I. Kodifikasi hadis abad kedua hijriyah, serta penentu kebijakan kodifikasi dan ulama yang terlibat di dalamnya.
Shaikh Khusyu’i
Khusyu’i dalam Tarikh al-Sunnah al-Nabawiyyah[1]menjelaskan
bahwa usaha kodifikasi hadis sudah ada semenjak zaman ‘Umar ibn Khattab dan
‘Abdul ‘Aziz ibn Marwan (ayah ‘Umar ibn ‘Abdul ‘Aziz) sebagaimana dijelaskan
dalam riwayat berikut:
-
Usaha ‘Umar untuk membukukan hadis:
أخبرنا خلف بن سعيد، نا عبد الله بن
محمد، نا أحمد بن خالد، نا إسحاق بن إبراهيم، نا عبد الرزاق، نا معمر، عن الزهري،
عن عروة، أن عمر بن الخطاب -رضي الله عنه- أراد أن يكتب السنن فاستفتى أصحاب النبي
-صلى الله عليه وسلم- في ذلك، فأشاروا عليه بأن يكتبها، فطفق عمر يستخير الله فيها
شهرًا، ثم أصبح يومًا وقد عزم الله له فقال: إني كنت أريد أن أكتب السنن وإني ذكرت
قومًا كانوا قبلكم كتبوا كتبًا فأكبوا عليها وتركوا كتاب الله، وإني والله لا أشوب
كتاب الله بشيء أبدًا
Telah menceritakan kepada kami Khalaf ibn Sa‘id, telah menceritakan
kepada kami ’Abdullah ibn Muhammad, telah menceritakan kepada kami Ahmad ibn
Khalid, telah menceritakan kepada kami Ishaq ibn Ibrahim, telah menceritakan
kepada kami ’’Abdu al-Razzaq, telah menceritakan kepada kami Ma‘mar, dari al-Zuhri
dari ’Urwah
bahwa sesungguhnya ‘Umar ibn Khattab ingin menulis sunnah
maka dia meminta fatwa dari para sahabat tentang hal tersebut. Mereka
mengisyaratkan untuk menulis hadis tersebut. Maka ‘Umar mulai istikharah
selama sebulan lamanya, (sampai) suatu hari Allah sudah menetapkan hatinya dan mengatakan:
“Sesungguhnya aku ingin menulis sunnah, dan aku ingat akan suatu kaum
sebelum kalian menulis buku, maka mereka menekuni hal tersebut dan meninggalkan
kitabullah (al-Quran). Dan aku bersumpah tidak
akan mencampurkan kitabullah dengan suatu apapun selamanya.[2]
-
Usaha ’Abdul ’Aziz ibn
Marwan ibn al-Hakam al-Umawi
عن الليث، حدثني يزيد بن أبي حبيب، أن
عبد العزيز بن مروان كتب إلى كثير بن مرة، وكان قد أدرك بحمص سبعين بدريا.
Dari Laith, telah menceritakan kepadaku
Yazid ibn Abi Habib, sesungguhnya ’Abdul’Aziz ibn Marwan menulis kepada Kathir ibn Murrah, waktu itu
sudah mencapai 70 bulan purnama[3]
-
‘Umar ibn ’Abdul’Aziz memerintahkan
ibn Shihab al-Zuhri dan Abu Bakr ibn Hazm untuk melakukan
kodifikasi hadis.
-
Perintah kepada Abu Bakr ibn
Hazm dan kiprahnya.
وَكَتَبَ عُمَرُ
بْنُ عَبْدِ الْعَزِيزِ إِلَى أَبِى بَكْرِ بْنِ حَزْمٍ انْظُرْ مَا كَانَ مِنْ
حَدِيثِ رَسُولِ اللَّهِ صلى الله عليه وسلم فَاكْتُبْهُ فَإِنِّى خِفْتُ دُرُوسَ
الْعِلْمِ وَذَهَابَ الْعُلَمَاءِ وَلاَ تَقْبَلْ إِلاَّ حَدِيثَ النَّبِىِّ صلى
الله عليه وسلم وَلْتُفْشُوا الْعِلْمَ وَلْتَجْلِسُوا حَتَّى يُعَلَّمَ مَنْ لاَ
يَعْلَمُ فَإِنَّ الْعِلْمَ لاَ يَهْلِكُ حَتَّى يَكُونَ سِرًّا
‘Umar ibn ’Abdul’Aziz menulis surat kepada Abu Bakr ibn Hazm: “Lihatlah kepada hadis
Rasulullah dan tulislah. Sesungguhnya aku takut akan hilangnya ilmu dan ulama.
Dan janganlah terima sebuah hadis kecuali yang berasal dari Rasulullah.
Sebarkanlah ilmu dan buatlah majelis-majelis ilmu sampai orang yang tidak
berilmu menjadi berilmu. Sesunguhnya ilmu tidak akan musnah sampai menjadi
rahasia (orang bakhil akan ilmu).[4]
Dijelaskan pula oleh Imam Bukhari melalui riwayat dari ’Abdullah ibn Dinar
bahwa ‘Umar ibn ’Abdul’Aziz memerintahkan
demikian, hanya saja lafadznya sampai dengan ذهاب العلماء.
Terdapat sebuah riwayat dari Muhammad ibn Hasan dalam Muwatta’ Imam Malik, “Telah
menceritakan kepada kami Yahya ibn Sa‘id,
bahwa ‘Umar ibn ’Abdul’Aziz telah
mengirim surat kepada Abu Bakar ibn ’Amru ibn
Hazm: “Telitilah hadis Rasulullah, lalu tuliskanlah padaku. Sesungguhnya aku
takut akan kehilangan ilmu dan para ulama”.[5]
-
Perintah kepada Muhammad ibn Shihab al-Zuhridan aktifitas kodifikasinya.
Imam al-Zuhry disebut
sebagai orang pertama yang menaruh pondasi ilmu hadis, yaitu qawa’id dan
dawabit ilmu hadis. Tetapi qawa’id dan dawabit yang ada
pada masa tersebut hanya tersimpan di dalam dada mereka (tidak tertulis),
dengan bukti tidak ditemukannya satu buku pun yang dibuat oleh ulama pada zaman
tersebut. Sedangkan Imam Shafi‘i merupakan orang pertama yang menulis tentang
hadis (meskipun masih tercampur dengan pembahasan selain ulum hadis).[6]
Ibn Hajar menjelaskan dalam Fath-nya bahwa ibn Shihab adalah
orang pertama yang membukukan hadis atas perintah ‘Umar bin ’Abdul
’Aziz,
sebagaimana dalam riwayat Muhammad ibn Hasan dari Malik: “Orang pertama yang
membukukan ilmu (hadis) adalah ibn Shihab al-Zuhri”. Ibn Shihab
berkata: “Umar ibn ’Abdul’Aziz telah memerintahkan kepada kami untuk
mengumpulkan hadis, lalu kami tulis menjadi buku, dan kami kirimkan ke seluruh
negara muslim”[7]
Dalam hal ini Muhammad Rashid Rida berpendapat bahwa sebenarnya orang yang pertama kali membukukan hadis adalah Khalid ibn Ma‘dan al-Hamsi dengan alasan bahwa Khalid telah mengumpulkan ilmunya di dalam satu kitab yang selalu terjaga bersamanya. Dan Khalid meninggal tahun 103 atau 104 H. Hal tersebut dijawab Ajjaj al-Khatib dengan alasan sebagai berikut apabila yang dimaksud Rashid Rida adalah tadwin shakhsi (pembukuan pribadi) maka yang lebih dahulu adalah para sahabat. Karena sahabat ada yang menulis hadis dan menjaga kitabnya, seperti ibn ‘Umar. Oleh karenanya anggapan bahwa Khalid orang yang pertama membukukan hadis dengan alasan yang diungkapkan Rashid Rida tidaklah tepat.[8]
Kemudian para ulama mengumpulkan hadis berbentuk jawami’, musannafat
dan muwatha’ seperti:
-
Jami’ Ma’mar ibn Rasyid (w. 154
H)
-
Jami’ Sufyan al-Tsauri (w. 161
H)
-
Jami’ Sufyan ibn ‘Uyainah (w. 198
H)
-
Mushannaf Hammad ibn Salamah (w. 167
H)
-
Muwatha’ Imam Malik (w. 179
H)
Muwatha’ Imam
Malik merupakan karya yang paling prestisius waktu itu, sampai-sampai Imam
Syafi’i mengatakan:
ما
على ظهر الأرض كتاب بعد كتاب الله أصح من كتاب مالك
“Tidak ada buku di muka bumi ini yang
lebih sahih setelah Alquran dari kitab (Muwatta’) Imam Malik”.[9]
Tapi hadis yang sudah dibukukan waktu itu tidak hanya hadis yang
sampai pada Rasulullah SAW saja, melainkan juga hadis yang sampai pada sahabat (mauquf)
dan tabi‘in (maqtu‘).
Pada masa ini juga muncul
kebutuhan untuk jarh wa ta‘dil dikarenakan
banyaknya shuyukh yang da‘if dari
segi hafalan maupun termasuk ahlu al-ahwa’ wa al-bida’. Oleh karenanya para ulama
hadis tidak mengambil hadis dari orang yang tidak dikenal (sebagai ahli hadis).
Diriwayatkan Imam Muslim dalam muqaddimah shahihnya dari Abu al-Zinad
عن أبي الزناد
قال: أدركت بالمدينة مائة كلهم مأمون ما يؤخذ عنهم الحديث يقال: "ليس من
أهله"
Aku bertemu dengan seratus orang di Madinah, semuanya aman (perangainya
baik), namun tidak diambil satupun hadis dari mereka. Dikatakan: “Mereka bukan
ahli hadis”.[10]
Ulama yang ahli dalam jarh wa ta’dil , diantaranya: Syu‘bah ibn al-Hajjaj (w. 160 H) dan Sufyan al-Thauri, ‘Abdurrahman ibn Mahdi (w. 198 H)
Pada masa ini juga muncul
kitab yang khusus membahas mukhtalaf al-hadith, diantaranya: Ikhtilaf
al-Hadith karya
Imam Shafi‘i, Ikhtilaf al-Hadith karya ‘Ali ibn al-Madini dan Ta’wil Mukhtalaf al-Hadith karya ibn Qutaibah.[11]
II. Kodifikasi Hadis Abad Ketiga Hijriyah
Datang paling awal adalah masanid,
yaitu metode pengumpulan hadis urut berdasarkan nama sahabat, musnad yang
terkenal pada masa ini adalah musnad Ahmad ibn Hanbal.
Kemudian datang setelahnya Imam Bukhari, yang melihat akan pentingnya
pengumpulan hadis sahih secara khusus. Lalu hadis-hadis tersebut dibagi sesuai
dengan bab, untuk memudahkan dalam mencari hadis tersebut juga dalam menentukan
hukum fiqh. Maka dibuatlah al-Jami‘ al-Sahih. Kemudian
diikutilah oleh imam kutub sittah (kecuali Nasai) yang merupakan
murid-muridnya, dengan menggunakan metode serupa. Meskipun penulis kitab sunan
tidak mensyaratkan hadis tersebut dengan derajat sahih. Begitulah madrasah al-Bukhari
mempunyai peran vital terhadap perkembangan ilmu hadis. Kemudian
diikuti oleh ibn Khuzaimah (w. 311 H) dan ibn Hibban (w. 354 H).[12]
Ilmu rijal al-hadith juga berkembang pada masa ini dengan
dikarangnya Tarikh al-Rijal oleh Yahya ibn Ma‘in (w. 234 H) dan Muhammad
ibn Sa‘d (w. 230 H) dengan Tabaqatnya. Serta Ahmad ibn Hanbal (w. 241 H) dengan al-‘Ilal wa Ma‘rifatu
al-Rijal dan al-Nasikh wa
al-Mansukh. Tak kalah hebat, Ali ibn ’Abdullah al-Madini (w. 234 H) yang
merupakan guru dari Imam Bukhari, mengarang berbagai macam kitab dalam ilmu hadis
hingga mencapai 200 buku. Sehingga dikatakan tidak ada cabang ilmu dalam ilmu hadis
kecuali beliau telah menulisnya.Lalu imam Tirmidzi (w. 279 H) membuat al-‘Ilal al-Saghir.
Didalamnya dibahas hal-hal penting tentang jarhwata‘dil, maratibu al-ruwwat, adab
al-tahammul wa al-ada’, riwayah bi al-ma’na, hadith mursal, ta‘rif hadith hasan,
ta‘rif hadith gharib dan sebagainya.[13]
Pada
abad ini juga disebut dengan masa keemasan hadis (العصر الذهبي). Salah satu buktinya adalah
dibuatnya buku yang selalu jadi rujukan umat Islam sedunia, yaitu kutub al-sittah:
a.
Sahih Bukhari oleh Abu
‘Abdullah Muhammad ibn Isma‘il al-Bukhari (w.256 H) atau yang lebih dikenal
dengan Imam Bukhari
b.
Sahih Muslim oleh
Muslim ibn al-Hajjaj al-Naisaburi (w.261 H)
c.
Sunan Abi Dawud oleh Abu Dawud al-Sijistani (w. 275 H)
d.
Sunan Ibni Majah oleh Abu’Abdullah Muhammad ibn Yazid atau yang lebih
dikenal dengan ibn Majah.
e.
Sunan al-Tirmidhi oleh Abu’Isa Muhammad ibn ’Isa al-Tirmidhi (w. 279 H)
f.
Sunan al-Nasa’i oleh Abu’Abdurrahman Ahmad ibn Shu’aib al-Nasa’i (w. 303 H)[14]
II. Kodifikasi hadis abad keempat sampai ketujuh hijriah
Pada abad inilah mulai
muncul ilmu hadis dirayah atau yang lebih dikenal dengan ilmu mustalah
al-hadith. Oleh karenya muncullah: Al-Muhaddith al-Fasil baina al-Rawi
wa al-Wa‘i karangan al-Qadi Abu Muhammad al-Ramahurmuzi (w. 360 H). buku
ini merupakan buku pertama mustolahal-hadith.[15]
Kemudian muncullah buku mustalah
yang di
dalamnya membahas semua jenis-jenis hadis (penyempurnaan kaidah-kaidah yang ada
dalam mustalah hadis), Diantaranya:
1.
Ma‘rifat al-‘Ulum al-Hadith karya Hakim
Abu ‘Abdullah Muhammad ibn ‘Abdullah al-Naisaburi (w. 405 H). Di dalamnya
dibahas 52 macam pembahasan ulum al-hadith.
2.
Al-Mustakhraj
karangan al-Asfahani (w. 430 H). Menyempurnakan pembahasan ulumul hadis dalam
kitab Hakim, oleh karenanya disebut mustakhraj.
3. Al-Kifayah fi ’ilmi al-Riwayah oleh al-Khatib al-Baghdadi (w. 463 H)
4. Al-’Ilma’ fi Usuli al-Riwayah
wa al-Sama‘ karangan al-Qadi
‘Iyadl ibn Musa (w. 544 H)
5. Ma la yasa’ al-Muhaddith jahluhu karangan al-Mayanji (w. 580 H).[16]
Selain itu, muncul pula kitab hadis yang disebut dengan mustadrak,
yaitu kitab yang berisi hadis-hadis yang sesuai dengan syarat dari kitab
tertentu, dimana hadis tersebut belum diriwayatkan dalam kitabnya. Diantaranya Mustadrak
ala al-Sahihain karya al-Hakim dan Mustadrak Dar al-Qutniyang
terkenal dengan al-Ilzamat.[17]
III. Kodifikasi hadis abad ketujuh hijriyah sampai sekarang
Syaikh Nuruddin ‘itr
menjelaskan bahwa pada masa ini tashnif buku mustalah hadis telah
lengkap, mulai dari macam-macamnya sampai pada pembahasa detail beberapa
masalah ilmu hadis. Muncullah kitab mustholah yang masyhur “Ulumul Hadis” karya
ibn Salah. Kitab ini menyempurnakan kitab mustalah hadis sebelumnya. Oleh
karenanya kitab ini menjadi bahan rujukan dari buku-buku ilmu hadis yang dibuat
setelahnya. Diantaranya:
1.
Al-Irshad
karangan Imam Nawawi (w. 676 H). Merupakan ringkasan dari buku ibn Salah.
Kemudian Imam Nawawi juga mengarang al-Taqrib
2.
Al-Tabsiroh wa al-Tadhkirah karya
al-Iraqi (w. 806 H). Berisi mandhumah 1000 bait yang merujuk kepada buku
ibn Solah ditambah ta‘qib dalam beberapa masalah penting.
3.
Nukhbat al-Fikr dan Nuzhat
al-Nazar karya ibn Hajar (w. 852 H)
4.
Tadrib al-Rawi karya
Imam Suyuti (w. 911 H) merupakan sharh dari taqrib al-Nawawi,
dimana taqrib merupakan mukhtasar dari kitab ibn Solah.[18]
Pada masa ini telah
lengkap jenis (nau‘) tentang Ulum al-Hadith, maka muncul banyak
karya tentang penelitan dan pengembangan dari kitab-kitab hadis terdahulu
seperti majami‘, zawa’id dan atraf. Selain
itu juga muncul berbagai macam karya seperti kitab hadis yang meringkas
kitab-kitab terdahulu (seperti Mukhtasar Kitab al-Khilafiyyat li al-Baihaqi),
kumpulan hadis Ahkam (seperti Bulughul Maram karya ibn Hajar),
kitab Mu‘jami (seperti Jam‘u al-Jawami‘ dan Jami‘ al-Saghir),
kitab Sharh (seperti Fathu al-Bari dan ‘Umdatu al-Qari)[19]
Lalu datang masa setelahnya yaitu masa rukud wa jumud (diam).
Artinya tidak ada ijtihad, tetapi hanya sebatas mendiskusikan ibarah yang ada
pada kitab-kitab sebelumnya. Diantaranya adalah:
1.
Al-Manzumah al-Baiquni karya
al-Baiquni (w. 1080 H)
2.
Taudihu al-Afkar karya
al-San‘ani (w. 1182)[20]
Selanjutnya adalah masa kontemporer, dimana banyak muncul shubhat
tentang sunnah Rasulullah. Para ulama hadis pun mengarang buku untuk melindungi
sunnah, diantaranya:
1.
Qawa‘idu al-Tahdith karya
Jamaluddin al-Qasimi
2.
Mafatihu al-Sunnah karya
‘Abdul ‘Aziz al-Khuli. Membahas tentang sejarah hadis.
3.
Al-Sunnah wa Makanatuha fi
al-Tashri‘al-Islami karya Mushtofa al-Siba‘i.[21]
- Pengertian Kodifikasi Hadist
- Sejarah Kodifikasi Hadist
- Faktor-Faktor Pendorong Kodifikasi Hadist
- Metode Kodifikasi Hadist
- Otoritas Hadis Dalam Kehidupan Manusia
- Otoritas Kashaf Dalam Hadis Nabawi
- Studi Kasus Hadis : Hadis tentang Ilmu yang Tersembunyi
- Definisi Hadis Shahih Dan Kriterianya
- Perbedaan Kriteria Hadis Sahih Dalam Kitab Sahih Al-Bukhari, Sahih Muslim, Dan kitab-kitab Hadis Lain
- Macam-Macam Hadis Sahih
- Sanad Yang Paling Sahih Dan Silsilah Al-Dzahab
- Kehujjahan Hadis Sahih
DAFTAR PUSTAKA
A‘zami, Mustafa, Dirasat fi al-Hadith al-Nabawi wa Tarikhu
Tadwinihi (t.t.: t.p., t.th.)
Abadi, Fairuz, Qamus al-Muhit. Beirut: Muassasah
al-Risalah, 2005.
Athqalani (al), Ibnu Hajar, Nukat ‘ala Kitabi ibn Salah,
Ahmad: Dar al-’Abduyah, Cetakan 3, 1994 M / 1415 H.
Bar (al), Abu ‘Umar Yusuf ibn ‘Abdu, Jami’ banani
al-‘ilm wa fadhlihi, Mesir: Dar ibn
al-Jauzi.
Bukhari (al), Muhammad ibn Isma‘il, Shahih
Bukhari, Stuttgart:
Jam’iyyah Maknaz Islamy, 2000.
Hajjaj, Muslim ibn, Sahih Muslim. Stuttgart: Jam’iyyah Maknaz Islamy, 2000.
Hakami (al), ibn Ahmad, Dalil Arbabi al-Falah li Tahqiqi
Fanni al-Istilah, Madinah: Maktabah al-Ghuraba’ al-Atsariyah, 1993.
‘Itr,
Nuruddin, Manhaj al-Naqd fi ‘Ulumi al-Hadits, Suriah: Dar al-Fikr, 1981.
‘Imarah, Mustafa Muhammad Abu, “Manahij al-Muhaddithin
min Muntasafi al-Qarn al-Rabi’ ila Muntasafi al-Qarn al-Sabi”, dalam Mausu‘ah
Ulum al-Hadith al-Sharif. Kairo: Wizaratu al-Auqaf, 2009.
Khatib (al), Ajjaj, Usul al-Hadith ‘Ulumuhu wa Mustalahuhu.
Suriah: Dar al-Fikr, 2006.
Khushu‘i (al), Khushu‘i Khushu‘i Muhammad, Tarikh al-Sunnah al-Nabawiyyah. Kairo:
Diktat Azhar, 2009.
Majma’ al-Lughohal-‘Arabiyyah, Mu’jam al-Wasith,
Mesir: Maktabah al-Syuruq al-Dauliyah, 2004.
Malik,
Imam, Muwatha’,, Stuttgart – Germany: Jam’iyyah Maknaz Islamy, 2000.
Mubarakfuri (al), Muhammad ’Abdurrahman ibn ’Abdurrahim,
Muqaddimah Tuhfatu al-Ahwadhi. Suriah: Dar Fikr, t.th..
Muttalib, Rif‘at Fauzi ‘Abdul, “Manahij al-Muhaddithin
min Muntasafi al-Qarn al-Sabi‘ hatta Awakhiri al-Qarn al-‘Ashir al-Hijri”,
dalam Mausu‘ah Ulum al-Hadith al-Sharif. Kairo: Wizaratu al-Auqaf, 2009.
Rushd, Abu al-Walid
Muhammad ibn Ahmad ibn, al-Mudawwanah al-Kubra li al-Imam al-Malik.
Beirut: Dar al-Kutub al-'Ilmiyyah, 1994.
Suyuti (al), Abu Bakar Jalaluddin, Tadrib rawi,
Riyadh: Dar al-‘Asimah, 2003.
Shahin, Marwan Muhammad Mustafa, “Sunnah Abad ke-III H
Sampai Awal Abad ke-IV”, dalam Mausu‘ah Ulum al-Hadith al-Sharif. Kairo:
Wizaratu al-Auqaf, 2009.
Warson,
Ahmad, Kamus al-Munawwir, Surabaya: Penerbit Pustaka Progressif, t.th..
Zahrani (al), Muhammad ibn Matar, Tadwin al-Sunnah
al-Nabawiyyah. Riyad:Dar al-Hijrah li al-Nasr wa al-Tauzi‘, 1996.
Zain, Musa Farhat, “al-Kutub al-Sunnah wa manzilatuha baina kutub al-hadis”, dalam Mausu‘ah Ulum al-Hadith al-Sharif. Kairo: Wizaratu al-Auqaf, 2009.
[1]Khushu‘i Khushu‘i Muhammad al- Khushu‘i, Tarikh al-Sunnah
al-Nabawiyyah (Kairo: Diktat Azhar, 2009), 280.
[2] Abu ‘Umar Yusuf ibn ‘Abdu al-Bar, Jami’ banani
al-‘ilm wa fadhlihi, (Mesir: Dâr Ibn al-Jauzy), juz 1, hal. 275
[3] Khushu‘i Khushu‘i Muhammad al- Khushu‘i, Tarikh al-Sunnah,
280.
[4]Muhammad
ibn Isma‘il al-Bukhari, al-Jami’ al-Shahih, hal. 28.
[5]Ibn Hajjaj al-Hakami, Dalil Arbabi al-Falah li Tahqiqi
Fanni al-Istilah (Madinah: Maktabah al-Ghuraba’ al-Atsariyah, 1993) , 4.
[6]‘Itr,
Manhaju al-Naqd, 60.
[7]Muhammad al- Khushu‘i, Tarikh al-Sunnah al-Nabawiyyah, 281.
[8]Ajjaj al-Khatib, Usul al-Hadith ‘Ulumuhu
wa Mustalahuhu, (Suriah: Dar al-Fikr, 2006), 134.
[9] Abu al-Walid Muhammad ibn Ahmad ibn
Rushd, al-Mudawwanah al-Kubra li al-Imam al-Malik (Beirut: Dar al-Kutub
al-'Ilmiyyah, 1994), 41. Lihat juga: Muhammad ’Abdurrahman ibn ’Abdurrahim
al-Mubarakfuri, Muqaddimah Tuhfatu al-Ahwadhi, (Suriah: Dar al-Fikr,
t.th.), 173.
[10] Muslim ibn Hajjaj, Sahih Muslim, (Stuttgart – Germany: Jam’iyyah
Maknaz Islamy, 2000), 9.
[11] Matar al-Zahrani, Tadwin al-Sunnah, 98.
[12]‘Itr,
Manhaj al-Naqd, 61.
[13]‘Itr,
Manhaj al-Naqd, 61
[14] Musa Farhat Zain, “al-Kutub al-Sunnah wa manzilatuha
baina kutub al-hadis”, Dalam Mausu’ah Ulumil Hadis asy Syarif, 849.
[15]Marwan Muhammad Mustafa Shahin, “Sunnah Abad ke-III H Sampai Awal Abad ke-IV””, dalam Mausu‘ah Ulum al-Hadith al-Sharif (Kairo: Wizaratu al-Auqaf, 2009), 918.
[16]‘Itr, Manhaj al-Naqd , 63.
[17] Mustafa Muhammad Abu ‘Imarah, “Manahij al-Muhaddithin min Muntasafi al-Qarn al-Rabi’ ila Muntasafi al-Qarn al-Sabi”, dalam Mausu‘ah Ulum al-Hadith al-Sharif, 922.
[18] ‘Itr, Manhaju al-Naqd, 67.
[19]Rif‘at Fauzi ‘Abdul Muttalib, “Manahij al-Muhaddithin min Muntasafi al-Qarn al-Sabi‘ hatta Awakhiri al-Qarn al-‘Ashir al-Hijri”, dalam Mausu‘ah Ulum al-Hadith al-Sharif, 983.
[20]‘Itr,
Manhaj al-Naqd, 69.
[21]‘Itr,
Manhaj al-Naqd,70.