HOME

08 Agustus, 2023

ADAB SAAT KELAHIRAN SORANG ANAK

 


BERIKUT BEBERAPA ADAB SAAT KELAHIRAN SORANG ANAK MENURUT ISLAM:

·         Memuji Allah Taála dan bersyukur kepada-Nya atas nikmat tersebut.

·         Orang tua harus bergembira dengan lahirnya bayi tersebut.

·         Tidak boleh marah dan pesimis apabila bayi yang dilahirkan ternyata perempuan, karena hal tersebut bagian dari sifat-sifat jahiliyah yang disebutkan oleh Allah dalam firman-Nya:

َوإِذَا بُشِّـرَ أَحَدُهُمْ باِْلأُنْثَى ظَلَّ وَجْهُـهُ مُسْوَدًّا وَهُـوَ كَظِيْمٌ يَتَورَىمِنَ اْلقَـوْمِ مِنْ سُـوْءِ مَا بُشِّرَ بِهِ  أَيُمْسِكُهُ عَلىَ هُوْنٍ أَمْ يَدُسُّهُ فِي التُّرَابِ أَلاَ سَاءَ مَا يَحْكُمُوْنَ

 Dan apabila seorang dari mereka diberi kabar dengan (kelahiran) anak perempuan, hitamlah (merah padamlah) mukanya dan dia sangat marah. Ia menyembunyikan dirinya dari orang banyak, disebabkan buruknya berita yang disampaikan kepadanya. Apakah dia akan memeliharanya dengan menanggung kehinaan ataukah akan menguburkannya ke dalam tanah (hidup-hidup)? Ketahuilah, alangkah buruknya apa yang mereka tetapkan itu”.[1] Sedangkan anak adalah rizki yang dikaruniakan Allah kepada hamba-Nya. Allah Subhanhu Wa Ta'ala Berfirman:يَهَبُ لِمَنْ يَشَاءُ إِنـثًا وَيَهَبُ لِمَنْ يَشَاءُ اُّلذُكُوْرَ “Dia memberikan anak-anak perempuan kepada siapa yang Dia kehendakidan memberikan anak-anak laki-laki kepada siapa yang Dia kehendaki”.[2]

·         Para ulama menyebutkan, di antara sunnah-sunnah yang mesti dilakukan terhadap bayi yang baru dilahirkan adalah mengumandangkan adzan pada telinga kanannya, sehingga yang pertama kali didengarnya di dunia ini adalah Kalimat Tauhid. Akan tetapi pada dalil-dalil yang menunjang hal tersebut terdapat kelemahan, sehingga menjadikan adzan pada telinga bayi tidak dianjurkan, karena hukum syari’ah harus didasari oleh dalil-dalil yang shahih dan akhbar yang benar.[3] Sedangkan mengumandangkan iqomah pada telinga kiri bayi, tidak ada ketetapannya dari agama.

·         Tahnik dan mendo'akannya dengan keberkahan: Diriwayatkan dari Abu Musa Al Asy’ari radhiallahu anhu ia berkata: “Anakku telah lahir, lalu aku membawanya kepada Nabi shallallahu alaihi wasallam shallallahu alaihi wasallam, kemudian beliau menamainya Ibrahim dan men-tahnik-nya serta mendo'akannya dengan keberkahan, lalu menyerahkannya kepadaku.”[4] Tahnik adalah mengunyah makanan yang manis seperti kurma atau madu kemudian memasukkannya ke dalam mulut bayi yang baru dilahirkan.

·         Diantara sunnah-sunnah yang telah ditetapkan tentang hukum-hukum bayi yang baru dilahirkan adalah aqiqah pada hari ketujuh sejak kelahirannya, yaitu menyembelih dua ekor kambing bagi bayi laki-laki dan satu ekor kambing bagi bayi perempuan. Disunnahkan pula mencukur rambut bayi pada hari ketujuh sejak kelahirannya. Dalam sebuah hadis Nabi shallallahu alaihi wasallam shallallahu alaihi wasallam bersabda:

كُلُّ غُلاَمٍ مُرْتَهِنٌ بِعَقِيْقَتِهِ تُذْبَحُ عَنْهُ يَوْمَ سَابِعِهِ وَيُحْلَقُ رَأْسُهُ وَيُسَمَّى

 Setiap anak tergadaikan dengan ‘aqiqah-nya yang disembelihkan baginya pada hari ke tujuh sejak kelahirannya, dicukur rambutnya dan diberi nama.”[5] Jika bayi tersebut meninggal dunia sebelum hari ketujuh, maka tidak ada aqiqah baginya.       

·         Mencari nama yang baik: Sesungguhnya dianjurkan memberi nama Abdullah atau Abdurrahman, Nabi shallallahu alaihi wasallam bersabda:

إِنَّ أَحَبَّ أَسْمَائِكُمْ إِلىَ اللهِ عَبْدُ اللهِ وَعَبْدُ الرَّحْمنِ

·          “Sesungguhnya nama kalian yang paling dicintai Allah adalah Abdullah dan Abdurrahman”.[6] Memberi nama pada bayi boleh dilakukan pada hari pertama kelahiran atau hari ketujuh. Pemberian nama merupakan hak ayah (bayi), akan tetapi dianjurkan bermusyawarah kepada ibu (bayi).[7]

·         Mengkhitan bayi.  

·         Mencukur rambut bayi dan bersedekah seberat timbangan rambutnya[8]. Sebagian ulama berpendapat bahwa hadis ini tidak shahih, begitu juga halnya meminyaki rambut bayi dengan minya za’faran setelah dicukur.

·         Ucapan selamat kepada ayah bayi, diriwayatkan dari Al Hasan Al Basri rahimahullaahu Taála, bahwa ia pernah mengatakan:

بَارَكَ اللهُ لَكَ فِي اْلمَوْهُوْبِ لَكَ وَشَكَرْتَ الْوَاهِبَ وَبَلَغَ أَشُدَّهُ وَرُزِقْتَ بِرَّهُ

(Semoga Allah memberkahimu atas bayimu, dan kamu bersyukur kepada Allah Yang Maha Memberi, dan ketika ia dewasa, berbakti kepadamu).

 

BACA ARTIKEL LAINNYA YANG BERKAITAN:


[1] QS. An Nahl: 58-59

[2] QS. Asy Syuura: 49

[3] Hadis-hadis yang ada tentang adzan pada telinga bayi yang baru dilahirkan adalah: yang diriwayatkan oleh Abu Dawud dan Tirmidzi dari jalan Áshim bin Ubaidillah, dari Ubaidillah bin Abi Rafi’dari ayahnya berkata: (Aku telah melihat Nabi shallallahu alaihi wasallam mengumandangkan adzan shalat pada telinga Hasan bin Ali ketika Fatimah melahirkannya.Di dalamnya terdapat Áshim bin Ubaidillah yang dilemahkan oleh para ahli hadis.

Sedangkan hadis Ibnu Abbas sesungguhnya Nabi shallallahu alaihi wasallam (mengumandangkan adzan pada telinga Hasan bin Ali pada hari dilahirkannya, maka beliau mengumandangkan adzan pada telinga kanannya dan mengumandangkan iqomah pada telinga kirinya) didalamnya terdapat (Al Hasan bin Amru), dia adalah seorang pendusta, lihat Al Silsilah Adh Dhaíifah (1/491)  

[4] HR. Bukhari no. (5150) dan Muslim no. (2145)

[5] HR. Imam Ahmad dan Ahlus Sunan

[6] HR. Muslim no. (2132) Sedangkan hadis yang meriwayatkan (Sesungguhnya nama yang paling baik adalah yang memuji dan menghamba), maka Imam Muhammad bin Ahmad Ash Sha’di mengatakan dalam kitab (An Nawafih Al Athirah) no. (708): Tidak ada dasarnya. Syeikh Ibnu al Utsaimin rahimahullaah berkata: Tidak ada dasarnya dan bukan hadis yang diriwayatkan dari Nabi shallallahu alaihi wasallam shallallahu alaihi wasallam (Syarh Riyadh Ash Sholihin 1/203) 

[7] Dari Fatwa Syaikh AbdulAziz bin Baz rahimahullaahu taála.

[8] Berdasarkan hadis Abu Rafi’ radhiallahu anhu ia berkata: Ketika Fatimah melahirkan Hasan ia berkata: Tidakkah aku menyembelih aqiqah untuk anakku? Ia berkata: (Tidak, akan tetapi cukurlah rambutnya, dan bersedekahlah dengan perak seberat timbangan rambutnya kepada orang-orang miskin atau kaum aufadh). Aufadh adalah orang-orang yang sangat membutuhkan di antara sahabat Rasulullah shallallahu alaihi wasallam yang berada di masjid atau di shuffah. Abu Nadhir telah berkata: Dengan emas kepada kaum aufadh, yaitu Ahlu Ash shuffah atau kepada orang-orang miskin. Lalu ia melakukannya, ia berkata: Ketika aku melahirkan Hasan aku melakukan hal itu. Musnad Imam Ahmad (24662), dan larangannya terhadap aqiqah, sepertinya ia ingin menanggung sendiri aqiqah keduanya (As Sunan Al Kubra 9/304)  

ADAB KEPADA PEMBANTU

 


BERIKUT BEBERAPA ADAB KEPADA PEMBANTU MENURUT ISLAM:

·         Berbuat baik dan toleransi terhadapnya.

·         Diriwayatkan dari Abu Umamah radhiallahu anhu, ia berkata: Nabi shallallahu alaihi wasallam datang bersama dua orang pelayan, maka beliau memberikan seorang pelayan kepada Ali radhiallahu anhu dan bersabda: “Janganlah engkau memukulnya, maka sesungguhnya aku melarang (seseorang) memukul orang yang selalu mendirikan shalat, dan sungguh aku melihat dia mendirikan shalat sejak kami datang”. Dan beliau memberikan seorang lagi kepada Abu Dzar serya bersabda: “Berpesan baiklah kepadanya”. Maka ia pun memerdekakannya. Maka beliau bersabda: “Apa yang kamu lakukan?” Ia menjawab: "Engkau telah memerintahkanku berpesan baik kepadanya, maka aku memerdekakannya”.[1]

·         Diriwayatkan dari Anas radhiallahu anhu, ia berkata: Rasulullah shallallahu alaihi wasallam datang tanpa seorang pelayan, maka Abu Thalhah memegang tanganku mengajakku pergi sehingga sampai di hadapan Nabi shallallahu alaihi wasallam, ia berkata: Wahai Nabiyallah, Sesungguhnya Anas adalah seorang anak yang pandai dan cerdas, maka ia akan melayani engkau. Maka Anas berkata: Maka aku melayani beliau di perjalanan dan di rumah sejak kedatangannya di Madinah sampai Rasulullah shallallahu alaihi wasallam wafat, beliau tidak pernah mengatakan kepadaku tentang sesuatu yang aku kerjakan, kenapa kamu kerjakan hal ini begini, dan tidak juga mengatakan terhadap sesuatu yang tidak aku kerjakan, tidakkah kamu kerjakan ini begini?[2]

·         Tidak memukulnya: Diriwayatkan dari Abu Mas'ud radhillahu anhu ia berkata: Aku pernah memukul pelayanku, lalu aku mendengar suara di belakangku, “Ketahuilah wahai Abu Masúd, Allah lebih mampu (berbuat seperti ini) terhadapmu daripada dirimu terhadapnya”. Lalu aku menengok kebelakang, ternyata dia adalah Rasulullah shallallahu alaihi wasallam. Aku berkata: Wahai Rasulullah, Dia telah merdeka, karena mengharap wajah Allah. Maka beliau bersabda: “Apabila engkau tidak melaksanakannya, niscaya engau akan dibakar oleh api neraka”. Atau “akan dihanguskan mukamu oleh api neraka”.[3]

·         Teliti terhadap pelayan untuk menghindari buruk sangka. Diriwayatkan dari Salman ia berkata: Sesungguhnya aku menghitung Al-Uroq, yaitu tulang yang telah dimakan dagingnya karena takut jika terjadi prasangka yang tidak baik terhadap pelayan.[4]

·         Jangan mengatakan, semoga Allah memburukkan wajahnya, sebagaimana diriwayatkan oleh Abu Hurairah radhiallahu anhu sesungguhnya Rasulullah shallallahu alaihi wasallam bersabda: “Janganlah kalian mengatakan, semoga Allah memburukkan wajahnya”.[5]

·         Menghindari wajah saat memukul, berdasarkan sabda Nabi shallallahu alaihi wasallam:  إِذَا ضَـرَب أَحَـدُكُمْ خَاِدمَـهُ فَلْيَتَجَنَّبِ اْلوَجْـهَ “Apabila salah seorang di antara kalian memukul pelayan/hamba sahayanya maka hindarilah wajah”.[6]

·         Apabila seseorang menampar hamba sahayanya, hendaklah ia memerdekakannya. Berdasarkan riwayat dari Hilal bin Yasaf, ia berkata: "Tatkala kami menjual perabot rumah di rumah Suwaid bin Muqrin, tiba-tiba keluarlah seorang hamba sahaya perempuan lalu berkata kepada seorang laki-laki, kemudian laki-laki itu menamparnya, maka Suwaid bin Muqrin berkata: apakah kamu menampar wajahnya? Sesungguhnya aku melihat diriku orang yang ketujuh dari tujuh orang, sedangkan kami tidak memiliki kecuali seorang hamba sahaya saja, lalu sebagian kami menamparnya, maka Nabi shallallahu alaihi wasallam memerintahkannya untuk memerdekakannya”.[7]

·         Al Bukhari telah mengatakan dalam Al Adab Al Mufrad, bab: Uksuhum Mima Talbasun (Pakaikanlah mereka dari apa yang kalian pakai), Diriwayatkan dari Jabir bin Abdillah radhiallhu anhu ia berkata: Nabi shallallahu alaihi wasallam telah berwasiat agar berbuat baik terhadap para hamba sahaya seraya bersabda:

أَطْعِمُوْهُمْ مِمَّا تَأْكُلُوْنَ وَأَلْبِسُوْهُمْ مِنْ لَبُوْسِكُمْ وَلاَ تُعَذِّبُوْا خَلْقَ اللهِ عَزَّ وَجَلَّ

 “Beri makanlah mereka dari apa yang kalian makan dan pakaikanlah mereka dari pakaian kalian serta janganlah kalian menyiksa ciptaan Allah Ázza wa Jalla.[8]

·         Tidak menghinanya.

·         Tidak membebankan pelayan atau hamba sahaya dengan pekerjaan yang tidak mampu dipikulnya, Nabi shallallahu alaihi wasallam telah bersabda:

لِلْمَمْلُوْكِ طَعَامُهُ وَكِسْوَتُهُ وَلاَ يُكَلَّفُ إِلاَّ مَا يَطِيْقُ فَإِنْ كَلَّفْتُمُوْهُمْ فَأَعِيْنُوْهُمْ

 “Bagi para hamba sahaya hak makanan dan pakaian serta tidak dibebani dengan pekerjaan kecuali yang mampu dipikulnya, apabila kalian membenani mereka (suatu pekerjaan) maka bantulah mereka”.[9]

·         Memberi nafkah kepada pelayan adalah shodaqoh. Nabi shallallahu alaihi wasallam bersabda:

مَا أَطْعَمْتَ نَفْسَكَ فَهُـوَ صَدَقَةٌ وَمَا أَطْعَمْتَ وَلَدَكَ وَزَوْجَتَكَ وَخَادَمَكَ فَهُـوَ صَدَقَةٌ

 “Makanan yang kamu berikan untuk dirimu adalah shodaqoh, dan makanan yang kamu berikan untuk anak, isteri dan pelayanmu adalah shodaqoh”.[10]

·         Apabila ia tidak suka makan bersama hamba sahayanya, maka hendaklah memberi makanan yang ada di tangannya, berdasarkan sabda Nabi shallallahu alaihi wasallam:

فَإَنْ كَـرِهَ أَحَـدُكُمْ أَنْ يَأْكُلَ مَعَهُ الْخَـاِدمُ- فَلْيَطْعَمْهُ أُكْلَةً فِي يَدِهِ

 “Maka apabila salah satu di antara kalian tidak suka makan bersamanya -pelayannya- hendaklah ia memberi makanan yang ada di tangannya”.[11]

·         Al Bukhari rahimahullaahu taála telah mengkhususkan dalam Kitab Al Adab Al Mufrad satu bab: Hal Yujlisu Khadimahu Ma'ahu Iza Akala (Apakah seorang pelayan duduk bersamanya pada saat makan?) Diriwayatkan dari Abu Hurairah radhillahu anhu dari Nabi shallallahu alaihi wasallam beliau bersabda:

إِذِا جِاءِ أِحَـدُكُمْ  خَادِمُهُ بِطَعَامِهِ فَلْيُجْلِسْهُ فَإِنْ لَمْ يَقْبَلْ فَلْيُنَاوِلْهُ مِنْهُ

 “Apabila datang kepada salah satu di antara kalian seorang pelayan membawa makanannya, maka hendaklah ia mengajak duduk (makan) bersamanya, jika ia menolak, maka ambilkan dari makanan itu untuknya”.[12]

·         Jika seorang hamba sahaya menasehati tuannya, maka baginya pahala sebanyak dua kali lipat, berdasarkan sabda Nabi shallallahu alaihi wasallam:

إِنَّ الْعَبْدَ إِذَا نَصَـحَ لِسَيِّدِهِ وَأَحْسَنَ عِبَادَةَ رَبِّهِ فَلَهُ أَجْـرُهُ َمَـرَّتَيْنِ

 “Sesungguhnya jika seorang hamba sahaya menasehati tuannya dan menyembah Tuhannya dengan baik, maka baginya pahala sebanyak dua kali lipat”.[13]

 

BACA ARTIKEL LAINNYA YANG BERKAITAN:


[1] Dihasankan oleh Albani dalam Shahih Al Adab Al Mufrod.

[2] Shahih Al Adab (122)

[3] Disahihkan oleh Albani dalam Al Adab Al Mufrad (127)

[4] Sanadnya disahihkan oleh Albani dalam Al Adab Al Mufrad (125)

[5] Albani menghasankannya dalam Shahih Al Adab Al Mufrad (128)

[6] Disahihkan oleh Albani dalam Al Adab Al Mufrad (130)

[7] Disahihkan oleh Albani dalam Al Adab Al Mufrad (132)

[8] Disahihkan oleh Albani dalam Al Adab Al Mufrad (139)

[9] Shahih Al Jami’(5192)

[10] Disahihkan oleh Albani dalam Shahih Al Adab Al Mufrad (143)

[11] Disahihkan oleh Albani dalam Shahih Al Adab Al Mufrad (146)

[12] Shahih Al Adab Al Mufrad (147), Al Silsilah Al Shahihah (1297)

[13] Disahihkan oleh Albani dalam Shahih Al Adab Al Mufrad (149)

ADAB MEMPERGAULI ISTRI

 


BERIKUT BEBERAPA ADAB MEMPERGAULI ISTRI MENURUT ISLAM:

·         Menganjurkan pernikahan, Rasulullah shallallahu alaihi wasallam menganjurkan pernikahan dengan sabadanya: “Wahai para pemuda, barangsiapa yang mampu menikah diantara kalian, maka menikahlah, sesungguhnya menikah itu lebih dapat menundukkan pandangan dan menjaga kemaluan, dan barangsiapa yang belum mampu, maka hendaklah ia berpuasa, maka sesungguhnya puasa itu adalah tameng”.[1]

·         Bergaul terhadap istri dengan cara yang baik.

·         Lemah lembut dan berpesan baik terhadap wanita, Nabi shallallahu alaihi wasallam telah bersabda: “Berpesanbaiklah terhadap wanita, maka sesungguhnya wanita tercipta dari tulang rusuk, dan sesuatu yang paling bengkok pada tulang rusuk adalah atasnya, jika engkau paksa meluruskannya ia akan patah, dan jika engau diamkan ia akan tetap bengkok, maka berpesanbaiklah terhadap wanita”.[2] 

·         Bermain dan bersenda gurau dengan isteri. Ummul Mu’minin Aisyah radhiallahu anha telah berkata pada saat beliau bersama Nabi shallallahu alaihi wasallam dalam suatu perjalanan: Äku berlomba lari dengan Nabi shallallahu alaihi wasallam maka aku mengalahkannya, maka tatkala diriku menjadi gemuk, aku berlomba lari dengan Nabi shallallahu alaihi wasallam dan beliau mengalahkanku. Maka beliau bersabda: “Kekalahanmu ini adalah balasan atas kekalahanku yang dulu”.[3] Dan sabda beliau kepada Aisyah radhiallahu anha: “Sesungguhnya aku mengetahui jika engkau ridha atau marah kepadaku. Manakala engkau ridha kepadaku, maka sesungguhnya engkau mengatakan: “Tidak, demi Rab Muhammad”. Dan jika engkau “sedang marah, maka engkau akan mengatakan: “Tidak, demi Rab Ibrahim”.[4]

·         Sabar menghadapi sikap isteri dan toleransi terhadap kekhilafannya.

·         Menggauli isteri sebagian dari hak-hak yang wajib dipenuhi oleh seorang suami.

·         Beberapa adab jima’/bersenggama:

o   Membaca basmalah sebelum bersenggama berdasarkan sabda Nabi shallallahu alaihi wasallam “Jika salah seorang di antara mereka ingin mendatangi isterinya kemudian membaca:

بِسْمِ اللهِ جَنِّبْنَا الشَّيْطَانَ وَجَنِّبِ الشَّيْطَانَ مَا رَزَقْتَنَا

“Dengan menyebut nama Allah, ya Allah, jauhkanlah kami dari syaitan dan jauhkanlah syaitan dari apa yang engkau rizkikan kepada kami”Jika ditakdirkan bagi keduanya seorang anak, maka syaitan tidak dapat mencelakakannya”.[5] 

o   Memakai selimut pada saat bersenggama.

o   Berwudhu jika ingin mengguli isteri untuk kedua kalinya. Diriwayatkan dari Abu Said Al-Khudri radhiallahu anhu, ia berkata: Rasulullah shallallahu alaihi wasallam bersabda: “Jika salah seorang diantara kalian menggauli isterinya kemudian ingin menggauli untuk kedua kalinya, maka hendaklah ia berwudhu”.[6]

o   Haram bagi seseorang menceritakan apa yang terjadi pada saat bersenggama dengan isterinya. Rasulullah shallallahu alaihi wasallam bersabda: “Sesungguhnya diantara manusia yang paling buruk derajatnya di sisi Allah pada hari kiamat nanti adalah sesorang lelaki yang menggauli isterinya dan isterinya menggauli dirinya, lalu ia menyebarkan rahasianya”.[7]

·         Wajib berlaku adil terhadap para isteri.

·         Meletakkan tangan diatas kepala isteri dan membaca doa untuknya, berdasarkan sabda Nabi shallallahu alaihi wasallam “Äpabila salah seorang diantara kalian menikah, hendaklah membaca pada keningnya basmalah dan berdoa untuknya dengan keberkahan seraya membaca: “Ya Allah, sesungguhnya aku memohon kepada-Mu kebaikannya dan kebaikan tabiatnya dan aku berlindung kepada-Mu dari keburukannya dan keburuan tabiatnya”.[8]

 

BACA ARTIKEL LAINNYA YANG BERKAITAN:


[1] HR. Bukhari (5065) dan Muslim (2400)

[2] HR. Bukhari (3331) dan Muslim (1468)

[3] HR. Abu Dawud (2578)

[4] Shahih Al-jami’(2490) Diantara kebaikan cara Nabi shallallahu alaihi wasallam memperlakukan Aisyah radhiallhu anha. Bahwa beliau memberi kun-yah Ummu Abdillah, sedangkan ia tidak melahirkan anak. (HR. Abu Dawud/4970)

[5] HR. Bukhari (6388) dan Muslim (1434)

[6] HR. Muslim (308)

[7] HR. Muslim (1437)

[8] HR. Bukhari dalam bab adab malam pengantin.

ADAB BERBEDA PENDAPAT

 


BERIKUT BEBERAPA ADAB BERBEDA PENDAPAT MENURUT ISLAM;

·         Tidak mengedepankan akal daripada nash naqli dan kembali kepada Kitab dan Sunnah Nabi shallallahu alaihi wasallam.

·         Tidak menimbulkan rasa permusuhan dan kebencian serta keretakan yang mengakibatkan perpecahan.

·         Mendalami agama.

·         Mengambil pendapat yang benar setelah mengetahuinya dan tidak fanatik.

·         Mendengarkan argumen lawan bicara.

·         Menjunjung tinggi amanat ilmiah dan moralitas serta jauh dari emosi.

·         Ikhlas, mencari kebenaran, tidak dilandasi oleh hawa nafsu dan jauh dari sikap ingin terkenal serta mementingkan kepentingan pribadi.

·         Berprasangka baik terhadap lawan bicara, tidak menuduh buruk niat baiknya dan tidak menjelekkan kepribadiannya.    

·         Menghindari perselisihan sedapat mungkin.

·         Tidak terburu-buru menyalahkan orang lain kecuali setelah melalui penelitian yang mendalam dan pemikiran yang matang.

·         Lapang dada dalam menerima kritikan dan penilaian orang lain.

 BACA ARTIKEL LAINNYA YANG BERKAITAN:

Materi Akidah Akhlak Kelas VII Semester Genap BAB II : Iman Kepada Para Malaikat

  Materi Akidah Akhlak Kelas VII Semester Genap BAB II : Iman Kepada Para Malaikat dan Makhluk Ghaib PEMBAHASAN 1.        Malaikat Pengertia...