiddiq. Abu Bakar menyatukan segala perangai baik sehingga menjadi manusia terbaik setelah Rasulullah SAW. Asma’ tinggal di rumah ayahnya mempelajari segala akhlak luhur darinya, dan tumbuh dewasa mencintai keutamaan.

Diriwayatkan dari Asma’ RA, ia berkata, “Aku membuat makanan musafir untuk Nabi SAW dan Abu Bakar saat keduanya hendak pergi menuju Madinah. Aku kemudian berkata kepada ayahku, ‘Aku tiak punya tali untuk mengikat rangsel selain ikat pinggangku.’ Ayah berkata, ‘Sobeklah ikat pinggangmu itu.’ Aku kemudian menyobek ikat pinggangku, karena itulah aku disebut Dzatun Nithaqain’.”

Zubair bin Bakkar menuturkan terkait kisah ini; Rasulullah SAW berkata kepada Asma’, “Allah mengganti ikat pinggangmu ini dengan dua ikat pinggang di surga.” Karena itulah ia disebut Dzatun Nithaqain.

Balasan disesuaikan dengan amal.[6]

D.    Konsep al-Qur’an dan Hadis tentang Pendidikan Wanita dalam Islam

Islam adalah agama yang sangat memuliakan wanita. Aturan – aturan dalam agama islam senantiasa memuaskan akal dan sesuai dengan fitrah manusia. Sebab, islam lahir dari zat yang menciptakan manusia. Islam memandang bahwa kebahagiaan dan kemuliaan seseorang tidak diukur dari materi, golongan tertentu, ataupun kekuasaan, namun lebih kepada tingkat  iman dan takwa seseorang sebagai umat manusia. Dalam al-Qur’an serta hadis sudah banyak dijelaskan tentang masalah pendidikan wanita. Seperti dalam surat an-Nahl yang artinya “Barang siapa yang mengerjakan amal soleh, baik laki – laki maupun perempuandalam keadaan beriman. Sesungguhnya akan kami berikan kepadanyakehidupan yang baik dan sesungguhnya akan kami beri balasan kepada mereka dengan pahala yang lebih baik dari apa yang telah mereka kerjakan.

Berdeasarkan ayat tersebut maka seorang perempuan yang ingin mengajar atau ingin belajar itu bukanlah sebuah masalah. Sebab kedua hal tersebut juga termasuk amal soleh / baik. Seorang mengajar yang bertujuan untuk mendidik murid – muridnya agar menjadi orang – orang yang berpendidikan itu termasuk amal soleh, dan seseorang yang ingin belajar agar dia mendapat ilmu lebih banyak untuk kemudian diamalkan kepada yang lain itu juga termasuk amal soleh.

Maka kurang benar jika seorang perempuan harus dibatasi dalam mengenyam pendidikan. Karena pendidikan yang dia dapat itu yang nantinya akan membuat seorang anak lebih nurut dan mengerti akan arti dari pendidikan.

Sedangkan haditsnya yakni adalah “ibu itu adalah sekolah yang pertama”. Berhubungan dengan ayat al-Quran diatas serta penjelasannya maka seorang ibu (perempuan) adalah sekolah pertama bagi anak – anak mereka. Sebelum masuk sekolah formal memang kebanyakan anak – anak mengenyam ilmu – ilmu sekolah dari ibunya. Dan anak yang mendapat pendidikan itu tidak ada batasan laki atau perempuan yang berarti bahwa anak laki – laki maupun perempuan sama dan boleh dalam hal pendidikan. Kalau laki – laki bisa mengenyam pendidikan seharusnya perempuan juga bisa.

Baca juga artikel yang lain;

  1. Konsep Dasar Psikologi
  2. Metode Kajian Psikologi
  3. Biografi Ibnu Thuffail
  4. Konsep Dasar Puasa Sunnah
  5. Pendidikan Wanita dalam Islam
  6. Hubungan Ilmu Akhlak dengan Ilmu-ilmu yang Lain
  7. Sejarah Pendidikan Islam
  8. Sejarah Perkembangan Psikologi
  9. Jarh wa Ta'dil
  10. Sosiolinguistik Amerika dan Indonesia
  11. Menonton Telivisi dan Pembentukan Karakter
  12. Budaya Membaca dan Budaya Menonton TV

[1] Isnaini, Rohmatun lukluk. “Ulama perempuan dan dedikasinya dalam pendidikan islam (Telaah Pemikiran Rahmah El-Yunusiyah)”. Jurnal Pendidikan Agama Islam, Vol 4, no. 1, (mei 2016)

[2] Rusydiyah, Eva Fatimatur. “PENDIDIKAN ISLAM DAN KESETARAAN GENDER 

(Konsepsi Sosial tentang Keadilan Berpendidikan dalam Keluarga)”. Jurnal pendidikan Agama Islam. Vol 4, no. 1 (mei 2016)

[3] ‘Abd al-Qadir Manshur, Fiqh Wanita, (jakarta: zaman, 2012) h. 71-73

[4] Isnaini, Rohmatun lukluk. “Ulama perempuan dan dedikasinya dalam pendidikan islam (Telaah Pemikiran Rahmah El-Yunusiyah)”. Jurnal Pendidikan Agama Islam, Vol 4, no. 1, (mei 2016)

[5] Mahmud AL-Mishri Abu Ammar, Shahabiyat haula Ar-rasul, (Jakarta: Ummul Qura, 2014) h.47-48

[6] Mahmud AL-Mishri Abu Ammar, Shahabiyat haula Ar-rasul, (Jakarta: Ummul Qura, 2014) h.452-456

Materi Akidah Akhlak Kelas VII Semester Genap BAB II : Iman Kepada Para Malaikat

  Materi Akidah Akhlak Kelas VII Semester Genap BAB II : Iman Kepada Para Malaikat dan Makhluk Ghaib PEMBAHASAN 1.        Malaikat Pengertia...