HOME

25 Januari, 2022

Aliran Jabariyah

 

BAB II

PEMBAHASAN

A.    Pengertian Jabariyah

Jabariyyah berasal dari kata jabara yang berarti memaksa. Al-syahrastani menegaskan istilah al-jabr diartikan menolak adanya perbuatan dari manusia dan menyandarkan semua perbuatan kepada allah.[1] Menurut al-Syahrastani jabariyah berarti menghilangkan perbuatan dari hamba secara hakikat dan menyandarkan pebuatan tersebut kepada Allah. Dalam istilah inggris Jabariyah disebut fatalism atau predestination, yaitu faham yang menyatakan bahwa segala perbutan manusia telah ditentukan semula oleh qada dan qodar Tuhan.[2] Dengan kata lain semua yang terjadi dalam kehidupan manusia bergantung pada takdir allah. Menurut aliran ini manusia tidak memiliki andil sama sekali dalam melakukan perbuatannya, Tuhanlah yang menentukan segala-galanya.

Menurut aliran ini Allah mempunyai sifat al-jabbar, yang artinya Allah  maha memaksa. Ungkapan al-insan majbur  mempunyai arti bahwa manusia dipaksa atau terpaksa. Manusia tidak mempunyai kemerdekaan untuk menetukan kehendak dan perbutannya. Manusia terikat pada kehendak tuhan, denga kata  lain manusia mengerjakkan perbutannya dalam keadaan terpaksa. Selanjutnya kata jabara (bentuk pertama) ditarik menjadi Jabariyah, yang memilik arti suatu kelompok atau golongan (isme). Faham ini menyatakan bahwa manusia itu terpaksa dalam segala  tindaknnya. Ia tidak mempunyai kemampuan atau pilihan untuk menentukan tindakan-tindaakannya sendiri. Ia ibarat bulu yang digantungkan di udara yang hanya bergerak bila ada angin yang menggerakannya.

B.     Sejarah Perkembangan Aliran Jabariyah

Faham Jabariyah diperkirakan telah ada sebelum agama islam datang pada masyarkat Arab. Kahidupan bangsa Arab yang dikelilingi oleh gurun pasir yang terik, memberikan dapak yang besar terhadap kehidupan mereka. Dengan suasana yang demikian membuat mereka tidak memiliki kemampuan apa-apa, dan hanya mampu patuh, tunduk, dan pasrah terhadap kehendak Tuhan.[3] Dalam kehidupan yang serba sederhana dimasa lalu ditambah pula keadaan lingkungan gurun pasir yang tandus dan terik, menyebabkan bangsa Arab pada zaman dahulu menggantungkan kehidupan mereka dari keadaan alam. Mereka tidak mampu merupah keadaan mereka sesuai dengan apa yang mereka inginkan, sehingga membuat mereka bersifat falatisme.   

Benih pemikiran Jabariyah ada pada beberapa orang sahabat sejak masa nabi Muhammad SAW masih hidup. Diceritakan bahwa suatu hari nabi menjupai para sahabatnya yang sedang membicarakan masalah tentang qadar nabipun marah seraya berkata: untuk inikah kalian diperintahkan? Umat sebelum kamu binasa karena mereka berbuat seperti kamu ini, saling mempertentang ayat yang satu dengan yang lain. Perhatikan apa yang diperintahkan kepadamu, lalu kerjakanlah, dan apa yang dilarang atas kamu jauhilah.

Nabi sendiri sudah pernah menyatakan bahwa diantara umatnya ada orang-orang yang berpaham semacam jabariyah atau qodriya. Dikisahkan pada suatu hari ada seseorang lelaki dari persi yang datang kepada nabi lalu berkata: aku lihat orang persi menikah dengan anak-anak perempuan mereka dan saudara-saudara perempuan mereka. Kalu mereka ditanya mengepa berbuat demikian ? mereka menjawab: demikian qadla dan adar allah. Lalu nabi bersabda: diantara umatku akan adda orang-orang yang berkata demikian, dan mereka itulah orang-orang majusi dari umatku.

Khalifah umar bin khattab opernah menangkap seorang pencuri kektika diinterogasi pencuri itupun berkata: “tuhan telah menentukan aku mencuri”. Mendengar ucapan itu. Umarpun marah sekali dan menganggap orang itu telah berdusta kepada tuhan. Oleh karena itu, umar memberi dua jenis hukuman kepada pencuri itu. pertama, hukuman potong tangan karena mencuri. Kedua, hukuman dera karena menggunakan dalil takdir allah.

Pada pemerintahan bani umayyah pandangan tentang al-jabar semakin mencuat kepermukaan. Abdullah bin abbas melalui suratnya memberikan reaksi keras kepada penduduk syiri’ah yang diduga berfaham jabariyah.

Berdasarkan penjelasan tersebut dapat kita ambil kesimpulan bahwa awal mula kemunculan faham jabariyah adalaah sejak awal periode islam. Namun al-jabar sebagai pola pikir atau aliran yang dianut, dipelajari dan dikembangkan, baru terjaddipada masa pemerintahn bani umayyah.

Faham jabariyah secara nyata menjadi aliran yang disebarkan kepada orang lain pada masa bani umayyah. Dan yang dianggap sebai penderi utama adalkah al-ja’ad bin dirham diperoleh berita bahwa emahaman ja’ad didapat dari banan bin sam’an dari talut bin ukhtu lubaid bin as’am tukang sihir dan memusuhi nabi SAW.[4]

Dalam pendapat lain mengatakan bahwa faham ini diduga telah muncul sejak sebelum agama islam datang kemasyarakat arab. Kehidapan bangsa arab yang diliputi gurun pasir sahara yang telah member pengaruh besar dalam hidup mereka. Ditengah bumi yang disinari terik matahari dengan air yang sangat panas ternyata tidak memberikan kesempatan bagi tumbuhnya pepohonan dan suburnya tanaman, namun yang tumbuh hanya rumout kering dan beberapa pohon kuat untuk mengahadapi panasnya musim serta keringnya udara.

Harun nasution menjelaskan bahwa dalam situasi demikian masyarakat arab tidak melihat jalan untuk mengubah keasaan disekitar mereka sesuai dengan kehidupan yang diinginkan. Mereka merasa lemah dalam menghadapi kesukaran-kesukaran hidup. Artinya mereka banyak bergantung pada alam, sehingga menyebabkan mereka kefaham fatalisme.

C.    Doktrin-doktrin Aliran Jabariyah

Menurut Asy-Sarahtani, jabariyah dapat dikelompokkan menjadi dua bagian :

1)      Jabariyah murni merupakan aliran yang menolak adanya perbuatan berasal dari manusia dan memandang mausia tidak mempunyai kemampuan untuk berbuat.misalnya, kalau seorang mencuri itu bukanlah terjadi atas kehendak sendiri, terpai perbuatannya timbul karena qada, dan qadar tuhan yang menghendaki demikian.

2)      Jabariyah moderat: aliran yang mengakui adanya perbuatan dari manusia namun perbuatan manusiatidak membatasi. Orang yang mengaku adanya perbutan dari makhluk ini yang mereka namakan “kasab” bukan termasuk jabariyah.[5] Yang termasuk tokoh jabariyah moderat adalah sebagai berikut:

D.    Tokoh-tokoh Beserta Sekte-sekte dalam Aliran Jabariyah

Dalam perkembangannya aliran jabariyah terus berkembang hingga akhirnya muncul tokoh-tokoh dalam aliran ini beserta sekte-sekte dan ajaranya masing-masing, berikut merupakan tokoh-tokoh dalam aliran Jabariyah :

a.       Ja’ad bin Dirham

Ja’ad bin Dirham adalah seorang maulana bani hakim, tinggal di damaskus. Ia dibesarkan dalm lingkungan orang kristen yang senang membicarakan tentang teologi. Ajaran yang dibawa olej Ja’ad merupakan aliran jabariyah yang ekstrim. Dokrin pokok Ja’ad secara umum sama dengan fikiran jahm Al-Ghuraby yang menjelaskan sebagai berikut;

1)      Al-quran itu adalah mahluk, oleh karena itu dia baru. Sesuatu yang baru itu tidak dapat disifatka kepada Allah.

2)      Allah tidak mempunyai sifat yang serupa dengan mahluk, seperti berbicara, melihat, dan mendengar.

3)      Manusia terpaksa oleh Allah dalam segala-galanya.

b.      Jaham ibn Shafwan Al-Jahmiyyah

Jaham ibn Shafwan (124 H) merupakan pendiri dari aliran Al-Jahmiyyah, dia merupakan pengikut Jabariyyah murni. Aliran Al-Jahmiyyah tersebar luas didaerah Tirmiz. Meskipun Jaham ibn Shafwan sependapat dengan Mu’tazilah mengenai penolakan adanya sifat alamiah bagi Allah, namun ia memiliki beberapa perbedaan dengan Mu’tazilah dalam beberapa hal :

1)      Makhuk tidak boleh memiliki sifat yang serupa dengan Allah, ia menolak pendapat bahwa Allah maha hidup dan maha mengetahui, namun ia meyakini bahwa Allah maha kuasa.

2)      Ia mengakui bahwa ilmu bukan sifat dari zat-Nya, karena menurutnya sifat tidak memiliki tempat. Ia mengakui bahwa ilmu Allah itu baru karena banyaknya yang diketahui Allah itu baru.

3)      Manusia tidak sedikitpun memiliki kekuasaan, keinginan, dan tidak memiliki pilihan antara ingin melakukan hal tersebut ataukah tidak. Menurutnya semua yang terjadi kepada makhluk hidup adalah perbuatan Allah dan perbutan itu disandarkan kepada makhluk hanya penyandaran majazi.

4)      Manusia akan kekal baik di Surga maupun di Neraka. Ia menakwilkan firman Allah:

 خَا لِدِيْنَ فِيْهَا 

“... mereka kekal di dalamnya...”

Jaham ibn Shafwan juga memaparkan alasan bahwa keadaan penghuni surga dan mereka tidak berubah dengan firman Allah :

خَالِدِيْنَ فِيْهَا مَادَامَتِ السَّمَوَاتُ وَاْلأَرْضُ إِلاَّ مَا شَآ ءَ رَبُّكَ (هود : 108)

“Mereka kekal didalamnya, selama ada langit dan bui kecuali jika Tuhanmu menghendaki (yang lain)…..”. (Q.S. Hud 108)

Ia berpendapat bahwa dalam ayat ini memuat syarat dan pengecualian, sedangkan kekekalan dalam surge dan neraka tidak dapat dikecualikan.

5)      Menurutnya siapa yang memiliki ma’rifah (pengenalan) kepada Allah, dan kemudian ia berbuat ingkar dengan lisannya ia tidak dapat dikatakan kafir.[6]

Aliran Al-Jahmiyah merupakan aliran jabariyah yang bersifat ekstrim.

c.       al-Husain ibn Muhamad An-Najjar

al-Husain ibn Muhamad An-Najjar merupakan pendiri aliran  An-Najjariyah, ia merupakan tokoh Mu’tazilah yang paling banyak mempergunakan rasio. Pendukung aliran ini diantaranya Burgusiah, Za’faraniah, dan Mustadikah. Mereka memiliki pendapat yang sama dengan Mu’tazilah yang menolak adanya sifat Ilmu, Qudrat, Iradat, Sama’, Hayat, dan Bashar bagi Allah, akan tetapi mereka memiliki pendapat yang sama dengan mazhab Shifatiyyah yang mengatakan bahwa semua perbutan termasuk ciptaan Allah.

An-Najjar berpendapat bahwa Tuhan yang maha berkehendak dengan zat-Nya, Tuhan maha mengetahui dengan zat-Nya. Menurutnya Allah yang menciptakan semua perbutan makhluk yang baik maupun buruk dan manusia sedikit pun tidak memiliki andil dalam hal tersebut karena manusia hanya mampu merencanakan.[7]

Dari pendapat diatas dapat diketahui bahwa setiap tindakan manusia yang baik ataupun buruk merupakan ciptaan tuhan, namun manusia masih memiliki andil dalam setiap apa yang diperbuatnya. Aliran yang dibawa oleh an-Najjar merupakan aliran jabariyah yang bersifat moderat.

d.      Dhirar ibn ‘Amr dan Hafshul al-Fard

Dhirar ibn ‘Amr dan Hafshul al-Fard merupakan pendiri dari aliran Ad-Dhirariyyah, keduanya memiliki pendapat yang sama mengenai adanya sifat Allah, namun mereka berpendapat bahwa Allah Maha Mengetaahui dan Maha kuasa, maksudnya bahwa Allah tidak jahil dan tidak lemah.

Mereka memiliki keyakinan bahwa segala perbutan manusia adalah ciptaan Allah, namun manusia memperdayagunakannya. Mereka beranggapan bahwa dalam satu perbutan bisa saja terdapat dua pelaku.[8]

Dari penjelasan diatas dijelaskan bahwa dalam setiap tindakan yang dilakukan oleh manusia berasal dari dua sumber yang saling bekesinambungan, antara daya manusia dan takdir yang telah ditetapkan oleh Allah.  Aliran ini merupakan  aliran jabariyah yang sifatnya moderat.

E.     Perkembangan Pemikiran Aliran Jabariyah dalam Dinamika Kontemporer

Seiring dengan berkembangnya zaman mulai banyak muncul aliran ilmu kalam. Meskipun demikian aliran Jabariyah justru semakin lemah dikarenakan para pemimpin terdahulunya telah meninggal, namun eksistensi masih ada dikalangan umat islam. Dalam sejarah teologi islam, Jabariyah sebagai kelompok sudah ada. Adapun pemikirannya ada dalam Asy’ariyah, meski tidak sama persis dengan yang dibawa oleh Jahm Ibn Safwan atau dengan paham yang dibawa oleh Najjar dan Dirar.[9]

Hal tersebut menyatakan bahwa aliran Jabariyah pada masa kini tidak ada lagi, namun sebagian pemikiran-pemikiran aliran terdapat pada aliran Asy’ariyah walaupun tidak benar-benar sama.

Baca juga artikel yang lain:


[1] Rochimah dkk, ilmu kalam (Surabaya: UINSApress, 2014), 107.

[2] Abudin Nata, Ilmu Kalam (Jakarta: RajaGrafindo Persada, 1995), 40.

[3] Abudin Nata, Ilmu Kalam (Jakarta: RajaGrafindo Persada, 1995), 40.

[4] Rochimah dkk, ilmu kalam (Surabaya: UINSApress, 2014) 107

[5] Al-shahrastan, al-milal ma al nihall (libano-beirut: dar-al-fikr, t.t), 85.

[6] Asy-Syahrastani,  Al-milal wa al nihal, asywadie syukur, surabaya, pt bina ilmu

[7] Asy-Syahrastani, Al-Milal wa Al-Nihal (

[8] Asy-Syahrastani, Al-Milal wa Al-Nihal (

[9] Harun Nasution, Teologi Islam (Jakarta: UI-Press, 2002), 39.

Ahli Sunnah Wal Jama'ah

BAB I

PENDAHULUAN

A.    Latar Belakang

Aswaja adalah kepanjangan kata dari “Ahlussunnah wal-Jamaah”. Ahlussunnah berarti orang-orang yang menganut atau mengikuti sunnah Nabi Muhammad SAW, dan waljamaah berarti mayoritas umat atau mayoritas sahabat Nabi Muhammad SAW. Jadi definisi Ahlussunnah waljamaah yaitu; “ Orang-orang yang mengikuti sunnah Nabi Muhammad SAW dan mayoritas sahabat (maa ana alaihi wa ashhabi), baik di dalam syariat (hukum Islam) maupun akidah dan tasawuf”.

Dalam konteks  di Indonesia, Aswaja identik dengan golongan “Islam Tradisional”. Disamping itu NU sebagai penerus ajaran Aswaja yang telah dibawa oleh ajaran Wali Songo merupakan salah satu golongan umat Islam tradisional yang terbesar bukan hanya di Indonesia melainkan terbesar di dunia.

Jika ditelusuri secara mendalam, paham Aswaja sesungguhnya telah lama masuk ke Indonesia bersamaan dengan masuknya Islam. Islam sendiri masuk ke Indonesia sejak zaman Khulafaur Rasyidin tepatnya pada masa Khalifah Utsman bin Affan. Penyebaran Islam di Indonesia masuk melalui dua jalur utama yaitu Jalur Selatan yang bermadzhab Syafi’i (Arab, Yaman, India, Pakistan, Bangladesh, Malaka, Indonesia) dan Jalur Utara yang bermadzhab Hanafi (Turki, persia, Kazakhstan, Uzbekistan, Afganistan, Cina, Malaka, Indonesia).

Penyebaran Islam semakin berhasil, khususnya di Pulau Jawa sejak abad ke-13 oleh Walisongo. Dari murid -murid Walisongo inilah kemudian secara turun temurun menghasilkan ulam-ulama besar di wilayah Nusantara seperti Syaikhuna Kholil Bangkalan (Madura), Syaikh Arsyad Al Banjari Kalimantan, Syaikh Yusuf Sulawesi, dan tak ketinggalanan Hadratus Syaikh KH Hasyim Asy’ari yang nantinya sebagai pendiri utama jam’iyah Nahdlatul Ulama’.


BAB II

PEMBAHASAN

A.    Pengertian Ahlussunnah wal-Jama’ah

Secara bahasa Ahlussunnah wal-Jamaah terdiri dari tiga kata yaitu Ahl, Al-Sunnah, dan Al-Jama,ah. Kata Ahl diartikan keluarga, golongan, atau pengikut. Kata Al-Sunnah diartikan segala sesuatu yang diajarkan Rasulullah SAW baik berupa ucapan, tindakan, maupun ketetapan. Kata Al-Jama’ah diartikan mayoritas ulama dan jama’ah umat Islam pengikut sunnah Rasul. Dengan demikian Ahlusssunnah Wal Jamaah adalah komunitas orang-orang yang selalu berpedoman kepada sunnah Nabi Muhammad SAW dan jalan para sahabat beliau, baik dilihat dari aspek akidah, agama, amal-amal lahiriyah, atau akhlak hati.[1] Seperti dalam hadits Rasulullah[2] :

عَلَيْكُمْ بِسُنَّتِي وَسُنَّةِ الخُلَفَاءِ الرَّا شِدِيْنَ مِنْ بَعْدِي.

“Ikutilah sunnahku dan sunnah Khulafaur Rasyidin setelahku”

Menurut Imam Asy’ari, Ahlusssunnah Wal Jamaah adalah golongan yang berpegang teguh kepada al-Qur’an, hadis, dan apa yang diriwayatkan sahabat, tabi’in, imam-imam hadis, dan apa yang disampaikan oleh Abu Abdillah Ahmad ibn Muhammad ibn Hanbal.[3] Menurut KH. M. Hasyim Asy’ari, Ahlusssunnah Wal Jamaah adalah golongan yang berpegang teguh kepada sunnah Nabi, para sahabat, dan mengikuti warisan para wali dan ulama. Secara spesifik, Ahlusssunnah Wal Jamaah yang berkembang di Jawa adalah mereka yang dalam fikih mengikuti Imam Syafi’i, dalam akidah mengikuti Imam Abu al-Hasan al-Asy’ari, dan dalam tasawuf mengikuti Imam al-Ghazali dan Imam Abu al-Hasan al-Syadzili. Menurut Muhammad Khalifah al-Tamimy, Ahlusssunnah Wal Jamaahadalah para sahabat, tabiin, tabiit tabi’in dan siapa saja yang berjalan menurut pendirian imam-imam yang memberi petunjuk dan orang-orang yang mengikutinya dari seluruh umat semuanya.[4]


B.     Sejarah Aliran Ahlussunnah wal-Jama’ah

Istilah ahlussunnah wal jama’ah tidak dikenal di zaman Nabi Muhammad SAW maupun di masa pemerintahan al-khulafa’ al-rasyidin, bahkan tidak dikenal di zaman pemerintahan Bani Umayah (41-133 H /611-750 M). Terma Ahlus sunnah wal jama’ah sebetulnya merupakan diksi baru, atau sekurang-kurangnya tidak pernah digunakan sebelumnya di masa Nabi dan pada periode Sahabat.[5]

Secara terminologi, Ahlus sunnah wal jama’ah baru diperkenalkan hampir empat ratus tahun pasca meninggalnya Nabi Saw, oleh para Ashab Asy’ari (pengikut Abu Hasan Al-Asy’ari) seperti Al-Baqillani (w. 403 H), Al-Baghdadi (w. 429 H), Al-Juwaini (w. 478 H), Al-Ghazali (w.505 H), Al-Syahrastani (w. 548 H), dan al-Razi (w. 606 H).

Pemakaian Ahlus sunnah wal jama’ah sebagai sebutan bagi kelompok keagamaan justru diketahui lebih belakangan, sewaktu Az-Zabidi menyebutkan dalam Ithaf Sadatul Muttaqin, penjelasan atau syarah dari Ihya Ulumuddinnya Al-Ghazali:idza uthliqa uthliqa ahlus sunnah fal muradu bihi al-asya’irah wal maturidiyah (jika disebutkan ahlussunnah, maka yang dimaksud adalah pengikut Al-Asy’ari dan Al-Maturidi).

Dari aliran ahlussunnah waljamaah atau disebut aliran sunni dibidang teologi kemudian juga berkembang dalam bidang lain yang menjadi ciri khas aliran ini, baik dibidang  fiqh dan tasawuf. sehingga menjadi istilah, jika disebut  akidah sunni  (ahlussunnah waljamaah) yang dimaksud adalah pengikut Asy’aryah dan Maturidyah. Atau Fiqh Sunni,  yaitu pengikut madzhab yang empat ( Hanafi, Maliki, Syafi’I dan Hanbali). Yang menggunakan rujukan alqur’an, al-hadits, ijma’ dan qiyas. Atau juga   Tasawuf Sunni,  yang dimaksud adalah pengikut metode tasawuf Abu Qashim Abdul Karim al-Qusyairi, Imam Al-Hawi, Imam Al-Ghazali dan Imam Junaid al-Baghdadi. Yang memadukan antara syari’at, hakikat dan makrifaat.

Penyebaran dan pertumbuhan Islam di Nusantara terletak di pundak para Ulama’. Mereka membentuk kader-kader yang akan bertugas sebagai mubaligh ke daerah-daerah yang lebih luas. Cara ini dilakukan di dalam lembaga-lembaga pendidikan Islam seperti pondok di Jawa, dayah di Aceh, surau di Minangkabau. Dunia pemikiran Islam di Indonesia bagaimanapun juga mempunyai akar pemikiran yang bersumber di pusat dunia Islam tersebut sebelumnya.[6]

Lahirnya NU sendiri, yang merupakan kelanjutan dari Komite Merembuk Hijaz, yang tujuannya untuk melobi Ibnu Suud, penguasa Saudi saat itu, untuk mengakomodasi pemahaman umat yang bermazhab, jelas tidak terlepas dari sejarah keruntuhan Khilafah. Ibnu Suud sendiri adalah pengganti Syarif Husain, penguasa Arab yang lebih dulu membelot dari Khilafah Utsmaniyah. Jadi, secara historis lahirnya NU tidak terlepas dari persoalan Khilafah. Di sisi lain, NU sejak kelahirannya tidak berpaham sekular dan tidak pula anti formalisasi. Bahkan NU memandang formalisasi syariah menjadi sebuah kebutuhan. Hanya saja, yang ditempuh NU dalam melakukan upaya formalisasi bukanlah cara-cara paksaan dan kekerasan, tetapi menggunakan cara gradual yang mengarah pada penyadaran.

Hal ini karena sepak terjang NU senantiasa berpegang pada kaidah fiqhiyah seperti: mâ lâ yudraku kulluh lâ yutraku kulluh (apa yang tidak bisa dicapai semua janganlah kemudian meninggalkan semua); dar’al-mafâsid muqaddamun ‘ala jalb al mashâlih (mencegah kerusakan lebih didahulukan daripada mengambil kemaslahatan). Sejarah NU menjadi bukti bahwa sejak kelahirannya NU justru concern pada perjuangan formalisasi Islam.

Oleh sebab itulah tidak mengherankan jika kemudian NU bisa diterima umat Islam Indonesia, bahkan bisa berkembang pesat menjadi salah satu paham terbesar yang dianut oleh umat Islam terutama yang dianggap Islam tradisional.


C.    Ajaran Aliran Ahlussunnah wal-Jamaah

Terdapat tiga ciri utama ajaran Ahlussunnah wal-Jamaah yang selalu diajarkan Rasulullah SAW dan para sabahat:[7]

1.      At-Tawassuth

At-Tawassuth adalah sikap sedang-sedang, tidak ekstrim kiri ataupun ekstrim kanan. Seperti pada firman Allah SWT dalam Al-Quran yang artinya :

Dan demikian pula kami telah menjadikan (umat islam) “umat pertengahan” agar kamu menjadi saksi atas (perbuatan) manusia dan agar Rasul (Muhammad) menjadi saksi atas (perbuatan) kamu. (QS. Al-Baqarah : 143)

2.      At-Tawazun

At-Tawazun adalah sikap seimbang dalam segala hal, termasuk dalam penggunaan dalil ‘aqli (dalil yang bersumber dari akal pikiran rasional) dan dalil naqli (bersumber dari Al-Quran dan hadits). Seperti firman Allah SWT dalam Al-Quran yang artinya :

Sunguh kami telah mengutus rasul-rasul kami dengan membawa bukti kebenaran yang nyata dan telah kami turunkan bersama mereka al-kitab dan neraca (penimbang keadilan) supaya manusia dapat melaksanakan keadilan. (QS. Al-Hadid : 25)

3.      Al-I’tidal

Al-I’tidal adalah sikap tegak lurus. Dalam Al-Quran Allah SWT berfirman yang artinya :

Wahai orang-orang yang beriman hendaklah! Jadilah kamu penegak keadilan karena Allah (ketika) menjadi saksi dengan adil. Dan janganlah kebencianmu pada suatu kaum menjadikan kamu berlaku tidak adil. Berbuat adillah karena keadilan itu lebih mendekatkan pada takwa. Dan bertakwalah kepada Allah, karena sesungguhnya Allah Maha Mengetahui apa yang kamu kerjakan. (QS Al-Maidah: 8)


D.    Sekte, Tokoh, dan Pemikirannya

Ahlussunnah memiliki dua aliran yang menentang ajaran ajaran Mu'tazilah. Aliran aliran tersebut yaitu aliran Asy'ariah dan Maturidiah.

1.      Al-Asy’ariah

Aliran ini dibawa oleh Abu Al-Hasan 'Ali bin Ismail bin Ishaq bin Salim bin Isma'il bin 'Abdillah bin Musa bin Bilal bin Abi Burdah bin Abi musa Al-Asy'ari. Beliau lahir di Barshah pada tahun 260 H/875 M. Awalnya Al-Asy'ari adalah seorang pengikut faham Mu'tazilah kemudian dia keluar karena tidak cocok dengan Mu'tazilah.

Adapun sebab terpenting mengapa Al-Asy'ari meninggalkan mu'tazilah ialah karena adanya perpecahan yang dialami kaum muslimin yang bisa menghancurkan mereka sendiri kalau seandainya tidak segera diakhiri.[8]

Pemikiran-pemikiran dari Al-Asy’ariah sebagai berikut :

a)      Tuhan dan sifat-sifatnya

Al-Asy'ari berpendapat bahawa Allah memiliki sifat sifat seperti memiliki tangan dan kaki tetapi sifat sifat ini tidak boleh diartikan secara harfiah, tetapi secara simbolis. Al-Asy'ari juga berpendapat bahwa sifat Allah tidak dapat dibandingkan dengan sifat manusia yang tampaknya mirip.

b)      Kebebebasan dalam berkehendak-berkehendak

Manusia memiliki kemampuan untuk memilih dan menentukan serta mengaktualisasikan perbuatannya.Menurut Al-Asy'ari Allah adalah pencipta(khaliq) perbuatan manusia, sedangkan manusia adalah yang mengupayakannya(muktasib). Haya Allah yang mampu menciptakan segala sesuatu (termasuk keinginan manusia).

c)      Akal dan wahyu dan kriteria baik dan buruk

Meskipun Al-Asy'ari dan orang-orang mu'tazilah memgakui pentingnya akal dan wahyu, tetapi berbeda dalam menghadapi persoalan yang memperoleh penjelasan kontradiktif dari akal dan wahyu. Al-Asy'ari mengutamakan wahyu, sementara Mu'tazilah mengutamakan akal.[9]

Dalam menentukan baik buruk pun terjadi perbedaan pendapat siantara mereka. Al-Asy'ari berpendapat bahwa baik dan buruk harus berdasarkan wahyu, sedangkan Mu'tazilah mendasatkannya kepada akal.[10]

d)     Melihat Allah

Al-Asy'ari yakin bahwa Allah dapat dilihat di akhirat, tetapi tidak dapat digambarkan. Kemungkinan ru'yat dapat terjadi ketikaAllah yang menyebabkan dapat dilihat atau Ia menciptakan kemampuan penglihatan manusia untuk melihat- Nya.[11]

e)      Kedudukan orang berdosa

Al-Asy'ari berpendapat bahwa mukmin yang melakukan dosa besar ialah mukmin yang fasik dan tetap beriman kecuali jika menjadi kufur dan dosanya tidak akan diampuni.

2.      Al-Maturidi

Muhammad bin Muhammad bin Mahmud Abu Mansur Al Maturidy, dia lahir di Maturid salah satu pengikut mazhab Hanafi. Oleh seban itu Al-Maturidi banyak memakai rasio dalam pandangan keagamaanya dan banyak pula memaka akal dalam sistem teologinya.

Terdapat perbedaan pemikiran antara teologinya dengan teologi teologi Al-Asy'ari, sungguhpun keduanya adalah reaksi dari aliran Mu'tazilah. Salah satu dari perbedaan tersebut yaitu dalam hal takdir. Asy'ari tampaknya lebih dekat pada Jabariyah sedangkan Maturidi lebih dekat pada Qadariyah.

Dalam soal sifat Tuhan terdapat persamaan pemikiran dengan Al-Asy'ari. Baginya Tuhan juga memiliki sifat sifat dan melekat pada dzatnya. Mengengenai dosa besar Al-Maturidi sependapat dengan Al-asy'ari yaitu bahwa orang yang berdosa besar masih tetap mukmin, dan soal dosa besarnya akan ditentukan Tuha kelak di akhirat.


E.     Perkembangan Pemikiran Aliran Khawarij dalam Dinamika Kontemporer

Aswaja-NU adalah hasil rumusan Ahlussunnah waljamaah oleh kalangan tradisionalis Islam di Indonesia. Eksistensi Komunitas ini dikenal sejak penyebaran Islam era pertama di Indonesia yang ditandai dengan berdirinya pusat-pusat pengajaran Islam berupa pesantren di seluruh nusantara. Tradisi keagamaan yang sudah lama berkembang itulah yang kemudian diformalkan dengan pembentukan sebuah organisasi bernama Jam’iyah Nahdlatul Ulama (NU) pada tahun 1926 M.

Berdirinya organisasi ini, selain karena tuntutan dinamika lokal juga karena momentum internasional yang terjadi pada waktu itu. Pada tingkat lokal, ulama-ulama dari sayap pesantren merasa perlu mengkonsolidasikan diri untuk memagari tradisi-tradisi keagamaan yang sudah ada dari ”serangan” dakwah kalangan modernis. Mereka ini merupakan kelanjutan dari misi penyebaran ajaran Wahhabi dengan isu utamanya yang dikenal dengan ”anti TBC” (Tachayul, Bid’ah dan Churafat). Dalam konteks internasional, para ulama berkepentingan untuk bersatu guna menyampaikan aspirasi umat Islam Indonesia tentang kebebasan bermadzhab dan menentang gagasan pemusnahan situs-situs bersejarah di Haramain. Hal itu terjadi karena Penguasa Hijaz yang baru, Ibn Sa’ud, hendak menerapkan paham Wahhabi di wilayah kekuasaannya itu.

Dalam ”Muqaddimah Qanun Asasi li Jam’iyyat Ahl al-Sunnah wa al-Jama’ah” (Preambule AD-ART NU) yang ditulis Hadratus Syaikh KH. Hasyim Asy’ari secara tegas terdapat ajakan kepada para ulama Ahl al-Sunnah wal Jama’ah untuk bersatu memagari umat dari propaganda pada ”ahli bid’ah”. Yang dimaksud tentu saja adalah orang-orang pendukung ajaran Wahhabi yang dalam da’wahnya selalu mencela tradisi-tradisi seperti tahlilan, ziarah kubur, qunut, tawassul dan lain-lain sebagai perbuatan Bid’ah. Selain itu, mereka menganggap kebiasaan-kebiasaan para santri yang lain sebagai sesuatu yang mengandung unsur Tahayyul dan Khurafat. Mereka juga menyatakan bahwa kepengikutan terhadap ajaran madzhab merupakan sumber bid’ah, dan oleh karenanya umat Islam harus berijtihad (ruju’ ila al-Qur’an wa al-Sunnah)[12]

Baca juga artikel yang lain:

 Footnoote

[1] FKI LIM, Gerbang Pesantren, Pengantar Memahami Ajaran Ahlussunnah wal Jama’ah Kediri : Litbang Lembaga Ittihadul Muballigin PP. Lirboyo, 2010, cet. 2, hlm. 3

[2] KH. Abdurrahman Navis, Muhammad Idrus Ramli, Faris Khirul Anam, Risalah Ahlussunnah Wal-Jamaah Dari Pembiasaan Menuju Pemahaman dan Pembelaan Akidah-Amaliah,  Surabaya : Khalista Surabaya, 2013 hlm. 2

[3] Abi al-Hasan Ali ibn Ismail al-Asy’ari, al-Ibanah An Ushul al-Diyanah, Beirut : Dar al-Kutub al-Ilmiyyah, t.t., hlm. 14

[4] Zuhairi Misrawi, Hadratussyaikh Hasyim Asy’ari, Moderasi, Keumatan, Dan Kebangsaan, Jakarta : Kompas, 2010, cet. 1, hlm. 107

[5] Said Aqil Siradj, Ahlussunnah wal Jama’ah; Sebuah Kritik Historis, Jakarta: Pustaka Cendikia Muda, 2008 hlm. 6.

[6] Badri Yatim, Sejarah Peradaban Islam, Jakarta: Raja Grafindo Jaya, 2001  hlm. 195-197.

[7] http://www.elhooda.net/2014/03/inilah-3-ciri-utama-ajaran-islam-ahlussunnah-wal-jamaah-aswaja/  diakses pada 6 november 2017 (20:08)

[8] Harun Nasution,Pengantar Ilmu Kalam:Analisa Perbamdingan,UI Press,Jakarta,1986,hlm.65.

[9] Prof.Dr.H.Abdul Rozak, Prof.Dr.H.Rosihon Anwar, Ilmu Kalam,Pustaka Setia, Bandung,2012,hlm.149.

[10] Ibid

[11] Ibid

[12] http://pemikiranaswaja.blogspot.co.id/p/pemikiran-aswaja.html?m=1


Aliran Khawarij

A.    Pengertian Khawarij

Secara bahasa, khawarij berasal dari bentuk plural dari kata kharijah, artinya kelompok yang menyempal. Mereka adalah kaum pembuat bid’ah. Disebut demikia karena mereka keluar dari agama, dan keluar dari barisan kaum muslimin, khususnya dari kepatuhan terhadap imam Ali r.a

Al-Syahrastani berpendapat setiap orang yang menyempal dari pemimpin sah yang sudah disepakati umat itu dinamakan khawarij, baik pada masa sahabat di era Al-Khulafa Al-Rasyidun maupun pada masa sesudah mereka di era Tabi’in dan para pemimpin lain sepanjang masa.[1] Para ulama fikih menyebutkan orang-orang yang melakukan hal itu dengan sebutan bughat (pemberontak terhadap pemerintahan yang sedang sah).

Sedangkan secara istilah, yang dimaksud denga kelompok khawarij dalam sejarah islam adalah orang-orang yang menyatakan keluar dari kepemimpinan Ali Bin Abi Tholib setelah terjadinya peristiwa tahrim (arbitrase). Mengenai mereka Rasulullah SAW brsabda, “setelah umatku, akan ada sekelompok orang dari umatku yang membaca Al-Qur’an hanya sebatas kerongkongannya, mereka keluar dari agama seperti keluarnya anak panah dari busurnya, dan mereka tidak kembali lagi. Mereka adalah sejelek-jelek manusia dan makhluk”.[2]

Kelompok khawarij juga disebut denga kelompok Haruriyah, Nawashib, Al-Muhakkimah, Al-Mariqah dan Syurrah. Nama Haruriyyah dinisbatkan kepada desa Harura, sebuah desa di Kufah, Irak, yang menjadi tempat menetapnya kelompok khawarij ketika mereka keluar dari barisan Ali.

Nawashib adalah bentuk jamak dari kata nashibi yang berarti orang yang berlebih-lebihan dalam membenci ali.kata Syurrah adalah bentuk dari kata Syaarr  yang berarti orang yang menjual, karena menurut khawarij, mereka adalah orang-orang yang dimaksud dalam firman Allah SWT. “Sesungguhnya Allah SWT telah membeli dari orang-orang mukmin, diri dan harta mereka dengan memberikan surga untuk mereka. Mereka berperang pada jalan Allah SWT, lalu mereka membunuh atau terbunuh.”[3]

Nama Al-Muhakkimah berasal dari semboyan mereka yang terkenal la hukma illa li Allah (tiada hukum kecuali hukum Allah) Atau la hakam illa Allah (tidak ada pembuat hukum kecuali Allah). Berdasarkan alasan inilah mereka berhak menolak keputusan Ali. Bagi mereka , yang berhak memutuskan perkara hanyalah Allah SWT, bukanlah Abitrase atau tahkim.

Al – Mariqah berasal dari kata maraqah yang artinya “ anak panah yang keluar dari busurnya”. Nama itu diberikan oleh lawan-lawan mereka karena dianggap telah keluar dari agama.[4]


B.     Sejarah Aliran Khawarij

Orang yang pertama kali menyempal dari barisan Amirul Mukminin Ali Bin ani Tholib adalah sekelompok orang yang dulunya bersama Ali dalam perang shiffin. Di anatara mereka, yang paling keras dak ekstrim dalan beragama adalah Al-Asy’ats bin Qais Al-Kindi[5], Mas’ar bi Fatki (sebagian literatur menyebut ‘Fudaki’) Al-Tamimi, dan Zaid bin Hashin Al-Tha’i.[6] Mereka berkata , “orang –orang mengajak kita ke jalan Allah sedangkan engkau, Ali, mengajak kami berperang”

Khawarijlah yang mendorong ali untuk menerima ajakan abitrase (tahkim) terlebih dahulu. Semula, Ali akan mengutus Abdullah bin Abbas r.a. sebagai mediator (hakam). Namun, khawarij tidak setuju. Mereka beralasan bahwa Ibnu Abbas adalah orang dekat Ali. Mereka pun mendesak Ali mengutus Abu Musa Al-Asy’arie untuk memutuskan sengketa berdasarkan kitabullah. Namun, yang terjadi tidak sesuai dengan keinginan mereka. “engkau menyerahkan keputusan hukum pada manusia? Tak ada hukum kecuali hukum Allah SWT.”

Ibn Hajar menukil pendapat Al-Rafi’i dalam kitab al-syarh al-kabir, dasar pemberontaka mereka terhadap Ali Bin Abi Thalib adalah keyakinan bahwa Ali mengetahui para pembunuh Utsman. Dalam keyakinan mereka, Ali sebenarnya dapat menghukum mereka. Namun, ia tidak meng-qishash para pembunuh itu lantaran ia merestui kejahatan tersebut, atau berpihak pada mereka.

Masih menurut Ibnu Hajar, pandangan ini berseberangan dengan kesepakatan ahli hadist. Sebenarnya, khawarij tidak menuntut darah Utsman. Mereka bahkan menentang Utsman dan melepaekan diri darinya. Buktinya, sebagian penduduk Irak mengingkari reputasi sebagian kerabat Utsman, dengan ini mereka memfitnah Utsman.

Mereka juga disebut al-Qurra’, karena mereka sangat bersungguh-sungguh didalam membaca Al-Qur’an dan beribadah, hanya saja mereka mentakwilkan Al-Qur’an tidak sesuai dengan maksudnya, sewenang-wenang dalam berpendapat, berpura-pura dalam kezuhudan, kekhusyu’an dan sebagainya. Ketika Utsman terbunuh, mereka ikut berperang dan sebagainya. Kretika Utsman terbunuh, mereka ikut berperang bersama Ali dan meyakini kekafiran Utsman dan pengikutnya.

Mereka juga meyakini kepemimpinan Ali r.a. dan mengkafirkan orang-orang yang memeranginya seperti pasukan jamal yang dipimpin oleh Thalhah dan Zubair.[7]

Menurut kesepakatan para ulama, golongan inilah yang menuntut kematian Utsman. Kemudian Muawiyah sebagai penguasa Syam menyerukan tuntutan ilmu diwilayah kekuasaanya. Ali mengirim surat kepadanya supaya dia dibaiat oleh penduduk Syam. Lalu dia beralasan bahwa Utsman dibunuh secara keji dan wajib segera meng-qishash para pembunuhnya. Muawiyah merupakan orang yang paling semangat menuntut hal tersebut. Dia meminta Ali berkata, lakukanlah seperti orang-orang lakukan, dengan menyerahkan keputusan kepadaku, aku akan memutuskan mereka dengan kebenaran. Setelah itu, Ali berangkat bersama penduduk Irak untuk memerangui penduduk Syam. Lalu mereka bertemu di shiffin dan berlangsunglah peperangan selama berbuan-bulan. Penduduk Syam Hampir kalah. Lalu, mereka mengangkat mushaf diatas tombak dan menyeru atas nama kitab Allah SWT. Hal itu sesuai dengan petunjuk Amr Bin Ash dan Muawiyah. Dan sebagian besar pasukan Ali, khususnya para qarra’ meninggalkan peperangan kerena hal tersebut, mereka berargumen dengan firma Allah SWT,

“Tidaklah kamu memperhatikan orang-orang yang telah diberi bagian yaitu Al-Kitab (Taurat), mereka diseru kepada kitab Allah supaya kitab itu menetapkan hukum diantara mereka”(Qs. Ali Imran :23).

Penduduk Syam mengirimkan utusan untuk menyelesaikan persoalan tersebut dan berkata, “utuslah seseorang dari kalian dan kami yang keduanya tidak terlibat dalam peperangan. Barangsiapa melihat kebenaran, mereka harus tunduk”. Ali dan pengikutnya menyetujui permintaan tersebut. Sedangkan orang-orang yang tidak sependapat dengan ali disebut Khawarij. Ali dan Muawiyah membuat perjanjian politik diantara penduduk Irak dan Syam “Ini adalah keputusan Amirul Mukminin Ali dan Muawiyah”. Nemun penduduk Syam menolak hal itu dan mengatakan tulislah namanya dan nama ayahnya! Ali mengabulkan permintaan mereka sedangkan Khawarij tidak setuju tindakan Ali tersebut.

Dua golongan ini kemudian berpisah dan permasalahan diantara keduanya, akan dilanjutkan pada waktu yang telah ditentukan dengan memilih tempat ditengah-tengah anatara Syam dan Irak. Pasukan kembali ke tempat mereka sampai hukum diputuskan. Muawiyah kembali ke Syam dan Ali kembali ke Irak. Sedangkan Khawarij memilih berpisah darinya, jumlah mereka sekitar 8 ribu, ada yang mengataka jumlah mereka lebih dari 10 ribu dan juga ada yang mengatakan 6 ribu. Mereka mendirikan pusat kekuatan di Harura’ atau disebut Harurriyah. Pemimpin mereka adalah Abdullah bin Kawwa’ Al-Yusykary dan Syabats Al-Tamimi.

Ali mengutus Abdullah bin Abbas untuk berdialaog dengan mereka. Hasilnya banyak diantara mereka yang bergabung kembali bersama Ali. Khawarij juga menyiarkan berita bahwa Ali telah menarik diri dari ­tahkim. Dengan alasan itu akhirnya mereka bergabung kembali dengan Ali. Kabar itu samapai pada Ali dan dia berpidato untuk menjelaskan ketidakbenaran berita tersebut. Mereka pun berteriak dari samping masjid, “kalimatu haqqin biha al-bathil”(kata-kata benar tapi yang dikehendaki adalah kebathilan)! Aku putuskan bagi kalian tiga perkara yaitu: ­pertama aku tidak akan mencegah kalian masuk masjid, kedua aku akan tetap mendistribusikan barang rampasan ketiga aku tidak akan memulai peperangan selagi kalian tidak membuat kerusakan.[8]

Merekapun keluar satu persatu hingga berkumpul di madain. Ali mengirim surat kepada mereka tetap tidak mau kecuali Ali mau bersaksi bahwa dirinya telah kafir karena menyetujui abitrase dan mau mencabut persetujuanya. Ali mengirim keputusan yang kedua kalinya, tapi mereka justru ingin membunuhnya. Mereka sepakata bahwa mereka yang tidak sesuai menurut keyakinan mereka adalah kafir, sedangkan darah, harta dan keluarganya halal untuk dilanggar.

Mereka mulai melakukan aksi dengan mengganggu dan membunuh orang-orang islam yang tidak sepahanm dengan mereka. Hingga suatu hari Abdullah bin Khubab bin Al-Art (salah seorang pejabat Ali didaerah tersebut) bersama budaknya yang sedang hamil mereka lewati.  Lalu, mereka membunuhnya dan membelah perut budak yang sedang hamil. Kejadian itu diengar oleh oleh Ali sehingga ia memutuskan menyerang mereka dengan menggunakan pasukan yang sebelumnya dipersiapkan untuk berangkat ke Syam. Ali mengalahkan mereka di Nahrawan. Mereka tersisa kurang dari sepuluh orang. Dari pihak Ali yang gugur kurang lebih Cuma 10 orang ini.ini adalah aksi pertama mereka. Kemudianmereka dan orang-orang yang sependapat denganya berlindung dalam pemerintahan Ali, sehingga salah seorang komplotan mereka yang bernama Abdurrahman bin Muljam berhasil membunuh Ali ketika sedang melaksanakan sholat subuh.


C.     Akidah dan Ajaran

Semua kelompok aliran Khawarij sependapat bahwa mereka tidak mengakui kekhalifahan Utsman dan Ali. Mereka mendahulukan keyakinan tersebut diatas segala-galanya. Mereka menganggap tidak sah perkawinan kecuali dengan orang-orang yang sepakat mengenai keyakinan mereka ini. Mereka mengkafirkan orang yang melakukan dosa besar dan tidak wajib mentaati imam yang menyalahi sunnah.[9]

Selain itu kaum Khawarij memiliki beberapa keyakinan yang menjadi kesepakatan dianatara mereka. Dengan kata lain, sebagaimana akan dijelaskan, kaum Khawarij akan terpecah menjadi beberapa sekte, namun semuanya sepakat beberapa hal, yaitu :

1.    Khalifah tidak terpilih kecuali dengan pemilihan bebas yang sah, dilakukan oleh mayoritas umat (bukan hanya sekelompok kalangan terbatas), dan kepemimpinanya terus diakui selama dia berlaku adil dan menegakan ajaran agama, jauh dari kesalahan dan kezhaliman. Jika dia melanggar, wajib cepat atau dibunuh.

2.    Jabatan khalifah tidak dimonopoli kalangan tertentu. Karena itu, menurut mereka, khalifah tidak haris dari suku quraisy, atau dari kalangan Arab. Bahkan menurut mereka, agar mudah dipecat atau dibunuh bila melanggar syariat menyimpang dari kebenaranya, karena tidak ada suku besar yang bakal membelanya. Karena itulah mereka memilih Abdullah Bin Wahab al-Rasi, yang tidak berasal dari Quraisy, sebagai pemimpin dan memberinya gelar Amirul Mukminin.

3.     Pengangkatan pemimpin tidak wajib menurut syariat, namun boleh. Seumpama harus mengangkat pemimpin, itu karena maslahat dan hajat (kabutuhan), bukan karena dalil agama. Karena itulah Nadjat, salah satu sekte khawarij, berpendapat seorang pemimpin tidak dibutuhkan jika umat sudah bisa berlaku adil antar sesama.

4.    Orang yang berbuat dosa dianggap kafir. Mereka tidak memebedakan antara dosa yang satu dengan dosa yang lainya. Bahkan mereka menganggap kesalahan berpendapat adalah dosa, bila tidak sesuai denga kebenaran yang mereka yakini. Karena itulah mengkafirkan Ali karena ber-tahkim (Abitrase), demikian pula Talhah dan Zubair, serta pembesar sahabat lain.[10]


D.    Sekte, tokoh, dan pemikirannya

Kaum khawarij telah berkembang dan terpecah menjadi macam golongan (sub-sekte), mulai dari yang berpandangan ekstrim sampai dengan yang moderat. Paham dan ajaran pokok dari setiap sekte Khawarij yang penting adalah sebagai berikut :

1.      Al-Muhakkimah

Al-muhakkimah dipandang sebagai golongan khawarij karena terdiri dari pengikut Ali yang kemudian membangkang. Nama  Al-Muhakkimah berasal dari semboyan mereka la hukma illa li Allah yang merujuk pada surat al-An’am ayat 57. Maksudnya yaitu Nabi Muhammad saw mempunyai bukti yang nyata atas kebenarannya. Mereka menolak arbitrase atau tahkim karena dianggap bertentangan dengan perintah Allah swt dalam Surah al-Hujurat ayat 9. Yang menyuruh memerangi kelopmpok pembangkang sampai mereka kembali ke jalan Allah swt. Selanjutnya dalam paham sekte Ali, Mu’awiyah dan semua orang yang menyetujui arbitrase dituduh telah kafir karena telah menyimpang dari ajaran Islam, seperti yang tercantum dalam surat al-Maidah ayat 44 yang artinya:

“barang siapa yang tidak memutuskan menurut apa yang diturunkan Allah, maka mereka itu adalah orang-orang yang kafir”.

2.      Al-Azariqah

Bahwa setiap orang Islam yang menolak ajaran mereka dianggap musyrik. Mereka yang tidak berhijrah ke wilayah mereka juga musyrik, semua orang Islam yang musyrik boleh ditawan atau dibunuh, termasuk anak dan istri mereka. Mereka memandang daerah mereka sebagai dar al-islam (darul islam), di luar daerah itu di anggap dar al-kufr (daerah yang dikuasai/diperintah oleh orang kafir).

3.      Al-Najdat

Mereka menolak paham al-Azariqah. Bagi al-aNajdat dosa kecil dapat meningkat menjadi dosa besar bila dikerjakan terus menerus. Bagi mereka taqiyah (orang yang menyembunyikan identitas keimanannya demi keselamatan dirinya) diperbolehkan mengucapkan kata-kata atau melakukan tindakan yang bertentangan dengan agamanya.

4.      Al-Ajaridah

Pandangan mereka lebih moderat. Orang lain tidak wajib pindah ke wilayah mereka, tidak boleh merampas harta dalam peperangan kecuali harta orang yang mati terbunuh, anak kecil tidak dianggap musyrik. Surah Yusuf dipandang bukan bagian dari al-Qur’an karena tidak layak memuat cerita-cerita percintaan.

5.      Al-Sufriyah

Pendapatnya yang penting ialah istilah kufr atau kafir mengandung dua arti, yaiut kufr al-ni’mah  (mengingkari nikmah Tuhan). Kafir berarti tidak keluar dari Islam dan kufr bi Allah (mengingkari Tuhan) Taqiyah hanya boleh dalam bentuk perkataan, tidak boleh dalam bentuk tindakan kecuali bagi wanita Islam boleh menikah dengan laki-laki kafir bila terancam keamanan dirinya.

6.      Al-Ibadiyah

Orang yang berdosa besar tidak disebut mukmin, melainkan muwahhid (yang dimaksud adalah kafir nikmat, tidak membuat pelakunya keluar dari Islam. Dar al-kufr hanyalah markas pemerintahan dan itu yang harus diperangi. Selain Dar al-tawhid (daerah yang dikuasai oleh orang-orang Islam), tidak boleh diperangi. Harta yang boleh dirampas dalam perang adalah kuda dan alat perang.[11]


E.     Perkembangan pemikiran aliran Khawarij dalam dinamika kontemporer

Meskipun jumlah kelompok-kelompok khawarij kecil saja, namun lantaran ideologi radikal yang mereka anut, eksistensi mereka menjadi sangat berbahaya. Mereka juga susah ditumpas dengan kekuatan bersenjata. Contoh yang paling mutakhir barangkali bisa disebutkan nama al-Qaida. Sebelum satu dasawarsa lalu kita hnaya mengenal satu kelompok radikal yang bernama al-Qaida. Setelah organisasi garis keras ini dihantam Amerika Serikat dan koalisinya di Afghanistan, al-Qaida pun beranak-pinak dan menyebar ke berbagai negara seperti Irak, Suriah, Libia, Yaman, Somalia, Filipina, dan seterusnya. Termasuk ke Indonesia.

Nama-nama mereka pun bermacam-macam. Salah satunya adalah Tandzimu ad-Daulah al-Islamiyah fi al-Iraq wa asy-Syam/Suriyah alias ISIS secara fisik, namum ideologi radikalnya akan tetap tumbuh subur. Bukan hanya di Irak dan Suriah, tapi juga akan menyebar ke berbagai negara seperti saat ini. Karena itu, koalisi militer yang didukung negara-negara Islam ini seharusnya dilengkapi dengan koalisi para ulama.

Di Indonesia sendiri, pembasmian terhadap terorisme mustinya bukan hanya tugas polisi dan Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT). Memerangi terorisme jugta kewajiban para ulama, ustadz, tokoh masyarakat, dan seterusnya. Mereka tidak cukup memberi komentar di media massa.

Baca juga artikel yang lain:

[1] Ibrahim Al-Qurabi, Tarikh Khulafa, hal. 838-839

[2] Abdul Mun’im al-Hafni, Ensiklopedia golongan, kelompok, Aliran, Mazhab, Partai, dan Gerakan Islam, hal. 317

[3] Ibid, hal. 317-318

[4] Rochimah ilmu kalam (Suarabaya : UIN SA Press, 2014) hal 35

[5] Seorang sahabat yang menemui Nabi bersama kaumnya kemudian masuk islam. Ia pernah murtad di masa Abu Bakar, namun masuk islam lagi. Abu Bakar mengawinkanya dengan saudarinya. Dia termasuk orang yang memaksa Ali unruk ber-tahkim. Lihat : Ibn Al-Atsir, Usd al-ghazali, Vol. 1 hal. 118

[6] Zaid ibn Hasan Al-Tha’i al-Syabibi, ia adalah aparatus umar ibn khattab diperbatasanmkuffah ibn Hajar, al-Ishabah, Vol 1. Hal. 114

[7] Thalhah dan zubair berangkat ke mekkah setelah membaiat ali, dan menemui Aisyah yang menunaikan Haji, mereka sepakat untuk menuntu pembunuhan Utsman. Lalu mereka berangkat ke Bashrah  untuk mencari dukungan. Berita tersebut sampai kepada Ali dan dia pergi menemui mereka. Kemudian terjadilah perang jamal. Ali menang sedangkan Thalhah dan Zubair terbunuh setelah lari dari peperangan

[8] Ibrahim Al-Qura’ibi, Tarikh Khulafa,hal. 842

[9] Ibnu Hajar, Fath al-Bari, Vol. 12 hal. 283-285

[10] Muhammad Abu Zahrah, ­Tarikh al-mazahahib al-islamiyah fi al-siyasah wa al-aqidah, Beirut: Dar Fikri Al-‘Arabiyyah,tt. Hal 61-62

[11] Disarikan dari Ensiklopedia Islam, 48-50. Lebih lanjut baca Harun Nasution, Teologi Islam, 13-21.

MAKALAH HADIST TENTANG HIJAB

  A.   Latar Belakang Telah disepakati oleh seluruh umat Islam bahwa al-Qur’an menjadi pedoman hidup baik tentang syariah maupun dalam keh...