BAB I
PENDAHULUAN
A.
LATAR BELAKANG
Pancasila
sebagai dasar Negara, pedoman dan tolok ukur kehidupan berbangsa dan bernegara
di Republik Indonesia. Begitu juga dengan kehidupan berpolitik, etika politik
Indonesia tertanam dalam jiwa Pancasila.
Kesadaran
etika yang merupakan kesadaran relational akan tumbuh subur bagi warga
masyarakat Indonesia ketika nilai-nilai pancasila itu diyakini kebenarannya, kesadaran etika
juga akan lebih berkembang ketika nilai dan moral pancasila itu dapat di breakdown
kedalam norma-norma yang diberlakukan di Indonesia .
Pancasila
juga sebagai suatu sistem filsafat pada hakikatnya merupakan suatu nilai
sehingga merupakan sumber dari segala penjabaran dari norma baik norma hukum,
norma moral maupun norma kenegaraan lainya. Dalam filsafat pancasila terkandung
didalamnya suatu pemikiran-pemikiran yang bersifat kritis, mendasar, rasional,
sistematis dan komprehensif (menyeluruh) dan sistem pemikira ini merupakan
suatu nilai.
Oleh karena
itu suatu pemikiran filsafat tidak secara langsung menyajikan norma-norma yang
merupakan pedoman dalam suatu tindakan atau aspek prasis melainkan suatu nilai
yang bersifat mendasar.
Nilai-nilai
pancasila dijabarkan dalam suatu norma yang jelas sehingga merupakan suatu
pedoman. Norma tersebut meliputi norma moral yaitu yang berkaitan dengan
tingkah laku manusia yang dapat diukur dari sudut baik maupun buruk. Kemudian
yang ke dua adalah norma hukum yaitu suatu sistem perundang-undangan yang
berlaku di Indonesia.
Maka
pancasila berkedudukan sebagai sumber dari segala hukum di Indonesia, pancasila
merupakan suatu cita-cita moral yang luhur yang terwujud dalam kehidupan
sehari-hari bangsa Indonesia sebelum membentuk negara dan berasal dari bangsa
indonesia sendiri sebagai asal mula (kausal materialis).
Pancasila
merupakan suatu sistem nilai-nilai etika yang merupakan sumber hukum baik
meliputi norma moral maupun norma hukum, yang pada giliranya harus dijabarkan
lebih lanjut dalam norma-norma etika, moral maupun norma hukum dalam kehidupan
kenegaraan maupun kebangsaan.
B.
RUMUSAN MASALAH
Rumusan
masalah yang ada di makalah ini adalah :
1.
Apa pengertian Etika?
2.
Bagaimana pengertian Etika
Politik?
3.
Bagaimana kaitan Dimensi Politik
Kehidupan Manusia dengan kehidupan Negara dan Hukum?
4.
Apa kodrat manusia sebagai mahluk
individu dan sosial?
5.
Nilai-nilai apa yang tergandung
dalam pancasila sebagai sumber etika politik?
C.
TUJUAN
Tujuan dalam
makalah ini adalah
1.
Untuk mengetahui definisi tentang
pengertian etika dan beberapa kelompoknya, seperti etika umum dan etika khusus.
2.
Dapat mengerti hubungan dimensi
politik kehidupan manusia sebagai mahluk individu dan sosial.
3.
Memahami nilai-nilai yang
terkandung dalam pancasila sebagai sumber etika politik.
BAB II
PEMBAHASAN
A.
PENGERTIAN ETIKA
Sebagai
suatu usaha ilmiah, filsafat dibagi, menjadi beberapa cabang menurut lingkungan
masing-masing. Cabang-cabang itu dibagi menjadi dua kelompok bahasan pokok
yaitu filsafat teoritis dan filsafat praktis. Filsafat pertama berisi tentang
segala sesuatu yang ada sedangkan kelompok kedua membahas bagaimana manusia
bersikap terhadap apa yang ada tersebut. Misalnya hakikat manusia, alam,
hakikat realitas sebagai suatu keseluruhan, tentang pengetahuan, tentang apa
yang kita ketahui dan tentang yang transenden.
Etika
termasuk kelompok filsafat praktis dan dibagi menjadi. dua kelompok yaitu etika
umum dan etika khusus. Etika merupakan suatu pemikiran kritis dan mendasar
tentang ajaran-ajaran dan pandangan-pandangan moral. itu dalam hubungannya
dengan berbagai aspek kehidupan manusia (Suseno, 1987). Etika adalah suatu ilmu
yang membahas tentang bagaimana dan mengapa kita mengikuti suatu ajaran moral
tertentu, atau bagaimana kita harus
menggambil sikap yang bertanggung jawab berhadapan dengan berbagai ajaran moral
(Suseno, 1987). Etika umum merupakan prinsip-prinsip yang berlaku bagi setiap
tindakan manusia sedangkan etika khusus membahas prinsip-prinsipEtika khusus
dibagi menjadi etika individu yang
membahas kewajiban manusia terhadap diri sendiri dan etika sosial yang membahas
tentang kewajiban manusia terhadap manusia lain dalam hidup masyarakat, yang
merupakan suatu bagian terbesar dari etika khusus.
Etika
berkaitan dengan berbagai masalah nilai karena etika pada pada umumnya
membicarakan masalah-masalah yang berkaitan dengan predikat nilai
"susila" dan "tidak susila", "baik" dan
"buruk". Kualitas-kualitas ini dinamakan kebajikan yang dilawankan
dengan kejahatan yang berarti sifat-sifat yang menunjukan bahwa orang yang
memilikinya dikatakan orang yang tidak susila. Sebenarnya etika banyak
bertangkutan dengan Prinsip-prinsip dasar pembenaran dalam hubungan dengan, tingkah laku manusia (Kattsoff,
1986). Dapat juga dikatakan bahwa etika berkaitan dengan dasar-dasar filosofis
dalam hubungan dengan tingkah laku manusia.
Etika adalah
kelompok filsafat praktis (filsafat yang membahas bagaimana manusia bersikap
terhadap apa yang ada) dan dibagi menjadi dua kelompok. Etika merupakan suatu
pemikiran kritis dan mendasar tentang ajaran-ajaran dan pandangan-pandangan
moral. Etika adalah ilmu yang membahas tentang bagaimana dan mengapa kita
mengikuti suatu ajaran tertentu atau bagaimana kita bersikap dan bertanggung
jawab dengan berbagai ajaran moral. Kedua kelompok etika itu adalah sebagai
berikut :
1.
Etika Umum, mempertanyakan
prinsip-prinsip yang berlaku bagi setiap tindakan manusia.
2.
Etika Khusus, membahas
prinsip-prinsip tersebut di atas dalam hubungannya dengan berbagai aspek
kehidupan manusia, baik sebagai individu (etika individual) maupun mahluk
sosial (etika sosial).
B.
PENGERTIAN ETIKA POLITIK
Etika, atau
filsafat moral mempunyai tujuan menerangkan kebaikan dan kejahatan. Etika
politik yang demikian, memiliki tujuan menjelaskan mana tingkah laku politik
yang baik dan mana yang jelek. Apa standar baik? Apakah menurut agama tertentu?
Tidak! Standar baik dalam konteks politik adalah bagaimana politik diarahkan
untuk memajukan kepentingan umum. Jadi kalau politik sudah mengarah pada
kepentingan pribadi dan golongan tertentu, itu etika politik yang buruk.
Sayangnya, itulah yang terjadi di negeri ini. Etika politik bangsa Indonesia
dibangun melalui karakteristik masyarakat yang berdasarkan Pancasila sehingga
amat diperlukan untuk menampung tindakan-tindakan yang tidak diatur dalam
aturan secara legal formal. Karena itu,
etika politik lebih bersifat konvensi dan berupa aturan-aturan moral.
Akibat luasnya cakupan etika politik itulah maka seringkali keberadaannya
bersifat sangat longgar, dan mudah diabaikan tanpa rasa malu dan bersalah.
Ditunjang dengan alam kompetisi untuk meraih jabatan (kekuasaan) dan akses
ekonomis (uang) yang begitu kuat, rasa malu dan merasa bersalah bisa dengan
mudah diabaikan.
Akibatnya
ada dua hal:
1.
Pudarnya nilai-nilai etis yang
sudah ada, dan
2.
Tidak berkembangnya nilai-nilai
tersebut sesuai dengan moralitas publik. Untuk memaafkan fenomena tersebut lalu
berkembang menjadi budaya permisif, semua serba boleh, bukan saja karena aturan
yang hampa atau belum dibuat, melainkan juga disebut serba boleh, karena untuk
membuka seluas-luasnya upaya mencapai kekuasaan (dan uang) dengan mudah.
Tanpa
disadari, nilai etis politik bangsa Indonesia cenderung mengarah pada kompetisi
yang mengabaikan moral. Buktinya, semua harga jabatan politik setara dengan
sejumlah uang. Semua jabatan memiliki harga yang harus dibayar si pejabat.
Itulah mengapa para pengkritik dan budayawan secara prihatin menyatakan arah
etika dalam bidang politik (dan bidang lainnya) sedang berlarian
tunggang-langgang (meminjam Giddens, “run away”) menuju ke arah
“jual-beli” menggunakan uang maupun sesuatu yang bisa dihargai dengan uang.
Namun
demikian, perlu dibedakan antara etika politik dengan moralitas politisi.
Moralitas politisi menyangkut mutu moral negarawan dan politisi secara pribadi
(dan memang sangat diandaikan), misalnya apakah ia korup atau tidak (di sini
tidak dibahas). Etika politik menjawab dua pertanyaan:
1.
Bagaimana seharusnya bentuk lembaga-lembaga
kenegaraan seperti hukum dan Negara (misalnya: bentuk Negara seharusnya
demokratis); jadi etika politik adalah etika institusi.
2.
Apa yang seharusnya menjadi
tujuan/sasaran segala kebijakan politik, jadi apa yang harus mau dicapai baik
oleh badan legislatif maupun eksekutif.
Etika
politik adalah perkembangan filsafat di zaman pasca tradisional. Dalam tulisan
para filosof politik klasik: Plato, Aristoteles, Thomas Aquinas, Marsilius dari
Padua, Ibnu Khaldun, kita menemukan pelbagai unsur etika politik, tetapi tidak
secara sistematik. Dua pertanyaan etika politik di atas baru bisa muncul di ambang
zaman modern, dalam rangka pemikiran zaman pencerahan, karena pencerahan tidak
lagi menerima tradisi/otoritas/agama, melainkan menentukan sendiri bentuk
kenegaraan menurut ratio/nalar, secara etis. Karena itu, sejak abad ke-17
filsafat mengembangkan pokok-pokok etika politik seperti:
a. Perpisahan antara kekuasaan gereja dan
kekuasaan Negara (John Locke)
b. Kebebasan berpikir dan beragama (Locke)
c. Pembagian kekuasaan (Locke, Montesquie)
d. Kedaulatan rakyat (Rousseau)
e. Negara hukum demokratis/republican
(Kant)
f. Hak-hak asasi manusia (Locke, dsb)
g. Keadilan sosial
C.
DIMENSI POLITIK KEHIDUPAN MANUSIA
Dalam
Kehidupan manusia secara alamiah, jaminan atas kebebasan manusia baik sebagai
individu maupun makhluk sosial sulit untuk dapat dilaksanakan, karena
terjadinya perbenturan kepentingan di antara mereka sehingga terdapat suatu
kemungkinan terjadinya anarkisme dalam masyarakat. Dalam hubungan inilah
manusia memerlukan suatu masyarakat hukum yang mampu menjamin hak-haknya, dan
masyarakat itulah yang disebut negara.
Oleh karena
itu berdasarkan sifat kodrat manusia sebagai makhluk individu dan makhluk
social, dimensi politis mencakup lingkaran kelembagaan hukum dan negara,
system-sistem nilai serta ideologi yang memberikan legitimasi kepadanya.
Dalam
hubungan dengan sifat kodrat manusia sebagai makhluk individu dan makhuk
sosial, dimensi politis manusia senantiasa berkaitan dengan kehidupan negara
dan hukum, sehingga senantiasa berkaitan dengan kehidupan masyarakat secara
keseluruhan.
Oleh karena
itu pendekatan etika politik senantiasa berkaitan dengan sikap-sikap moral
dalam hubungannya dengan kehidupan masyarakat secara keseluruhan. Sebuah
keputusan bersifat politis manakala diambil dengan memperhatikan kepentingan
masyarakat sebagai suatu keseluruhan.
Dengan
demikian dimensi politis manusia dapat ditentukan sebagai suatu kesadaran
manusia akan dirinya sendiri sebagi anggota masyarakat sebagai suatu
keseluruhan yang menentukan kerangka kehidupannya dan ditentukan kembali oleh
tindakan-tindakannya.
Dimensi
Politik Manusia Manusia sebagai makhluk Individu dan makhluk sosial. Berbagai
paham Antropologi filsafat memandang hakikat sifat kodrat manusia dari kacamata
yang berbeda. Paham individualisme yang merupakan cikal bakal paham liberalisme
memandang manusia sebagai makhluk individu yang bebas.
Konsekuensinya
dalam setiap kehidupan masyarakat, bangsa maupun negara. Dasar ontologis ini
merupakan dasar moral politik negara. Sedangkan paham kolektivisme yang
merupakan cikal bakal sosialisme dan komunisme memandang manusia sebagai
makhluk sosial saja.
Dimensi
Politik kehidupan Manusia Dalam kehidupan manusia jaminan atas kebebasan
manusia baik sebagai makhluk individu maupun sosial sulit untuk dilaksanakan,
karena terjadinya benturan kepentingan diantara mereka sehingga terdapat suatu
kemungkinan terjadinya anaarkisme dalam masyarakat.
Dalam
hubungan inilah manusia memerlukan suatu masyarakat hukum yang mampu menjamin
hak-haknya, dan masyarakat itulah yang disebut sebagai Negara Pengertian
dimensi politis manusia ini memiliki dua segi fundamental yaitu Pengertian dan
kehendak untuk bertindak (inilah yang senantiasa berhadapan dengan tindakan
moral manusia).
Manusia
mengerti dan memahami akan suatu kejadian atau akibat dari kejadian tertentu,
akan tetapi hal itu dapat dihindarkan karena kesadaran moral akan tanggung
jawabnya terhadap orang lain. Namun sebalikny jika manusia tidak bermoral maka
ia tidak akan perduli dengan orang lain.
D.
MANUSIA SEBAGAI MAKLHUK INDIVIDU
DAN SOSIAL
Berdasarkan
fakta dalam kehidupan sehari-hari, manusia tidak dapat mungkin memenuhi segala
kebutuhannya, jikalau mendasarkan pada suatu anggapan bahwa sifat kodrat
manusia hanya bersifat individu atau sosial saja. Dalam kapasitas moral
kebebasan manusia akan menentukan apa yang harus dilakukannya dan apa yang
tidak harus dilakukannya.
Konsekuensinya
ia harus mengambi sikap terhadap alam dan masyarakat sekelilingnya, ia dapat
menyesuaikan diri dengan harapan orang lain akan tetapi terdapat suatu
kemungkinan untuk melawan mereka.
Dimensi
politis manusia senantiasa berkaitan dengan kehidupan negara dan hukum,
sehingga senantiasa berkaitan dengan kehidupan masyarakat secara keseluruhan. Dimensi
ini memiliki dua segi fundamental yaitu pengertian dan kehendak untuk
bertindak. Sehingga dua segi fundamental itu dapat diamati dalam setiap aspek
kehidupan manusia. Dua aspek ini yang senantiasa berhadapan dengan tindakan
moral manusia, sehingga manusia mengerti dan memahami akan suatu kejadian atau
akibat yang ditimbulkan karena
tindakanya, akan tetapi hal ini dapat dihindarkan karena kesadaran moral akan
tanggung jawabnya terhadap manusia lain dan masyarakat. Apabila pada tindakan
moralitas kehidupan manusia tidak dapat dipenuhi oleh manusia dalam menghadapai
hak orang lain dalam masyarakat, maka harus dilakukan suatu pembatasan secara
normatif.
Lembaga
penata normatif masyarakat adalah hukum. Dalam suatu kehidupan masyarakat
hukumlah yang memberitahukan kepada semua anggota masyarakat bagaimana mereka
harus bertindak. Hukum hanya bersifat normatif dan tidak secara efektif dan
otomatis menjamin agar setiap anggota masyarakat taat kepada norma-normanya. Oleh
karena itu yang secara efektif dapat menentukan kekuasaan masyarakat hanyalah
yang mempunyai kekuasaan untuk memaksakan kehendaknya, dan lemabaga itu adalah
negara.
Penataan
efektif adalah penataan de facto, yaitu penatan yang berdasarkan
kenyataan menentukan kelakuan masyarakat. Namun perlu dipahami bahwa negara
yang memiliki kekuasaan itu adalah sebagai perwujudan sifat kodrat manusia
sebagai individu dan makhluk sosial. Jadi lemabaga negara yang memiliki
kekuasaan adalah lembaga negara sebagai kehendak untuk hidup bersama ( Suseno
:1987 :21).
Manusia
adalah bebas sejauh ia sendiri mampu mengembangkan pikirannya dalam hubungan
dengan tujuan-tujuan dan sarana-sarana kehidupannyadan sejauh ia dapat mencoba
untuk bertindak sesuai dengannya. Dengan kebebasannya manusia dapat melihat
ruang gerak dengan berbagai kemungkinan
untuk bertindak, sehingga secara moral senantiasa berkaitan dengan orang lain.
Oleh karena
itu bagaimanapun juga ia harus memutuskan sendiri apa yang layak atau tidak
layak dilakukannya secara moral. Ia dapat memperhitungkan tindakannya serta
bertanggung jawab atas tindakan-tindakan tersebut.
E.
NILAI-NILAI PANCASILA SEBAGAI
SUMBER ETIKA POLITIK
Sebagai
dasar filsafat negara Pancasila tidak
hanya merupakan sumber derivasi peraturan perundang-undangan, melainkan juga
merupakan sumber moralitas terutama dalam hubungannya dengan legitimasi
kekuasaan, hukum serta berbagai kebijakan dalam pelaksanaan dan penyelenggaraan
negara. Sila pertama ‘Ketuhanan Yang
Maha Esa’ serta sila kedua ‘Kemanusiaan yang Adil dan Beradab’ adalah merupakan
sumber nilai-nilai moral bagi kehidupan kebangsaan dan kenegaraan.
Negara
Indonesia yang berdasarkan sila I ‘Ketuhanan Yang Maha Esa’ bukanlah negara
‘Teokrasi’ yang mendasarkan kekuasaan negara dan penyelenggaraan negara pada
legitimasi religius. Kekuasaan kepala negara tidak bersifat mutlak berdasarkan
legitimasi religius, melainkan berdasarkan legitimasi hukum serta legitimasi
demokrasi. Oleh karena itu asas sila ‘Ketuhanan Yang Maha Esa’ lebih berkaitan
dengan legitimasi moral. Hal inilah yang membedakan negara yang Berketuhanan
Yang Maha Esa dengan negara teokrasi. Walaupun dalam negara Indonesia tidak
mendasarkan pada legitimasi religius, namun secara moralitas kehidupan negara
harus sesuai dengan nilai-nilai yang berasal dari Tuhan terutama hukum serta
moral dalam kehidupan negara.
Selain sila
I, sila II ‘Kemanusiaan yang Adil dan Beradab’ juga merupakan sumber
nilai-nilai moralitas dalam kehidupan negara. Negara pada prinsipnya adalah
merupakan persekutuan hidup manusia sebagai makhluk Tuhan Yang Maha Esa. Bangsa
Indonesia sebagai bagian dari umat manusia cita-cita serta prinsip-prinsip
hidup demi kesejahteraan bersama (sila III). Oleh karena itu manusia pada
hakikatnya merupakan asas yang bersifat fundamental dalam kehidupan negara.
Manusia adalah merupakan dasar kehidupan serta pelaksanaan dan penyelenggaraan
negara. Oleh karena itu asas-asas kemanusiaan adalah bersifat mutlak dalam
kehidupan negara dan hukum. Dalam kehidupan negara kemanusiaan harus
mendapatkan jaminan hukum, maka hal inilah yang diistilahkan dengan jaminan
atas hak-hak dasar (asasi) manusia. Selain itu asas kemanusiaan juga harus
merupakan prinsip dasar moralitas dalam pelaksanaan dan penyelenggaraan negara.
Dalam
pelaksanaan dan penyelenggaraan negara, etika politik menuntut agar kekuasaan
dalam negara dijalankan sesuai dengan (1) asas legalitas (legitimasi hukum),
yaitu dijalankan sesuai dengan hukum yang berlaku, (2) disahkan dan dijalankan
secara demokratis (legatimasi demokratis), dan (3) dilaksanakan berdasarkan
prinsip-prinsip moral atau tidak bertentangan dengannya (legitimasi moral)
(lihat Suseno,1987:115). Pancasila sebagai suatu sistem filsafat memiliki tiga
dasar tersebut. Dalam pelaksanaan dan penyelenggaraan negara, baik menyangkut
kekuasaan, kebijaksanaan yang menyangkut publik, pembagian serta kewenangan
harus berdasarkan legitimasi moral religius (sila I) serta moral kemanusiaan
(sila II). Hal ini ditegaskan oleh Hatta tatkala mendirikan negara, bahwa
negara harus berdasarkan moral Ketuhanan dan moral kemanusiaan agar tidak
terjerumus ke dalam negara kekuasaan.
Selain itu
dalam pelaksanaan dan penyelenggaraan negara harus berdasarkan legitimasi hukum
yaitu prinsip ‘legalitas’. Negara Indonesia adalah negara hukum, oleh karena
itu ‘keadilan’ dalam hidup bersama (keadilan sosial) sebagaimana terkandung
dalam sila V, adalah merupakan tujuan dalam kehidupan negara. Oleh karena itu
dalam pelaksanaan dan penyelenggaraan negara, segala kebijakan, kekuasaan,
kewenangan serta pembagian senantiasa harus berdasarkan atas hukum yang
berlaku. Pelanggaraan atas prinsip-prinsip keadilan dalam kehidupan kenegaraan
akan menimbulkan ketidakseimbangan dalam kehidupan negara.
Negara
adalah berasal dari rakyat dan segala kebijaksanaan dan kekuasaan yang
dilakukan senantiasa untuk rakyat (sila IV). Oleh karena itu rakyat adalah
merupakan asal mula kekuasaan negara. Oleh karena itu dalam pelaksanaan dan
penyelenggaraan negara segala kebijaksanaan , kekuasaan serta kewenangan harus
dikembalikan kepada rakyat sebagai pendukung pokok negara. Maka dalam
pelaksanaan politik praktis hal-hal yang
menyangkut kekuasaan eksekutif, legislatif serta yudikatif, konsep pengambilan
keputusan, pengawasan serta partisipasi harus berdasarkan legimitasi dari
rakyat, atau dengan lain perkataan harus memiliki ‘legimitasi demokratis’.
Prinsip-prinsip
dasar etika politik itu dalam realisasi praktis dalam kehidupan kenegaraan
senantiasa dilaksanakan secara korelatif diantara ketiganya. Kebijaksanaan
serta keputusan yang diambil dalam pelaksanaan kenegaraan baik menyangkut
politik dalam negeri maupun luar negeri, ekonomi baik nasional maupun global,
yang menyangkut rakyat, dan lainnya selain berdasarkan hukum yang berlaku
(legimitasi hukum), harus mendapat legitimasi rakyat (legitimasi demokratis)
dan juga harus berdasarkan prinsip-prinsip moralitas (legitimasi moral).
Misalnya kebijaksanaan harga BBM, Tarif dasar Listrik, Taris Telepon,
kebijaksanaan politik dalam maupun luar negeri harus didasarkan atas tiga
prinsip-prinsip tersebut.
Etika
politik ini juga harus direalisasikan oleh setiap individu yang ikut terlibat
secara kongkrit dalam pelaksanaan pemerintahan negara. Para pejabat eksekutif,
anggota legislatif, maupun yudikatif, para pejabat negara, anggota DPR maupun
MPR aparat pelaksana dang penegak hukum, harus menyadari bahwa selain
legitimasi hukum dan legitimasi demokratis juga harus berdasar pada legitimasi
moral. Misalnya suatu kebijaksanaan itu sesuai dengan hukum belum tentu sesuai
dengan moral. Misalnya gaji para Pejabat dan anggota DPR, MPR itu sesuai dengan
hukum, namun mengingat kondisi rakyat yang sangat menderita belum tentu layak
secara moral (legitimasi moral).
Baca juga artikel yang lain:
- Ulumul Hadist (Ilmu-ilmu Hadist)
- Pengertian Bid'ah
- Konsep Manusia Menurut Aliran Humanisme dan Islam
- Konsep Manusia dalam Prespektif Aliran Psikoanalisa dan Behaviorisme
- Psikologi Perkembangan Pada Masa Anak-Anak
- Keterkaitan Ilmu Pengetahuan dan Agama
- Studi Al-Qur'an
- Studi Fikih (Hukum Islam)
- Urgensi Pengantar Studi Islam
- Etika Politik dan Nilai Pancasila Sebagai Sumber Politik