Shahih menurut lughat adalah lawan dari saqim, artinya
sehat lawan sakit, haq lawan batil. Menurut ahli hadis, hadis sahih
adalah hadis yang sanadnya bersambung, dikutip oleh orang yang adil lagi
cermat dari orang yang sama, sampai berakhir pada Rasul Allah SAW, atau
sahabat, atau tabi’in, bukan hadis yang shadh (kontroversi) dan
terkena ‘illat yang menyebab kan cacat dalam penerimanya.[1]
Ulama hadis hanya mengkaji Rasulullah , dari posisi beliau sebagai imam (Pemimpin) yang memberi petunjuk berdasarkan
pemberitahuan Allah SWT, bahwa beliau adalah teladan dan panutan kita.
Sehubungan itu mereka menukil segala hal yang berhubungan dengan diri beliau,
meliputi perjalanan , akhlak,
tabiat, khabar, ucapan, dan perbuatan beliau, baik yang menetapkan hukum shara’ ataupun
tidak[2].
Dalam definisi lain, hadis
sahih adalah
مَا نَقَلَهُ عَدْلٌ تَامُّ الضَّبْطِ مُتَصِلٌ السَّنَدِ غَيْرُ
مُعَلَّلِ وَلَا شَاذٍ
Hadis yang di nukil (diriwayatkan) oleh rawi-rawi yang adil, sempurna ingatannya, sanad nya bersambung, tidak ber’illat , dan tidak janggal.[3]
Adapun menurut Abu Amr Ibn Al-Salah yang di maksud hadis sahih ialah
الحَدِيْثُ الصَّحِيْحُ هُوَ اْلمسْنِدُ الَّذِيْ يَتَّصِلُ
إِسْنَادُهُ بِنَقْلِ الْعَدْلِ
الضَّابِطِ عَنِ الْعَدْلِ الضَّابِطِ إلَى مُنْتَهَاهُ وَلَا يَكُوْنُ شَاذًا وَلَا
مُعَلَّلًا
Hadis sahih adalah musnad yang sanad nya muttasil melalui periwayatan orang yang adil lagi dabit sampai ujungnya, tidak shadh dan tidak mu’allal (terkena ilat).[4]
Definisi Ibn
Al-Salah ini kemudian di ringkas oleh imam Al-Nawawi sebagai berikut
هُوَ مَا اتَّصَلَ سَنَدُهُ بِالْعُدُوْلِ الضَّابِطُوْنَ
مِنْ غَيْرِ شُذُوْذٍ وَلَا عِلَّةٍ
Hadis sahih adalah hadis yang muttasil sanad nya melalui (periwayatan) orang-orang yang adil lagi dabit tanpa shadh dan ‘illat.[5]
Yang di
maksud orang-orang adil lagi dabit adalah para
perawi dalam sanad itu, yakni di riwayatkan oleh perawi yang adil lagi dabit
(pula) dari awal sampai akhirnya.
Hadis ahad yang telah di akui kesahihanya
dengan yaqin oleh sebagian ulama’ ialah hadis-hadis Shahih
al-Bukhari dan hadis-hadis Sahih al-Muslim[6]. Dari
uraian singkat itu jelaslah bahwa hadis sahih harus memenuhi lima
syarat :
a). Sanad Bersambung (Ittisal al-Sanad)
Yang di maksud dengan sanad bersambung
adalah tiap tiap periwayat dalam sanad hadis menerima riwayat hadis
dari periwayat terdekat sebelumnya, keadaan itu berlangsung demikian sampai
ahir sanad hadis itu, Persambungan sanad itu terjadi semenjak mukharrij
hadith (penghimpun riwayat hadis dalam kitabnya) sampai pada
periwayat pertama dari kalangan sahabat yang menerima hadis yang
bersangkutan dari Nabi. Dengan kata lain, sanad hadis bersambung sejak
sanad pertama (mukharrij hadith) sampai sanad terahir (kalangan sahabat)
hingga Nabi Muhammad, atau persambungan itu terjadi mulai dari Nabi pada
periwayat pertama (kalangan sahabat) sampai periwayat terahir (mukharrij hadith
)[7]
Dengan syarat ini, di kecualikan hadis munqoti’,
mu’dhal, mu’allaq, mudallas, dan jenis-jenis lain yang tidak memenuhi
kriteria muttasil ini[8].
Untuk mengetahui bersambung atau tidaknya
suatu sanad, biasanya ulama’ hadis menempuh tata kerja penelitian
berikut :
1)
Mencatat semua
nama rawi
dalam sanad
yang di teliti.
2)
Mempelajari
sejarah hidup masing masing rawi
3)
Meneliti kata
kata yang menghubungkan antara para rawi yang terdekat dengan sanad.[9]
Hadis yang sanad nya bersambung,
di kalangan ulama hadis
dinilai dengan sebutan yang beragam. Al-Khatib al-Baghdadi (w.463 H/1072 M)
menamainya sebagai hadis musnad. Hadis musnad menurut Ibn ‘Abd
al-Barr, adalah hadis yang di sandarkan kepada Nabi (sebagai hadis
marfu’), sanad hadis musnad ada yang bersambung (muttasil)
dan adapula yang terputus (munqati’). Pendapat ini
menurut al-Sakhawi (w.902 H/1947 M), merupakan pendapat yang di ikuti oleh
mayoritas ulama’ hadis. Dengan demikian, menurut kebanyakan ulama’ hadis,
hadis musnad pasti marfu’ dan bersambung sanadnya,
sedangkan hadis marfu’ belum tentu hadis musnad. Hadis
marfu’ dapat di sebut sebagai hadis musnad bila seluruh
rangkaian sanadnya bersambung, tiada yang terputus sejak awal hingga akhir.
Berkaitan dengan ketersambungan
sanad ini di kenal pula istilah hadis muttasil atau mawsul. Menurut
Ibn al-Salah dan al-Nawawi, yang di maksud dengan hadis muttasil
dan mawsul adalah yang brsambung sanadnya, baik persambungan itu sampai
kepada Nabi maupun hanya sampai kepada sahabat Nabi saja. M.Syuhudi Ismail
menyimpulkan bahwa hadis muttasil atau mawsul ada yang
marfu’(di sandarkan pada Nabi), ada yang mawquf (di sandarkan pada
sahabat), an ada pula yang maqtu’ (disandarkan pada tabi’in).
Jika di bandingkan dengan hadis musnad maka dapat di nyatakan
bahwa hadis musnad pasti muttasil atau mawsul, tetapi
tidak semua hadis muttasil itu musnad.[10]
Dengan kata
lain, ketersambungan hadis muttasil atau mawsul tidak bisa
di jadikan sebagai patokan penentuan kesahihan suatu hadis,
berbeda dengan ketersambungan hadis musnad, karena hadis muttasil
atau mawsul ada yang tersambung sampai Nabi, ada yang hanya
tersambung pada sahabat saja bahkan ada pula yang sampai pada tab’in sehingga
di balik ketersambungan sanad itu ada kemungkinan terdapat keterputusan informasi
dari Nabi (pada hadis mawquf dan maqtu’). Berbeda dengan
dengan hadis musnad yang di pastikan ketersambungan sanad nya
sampai Nabi, sehingga dapat dijadikan patokan untuk kriteria sanad
bersambung sebagaimana dijelaskan di atas.
Untuk mengetahui bersambung atau tidaknya suatu sanad hadis,
menurut M. Syuhudi Ismail, ulama biasanya menempuh tata kerja penelitian
sebagai berikut:[11]
1)
Mencatat semua
nama periwayat dalam sanad yang di teliti.
2)
Mempelajari sejarah hidup masing masing periwayat yang di lakukan :
(a)
Melalui kitab-kitab rijal al-hadith, misalnya
kitab tahdhb al-Kamal karya al-Mizzi, tahdhb al-tahdhb karya Ibn
Hajar al-‘Asqolani, dan kitab al-Kasyif oleh Muhammad Ibn Ahmad al-Dhahabi.
(b)
Hal itu di maksudkan untuk
(1)
Apakah setiap periwayat dalam sanad itu di kenal sebagai
orang yang thiqah (adil dan dabit ), serta tidak suka melakukan tadlis
(menyembunyikan cacat), yang di maksud adil adalah orang yang lurus
agamanya, baik pekertinya dan bebas dari kefasihan, dan hal-hal yang
menjatuhkan keperawianya. Sedang kan yang di maksud dengan dabit adalah
orang yang benar-benar sadar ketika menerima hadis, paham ketika
mendengarnya dan menghafalnya sejak menerima sampai menyampaikannya[12].
(2)
Apakah antara para periwayat dengan periwayat terdekat
dalam sanad itu terdapat hubungan kesezamanan pada masa lampau dan hubungan
guru murid dalam priwayatan hadis.
(c)
Meneliti kata kata
(adah al-tahammul wa ada’ al-hadith ) yang menghubungkan antara
para periwayat dengan periwayat terdekat dalam sanad, yakni kata kata atau
metode yang di pakai dalam sanad berupa
: haddathani, haddathana, akhbarani, akhbarana, sami’tu, ‘an, anna dan
sebagai nya.
Antara masing rawi dengan rawi terdekat sebelumnya dalam
sanad itu benar benar telah terjadi hubungan periwayatan hadis secara
sah menurut al-tahammul wa ada’ al-hadith[13].
Melalui beberapa langkah
di atas dapat di ketahui apakah sanad suatu hadis di nyatakan bersambung
atau tidak. Ketersambungan sanad itu di ketahui apakah para periwayat di
pastikan benar-benar meriwayatkan hadis dari periwayat terdekat
sebelumnya yang di ketahui melalui usia mereka, terjadinya hubungan guru murid,
atau melalui metode periwayatan yang mereka gunakan.
b) . Periwayat Bersifat ‘adil
Para ulama berbeda pendapat tentang kriteria-kriteria
periwayat hadis disebut ‘adil. Al-Hakim berpendapat bahwa
seseorang disebut ‘adil apabila beraga islam, tidak berbuat bid’ah, dan tidak berbuat maksiat. Ibn al-Salah menetakan lima
kriteria seorang periwayat di sebut ‘adil, yaitu beraga islam, baligh,
berakal, memelihara muru’ah, dan tidak berbuat fasik. Pendapat serupa
juga di sampaikan oleh al-Nawawi. Sementara itu Ibn Hajar al-Asqalani
menyatakan bahwa sifat ‘adil dimiliki seorang periwayat hadis
yang taqwa, memelihara muru’ah, tidak berbuat dosa besar misalnya
syirik, tidak berbuat bid’ah, dan tidak berbuat fasik.[14]
Menurut al-Razi, keadilan adalah tenaga jiwa yang
mendorong untuk selalu bertindak takwa[15], Taqwa
ialah tidak mengerjakan maksyiat, syirik, fasiq, dan bid’ah[16].
Berdasarkan pernyataan para ulama di atas di ketahui
berbagai kriteria periwayat hadis di nyatakan ‘adil. Secara
akumulatif, kriteria-kriteria itu adalah :
1)
Beragama islam
2)
Baligh
3)
Berakal
4)
Takwa
5)
Memelihara muru’ah
6)
Teguh dalam beragama
7)
Tidak berbuat dosa besar
8)
Tidak berbuat maksiat
9)
Tidak berbuat bid’ah
10)
Tidak berbuat fasik.
Dari sekian kriteria di
atas kemudian di ringkas menjadi empat kriteria, yaitu
(a)
Beragama Islam
(b)
Mukallaf
(c)
Melaksanakan ketentuan agama
(d) Memelihara Muru’ah[17].
Untuk mengetahui ‘adil tidaknya periwayat hadis,
para ulama hadis telah menetapakan beberapa cara, yaitu : Pertama.
Melalui popularitas keutamaan periwayat di kalangan ulama hadis.
Periwayat yang terkenal keutamaan pribadinya misalnya Malik Ibn Anas dan Sufyan
al-Tsauri tidak di ragukan ke-’adil-annya. Kedua. Penilaian dari
para kritikus periwayat hadis. Ketiga. Penerapan kaidah al-jarh
wa al-ta’dil. Cara ini di tempuh apabila para kritikus periwayat hadis
tidak sepakat tentang kualitas pribadi periwayat tertentu.[18]
Ketiga cara di atas di prioritaskan dari urutan yang
pertama kemudian yang berikutnaya. Jelasnya, keadilan seorang periwayat hadis
dapat di ketahui melalui popularitas keutamaanya di kalangan para ulama. Jika
seorang periwayat hadis terkenal dengan keutamaanya seperti Malik Ibn
Anas dan Sufyan al-Tsauri, maka di pastikan ia bersifat ‘adil, namun
berdasar penilaian para kritikus periwayat hadis di ketahui bahwa ia
bersifat ‘adil. Maka di tetapkan pula sifat ‘adil baginya. Akan
tetapi bila terjadi perbedaan pendapat tentan ‘adil tidak nya seseorang
periwayat hadis, maka di gunakanlah kaidah kaidah al-jarh wa
al-ta’dil
Ketiga cara tersebut tidak dapat di balik penggunaanya,
dalam arti seorang periwayat hadis yang terkenal ‘adil tidak
dapat di nilai dengan penilaian yang berlawanan baik berdasar pendapat para
kritikus periwayat maupun berdasar penetapan kaidah al-jarh wa al-ta’dil. Popularitas
keadilan didahulukan sebab kulitas seorang periwayat yang dinilai demikian
tidak diragukan mengingat saksi yang menyatakan keadilannya sangat banyak,
berbeda dengan cara kedua yang hanya di nyatakan atau di saksikan oleh satu
atau beberapa orang saja. Demikian pula seorang periwayat hadis yang
dinilai ‘adil oleh seseorang atau
beberapa kritikus periwayat dan tidak ada kritikus lain yang menentangnya, maka
pendapat itu yang di gunakan, bukan dengen menerapkan kaidah al-jarh wa
al-ta’dil. Sebab. Para kritikus periwayat itulah yang mengetahui kualitas
periwayat hadis yang mereka
nilai. Kaidah al-jarh wa al-ta’dil baru digunakan bila ternyata terjadi perbedaan pendapat di
kalangan kritikus seorang periwayat hadis. [19]
c) Periwayat Hadis Bersifat Dabit
Untuk hadis sahih, para
periwayatnya berstatus dabit sedangkan hadis hasan di
antara periwayatnya ada yang kurang dabit. Yang di maksut dengan dabit,
adalah bahwa rawi hadis yang bersangkutan dapat
menguasai hadisnya dengan baik, baik dengan hafalanya yang kuat maupun
dengan kitabnya, kemudian ia mampu mengungkapkanya kembali ketika meriwayatkanya[20]. Secara
sederhana kata dabit dapat diartikan dengan kuat hafalan[21].
Kekuatan hafalan ini sama pentingnya dengan keadilan. Kalau keadilan berkenaan dengan kapasitas pribadi,
maka ke-dabit-an terkit dengan kualitas intelektual. Antara sifat ‘adil
dan sifat dabit terdapat hubungan yang sangat erat. Seseorang yang ‘adil
dengan kualitas pribadinya bagus misalnya jujur, amanah (dapat di percaya),
dan objektif tidak dapat di terima informasinya apabila ia tidak mampu
memelihara (hafal terhadap) informasi itu. Sebaliknya, orang yang ampu
memelihara, hafal, dan paham terhadap informasi yang di ketahuinya tetapi kalau
ia tidak jujur, pendusta, dan penipu, maka informasi yang disampaikanya tidak dapat
di percaya. Karena itu, oleh para ulama hadis ke’adilan dan
ke-dabit-an periwayat hadis kemudian di jadikan satu dengan
istilah thiqah. Jadi, periwayat
yang thiqah adalah periwayat yang ‘adil dan dabit.
Di kalangan ulama,
pengertian dabit dinyatakan dengan redaksi beragam. Ibn Hajar
al-‘Asqalani dan al-Sakhawi menyatakan bahwa seseorang yang di sebut dabit
adalah orang yang kuat hafalanya tentang apa yang telah di dengar dan mampu
menyampaikan hafalan itu kapan saja dia menghendaki.
Muhammad Abu Zahrah
berpendapat, seseorang disebut dabit apabila mampu mendengarkan
pembicaraan sebagaimana seharusnya, memahami pembicaraan itu secara benar, kemudian
menghafal dengan sungguh-sungguh dan berhasil hafal dengan sempurna, sehingga
mampu menyampaikan hafalan itu kepada orang lain dengan baik.
Kalau seorang mempunyai
ingatan yang kuat, sejak menerima hingga menyampaikan kepada orang lain dan
ingatanya itu sanggup di keluarkan kapan dan di mana saja di kehendaki, orang
itu dinamakan dabt sadri, kemudian kalau apa yang di sampaikan itu
berdasar pada buku catatanya, maka ia disebut dabt kitab.[22]
Sementara itu, Subhi
al-Shalih menyatakan bahwa orang yang dabit adalah orang yang mendengarkan
riwayat hadis sebagaimana
seharusnya, memahami dengan pemahaman mendetail kemudian hafal secara
sempurna, dan memiliki kemampuan yang demikian itu, sedikitnya mulai dari saat
mendengar riwayat itu sampai
menyampaikan riwayat tersebut kepada orang lain.[23]
Berdasar beberapa yang di
kemukakan para ulama hadis di atas. M . Syhudi Ismail menyimpulkan bahwa kriteria dabit adalah:
Pertama, periwayat itu memahami dengan baik riwayat hadis
yang telah di dengar (diterimanya). Sebagian ulama tidak mengharuskan periwayat
memahami dengan baik riwayat hadis yang telah didengar (diterimanya), dengan kemungkinan
pertimbangan bahwa :
1)
Apabila para periwayat telah hafal dengan baik riwayat
yang di terimanya, maka dengan sendirinya dia telah memahami apa yang telah
dihafalnya itu.
2)
Yang di pentingkan bagi seorang periwayat adalah
hafalanya dan bukan pemahamannya tentang apa yang diriwayatkanya. Pertimbangan
pertama tidak cukup kuat karna orang yang hafal tidak dengan sendirinya paham dengan sesuatu yang dihafalnya. Karena itu,
menurutnya pertimbangan kedua merupakan dasar ke- dabit-an periwayat menurut sebagian ulama di atas.
Kedua, periwayat itu hafal dengan baik riwayat hadis yang
telah di dengar (diterimanya). Kemampuan
hafalan periwayat merupakan syarat untuk dapat di sebut sebagai orang yang dabit,
meskipun ada ulama yang mendasarkan ke-dabit-an bukan hanya pada
kemampuan hafalan saja, melainkan juga pada kemampuan pemahaman. Dengan kata
lain, periwayat yang hafal terhadap hadis dengan baik dapat disebut dabit,
dan jika disertai dengan pemahaman terhadapnya, maka tingkat ke- dabit-annya
lebih tinggi daripada periwayat tersebut.[24]
Ketiga, periwayat yang mampu menyampaikan riwayat yang telah di
hafal dengan baik :
1)
Kapan saja menghendakinya.
2)
Sampai saat menyampaikan riwayat itu kepada orang
lain.
Kemampuan hafalan yang
dituntut dari seorang periwayat , sehingga ia di sebut seorang yang dabit, adalah
tatkalah periwayat itu menyampaikan riwayat kepada orang lain kapan saja ia
menghendakinya. Kriteria ini di maksudkan pada kenyataan bahwa kemampuan waktu
dan kapasitas hafalan seseorang mempunyai batas, misalnya karena pikun, terlalu
banyak yang dihafal, atau karena sebab lainya[25].
Periwayat hadis
yang mengalami perubahan kemampuan hafalan karena pikun atau sebab yang lain,
Sa’id Ibn Iyas al-Jurayji, Sa’id Ibn ‘Arubah, Rabi’ah al-Ra’i Ibn ‘Abd
al-Rahman,. Periwayat yang mengalami kemampuan hafaln tetap dinyatakan sebagai
periwayat yang dabit sampai saat sebelum mengalami perubahan, sedangkan
sesudah mengalami perubahan di nyatakan tidak dabit. [26]
Sebagaimana halnya
periwayat yang ‘adil, periwayat yang dabit dapat di ketahui
melalui beberapa cara. Cara untuk mengetahui ke-dabit-an periwayat hadis
menurut brbagai pendapat ulama adalah
1)
Ke-dabit-an periwayat dapat diketahui berdasarkan
kesaksian ulama
2)
Ke-dabit-an periwayat dapat di ketahui juga
berdasarkan kesesuaian riwayatnya dengan riwayat yang disampaikan oleh
periwayat lain yang telah di kenal ke-dabit-annya, baik kesesuaian itu
sampai tingkat makna maupun sampai tingkat harfiah
3)
Periwayat yang sekali-kali mengalami kekeliruan, tetap di
nyatakan dabit asalkan kesalahan itu tidak sering terjadi. Jika
ia sering mengalami kekeliruan dalam riwayat hadis, maka tidak disebut
dabit[27].
Kualitas ke-dabit-an periwayat dengan periwayat lain
tidaklah sama. Ada periwayat yang sempurna ke-dabit-an, ada yang hanya dabit
saja bahkan ada yang kurang dabit serta tidak dabit. Seorang
perwayat yang di sebut sempurna ke-dabit-annya (tamm al-dabit ) apabila
ia hafal dengan sempurna hadis yang diriwayatkannya, mampu menyampaikan
dengan baik hadis yang dihafalnya itu kepada orang lain, dan paham dengan
baik hadis yang dihafalnya itu. Seorang periwayat disebut dabit saja
apabila hafal dengan sempurna hadis yang diriwayatkannya dan mampu
menyampaikan dengan baik hadis yang dihafalnya itu kepada orang lain.
Hadis yang di sampaikan oleh periwayat yang demikian, dilihat
dari segi ke-dabit-annya dapat di kelompokkan pada hadis sahih,
disamping tentunya jika terpenuhi kriteria hadis sahih yang lain.
Sedangkan hadis yang diriwayatkan oleh periwayat yang kurang dabit dapat
dikelompokkan pada hadis hasan. Periwayat disebut tidak dabit apabila
tidak hafal terhadap hadis yang diriwayatkan atau banyak mengalami
kekeliruhan dalam meriwayatkan hadis dan hadis yang
diriwayatkannya dinyatakan sebagai hadis da’if.
d) Terhindar dari shadh (Kejanggalan)
Secara
bahasa shadh merupakan isim fa’il dari shadhdha yang
berarti menyendiri (infarada) seperti kata اَلْمُنْفَرِدُ عَنِ الْجُمْهُوْرِ Sesuatu yang menyendiri terpisah
dari mayoritas). Menurut istilah ulama hadis, shadh adalah hadis yang diriwayatkan oleh periwayat
thiqah dan bertentangan dengan periwayat yang lebih thiqah.
Pendapat ini di kemukakan oleh al-Syafi’i dan di ikuti oleh kebanyakan ulama hadis.
Sedangkan menurut Nur
al-Din Itr, terhindar shadh adalah suatu kondisi di mana seorang rawi berbeda dengan
dengan rawi lain yang lebih kuat posisinya[28],
disebabkan kelebihan jumlah sanad dalam kedabitan, atau adanya segi-segi
tarjih yang lain[29].
Menurut al-Shafi’i, suatu hadis yang
dinyatakan mengandung shadh apabila diriwatkan oleh seorang periwayat
yang thiqah dan bertentangan denga hadis yang diriwayatkan oleh
banyak periwayat yang juga thiqah. Suatau hadis tidak dinyatakan
mengandung shadh bila hanya diriwayatkan oleh seorang periwayat thiqah
sedangkan periwayat thiqah yang lain tidak meriwayatkanya. Berbeda
dengan itu al-Hakim al-Naysaburi menyatakan bahwa hadis shadh
adalah hadis yang diriwayatkan oleh seorang periwayat thiqah, tetapi
tidak ada periwayat thiqah lainya yang meriwayatkanya.[30]
e)
Terhindar dari ‘illat
Adanya hadis
tersebut terhindar dari ‘illat qadihah, (illat
yang mencacatkanya). Seperti memursalkan yang maushul, me-muttasil-kan
yang munqati’ ataupun me-marfu’-kan yang mauquf.[31]
Maksudnya bahwa hadis yang bersangkutan terbebas
dari cacat kesahihanya, yakni hadis itu terbebas dari sifat-sifat
samar yang membuatnya cacat, meskipun tampak bahwa hadis itu tidak
menunjukkan adanya cacat tersebut[32].
Jika dalam sebuah hadis
terdapat cacat tersembunyi dan secara lahiriah tampak sahih, maka hadis
itu dinamakan hadis mu’allal, yakni hadis yang mengandung ‘illat
. Kata mu’allal merupakan isim maf’ul dari kata a’allah
(ia mencacatkanya). Secara bahasa kata ‘illat berarti cacat. Kesalahan
baca, penyakit, dan keburukan.
Menurut istilah ahli hadis, ‘illat berarti
sebab yang tersembunyi yang dapat merusak kesahihan hadis. Ibn al-Shalah,
al-Nawawi, dan Nur al-Din ‘Itr menyatakan bahwa ‘illat adalah sebab yang
tersembunyi yang merusak kualitas hadis yang menyebabkan hadis
yang pada lahirnya tampak berkualitas sahih menjadi tidak sahih.
- Pengertian Kodifikasi Hadist
- Sejarah Kodifikasi Hadist
- Faktor-Faktor Pendorong Kodifikasi Hadist
- Metode Kodifikasi Hadist
- Otoritas Hadis Dalam Kehidupan Manusia
- Otoritas Kashaf Dalam Hadis Nabawi
- Studi Kasus Hadis : Hadis tentang Ilmu yang Tersembunyi
- Definisi Hadis Shahih Dan Kriterianya
- Perbedaan Kriteria Hadis Sahih Dalam Kitab Sahih Al-Bukhari, Sahih Muslim, Dan kitab-kitab Hadis Lain
- Macam-Macam Hadis Sahih
- Sanad Yang Paling Sahih Dan Silsilah Al-Dzahab
- Kehujjahan Hadis Sahih
DAFTAR PUSTAKA
Ajaj, Muhammad Al-Khatib Usul Al-Hadith, Jakarta, Gaya Media Pratama, 199
-------------------------------------, Hadis Nabi Sebelum Dibukukan, Terj AH. Akraom Fahmi (Gema Insani Press,1999)
Anas, Malik Ibn, Muwatta’.
Bukhari Sahih Bukhari.
Idri, Studi Hadith, Jakarta, Kencana Prenada Media Group, 2010
Nuruddin Itr, Ulum Al-Hadith, Bandung, PT Remaja Rosdakarya 2012
Habshy, Muhammad Al-Shidiqie, Sejarah & Pengantar Ilmu Hadith Semarang Pustaka Rizqi Putra 2009
Sholahudin, Muhammad Agus & Suyadi, Agus, Ulum Al-Hadith, Bandung, Pustaka setia.
Tirmidhi Sunan Al-Tirmidhi..
[1] Agus
Solahudin dan Agus Suyadi, Ulum Al-Hadith ( t.t.: Pustaka Setia, 2009), 141.
[2] Ajjaj
al-Khatib, Hadis Nabi Sebelum Di Bukukan, Terj AH. Akraom Fahmi (Gema
Insani Press,1999),
36.
[3] Agus
Solahudin dan Agus Suyadi, Ulum Al-Hadith, 141
[4] ‘Ajaj
Al-Khatib, Usul Al-Hadith, (Gaya Media
Pratama,1998), 276.
[5] Ibid., 276.
[6] Al-Sidiqie, Sejarah dan Pengantar Ilmu Hadis, 166.
[7] Idri, Studi
Hadis, (
Jakarta: Kencana Prenada Media Group,2010), 160.
[8] Ajaj Al-Khatib, Usul Al-Hadith, 276
[9] Agus Solahudin dan Agus Suyadi, Ulumul hadis ,143
[10] Idri, Studi Hadis, 161.
[11] Ibid., 162.
[12] Ajaj Al-Khatib, Usul Al-Hadith, 276
[13] Agus Solahudin dan Agus Suyadi, Ulumul hadis ,143
[14] Idri, Studi Hadis,163
[15] Agus Solahudin dan Agus Suyadi, 142
[16] Muhammad habsi Al-Sidiqie, Sejarah & pengantar Ilmu Hadis, 177
[17] Agus Solahudin dan Agus Suyadi, Ulumul hadis ,142
[18] Idri, Studi Hadis,163.
[19] Idri, Studi Hadis,164.
[20] Nur al-Din ‘Itr, Manhaj al-Naqd fi Ulum al-Hadits al-Nabawi, (PT Remaja Rosda Karya: Bandung, 2012), 241.
[21] Idri, Studi Hadis,164.
[22] Agus Solahudin dan Agus Suyadi, Ulumul hadis ,142-143
[23] Idri, Studi Hadis,165
[24] Ibid., 165.
[25] Ibid., 165.
[26] Ibid., 165.
[27] Ibid., 165.
[28] Nur al-Din ‘Itr, Manhaj al-Naqd fiUlum al-Hadits al-Nabawi,
242
[29] Agus Solahudin dan Agus Suyadi, Ulumul Hadis, 145
[30] Idri, Studi Hadis,169
[31] Ajaj Al-Khatib, Usul Al-Hadith, 277
[32] Agus Solahudin dan Agus Suyadi, Ulumul Hadis,143