BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latar
Belakang
Tidak dapat dipungkiri bahwa hadis atau
sunnah memliki peran penting dalam kehidupan umat islam. Ia merupakan sumber
hukum kedua setelah alquran. Keduanya adalah dasar agama dan merupakan petunjuk
menuju jalan yang benar. Para ulama
sangat memahami akan peran dan kedudukan hadis yang sangat tinggi. Oleh karena
itu, mereka berusaha sekuat tenaga menjaganya dan melestarikannya baik dalam
tulisan maupun amalan.[1]
sejak masa sahabat sampai masa tabi’in
kemurnian hadis terus tetap dijaga. Para ulama terus mengembangkan metode ilmu
hadis guna menjaga kemurnian dan kelestarian hadis. Dan akhirnya, tersusunlah
beberapa kitab hadis dan ilmu hadis meskipun dengan sistem penulisan yang belum
bagus.
Makalah ini mencoba untuk membahas dan
mengupas tentang karakteristik hadis-hadis makkiyah dan madaniyah
dengan harapan dapat menambah wawasan tentang khzanah keilmuan khususnya yang
berkaitan dengan ilmu hadis.
B.
Rumusan
Masalah
Adapun rumusan masalah pada makalah ini
adalah:
1.
Apa yang
diketahui tentang makkiyah dan madaniyah ?.
2.
Apa yang
diketahui tentang karakteristik hadis-hadis makkiyah dan madaniyah ?.
C.
Tujuan
Adapun tujuan dari makalah ini adalah :
1.
Mengetahui
tentang Makkiyah dan Madaniyah
2.
Mengetahui
tentang karakteristik hadis-hadis makkiyah dan madaniyah.
BAB II
PEMBAHASAN
A. Definisi Makkiyah dan Madaniyah
1.
Definisi
makkiyah dan madaniyah menurut bahasa
Menurut bahasa kata, “makkiyah”
merupakan sebuah kata yang menunjukkan nisbat kepada sebuah tempat yang paling
mulia di muka bumi, tempat tinggal para nabi dan tempat turunnya wahyu yaitu
Makkah.[2]
Sedangkan kata “madaniyah”
menurut bahasa adalah sebuah nisbat untuk sebuah tempat yang biasanya
dinisbatkan kepada kota Rasulullah SAW. yaitu Madinah. Al-Sam’ani berkata
sebagimana dinukil oleh Abd al-Razzaq dalam kitabnya bahwa kata yang
paling banyak digunakan untuk menujukkan kota Madinah adalah kata “المدني” dan “المديني” .[3]
2.
Definisi
makkiyah dan madaniyah menurut istilah
Para ulama berbeda pendapat dalam
menentukan definisi makkiyah dan madaniyah menurut istilah. Setidaknya ada tiga
pendapat tentang makkiyah dan madaniyah. Berikut adalah pemaparannya:[4]
-
Pendapat yang
pertama mengatakan bahwa makkiyah adalah apa yang turun sebelum hijrah,
sedangkan madaniyah adalah apa yang turun setelah hijrah. Pendapat ini adalah
pendapat yang paling masyhur.
-
Pendapat yang
kedua mengatakan bahwa makkiyah adalah apa yang diturunkan di Makkah walaupun
setelah hijrah, sedangkan madaniyyah adalah apa yang diturunkan di Madinah.
-
Pendapat yang
ketiga adalah bahwa makkiyah adalah apa yang ditujukan kepada penduduk Makkah,
sedangkan madaniyah adalah apa yang ditujukan kepada penduduk Madinah.
Diantara
tiga pendapat di atas, pendapat yang pertama dianggap sebagai difenisi yang
paling tepat.[5]
B.
Mengenal
Karakteristik Hadis-Hadis Makkiyah dan Madaniyah
1.
Definisi
hadis makkiyah dan hadis madaniyah
kalimat “hadis makkiyah” dan “hadis
madaniyah” sebenarnya adalah istilah baru dalam bidang ilmu hadis. Sepengetahuan
penulis, belum ada karya yang secara khusus membahas tentang hal itu.
Term “makkiyah” dan “madaniyah”
sebenarnya adalah sebuah istilah dan merupakan salah satu cabang ilmu yang
terdapat dalam ulumul quran dan berkaitan erat dengan asbabun nuzul.
Adapun dalam bidang ilmu hadis, jika
istilah tersebut digunakan, maka menurut hemat penulis, hal tersebut akan
berkaitan erat dengan ilmu asbabul wurud. Sedangkan asbabul wurud itu sendiri
juga ada hubungannya serta berkaitan erat dengan asbabun nuzul. Hal ini bisa
dilihat dari dua sisi:
a.
Menurut Muhammad
Ra’fat Sa’id, asbabul wurud
mempunyai kaitan erat dengan asbabun nuzul karena sebenarnya orang yang
berkecimpung dalam pembahasan asbabun nuzul secara tidak langsung ia juga
membahas tentang hal-hal yang berkaitan dengan ilmu hadis.[6]
Hal
ini juga dikuatkan oleh pernyataan Al-Wahidi dalam kitabnya bahwa orang
yang mempunyai otoritas untuk berbicara tentang asbabun nuzul adalah orang yang
memiliki periwayatan dari orang yang menjadi saksi akan turunnya sebuah ayat
dan mengetahui sebab-musababnya.[7]
b.
Salah satu
fungsi hadis adalah sebagai penjelas bagi alquran, di mana ia bisa menjadi
penguat terhadap apa yang ada dalam alquran, menjelaskan yang masih bersifat
umum dan global di dalam alquran serta bisa juga menjadi dasar bagi sebuah
hukum yang tidak terdapat di dalam alquran.[8]
Berdasarkan
pemaparan di atas, maka kita bisa mengatakan bahwa hadis makkiyah dan hadis
madaniyah sangat erat kaitannya dengan ilmu asababul wurud dan secara tidak
langsung juga berhubungan erat dengan asababun nuzul.
2.
Faedah
mengetahui hadis-hadis makkiyah dan madaniyah
Faedah mengetahui hadis-hadis makkiyah
dan madaniyah sama dengan faedah mengetahui surat-surat makkiyah dan madaniyah
dalam alquran. Di antaranya adalah dengan mengetahui hadis-hadis makkiyah
dan madaniyah akan mengetahui tentang sejarah ditetapkannya syariat-syariat
islam dan hikmah dibaliknya.[9]
Selain itu, salah satu faedahnya juga
adalah mengetahui nasikh dan mansukh al-hadith, karena dengan
mengetahui hadis makkiyah dan madaniyah kita akan mengetahui hadis yang telebih
dahulu disabdakan oleh Rasulullah SAW. dan hadis yang disabdakan belakangan.
C.
Metode
mengetahui hadis-hadis makkiyah dan maaniyah
Untuk mengetahui bahwa suatu hadis
adalah makkiyah atau madaniyah setidaknya bisa ditempuh dengan dua cara. Pertama,
yaitu bisa diketahui dengan melihat sejarah atau latar belakang hadis tersebut
disabdakan. Dalam hal ini kita bisa menggunakan ilmu asbabul wurud hadis,
sejarah, dan biografi sahabat.
Salah satu contohnya adalah hadis yang diriwayatkan
oleh al-Tirmidhi:
حَدَّثَنَا أَبُو كُرَيْبٍ
حَدَّثَنَا يُونُسُ بْنُ بُكَيْرٍ عَنِ النَّضْرِ أَبِى عُمَرَ عَنْ عِكْرِمَةَ
عَنِ ابْنِ عَبَّاسٍ أَنَّ النَّبِىَّ -صلى الله عليه وسلم- قَالَ « اللَّهُمَّ
أَعِزَّ الإِسْلاَمَ بِأَبِى جَهْلِ بْنِ هِشَامٍ أَوْ بِعُمَرَ ». قَالَ
فَأَصْبَحَ فَغَدَا عُمَرُ عَلَى رَسُولِ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- فَأَسْلَمَ
Telah menceritakan kepada kami
Abu Kuraib, telah menceritakan kepada kami Yunus ibn Bukair, dari al-Nadhr Abi
‘Umar dari ‘Ikrimah dari Ibn ‘Abbas bahwa sesungguhnya Nabi Muhammad SAW.
berkata “Ya Allah, muliakanlah islam dengan (islamnya) Abu Jahl ibn Hisham atau
dengan ‘Umar”. Ibn ‘Abbas berkata : maka keeseokan harinya ‘Umar datang kepda
Rasulullah dan masuk islam.
Hadis di atas diriwayatkan oleh al-Tirmidhi
dalam sunannya pada kitab al-Manaqib, bab manaqib ‘Umar ibn
al-Khattab.[10]hadis
tersebut termasuk hadis makkiyah, karena secara implisit menjelaskan tentang
doa nabi Muhammad SAW. agar Allah memberikan hidayah kepada ‘Umar dan ia
masuk islam sebelum hijrah.
Salah
satu contoh juga
حَدَّثَنَا مُسَدَّدٌ حَدَّثَنَا
يَحْيَى عَنْ عُبَيْدِ اللَّهِ قَالَ حَدَّثَنِى سَعِيدُ بْنُ أَبِى سَعِيدٍ عَنْ
أَبِيهِ عَنْ أَبِى هُرَيْرَةَ - رضى الله عنه - عَنِ النَّبِىِّ - صلى الله عليه
وسلم - قَالَ « تُنْكَحُ الْمَرْأَةُ لأَرْبَعٍ لِمَالِهَا وَلِحَسَبِهَا
وَجَمَالِهَا وَلِدِينِهَا ، فَاظْفَرْ بِذَاتِ الدِّينِ تَرِبَتْ يَدَاكَ »
Telah menceritakan kepada kami
Musaddad, telah menceritakan kepada kami Yahya, dari ‘Ubaidillah, ia berkata:
telah menceritakan kepadaku Sa’id ibn Abi Sa’id dari bapaknya (Sa’id), dari Abu
Hurairah RA. Dari Rasulullah SAW. beliau bersabda : “seorang perempuan itu
dinikahi dikarenakan empat perkara; hartanya, kedudukannya, kecantikannya, dan
agamanya. Maka pilihah yang mempunyai agama, maka engkau akan beruntung.
Hadis di atas diriwayatkan oleh al-Bukhari
dalam Sahih-nya, kitab al-Nikah.[11]hadis
tersebut termasuk kategori hadis madaniyah dengan melihat dua faktor. Faktor
pertama adalah sahabat yang meriwayatkan, yaitu Abu Hurairah. Beliau
adalah sahabat nabi dan termasuk golongan sahabat yang paling banyak
meriwayatkan hadis. Abu Hurairah masuk islam pada saat perang khaibar.[12] Dari
keterangan ini, bisa disimpulkan bahwa Abu Hurairah menerima hadis dari
Nabi setelah beliau hijrah ke Madinah.
Faktor kedua adalah dengan melihat
sabab wurud hadis tersebut. Sebagaimana diriwayatkan oleh Muslim dalam Sahih-nya
حَدَّثَنَا مُحَمَّدُ بْنُ عَبْدِ
اللَّهِ بْنِ نُمَيْرٍ حَدَّثَنَا أَبِى حَدَّثَنَا عَبْدُ الْمَلِكِ بْنُ أَبِى
سُلَيْمَانَ عَنْ عَطَاءٍ أَخْبَرَنِى جَابِرُ بْنُ عَبْدِ اللَّهِ قَالَ
تَزَوَّجْتُ امْرَأَةً فِى عَهْدِ رَسُولِ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- فَلَقِيتُ
النَّبِىَّ -صلى الله عليه وسلم- فَقَالَ « يَا جَابِرُ تَزَوَّجْتَ ». قُلْتُ
نَعَمْ. قَالَ « بِكْرٌ أَمْ ثَيِّبٌ ». قُلْتُ ثَيِّبٌ. قَالَ « فَهَلاَّ بِكْرًا
تُلاَعِبُهَا ». قُلْتُ يَا رَسُولَ اللَّهِ إِنَّ لِى أَخَوَاتٍ فَخَشِيتُ أَنْ
تَدْخُلَ بَيْنِى وَبَيْنَهُنَّ. قَالَ « فَذَاكَ إِذًا، إِنَّ الْمَرْأَةَ
تُنْكَحُ عَلَى دِينِهَا وَمَالِهَا وَجَمَالِهَا فَعَلَيْكَ بِذَاتِ الدِّينِ
تَرِبَتْ يَدَاكَ »[13]
Dari penjelasan di atas, dan dengan
adanya latar belakang adanya hadis tersebut, yaitu berkaitan dengan sahabat
Nabi yang bernama Jabir ibn Abdullah, di mana ia merupakan sahabat dari
kalangan ansar dan termasuk dari golongan sahabat yang paling banyak
meriwaytkan hadis selain Abu Hurairah[14], sehingga bisa dipastikan bahwa hadis di atas
termasuk dalam hadis madaniyah.
Adapun cara yang kedua untuk mengetahui
apakah hadis tersebut merupakan hadis makkiyah atau madaniyah adalah dengan
mengetahui kedudukan sebuah hadis terhadap alquran karena hadis salah satu
fungsinya adalah sebagai penjelas dan penguat bagi alquran. Dalam hal ini, kita
bisa menggunakan asbabun nuzul sebagai media untuk mengetahui apakah hadis
tersebbut makkiyah atau madaniyah. Apabila suatu hadis menerangkan atau menjadi
sebab turunnya sebuah ayat makkiyah, maka bisa dikatakan bahwa hadis tersebut
adalah makkiyah. Begitu juga dengan ayat madaniyah. Salah satu contohnya adalah
hadis-hadis yang menjelaskan tentang aqidah ataupun hukum-hukum agama seperti
sholat, puasa, zakat, haji dan lain sebagainya.
Salah satu contohny adalah hadis nabi
yang menjadi sebab turunnya surat al-Lahab :
أَخبرَنا أحمد بن الحسن
الحِيرِىّ، أخبرنا حَاجِبٌ ابن أحمد، حدثنا محمد بن حَمَّاد حَدَّثَنَا أَبُو مُعَاوِيَةَ عن
الأَعْمَشُ عَنْ عَمْرِو بْنِ مُرَّةَ عَنْ سَعِيدِ بْنِ جُبَيْرٍ عَنِ ابْنِ
عَبَّاسٍ قَالَ صَعِدَ رَسُولُ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- ذَاتَ يَوْمٍ عَلَى
الصَّفَا فَنَادَى « يَا صَبَاحَاهُ ». فَاجْتَمَعَتْ إِلَيْهِ قُرَيْشٌ فَقَالَ «
إِنِّى نَذِيرٌ لَكُمْ بَيْنَ يَدَىْ عَذَابٍ شَدِيدٍ أَرَأَيْتُمْ لَوْ أَنِّى
أَخْبَرْتُكُمْ أَنَّ الْعَدُوَّ مُمَسِّيكُمْ أَوْ مُصَبِّحُكُمْ أَكُنْتُمْ
تُصَدِّقُونِى ». فَقَالَ أَبُو لَهَبٍ أَلِهَذَا جَمَعْتَنَا تَبًّا لَكَ.
فَأَنْزَلَ اللَّهُ (تَبَّتْ يَدَا أَبِى لَهَبٍ وَتَبَّ)[15].
Hadis di atas, secara zahir adalah makkiyah karena menjelaskan tentang dakwah nabi di mekkah. Selain itu, hadis tersebut merupakan sebab turunnya surat al-Lahab yang semuanya terjadi di mekkah sebelum nabi hijrah ke madinah.
BACA ARTIKEL LAINNYA YANG BERKAITAN:
- KARAKTERISTIK HADIS-HADIS PADA PERIODE MAKKIYAH DAN MADANIYAH
- PEMIKIRAN A. HASSAN (PERSIS)
- PEMIKIRAN MUHAMMADIYAH TENTANG HADIST
- PEMIKIRAN SYUHUDI ISMAIL DALAM KAJIAN ILMU HADIST
- PEMIKIRAN NAHDHATUL ULAMA (NU) TENTANG HADIST
- HADIS MENURUT PANDANGAN DARUL AL-HADITH (LDII)
- AL-SYAUKANI DAN PEMIKIRANNYA DALAM KAJIAN HADIS
- HERMENEUTIKA IBN ‘ARABI
- MEMAHAMI HADIS DENGAN PENDEKATAN HISTORIS, SOSIOLOGIS DAN ANTROPOLOGIS
- HADIS TENTANG ZAKAT HARTA KARUN (RIKAZ)
- KEHUJJAHAN HADIS AHAD MENURUT PENGINGKAR SUNNAH
DAFTAR PUSTAKA
Abu
Zahw , Muhammad, al-Hadith wal al-Muhaddithun. Riyad: tp, 1984.
Ahmad,
Abd al-Razzaq Husain, al-Makki wa al-Madani fi al-Quran al-Karim, vol.1. Kairo: Dar Ibn ‘Affan, 1999.
Bukhari
(al), Muhammad ibn Isma’il , Sahih al-Bukhari , Juz 5 (Beirut: Dar Ibn
Kathir, 1987)
ibn
Abd al-Bar, Yusuf ibn Abdullah, al-Isti’ab fi Ma’rifah al-Ashab. Amman:
Dar al-A’lam, 2002.
‘Itr, Nur al-Din, ‘Ulum
al-Quran. Damaskus: Matba’ah al-Dabl, 1993.
Naisaburi
(al), Muslim ibn al-Hajjaj, Sahih Muslim, Juz 2, Beirut: Dar Ihya’
al-Turath al-‘Arabi, tt.
Sa’id, Muhammad Ra’fat, Asbab Wurud al-Hadith
Tahlil wa Ta’sis, Qatar: Jami’ah Qatr, tth.
Shayi’
(al), Muhammad Ibn Abd al-Rahman, al-Makki wa al-Madani fi al-Quran al-Karim.
Riyadh: Maktabah Malik Fahd, 1997
Tirmidhi
(al), Muhammad ibn ‘Isa , Sunan al-Tirmidhi, Juz 5. Beirut: Dar Ihya’
al-Turath al-‘Arabi, tt
Wahidi (al), ‘Ali Ibn Ahmad, Asbab Nuzul al-Quran. tt, Dar al-Kutub al-Jadid, 1969.
[1] Muhammad Abu
Zahw, al-Hadith wal al-Muhaddithun (Riyad: tp, 1984), 5-6.
[2] Abd al-Razzaq Husain Ahmad, al-Makki
wa al-Madani fi al-Quran al-Karim, vol.1
(Kairo: Dar Ibn ‘Affan, 1999), 37.
[3] Ibid
[4] Nur al-Din ‘Itr, ‘Ulum
al-Quran (Damaskus: Matba’ah al-Dabl, 1993), 55.
[5] Muhammad Ibn Abd al-Rahman
al-Shayi’, al-Makki wa al-Madani fi al-Quran al-Karim (Riyadh: Maktabah
Malik Fahd, 1997), 17.
[6] Muhammad Ra’fat
Sa’id, Asbab Wurud al-Hadith Tahlil wa Ta’sis (Qatar: Jami’ah
Qatr, tth), 190.
[7] ‘Ali Ibn Ahmad al-Wahidi
al-Naisaburi, Asbab Nuzul al-Quran (tt, Dar al-Kutub al-Jadid, 1969), 5.
[8] Abu Zahw, al-Hadith
wal al-Muhaddithun, 38-39.
[9] ‘Itr, ‘Ulum al-Quran, 58.
[10] Muhammad ibn ‘Isa al-Tirmidhi, Sunan
al-Tirmidhi, Juz 5 (Beirut: Dar Ihya’ al-Turath al-‘Arabi, tt), 618.
[11] Muhammad ibn Isma’il
al-Bukhari, Sahih al-Bukhari , Juz 5 (Beirut: Dar Ibn Kathir, 1987),
127.
[12] Yusuf ibn Abdullah ibn Abd
al-Bar, al-Isti’ab fi Ma’rifah al-Ashab (Amman: Dar al-A’lam, 2002), 863
[13]
Muslim ibn al-Hajjaj
al-Naisaburi, Sahih Muslim, Juz 2 (Beirut: Dar Ihya’ al-Turath
al-‘Arabi, tt), 373.
[14] ibn Abd al-Bar, al-Isti’ab, 114.
[15]
al-Wahidi al-Naisaburi, Asbab
Nuzul, 507.