HOME

18 Januari, 2022

Konsep Manusia dalam Prespektif Aliran Psikoanalisa dan Behaviorisme

DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR ............................................................................  ii

DAFTAR ISI .........................................................................................  iii

BAB I PENDAHULUAN

A.  Latar Belakang ................................................................................  1

B.  Rumusan Masalah ...........................................................................  1

C.  Tujuan .............................................................................................  2

D.  Manfaat ...........................................................................................  2

BAB II PEMBAHASAN

A.  Pengertian Aliran Psikoanalisa dan Behaviorisme .........................  3

B.  Konsep Manusia Dalam Prespektif Aliran Psikoanalisa

dan Behaviorisme .................................................................................  5

BAB III PENUTUP

A.  Kesimpulan .....................................................................................  11

B.  Saran ...............................................................................................  11

DAFTAR PUSTAKA ...........................................................................  12


BAB I

PENDAHULUAN

A.    Latar belakang

Psikologi merupakan ilmu yang mempelajari jiwa manusia yang diwujudkan dalam bentuk penilain terhadap tingkah laku manusia. Sebagai ilmu yang mempelajari jiwa, psikologi melahirkan banyak banyak teori tentang konsep manusia. Konsep manusia dalam aliran psikologi ini menjadi penting. Karena dengan adanya konsep tersebut dapat mengetahui bagaimana perlakuan terhadap manusia pada saat melalukan penelitian.

Diantara aliran yang membahas mengenai konsep manusia adalah aliran psikologi Psikoanalisa dan aliran Psikologi Behaviorisme. Psikoanalisis adalah salah satu gerakan revolusioner di bidang psikologi yang dimulai dari satu metode penyembuhan penderita sakit mental, sehingga menjadi sebuah konsepsi baru tentang manusia. Inti pokok dari psikoanalisis menyatakan bahwa tingkah laku manusia sebagian besar ditentukan oleh motif-motif ketidaksadaran, sehingga Freud dijuluki sebagai bapak penjelajah dan pembuat ketidaksadaran manusia. Sedangkan Behaviorisme adalah sebuah aliran dalam psikologi yang didirikan oleh John B.Watson pada tahun 1913 yang merupakan aliran revlusioner, kuat dan berpengaruh, serta memiliki akar sejarah yang cukup dalam. Behaviorisme menolak unsur-unsur kesadaran yang tidak nyata sebagai obyek studi dari psikologi, dan membatasi diri pada studi tentang perilaku yang nyata.

Untuk itu dalam makalah ini akan dijelaskan lebih lanjut mengenai bagaimana konsep manusia dalam aliran Psikoanalisa dan Behaviorisme.


B.     Rumusan Masalah

1.      Apa pengertian Psikoanalisa dan Behaviorisme?

2.      Bagaimana konsep manusia dalam prespektif aliran Psikoanalisis dan Behaviorisme?


C.    Tujuan

1.    Untuk mengetahui pengertian Psikoanalisa dan Behaviorisme.

2.    Untuk memahami konsep manusia dalam prespektif aliran Psikoanalisis dan Behaviorisme.


D.    Manfaat

Dengan penulisan makalah ini pemakalah berharap dapat meningkatkan wawasan yang lebih komprehensif terhadap pemahaman pada mata kuliah psikologi agama tentang konsep manusia dalam prespektif aliran Psikoanalisis dan Behaviorisme bagi pemakalah pada khususnya dan teman-teman pada umumnya.


BAB II

PEMBAHASAN

A.    Pengertian Aliran Psikoanalisa dan Behaviorisme

1.    Aliran Psikoanalisa

Psikoanalisa adalah aliran yang menggunakan pendekatan yang menekankan pikiran ketidaksadaran (bawah sadar). Psikoanalisa memiliki sebutan-sebutan lain yaitu:

a.       Psikologi dalam, karena menurut Freud penyebab neurosis adalah gangguan jiwa yang tidak dapat disadari, pengaruhnya lebih besar dari apa yang terdapat dalam kesadaran dan untuk menyelidikinya diperlukan upaya lebih dalam.

b.      Psikodinamika, karena psikoanalisa memandang individu sebagai sistem dinamik yang tunduk pada hukum-hukum dinamika.[1]

Pendekatan ini berpendapat bahwa naluri biologis yang tidak dipelajari terutama seksual dan dorongan agresif, mempengaruhi cara manusia berfikir, merasa, dan berperilaku. Pendekatan psikoanalisa yang menekankan hampir semuanya pada penerapan klinis daripada eksperimen. Sehingga teori-teori psikoanalisa selalu menjadi kontroversial dan sulit divalidasi.

Tokoh-tokoh psikologi psikoanalisa antara lain: Franz Anton Mesmer (1734-1815), Jean Martin Charcot (1825-1893), Pierre Janet (1859-1947), Sigmund Freud (1856-1939), Gustave le Bon (1841-1931). Carl Gustaf Jung (1875-1961).[2]

2.    Aliran Behaviorisme

Behaviorisme merupakan aliran psikologi yang dikembangkan oleh Jhon B. Watson sejak tahun 1913. Watson dalam artikelnya berjudul “Psuchology Review” mengemukakan bahwa psikologi harus meninggalkan fokus kajian terhadap mental, dan mengalihkan fokus kajian terhadap tingkah laku yang tampak (behavior). Para ahli psikologi behavioristik kurang memiliki perhatian terhadap struktur kepribadian internal layaknya psikoanalisis. Mereka beralasan bahwa psikologi tidak meneliti proses mental secara ilmiah, sebab proses tersebut bersifat pribadi dan tidak dapat diamati publik.[3]

Adapun Suyono berpendapat bahwa behaviorisme merupakan aliran psikologi yang memandang individu kepada sisi fenomena jasmaniah, dan mengabaikan aspek-aspek mental seperti kecerdasan, bakat, minat dan perasaan individu dalam kegiatan belajar. Hal ini dapat dimaklumi kerena behaviorisme berkembang melalui suatu penelitian yang melibatkan binatang seperti burung merpati, kucing, tikus dan anjing sebagai objek.peristiwa belajar semata-mata dilakukan dengan melatih refleks-refleks sedemikian rupa sehingga menjadi kebiasaan yang dikuasai individu.[4]

Pendekatan psikologi ini mengutamakan pengamatan tingkah laku dalam mempelajari individu dan bukan mengamati bagian dalam tubuh atau mencermati penilaian orang tentang penasarannya. Behaviorisme menginginkan psikologi sebagai pengetahuan yang ilmiah, yang dapat diamati secara obyektif. Data yang didapat dari observasi diri dan intropeksi diri dianggap tidak obyektif. Jika ingin menelaah kejiwaan manusia, amatilah perilaku yang muncul, maka akan memperoleh data yang dapat dipertanggungjawabkan keilmiahannya.[5]

Tokoh-tokoh yang terkenal dalam teori ini meliputi E.L.Thorndike, I.P.Pavlov, B.F.Skinner, J.B.Watson, dll


B.     Konsep Manusia Dalam Prespektif Aliran Psikoanalisa dan Behaviorisme

1.         Konsep Manusia dalam aliran Psikoanalisa

Sigmund Freud adalah pendiri aliran psikoanalisa yang lahir pada tanggal 6 Mei 1856 di Freiberg. Menurut Sigmund Freud, sebagai tokoh terkenal dari aliran psikoanalisa. Segala tingkah laku manusia bersumber dari dorongan-dorongan yang terletak jauh didalam ketidaksadaran. Karena itu, psikologi Freud dikenal dengan "Depth psychology".[6]

Freud juga menjelaskan bahwa kesadaran hanyalah sebagian kecil saja dari kehidupan mental, sedangkan bagian yang terbesar adalah justru ketidaksadaran atau alam bawah sadar. Freud mengibaratkan alam bawah sadar dan tak sadar itu dengan sebuah gunung es yang terapung, dimana bagian yang muncul ke permukaan air alam kesadaran dan dibagian lainnya adalah prakesadaran dan yang terahir adalah ketidaksadaran. Jadi, kesadaran itu merupakan bagian kecil dari kepribadian. Ketidaksadaran yang merupakan bagian kecil dari gunung es di bawah permukaan air mengandung instinginsting yang mendorong perilaku manusia.[7]

Freud berpendapat bahwa perilaku manusia merupakan hasil interaksi tiga subsistem dalam kepribadian manusia: Id, Ego, dan Superego.

Id terletak dalam ketidaksadaran. Ia merupakan tempat dari dorongan-dorongan primitif, yakni dorongan-dorongan yang belum dibentuk atau dipengaruhi oleh kebudayaan, yaitu dorongan untuk hidup "life instinct", dorongan untuk mati "Death instinct". Bentuk dari dorongan hidup adalah dorongan seksual atau disebut Libido. Sedangkan bentuk dorongan mati adalah dorongan agresi, yaitu dorongan yang menyebabkan seseorang ingin menyerang orang lain,  marah,  berkelahi dan lain-lain. Jadi prinsip dalam Id adalah prinsip kesenangan. Oleh sebab itu, tujuan Id adalah memuaskan semua dorongan primitif.

Adapun Superego adalah suatu sistem kepribadian yang terbentuk dari kebudayaan. Seperti perang anak yang sejak kecil di ajarkan oleh orang tuanya mengenai hal-hal yang baik dan hal-hal yang buruk, mana yang sesuai dengan norma yang berlaku di masyarakat dan mana yang bukan. Sehingga ketika seorang anak telah beranjak dewasa ia telah paham betul apa yang harus dilakukan dan apa yang tak pantas untuk dilakukan. Dorongan-dorongan yang timbul dari superego ini akan menekan dorongan yang timbul karena id. Sebab dorongan dari id ini masih primitif dan tidak dapat diterima oleh superego. Terkadang superego yang menang dan tak jarang pula id yang mengambil alih.

Dan yang terakhir adalah Ego. Peran ego adalah menjadi penyeimbang antara ego dan superego. Kalau ego terlalu dikuasai oleh Id saja, maka orang itu akan menjadi psikopat (tidak memperhatikan norma-norma dalam tindakan yang ia lakukan), sebaliknya bila seseorang terlalu dikuasai oleh superego, akan menjadikan orang itu akan menjadi psikoneurose (tidak dapat menyalurkan sebagian dorongan).[8]

Secara elaboratif dapat dikatakan pula, bahwa dalam pandangan psikoanalisa Freud, manusia hanyalah sebagai makhluk biologis semata. Manusia hidup, lahir dan berkembang hanyalah sebagai akibat bekerjanya daya-daya kosmik terhadap benda-benda inorganik. Pemikiran ini jelas sangat dipengaruhi pemikiran Charles Darwin bahwa manusia tak lebih dan tak kurang hanyalah binatang. Oleh karenanya, manusia menjadi tidak lagi berbeda dengan makhluk hewan yang bergerak hanya atas dasar instingnya saja yang bernama eros (instink hidup) dan tanatos (instink mati).[9]

Sebagaimana pendapat yang dikemukakan oleh Kees Berteens, bahwa ketika lahir manusia hanya memiliki nafsu/libido/id dan sama sekali tidak memiliki dorongan-dorongan kebaikan atau hati nurani. Dengan kata lain, manusia dalam perspektif Freud tidak memiliki kebebasan untuk menentukan tingkah lakunya sendiri. Pandangan ini tentu saja sangat deterministik dan menafikan konsep fitrah yang ada pada diri manusia sejak ia dilahirkan. Sebagai makhluk yang berakal dan apalagi memiliki keyakinan agama, tentunya pandangan ini patut dikritik, karena manusia tidak mau dan tidak bisa disamakan begitu saja dengan hewan. Ada potensi lain yang harus dilihat melalui dimensi berbeda antara manusia dan hewan yang berinsting. Ada konsep fitrah pada manusia yang dinafikan begitu saja dalam teori Freud. Ia lupa bahwa ketika terjadi konsepsi manusia, maka dalam dirinya dilekatkan adanya kecenderungan untuk kembali kepada Tuhan, kembali kepada kebenaran sejati.[10]

Pandangan ini dengan jelas menyuratkan bahwa ketika seseorang dilahirkan, ia tidak hanya dipenuhi dengan instink (id), tapi juga dipenuhi dengan nurani yang berfungsi untuk memanggil manusia untuk kembali kepada kebenaran. Disamping itu, akumulasi dari insting manusia yang mengarah pada suatu dorongan untuk bertindak harus diyakini merupakan hasil dari suatu wujud yang sudah terintegrasi melalui olahan akal, sentuhan nurani dan landasan keyakinan moral dan agama. Sedangkan insting hewani adalah potensi yang tidak mendapat imbuhan tersebut, sehingga tetap dalam bentuknya yang paling dangkal, tidak terolah, namun perlu dipertahankan demi kelangsungan makhluk itu.[11]

Dari uraian diatas pemakalah dapat menyimpulkan bahwa konsep manusia dalam Psikoanalisa Freud adalah bahwa manusia pada hakikatnya digerakkan oleh dorongan-dorongan dari dalam dirinya yang bersifat instingtif. Hal inilah yang menyebabkan tingkah laku manusia diatur dan dikontrol oleh kekuatan psikologis yang memang ada dalam diri manusia. Terkait hal ini diri manusia tidak memegang kendali atau tidak menentukan nasib seseorang tapi tingkah laku seseorang itu semata-mata diarahkan untuk memuaskan kebutuhan psikologisnya.

Dalam psikologi Frued, manusia disamakan dengan hewan yang hanya mengandalkan instingnya saja. Sedangkan dalam kenyataanya antara manusia dan hewan tentulah berbeda. Manusia dalam menggunakan instingnya masih dapat dikontrol oleh adanya akal sedangkan dalam hewan tidak.          

2.         Konsep Manusia Dalam Aliran Behaviorisme

Tokoh Behaviorisme Ivan Petrovich Pavlov melalui percobaannya bernama Classic Conditioning (pengkondisian atau persyaratan klasik) menemukan melalui percobaannya terhadap hewan anjing, di mana perangsang asli dan netral dipasangkan dengan stimulus bersyarat secara berulang-ulang sehingga memunculkan reaksi yang diinginkan. Dari contoh tentang percobaan dengan hewan anjing bahwa dengan menerapkan strategi Pavlov ia menyimpulkan bahwa individu dapat dikendalikan melalui cara dengan mengganti stimulus alami dengan stimulus yang tepat untuk mendapatkan pengulangan respon yang diinginkan, sementara individu tidak menyadari bahwa ia dikendalikan oleh stimulus yang berasal dari luar dirinya.[12]

Tokoh Behavioris lain yaitu John B. Watson (1878-1958) adalah orang pertama di Amerika Serikat yang mengembangkan teori belajar Ivan Pavlov dengan teorinya Sarbon (Stimulus and response Bond Theory). Watson berpendapat bahwa belajar merupakan proses terjadinya refleks-refleks atau respons-respons bersyarat melalui stimulus pengganti. Menurutnya, manusia dilahirkan dengan beberapa refleks dan reaksi-reaksi emosional berupa takut, cinta, dan marah. Semua tingkah laku lainnya terbentuk oleh hubungan-hubungan stimulus-respons baru melalui ”conditioning”.[13]

Sementara Albert Bandura mengombinasi antara teori classical dan operant conditioning dengan memberi nama Social Learning Theory (Teori belajar sosial). Hal yang paling asas dalam teori ini adalah kemampuan seseorang untuk mengabstraksikan informasi dari perilaku orang lain kemudian mengambil keputusan mengenai perilaku mana yang akan ditiru yang selanjutnya akan dilakukan sesuai dengan pilihannya.[14] Artinya tingkah laku manusia itu bukan semata-mata refleks otomatis atas stimulus melainkan juga akibat reaksi yang timbul sebagai hasil interaksi dengan lingkungannya.

Behavioris berkeyakinan bahwa setiap anak manusia lahir tanpa warisan kecerdasan, warisan bakat, warisan perasaan dan warisan yang bersifat abstrak lainnya.[15] Aliran behavioritik ini beranggapan bahwa manusia pada dasarnya tidak membawa bakat apa-apa.

Manusia dianggap bersifat mekanistik, yaitu merespon terhadap lingkungan dengan kontrol yang terbatas dan mempunyai peran yang sedikit terhadap dirinya sendiri.[16] Sesuai dengan penyebutannya yaitu homo mechanicus, manusia mesin. Mesin adalah benda yang bekerja tanpa ada motif di belakangnya, sepenuhnya ditentukan oleh faktor obyektif (bahan bakar, kondisi mesin dsb). Manusia tidak dipersoalkan apakah baik atau tidak, tetapi ia sangat plastis, bisa dibentuk menjadi apa dan siapa sesuai dengan lingkungan yang dialami atau yang dipersiapkan untuknya.[17]

Dalam hal ini konsep behaviorisme memandang bahwa perilaku individu merupakan hasil belajar yang dapat diubah dengan memanipulasi dan mengkreasikan kondisi-kondisi belajar dan didukung dengan berbagai penguatan (reinforcement) untuk mempertahankan perilaku atau hasil belajar yang dikehendaki.[18]

Berdasarkan uraian singat diatas kiranya dapat disimpulkan bahwa konsep manusia berdasarkan aliran Behaviorisme ini menyakini bahwa setiap individu yang lahir tidak memiliki warisan sifat dari orang tuanya. Konsep manusia dalam pandangan aliran ini, diyakini hanya dapat diamati dan diukur melalui pendekatan terhadap persoalan fisik dan teknis semata yang terwujud dalam perilaku. Aliran psikologi ini pada dasarnya baru mempelajari satu sisi atau sebagian saja dari totalitas manusia yang kompleks tersebut dan mengabaikan sisi atau bagian yang lain. Aliran Behaviorisme hanya menyorot segi-segi indrawi saja dari manusia dan menganggap bahwa itulah kenyataan yang sebenarnya. Padahal masih banyak segi-segi non-indrawi yang ada pada diri manusia yang hanya dapat didekati secara kualitatif, yaitu jiwa manusia.

Dalam behaviorisme ini pula beranggapan bahwa Manusia berkembang berdasarkan stimulus yang diterimanya dari lingkungan. Oleh karena itu, lingkungan yang baik akan menghasilkan manusia yang baik pula dan begitupun sebaliknya lingkungan buruk akan menghasilkan manusia yang buruk pula. Semua bentuk perilaku manusia itu timbul setelah mereka mengalami kontak dengan alam dan lingkungan sosial budayanya dalam proses pendidikan. Maka manusia akan menjadi pintar, terampil, dan mempunyai sifat abstrak lainnya tergantung pada apakah dan bagaimana ia belajar dengan lingkungannya.

Baca juga artikel yang lain:

  1. Ulumul Hadist (Ilmu-ilmu Hadist)
  2. Pengertian Bid'ah
  3. Konsep Manusia Menurut Aliran Humanisme dan Islam
  4. Konsep Manusia dalam Prespektif Aliran Psikoanalisa dan Behaviorisme
  5. Psikologi Perkembangan Pada Masa Anak-Anak
  6. Keterkaitan Ilmu Pengetahuan dan Agama
  7. Studi Al-Qur'an
  8. Studi Fikih (Hukum Islam)
  9. Urgensi Pengantar Studi Islam
  10. Etika Politik dan Nilai Pancasila Sebagai Sumber Politik

BAB III

PENUTUP

A.    Kesimpulan

Adapun kesimpulan yang dapat diambil dari penjelasan pada sub pembahasan diatas adalah sebagai berikut:

1.      Psikoanalisa adalah aliran yang dalam psikologi dengan menggunakan pendekatan yang menekankan pikiran ketidaksadaran (bawah sadar). sedangkan Behaviorisme adalah aliran dalam psikologi yang mempelajari individu dengan melakukan pengamatan terhadap tingkah laku individu tersebut.

2.      Konsep manusia menurut aliran Psikoanalisa adalah bahwa manusia pada hakikatnya digerakkan oleh dorongan-dorongan dari dalam dirinya yang bersifat instingtif. Hal inilah yang menyebabkan tingkah laku manusia diatur dan dikontrol oleh kekuatan psikologis yang memang ada dalam diri manusia. Sedangkan pada aliran Behaviorisme, menyakini bahwa setiap individu yang lahir tidak memiliki warisan sifat dari orang tuanya. Manusia berkembang berdasarkan stimulus yang diterimanya dari lingkungan. Oleh karena itu, lingkungan yang baik akan menghasilkan manusia yang baik pula dan begitupun sebaliknya lingkungan buruk akan menghasilkan manusia yang buruk pula.


B.     Saran

Kami selaku penulis tentu menyadari seutuhnya bahwa makalah yang kami buat ini masih jauh dari kata sempurna, sehingga kami meminta kritik dan saran yang membangun  dari pembaca agar kami dapat memperbaiki untuk kemajuan proses pembuatan makalah selanjutnya. Semoga dengan makalah ini dapat dijadikan sebagai sarana yang dapat membangun dan mendorong mahasiswa untuk berpikir aktif dan kreatif.


DAFTAR PUSTAKA

Berteens, Kees Memperkenalkan Psikoanalisa Sigmund Freud. Jakarta: PT. Gramedia, 1979.

Brill,  A.A. (ed.).  The Basic Writings of Sigmund Freud. New York: Modern Library, 1966.

Desmita. Psikologi Perkembangan Peserta Didik. Bandung: Remaja Rosdakarya, 2011.

Hall, Calvin S. and Gardner Lindzey. Theories of Personality Second Edition. New York: John Wiley and Sond, Inc., 1970.

Teori-teori Sifat dan Behavioristik. Yogyakarta: Kanisius, 1993.

Henri, Novi. Model-Model Konseling. Medan: Perdana Publishing, 2013.

Jahja, Yudrik. Psikologi Perkembangan. Jakarta: Kencana Prenamadia Group, 2013.

Jenudin, Ujam. Psikologi Transpersonal. Bandung: Pustaka Setia, 2012.

Mahmud, M. Dimyati. Psikologi Pendidikan. Jakarta: Depdikbud, 1989.

Rusuli, Izzatur. “Refleksi Teori Belajar Behavioristik dalam Perspektif Islam” Jurnal Pencerahan, Vol. 8, No. 1 (Juli – Desember, 2014).

Sarlito Wirawan Sarwono, Berkenaan Dengan Aliran-Aliran dan Tokoh-Tokoh Psikologi. Jakarta: Bulan Bintang, 1978.

Soemanto, Wasty. Psikologi Pendidikan: Landasan Kerja Pemimpin Pendidikan Cet. 3. Jakarta: PT. Rineka Cipta, 1990.

Sudjana, Nana. Teori – teori Belajar Untuk Pengajaran. Jakarta: Lembaga Penerbit Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia, 1991.

Suyono. Belajar dan Pembelajaran. Bandung: PT Remaja Rosdakarya, 2011.

Syah, Muhibbin. Psikologi Belajar. Jakarta: PT. RajaGrafindo Persada, 2004.



[1] Novi Henri, Model-Model Konseling (Medan: Perdana Publishing, 2013), 124.

[2] Sarlito Wirawan Sarwono, Berkenaan Dengan Aliran-Aliran dan Tokoh-Tokoh Psikologi (Jakarta: Bulan Bintang, 1978 ), 171.

[3] Syamsu Yusuf dan A. Juntika Nurihsan, Teori Kepribadian (Bandung: Remaja Rosadakarya, 2011), 123.

[4] Suyono,  Belajar dan Pembelajaran (Bandung:PT Remaja Rosdakarya, 2011), 59.

[5] Desmita, Psikologi Perkembangan Peserta Didik (Bandung: Remaja Rosdakarya, 2011), 44-45.

[6] Sarlito Wirawan Sarwono, Berkenaan Dengan Aliran-Aliran dan Tokoh-Tokoh Psikologi...., 177.

[7] Nana Sudjana, Teori – teori Belajar Untuk Pengajaran (Jakarta: Lembaga Penerbit Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia, 1991), 20.

[8] Sarlito Wirawan Sarwono, Berkenaan Dengan Aliran-Aliran dan Tokoh-Tokoh Psikologi...., 177.

[9] Calvin S. Hall and Gardner Lindzey, Theories of Personality Second Edition (New York: John Wiley and Sond, Inc., 1970), 127.

[10] Kees Berteens,  Memperkenalkan Psikoanalisa Sigmund Freud (Jakarta: PT. Gramedia, 1979), 23. 

[11] A.A. Brill (ed.),  The Basic Writings of Sigmund Freud (New York: Modern Library, 1966), 13.

[12] Yudrik Jahja, Psikologi Perkembangan (Jakarta: Kencana Prenamadia Group, 2013), 100-102.

[13] Wasty Soemanto,  Psikologi Pendidikan: Landasan Kerja Pemimpin Pendidikan Cet. 3 (Jakarta: PT. Rineka Cipta, 1990),118.

[14] M. Dimyati Mahmud, Psikologi Pendidikan (Jakarta: Depdikbud, 1989), 145.

[15] Muhibbin Syah, Psikologi Belajar (Jakarta: PT. RajaGrafindo Persada, 2004), 104.

[16] Ujam Jenudin, Psikologi Transpersonal (Bandung: Pustaka Setia, 2012), 59.

[17] Calvin S. Hall dan Gardner Lindzey, Teori-teori Sifat dan Behavioristik (Yogyakarta: Kanisius, 1993), 78.

[18] Izzatur Rusuli, “Refleksi Teori Belajar Behavioristik dalam Perspektif Islam” Jurnal Pencerahan, Vol. 8, No. 1 (Juli – Desember, 2014), 41.

Konsep Manusia Menurut Aliran Humanisme dan Islam

DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR .................................................................................................. ii

DAFTAR ISI ............................................................................................................... iii

BAB I PENDAHULUAN ........................................................................................... iv

A.    Latar Belakang .................................................................................................... iv

B.     Rumusan Masalah .............................................................................................. iv

C.     Tujuan ................................................................................................................. v

D.    Manfaat ............................................................................................................... v

BAB II PEMBAHASAN ............................................................................................. 1

A.    Pengertian Konsep Manusia ................................................................................ 1

B.     Konsep Manusia Menurut Aliran Humanisme ....................................................2

C.     Konsep Manusia Menurut Aliran Islam .............................................................. 4

BAB III PENUTUP ..................................................................................................... 8

A.    Kesimpulan .......................................................................................................... 8

B.     Saran .................................................................................................................... 8

DAFTAR PUSTAKA ................................................................................................... 9


BAB I

PENDAHULUAN

A.    Latar Belakang

Manusia merupakan salah satu makhluk Allah yang ada dimuka bumi ini. Berbeda dengan makhluk lainnya seperti binatang, tumbuhan dan malaikat. Keberadaan manusia dimuka bumi menempati posisi utama sebagai khalifah. Sebagaimana dinyatakan dalam firman Allah “Ingatlah ketika Tuhanmu berfirman kepada malaikat: “Sesungguhnya Aku hendak menjadikan seorang khalifah dimuka bumi...” (QS. Al-Baqarah:2:30). Sebagai seorang khalifah, maka tugas manusia dimuka bumi ini adalah memakmurkan alam semesta ini “Dia telah menciptakan kamu dari bumi (tanah) dan menjadikan kamu pemakmurnya” (QS. Hud:11:61).[1]

Tuhan menciptakan manusia dengan bentuk raga yang sebaik-baiknya dan rupa yang seindah-indahnya, dilengkapi dengan berbagai organ psikofisik yang istimewa seperti panca indera dan hati agar manusia bersyukur kepada Allah yang telah menganugerahi keistimewaan-keistimewaan itu. Secara lebih rinci, keistimewaan-kesitimewaan yang dianugerahkan Allah kepada manusia antara lain ialah kemampuan berfikir untuk memahami alam semesta dan dirinya sendiri.[2]

Para filosof sebelum Socrates sampai Psikologi modern saat ini berpendapat bahwa manusia selain merupakan makhluk biologis yang sama dengan makhluk lainnya adalah juga makhluk yang mempunyai sifat-sifat tersendiri yang khas. Oleh karena itu, dalam mempelajari konsep manusia harus mempunyai sudut pandang yang khusus pula.[3]

Maka dalam makalah ini akan dibahas tentang “Konsep Manusia Menurut Aliran Humanisme dan Islam” guna mempermudah pemahaman kita.

B.     Rumusan Masalah

1.      Apa yang dimaksud dengan manusia?

2.      Bagaimana konsep manusia menurut aliran humanisme?

3.      Bagaimana konsep manusia menurut aliran islam?

C.     Tujuan

1.      Untuk mengetahui maksud dari manusia.

2.      Untuk mengetahui konsep manusia menurut aliran humanisme.

3.      Untuk mengetahui konsep manusia menurut aliran islam.

D.    Manfaat

Dengan penulisan makalah ini pemakalah berharap dapat meningkatkan wawasan yang lebih komprehensif terhadap pemahaman pada mata kuliah Psikologi Agama tentang konsep manusia menurut aliran himanisme dan islam bagi pemakalah pada khususnya dan teman-teman pada umumnya.


BAB II

PEMBAHASAN

A.    Konsep Manusia Menurut Aliran Humanisme

Di kalanngan ilmuan Psikologi seringkali muncul suatu pertanyaan tentang hakikat manusia yang sesungguhnya dan setiap kali hal itu muncul selalu saja tidak mendapatkan jawaban yang memuaskan. Dalam ranah ilmu pengetahuan pendapat ahli dalam memaknai manusia yang berpendapat bahwa manusia dan bintang keduanya sama. Manusia adalah sebuah mesin yang diberi makan dan menghasilkan pikiran.[4] Humanisme adalah salah satu aliran dalam dunia psikologi. Abraham Maslow (1908-1970) dipandang sebagai bapak dari psikologi humanistik. Gerakan psikologi humanistik mulai di Amerika pada tahun 1950.[5] Ia mengajukan teori tentang hierarchy of needs. Kebutuhan-kebutuhan (needs) tersebut, yaitu kebutuhan-kebutuhan fisiologis (the physiological needs), kebutuhan akan rasa aman (the safety needs), kebutuhan akan rasa cinta dan memiliki (the belongingness and love needs), kebutuhan akan penghargaan (the esteem needs), dan kebutuhan  untuk aktualisasi diri (the needs for self-actualization). Apabila kebutuhan yang satu telah terpenuhi, maka kebutuhan lain lebih tinggi menuntut untuk dipenuhi.

Aliran psikologi ini merupakan gerakan psikologi yang merasa tidak puas dengan psikologi behavioristik dan psikoanalisis, dan mencari alternatif psikologi yang fokusnya adalah manusia dengan ciri-ciri eksistensinya.[6]

Psikologi humanistik adalah aliran psikologi yang menekankan kekuatan dan keistimewaan manusia. Manusia lahir dengan citra yang baik dan dipersiapkan untuk berbuat yang baik pula. Orientasi aliran ini lebih menekankan pada pola-pola kemanusiaan, sehingga ia lebih dikenal sebagai aliran yang berpaham humanisme. Aliran ini banyak mengutuk aliran-aliran lainnya yang muncul sebelumnya, yang sering mengeksperimentasikan tingkah laku hewan untuk kemudian hasilnya digunakan memahami fenomena psikologi manusia. Upaya seperti itu boleh dikatakan sebagai upaya dehumanisasi yang menafikan citra manusia.[7]

Psikologi ini memusatkan perhatiannya untuk menelaah kualitas-kualitas insani, yakni sifat-sifat dan kemampuan khusus manusia yang melekat pada eksistensi manusia, seperti kemampuan abstraksi, daya analisis dan sintesis, imajinasi, kreativitas, kebebasan berkehendak, tanggung jawab, aktualisasi diri, makna hidup, pengembangan pribadi, sikap etis, rasa estetika, dan lain-lain. kualitas-kualitas ini merupakan ciri khas manusia, dan tidak dimiliki oleh makhluk lain, misalnya binatang. Psikologi humanistik juga memandang bahwa manusia sebagai pemilik otoritas atas dirinya sendiri. Asumsi ini menunjukkan bahwa manusia adalah makhluk yang sadar, mandiri, pelaku aktif, yang dapat menentukan hampir segala tingkah lakunya.[8] Ia adalah makhluk dengan julukan the self determining being yang mampu sepenuhnya menentukan tujuan-tujuan yang paling diinginkannya dan cara-cara mencapai tujuan itu yang dianggapnya paling tepat.

B.     Tokoh Aliran Humanisme

1.      David A. Kolb

David A. Kolb lahir pada tahun 1939. dan ia dibesarkan di kota New York. Ia memperoleh gelar sarjana pada tahun 1961 dari Knox College. Dia kemudian melanjutkan untuk mendapatkan gelar Ph.D. dalam psikologi sosial dari Universitas Harvard. Hari ini, dia adalah Profesor Perilaku Organisasi dalam Weatherhead School of Management di Case Western Reserve University.

Kolb telah menulis beberapa artikel dan buku yang telah diterbitkan. diantaranya:

1.      The Critique of Pure Modernity: Hegel, Heidegger, and After, 1987

2.      Postmodern Sophistications: Philosophy, Architecture, and Tradition, 1990

3.      New Perspectives on Hegel's Philosophy of Religion, 1992

4.      Socrates in the Labyrinth: Hypertext, Argument, Philosophy, 1994

5.      Sprawling Places, 2008

6.     "On the Objective and Subjective Grounding of Knowledge", translation, with    introduction and notes, of an essay by the Neo-Kantian Paul Natorp, in the Journal of the British Society for Phenomenology, 1981.

7.    "Language and Metalanguage in Aquinas", in the Journal of Religion, 1981, "Socrates and Stories", in Spring, 1981.

8.    "Sellars on the Measure of All Things", in Philosophical Studies, 1979.

9.  "Ontological Priorities: A Critique of the Announced Goals of Descriptive Metaphysics", in Metaphilosophy, 1975.

10.  "Time and the Timeless in Greek Thought", in Philosophy East-West, 1974.

Kolb membagi tahapan belajar menjadi empat tahapan, yaitu:[9]

a.       Pengalaman konkret: pada tahap dini, seorang siswa hanya mampu sekedar ikut mengalami suatu kejadian, ia belum mengerti bagaimana dan mengapa suatu kejadian harus terjadi seperti itu. Inilah yang terjadi pada tahap awal proses belajar.

b.    Pengamatan aktif dan reflektif: siswa lambat laun mampu mengadakan pengamatan aktif terhadap kejadian itu, serta mulai berusaha memikirkan dan memahaminya.

c.  Konseptualisasi: siswa mulai belajar membuat abstraksi atau “teori” tentang hal yang pernah diamatinya. Pada tahap ini siswa diharapkan sudah mampu untuk membuat atuan-aturan umum (generalisasi) dari berbagai contoh kejadian yang meskipun tampak berbeda-beda tetapi mempunyai landasan aturan yang sama.

d.   Eksperimentasi aktif: pada tahap ini siswa sudah mampu mengaplikasikan suatu aturan umum ke situasi yang baru. Dalam dunia matematika, misalnya siswa tidak hanya memahami asal-usul sebuah rumus, tetapi ia juga mampu memakai rumus tersebut untuk memecahkan suatu masalah yang belum pernah ia temui sebelumnya.

2.      Carl Rogers

Carl Ransom Rogers  (1902-1987) lahir di Oak Park, Illinois pada tanggal 8 Januari 1902 di sebuah keluarga Protestan yang fundamentalis. Kepindahan dari kota ke daerah pertanian diusianya yang ke-12, membuat ia senang akan ilmu pertanian. Ia pun belajar pertanian di Universitas Wisconsin. Setelah lulus pada tahun 1924, ia masuk ke Union Theology Seminary di Big Apple dan selama masa studinya ia juga menjadi seorang pastor di sebuah gereja kecil. Meskipun belajar di seminari, ia malah ikut kuliah di Teacher College yang bertetangga dengan seminarinya.

Tahun 1927, Rogers bekerja di Institute for Child Guindance dan mengunakan psikoanalisa Freud dalam terapinya meskipun ia sendiri tidak menyetujui teori Freud. Pada masa ini, Rogers juga banyak dipengaruhi oleh Otto Rank dan John Dewey yang memperkenalkan terapi klinis. Perbedaan teori yang didapatkannya justru membuatnya menemukang benang merah yang kemudian dipakai untuk mengembangkan teorinya kelak.

Tahun 1957, Rogers pindah ke Universitas Wisconsin untuk mengembangkan idenya tentang psikiatri. Setelah mendapat gelar doktor, Rogers menjadi profesor psikologi di Universitas Universitas Negeri Ohio. Kepindahan dari lingkungan klinis ke lingkungan akademik membuat Rogers mengembangkan metode client-centered psychotherapy. Disini dia lebih senang menggunakan istilah klien terhadap orang yang berkonsultasi dibandingkan memakai istilah pasien.

Carl Rogers mengemukakan bahwa siswa yang belajar hendaknya tidak dipaksa, melainkan dibiarkan belajar bebas, siswa diharapkan dapat mengambil keputusan sendiri dan berani bertanggungjawab atas keputusan-keputusan yang diambilnya sendiri. Dalam pandangan Rogers, konsep diri merupakan hal terpenting dalam kepribadian, dan konsep diri ini juga mencakup kesemua aspek pemikiran, perasaan, serta keyakinan yang disadari oleh manusia dalam konsep dirinya.

3.      Abraham Maslow

Abraham Maslow dilahirkan di Brooklyn, New York, pada tahun 1908 dan wafat pada tahun 1970 dalam usia 62 tahun. Maslow dibesarkan dalam keluarga Yahudi dan merupakan anak tertua dari tujuh bersaudara. Masa muda Maslow berjalan dengan tidak menyenangkan karena hubungannya yang buruk dengan kedua orangtuanya. Semasa kanak-kanak dan remaja Maslow merasa bahwa dirinya amat menderita dengan perlakuan orang tuanya, terutama ibunya.Keluarga Maslow amat berharap bahwa ia dapat meraih sukses melalui dunia pendidikan. Untuk menyenangkan kemauan ayahnya, Maslow sempat belajar di bidang Hukum tetapi kemudian tidak dilanjutkannya. Ia akhirnya mengambil bidang studi psikologi di University of Wisconsin, dimana ia memperoleh gelar Bachelor tahun 1930, Master tahun 1931, dan Ph.D pada tahun 1934.

Abraham Maslow dikenal sebagai pelopor aliran psikologi humanistik. Maslow percaya bahwa manusia tergerak untuk memahami dan menerima dirinya sebisa mungkin. Teorinya yang sangat terkenal sampai dengan hari ini adalah teori tentang Hierarchy of Needs (Hirarki Kebutuhan). Menurut Maslow, manusia termotivasi untuk memenuhi kebutuhan-kebutuhan hidupnya. Kebutuhan-kebutuhan tersebut memiliki tingkatan atau hirarki, mulai dari yang paling rendah (bersifat dasar/fisiologis) sampai yang paling tinggi (aktualisasi diri). Dalam teori psikologinya, yakni semakin tinggi need achievement yang dimiliki seseorang semakin serius ia menggeluti sesuatu itu.

Hierarki kebutuhan manusia menurut Maslov yang dikutip dalam buku Wasty Soemanto ini mempunyai implikasi yang penting yang harus diperhatikan oleh guru pada waktu ia mengajar anak-anak. Ia mengatakan bahwa perhatian dan motivasi belajar tidak mungkin berkembang kalau kebutuhan dasar si siswa belum terpenuhi (Soemanto, 2006).[10]

Teori Maslow yang terkenal adalah teori kebutuhan. Kebutuhan pada diri manusia selalu menuntut pemenuhan, dimulai dari tahapan yang paling dasar secara hierarkis menuju pada kebutuhan yang paling tinggi Maslow mengemukakan bahwa individu berperilaku dalam upaya untuk memenuhi kebutuhan yang bersifat hirarkis. Pada diri masing-masing orang mempunyai berbagai perasaan takut seperti rasa takut untuk berusaha atau berkembang, takut untuk mengambil kesempatan, takut membahayakan apa yang sudah ia miliki dan sebagainya, tetapi di sisi lain seseorang juga memiliki dorongan untuk lebih maju ke arah keutuhan, keunikan diri, ke arah berfungsinya semua kemampuan, ke arah kepercayaan diri menghadapi dunia luar dan pada saat itu juga ia dapat menerima diri sendiri(self).

4.      Arthur Combs

Bersama dengan Donald Snygg (1904-1967) mereka mencurahkan banyak perhatian pada dunia pendidikan. Meaning (makna atau arti) adalah konsep dasar yang sering digunakan. Belajar terjadi bila mempunyai arti bagi individu. Guru tidak bisa memaksakan materi yang tidak disukai atau tidak relevan dengan kehidupan mereka. Anak tidak bisa matematika atau sejarah bukan karena bodoh tetapi karena mereka enggan dan terpaksa dan merasa sebenarnya tidak ada alasan penting mereka harus mempelajarinya. Perilaku buruk itu sebenarnya tak lain hanyalah dati ketidakmampuan seseorang untuk melakukan sesuatu yang tidak akan memberikan kepuasan baginya.

Untuk itu guru harus memahami perlaku siswa dengan mencoba memahami dunia persepsi siswa tersebut sehingga apabila ingin merubah perilakunya, guru harus berusaha merubah keyakinan atau pandangan siswa yang ada. Perilaku internal membedakan seseorang dari yang lain. Combs berpendapat bahwa banyak guru membuat kesalahan dengan berasumsi bahwa siswa mau belajar apabila materi pelajarannya disusun dan disajikan sebagaimana mestinya. Padahal arti tidaklah menyatu pada materi pelajaran itu. Sehingga yang penting ialah bagaimana membawa si siswa untuk memperoleh arti bagi pribadinya dari materi pelajaran tersebut dan menghubungkannya dengan kehidupannya.

5.      Jurgen Habermas

Jurgen Habermas lahir pada 18 Juni 1929 di Dusseldorf Jerman. Pengalaman pahitnya sewaktu remaja yang ditandai dengan dua peristiwa besar Perang Dunia II dan hidup di bawah tekanan rezim nasional-sosialis Adolf Hitler, mengantarkannya untuk mengintrodusisasi pentingnya demokrasi dalam pemikiran politiknya.

Awal pendidikannya dimulai dengan mempelajari filsafat di Universitas Gottingen dan Bonn dan mulai bergabung ke dalam Institute Fur Sozialforschung pada tahun 1956, yaitu lima tahun setelah Institut itu didirikan kembali di bawah kepemimpinan Adorno. Waktu itu ia berusia 27 tahun dan mengawali karier akademisnya sebagai asisten Theodor Adorno (seorang filsuf Jerman terkemuka di Institute for Social Research) antara tahun 1958-1959. Gelar Ph.D, didapatkannya setelah berhasil menyelesaikan dan mempertahankan disertasinya yang berjudul Das Absolut und die Geschichte (Yang Absolut dan Sejarah) yang kemudian diterbitkan menjadi buku pada tahun 1954 dan berisi tentang pertentangan antara yang Mutlak dan Sejarah dalam pemikiran Schelling.

Habermas melibatkan diri dalam kesibukan-kesibukan Institut, ia mempersiapkan sebuah Habilitationsschrift yang berjudul Strukturwandel der Oeffentlichkeit (Perubahan dalam Struktur Pendapat Umum, 1962), dan menjadi salah satu karya yang termasyhur diantara karya-karya awalnya sebagai anggota Institut. Habilitation itu dilaksanakan di Mainz pada tahun 1961, sementara pada tahun itu juga memberikan kuliah di Universitas Heidelberg sampai pada tahun 1964, dan setelah mengakhiri tugas mengajarnya, ia kembali ke Universitas Frankfurt dan menggantikan kedudukan Horkheimer dalam mengajar sosiologi dan filsafat.

Satu hal yang penting dalam memahami posisinya sebagai pemikir Marxis adalah peranannya di kalangan mahasiswa Frankfrut, seperti halnya Adorno dan Hokheimer, Habermas melibatkan diri dalam gerakan-gerakan mahasiswa kiri Jerman (new left), meskipun keterlibatannya hanya sejauh sebagai seorang pemikir Marxis. Ia terutama menjadi popular di kalangan kelompok yang menamakan dirinya Sozialistischer Deutsche Studentenbund (Kelompok Mahasiwa Sosialis Jerman). Habermas mendapat reputasi sebagai pemikir baru yang diharapkan dapat melanjutkan tradisi pemikiran Horkheimer, Adorno dan Marcuse, namun sejak tahun 1970-an, hubungan baiknya dengan gerakan ini mengendur sejak gerakan ini mulai melancarkan aksi-aksi dengan cara kekerasan yang tidak dapat ditolerir, seperti para pendahulunya. Hebermas juga melontarkan kritikannya kepada gerakan-gerakan itu, ia mengecamnya sebagai gerakan “Revolusi Palsu”, “bentuk-bentuk pemerasan yang diulangi kembali”, “Picik” dan kontraproduktif.


C.    Konsep Manusia Menurut Aliran Islam

Psikologi Islami membangun teori dan konsep tentang manusia bersumber dari kitab suci Al-Qur’an. Wawasan Islami mengenai manusia sangat banyak sumbernya (dalam Al-Qur’an), antara lain dapat disimpulkan dari riwayat Nabi Adam a.s. yaitu:

1.      Manusia mempunyai derajat tinggi sebagai khalifah Allah,

2.      Manusia tidak menanggung dosa asal atau dosa turunan,

3.      Manusia merupakan kesatuan dari empat dimensi (fisik-biologi, mental-psikis, sosio-kultural, dan spiritual),

4.      Dimensi spiritual memungkinkan manusia mengadakan hubungan dan mengenal Tuhan melalui cara-cara yang diajarkan-Nya

5.      Manusia memiliki kebebasan berkehendak,

6.      Manusia memiliki akal sebagai kemampuan khusus dan dengan akalnya itu mengembangkan ilmu (dan teknologi) serta peradaban,

7.      Manusia tidak dibiarkan hidup tanpa bimbingan dan petunjuk-Nya.[11]

Al-Qur’an memberikan penjelasan tentang manusia meliputi istilah al-basyar, al-ins, al-insan, al-unas, an-nas, bani adam, al-nafs, al-‘aql, al-qalb, ar-ruh, dan al-fitrah.

1.      Al Basyar, Istilah ini menunjukkan makna bahwa manusia adalah anak keturunan Nabi Adam as dan makhluk fisik yang juga membutuhkan makan serta minum. Kata 'basyar' sendiri disebutkan sebanyak 36 kali dalam bentuk tunggal dan hanya sekali dalam bentuk 'mutsanna' atau 'jama'. Sebagai makhluk yang bersifat fisik, manusia tidak jauh berbeda dengan makhluk biologis lainnya. Kehidupan manusia terikat dengan kaidah prinsip kehidupan biologis seperti berkembang biak.

2.      Al Ins, meiliki arti tidak liar atau tidak biadab. Istilah Al Ins berkebalikan dengan istilah al jins atau jin yang bersifat metafisik dan liar. Jin hidup bebas di alam yang tidak dapat dirasakan dengan panca indra. Berbeda dengan manusia yang disebut menggunakan istilah al ins. manusia adalah makhluk yang tidak liar, artinya jelas dan dapat menyesuaikan diri dengan lingkungannya. Kata Al Ins disebutkan sebanyak 18 kali dalam Alquran, masing-masing dalam 17 ayat dan 9 surat.

3.      Al Insan, memiliki arti melihat, mengetahui, dan minta izin. Istilah ini menunjukkan bahwa manusia memiliki kemampuan menalar dan berpikir dibanding dengan makhluk lainnya. Manusia dapat mengambil pelajaran dari apa yang dilihatnya, mengetahui yang benar dan yang salah, serta dapat meminta izin ketika menggunakan sesuatu yang bukan miliknya. Manusia dalam istilah ini merupakan makhluk yang dapat dididik, memiliki potensi yang dapat digunakan untuk mengembangkan ilmu pengetahuan. 

4.      Al-Unas,

5.      An Nas, menunjukkan fungsi manusia sebagai makhluk sosial yang tidak dapat hidup sendiri. Manusia harus menjaga hubungan baik dengan manusia lainnya. Dari awal terciptanya, seorang manusia berawal dari sepasang laki-laki dan wanita. Ini menunjukkan bahwa manusia harus hidup bersaudara dan saling membantu.

6.      Bani Adam. Manusia dalam istilah ini memiliki arti keturunan Adam. Istilah ini digunakan untuk menyebut manusia bila dilihat dari asal keturunannya. Istilah 'Bani Adam' disebutkan sebanyak 7 kali dalam 7 ayat Alquran. Penggunaan kata 'Bani Adam' menunjuk pada arti manusia secara umum. Terdapat tiga aspek yang perlu dikaji bila melihat manusia dengan istilah ini. Pertama, berbudaya sesuai dengan ketentuan Allah, misalnya dengan berpakaian yang menutup aurat. Kedua, saling mengingatkan dengan manusia lain agar tidak terjerumus dalam perbuatan dosa. Ketiga, memanfaatkan semua yang ada di alam untuk beribadah.

7.      Al-nafs, di dalam al-Qur’an surat al-Dzuriyat ayat 21 Allah berfirman: “Dan tentang anfus kalian, apakah kalian tidak memperhatikan (“untuk menganalisisnya”). Seruan Allah ini mengisyaratkan bahwa betapa pentingnya menganalisis diri pribadi (anfus) manusia. Di dalam al-Qur’an telah cukup banyak diterangkan tentang konsep manusia. Salah satu yang diterangkan dalam al-Qur’an adalah tentang rahasia-rahasia yang ada dalam diri manusia (anfus), sebagaimana firman Allah dalam surat Fushilat ayat 53, yang artinya: “Kami perlihatkan kepada mereka tanda-tanda kekuasaan Kami pada seluruh ufuk dan di dalam “anfus”mu sendiri, sehingga jelas bahwasannya al-Qur’an itu benar”.

8.      Al-‘aql,

9.      Al-qalb,

10.  Ar-ruh,

11.  Al-fitrah

Dari keseluruhan konsep ini, manusia memiliki tiga aspek pembentuk totalitas manusia yang secara tegas dapat dibedakan, namun secara pasti tidak dapat dipisahkan. Ketiga aspek itu adalah aspek jismiah (fisik, biologis), aspek nafsiah (psikis, psikologi), dan aspek ruhaniah (spiritual).[12

1.      Aspek Jismiah

Aspek jismiah adalah organ fisik dan biologis manusia dengan segala perangkat-perangkatnya. Organ fisik biologis manusia adalah organ fisik yang paling sempurna di antara semua makhluk hidup. Sistem konstruksi susunan fisik-biologis manusia berupa susunan sel, kelenjar, alat pencernaan, susunan saraf sentral, urat, darah, tulang, sum-sum, kulit, rambut, organ-organ dalam, jantung, paru-paru, ginjal, hati, dan sebagainya. Dengan kemampuan seluruh daya kehidupan ini manusia dapat merasakan berbagai perasaan, seperti rasa sakit, panas, dingin, manis, pahit, haus, lapar dan lain sebagainya.

Aspek jismiah ini memiliki dua sifat dasar. Pertama, berupa bentuk konkret, berupa tubuh yang nampak. Kedua, berupa bentuk abstrak berupa nyawa yang menjadin sarana kehidupan tubuh. Aspek abstrak inilah yang mampuberinteraksi dengan aspek nafsiah dan ruhaniah manusia.

2.      Aspek Nafsiah

Aspek nafsiah adalah keseluruhan kualitas khas kemanusiaan, berupa pikiran, perasaan, kemauan, dan kebebasan. Aspek ini merupakan persentuhan antara aspek jismiah dan ruhaniah. Keduanya saling berbeda danberlawanan, tetapi saling membutuhkan. Sebab aspek jismiah  akan hilang daya hidupnya apabila tidak memiliki aspek ruhaniah, aspek ruhaniaah tidak akan mewujud secara konkret tanpa aspek jismiah. Disinilah aspek nafsiah berada, yaitu berada di antara dua aspek yang berbeda itu dan berusaha mewadahi kedua kepentingan yang berbeda. Aspek nafsiah ini memiliki tiga dimensi utama, yaitu dimensi al-nafsu, al-‘aql, dan al-qalb. Ketiga dimensi inilah yang menjadi sarana bagi aspek nafsiah untuk mewujudkan peran dan fungsinya.

3.      Aspek Ruhaniah

Aspek ini adalah aspek psikis manusia yang bersifat spiritual dan transendental. Bersifat spiritual karena ia merupakan potensi luhur batin manusia. Potensi luhur batin itu merupakan sifat dasar dalam diri manusia yang berasal dari ruh ceptaan Allah. Sifat spiritual ini muncul dari dimensi ar-ruh. Bersifat transendental katena merupakan dimensi psikis manusia yang mengatur hubungan manusia dengan Allah. Fungsi ini muncul dari dimensi al-fitrah.[13]

Secara Bahasa, kata al-basyar berasal dari kata basyara-basyran. Di antara makna dari kata tersebut adalah mengupas. Pemaknaan kata mengupas tersebut, jika kita merujuk kepada makna yang diberikan oleh al-Ashfahani di dalam mufradatal-alFazhal-Qur’an dikarenakan kata basyar bisa menjadi al-bisyrah atau al-basyarah yang artinya kulit yang tampak. Beberapa ahli bahasa kemudian menjelaskan kenapa manusia disebut dengan kata basyar, karena secara fisik kulit manusia lebih tampak dari pada rambut/bulu-bulunya. Berbeda dengan hewan yang lebat bulunya atau sama sekali tidak memiliki bulu.[14]

Para ahli bahasa berbeda pendapat dalam melihat akar dari kata an-Nas. Beberapa di antara mereka, menyatakan bahwa al-Nas berasal dari kata unas yang berasal dari kata anisa yang artinya jinak-menjinakkan/ramah. Hilangnya hamzah pada kata tersebut disebabkan karena masuknya alif lam. Berbeda dengan pemaknaan tersebut, ahli bahasa lain berpendapat bahwa asal kata an-Nas adalah nasiya artinya lupa.[15]

Al-Isfahani di dalam kitabnya menyebutkan kata al-Ins memiliki akar kata yang sama dengan al-Insan. Meski demikian, bagi al-Ashfahani al-Ins dan al-Insan memberikan penekanan yang sama sekali berbeda. Secara bahasa keduanya memang berasal dari alif nun dan sin, tetapi jika di lihat pada penggunaan katanya di dalam konteks ayat-ayat maka al-Ins, oleh beliau diartikan khilaful jinni (makhluk yang berbeda dari jin).[16]

Manusia dikendalikan oleh iman. Secara garis besar pembinaan manusia agar menjadi manusia dilakukan dengan cara mengisi qalbu dengan mempertebal iman. Imam Al Ghazali menyebutkan bahwa qalbu memiliki dua perangkat, yaitu perangkat dzahir dan perangkat batin. Perangkat dzahir adalah seluruh anggota badan yang terlihat oleh pandangan-pandangan dzahir (al-abshar) yaitu: tangan, kaki, mata, telinga, lidah, dan seluruh anggota badan dzahir. Sedangkan perangkat batin adalah seluruh perangkat dalam jiwa manusia yang hanya terlihat oleh pandangan-pandangan mata batin (al-bashdir) seperti daya tangkap alat-alat indera, syahwat dan marah.[17]

Kesimpulannya adalah manusia menurut pandangan aliran Islam adalah makhluk biologis, psikologis, dan rohaniah. Inti dari manusia adalah iman. Letak iman manusia berada pada qalbudan dibutuhkan pembinaan terhadap qalbu manusia untuk menjadikan manusia yang baik.[18]

Baca juga artikel yang lain:

  1. Ulumul Hadist (Ilmu-ilmu Hadist)
  2. Pengertian Bid'ah
  3. Konsep Manusia Menurut Aliran Humanisme dan Islam
  4. Konsep Manusia dalam Prespektif Aliran Psikoanalisa dan Behaviorisme
  5. Psikologi Perkembangan Pada Masa Anak-Anak
  6. Keterkaitan Ilmu Pengetahuan dan Agama
  7. Studi Al-Qur'an
  8. Studi Fikih (Hukum Islam)
  9. Urgensi Pengantar Studi Islam
  10. Etika Politik dan Nilai Pancasila Sebagai Sumber Politik

BAB III

PENUTUP

A.    Kesimpulan

1.      Yang dimaksud dari manusia adalah makhluk pedagogik dan juga khalifah Allah di muka bumi. Predikat tersebut pantas melekat pada makhluk sebagus, seindah, secerdas, dan segenius manusia. Akan tetapi keragaman sudut pandang tentang manusia mencerminkan perbedaan paradigma yang dijadikan dasar perseptual dan konseptual mengenai apa dan siapa manusia itu. Yang mampu menentukan kepercayaan yang harus diterima dan ditolak.

2.      Menurut aliran humanisme, manusia sebagai pemilik otoritas atas dirinya sendiri. Psikologi ini memusatkan perhatiannya untuk menelaah kualitas-kualitas insani, yakni sifat-sifat dan kemampuan khusus manusia yang melekat pada eksistensi manusia, seperti kemampuan abstraksi, daya analisis dan sintesis, imajinasi, kreativitas, kebebasan berkehendak, tanggung jawab, aktualisasi diri, makna hidup, pengembangan pribadi, sikap etis, rasa estetika, dan lain-lain. kualitas-kualitas ini merupakan ciri khas manusia, dan tidak dimiliki oleh makhluk lain, misalnya binatang.

3.      Manusia menurut pandangan aliran Islam adalah makhluk biologis, psikologis, dan rohaniah. Inti dari manusia adalah iman. Letak iman manusia berada pada qalbudan dibutuhkan pembinaan terhadap qalbu manusia untuk menjadikan manusia yang baik.

B.     Saran

Apabila dalam penulisan makalah kami, ada hal-hal yang kurang tepat atau keliru, maka kami mohon untuk memberikan saran. Sehingga kedepannya kami dapat lebih baik lagi.


DAFTAR PUSTAKA

Basit, Abdul. 2013. Filsafat Dakwah. Jakarta: PT Rajawali Press.

Al-Rasyidin dan Nizar. 2005. Filsafat Pendidikan Islam. Ciputat: Ciputat Press.

Farida. 2011. Psikologi Pasien. Kudus: NORA MEDIA ENTERPRISE.  

Baharuddin dan Makin. 2017. Pendidikan Humanistik. Jogjakarta: AR-RUZZ MEDIA.

Daulay, Nurussakinah. 2014. Pengantar Psikologi dan Pandangan Al-Qur’an tentang Psikologi. Jakarta: PRENAMEDIA GROUP.

H. Thouless, Robert. 1992. Pengantar Psikologi Agama. Jakarta: CV Rajawali.

Madjid, Nurcholis. 1992. Islam Doktrin dan Peradaban. Jakarta: Yayasan Wakaf Paramadina.

Tufiq, Muhammad Izzudin. 2006. Panduan Lengkap dan Praktis Psikologi Islam. Jakarta: Gema Insani.

Prawira, Purwa Atmaja. 2012. Psikologi Umum dengan Perspektif Baru. Jogjakarta: AR-RUZZ MEDIA.

Walgito, Bimo. 2002. Pengantar Psikologi Umum. Yogyakarta: Andi.

Mujib, Abdul. 2002.  Nuansa-Nuansa Psikologi Islam. Jakarta: PT RajaGrafindo Persada.

Baharuddin. 2005. Aktualisasi Psikologi Islami. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.

Ancok, Djamaludin dan Fuad Nashori Suroso. 1995. Psikologi Islami. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.

Mujib, Abdul. 1999. Fitrah dan Kepribadian Islam: Sebuah Pendekatan Psikologis. Jakarta: Darul Falah.

Ashfahani, Al Raghibal. 1412. Mufradatal-Alfazhal-Qur’an. Beirut: DarulIlmi.


Foodnoote

[1] Abdul Basit, Filsafat Dakwah (Jakarta: PT Rajawali Press, 2013), 87.

[2] Al-Rasyidin dan Nizar, Filsafat Pendidikan Islam (Ciputat: Ciputat Press, 2005), 17.

[3] Farida, Psikologi Pasien (Kudus: NORA MEDIA ENTERPRISE, 2011), 41.

[4] Purwa Atmaja Prawira, Psikologi Umum dengan Perspektif Baru (Jogjakarta: AR-RUZZ MEDIA, 2012), 198.

[5]Nurussakinah Daulay, Pengantar Psikologi dan Pandangan Al-Qur’an tentang Psikologi (Jakarta: PRENAMEDIA GROUP, 2014), 140.

[6] Bimo Walgito, Pengantar Psikologi Umum (Yogyakarta: Andi, 2002), 63-65.

[7] Abdul Mujib,  Nuansa-nuansa Psikologi Islam (Jakarta: PT RajaGrafindo Persada, 2002), 75.

[8] Baharuddin, Aktualisasi Psikologi Islami (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2005), 83.

[9][9][9] Asep Jamaludin, Teori Belajar dan Pembelajaran (Bogor: Ghalia Indonesia, 2010), h. 35

[10] Rohmalina Wahab, Psikologi Belajar (Jakarta: Rajawali Pers, 2016), h. 57

[11] Djamaludin Ancok dan Fuad Nashori Suroso, Psikologi Islami (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1995), 156.

[12] Abdul Mujib, Fitrah dan Kepribadian Islam: Sebuah Pendekatan Psikologis (Jakarta: Darul Falah, 1999), 40.

[13] Baharuddin, Aktualisasi Psikologi Islami (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2005), 61-74.

[14] Al Raghibal-Ashfahani, Mufradatal-Alfazhal-Qur’an (Beirut: DarulIlmi, 1412), 124.

[15] Ibid.,828.

[16] Ibid.,94.

[17] Nurussakinah Daulay, Pengantar Psikologi dan Pandangan Al-Qur’an tentang Psikologi (Jakarta: PRENAMEDIA GROUP, 2014), 87.

[18] Ibid.,98. 



Shalat Tarawih

 

Misalkan pertanyaannya adalah pernah terdengar bahwa sunnahnya seorang muslim dalam menunaikan shalat Taraweh adalah seorang diri sebagaimana yang dilakukan Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam seorang diri setelah tiga hari (berjamaah). Apakah ini benar? Saya juga mendengar bahwa di antara (amalan) bid’ah adalah membaca Al-Qur’an semuanya pada shalat Taraweh di bulan Ramadan, karena Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak melakukan ini, apakah ini benar?

Pertama : Shalat Qiyam (Taraweh) disyariatkan pada bulan Ramadan, baik secara berjama’ah maupun seorang diri. Pelaksanaan secara berjama’ah lebih utama dibanding seorang diri. Terdapat riwayat yang telah tetap dalam Ash-Shahihain (Shahih Bukhari dan Muslim), sesungguhnya Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam menunaikan shalat dengan para shahabat beberapa malam. Ketika memasuki malam ke tiga  atau keempat beliau tidak keluar (untuk menunaikan shalat) bersama mereka. Ketika pagi hari beliau bersabda:

 لَمْ يَمْنَعْنِي مِنْ الْخُرُوجِ إِلَيْكُمْ إِلا أَنِّي خَشِيتُ أَنْ تُفْرَضَ عَلَيْكُمْ. (رواه البخاري، رقم 1129 ، و فى لفظ مسلم، رقم 761) ولكنى خشيت أن تفرض عليكم الليل فتعجزوا عنها.

Tidak ada yang menghalangiku untuk keluar (menunaikan shalat) bersama kalian semua, melainkan  aku khawatir dia (qiyam) akan diwajibkan kepada kalian.” [HR. Bukhari, no. 1129]

Dalam redaksi Muslim, no. 761, (Beliau bersabda),

  وَلَكِنِّي خَشِيتُ أَنْ تُفْرَضَ عَلَيْكُمْ صَلاةُ اللَّيْلِ فَتَعْجِزُوا عَنْهَا 

(Akan tetapi aku khawatir (qiyamul lail) diwajibkan kepada kalian, sehingga kalian tidak  mampu (melaksanakannya).”

Telah tetap bahwa berjama’ah dalam Tarawih ada sunnah Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam, dan Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam telah menyebutkan bahwa penghalang untuk meneruskan shalatnya secara berjama’ah adalah khawatir diwajibkan. Dan ketakutan tersebut kini telah hilang dengan wafatnya Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Karena setelah beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam wafat, wahyu terputus, maka dengan demikian telah aman dari (turunnya wahyu) untuk mewajibkannya. Ketika illat (sebab suatu hukum) telah hilang yaitu takut diwajibkan dengan terputusnya wahyu, maka itu berarti harus kembali kepada ke sunnah (semula).” [Silakan lihat Syarhu Al-Mumti, karangan Syekh Ibnu Utsaimin, 4/78].

Imam Ibnu Abdul Bar rahimahullah berkata: “Hadits tersebut menunjukkan bahwa qiyam Ramadan merupakan salah satu sunnah Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam, disunnahkan dan dianjurkannya. Bukan  Umar bin Khattab yang mengadakan sunnah tersebut, dia cuma sekedar menghidupkannya. Sesuatu yang disukai dan diridai Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam, sebab tidak ada yang menghalangi  beliau untuk terus menerus melakukannya selain kekhawatirannya hal tersebut diwajibkan kepada umatnya. Dan beliau –Shallallahu ‘alaihi wa sallam – dikenal  sangat mengasihi dan menyangi orang-orang  mukmin.

Maka ketika Umar mengetahui hal tersebut  dari Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam dan mengetahui bahwa kewajiban-kewajiban tidak boleh ditambah dan tidak boleh berkurang sepeninggal beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam, Maka beliau kembali melakukan dan menghidupkan shalat Tarawih berjamah.  Hal itu terjadi pada tahun empat belas hijriyah,  sebagai karunia dan keutamaan  Allah padanya. [At-Tamhid, 8/108-109]

Para shahabat Radhiallahu’anhum sepeninggal Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam menunaikan Tarawih secara berkelompok-kelompok dan sendiri-sendiri sampai Umar bin Khattab Radhiyallahu anhu mengumpulkan mereka dengan satu Imam.

 عَنْ عَبْدِ الرَّحْمَنِ بْنِ عَبْدٍ الْقَارِيِّ أَنَّهُ قَالَ : خَرَجْتُ مَعَ عُمَرَ بْنِ الْخَطَّابِ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ لَيْلَةً فِي رَمَضَانَ إِلَى الْمَسْجِدِ ، فَإِذَا النَّاسُ أَوْزَاعٌ مُتَفَرِّقُونَ ، يُصَلِّي الرَّجُلُ لِنَفْسِهِ ، وَيُصَلِّي الرَّجُلُ فَيُصَلِّي بِصَلاتِهِ الرَّهْطُ ، فَقَالَ عُمَرُ : إِنِّي أَرَى لَوْ جَمَعْتُ هَؤُلاءِ عَلَى قَارِئٍ وَاحِدٍ لَكَانَ أَمْثَلَ ، ثُمَّ عَزَمَ فَجَمَعَهُمْ عَلَى أُبَيِّ بْنِ كَعْبٍ ، ثُمَّ خَرَجْتُ مَعَهُ لَيْلَةً أُخْرَى ، وَالنَّاسُ يُصَلُّونَ بِصَلاةِ قَارِئِهِمْ ، قَالَ عُمَرُ : نِعْمَ الْبِدْعَةُ هَذِهِ ، وَالَّتِي يَنَامُونَ عَنْهَا أَفْضَلُ مِنْ الَّتِي يَقُومُونَ – يُرِيدُ آخِرَ اللَّيْلِ – وَكَانَ النَّاسُ يَقُومُونَ أَوَّلَهُ . رواه البخاري  1906

Abdurrhaman bin Abdun Al-Qari berkata: “Suatu malam di bulan Ramadan, aku bersama Umar bin Khattab Radhiyallahu anhu berangkat menuju ke masjid. Ternyata orang-orang shalat berpencar-pencar. Ada yang shalat seorang diri, dan ada yang shalat dengan sejumlah orang yang mengikuti. Maka beliau berkata: “Demi Allah, sesungguhnya aku berpandangan, lebih baik kalau mereka dikumpulkan di belakang satu qari (imam). Setelah keinginan beliau bulat, mereka dikumpulkan dengan imam Ubay bin Ka’b. Kemudian saya keluar lagi bersama Umar pada malam lain. Sementara (kini) orang-orang menunaikan shalat dengan satu qari (imam). Maka Umat berkomentar:  “Inilah sebaik-baik bid’ah (sesuatu yang baru), waktu yang mereka gunakan untuk tidur (akhir malam) lebih baik dibandingkan waktu yang mereka gunakan untuk shalat –maksudnya akhir malam-. Pada awalnya, orang-orang waktu itu menunaikan shalat pada awal malam.”  [HR. Bukhari, no. 1906]

Syaikhul Islam berkata –ketika membantah orang membolehkan bid’ah dengan argumen perkataan Umar: Inilah sebaik-baik bid’ah-, “Adapun qiyam Ramadan  (Tarawih), sesungguhnya Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam  telah menganjurkan kepada umatnya. Beliau shalat dengan (para shahabat) secara berjama’ah beberapa malam. Mereka pada masanya menunaikan (shalat qiyam) secara berjama’ah dan seorang diri. Akan tetapi beliau tidak terus menerus melaksanakan dalam satu jama’ah agar tidak diwajibkan kepada umatnya. Ketika beliau wafat, maka syariat menjadi baku (tidak berubah).

Pada masa (kekhalifahan) Umar Radhiallahu’anhu, beliau mengumpulkan (jamaah shalat Taraweh) dengan satu imam, yaitu Ubay bin Ka’b. Orang-orang shalat di belakangnya atas perintah Umar bin Khatab radhiallahu’anhu. Dan Umar Radhiallahu’anhu adalah salah seorang Khulafaur Rasyidin, yang Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda tentang mereka:

عَلَيْكُمْ بِسُنَّتِي وَسُنَّةِ الْخُلَفَاءِ الرَّاشِدِيْنَ الْمَهْدِيِّيْنَ من بعدي عَضُّوا عَلَيْهَا بِالنَّوَاجِذِ

“Hendaklah kalian berpegang teguh terhadap sunnahku dan sunnah Khulafaur Rasyidin yang mendapat petunjuk setelahku. Peganglah dengan gigi geraham. Karena ia adalah pegangan yang sangat kuat. Karena yang beliau laksanakan adalah sunnah Nabi, sedangkan beliau berkata: “Inilah sebaik-baik bid’ah.”

Maka yang dimaksud  bid’ah di sini adalah dari sisi bahasa, karena mereka melaksanakan apa yang tidak mereka lakukan pada masa kehidupan Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam yaitu berkumpul seperti demikian. Maka dia termasuk salah satu ajaran dalam syariat.” [Majmu Fatawa, 22/ 234, 235] Kedua: Mengkhatamkan Al-Qur’an di bulan Ramadan, baik dalam shalat maupun di luar shalat adalah perkara yang terpuji bagi pelakunya. Sungguh terdapat riwayat bahwa Jibril alaihis salam bertadarus Al-Qur’an bersama Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam pada setiap bulan Ramadan. Bahkan pada pada tahun beliau wafat, beliau bertadarus dengannya dua kali. Wallahu ‘alam.

Baca juga artikel yang lain:

MAKALAH HADIST TENTANG HIJAB

  A.   Latar Belakang Telah disepakati oleh seluruh umat Islam bahwa al-Qur’an menjadi pedoman hidup baik tentang syariah maupun dalam keh...