HOME

05 Maret, 2022

Sejarah Kodifikasi Hadist

 

     I.     Kodifikasi hadis abad kedua hijriyah, serta penentu kebijakan kodifikasi dan ulama yang terlibat di dalamnya.

Shaikh Khusyu’i Khusyu’i dalam Tarikh al-Sunnah al-Nabawiyyah[1]menjelaskan bahwa usaha kodifikasi hadis sudah ada semenjak zaman ‘Umar ibn Khattab dan ‘Abdul ‘Aziz ibn Marwan (ayah ‘Umar ibn ‘Abdul ‘Aziz) sebagaimana dijelaskan dalam riwayat berikut:

-          Usaha ‘Umar untuk membukukan hadis:

أخبرنا خلف بن سعيد، نا عبد الله بن محمد، نا أحمد بن خالد، نا إسحاق بن إبراهيم، نا عبد الرزاق، نا معمر، عن الزهري، عن عروة، أن عمر بن الخطاب -رضي الله عنه- أراد أن يكتب السنن فاستفتى أصحاب النبي -صلى الله عليه وسلم- في ذلك، فأشاروا عليه بأن يكتبها، فطفق عمر يستخير الله فيها شهرًا، ثم أصبح يومًا وقد عزم الله له فقال: إني كنت أريد أن أكتب السنن وإني ذكرت قومًا كانوا قبلكم كتبوا كتبًا فأكبوا عليها وتركوا كتاب الله، وإني والله لا أشوب كتاب الله بشيء أبدًا

Telah menceritakan kepada kami Khalaf ibn Sa‘id, telah menceritakan kepada kami ’Abdullah ibn Muhammad, telah menceritakan kepada kami Ahmad ibn Khalid, telah menceritakan kepada kami Ishaq ibn Ibrahim, telah menceritakan kepada kami ’’Abdu al-Razzaq, telah menceritakan kepada kami Ma‘mar, dari al-Zuhri dari Urwah bahwa sesungguhnya ‘Umar ibn Khattab ingin menulis sunnah maka dia meminta fatwa dari para sahabat tentang hal tersebut. Mereka mengisyaratkan untuk menulis hadis tersebut. Maka ‘Umar mulai istikharah selama sebulan lamanya, (sampai) suatu hari Allah sudah menetapkan hatinya dan mengatakan: “Sesungguhnya aku ingin menulis sunnah, dan aku ingat akan suatu kaum sebelum kalian menulis buku, maka mereka menekuni hal tersebut dan meninggalkan kitabullah (al-Quran). Dan aku bersumpah tidak akan mencampurkan kitabullah dengan suatu apapun selamanya.[2]

-          Usaha Abdul Aziz ibn Marwan ibn al-Hakam al-Umawi

عن الليث، حدثني يزيد بن أبي حبيب، أن عبد العزيز بن مروان كتب إلى كثير بن مرة، وكان قد أدرك بحمص سبعين بدريا.

Dari Laith, telah menceritakan kepadaku Yazid ibn Abi Habib, sesungguhnya ’Abdul’Aziz ibn Marwan menulis kepada Kathir ibn Murrah, waktu itu sudah mencapai 70 bulan purnama[3]

-          ‘Umar ibn ’Abdul’Aziz memerintahkan ibn Shihab al-Zuhri dan Abu Bakr ibn Hazm untuk melakukan kodifikasi hadis.

-         Perintah kepada Abu Bakr ibn Hazm dan kiprahnya.

وَكَتَبَ عُمَرُ بْنُ عَبْدِ الْعَزِيزِ إِلَى أَبِى بَكْرِ بْنِ حَزْمٍ انْظُرْ مَا كَانَ مِنْ حَدِيثِ رَسُولِ اللَّهِ صلى الله عليه وسلم فَاكْتُبْهُ فَإِنِّى خِفْتُ دُرُوسَ الْعِلْمِ وَذَهَابَ الْعُلَمَاءِ وَلاَ تَقْبَلْ إِلاَّ حَدِيثَ النَّبِىِّ صلى الله عليه وسلم وَلْتُفْشُوا الْعِلْمَ وَلْتَجْلِسُوا حَتَّى يُعَلَّمَ مَنْ لاَ يَعْلَمُ فَإِنَّ الْعِلْمَ لاَ يَهْلِكُ حَتَّى يَكُونَ سِرًّا

‘Umar ibn ’Abdul’Aziz menulis surat kepada Abu Bakr ibn Hazm: “Lihatlah kepada hadis Rasulullah dan tulislah. Sesungguhnya aku takut akan hilangnya ilmu dan ulama. Dan janganlah terima sebuah hadis kecuali yang berasal dari Rasulullah. Sebarkanlah ilmu dan buatlah majelis-majelis ilmu sampai orang yang tidak berilmu menjadi berilmu. Sesunguhnya ilmu tidak akan musnah sampai menjadi rahasia (orang bakhil akan ilmu).[4]

 

Dijelaskan pula oleh Imam Bukhari melalui riwayat dari ’Abdullah ibn Dinar bahwa ‘Umar ibn ’Abdul’Aziz memerintahkan demikian, hanya saja lafadznya sampai dengan ذهاب العلماء.

Terdapat sebuah riwayat dari Muhammad ibn Hasan dalam Muwatta’ Imam Malik, “Telah menceritakan kepada kami Yahya ibn Said, bahwa ‘Umar ibn ’Abdul’Aziz telah mengirim surat kepada Abu Bakar ibn Amru ibn Hazm: “Telitilah hadis Rasulullah, lalu tuliskanlah padaku. Sesungguhnya aku takut akan kehilangan ilmu dan para ulama”.[5]

 

-          Perintah kepada Muhammad ibn Shihab al-Zuhridan aktifitas kodifikasinya.

Imam al-Zuhry disebut sebagai orang pertama yang menaruh pondasi ilmu hadis, yaitu qawa’id dan dawabit ilmu hadis. Tetapi qawa’id dan dawabit yang ada pada masa tersebut hanya tersimpan di dalam dada mereka (tidak tertulis), dengan bukti tidak ditemukannya satu buku pun yang dibuat oleh ulama pada zaman tersebut. Sedangkan Imam Shafi‘i merupakan orang pertama yang menulis tentang hadis (meskipun masih tercampur dengan pembahasan selain ulum hadis).[6]

Ibn Hajar menjelaskan dalam Fath-nya bahwa ibn Shihab adalah orang pertama yang membukukan hadis atas perintah ‘Umar bin ’Abdul ’Aziz, sebagaimana dalam riwayat Muhammad ibn Hasan dari Malik: “Orang pertama yang membukukan ilmu (hadis) adalah ibn Shihab al-Zuhri”. Ibn Shihab berkata: “Umar ibn ’Abdul’Aziz telah memerintahkan kepada kami untuk mengumpulkan hadis, lalu kami tulis menjadi buku, dan kami kirimkan ke seluruh negara muslim”[7]

Dalam hal ini Muhammad Rashid Rida berpendapat bahwa sebenarnya orang yang pertama kali membukukan hadis adalah Khalid ibn Ma‘dan al-Hamsi dengan alasan bahwa Khalid telah mengumpulkan ilmunya di dalam satu kitab yang selalu terjaga bersamanya. Dan Khalid meninggal tahun 103 atau 104 H. Hal tersebut dijawab Ajjaj al-Khatib dengan alasan sebagai berikut apabila yang dimaksud Rashid Rida adalah tadwin shakhsi (pembukuan pribadi) maka yang lebih dahulu adalah para sahabat. Karena sahabat ada yang menulis hadis dan menjaga kitabnya, seperti ibn ‘Umar. Oleh karenanya anggapan bahwa Khalid orang yang pertama membukukan hadis dengan alasan yang diungkapkan Rashid Rida tidaklah tepat.[8]

Kemudian para ulama mengumpulkan hadis berbentuk jawami’, musannafat dan muwatha’  seperti:

-          Jami’ Ma’mar ibn Rasyid (w. 154 H)

-          Jami’ Sufyan al-Tsauri (w. 161 H)

-          Jami’ Sufyan ibn ‘Uyainah (w. 198 H)

-          Mushannaf Hammad ibn Salamah (w. 167 H)

-          Muwatha’ Imam Malik (w. 179 H)

 

Muwatha’ Imam Malik merupakan karya yang paling prestisius waktu itu, sampai-sampai Imam Syafi’i mengatakan:

ما على ظهر الأرض كتاب بعد كتاب الله أصح من كتاب مالك

Tidak ada buku di muka bumi ini yang lebih sahih setelah Alquran dari kitab (Muwatta’) Imam Malik”.[9]

 

Tapi hadis yang sudah dibukukan waktu itu tidak hanya hadis yang sampai pada Rasulullah SAW saja, melainkan juga hadis yang sampai pada sahabat (mauquf) dan tabi‘in (maqtu‘).

Pada masa ini juga muncul kebutuhan untuk jarh wa ta‘dil dikarenakan banyaknya shuyukh yang da‘if dari segi hafalan maupun termasuk ahlu al-ahwa’ wa al-bida. Oleh karenanya para ulama hadis tidak mengambil hadis dari orang yang tidak dikenal (sebagai ahli hadis). Diriwayatkan Imam Muslim dalam muqaddimah shahihnya dari Abu al-Zinad

عن أبي الزناد قال: أدركت بالمدينة مائة كلهم مأمون ما يؤخذ عنهم الحديث يقال: "ليس من أهله"

Aku bertemu dengan seratus orang di Madinah, semuanya aman (perangainya baik), namun tidak diambil satupun hadis dari mereka. Dikatakan: “Mereka bukan ahli hadis”.[10]

 

Ulama yang ahli dalam jarh wa ta’dil , diantaranya: Syubah ibn al-Hajjaj (w. 160 H) dan Sufyan al-Thauri, ‘Abdurrahman ibn Mahdi (w. 198 H)

Pada masa ini juga muncul kitab yang khusus membahas mukhtalaf al-hadith, diantaranya: Ikhtilaf al-Hadith karya Imam Shafi‘i, Ikhtilaf al-Hadith karya ‘Ali ibn al-Madini dan Ta’wil Mukhtalaf al-Hadith karya ibn Qutaibah.[11]

 

  II.     Kodifikasi Hadis Abad Ketiga Hijriyah

Datang paling awal adalah masanid, yaitu metode pengumpulan hadis urut berdasarkan nama sahabat, musnad yang terkenal pada masa ini adalah musnad Ahmad ibn Hanbal. Kemudian datang setelahnya Imam Bukhari, yang melihat akan pentingnya pengumpulan hadis sahih secara khusus. Lalu hadis-hadis tersebut dibagi sesuai dengan bab, untuk memudahkan dalam mencari hadis tersebut juga dalam menentukan hukum fiqh. Maka dibuatlah al-Jami al-Sahih. Kemudian diikutilah oleh imam kutub sittah (kecuali Nasai) yang merupakan murid-muridnya, dengan menggunakan metode serupa. Meskipun penulis kitab sunan tidak mensyaratkan hadis tersebut dengan derajat sahih. Begitulah madrasah al-Bukhari mempunyai peran vital terhadap perkembangan ilmu hadis. Kemudian diikuti oleh ibn Khuzaimah (w. 311 H) dan ibn Hibban (w. 354 H).[12]

Ilmu rijal al-hadith juga berkembang pada masa ini dengan dikarangnya Tarikh al-Rijal oleh Yahya ibn Ma‘in (w. 234 H) dan Muhammad ibn Sa‘d (w. 230 H) dengan Tabaqatnya. Serta Ahmad ibn Hanbal (w. 241 H) dengan al-‘Ilal wa Marifatu al-Rijal dan al-Nasikh wa al-Mansukh. Tak kalah hebat, Ali ibn ’Abdullah al-Madini (w. 234 H) yang merupakan guru dari Imam Bukhari, mengarang berbagai macam kitab dalam ilmu hadis hingga mencapai 200 buku. Sehingga dikatakan tidak ada cabang ilmu dalam ilmu hadis kecuali beliau telah menulisnya.Lalu imam Tirmidzi (w. 279 H) membuat al-‘Ilal al-Saghir. Didalamnya dibahas hal-hal penting tentang jarhwata‘dil, maratibu al-ruwwat, adab al-tahammul wa al-ada’, riwayah bi al-ma’na, hadith mursal, ta‘rif hadith hasan, ta‘rif hadith gharib dan sebagainya.[13]

Pada abad ini juga disebut dengan masa keemasan hadis (العصر الذهبي). Salah satu buktinya adalah dibuatnya buku yang selalu jadi rujukan umat Islam sedunia, yaitu kutub al-sittah:

a.       Sahih Bukhari oleh Abu ‘Abdullah Muhammad ibn Isma‘il al-Bukhari (w.256 H) atau yang lebih dikenal dengan Imam Bukhari

b.      Sahih Muslim oleh Muslim ibn al-Hajjaj al-Naisaburi (w.261 H)

c.       Sunan Abi Dawud oleh Abu Dawud al-Sijistani (w. 275 H)

d.      Sunan Ibni Majah oleh AbuAbdullah Muhammad ibn Yazid atau yang lebih dikenal dengan ibn Majah.

e.       Sunan al-Tirmidhi oleh AbuIsa Muhammad ibn Isa al-Tirmidhi (w. 279 H)

f.       Sunan al-Nasa’i oleh AbuAbdurrahman Ahmad ibn Shu’aib al-Nasai (w. 303 H)[14]

 

  II.     Kodifikasi hadis abad keempat sampai ketujuh hijriah

Pada abad inilah mulai muncul ilmu hadis dirayah atau yang lebih dikenal dengan ilmu mustalah al-hadith. Oleh karenya muncullah: Al-Muhaddith al-Fasil baina al-Rawi wa al-Wa‘i karangan al-Qadi Abu Muhammad al-Ramahurmuzi (w. 360 H). buku ini merupakan buku pertama mustolahal-hadith.[15]

Kemudian muncullah buku mustalah yang di dalamnya membahas semua jenis-jenis hadis (penyempurnaan kaidah-kaidah yang ada dalam mustalah hadis), Diantaranya:

1.      Ma‘rifat al-‘Ulum al-Hadith karya Hakim Abu ‘Abdullah Muhammad ibn ‘Abdullah al-Naisaburi (w. 405 H). Di dalamnya dibahas 52 macam pembahasan ulum al-hadith.

2.      Al-Mustakhraj karangan al-Asfahani (w. 430 H). Menyempurnakan pembahasan ulumul hadis dalam kitab Hakim, oleh karenanya disebut mustakhraj.

3.      Al-Kifayah fi ’ilmi al-Riwayah oleh al-Khatib al-Baghdadi (w. 463 H)

4.      Al-’Ilma’ fi Usuli al-Riwayah wa al-Sama‘ karangan al-Qadi ‘Iyadl ibn Musa (w. 544 H)

5.      Ma la yasa’ al-Muhaddith jahluhu karangan al-Mayanji (w. 580 H).[16]

Selain itu, muncul pula kitab hadis yang disebut dengan mustadrak, yaitu kitab yang berisi hadis-hadis yang sesuai dengan syarat dari kitab tertentu, dimana hadis tersebut belum diriwayatkan dalam kitabnya. Diantaranya Mustadrak ala al-Sahihain karya al-Hakim dan Mustadrak Dar al-Qutniyang terkenal dengan al-Ilzamat.[17]

 

III.     Kodifikasi hadis abad ketujuh hijriyah sampai sekarang

Syaikh Nuruddin ‘itr menjelaskan bahwa pada masa ini tashnif buku mustalah hadis telah lengkap, mulai dari macam-macamnya sampai pada pembahasa detail beberapa masalah ilmu hadis. Muncullah kitab mustholah yang masyhur “Ulumul Hadis” karya ibn Salah. Kitab ini menyempurnakan kitab mustalah hadis sebelumnya. Oleh karenanya kitab ini menjadi bahan rujukan dari buku-buku ilmu hadis yang dibuat setelahnya. Diantaranya:

1.      Al-Irshad karangan Imam Nawawi (w. 676 H). Merupakan ringkasan dari buku ibn Salah. Kemudian Imam Nawawi juga mengarang al-Taqrib

2.      Al-Tabsiroh wa al-Tadhkirah karya al-Iraqi (w. 806 H). Berisi mandhumah 1000 bait yang merujuk kepada buku ibn Solah ditambah ta‘qib dalam beberapa masalah penting.

3.      Nukhbat al-Fikr dan Nuzhat al-Nazar karya ibn Hajar (w. 852 H)

4.      Tadrib al-Rawi karya Imam Suyuti (w. 911 H) merupakan sharh dari taqrib al-Nawawi, dimana taqrib merupakan mukhtasar dari kitab ibn Solah.[18]

 

Pada masa ini telah lengkap jenis (nau‘) tentang Ulum al-Hadith, maka muncul banyak karya tentang penelitan dan pengembangan dari kitab-kitab hadis terdahulu seperti majami‘, zawa’id dan atraf. Selain itu juga muncul berbagai macam karya seperti kitab hadis yang meringkas kitab-kitab terdahulu (seperti Mukhtasar Kitab al-Khilafiyyat li al-Baihaqi), kumpulan hadis Ahkam (seperti Bulughul Maram karya ibn Hajar), kitab Mu‘jami (seperti Jam‘u al-Jawami‘ dan Jami‘ al-Saghir), kitab Sharh (seperti Fathu al-Bari dan ‘Umdatu al-Qari)[19]

Lalu datang masa setelahnya yaitu masa rukud wa jumud (diam). Artinya tidak ada ijtihad, tetapi hanya sebatas mendiskusikan ibarah yang ada pada kitab-kitab sebelumnya. Diantaranya adalah:

1.      Al-Manzumah al-Baiquni karya al-Baiquni (w. 1080 H)

2.      Taudihu al-Afkar karya al-San‘ani (w. 1182)[20]

Selanjutnya adalah masa kontemporer, dimana banyak muncul shubhat tentang sunnah Rasulullah. Para ulama hadis pun mengarang buku untuk melindungi sunnah, diantaranya:

1.      Qawa‘idu al-Tahdith karya Jamaluddin al-Qasimi

2.      Mafatihu al-Sunnah karya ‘Abdul ‘Aziz al-Khuli. Membahas tentang sejarah hadis.

3.      Al-Sunnah wa Makanatuha fi al-Tashri‘al-Islami karya Mushtofa al-Siba‘i.[21]


Baca Juga Artikel yang lainya :

DAFTAR PUSTAKA

A‘zami, Mustafa, Dirasat fi al-Hadith al-Nabawi wa Tarikhu Tadwinihi (t.t.: t.p., t.th.)

Abadi, Fairuz, Qamus al-Muhit. Beirut: Muassasah al-Risalah, 2005.

Athqalani (al), Ibnu Hajar, Nukat ‘ala Kitabi ibn Salah, Ahmad: Dar al-’Abduyah, Cetakan 3, 1994 M / 1415 H.

Bar (al), Abu ‘Umar Yusuf ibn ‘Abdu, Jami’ banani al-‘ilm wa fadhlihi, Mesir: Dar ibn al-Jauzi.

Bukhari (al), Muhammad ibn Isma‘il, Shahih Bukhari, Stuttgart: Jam’iyyah Maknaz Islamy, 2000.

Hajjaj, Muslim ibn, Sahih Muslim. Stuttgart: Jam’iyyah Maknaz Islamy, 2000.

Hakami (al), ibn Ahmad, Dalil Arbabi al-Falah li Tahqiqi Fanni al-Istilah, Madinah: Maktabah al-Ghuraba’ al-Atsariyah, 1993.

‘Itr, Nuruddin, Manhaj al-Naqd fi ‘Ulumi al-Hadits, Suriah: Dar al-Fikr, 1981.

‘Imarah, Mustafa Muhammad Abu, “Manahij al-Muhaddithin min Muntasafi al-Qarn al-Rabi’ ila Muntasafi al-Qarn al-Sabi”, dalam Mausu‘ah Ulum al-Hadith al-Sharif. Kairo: Wizaratu al-Auqaf, 2009.

Khatib (al), Ajjaj, Usul al-Hadith ‘Ulumuhu wa Mustalahuhu. Suriah: Dar al-Fikr, 2006.

Khushu‘i (al), Khushu‘i Khushu‘i  Muhammad, Tarikh al-Sunnah al-Nabawiyyah. Kairo: Diktat Azhar, 2009.

Majma’ al-Lughohal-‘Arabiyyah, Mu’jam al-Wasith, Mesir: Maktabah al-Syuruq al-Dauliyah, 2004.

Malik, Imam, Muwatha’,, Stuttgart – Germany: Jam’iyyah Maknaz Islamy, 2000.

Mubarakfuri (al), Muhammad ’Abdurrahman ibn ’Abdurrahim, Muqaddimah Tuhfatu al-Ahwadhi. Suriah: Dar Fikr, t.th..

Muttalib, Rif‘at Fauzi ‘Abdul, “Manahij al-Muhaddithin min Muntasafi al-Qarn al-Sabi‘ hatta Awakhiri al-Qarn al-‘Ashir al-Hijri”, dalam Mausu‘ah Ulum al-Hadith al-Sharif. Kairo: Wizaratu al-Auqaf, 2009.

Rushd,  Abu al-Walid Muhammad ibn Ahmad ibn, al-Mudawwanah al-Kubra li al-Imam al-Malik. Beirut: Dar al-Kutub al-'Ilmiyyah, 1994.

Suyuti (al), Abu Bakar Jalaluddin, Tadrib rawi, Riyadh: Dar al-‘Asimah, 2003.

Shahin, Marwan Muhammad Mustafa, “Sunnah Abad ke-III H Sampai Awal Abad ke-IV”, dalam Mausu‘ah Ulum al-Hadith al-Sharif. Kairo: Wizaratu al-Auqaf, 2009.

Warson, Ahmad, Kamus al-Munawwir, Surabaya: Penerbit Pustaka Progressif, t.th..

Zahrani (al), Muhammad ibn Matar, Tadwin al-Sunnah al-Nabawiyyah. Riyad:Dar al-Hijrah li al-Nasr wa al-Tauzi‘, 1996.

Zain, Musa Farhat, “al-Kutub al-Sunnah wa manzilatuha baina kutub al-hadis”, dalam Mausu‘ah Ulum al-Hadith al-Sharif. Kairo: Wizaratu al-Auqaf, 2009.


[1]Khushu‘i Khushu‘i  Muhammad al- Khushu‘i, Tarikh al-Sunnah al-Nabawiyyah (Kairo: Diktat Azhar, 2009), 280.

[2] Abu ‘Umar Yusuf ibn ‘Abdu al-Bar, Jami’ banani al-‘ilm wa fadhlihi, (Mesir: Dâr Ibn al-Jauzy), juz 1, hal. 275

[3] Khushu‘i Khushu‘i  Muhammad al- Khushu‘i, Tarikh al-Sunnah, 280.

[4]Muhammad ibn Isma‘il al-Bukhari, al-Jami’ al-Shahih, hal. 28.

[5]Ibn Hajjaj al-Hakami, Dalil Arbabi al-Falah li Tahqiqi Fanni al-Istilah (Madinah: Maktabah al-Ghuraba’ al-Atsariyah, 1993) , 4.

[6]‘Itr, Manhaju al-Naqd, 60.

[7]Muhammad al- Khushu‘i, Tarikh al-Sunnah al-Nabawiyyah, 281.

[8]Ajjaj al-Khatib, Usul al-Hadith ‘Ulumuhu wa Mustalahuhu,  (Suriah: Dar al-Fikr, 2006), 134.

[9] Abu al-Walid Muhammad ibn Ahmad ibn Rushd, al-Mudawwanah al-Kubra li al-Imam al-Malik (Beirut: Dar al-Kutub al-'Ilmiyyah, 1994), 41. Lihat juga: Muhammad ’Abdurrahman ibn ’Abdurrahim al-Mubarakfuri, Muqaddimah Tuhfatu al-Ahwadhi, (Suriah: Dar al-Fikr, t.th.), 173.

[10] Muslim ibn Hajjaj, Sahih Muslim, (Stuttgart – Germany: Jam’iyyah Maknaz Islamy, 2000), 9.

[11] Matar al-Zahrani, Tadwin al-Sunnah, 98.

[12]‘Itr, Manhaj al-Naqd, 61.

[13]‘Itr, Manhaj al-Naqd, 61

[14] Musa Farhat Zain, “al-Kutub al-Sunnah wa manzilatuha baina kutub al-hadis”, Dalam Mausu’ah Ulumil Hadis asy Syarif, 849.

[15]Marwan Muhammad Mustafa Shahin, “Sunnah Abad ke-III H Sampai Awal Abad ke-IV””, dalam Mausu‘ah Ulum al-Hadith al-Sharif (Kairo: Wizaratu al-Auqaf, 2009), 918.

[16]‘Itr, Manhaj al-Naqd , 63.

[17] Mustafa Muhammad Abu ‘Imarah, “Manahij al-Muhaddithin min Muntasafi al-Qarn al-Rabi’ ila Muntasafi al-Qarn al-Sabi”, dalam Mausu‘ah Ulum al-Hadith al-Sharif, 922.

[18] ‘Itr, Manhaju al-Naqd, 67.

[19]Rif‘at Fauzi ‘Abdul Muttalib, “Manahij al-Muhaddithin min Muntasafi al-Qarn al-Sabi‘ hatta Awakhiri al-Qarn al-‘Ashir al-Hijri”, dalam Mausu‘ah Ulum al-Hadith al-Sharif, 983.

[20]‘Itr, Manhaj al-Naqd, 69.

[21]‘Itr, Manhaj al-Naqd,70.

Pengertian Kodifikasi Hadist

 

Menurut bahasa تدوين berasal dari دَوَّنَ – يُدَوِّنُ yang berarti كتب (menulis) dan سجل (mencatat)[1]. Sedangkan dalam Mu’jam al-Wasit adalah جمعها وترتيبها (mengumpulkan dan mengurutkan)[2].

Sedangkan menurut terminologi dalam ilmu hadis adalah proses  pengumpulan dan penyusunan hadis  yang secara resmi didasarkan perintah khalifah, bukan (penulisan) yang dilakuan secara peseorangan seperti yang terjadi di masa-masa sebelumnya.

Sementara itu terdapat perbedaan antara kodifikasi (al-tadwin), penulisan (al-kitabah), dan penyusunan (al-tasnif), yaitu:

a.       Al-Kitabah artinya penulisan, yaitu penulisan hadis secara pribadi. Ketika itu para penulis hadis mengkhususkan tulisannya untuk diri sendiri, dikarenakan ada larangan dari Rasulullah untuk menulis hadis. Sebagian sahabat pun sudah menulis hadis sebagaimana riwayat berikut:

حَدَّثَنَا عَلِىُّ بْنُ عَبْدِ اللَّهِ قَالَ حَدَّثَنَا سُفْيَانُ قَالَ حَدَّثَنَا عَمْرٌو قَالَ أَخْبَرَنِى وَهْبُ بْنُ مُنَبِّهٍ عَنْ أَخِيهِ قَالَ سَمِعْتُ أَبَا هُرَيْرَةَ يَقُولُ مَا مِنْ أَصْحَابِ النَّبِىِّ صلى الله عليه وسلم أَحَدٌ أَكْثَرَ حَدِيثًا عَنْهُ مِنِّى إِلاَّ مَا كَانَ مِنْ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ عَمْرٍو فَإِنَّهُ كَانَ يَكْتُبُ وَلاَ أَكْتُبُ

Abu Hurairah berkata, "Tidaklah ada seorangpun dari sahabat Nabi yang lebih banyak hadisnya dibandingkan aku, kecuali 'Abdullah bin 'Amr. Sebab ia bisa menulis sedang saya tidak."[3]

b.      Al-Tasnif artinya penyusunan atau klasifikasi[4]. Menurut istilah mengandung makna usaha menghimpun atau menyusun beberapa hadis  (kitab hadis) dengan membubuhi keterangan mengenai arti kalimat yang sulit-sulit dan memberi interpretasi sekedarnya. Jika dalam memberikan interpretasi itu dengan jalan mempertalikan atau menghubungkan dan menjelaskan dengan hadis lain, dengan ayat-ayat al-Qur’an atau dengan ilmu-ilmu lain maka disebut dengan ilmu Sharh dan meringkas. al-Tasnif ini muncul pada abad ke V dan seterusnya yaitu abad periodisasi klasifikasi dan sistematisasi susunan kitab-kitab hadis .

c.       Mengutip dari Qamus al-Muhit, Fairuz Abadi mengatakan bahwa: “Tadwin secara bahasa adalah مجتمع الصحف (kumpulan sahifah).[5]Menurut Dr. Muhammad Ibn Mathar Al-Zahrani tadwin adalah :

تقييد المتفرق المشتت، وجمعه في ديوان أو كتاب تجمع فيه الصحف

“Mengikat yang berserakan lalu mengumpulkannya menjadi satu diwan atau kitab yang terdiri dari lembaran-lembaran. Sedangkan secara luas tadwin sendiri diartikan dengan al-Jam’u (mengumpulkan).”[6]


Terkadang ada kesalahpahaman seseorang yang menganggap bahwa pembukuan, penulisan dan penyusunan adalah hal yang sama. Padahal hal tersebut sangat berbeda sekali. Tidak hanya secara pengertian saja, bahkan masanya pun juga berbeda. Kitabah hadis sudah ada sejak Nabi, kemudian masa pembukuan dimulai ketika zaman ‘Umar ibn ‘Abdul ‘Aziz, sedangkan tasnif jauh setelahnya.

Jika ada yang meragukan hadis dengan alasan pada zaman Rasulullah saw hadis tidak dibukukan, maka ibn Hajar menjawab: “Memang hadis Nabi pada zaman Sahabat, maupun kibar tabi‘in belum dibukukan, hal tersebut dikarenakan dua sebab: Yang pertama pada awalnya para sahabat dilarang untuk menulis hadis pada zaman Rasul, sebagaimana dijelaskan di dalam Sahih Muslim karena ditakutkan tercampur dengan al-Quran. Yang kedua para sahabat terkenal dengan kekuatan hafalannya, juga pada waktu tersebut kebanyakan kurang pandai menulis.”[7]

Baca Juga Artikel yang lainya :


[1] Ahmad Warson, Kamus al-Munawwir (Surabaya: Penerbit Pustaka Progressif, t.th.), 435.

[2] Majma’ al-Lughoh al-‘Arabiah, Mu’jam al-Wasith (Mesir: Maktabah al-Syuruq al-Dauliyah, Cetakan 4, 2004 M / 1425 H), 305.

[3] Muhammad ibn Isma‘il al-Bukhari, al-Jami’ al-Shahih (German: Maknaz al-Islami, 2010), 113.

[4]Ahmad Warson, Kamus al-Munawwir, 798.

[5]Fairuz Abadi, Qamus al-Muhit (Beirut: Muassasah al-Risalah, 2005), 1197

[6] Muhammad ibn Matar al-Zahrani, Tadwin al-Sunnah al-Nabawiyyah (Riyad:Dar al-Hijrah li al-Nasr wa al-Tauzi‘, 1996), 74

[7]Mustafa A‘zami, Dirasat fi al-Hadith al-Nabawiwa Tarikhu Tadwinihi (t.t.: t.p., t.th.), 72.

MAKALAH HADIST TENTANG HIJAB

  A.   Latar Belakang Telah disepakati oleh seluruh umat Islam bahwa al-Qur’an menjadi pedoman hidup baik tentang syariah maupun dalam keh...