HOME

05 Maret, 2022

Definisi Hadis Shahih Dan Kriterianya

 

Shahih menurut lughat adalah lawan dari saqim, artinya sehat lawan sakit, haq lawan batil. Menurut ahli hadis, hadis sahih adalah hadis yang sanadnya bersambung, dikutip oleh orang yang adil lagi cermat dari orang yang sama, sampai berakhir pada Rasul Allah SAW, atau sahabat, atau tabi’in, bukan hadis yang shadh (kontroversi) dan terkena ‘illat yang menyebab kan cacat dalam penerimanya.[1]

Ulama hadis  hanya mengkaji Rasulullah  , dari posisi beliau sebagai imam  (Pemimpin) yang memberi petunjuk berdasarkan pemberitahuan Allah SWT, bahwa beliau adalah teladan dan panutan kita. Sehubungan itu mereka menukil segala hal yang berhubungan dengan diri beliau, meliputi perjalanan , akhlak, tabiat, khabar, ucapan, dan perbuatan beliau, baik yang menetapkan hukum shara’ ataupun tidak[2].

Dalam definisi lain, hadis sahih adalah

مَا نَقَلَهُ عَدْلٌ تَامُّ الضَّبْطِ مُتَصِلٌ السَّنَدِ غَيْرُ مُعَلَّلِ وَلَا شَاذٍ

Hadis yang di nukil (diriwayatkan) oleh rawi-rawi yang adil, sempurna ingatannya, sanad nya bersambung, tidak ber’illat , dan tidak janggal.[3]

Adapun menurut Abu Amr Ibn Al-Salah yang di maksud hadis sahih ialah

الحَدِيْثُ الصَّحِيْحُ هُوَ اْلمسْنِدُ الَّذِيْ يَتَّصِلُ إِسْنَادُهُ  بِنَقْلِ الْعَدْلِ الضَّابِطِ عَنِ الْعَدْلِ الضَّابِطِ إلَى مُنْتَهَاهُ وَلَا يَكُوْنُ شَاذًا وَلَا مُعَلَّلًا

Hadis sahih adalah musnad yang sanad nya muttasil melalui periwayatan orang yang adil lagi dabit sampai ujungnya, tidak shadh dan tidak mu’allal (terkena ilat).[4]

       Definisi Ibn Al-Salah ini kemudian di ringkas oleh imam Al-Nawawi sebagai berikut

هُوَ مَا اتَّصَلَ سَنَدُهُ بِالْعُدُوْلِ الضَّابِطُوْنَ مِنْ غَيْرِ شُذُوْذٍ وَلَا عِلَّةٍ

Hadis sahih adalah hadis yang muttasil sanad nya melalui (periwayatan) orang-orang yang adil lagi dabit tanpa shadh dan ‘illat.[5]

       Yang di maksud orang-orang adil lagi dabit adalah para perawi dalam sanad itu, yakni di riwayatkan oleh perawi yang adil lagi dabit (pula) dari awal sampai akhirnya.

       Hadis ahad yang telah di akui kesahihanya dengan yaqin oleh sebagian ulama’ ialah hadis-hadis Shahih al-Bukhari dan hadis-hadis Sahih al-Muslim[6]. Dari uraian singkat itu jelaslah bahwa hadis sahih harus memenuhi lima syarat :

a). Sanad Bersambung (Ittisal al-Sanad)

       Yang di maksud dengan sanad bersambung adalah tiap tiap periwayat dalam sanad hadis menerima riwayat hadis dari periwayat terdekat sebelumnya, keadaan itu berlangsung demikian sampai ahir sanad hadis itu, Persambungan sanad itu terjadi semenjak mukharrij hadith (penghimpun riwayat hadis dalam kitabnya) sampai pada periwayat pertama dari kalangan sahabat yang menerima hadis yang bersangkutan dari Nabi. Dengan kata lain, sanad hadis bersambung sejak sanad pertama (mukharrij hadith) sampai sanad terahir (kalangan sahabat) hingga Nabi Muhammad, atau persambungan itu terjadi mulai dari Nabi pada periwayat pertama (kalangan sahabat) sampai periwayat terahir (mukharrij hadith )[7]

       Dengan syarat ini, di kecualikan hadis munqoti’, mu’dhal, mu’allaq, mudallas, dan jenis-jenis lain yang tidak memenuhi kriteria muttasil ini[8].

       Untuk mengetahui bersambung atau tidaknya suatu sanad, biasanya ulama’ hadis menempuh tata kerja penelitian berikut :

1)                  Mencatat semua nama rawi dalam sanad yang di teliti.

2)                  Mempelajari sejarah hidup masing masing rawi

3)                  Meneliti kata kata yang menghubungkan antara para rawi yang terdekat dengan sanad.[9]

       Hadis yang sanad nya bersambung, di kalangan ulama hadis dinilai dengan sebutan yang beragam. Al-Khatib al-Baghdadi (w.463 H/1072 M) menamainya sebagai hadis musnad. Hadis musnad menurut Ibn ‘Abd al-Barr, adalah hadis yang di sandarkan kepada Nabi (sebagai hadis marfu’), sanad hadis musnad ada yang bersambung (muttasil) dan adapula yang terputus (munqati’). Pendapat ini menurut al-Sakhawi (w.902 H/1947 M), merupakan pendapat yang di ikuti oleh mayoritas ulama’ hadis. Dengan demikian, menurut kebanyakan ulama’ hadis, hadis musnad pasti marfu’ dan bersambung sanadnya, sedangkan hadis marfu’ belum tentu hadis musnad. Hadis marfu’ dapat di sebut sebagai hadis musnad bila seluruh rangkaian sanadnya bersambung, tiada yang terputus sejak awal hingga akhir.

       Berkaitan dengan ketersambungan sanad ini di kenal pula istilah hadis muttasil atau mawsul. Menurut Ibn al-Salah dan al-Nawawi, yang di maksud dengan hadis muttasil dan mawsul adalah yang brsambung sanadnya, baik persambungan itu sampai kepada Nabi maupun hanya sampai kepada sahabat Nabi saja. M.Syuhudi Ismail menyimpulkan bahwa hadis muttasil atau mawsul ada yang marfu’(di sandarkan pada Nabi), ada yang mawquf (di sandarkan pada sahabat), an ada pula yang maqtu’ (disandarkan pada tabi’in). Jika di bandingkan dengan hadis musnad maka dapat di nyatakan bahwa hadis musnad pasti muttasil atau mawsul, tetapi tidak semua hadis muttasil itu musnad.[10]

       Dengan kata lain, ketersambungan hadis muttasil atau mawsul tidak bisa di jadikan sebagai patokan penentuan kesahihan suatu hadis, berbeda dengan ketersambungan hadis musnad, karena hadis muttasil atau mawsul ada yang tersambung sampai Nabi, ada yang hanya tersambung pada sahabat saja bahkan ada pula yang sampai pada tab’in sehingga di balik ketersambungan sanad itu ada kemungkinan terdapat keterputusan informasi dari Nabi (pada hadis mawquf dan maqtu’). Berbeda dengan dengan hadis musnad yang di pastikan ketersambungan sanad nya sampai Nabi, sehingga dapat dijadikan patokan untuk kriteria sanad bersambung sebagaimana dijelaskan di atas.

       Untuk mengetahui bersambung atau tidaknya suatu sanad hadis, menurut M. Syuhudi Ismail, ulama biasanya menempuh tata kerja penelitian sebagai berikut:[11]

1)       Mencatat semua nama periwayat dalam sanad yang di teliti.

2)      Mempelajari sejarah hidup masing masing periwayat yang di lakukan :

(a)      Melalui kitab-kitab rijal al-hadith, misalnya kitab tahdhb al-Kamal karya al-Mizzi, tahdhb al-tahdhb karya Ibn Hajar al-‘Asqolani, dan kitab al-Kasyif oleh Muhammad Ibn Ahmad al-Dhahabi.

(b)      Hal itu di maksudkan untuk

(1)   Apakah setiap periwayat dalam sanad itu di kenal sebagai orang yang thiqah (adil dan dabit ), serta tidak suka melakukan tadlis (menyembunyikan cacat), yang di maksud adil adalah orang yang lurus agamanya, baik pekertinya dan bebas dari kefasihan, dan hal-hal yang menjatuhkan keperawianya. Sedang kan yang di maksud dengan dabit adalah orang yang benar-benar sadar ketika menerima hadis, paham ketika mendengarnya dan menghafalnya sejak menerima sampai menyampaikannya[12].

(2)   Apakah antara para periwayat dengan periwayat terdekat dalam sanad itu terdapat hubungan kesezamanan pada masa lampau dan hubungan guru murid dalam priwayatan hadis.

(c)    Meneliti kata kata  (adah al-tahammul wa ada’ al-hadith ) yang menghubungkan antara para periwayat dengan periwayat terdekat dalam sanad, yakni kata kata atau metode yang di pakai dalam sanad  berupa : haddathani, haddathana, akhbarani, akhbarana, sami’tu, ‘an, anna dan sebagai nya.

Antara masing rawi dengan rawi terdekat sebelumnya dalam sanad itu benar benar telah terjadi hubungan periwayatan hadis secara sah menurut al-tahammul wa ada’ al-hadith[13].

Melalui beberapa langkah di atas dapat di ketahui apakah sanad suatu hadis di nyatakan bersambung atau tidak. Ketersambungan sanad itu di ketahui apakah para periwayat di pastikan benar-benar meriwayatkan hadis dari periwayat terdekat sebelumnya yang di ketahui melalui usia mereka, terjadinya hubungan guru murid, atau melalui metode periwayatan yang mereka gunakan.

 

b) . Periwayat Bersifat ‘adil

            Para ulama berbeda pendapat tentang kriteria-kriteria periwayat hadis disebut ‘adil. Al-Hakim berpendapat bahwa seseorang disebut ‘adil apabila beraga islam, tidak berbuat bid’ah, dan tidak berbuat maksiat. Ibn al-Salah menetakan lima kriteria seorang periwayat di sebut ‘adil, yaitu beraga islam, baligh, berakal, memelihara muru’ah, dan tidak berbuat fasik. Pendapat serupa juga di sampaikan oleh al-Nawawi. Sementara itu Ibn Hajar al-Asqalani menyatakan bahwa sifat ‘adil dimiliki seorang periwayat hadis yang taqwa, memelihara muru’ah, tidak berbuat dosa besar misalnya syirik, tidak berbuat bid’ah, dan tidak berbuat fasik.[14]

Menurut al-Razi, keadilan adalah tenaga jiwa yang mendorong untuk selalu bertindak takwa[15], Taqwa ialah tidak mengerjakan maksyiat, syirik, fasiq, dan bid’ah[16].

Berdasarkan pernyataan para ulama di atas di ketahui berbagai kriteria periwayat hadis di nyatakan ‘adil. Secara akumulatif, kriteria-kriteria itu adalah :

1)      Beragama islam

2)      Baligh

3)      Berakal

4)      Takwa

5)      Memelihara muru’ah

6)      Teguh dalam beragama

7)      Tidak berbuat dosa besar

8)      Tidak berbuat maksiat

9)      Tidak berbuat bid’ah

10)  Tidak berbuat fasik.

Dari sekian kriteria di atas kemudian di ringkas menjadi empat kriteria, yaitu

(a)  Beragama Islam

(b)  Mukallaf

(c)  Melaksanakan ketentuan agama

(d) Memelihara Muru’ah[17].

Untuk mengetahui ‘adil tidaknya periwayat hadis, para ulama hadis telah menetapakan beberapa cara, yaitu : Pertama. Melalui popularitas keutamaan periwayat di kalangan ulama hadis. Periwayat yang terkenal keutamaan pribadinya misalnya Malik Ibn Anas dan Sufyan al-Tsauri tidak di ragukan ke-’adil-annya. Kedua. Penilaian dari para kritikus periwayat hadis. Ketiga. Penerapan kaidah al-jarh wa al-ta’dil. Cara ini di tempuh apabila para kritikus periwayat hadis tidak sepakat tentang kualitas pribadi periwayat tertentu.[18]

Ketiga cara di atas di prioritaskan dari urutan yang pertama kemudian yang berikutnaya. Jelasnya, keadilan seorang periwayat hadis dapat di ketahui melalui popularitas keutamaanya di kalangan para ulama. Jika seorang periwayat hadis terkenal dengan keutamaanya seperti Malik Ibn Anas dan Sufyan al-Tsauri, maka di pastikan ia bersifat ‘adil, namun berdasar penilaian para kritikus periwayat hadis di ketahui bahwa ia bersifat ‘adil. Maka di tetapkan pula sifat ‘adil baginya. Akan tetapi bila terjadi perbedaan pendapat tentan ‘adil tidak nya seseorang periwayat hadis, maka di gunakanlah kaidah kaidah al-jarh wa al-ta’dil

Ketiga cara tersebut tidak dapat di balik penggunaanya, dalam arti seorang periwayat hadis yang terkenal ‘adil tidak dapat di nilai dengan penilaian yang berlawanan baik berdasar pendapat para kritikus periwayat maupun berdasar penetapan kaidah  al-jarh wa al-ta’dil. Popularitas keadilan didahulukan sebab kulitas seorang periwayat yang dinilai demikian tidak diragukan mengingat saksi yang menyatakan keadilannya sangat banyak, berbeda dengan cara kedua yang hanya di nyatakan atau di saksikan oleh satu atau beberapa orang saja. Demikian pula seorang periwayat hadis yang dinilai ‘adil  oleh seseorang atau beberapa kritikus periwayat dan tidak ada kritikus lain yang menentangnya, maka pendapat itu yang di gunakan, bukan dengen menerapkan kaidah al-jarh wa al-ta’dil. Sebab. Para kritikus periwayat itulah yang mengetahui kualitas periwayat  hadis yang mereka nilai. Kaidah al-jarh wa al-ta’dil baru digunakan  bila ternyata terjadi perbedaan pendapat di kalangan kritikus seorang periwayat hadis. [19]

 

c) Periwayat Hadis Bersifat Dabit

 Untuk hadis sahih, para periwayatnya berstatus dabit sedangkan hadis hasan di antara periwayatnya ada yang kurang dabit. Yang di maksut dengan dabit, adalah bahwa rawi hadis yang bersangkutan dapat menguasai hadisnya dengan baik, baik dengan hafalanya yang kuat maupun dengan kitabnya, kemudian ia mampu mengungkapkanya kembali ketika meriwayatkanya[20]. Secara sederhana kata dabit dapat diartikan dengan kuat hafalan[21].

 Kekuatan hafalan ini sama pentingnya dengan keadilan. Kalau keadilan berkenaan dengan kapasitas pribadi, maka ke-dabit-an terkit dengan kualitas intelektual. Antara sifat ‘adil dan sifat dabit terdapat hubungan yang sangat erat. Seseorang yang ‘adil dengan kualitas pribadinya bagus misalnya jujur, amanah (dapat di percaya), dan objektif tidak dapat di terima informasinya apabila ia tidak mampu memelihara (hafal terhadap) informasi itu. Sebaliknya, orang yang ampu memelihara, hafal, dan paham terhadap informasi yang di ketahuinya tetapi kalau ia tidak jujur, pendusta, dan penipu, maka informasi yang disampaikanya tidak dapat di percaya. Karena itu, oleh para ulama hadis keadilan dan ke-dabit-an periwayat hadis kemudian di jadikan satu dengan istilah thiqah.  Jadi, periwayat yang thiqah adalah periwayat yang ‘adil dan dabit.

Di kalangan ulama, pengertian dabit dinyatakan dengan redaksi beragam. Ibn Hajar al-‘Asqalani dan al-Sakhawi menyatakan bahwa seseorang yang di sebut dabit adalah orang yang kuat hafalanya tentang apa yang telah di dengar dan mampu menyampaikan hafalan itu kapan saja dia menghendaki.

Muhammad Abu Zahrah berpendapat, seseorang disebut dabit apabila mampu mendengarkan pembicaraan sebagaimana seharusnya, memahami pembicaraan itu secara benar, kemudian menghafal dengan sungguh-sungguh dan berhasil hafal dengan sempurna, sehingga mampu menyampaikan hafalan itu kepada orang lain dengan baik.

Kalau seorang mempunyai ingatan yang kuat, sejak menerima hingga menyampaikan kepada orang lain dan ingatanya itu sanggup di keluarkan kapan dan di mana saja di kehendaki, orang itu dinamakan dabt sadri, kemudian kalau apa yang di sampaikan itu berdasar pada buku catatanya, maka ia disebut dabt kitab.[22]

Sementara itu, Subhi al-Shalih menyatakan bahwa orang yang dabit adalah orang yang mendengarkan riwayat hadis sebagaimana  seharusnya, memahami dengan pemahaman mendetail kemudian hafal secara sempurna, dan memiliki kemampuan yang demikian itu, sedikitnya mulai dari saat mendengar riwayat itu  sampai menyampaikan riwayat tersebut kepada orang lain.[23]

Berdasar beberapa yang di kemukakan para ulama hadis di atas. M . Syhudi Ismail menyimpulkan bahwa kriteria dabit adalah:

Pertama, periwayat itu memahami dengan baik riwayat hadis yang telah di dengar (diterimanya). Sebagian ulama tidak mengharuskan periwayat memahami dengan baik riwayat hadis yang telah didengar  (diterimanya), dengan kemungkinan pertimbangan bahwa :

1)   Apabila para periwayat telah hafal dengan baik riwayat yang di terimanya, maka dengan sendirinya dia telah memahami apa yang telah dihafalnya itu.

2)   Yang di pentingkan bagi seorang periwayat adalah hafalanya dan bukan pemahamannya tentang apa yang diriwayatkanya. Pertimbangan pertama tidak cukup kuat karna orang yang hafal tidak dengan sendirinya paham dengan sesuatu yang dihafalnya. Karena itu, menurutnya pertimbangan kedua merupakan dasar ke- dabit-an  periwayat menurut sebagian ulama di atas.

Kedua, periwayat itu hafal dengan baik riwayat hadis yang telah di dengar  (diterimanya). Kemampuan hafalan periwayat merupakan syarat untuk dapat di sebut sebagai orang yang dabit, meskipun ada ulama yang mendasarkan ke-dabit-an bukan hanya pada kemampuan hafalan saja, melainkan juga pada kemampuan pemahaman. Dengan kata lain, periwayat yang hafal terhadap hadis dengan baik dapat disebut dabit, dan jika disertai dengan pemahaman terhadapnya, maka tingkat ke- dabit-annya lebih tinggi daripada periwayat tersebut.[24]

Ketiga, periwayat yang mampu menyampaikan riwayat yang telah di hafal dengan baik :

1)      Kapan saja menghendakinya.

2)      Sampai saat menyampaikan riwayat itu kepada orang lain.

Kemampuan hafalan yang dituntut dari seorang periwayat , sehingga ia di sebut seorang yang dabit, adalah tatkalah periwayat itu menyampaikan riwayat kepada orang lain kapan saja ia menghendakinya. Kriteria ini di maksudkan pada kenyataan bahwa kemampuan waktu dan kapasitas hafalan seseorang mempunyai batas, misalnya karena pikun, terlalu banyak yang dihafal, atau karena sebab lainya[25].

Periwayat hadis yang mengalami perubahan kemampuan hafalan karena pikun atau sebab yang lain, Sa’id Ibn Iyas al-Jurayji, Sa’id Ibn ‘Arubah, Rabi’ah al-Ra’i Ibn ‘Abd al-Rahman,. Periwayat yang mengalami kemampuan hafaln tetap dinyatakan sebagai periwayat yang dabit sampai saat sebelum mengalami perubahan, sedangkan sesudah mengalami perubahan di nyatakan tidak dabit. [26]

Sebagaimana halnya periwayat yang ‘adil, periwayat yang dabit dapat di ketahui melalui beberapa cara. Cara untuk mengetahui ke-dabit-an periwayat hadis menurut brbagai pendapat ulama adalah

1)      Ke-dabit-an periwayat dapat diketahui berdasarkan kesaksian ulama

2)      Ke-dabit-an periwayat dapat di ketahui juga berdasarkan kesesuaian riwayatnya dengan riwayat yang disampaikan oleh periwayat lain yang telah di kenal ke-dabit-annya, baik kesesuaian itu sampai tingkat makna maupun sampai tingkat harfiah

3)      Periwayat yang sekali-kali mengalami kekeliruan, tetap di nyatakan dabit asalkan kesalahan itu tidak sering terjadi. Jika ia sering mengalami kekeliruan dalam riwayat hadis, maka tidak disebut dabit[27].

Kualitas ke-dabit-an periwayat dengan periwayat lain tidaklah sama. Ada periwayat yang sempurna ke-dabit-an, ada yang hanya dabit saja bahkan ada yang kurang dabit serta tidak dabit. Seorang perwayat yang di sebut sempurna ke-dabit-annya (tamm al-dabit ) apabila ia hafal dengan sempurna hadis yang diriwayatkannya, mampu menyampaikan dengan baik hadis yang dihafalnya itu kepada orang lain, dan paham dengan baik hadis yang dihafalnya itu. Seorang periwayat disebut dabit saja apabila hafal dengan sempurna hadis yang diriwayatkannya dan mampu menyampaikan dengan baik hadis yang dihafalnya itu kepada orang lain.

Hadis yang di sampaikan oleh periwayat yang demikian, dilihat dari segi ke-dabit-annya dapat di kelompokkan pada hadis sahih, disamping tentunya jika terpenuhi kriteria hadis sahih yang lain. Sedangkan hadis yang diriwayatkan oleh periwayat yang kurang dabit dapat dikelompokkan pada hadis hasan. Periwayat disebut tidak dabit apabila tidak hafal terhadap hadis yang diriwayatkan atau banyak mengalami kekeliruhan dalam meriwayatkan hadis dan hadis yang diriwayatkannya dinyatakan sebagai hadis da’if.

                       

                   d) Terhindar dari shadh (Kejanggalan)

      Secara bahasa shadh merupakan isim fa’il dari shadhdha yang berarti menyendiri (infarada) seperti kata اَلْمُنْفَرِدُ عَنِ الْجُمْهُوْرِ  Sesuatu yang menyendiri terpisah dari mayoritas). Menurut istilah ulama hadis, shadh adalah  hadis yang diriwayatkan oleh periwayat thiqah dan bertentangan dengan periwayat yang lebih thiqah. Pendapat ini di kemukakan oleh al-Syafi’i dan di ikuti oleh kebanyakan ulama hadis.

      Sedangkan menurut Nur al-Din Itr, terhindar shadh adalah suatu kondisi di mana seorang rawi berbeda dengan dengan rawi lain yang lebih kuat posisinya[28], disebabkan kelebihan jumlah sanad dalam kedabitan, atau adanya segi-segi tarjih yang lain[29].

    Menurut al-Shafi’i, suatu hadis yang dinyatakan mengandung shadh apabila diriwatkan oleh seorang periwayat yang thiqah dan bertentangan denga hadis yang diriwayatkan oleh banyak periwayat yang juga thiqah. Suatau hadis tidak dinyatakan mengandung shadh bila hanya diriwayatkan oleh seorang periwayat thiqah sedangkan periwayat thiqah yang lain tidak meriwayatkanya. Berbeda dengan itu al-Hakim al-Naysaburi menyatakan bahwa hadis shadh adalah hadis yang diriwayatkan oleh seorang periwayat thiqah, tetapi tidak ada periwayat thiqah lainya yang meriwayatkanya.[30]

 

          e) Terhindar dari ‘illat

     Adanya hadis tersebut terhindar dari ‘illat qadihah, (illat yang mencacatkanya). Seperti memursalkan yang maushul, me-muttasil-kan yang munqati’ ataupun me-marfu’-kan yang mauquf.[31]

     Maksudnya bahwa hadis yang bersangkutan terbebas dari cacat kesahihanya, yakni hadis itu terbebas dari sifat-sifat samar yang membuatnya cacat, meskipun tampak bahwa hadis itu tidak menunjukkan adanya cacat tersebut[32].

Jika dalam sebuah hadis terdapat cacat tersembunyi dan secara lahiriah tampak sahih, maka hadis itu dinamakan hadis mu’allal, yakni hadis yang mengandung ‘illat . Kata mu’allal merupakan isim maf’ul dari kata a’allah (ia mencacatkanya). Secara bahasa kata ‘illat berarti cacat. Kesalahan baca, penyakit, dan keburukan.

 Menurut istilah ahli hadis, ‘illat berarti sebab yang tersembunyi yang dapat merusak kesahihan hadis. Ibn al-Shalah, al-Nawawi, dan Nur al-Din ‘Itr menyatakan bahwa ‘illat adalah sebab yang tersembunyi yang merusak kualitas hadis yang menyebabkan hadis yang pada lahirnya tampak berkualitas sahih menjadi tidak sahih.    

Baca Juga Artikel yang lainya :

DAFTAR PUSTAKA

Ajaj, Muhammad Al-Khatib Usul Al-Hadith, Jakarta, Gaya Media Pratama, 199

-------------------------------------, Hadis Nabi Sebelum Dibukukan, Terj AH. Akraom Fahmi                 (Gema Insani Press,1999) 

Anas,  Malik Ibn, Muwatta’.

Bukhari Sahih Bukhari.

Idri, Studi Hadith, Jakarta, Kencana Prenada Media Group, 2010

Nuruddin Itr, Ulum Al-Hadith, Bandung, PT Remaja Rosdakarya 2012

Habshy, Muhammad Al-Shidiqie, Sejarah & Pengantar Ilmu Hadith Semarang Pustaka                     Rizqi Putra 2009

Sholahudin, Muhammad Agus & Suyadi, Agus, Ulum Al-Hadith, Bandung, Pustaka setia.

Tirmidhi Sunan Al-Tirmidhi..


[1] Agus Solahudin dan Agus Suyadi, Ulum Al-Hadith ( t.t.: Pustaka Setia, 2009), 141.

[2] Ajjaj al-Khatib, Hadis Nabi Sebelum Di Bukukan, Terj AH. Akraom Fahmi (Gema Insani Press,1999), 36.

[3] Agus Solahudin dan Agus Suyadi, Ulum Al-Hadith, 141

[4] Ajaj Al-Khatib, Usul Al-Hadith, (Gaya Media Pratama,1998), 276.

[5] Ibid., 276.

[6] Al-Sidiqie, Sejarah dan Pengantar Ilmu Hadis, 166.

[7] Idri, Studi Hadis, ( Jakarta: Kencana Prenada Media Group,2010), 160.

[8] Ajaj Al-Khatib, Usul Al-Hadith, 276

[9] Agus Solahudin dan Agus Suyadi, Ulumul hadis ,143

[10] Idri, Studi Hadis, 161.

[11] Ibid., 162.

[12] Ajaj Al-Khatib, Usul Al-Hadith, 276

[13] Agus Solahudin dan Agus Suyadi, Ulumul hadis ,143

[14] Idri, Studi Hadis,163

[15] Agus Solahudin dan Agus Suyadi, 142

[16] Muhammad habsi Al-Sidiqie, Sejarah & pengantar Ilmu Hadis, 177

[17] Agus Solahudin dan Agus Suyadi, Ulumul hadis ,142

[18] Idri, Studi Hadis,163.

[19] Idri, Studi Hadis,164.

[20] Nur al-Din ‘Itr, Manhaj al-Naqd fi Ulum al-Hadits al-Nabawi, (PT Remaja Rosda Karya: Bandung, 2012), 241.

[21] Idri, Studi Hadis,164.

[22] Agus Solahudin dan Agus Suyadi, Ulumul hadis ,142-143

[23] Idri, Studi Hadis,165

[24] Ibid., 165.

[25] Ibid., 165.

[26] Ibid., 165.

[27] Ibid., 165.

[28] Nur al-Din ‘Itr, Manhaj al-Naqd fiUlum al-Hadits al-Nabawi, 242

[29] Agus Solahudin dan Agus Suyadi, Ulumul Hadis, 145

[30] Idri, Studi Hadis,169

[31] Ajaj Al-Khatib, Usul Al-Hadith, 277

[32] Agus Solahudin dan Agus Suyadi, Ulumul Hadis,143

MAKALAH HADIST TENTANG HIJAB

  A.   Latar Belakang Telah disepakati oleh seluruh umat Islam bahwa al-Qur’an menjadi pedoman hidup baik tentang syariah maupun dalam keh...