HOME

26 Januari, 2022

Pembaharuan Pemikiran Islam Muhammad bin Abdul Wahhab

DAFTAR ISI

COVER................................................................................................. i

KATA PENGANTAR........................................................................... ii

DAFTAR ISI........................................................................................ iii

BAB I PENDAHULUAN.................................................................... 1

A.    Latar Belakang.............................................................................. 1

B.     Rumusan Masalah......................................................................... 1

C.     Tujuan .......................................................................................... 2


BAB II PEMBAHASAN........................................................................3

A.    Riwayat Hidup Muhammad bin Abdul Wahab.............................. 3

B.     Pemikiran-pemikiran Muhammad bin Abdul Wahab................... 5

C.     Pokok-pokok Pemikiran Muhammad bin Abdul Wahab.............. 10

D.    Karya-karya Muhammad bin Abdul Wahab.................................. 14


BAB III PENUTUP................................................................................ 16

A.    Kesimpulan..................................................................................... 16

Daftar Pustaka......................................................................................... 17


BAB I

PENDAHULUAN

A.    LATAR BELAKANG

Islam sebagai sebuah bentuk keyakinan memiliki umat yang besar. Hampir diseluruh penjuru dunia terdapat umat islam. Hal ini disebabkan karena islam disebarkan dan masuk kedalam suatu masyarakat dengan cara yang damai dan santun sehingga banyak orang yang berminat masuk islam.

Islam adalah agama ciptaan Allah yang diturunkan untuk kemaslahatan manusia memandang akal sebagai satu nikmat agung yang harus dijaga dan diarahkan.

Akan tetapi, selain banyak orang senang dan bangga dengan islam, tidak sedikit pula orang yang menyerang islam, yang disebabkan karena perbedaan keyakinan terutama ketauhidan. Mereka yang tidak senang dengan islam selalu berusaha menjatuhkan islam, baik melalui budaya, pola pikir, dsb. Untuk menghadapi hal ini, ulama-ulama dahulu membalasnya dengan memberikan argumen yang berisi alasan-alasan untuk mempertahankan keimanan mereka baik tentang keimanan kepada Tuhan, malaikat, dan sebagainya. Dan hal yang sering kita sebut sebagai ilmu kalam.

Ilmu kalam merupakan produk pikir manusia. Pemikiran adalah produk akal manusia sekaligus menjadi ciri khasnya yang membedakan dengan makhluk lainnya. Pemikiran ini mengalami proses yang sifatnya dinamis dari masa ke masa sesuai dengan perkembangan ilmu pengetahuan, keyakinan, budaya dan interaksinya dengan alam. Sesuai dengan berjalannya waktu, ilmu kalampun semakin berkembang. Banyak ulama terjun didalamnya.Untuk itu, makalah ini akan membahas salah satu ulama abad ke-8 yang turut mencurahkan pikirannya di dalam ilmu kalam, yaitu muhammad bin abdul wahhab. Hal-hal yang akan dibahas dalam makalah ini yaitu bicara tentang biografi dan pemikiran kalam muhammad bin abdul wahhab.


B.     RUMUSAN MASALAH

1.      Bagaimana riwayat hidup Muhammad bin Abdul Wahab?

2.      Bagaimana pemikiran-pemikiran Muhammad bin Abdul Wahab?

3.      Bagaimana pokok pemikiran Muhammad bin Abdul Wahab?

4.      Apa saja karya-karya Muhammad bin Abdul Wahab?


C.     TUJUAN

1.      Untuk mengetahui riwayat hidup Muhammad bin Abdul Wahab

2.      Untuk mengetahui pemikiran-pemikiran Muhammad bin Abdul Wahab

3.      Untuk mengetahui pokok pemikiran Muhammad bin Abdul Wahab

4.      Untuk mengetahui karya-karya Muhammad bin Abdul Wahab


BAB II

PEMBAHASAN

A.    RIWAYAT HIDUP MUHAMMAD BIN ABDUL WAHAB

Syekh Muhammad ibnu Abdul Wahhab ibnu Sulaiman al-Musyrifi al- Tamimi al-Najdi[1] dilahirkan di ‘Uyainah, sebuah kampung di Yamamah, Nejed yang terkenal yang terletak sekitar 70 km dari kota Riyadh, dari arah barat laut. Beliau lahir pada tahun 1115 H / 1703 M, berdasarkan pendapat yang terkuat dan yang masyhur dari para Ulama dan Pakar Sejarah. Beliau berasal dari keturunan Bani Tamim,[2] sebuah kabilah Arab yang besar dan sangat masyhur. Bila kita mengamati nasab Syekh secara lebih sempurna lagi maka kita akan mendapatkan bahwa nasab beliau bertemu dengan nasab Rasulullah saw. pada Ilyas ibnu Mudhar yang merupakanh cicit dari ‘Adnan.[3] Dilahirkan dari sebuah keluarga Ulama yang mana kakek, ayah dan paman beliau Ibrahim ibn Sulaiman semuanya tergolong Ulama besar di negeri Nejed.[4]

Beliau telah memulai mempelajari Islam sejak kecil, mula-mula mengaji pada ayahnya dalam bidang fikih, tafsir dan hadis. Mampu menghafal keseluruhan Al-Qur’an pada saat usianya belum mencapai 10 tahun. Beliau terkenal sejak kecil dengan ketajaman daya tangkap dan kecerdasan pemahaman serta kuat hafalannya, rajin menelaah kitab-kitab tafsir dan hadits, dan perkataan-perkataan para Ulama terutama dalam masalah aqidah yang merupakan pokok agama Islam, sehingga Allah melapangkan dadanya dalam mengenal dan mengaplikasikan tauhid, serta mengenal segala hal-hal yang dapat merusak dan membatalkannya.

Setelah itu beliau berangkat ke Mekkah untuk berhaji sekaligus mengaji pada para Ulama Mekkah, lalu beliau ke Madinah untuk menambah ilmunya dari Ulama-ulama besar di sana. Setelah kembali ke Uyainah, ia merantau ke negeri Irak dengan sasaran Basrah, Baghdad dan Mosul, dan banyak menimba ilmu dari para Ulama besar di kota-kota tersebut. Di kawasan Bashrah, Syekh berdakwah secara terang-terangan mengajak umat kepada Tauhidullah dan menghimbau mereka agar kembali kepada ajaran Al-Sunnah. Namun seruan kembali kepada kemurnian Islam itu ditentang oleh sekelompok orang, karenanya beliau terpaksa keluar dari Bashrah. Lalu beliau ke Ahsa, sebuah kota di bagian timur Saudi Arabia sekarang dan di sana beliau pun bertemu dengan para Ulama.

Setelah itu beliau pindah dan menetap di Huraimila. Di sinilah beliau mulai menyebarkan da’wah tauhid secara terang-terangan (tahun 1143 H/1730 M). Setelah ayah beliau yang menjadi qadhi di Huraimila wafat tahun 1153 H, terjadilah peristiwa buruk berupa percobaan pembunuhan terhadap beliau oleh sekelompok orang yang sangat marah karena beliau selalu menyarankan kepada penguasa agar menindak para pelaku kejahatan. Selamat dari upaya pembunuhan tersebut beliau pindah ke ‘Uyainah.

Kedatangan dan dakwah beliau disambut baik oleh Amir (penguasa) ‘Uyainah, yaitu Utsman ibn Mu’ammar. Sang Amir secara terang-terangan mendukung Syekh, maka ia pun terus bekerja keras dalam menyebarkan ilmu, mengadakan pembinaan dan dakwah, serta menegakkan amar makruf nahi mungkar sehingga beliau pun semakin terkenal. Banyak orang dari daerah-daerah sekitar datang kepadanya. Ketenaran Syekh dan gerakannya sampai juga ke telinga Amir Ahsa yang bernama ‘Urai’ir ibn Dujain Al Khalidi. Karena khawatir pengaruh Syekh semakin membesar dan nanti bisa menggulingkan kekuasaannya ia meminta Amir Utsman untuk menghabisi nyawa Syekh, kalau tidak ia akan menghentikan pembayaran upeti kepadanya.[5]

Karena khawatir akan kehilangan sangat banyak harta dari pembayaran upeti orang-orang Ahsa kurang dari 1200 dinar pertahun ditambah dengan upeti berbentuk barang dan harta lainnya, dalam keadaan bingung dan hati goncang Amir Utsman memberitahukan hal itu kepada Syekh, beliau justru balik menenangkannya dan berusaha memahamkan dan meyakinkan bahwa apa yang beliau bawa semata-mata adalah dakwah kepada agama Allah ia berpegang teguh dan mendukungnya maka Allah pasti akan memenangkannya atas siapa saja yang memusuhinya.

Namun rupanya buncahan cinta dunia semakin menebal di hati membuat Sang Amir tidak bisa lagi bersabar, melalui utusannya ia memerintahkan Syekh keluar dari ‘Uyainah. Maka dengan sedih Syekh pun meninggalkan negeri tersebut dan melangkahkan kakinya menuju Dar’iyah, pusat kekuasaan Amir Muhammad ibn Sa’ud.[6] Dengan kuasa dan taufiq Allah swt. kehadiran Syekh di Dar’iyah disambut baik oleh Sang Amir, bahkan beliau menyatakan kesiapan mendukung dan melindungi da’wah beliau, sebaliknya Syekh membai’at Amir Muhammad untuk senantiasa membela dan mendukungnya dan berada di sisinya berjihad bersamanya di jalan Allah hingga menanglah agama tauhid.

Maka mulailah babakan baru dalam perjuangan dakwah Syekh, di Dar’iyah membuka halakah-halakah (kelompok-kelompok pengajian) ilmiah, dari pagi hingga senja hari memberikan kajian dalam berbagai membimbing umat kepada ajaran Islam yang murni berdasarkan tuntunan Al- Qur’an dan Sunnah Rasulullah. Di Dar’iyah, Syekh yang sangat zuhud terhadap dunia ini hidup dalam keadaan penuh dihormati, dicintai, didukung dan dibela. Beliau menghabiskan waktunya untuk berdakwah dan berjuang di jalan Allah melalui lisan dan tulisannya, hingga Allah berkenan memanggilnya kembali ke sisi-Nya, beliau wafat pada tahun 1206 H/1792 M, setelah selama 50 tahun penuh beliau berjuang menyeru dan membimbing umat tanpa henti. Semoga Allah senantiasa merahmati dan meridhai-Nya.


B.     PEMIKIRAN-PEMIKIRAN MUHAMMAD BIN ABDUL WAHAB

Salah satu pelopor pembaruan dalam dunia Islam Arab adalah suatu aliran yang bernama Wahabiyah yang sangat berpengaruh di abad ke-19. Wahabiyah adalah suatu bagian dari firqah Islamiyah, dibangun oleh Muhammad bin Abdul Wahab (1702 M – 1787 M).  Paham atau Madzhab Wahabi pada hakikatnya adalah kelanjutan dari mazhab Salafiyyah yang dipelopori Ahmad Ibnu Taimiyyah.

Di setiap negara Islam yang dikunjunginya, Muhammad Abdul Wahab melihat makam-makam syekh tarikat. Setiap kota bahkan desa-desa mempunyai makam sekh atau walinya masing-masing. Umat Islam pergi ke makam-makam itu dan meminta pertolongan dari syekh atau wali yang dimakamkan disana untuk menyelesaikan masalah kehidupan mereka sehari-hari. Ada yang meminta diberi anak, jodoh, disembuhkan dari penyakit, dan ada pula yang minta diberi kekayaan. Syekh atau wali yang telah meninggal dunia itu dipandang sebagai orang yang berkuasa untuk meyelesaikan segala macam persoalan yang dihadapi manusia. Menurut paham Wahabiah, perbuatan ini termasuk syirik karena permohonan dan doa tidak lagi dipanjatkan kepada Allah SWT.

Muhammad bin Abdul Wahab mendalami ilmu-ilmu syariat dengan berkeliling ke wilayah-wilayah islam, seperti Basrah, Baghdad, Hamadzan, Ashfaham, Qum, dan Kairo. Setelah itu ia berkeliling mendakwahkan pahamnya yang tak jauh berbeda dengan paham Ibnu taimiyyah dan mayoritas penganut mazhab Hambali. Abdul Wahab mengadakan pembaruan dengan memperketat beberapa masalah yang tidak dilakukan oleh guru-gurunya. Ia mengharamkan rokok, melarang membangun kuburan, meskipun sekedar dengan membuat gundukan tanah, melarang tashwir (foto atau gambar makhuk bernyawa). Ia juga melarang berbagai adat kebiasaan.[7]

Hal terpenting yang sangat diperhatikannya adalah masalah tauhid yang menjadi tiang agama; yang terkristalisasi dalam ungkapan la ilah illa Allah. Menurutnya, tauhid telah dirasuki berbagai hal yang hampir menyamai syirik, seperti mengunjungi para wali, mempersembahkan hadiah dan meyakini bahwa mereka mampu mendatangkan keuntungan atau kesusahan, mengunjungi kuburan mereka dikunjungi oleh orang dari berbagai penjuru dunia dan di usap-usap. Seakan-akan Allah sama dengan penguasa dunia yang dapat didekati melalui para tokoh mereka, dan orang-orang dekat-Nya. Bahkan manusia telah melakukan syirik apabila mereka percaya bahwa pohon kurma, pepohonan yang lain, sandal atau juru kunci makam dapat diambil berkahnya, dengan tujuan agar mereka dapat memperoleh keuntungan. Bagaimana menyelamatkan dari keyakinan-keyakinan seperti ini?

Menurutnya, Allah swt semata-mata Pembuat Syariat dan akidah. Allah-lah yang menghalalkan dan mengharamkan. Ucapan seseorang tidak dapat dijadikan hujah dalam agama, selain Kalamullah dan Rasulullah. Adapun pendapat para teolog tentang akidah serta pendapat para ahli fikih dalam masalah halal dan haram bukanlah hujah. Setiap orang yang telah memenuhi syarat untuk melakukan ijtihad berhak melakukannya. Bahkan dia wajib melakukannya. Menutup pintu ijtihad merupakan sebuah bencana atas kaum muslim, karena hal itu dapat menghilangkan kepribadian dan kemampuan mereka untuk memahami dan menentukan hukum. Menutupi pintu ijtihad berarti membekukan pemikiran dan menjadikan umat hanya mengikuti pendapat atau fatwa yang tertera dalam buku-buku orang yang di ikutinya.[8]

Gerakan kedua dari usaha pemurnian aqidah yang dilakukan Wahabi adalah pemberantasan bid’ah, misalnya perayaan Maulid, keluarnya kaum wanita ikut mengiringi jenazah, perayaan-perayaan spiritual, haul untuk memperingati kematian wali, acara-acara yang lazim dilakukan para pengikut aliran sufi untuk mengenang kematian guru atau nenek moyang mereka. Di samping itu, sebagaimana dijelaskan sebelumnya, beberapa kebiasaan, seperti merokok, berlebihan minum kopi, laki-laki yang memakai kain sutera, mencukur jenggot, dan memakai perhiasan emas, juga dianggap bid’ah.

Masalah tauhid memang merupakan ajaran yang paling dasar dalam Islam. Oleh karena itu, tidak mengherankan apabila Muhammad Abdul Wahab memusatkan perhatiannya pada persoalan ini. Kerangka pemikrian Muhammad bin Abd. Wahab berangkat dari pemahaman ketauhidan kepada Allah. Ia membagi ketauhidan menjadi dua, yaitu tauhid uluhiyah dan tauhid rububiyah.

Tauhid uluhiyah artinya tauhid untuk menetapkan bahwa sifat ketuhanan itu hanya milik Allah, dengan penyaksian bahwa tidak ada Tuhan selain Allalh, yang dilahirkan dengan mengucapkan kalimat “Laa Ilaaha Illallah”. Selain itu hanya berbakti kepada-Nya saja. Dengan kata lain, kepercayaan bahwa Tuhan yang menciptakan alam ini adalah Allah dan hanya berbakti kepadanya. Sedangkan tauhid rububiyah artinya kepercayaan bahwa pencipta alam ini adalah Allah, tapi tidak dengan mengabdi kepada Allah.

Dalam pemikiran Muhammad bin Abd. Wahab, tauhid uluhiyah inilah yang dibawa oleh para nabi dan rasul, sementara tauhid rububiyah hanyalah bentuk penyelewengan pengabdian manusia kepada selain Allah. Dengan demikian ia berpendapat bahwa satu-satunya cara untuk menyelamatkan manusia dari kemusyrikan dan kegelapan adalah kembali kepada kitabullah. Menurutnya, tauhid telah dirasuki berbagai hal yang hampir menyamai syirik. Seperti mengunjungi makam para wali, mempersembahkan hadiah dan meyakini bahwa mereka mampu mendatangkan keuntungan atau kesusahan. Seakan-akan Allah sama dengan penguasa dunia yang dapat didekati melalui para tokoh mereka.

Menurut Muhammad bin Abd. Wahab, pemurnian akidah merupakan pondasi utama dalam pendidikan Islam. Ia juga menegaskan bahwa pendidikan melalui teladan atau contoh merupakan metode pendidikan yang paling efektif. Hal ini sejalan dengan pemikiran Muhammad bin Abd. Wahab agar umat manusia kembali kepada Rasulullah dan para sahabatnya sebagai suri tauladan yang sangat baik bagi manusia.

Prinsip-prinsip dasar ajaran Muhammad bin Abd. Wahab didasarkan atas ajaran Ibn Taimiyah dan Mazhab Hambali, yaitu:

a)      Ketuhanan Yang Esa yang mutlak

b)     Kembali kepada ajaran Islam sejati, seperti termaktub dalam Al-Quran dan Hadits

c)       Tidak dapat dipisahkannya kepercayaan dari tindakan, seperti shalat dan pemberian amal

d)     Percaya bahwa al-Quran itu bukan ciptaan manusia

e)      Kepercayaan nyata terhadap al-Quran dan hadits

f)       Percaya akan takdir

g)      Mengutuk segenap pandangan dan tindakan yang tidak benar

Menurutnya, manusia bebas berpikir dalam batas-batas yang telah ditetapkan oleh al-Quran dan Sunnah. Dia memerangi segala macam bentuk bid’ah dan mengarahkan agar orang beribahad dan berdoa hanya kepada Allah, bukan untuk para wali, syekh atau kuburan. Jika akidah mereka bersih seperti akidah para pandahulunya yang menjunjung tinggi kalimat “Laa Ilaaha Illallah” yang berarti tidak menganggap hal-hal lain sebagai Tuhan selain Allah, tidak takut mati, maka kaum muslimin pasti dapat meraih kembali kemuliaan dan kehormatan yang pernah diraih.

Pemikiran-pemikiran Muhammad bin Abd. Wahab mempunyai pengaruh pada perkembangan pemikiran pembaharuan pada periode modern, diantaranya:

a)      Hanya al-Quran dan al-hadits yang merupakan sumber asli dari ajaran-ajaran Islam, pendapat ulama tidak merupakan sumber

b)       Taqlid kepada ulama tidak diperbolehkan

c)        Pintu ijtihad tidak tertutup tetapi terbuka

Muhammad Abdul Wahab merupakan pemimpin yang aktif mewujudkan pemikirannya. Ia mendapat dukungan dari Muhammad Ibn Su’ud dan putranya Abdul Aziz di Nejed. Paham-paham Muhammad Abdul Wahab tersebar luas dan pengikutnya bertambah banyak sehingga di tahun 1773 M mereka dapat menjadi mayoritas di Ryadh. Di tahun 1787, beliau meninggal dunia tetapi ajaran-ajarannya tetap hidup dan mengambil bentuk aliran yang dikenal dengan nama Wahabiyah.

Selain itu, Ibnu Abdul Wahhab juga mendapat julukan rajul ad-da’wah (pejuang dakwah), bahkan dia termasuk orang terdepan dalam pasukan kerajaan yang daerahnya meluas sampai meliput timur Jazirah dan sebagian Yaman, Makkah, Madinah, dan Hijaz.

Pembaruan Ibnu Abdul Wahhab dan ijtihadnya lebih banyak berupa pemilihan yang masih dalam lingkup mazhab Hambali serta mengajak kepada nash dan ucapan para tokohnya-khususnya ucapan pendiri mazhab, Imam Ahmad bin Hambal (164-241 H/780-855 M) dan Ibnu Taimiyah (661-728 H/1263-1328 M) daripada kreasi pemikiran, penemuan, dan hal-hal baru. Ijtihadnya adalah pilihan dalam lingkup mazhab, mengajak kepada nash dan pendapat yang memurnikan akidah tauhid dari tanda-tanda kesyirikan, bid’ah, dan khurafat.[9]

Di samping itu, dari beberapa hal yang dikemukakannya di atas yang sangat diperhatikannya adalah masalah tauhid yang menjadi tiang agama; yang terkristalisasi dalam ungkapan la ilah illa Allah. Menurutnya, tauhid telah dirasuki berbagai hal yang hampir menyamai syirik, seperti mengunjungi para wali, mempersembahkan hadiah dan meyakini bahwa mereka mampu mendatangkan keuntungan atau kesusahan, mengunjungi kuburan mereka dikunjungi oleh orang dari berbagai penjuru dunia dan di usap-usap. Seakan-akan Allah sama dengan penguasa dunia yang dapat didekati melalui para tokoh mereka, dan orang-orang dekat-Nya. Bahkan manusia telah melakukan syirik apabila mereka percaya bahwa pohon kurma, pepohonan yang lain, sandal atau juru kunci makam dapat diambil berkahnya, dengan tujuan agar mereka dapat memperoleh keuntungan. Bagaimana menyelamatkan dari keyakinan-keyakinan seperti ini?

Menurutnya, Allah swt semata-mata Pembuat Syariat dan akidah. Allah-lah yang menghalalkan dan mengharamkan. Ucapan seseorang tidak dapat dijadikan hujah dalam agama, selain Kalamullah dan Rasulullah. Adapun pendapat para teolog tentang akidah serta pendapat para ahli fikih dalam masalah halal dan haram bukanlah hujah. Setiap orang yang telah memenuhi syarat untuk melakukan ijtihad berhak melakukannya. Bahkan dia wajib melakukannya. Menutup pintu ijtihad merupakan sebuah bencana atas kaum muslim, karena hal itu dapat menghilangkan kepribadian dan kemampuan mereka untuk memahami dan menentukan hukum. Menutupi pintu ijtihad berarti membekukan pemikiran dan menjadikan umat hanya mengikuti pendapat atau fatwa yang tertera dalam buku-buku orang yang di ikutinya.

Itulah dasar dakwah Muhammad bin Abd al-Wahhab. Dia mengikuti ajaran Ibn Taimiyah. Atas dasar itu pula dibangunlah hal-hal yang  parsial. Menurutnya, manusia bebas berpikir tentang batas-batas yang telah ditetapkan oleh al-qur’an dan sunah. Dia memerangi segala macam bentuk bid’ah, dan mengarahkan orang agar beribadah dan berdo’a hanya untuk Allah, bukan untuk para wali, syeikh, atau kuburan. Menurutnya, kita harus kembali pada islam pada zaman awal, yang suci dan bersih. Dia berkeyakinan bahwa kelemahan kaum Muslim hari ini terletak pada akidah mereka yang tidak benar. Jika akidah mereka bersih seperti akidah para pendahulunya yang menjunjung tinggi kalimat la ilah illa Allah (yang berarti tidak menganggap hal-hal lain sebagai Tuhan selain Allah, tidak takut mati, atau tidak takut miskin dijalan yang benar), maka kaum Muslim pasti dapat meraih kembali kemuliaan dan kehormatan yang pernah diraih oleh para pendahulu mereka.[10]


C.    POKOK-POKOK PEMIKIRAN MUHAMMAD BIN ABDUL WAHAB

Pokok-pokok Pemikiran dan ide-ide yang dikembangkan oleh Syekh Muhammad Ibnu Abdul Wahhab dapat disimpulkan dalam tiga aspek utama, yaitu: 1) anti taqlid dan membuka pintu ijtihad, 2) pemurnian Islam, 3) pemikiran islahi (damai). Ketiga aspek ini akan dijelaskan di bawah ini.

1.      Anti Taqlid dan Membuka Pintu Ijtihad

Taqlid dalam pandangan Syekh merupakan sumber kebekuan ummat Islam, disamping itu untuk memahami ajaran yang terkandung dalam al-Qur’an dan Hadis harus dilakukan ijtihad, karena itu pintu ijtihad tidak pernah ditutup dan tidak perlu ditutup. Beliau berpendapat hanya al-Qur’an dan al-Hadis yang merupakan sumber asli ajaran Islam sedangkan pendapat ulama bukan merupakan sumber. Selain itu, Syekh juga berpandangan bahwa Al-Kitab dan Al-Sunnah bukan hanya sejedar berita saja sebagaimana diperkirakan orang-orang dari ahli kalam, hadis, fikih dan tasawwuf, tetapi sebagai dalil dan petunjuk jalan bagi makhluk dan dalil yang tegas bagi dasar-dasar agama.

Pola pemikiran seperti ini ternyata  sangat  berpengaruh  pada  perkembangan pemikiran Islam kontemporer pada abad ke 19.[11]

2.      Pemurnian Islam

Pokok pikiran yang kedua dari Syekh Muhammad ibnu Abdul Wahhab pada hakikatnya adalah upaya-upaya pengembalian umat Islam kepada agamanya yang murni, itulah Islam sebagaimana yang dituntunkan oleh Rasulullah Muhammad saw. dan selanjutnya oleh para sahabat beliau. Islam yang bersumber pada al-Qur’an dan al-Sunnah. Maka tentunya dakwah beliau mencakup segala aspek ajaran Islam itu sendiri, namun kita bisa melihat dari sejarah dakwah beliau bahwasanya titik-berat perbaikan yang beliau lakukan terletak pada dua aspek yang sangat mendasar dalam Islam yang pada waktu itu telah mengalami banyak penyimpangan. Yaitu aspek aqidah dan aspek ibadah.

a.       Aspek Aqidah

Pada hakikatnya pemikiran dan ajaran yang dibawa oleh Syekh Muhammad ibn Abdul Wahab adalah seruan terhadap umat untuk kembali kepada aqidah Islam yang murni, dengan menyucikan mafhum tauhid dari segala apa yang mencemarinya daripada berbagai bentuk kesyirikan. Ia yang baru apalagi bila dikatakan sebagai sebuah bentuk tarekat bid’ah. Ia hanyalah kelanjutan dari dakwah salafiyah sebelumnya.[12] Dakwah beliau bermuatan penegasan akan pentingnya merujuk kepada Al Qur’an dan As Sunnah, serta upaya menghidupkan kembali ajaran-ajaran Ahlu al-Sunnah wa al-jama’ah (Salaf al-Shaleh) yang telah banyak ditinggalkan. Beliau mendorong umat untuk menegakkan Islam dengan berpegang teguh pada ajaran yang hak dan memberantas berbagai bid’ah dan khurafat yang dimasukkan oleh sekelompok manusia ke dalam agama ini.[13]

Menurut Syekh, pemurnian aqidah berpijak pada ketauhidan (mengesakan Allah-pen), meliputi zatNya, sifatNya dan dalam beribadah kepadaNya. Hal tersebut terangkum dalam kalimat an La na’buda Illa Allah wa La Nussyrika bihi Siwahu. Oleh karena itu, doa merupakan bagian dari ibadah yang tidak boleh meminta kepada sesama makhluk yang sudah mati.[14]

Beliau mengawali dakwahnya dengan lemah lembut di antara sanak saudara dan bangsanya. Lalu ia lebih meratakan lagi menyampaikan dakwahnya kepada amir-amir di Hijaz dan ulama-ulama di daerah lain, mengajak mereka untuk memerangi bid’ah dan kembali kepada Islam yang betul (murni-pen).

Sebetulnya dakwah beliau tersebut dilatarbelakangi oleh keadaan umat Islam waktu itu khususnya negeri Nejed di mana Syirik akbar tumbuh dan merata di Nejed. Makam-makam yang berkubah, pepohonan, batu-batu, gua- gua yang dianggap keramat menjadi sesembahan selain Allah. Begitu juga orang yang dianggap “wali” disembah. Nejed juga terkenal banyak ahli sihir dan dukunnya yang sangat dipercaya omongannya. Sangat langka orang yang mengingkarinya. Secara umum, kebanyakan orang memusatkan perhatiannya kepada kehidupan dan ambisi-ambisi duniawi”.

Keadaan di Nejed ini juga tidak jauh berbeda dengan situasi masyarakat di Hijaz (Haramain) dan Yaman. Di daerah-daerah itu terkenal dengan adanya tindakan-tindakan syirik dan pembangunan kubah-kubah di atas pekuburan dan pemanjatan permohonan dan permintaan selamat kepada para wali. Bahkan di Nejed, terkenal juga pemujaan dan permohonan perlindungan kepada jin, serta persembahan sesaji dan kurban untuknya. Oleh karena itu dakwah Syekh adalah dakwah untuk menyelamatkan kaum muslimin dari kejahilan yang telah mengotori mereka, memperbaiki pemahaman mereka terhadap persoalan- persoalan aqidah maupun ibadah, menghilangkan segala apa yang disematkan kepada ajaran Islam berupa kotoran bid’ah.

Perkara ini merupakan pusat konsentrasi dakwah beliau, mengingat kedudukan aqidah (tauhid) sebagai pokok dan landasan utama ajaran Islam, dimana seluruh aspek ajaran Islam bertumpu padanya, dan memang keadaan masyarakat di negeri beliau yang umumnya telah benar-benar mengalami penyimpangan yang sangat fatal dalam aqidah dan ketauhidan mereka sebagaimana diuraikan di atas.

Syekh Muhammad ibn Abdul Wahab mengajarkan dan menanamkan aqidah Salaf Al-Shalih, yaitu iman kepada Allah dengan mengimani semua Asma dan Sifat-Nya, iman kepada para malaikat-Nya, Rasul-rasul-Nya, Kitab-kitab Suci-Nya, iman kepada Hari Akhir dan kepada Qadar (taqdir) baik dan buruknya. Beliau berpegang pada metode pemahaman para Imam terkemuka dalam hal bertauhid kepada Allah dan pemurnian ibadah kepada-Nya; mengimani asma dan sifat Allah sebagaimana yang layak bagi Allah Yang Maha Suci, tidak menyatakan ketiadaan sifat-sifat itu dan tidak pula menyerupakan Allah dengan makhluk-Nya; mengimani kebangkitan orang-orang mati dari kubur, pembalasan, hisab, surga, neraka dan lain sebagainya. Beliau berpendapat sebagaimana pendapat ulama Salaf dalam hal iman, yaitu bahwa iman adalah qaul (ucapan) dan ‘amal (perbuatan), bertambah dengan ketaatan kepada Allah dan berkurang dengan kemaksiatan kepada AllAH.

b.      Aspek Ibadah dan Syari’at

Di samping melakukan gerakan pemurnian aqidah, Syekh Muhammad juga membimbing umat untuk menegakkan syari’at Allah, terutama yang difardhukan, agar bagaimana syari’at itu dilaksanakan secara tepat dan cermat, tanpa ada penambahan ataupun pengurangan, seperti shalat, zakat, puasa, haji dan sebagainya adalah syari’at Islam yang datang dari Rasulullah Muhammad yang wajib diterima dengan sepenuh hati dan ditaati secara utuh dimana hati meyakini wajibnya beriman kepada syari’at itu dan anggota tubuh yang mengamalkannya tanpa rasa bosan dan lelah.[15]

Seorang Ulama Besar Nejed yang juga adalah cicit Syekh Muhammad yaitu Syekh Abdullathif ibn Abdurrahman ibn Hasan menceritakan bahwa Syekh Muhammad berdakwah dan mengajak umat untuk mendirikan dan menjaga shalat 5 waktu, menyuruh mereka untuk membayar zakat, berpuasa dan menunaikan haji, beliau tegakkan amar ma’ruf nahi munkar.

Karena Syekh berpegang pada manhaj Salaf Al-shalih baik dalam aqidah maupun syari’at, maka beliau menganut prinsip “ittiba’u al-dalil”, sehingga sekalipun beliau berlatar belakang madzhab fikih Hanbali, beliau tidak bersikukuh dengan pendapat madzhab dalam berfatwa dalam suatu hal tertentu, bila ternyata beliau mendapatkan dalil yang bertentangan dengan pendapat tersebut.

3.      Pemikiran Islahi (damai)

Pokok pikiran yang ketiga yang ditawarkan Syekh Muhammad ibnu Abdul Wahhab adalah islahi (damai) yaitu menyerukan perdamaian antar suku dan keagamaan (pemahaman keagamaan-pen) menjadi satu pemikiran dan satu pandangan. Perlu diketahui, bahwa sejak kedatangan Muhammad ibnu Abdul Wahhab, keadaan kehidupan jazirah Arab sebagai berikut:

Pertama, keluarga Muhammad ibnu Sa’ud bukan merupakan satu ikatan keluarga terbesar di Nejed.

Kedua, wilayah kekuasaan di jazirah Arab lebih merupakan sebagai serpihan-serpihan kesukuan Najdiyah.

Ketiga, jazirah Arab terbagi kepada beberapa wilayah keamiran yang kekuatannya tergantung pada kemampuan pribadi amir dan interesnya masing-masing.

Keempat, amir-amir yang lebih tampak kekuasaanya adalah amir Hijaz, Banu Khalid di Al-Ahsa, keluarga Ma’mar di Al-Uyainah, keluarga Sa’dun di Irak Imam Al-Shan’a di Yaman, sadah di Najran, Al-Bu Sa’idiyun dan lainnya di Musqith dan Aman. Secara politis mereka saling bertentangan.

Kelima, keadaan kehidupan sosial keagamaan  ketika itu penuh  dengan  penyimpangan    yang sangat berat. Kemusyrikan dan kesetatan merajalela. Cahaya hidayah dari jiwa mereka telah padam karena kebodohan. Kitab Allah disimpan dipunggung mereka; para wali dan shalihin yang masih hidup serta kuburannya yang telah meninggal, mereka datangi untuk mengadakan kebaktian, meminta pertolongan dan syafaat dari berbagai kebutuhan dan jalan keluar dari kesulitan. Pemikiran islahi ini rupanya mendapat sambutan yang baik oleh Amir Al-Dar’iyyah; Muhammad ibnu Sa’ud.[16] Hampir lima puluh tahun lamanya jihad dan dakwah Syekh berlangsung, berpadu antara pertarungan fisik dan pertarungan lidah dalam membela yang hak, ajakan untuk menuju agama Allah dan pengarahan menuju Syari’at Rasulullah, hingga akhirnya umat menyatakan masuk ke dalam agama Allah yang hak.

Baca juga artikel yang lain:

D.    KARYA-KARYA MUHAMMAD BIN ABDUL WAHAB

Muhammad bin Abdul Wahab telah memiliki karya tu;is dan kumpulan fatwa yang banyak akan tetepi kita banyak dari kita yang belum mengenal dengan karya-karya tulis beliau.

Ø    Ahaditsu fil Fitani wal Hawadits

Ø    Ahkamush Sholah

Ø    Adabul Masy-yi Ilash Sholah

Ø    Arba’ul Qowa’id Taduurul Ahkam ‘alaiha

Ø    Ushulul Iman

Ø    Mansakul Hajj

Ø    Al-Jawahirul Mudhiyyah

Ø    Al-Khuthobul Minbariyah

Ø    Ar-Rosa-ilu Asy-Syakhshiyyah

Ø    Ar-Risalatul Mufidah

Ø    Ath-Thoharoh

Ø    Al-Qowa’idul Arba’ah

Ø    Al-Kabair

Ø    Masa-ilul Jahiliyyah

Ø    Ba’dhu Fawa-id Shulhil Hudaibiyah

Ø    Tafsiru Ayaatin Minal Qur’anil Karim

Ø    Tsalatsatul Ushul

Ø    Majmu’atul Hadits ‘ala Abwabil Fiqh

Ø    Risalah fir Raddi ‘alar Rafidhah

Ø    Syuruthush Sholah wa Arkanuha wa Wajibatuha

Ø    Fatawa wa Masa-il

Ø    Fadho-ilul Qur’an

Ø    Fadhlul Islam

Ø    Kitabut Tauhid

Ø    Kasyfus Syubuhat

Ø    Mabhatsul Ijtihad wal Khilaf

Ø    Majmu’atu Rosa-il fit Tauhidi wal Iman

Ø    Mukhtashorul Inshof wa Asy-Syarhul Kabir

Ø    Mukhtashor Tafsir Surat Al-Anfal

Ø    Mukhtashor Zadil Ma’ad li Ibnil Qayyim Al-Jauziyah

Ø    Mukhtashor Sirotir Rasul Shallallahu ‘alaihi wa Sallam

Ø    Masa-il, ringkasan dari penjelasan-penjelasan Ibnu Taimiyyah

Ø    Mufidul Mustafid fi Kufri Tarikit Tauhid



[1] http://id.m.wikipedia.org/wiki/Muhammad_bin_Abdul_Wahhab. Diakses pada tanggal 24 November 2017

[2] K.H. Siradjuddin Abbas, I’tiqad Ahlusunnah Wal Jamaah, (Jakarta : Pustaka Tarbiyah Baru, 2008), hlm. 353.

[3] Lihat Shaleh ibn Abdullah ibn Abdul Rahman Al-‘Abud, Aqidatu al-Syekh Muhammad ibn Abdi al-Wahhab Al-Salafiyah, juz I(Cet. III; Madinah Munawwarah: Maktabah al-Ghuraba al- Atsariyah, 1996 M./1417 H.) h.125. Lihat pula Abdul Aziz ibn Abdullah ibn Baz, Al-Imam Muhammad ibn Abdulwahhab Da’watuhu wa siratuhu, diterjemahkan oleh Rahmat al-Arifin dengan judul Imam Muhammad ibn Abdulwahhab Dakwah dan Jejak Perjuangannya (Cet.I; T’t:Kantor Atase Agama Arab Saudi Di Jakarta, 1419 H.) h.23-24.

[4] as’ud Al-Nadwi, Muhammad ibn Abdulwahhab Mushlihun Mazhlum wa Muftara ‘alaih. (T.t: Wizarah asy-Syu’uni al-Islamiyah wal-Auqaf wad-Da’wah wal-Irsyad, Arab Saudi, 1420 H), h.39.

[5]  lihat Abdul Aziz ibn Abdullah ibn Baz, op. cit,. h. 24-27. Lihat pula An-Nadwah al- ‘Alamiyah, Al-Mausu’ah al Muyassarah fi al-Adyan wa al-Madzahib wa al-Ahzab al-Mu’ashirah, juz I(Cet. III; Riyadh: Dar an-Nadwah al-‘Alamiyah, 1418 H.) h. 164-167.

[6] Mas’ud Al-Nadwi, Muhammad ibn Abdul wahhab Mushlihun Mazhlum wa Muftara ‘alaih., h. 51-52.

[7] Dr. Mustofa Muhammad Asy –Syak’ah, Islam Tidak Bermazhab, (Jakarta : Gema Insani Press, 1994), hlm.392-393.

[8] Husayn Ahmad Amin, Seratus Tokoh Dalam Sejarah Islam, (Bandung: PT Remaja Rosdakarya, 1995), hlm. 269-270.

[9] Muhammad ‘Imarah, 45 Tokoh Pengukir Sejarah, ,( Surakarta: Era Intermedia, 2007), Hlm. 173-174.

[10] Husayn Ahmad Amin, Seratus Tokoh Dalam Sejarah Islam, (Bandung: PT Remaja Rosdakarya, 1995),Hlm.269-270.

[11] Lihat: Yusran Asmuni, Pengantar Studi Pemikiran dan Gerakan Pembaharuan dalam Dunia Islam, (Cet.II; Jakarta: PT RajaGrafindo Persada, 1996), h. 60-61.

[12]  lihat An-Nadwah al-‘Alamiyah, Al-Mausu’ah al Muyassarah fi al-Adyan wa al- Madzahib wa al-Ahzab al-Mu’ashirah, juz I, h. 165.

[13] Abdul Aziz ibn Abdullah ibn Baz, Al-Imam Muhammad ibn Abdulwahhab Da’watuhu wa siratuhu, diterjemahkan oleh Rahmat al-Arifin dengan judul Imam Muhammad ibn Abdulwahhab Dakwah dan Jejak Perjuangannya, h.55.

[14] Lihat Ajid Thohir, Perkembangan Peradaban di Kawasan Dunia Islam, h. 233.

[15] Abdullah Khayyath, al-Ishlah al-Diniy fi al-Qarni al-Tsani ‘Asyar, h. 150.

[16] Ajid Thohir, Perkembangan Peradaban di Kawasan Dunia Islam, h. 232.


 

Ilmu Kalam

BAB I

PENDAHULUAN

A.    Latar Belakang

Ilmu kalam adalah salah satu nama atau sebutan untuk ilmu yang membicarakan ajaran-ajaran dasar agama Islam. Ilmu kalam merupakan salah satu dari empat disiplin keilmuan tradisional dalam islam, yang telah tumbuh dan  menjadi bagian dari kajian tentang agama islam. Tiga disiplin ilmu lainnya adalah Fiqih, Tasawuf dan Filsafat.

Ilmu kalam adalah ilmu yang membahas mengenai akidah dengan memakai pendekatan logika (mantiq). Ilmu ini mengarahkan pembahasannya kepada segi-segi yang menjadi landasan pokok agama islam (ushul al aqaid) yaitu kemahaesaan Tuhan, masalah nubuwah, akhirat dan hal yang berhubungan dengan itu. Oleh sebab itu ilmu ini menempati posisi yang sangat penting dan terhormat dalam tradisi keilmuan Islam.

Sebab kemunculan ilmu kalam di picu oleh persoalan politik yang menyangkut peristiwa pembunuhan Utsman bin Affan yang berawal pada penolakan Mu’awiyah atas kekhalifaan Ali bin Abi Thalib. Keteganggan antara Mu’awiyah dan Ali bin Abi Thalib memuncak menjadi perang siffin   yang berakhir dengan keputusan tahkim. Untuk itu penting bagi kita untuk mengetahui sebab-sebab munculnya ilmu kalam supaya kita mengetahui bagaimana sejarah perjalanan atau peristiwa yang melatarbelakangi adanya ilmu kalam sejak zaman Rasulullah, sampai akhir pemerintahan khalifah ke empat dari pemerintahan khulafaur Ar-Rasyidin sehingga tejadinya perseteruan antara muawiyah bin abi sufyan dengan khalifah yang sah pada saat itu yang dijabat oleh Ali bin abi thalib yang memuncak menjadi perang siffin dan diakhiri dengan tahkim.


B.     Rumusan Masalah

1.      Apa pengertian ilmu kalam?

2.      Bagaimana latar belakang lahirnya ilmu kalam?

3.      Apa yang menjadi dasar ilmu kalam?

4.      Apa saja faktor pendorong lahirnya ilmu kalam?


C.     Tujuan

1.      Untuk mengetahui pengertian ilmu kalam.

2.      Untuk mengetahui latar belakang lahirnya ilmu kalam.

3.      Untuk mengetahui dasar ilmu kalam.

4.      Untuk mengetahui faktor pendorong lahirnya ilmu kalam.


BAB II

PEMBAHASAN

A.    Pengertian Ilmu Kalam

Secara etimologis terdiri dari dua perkataan. Pertama, arti ilmu itu sendiri yaitu pengetahuan dan kedua, adalah kalam artinya perkataan atau juga percakapan. Ilmu ini biasa digunakan sebagai nama dari ilmu yang membahas aqidah-aqidah dalam Islam. Ilmu Kalam adalah Ilmu yang membicarakan bagaimana menetapkan kepercayaan-kepercayaan keagamaan (agama islam) dengan bukti-bukti yang yakin. Atau Ilmu yang membahas soal-soal keimanan.

Sedangkan ilmu kalam secara Terminologi/ definisi/ istilah ada beberapa pendapat:

1.      Menurut Musthafa Abdul Raziq definisi ilmu kalam adalah ilmu yang berkaitan dengan aqidah imani yang dibangun dengan argumentasi-argumentasi rasional.

2.      Menurut AlFarabi definisi ilmu kalam adalah disiplin ilmu yang membahas dzat dan sifat Allah beserta eksistensi semua yang mungkin mulai yang berkenaan dengan masalah dunia sampai masalah sesudah mati yang berlandaskan doktrin Islam.

3.      Menurut Ibnu Khaldun definisi ilmu kalam adalah ilmu yang mengandung berbagai argumentasi tentang akidah imani yang diperkuat dalil-dalil rasional.

4.      Menurut Syekh Muhammad Abduh definisi ilmu kalam adalah ilmu yang membahas tentang wujud Allah, sifat-sifat yang wajib baginya, sifat-sifat yang jaiz baginya dan tentang sifat-sifat yang ditiadakan darinya dan juga tentang rasul-rasul Allah baik mengenai sifat wajib, jaiz dan mustahil dari mereka.

Jadi Ilmu Kalam adalah Ilmu yang membicarakan/membahas tentang masalah ketuhanan/ketauhidan (mengesakan Tuhan) dengan menggunakan dalil-dalil fikiran dan disertai alasan-alasan yang rasional.[1]


B.      Latar Belakang Lahirnya Ilmu Kalam

1.      Ilmu kalam pada zaman Rasulullah

Ketika Rasulullah Saw. Diutus sebagai seorang rasul di Makkah, beliau memfokuskan dakwah islamiyah pada tiga hal. Pertama, yaitu pertauhidan Allah Swt, bahwa tiada tuhan selain Allah dan tidak ada yang berhak disembah selain Allah. Kedua, yaitu untuk mengabarkan bahwasannya nabi Muhammad Saw adalah utusan allah untukseluruh manusia, sebagai  pembawa kabar gembira dan pembawa peringatan. Ketiga, yaitu untuk mengingatkan tentang akan adanya hari akhir, yakni kehidupan setelah mati dimana setiap orang akan dihitung amal baik dan amal buruknya.[2] Pada saat itu, orang arab tidak percaya akan adanya hari akhirat. Hal ini sebagaimana diisyaratkan dalam Al-Qur’an surah al-An’am ayat 29:

وقلواانهيالاحياتناالدنياومانحنبمبعوثين.  

 Artinya :

“Dan mereka (orang-orang Arab jahiliyah ) berkata bahwasannya kami hanya hidup di dunia dan kami tidak akan di bangkitkan (setelah kematian).”

Pengenalan tauhid saat itu sangat mendasar. Belum ada pembahasan bagaimana sifat-sifat Allah, dan apakah sifat-sifat itu merupakan zat Allah sendiri atau bukan sebagaimana yang di bahas oleh para mutakallimun selanjutnya.

Adapun ketika beliau hijrah ke madinah, orang-orang madina telah menerima kerasulan Nabi Muhammad saw telah diterima, maka dengan sendirinya mereka menerima dua ajakan Rasulullah saw yang lain, yaitu pentauhidan Allah dan adana hari akhir. Begitu juga mereka akan menerima setiap apa yang datang dari Rasulullah saw. Termasuk setiap ayat dari al-Qur’an, baik yang muhkamat ataupun yang mutasyabihat. karena mereka telah meyakini dan mengimani bahwa semua berasal dari Allah swt. Adapun apabila mereka memiliki pertanyaan yang tidak ditemukan jawabannya, mereka langsung menanyakan kepada Rasulullah saw. Lalu Rasulullah saw pun menjawabnya dan mengarahkan mereka ke jalan yang benar sehingga tidak ada lagi keraguan di hati mereka.


2.      Ilmu Kalam pada Zaman Khulafa’ al-Rashidin

Pada zaman khulafa’ al-Rasyidin, para sahabat lebih menitik beratkan perhatian mereka pada permasalahan hukum-hukum amaliyah dari pada permasalahan i’tiqodiyah atau keyakianan. Adapun kemunculan permasalahan keyakinan di awali oleh permasalahan politik, yaitu peristiwa pembunuhan utsman bin affan, khalifah ke III. Peristiwa yang menyedihkan dalam sejarah islam ini dikenal dengan Fitnah al-Kubra (fitnah besar).

Peristiwa Fitnah al-Kubra dianggap sebagai pangkal pertumbuhan masyarakat islam di berbagai bidang, khususnya bidang-bidang politik, sosial dan paham keagamaan. Maka ilmu kalam sebagai suatu bentuk penalaran paham keagamaan bisa dikatakan tumbuh dan bertitik tolak dari Fitnah al-Kubro itu.

Bersama dengan falsafah, ilmu kalam mulai dikenal orang-orang muslim Arab setelah mereka menaklukkan dan kemudian bergaul dengan bangsa-bangsa yang berlatar belakang peradapan yunani dan dunia pemikiran yunani (Hellenisme). Hampir semua daerah yang menjadi sasaran pembebasan (fath/ liberation) orang orang muslim telah terlebih dahulu mengalami Hellenisasi (disamping kristenisasi). Daerah-daerah itu ialah syiriah, mesir dan anatolia, dengan pusat-pusatHellenisme yang giat seperti Damaskus, Antiokia, Harran, dan Aleksandria. Persia (Iran) pun, meski tidak mengalami Kristenisasi (tetap beragama Majusi atau Zoroastrianisme), juga sedikit banyak mengalami Hellenisasi, dengan Jundisapur sebagai pusat Hellenisme Persia.[3]

Dari interaksi inilah, orang-orang Muslim mengenal penalaran logis ala Yunani yang kemudian digunakan untuk membuat penalaran logis oleh orang-orang yang melakukan pembunuhan Utsman atau menyetujui pembunuhan itu. Jika urutan penalaran itu disederhanakan, maka kira-kira akan berjalan seperti ini: Mengapa Utsman boleh atauharus dibunuh? Karena ia berbuat dosa besar (berbuat tidak adil dalam menjalankan pemerintahan), padahal berbuat dosa besar adalah kekafiran. Dan orang-orang kafir,apalagi murtad (menjadi kafir setelah Muslim), harus dibunuh. Mengapa perbuatan dosa besar suatu kekafiran? Karena berbuat dosa besar, seperti kekafiran, adalah sikap menentang Tuhan. Maka harus dibunuh!

Dari jalan pikiran itu, para (bekas) pembunuh Utsman atau pendukung mereka menjadi cikal-bakal kaum Qadari, yaitu mereka yang berpaham Qadariyah, suatu pandangan bahwa manusia mampu menentukan amal perbuatannya, maka manusia mutlak bertanggung jawab atas segala perbuatan itu, yang baik dan yang buruk.

Para pembunuh Utsman menurut beberapa petunjuk sejarah, menjadi pendukung kekhalifahan Ali bin Abi Thalib, Khalifah IV. Hal ini sebagaimana yang disebutkan, misalnya oleh Ibn Taimiyah, bahwa sebagian besar pasukan Ali dalam perang Siffin, begitu pula mereka yang memerangi Ali dan mereka yang bersikap netral dari peperangan itu bukanlah orang-orang yang membunuh Utsman. Sebaliknya, para pembunuh Utsman itu hanyalah sekelompok kecil dari pasukan Ali. Jumlah umat Islam saat kekhalifahan Utsman berjumlah dua ratus sekitar seribu orang. [4]

Perpecahan dalam umat Islam semakin menjadi ketika perang Siffin (659 M). saat itu pasukan Ali yang hampir mengalah pasukan Muawiyah ketika kemudian ‘Amr bin al‘As, seorang panglima perang dari pasukan Muawiyah bin Abi Sufyan yang terkenal licik, mengangkat al-Quran ke atas sebagai tanda meminta berdamai. Pihak Ali menerima dan diadakanlah tahkim atau arbitrase dimana pihak Alidiwakili oleh Abu Musa al-Asyari dari pihak Muawiyah diwakili oleh Amr bin al-As.

Pada arbitrase ini, pihak Ali mengalami kekalahan diplomatis dan kehilangan kekuasaan secara de juresehingga menimbulkan kekecewaan yang luar biasa dari pasukan pendukung Ali. Sebagian dari mereka berpendapat bahwa hal tersebut tidak dapat diputuskan oleh arbitrase manusia, tetapi harus datang dari Allah dengan kembali kepada hukum-hkum yang ada dalam al-Quran. Golongan ini lalu memisahkan diri dari barisan Ali yang kemudian disebut dengan golongan Khawarij.

Dari perdebatan dalam persoalan politik lalu menjalar ke persoalan teologi. Seperti sikap mereka terhadap Utsman, kaum Khawarij juga memandang Ali dan Muawiyah sebagai kafir karena mengkompromikan yang benar (haqq) dengan yang palsu (batil). Karena itu mereka marencanakan untuk membunuh Ali, Muawiyah, dan Amr ibn al-Ash, gubernur Mesir yang sekeluarga membantu Muawiyah mengalahkan Ali dalam perang Siffin tersebut. Namun yang terjadi, kaum Khawarij, melalui seseorang bernama Ibn Muljam, hanya berhasil membunuh Ali. Sedangkan Muawiyah hanya mengalami luka-luka, dan Amr bin al-As selamat sepenuhnya. Mereka juga membunuh seseorang bernama Kharijah yang dikira Amr bin al-As karena kemiripan rupanya.[5]

Inilah awal mula munculnya perdebatan i’tiqadiyah dalam Islam. Apakah seorang Muslim yang berbuat dosa besar disebut kafir atau tidak. Kaum Khawarij jelas mengatakan bahwa mereka menjadi kafir dan di akhirat nanti akan ditempatkan di neraka. Lalu muncullah kelompok Murjiah yang menentang pendapat Khawarij dengan mengatakan bahwa orang yang berbuat dosa besar tidak disebut kafir selama masih ada iman di dalam hati. Adapun masalah apakah mereka menjadi kafir atau tidak, diserahkan kepada Allah. Ada juga kelompok yang mengatakan bahwa orang yang berbuat dosa besar tidak mukmin dan tidak pula kafir. Dan ketika mereka meninggal, mereka berada di antara duatempat, tidak di surga dan tidak di neraka. Kelompok yang memiliki pendapat seperti ini dikenal dengan nama kaum Mu’tazilah.


3.      Ilmu Kalam pada Zaman Bani Umayyah dan Abbasiyah

Telah disebutkan bahwa pasca perang Siffin telah muncul tiga kelompok dalam sejarah Islam yaitu Khawarij, Murjiah dan Mu’tazilah. Pada masa Bani Umayyah muncul aliran Jabariyah yang dimotori pertama kali oleh Ja’d bin Dirham, lalu kemudian disiarkan oleh Jahm bin Shafwan dan aliran Qadariyah yang pertama kali dibawa oleh Ma’bad al-Juhani dan temannya Ghailan al-Dimasqi.

Kaum jabariyah memandang bahwa manusia tidak memiliki kehendak, daya dan pilihan dalam melakukan perbuatannya. Mereka dipaksa dalam melakukan perbuatan-perbuatannya. Yang menarik dari Jahm bin Safwan, tokoh yang menyebarkan paham ini adalah ternyata ia merupakan orang yang pertama kali benar-benar menggunakan unsur Yunani dalam penalaran keagamaan. Jahm bin Safwan mendapatkan bahan untuk penalaran Jabariyahnya dari Aristotelianisme, yaitu bagian dari paham Aristoteles yang mengatakan bahwa Tuhan adalah suatu kekuatan yang serupa dengan kekuatan alam, yang hanya mengenal keadaan-keadaan umum (universal) tanpa mengenal keadaan-keadaan khusus (partikular). Maka Tuhan tidak mungkin memberi pahala dan dosa, dan segala sesuatu yang terjadi, termasuk pada manusia, adalah seperti perjalanan hukum alam. Hukum alam seperti itu tidak mengenal pribadi (impersonal) dan bersifat pasti. Jadi tak terlawan oleh manusia.

Aristoteles mengingkari adanya Tuhan yang pribadi. Baginya Tuhan adalah kekuatan maha dahsyat namun tak berkesadaran kecuali mengenai hal-hal universal. Maka mengikuti Aristoteles itu Jahm ibn Sufwan dan para pengikutnya sampai kepada sikap kepada mengingkari adanya sifat bagi Tuhan, seperti sifat pengampun, santun, maha tinggi, pemurah dan seterusnya. Bagi ereka, adanya sifat-sifat itu membuat Tuhan menjadi ganda, jadi bertentangan dengan sifat tauhid yang mereka akui dan hedak mereka tegakkan. Golongan yang mengingkari adanya Tuhan itu dikenal dengan an-Nufat (pengingkar sifat-sifat Tuhan) atau al-Muattilah (pembebas Tuhan dari sifat-sifatnya).

Sedangkan Qadariyah berpandangan sebaliknya. Mereka berpandangan bahwa setiap perbuatan manusia merupakan perbuatan dan kehendak mereka sendiri. Aliran Qadariyah ini selanjutnya banyak diikuti oleh orang-orang Mu’tazilah. Namun disisi lain, kaum Mu’tazilah banyak mengikuti sikap kaum Jahmiah, yaitu penalaran rasional, meskipun dengan berbagai premis yang berbeda, bahkan berlawanan (seperti premis kebebasan dan kemampuan manusia). Hal ini ikut membawa kaum Mu’tazilah kepada penggunaan bahan-bahan Yunani yang dipermudah oleh kegiatan penerjemahan besar-besaran buku-buku Yunani, ditambah dengan buku-buku Persi an India, kedalam bahasa Arab. Kegiatan ini memuncak dibawah pemerintahan Bani Abassiyah yaitu ketika kepemimpinan khalifah al-Ma’mun bin Harun al-Rasyid. Penerjemahan itu telah mendorong munculnya ahli kalam dan falsafah.[6]

Khalifah al-Ma’mun sendiri, ditengah-tengah pertikaian paham berbagai kelompok islam, memihak kaum Mu’tazilah melawan Ahl al- Hadist yang dipimpin oleh ahmad bin hanbal (pendiri madzab hanbali, salah satu dari empat mazhab fiqh). Lebih dariitu, khalifah al- Ma’mun melakukan mihnah (pemeriksaan paham pribadi/ inquisition), dan menyiksa serta menjebloskan banyak orang yang tidak berpendapat dengan mazhab negara, termasuk ahmad bin Hanbal, kedalam penjara. Namun perlu ditegaskan bahwa mihna yang dilaksanakan khalifah Al-Ma’mun itu, meskipun sangat buruk, tidak dapat disamakan, inquisition yang terjadi dispanyol. Karena mihna yang dijalankan al-Ma’mun dilaksanakan di bawah semangat kebebasan berpikir menjadi paham mu’tazilah. Hal ini dilakukan untuk melawan mereka yang di anggap menghalangi liberalisme dan kebebasan itu, khususnya kaum “fundamentalis” (al- Hashwiyyun, sebutan ejekan yang secara harfiah berarti “kaum sampah“ karena malas berpikir dan menolak melakukan interpretasi terhadap ketentuan agama yang bagi mereka tidak masuk akal). Sedangkan inquisition yang terjadi di spanyol kemudian eropa pada umumnya dilaksanakan dengan semangat sebaliknya, yaitu atas nama kaum agama yang fundamentalis dan sempit melawan kebebasan berfikir yang menjadi paham para pengemban ilmu pengetahuan, termasuk para filsof saat itu telah belajar banyak dari warisan pemikiran islam.

Mihnah al-Ma’mun terus dilanjutkan oleh penggantinya yaitu al-Mu’tashim dan al-Watsiq. Salah satu masalah yang diperselisihkan pada saat itu ialah apakah kalam atau sabda Allah berwujud al-qur’an itu qadim(tidak diciptakan karena menjadi satu dengan hakikat atau dzat Allah) ataukah hadits (diciptakan, karena berbentuk suara yang dinyatakan dalam huruf dan bahasa Arab). Khalifah al-Ma’mun dan kaum Mu’tazilah berpendapat bahwa Kalam Allah itu hadits, sementara Ahl al-Hadits mmebedakan antara qadim dan hadits. Mereka berpendapat bahwa al-qur’an itu qadim seperti dzat Allah itu sendiri.

Terlepas dari catatan sejarah negatif al-Ma’mun karena telah memerintahkan pelaksanaan mihnah, ia berjasa besar dalam mebuka pintu kebebasan berpikir dan ilmu pengetahuan. Hal ini tetap tercatat dalam sejarah umat manusia. Maka kekhalifahan al-Ma’mun (198-218 H/ 813-833 M), dipandang sebagai salah satu tonggak sejarah perkembangan  pemikiran Islam, termasuk perkembangan Ilmu Kalam, dan juda filsafat Islam.


C.     Dasar Ilmu Kalam

1.      Al Qur’an

a.       QS. Al Ikhlas [112]: 1-4, keseluruhan surat ini membahas tentang identitas Allah.

Artinya:

“1. Katakanlah: Dia-lah Allah, yang Maha Esa. 2. Allah adalah Tuhan yang bergantung kepada-Nya segala sesuatu. 3. Dia tiada beranak dan tidak pula diperanakkan, 4. dan tidak ada seorangpun yang setara dengan Dia.”


b.      QS. Al Furqan [25]: 59, ayat ini membahas tentang tempat Allah setelah menciptakan alam raya.

Artinya:

“Yang menciptakan langit dan bumi dan apa yang ada antara keduanya dalam enam masa, kemudian Dia bersemayam di atas Arsy, (Dialah) yang Maha pemurah, Maka Tanyakanlah (tentang Allah) kepada yang lebih mengetahui (Muhammad) tentang Dia.”


c.    QS. al Fath [48]: 10, ayat ini membahas tentang kekuasaan Allah yang dinyatakan dengan “tangan” Allah.

Artinya:

“bahwasanya orang-orang yang berjanji setia kepada kamu Sesungguhnya mereka berjanji setia kepada Allah. tangan Allah di atas tangan mereka, Maka Barangsiapa yang melanggar janjinya niscaya akibat ia melanggar janji itu akan menimpa dirinya sendiri dan Barangsiapa menepati janjinya kepada Allah Maka Allah akan memberinya pahala yang besar.”[7]


2.      Hadis

Adanya hadits Nabi yang membicarakan masalah-masalah yang dibahas ilmu kalam. Diantaranya hadis yang membahasa masalah islam, iman dan ihsan.

عَنْعُمَرَرَضِيَاللهُعَنْهُأَيْضاًقَالَ :بَيْنَمَانَحْنُجُلُوْسٌعِنْدَرَسُوْلِاللهِصَلَّىاللهُعَلَيْهِوَسَلَّمَذَاتَيَوْمٍإِذْطَلَعَعَلَيْنَارَجُلٌشَدِيْدُبَيَاضِالثِّيَابِشَدِيْدُسَوَادِالشَّعْرِ،لاَيُرَىعَلَيْهِأَثَرُالسَّفَرِ،وَلاَيَعْرِفُهُمِنَّاأَحَدٌ،حَتَّىجَلَسَإِلَىالنَّبِيِّصلىاللهعليهوسلمفَأَسْنَدَرُكْبَتَيْهِإِلَىرُكْبَتَيْهِوَوَضَعَكَفَّيْهِعَلَىفَخِذَيْهِوَقَالَ:يَامُحَمَّدأَخْبِرْنِيعَنِاْلإِسْلاَمِ،فَقَالَرَسُوْلُاللهِصلىاللهعليهوسلم:لإِسِلاَمُأَنْتَشْهَدَأَنْلاَإِلَهَإِلاَّاللهُوَأَنَّمُحَمَّدًارَسُوْلُاللهِوَتُقِيْمَالصَّلاَةَوَتُؤْتِيَالزَّكاَةَوَتَصُوْمَرَمَضَانَوَتَحُجَّالْبَيْتَإِنِاسْتَطَعْتَإِلَيْهِسَبِيْلاًقَالَ :صَدَقْتَ،فَعَجِبْنَالَهُيَسْأَلُهُوَيُصَدِّقُه،قَالَ:فَأَخْبِرْنِيعَنِاْلإِيْمَانِقَالَ :أَنْتُؤْمِنَبِاللهِوَمَلاَئِكَتِهِوَكُتُبِهِوَرُسُلِهِوَالْيَوْمِالآخِرِوَتُؤْمِنَبِالْقَدَرِخَيْرِهِوَشَرِّهِ.قَالَصَدَقْتَ،قَالَفَأَخْبِرْنِيعَنِاْلإِحْسَانِ،قَالَ:أَنْتَعْبُدَاللهَكَأَنَّكَتَرَاهُفَإِنْلَمْتَكُنْتَرَاهُفَإِنَّهُيَرَاكَ .قَالَ:فَأَخْبِرْنِيعَنِالسَّاعَةِ،قَالَ:مَاالْمَسْؤُوْلُعَنْهَابِأَعْلَمَمِنَالسَّائِلِ.قَالَفَأَخْبِرْنِيعَنْأَمَارَاتِهَا،قَالَأَنْتَلِدَاْلأَمَةُرَبَّتَهَاوَأَنْتَرَىالْحُفَاةَالْعُرَاةَالْعَالَةَرِعَاءَالشَّاءِيَتَطَاوَلُوْنَفِيالْبُنْيَانِ،ثُمَّانْطَلَقَفَلَبِثْتُمَلِيًّا،ثُمَّقَالَ : يَاعُمَرَأَتَدْرِيمَنِالسَّائِلِ؟قُلْتُ : اللهُوَرَسُوْلُهُأَعْلَمَ . قَالَفَإِنَّهُجِبْرِيْلُأَتَاكُمْيُعَلِّمُكُمْدِيْنَكُمْ. (رواهمسلم[8])

“Dari Umar ra,  dia berkata : Ketika kami duduk-duduk disisi Rasulullah Saw  suatu hari tiba-tiba datanglah seorang laki-laki yang mengenakan baju yang sangat putih dan berambut sangat hitam, tidak tampak padanya bekas-bekas perjalanan jauh dan tidak ada seorangpun diantara kami yang mengenalnya. Hingga kemudian dia duduk dihadapan Nabi lalu menempelkan kedua lututnya kepada kepada lututnya (Rasulullah Shallallahu’alaihi wasallam) seraya berkata: “Ya Muhammad, beritahukan aku tentang Islam?”, maka bersabdalah Rasulullah Saw: “Islam adalah engkau bersaksi bahwa tidak ada Ilah (Tuhan yang disembah) selain Allah, dan bahwa Nabi Muhammad adalah utusan Allah, engkau mendirikan shalat, menunaikan zakat, puasa Ramadhan dan pergi haji jika mampu”, kemudian dia berkata: “anda benar”. Kami semua heran, dia yang bertanya dia pula yang membenarkan. Kemudian dia bertanya lagi: “Beritahukan aku tentang Iman”. Lalu beliau bersabda: “Engkau beriman kepada Allah, malaikat-malaikat-Nya, kitab-kitab-Nya, rasul-rasul-Nya dan hari akhir dan engkau beriman kepada takdir yang baik maupun yang buruk”, kemudian dia berkata: “anda benar”.  Kemudian dia berkata lagi: “Beritahukan aku tentang ihsan”. Lalu beliau bersabda: “Ihsan adalah engkau beribadah kepada Allah seakan-akan engkau melihatnya, jika engkau tidak melihatnya maka Dia melihat engkau” . Kemudian dia berkata: “Beritahukan aku tentang hari kiamat (kapan kejadiannya)”. Beliau bersabda: “Yang ditanya tidak lebih tahu dari yang bertanya”. Dia berkata: “Beritahukan aku tentang tanda-tandanya", beliau bersabda: " Jika seorang hamba melahirkan tuannya dan jika engkau melihat seorang bertelanjang kaki dan dada, miskin dan penggembala domba, (kemudian)  berlomba-lomba meninggikan bangunannya“, kemudian orang itu berlalu dan aku berdiam sebentar. Kemudian beliau (Rasulullah) bertanya: “Tahukah engkau siapa yang bertanya?”. Aku berkata: “Allah dan Rasul-Nya lebih mengetahui”. Beliau bersabda: “Dia adalah Jibril yang datang kepada kalian (bermaksud) mengajarkan agama kalian “.(HR. Muslim)


3.      Pemikiran manusia

Pada pertumbuhan awal pemikiran Islam, para ulama telah menggunakan rasionya untuk menjelaskan hal-hal yang berkaitan dengan ajaran Islam jauh sebelum filsafat Yunani berpengaruh luas dalam khasanah ilmu keislaman. Hal ini terutama yang berkaitan dengan ayat-ayat mutasyabihat, yakni ayat-ayat al Quran yang samar maksudnya, sehingga membutuhkan pemikiran akal untuk memahaminya.

Di dalam al-Qur’an, banyak sekali terdapat ayat-ayat yang memerintahkan manusia untuk berfikir dan menggunakan akalnya. Dalam hal ini biasanya Al-Qur’an menggunakan redaksi tafakkur, tadabbur, tadzakkur, tafaqqah, nazhar, fahima, aqala, ulul al-albab, ulul al-ilm, ulu al-abshar, dan ulu an-nuha.  Diantara ayat-ayat tersebut yaitu(Q.S. An-Nahl: 17) :

Artinya:

“Maka apakah (Allah) yang menciptakan itu sama dengan yang tidak dapat menciptakan? Maka apakah kamu tidak mengambil pelajaran?”. (Q.S. An-Nahl: 17).

Oleh karena itu, jika umat islam sangat termotivasi untuk memaksimalkan penggunaan rasionya, hal itu bukan karena ada pengaruh dari pihak luar saja, melainkan karena adanya perintah langsung dari ajaran agama mereka. Hal inilah yang akhirnya menyebabkan sangat jelasnya penggunaan rasio dan logika dalam pembahasan ilmu kalam.[9]


D.    Faktor Pendorong Lahirnya Ilmu Kalam

Ada dua faktor yang menybabkan munculnya aliran dalam ilmu kalam, yaitu:

1.      Faktor internal

Faktor internal adalah faktor yang muncul dari dalam umat Islam sendiri yang dikarenakan:

a.       Adanya kepentingan kelompok atau golongan.

Kepentingan kelompok pada umumnya mendominasi sebab timbulnya suatu aliran. Sangat jelas, di mana Syi’ah sangat berlebihan dalam mencintai dan memuji Ali bin Abi Thalib, sedangkan Khawarij sebagai kelompok yang sebaliknya.

b.      Adanya kepentingan politik.

Kepentingan ini bermula ketika ada kekacauan politik pada zaman khalifah Usman bin Affan yang menyebabkan wafatnya beliau, kepentingan ini bertujuan sebagai sumber kekuasaan untuk menata kehidupan. Karna Faktor politik juga dapat memunculkan madzhab-madzhab pemikiran di lingkungan Umat Islam, khususnya pada awal perkembangannya. Maka persoalan imamah menjadi persoalan tersendiri dan khas yang menyebabkan perbedaan pendapat, bahkan perpecahan di lingkungan umat Islam. Permasalahan ini dimulai ketika Rasulullah meninggal dunia serta peristiwa terbunuhnya usman dimana antara golongan yang satu dengan yang lain saling mengkafirkan dan menganggap golongannya yang paling benar. Berkenaan dengan itu, ulama antara lain ‘Amir al-Najjar berkesimpulan bahwa penyebab tumbuh dan berkembangnya aliran kalam adalah pertentangan dalam bidang politik, yakni mengenai imamah dan khilafah.

c.       Adanya pemahaman dalam Islam yang berbeda.

Perbedaan ini terdapat dalam hal pemahaman ayat Al-Qur’an, sehingga berbeda dalam menafsirkan pula. Mufasir satu menemukan penafsiranya berdasarkan hadist yang shahih, sementara mufasir yang lain penafsiranya belum menemukan hadist yang shahih. Bahkan ada yangmengeluarkan pendapatnya sendiri atau hanya mengandalkan rasional belaka tanpa merujuk kepada hadist.

d.      Mengedepankan akal

Dalam hal ini, akal digunakan setiap keterkaitan dengan kalam sehingga terkesan berlebihan dalam penggunaan akal, seperti aliran Mu’tazilah.

2.      Faktor eksternal

Faktor eksternal adalah Faktor yang muncul dari luar umat islam, Disamping faktor internal mendorong dan mempengaruhi kemunculan persoalan-persoalan kalam juga ada faktor eksternal berupa paham-paham keagamaan non muslim tertentu yang mempengaruhi dan ikut mewarnai sebagian paham di lingkungan umat islam. Seperti:

a.       Akibat adanya pengaruh keagamaan dari luar islam.

Paham keagamaan non-islam yang dimaksudkan adalah paham keagamaan yahudi dan nasrani, yang mengatakan bahwa sejak islam tersebar luas, terjadi kontak dengan lingkungan lokalnya. Di Syiria misalnya, pemikiran islam mulai dipengaruhi oleh pemikiran Kristen Hellenistik, dan di Irak dipengaruhi oleh doktrin-doktrin Gnostik. Demikian pula pandangan Goldziher orang jerman yang ahli ketimuran dan ahli islam, sebagaimana dikutip oleh Abu Bakar aceh, yang mengatakan bahwa banyak ucapan dan cara berfikir kenasranian dimasukkan ke dalam hadits-hadits yang dikataakan berasal dari Muhammad.

b.      Kelompok-kelompok Islam yang pertama, khususnya Muktazilah

Perkara utama yang mereka tekankan ialah mempertahankan Islam dan menolak hujah mereka yang menentangnya. Negeri-negeri Islam terdedah dengan semua pemikiran-pemikiran ini dan setiap kelompok berusaha untuk membenarkan pendapatnya dan menyalahkan pendapat kelompok lain. Orang-orang Yahudi dan Nasrani telah melengkapkan diri mereka dengan senjata ilmu Falsafah, lalu Muktazilah telah mempelajarinya agar mereka dapat mempertahankan Islam dengan senjata yang telah digunakan oleh pihak yang menyerang.

c.       Ahli-ahli Kalam memerlukan falsafah dan mantiq (ilmu logis)

      Ahli-ahli Kalam memerlukan falsafah dan mantiq (ilmu logis) sehingga memaksa mereka untuk mempelajarinya supaya dapat menolak kebatilan-kebatilan (keraguan-keraguan) yang ada di dalam ilmu berkenaan. [10]

Baca juga artikel yang lain:

BAB III

PENUTUP

A.    Kesimpulan

Ilmu Kalam adalah Ilmu yang membicarakan/membahas tentang masalah ketuhanan/ketauhidan (mengesakan Tuhan) dengan menggunakan dalil-dalil fikiran dan disertai alasan-alasan yang rasional. Dasar-dasar Ilmu Kalam adalah al-Qur’an, hadits dan pemikiran manusia. Persoalan kalam telah ada sejak zaman Rasulullah, zaman Khulafaur Rasyidin dan berkembang ke zaman Bani Umayyah dan Abassiyah dan lainnya. Latar belakang lahirnya ilmu kalam berawal ilmu kalam pada zaman Rasulullah, ilmu kalam pada zaman Khulafaur rasyidin, ilmu kalam pada zaman Bani Umayyah dan Abbasiyah. Adapun Dasar dari Ilmu kalam yaitu Al-quran, Hadist dan pemikiran manusia.

Ada dua faktor yang menybabkan munculnya aliran dalam ilmu kalam, yaitu: Faktor internal

Faktor internal adalah faktor yang muncul dari dalam umat Islam sendiri yang dikarenakan:

a)         Adanya kepentingan kelompok atau golongan.

b)         Adanya kepentingan politik.

c)         Adanya pemahaman dalam Islam yang berbeda.

d)        Mengedepankan akal


Faktor eksternal

a)      Akibat adanya pengaruh keagamaan dari luar islam.

b)      Kelompok-kelompok Islam yang pertama, khususnya Muktazilah

c)      Ahli-ahli Kalam memerlukan falsafah dan mantiq (ilmu logis)


 

[1] http://www.nomifrod.com/2016/03/pengertian-fungsi-dan-faktor-timbulnya-ilmu-kalam.html. di akses pada tanggal 09 oktober  2017.

[2]  Ali Mustafa al-Ghazali , tarikh al-Firaq al-islamiyah ( Mesir: Maktabah wa matba’ah Muhammad Ali shabih wa Awladuh), 8-9.

[3] Mukhtafi, ilmu kalam (Surabaya: UINSA Press, 2015), 19.

[4] ibn Taymiyah, minhaj al-sunnah al-Nabawiyah fi  Naqd  al –kalam al-Shi’ah wa al-Qadariyah, (Kairo: al-Mathba’at al-Amiriyah, 1321 H), 237.

[5]  Ibid., 12-13.

[6]  Ahmad Amin, fajr al-islam ( Jakarta : al-Munjid 2009 ), 284.

[7]  Sahilun Nasir, pengantar  ilmu kalam (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 1991), 21.

[8]  Muhammad bin Ismail Abu Abdillah al-Bukhari, sahih al-Bukhari, juz 1 (Beirut : Dar ibn Khatir, 1987), 27.

[9]  Sahilun A.Nasir, pengantar  ilmu kalam, 41.

[10] https://sakinah-wasohibatimuslimah.blogspot.co.id/2015/10/makalah-sejarah-lahirnya-ilmu-kalam.html (diakses pada tanggal 10 oktober 2017).


 

Aqidah Islimiyyah

BAB I

PENDAHULUAN

A.    Latar Belakang Masalah

Aqidah adalah keyakinan atau kepercayaan tentang tuhan

Aqidah Ilmu Kalam diarahkan untuk mengkaji secara rasional akidah islam. Argumentasi-argumentasi rasional dipergunakan untuk memperdalam keyakinan terhadap ajaran islam. Islam secara geologi adalah didekati dengan doktrin agama, sedangkan Islam secara mologi adalah didekati dengan doktrin ilmiah, sehingga belajar Islam secara mologi berbeda denga cara pemebelajarannya dan semua bisa mempelajarinya (dikuasai).


B.     Rumusan Masalah

1.      Dasar-dasar normatif dan filosofi aqidah islamiyah.

2.      Masalah ushul dan furu aqidah islamiyah.

3.      Kerangka berfikir aliran-aliran kalam aqidah islamiyah.

4.      Sikap inklusif dalam beraqidah islamiyah.


C.     Rumusan Masalah

1.      Untuk mengetahui Dasar-dasar normatif dan filosofi aqidah islamiyah.

2.      Untuk mengetahui Masalah ushul dan furu aqidah islamiyah

3.      Untuk mengetahui Kerangka berfikir aliran-aliran kalam aqidah islamiyah

4.      Untuk mengetahui Sikap inklusif dalam beraqidah islamiyah


BAB II

PEMBAHASAN

A.    DASAR NORMATIF

Aqidah Islamiyah telah memecahkan ‘uqdah al-kubro’ (perkara besar) pada manusia. Aqidah Islam juga memberikan jawaban atas pertanyaan-pertanyaan manusia, sebab Islam telah menjelaskan bahwa alam semesta, manusia, dan kehidupan adalah ciptaan (makhluk) bagi pencipta (al-khaliq) yaitu Allah SWT. Dan bahwasannya setelah kehidupan ini akan ada hari kiamat. Hubungan antara kehidupan dunia dan kehidupan sebelumnya adalah ketundukan manusia terhadap perintah-perintah Allah dan larangan-larangan Nya. Sedangkan hubungan antara kehidupan dunia dengan kehidupan sesudahnya adalah hari kiamat., yang di dalamnya terdapat pahala dan siksa, serta surga dan neraka. Al-Qur’an telah menetapkan rukun-rukun aqidah ini.

ءَامَنَ الرَّسُوْلُ بِمَا اُنْزِلَ اِلَيْهِ مِنْ رَبِّهِ وَالْمُؤْمِنُوْنَ كُلٌّ امَنَ بِاللّهِ وَمَلاَئِكَتِهِ  وَكُتُبِهِ وَرَسُوْلِه

Artinya: “ Rasul telah beriman kepada Al Qur’an yang diturunkan kepadanya dari Tuhannya, demikian pula orang-orang yang beriman. Semuanya beriman kepada Allah , malaikat-malaikat-Nya, kitab-kitab-Nya dan rasul-rasul-Nya.” (Q.S. Al-Baqarah/2:285). [1]

عَنْ عَبْدُاللّهِ بْنِ عُمَرُو رَضِيَ اللّهُ عَنْهُ قَالَ. قَالَ رَسُوْلُ اللّهِ صَلَى اللّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ تَفْتَرِقُ أُمَّتِيْ عَلَى ثَلَاثٍ وَسَبْعِيْنَ مِلَّةُ كُلِّهِمْ فِيْ النَّارِ إِلَّا مِلَّةً وَاحِدَةً قَالُوْا : وَمَنْ هِيَ يَا رَسُوْلَ اللّه؟ قَالَ: مَا أَناَ عَلَيْهِ الْيَوْمَ وَأَصْحَابِيْ.

“dari sahabat Abdullah bin Amr RA. Ia berkata: Rasulullah SAW. Bersabda: “Umatku akan berpecah belah menjadi tujuh puluh tiga golongan, seluruhnya akan masuk neraka, kecuali satu golongan. Para sahabat bertanya: Siapakah mereka itu, wahai Rasulullah? Beliau menjawab: yang berpegang teguh dengan ajaran yang aku dan para sahabatku jalankan sekarang ini.” (H.R. Tirmidzi dan Al Hakim).[2]


B.     DASAR FILOSOFIS

Dalam ajaran Islam, ada berbagai hal bersifat teoretis yang disebut sisi akidah, yang menuntut kewajiban untuk diyakini atau diimani dalam hati.[3] Oleh para ulama, berbagai hal yang wajib diimani tersebut, ada yang disebut sebagai akidah pokok, yang menentukan identitas keislaman seseorang. Oleh jumhur ulama, akidah pokok ini diidentifikasi dan disistemasisasi serta disepakati sebagai rukun iman. Akidah pokok atau rukun iman dimaksud adalah beriman kepada Allah, para malaikat, kitab-kitab suci, para rasul, hari akhirat, dan beriman kepada qadha dan qadar. Penetapan akidah pokok yang enam ini mengacu kepada firman Allah SWT. Antara lain: Q.S. Al-Baqarah/2: 285 dan hadist yang memuat berita tentang percakapan antara Jibril dan Rasulullah mengenai pengertian Iman, Islam, dan Ihsan.

Para ulama bersepakat tentang akidah-akidah poko yang menjadi rukun iman ini yang harus diimani oleh Muslimin, namun dalam waktu yang sama, mereka berbeda pendapat dan beraneka interpretasi mengenai masalah-masalah yang sifatnya sebagai cabang, yang berkaitan dengan akidah-akidah pokok tersebut.


C.     MAKNA USHUL DAN FURU’

Islam adalah Aqidah, Syariat dan Akhlaq. Ketiganya menjadi satu kesatuan tak terpisahkan, satu sama lainnya saling terkait dan saling menyempurnakan. Ketiganya terhimpun dalam Ajaran Islam melalui dua ruang ilmu, yaitu : USHULUDDIN dan FURU’UDDIN.

Ushuluddin biasa disingkat USHUL, yaitu Ajaran Islam yang sangat prinsip dan mendasar, sehingg Umat Islam wajib sepakat dalam Ushul dan tidak boleh berbeda, karena perbedaan dalam Ushul adalah Penyimpangan yang mengantarkan kepada kesesatan.

Sedang Furu’uddin biasa disingkat FURU’, yaitu Ajaran Islam yang sangat penting namun tidak prinsip dan tidak mendasar , sehingga Umat Islam boleh berbeda dalam Furu’, karena perbedaan dalam Furu’ bukan penyimpangan dan tidak mengantarkan kepada kesesatan, tapi dengan satu syarat yakni : ada dalil yang bisa dipertanggung-jawabkan secara Syar’i.

Penyimpangan dalam Ushul tidak boleh ditoleran, tapi wajib diluruskan. Sedang Perbedaan dalam Furu’ wajib ditoleran dengan jiwa besar dan dada lapang serta sikap saling menghargai.


D.    MENENTUKAN USHUL DAN FURU’

Cara menentukan suatu masalah masuk dalam USHUL atau FURU’ adalah dengan melihat Kekuatan Dalil dari segi WURUD  (Sanad Penyampaian) dan  DILALAH (Fokus Penafsiran).

WURUD terbagi dua, yaitu :

1)      Qoth’i : yakni Dalil yang Sanad Penyampaiannya MUTAWATIR.

2)      Zhonni :yakni Dalil yang Sanad Penyampaiannya TIDAK MUTAWATIR.

Mutawatir  ialah Sanad Penyampaian yang Perawinya berjumlah banyak di tiap tingkatan, sehingga mustahil mereka berdusta.

DILALAH juga terbagi dua, yaitu : 

1)      Qoth’i  : yakni Dalil yang hanya mengandung SATU PENAFSIRAN.

2)      Zhonni  : yakni Dalil yang mengandung MULTI PENAFSIRAN.

Karenanya, Al-Qur’an dari segi Wurud semua ayatnya Qoth’i, karena sampai kepada kita dengan jalan MUTAWATIR. Sedang dari segi Dilalah maka ada ayat yang Qoth’i karena hanya satu penafsiran, dan ada pula ayat yang Zhonni karena multi penafsiran.

Sementara As-Sunnah, dari segi Wurud, yang Mutawatir semuanya Qoth’i, sedang yang tidak Mutawatir semuanya Zhonni. Ada pun dari segi Dilalah, maka ada yang Qoth’i karena satu pemahaman dan ada pula yang Zhonni karena multi pemahaman. 

Selanjutnya, untuk menentukan klasifikasi suatu persoalan, apa masuk Ushul atau Furu’, maka ketentuannya adalah :

1)   Suatu Masalah jika Dalilnya dari segi Wurud dan Dilalah sama-sama Qoth’i, maka pasti masalah USHUL.

2)   Suatu Masalah jika Dalilnya dari segi Wurud dan Dilalah sama-sama Zhonni, maka ia pasti masalah FURU’.

3)   Suatu Masalah jika Dalilnya dari segi Wurud Qoth’i tapi Dilalahnya Zhonni, maka ia pasti masalah FURU’.

4)   Suatu Masalah jika Dalilnya dari segi Wurud Zhonni tapi Dilalahnya Qoth’i, maka Ulama berbeda pendapat, sebagian mengkatagorikannya sebagai USHUL, sebagian lainnya mengkatagorikannya sebagai FURU’. 

Dengan demikian, hanya pada klasifikasi pertama yang tidak boleh berbeda, sedang klasifikasi kedua, ketiga dan keempat, maka perbedaan tidak terhindarkan.


E.     KERANGKA BERPIKIR ALIRAN – ALIRAN ILMU KALAM

Untuk mengkaji aliran – aliran ilmu kalam pada dasarnya merupakan upaya untuk memahami kerangka berpikir serta proses pengambilan keputusan para ulama aliran teologi dalam menyelesaikan persoalan – persoalan kalam. Pada dasarnya, potensi yang dimiliki setiap manusia yang baik berupa potensi biologis maupun potensi psikologis yang secara natural adalah sangat distingtif. Oleh sebab itu, perbedaan kesimpulan antara satu pemikiran dengan pemikiran lainnya dalam mengkaji suatu objek tertentu merupakan suatu hal yang bersifat natural pula.[4]

Dalam kaitan ini, Waliyullah Ad-Dahlawi pernah mengatakan bahwa para sahabat dan tabi’in biasa berbeda pendapat dalam mengkaji suatu masalah tertentu. Beberapa indikasi yang menjadi pemicu perbedaan pendapat diantara mereka adalah terdapat beberapa sahabat lainnya tidak mendengarkan keputusan hukum dari Nabi. Para sahabat yang tidak mendengar keputusan hukum dari Nabi itu lalu berijtihad. Dari sini kemudian terjadi perbedaan pendapat dalam memutuskan suatu ketentuan hukum.[5]

Mengenai sebab-sebab pemicu perbedaan pendapat, Ad-Dahlawi tampaknya lebih menekankan aspek subjek pembuatan keputusan sebagai pemicu perbedaan pendapat. Penekanan serupa pun pernah dikatakan Imam Munawwir. Ia mengatakan bahwa perbedaan pendapat di dalam Islam lebih dilatarbelakangi adanya beberapa hal yang menyangkut kapasitas dan kredibilitas seseorang sebagai figur pembuat keputusan.[6] Lain lagi dengan yang dikatakan Umar Sulaiman Asy-Syaqar. Ia lebih menekankan aspek objek keputusan sebagai pemicu terjadinya perbedaan pendapat. Menurutnya, ada tiga persoalan yang menjadi objek perbedaan pendapat, yaitu persoalan keyakinan (aqa‘id), persoalan syariah, dan persoalan politik.[7]

Bertolak dari ketiga pandangan diatas, perbedaan pendapat di dalam masalah objek teologi sebenarnya berkaitan erat dengan metode bepikir aliran-aliranIlmu Kalam dalam menguraikan objek pengkajian (persoalan-persoalan kalam). Perbedaan cara berpikir secara garis besar dapat dikategorikan menjadi dua macam, yaitu metode bepikir rasional dan metode berpikir tradisional.[8]Metode berpikir rasional memiliki prinsip berikut ini:

1.     Hanya terikat pada dogma-dogma yang dengan jelas dan tegas disebut dalam Al-Qur’an dan Hadis Nabi. Yakni ayat yang gathi (ayat yang tidak boleh disamakan dengan arti lain).

2.      Memberikan kebebasan kepada manusia dalam berbuat dan berkehendak.

3.      Serta memberikan daya yang kuat kepada akal.

Adapun metode berpikir tradisional memiliki prinsip berikut ini:

1.      Terikat pada dogma-dogma dan ayat-ayat yang mengandung arti zhanni (yang boleh mengandung arti lain selain dari arti harfinya).

2.      Tidak memberikan kebebasan kepada manusia dalam berkehendak dan berbuat.

3.      Memberikan daya yang kecil kepada akal.

Metode berpikir kedua macam di atas, terutama menyangkut peranan akal dan wahyu.[9] Teologi rasional memberikan peranan yang besar terhadap akal. Dalam pandangan teologi ini, akal dapat mengetahui Tuhan, kewajiban mengetahui Tuhan, baik dan jahat, kewajiban mengerjakan yang baik dan kewajiban menjahui yang jahat. Adapun teologi tradisional memberikan peranan yang kecil terhadap akal. Hanya mengetahui Tuhanlah yang dapat dijangkau akal dan selebihnya dietahui wahyu.

Aliran teologi yang sering disebut-sebut memiliki cara berpikir teologi rasional adalah Mu’tazilah. oleh karena itu,Mu’tazilah dikenal sebagai aliran yang bersifat rasional dan liberal. Adapun teologi yang sering disebut-sebut memiliki metode berpikir tradisional adalah Asy’ariyah. Mengenyampingkan pengategorian teologi rasional dan teologi tradisional, dikenal pula pengategorian akibat adanya perbedaan kerangka berpikir dalam menyelesaikan persoalan-persoalan kalam.[10]


1.      Aliran Antroposentris

Aliran antroposentrismenganggap bahwa hakikat realitas transenden bersifat intrakosmos dan impersonal. Ia berhubungan erat dengan masyarakat kosmos, baik yang natural maupun yang supranatural dalam arti unsur-unsurnya. Manusia adalah anak kosmos, unsur supranatural dalam dirinya merupakan sumber kekuatannya. Tugas manusia adalah melepaskan unsur natural yang jahat. Dengan demikian, manusia harus mampu menghapus kepribadian kemanusiaannya untuk meraih kemardekaan dari lilitan naturalnya. Orang yang tergolong dalam kelompok ini berpandangan negatif terhadap dunia karena menganggap keselamatan dirinya terletak pada kemampuannya untuk membuang semua hasrat dan keinginannya. Sementara ketakwaannya lebih diorientasikan kepada praktek-praktek pertapaan dan konsep-konsep magis. Tujuan hidupnya bermaksud menyusun kepribadiannya ke dalam realita impersonalnya.[11]

Anshari menganggap manusia yang berpandangan antroposentris sebagai sufi adalah mereka yang berpandangan mistis dan statis. Padahal manusia antroposentris sangat dinamis karena menganggap hakikat realitas transenden yang bersifat intrakosmos dan impersonal datang kepada manusia dalam bentuk daya sejak manusia lahir. Daya itu berupa potensi yang menjadikannya mampu membedakan mana yang baik dan mana yang jahat. Manusia yang memilih kebaikan akan memperoleh keuntungan melimpah (surga), sedangkan manusia yang memilih kejahatan, ia akan memperoleh kerugian melimpah pula (neraka). Dengan dayanya, manusia mempunyai kebebasan mutlak tanpa campur tangan realitas transenden. Aliran teologi yang termasuk dalam kategori ini adalah Qadariyah, Mu’tazilah, danSyi’ah. Aliran ini berpendapat bahwa manusia mempunyai kemardekaan dan kebesan dalam menentukan perjalanan hidupnya.


2.      Teolog Teosentris

Aliran Teosentris menganggap bahwa hakikat realitas transenden bersifat suprakosmos, personal, dan keTuhanan. Tuhan adalah pencipta segala sesuatu yang ada di kosmos ini. Tuhan dengan segala kemampuanNya mampu berbuat apa saja secara mutlak. Sewaktu-waktu Dia dapat muncul pada masyarakat kosmos. Manusia adalah ciptaanNya sehingga harus berkarya hanya untukNya. Didalam kondisinya yang serba relatif, diri manusia adalah migran abadi yang segera akan kembali kepada Tuhannya. Untuk itu, manusia harus mampu meningkatkan keselarasan dengan realitas tertinggi dan transenden melalui ketakwaan. Dengan ketakwaannya, manusia akan memperoleh kesempurnaan itu pula, manusia akan menjadi sosok yang ideal, serta mampu memancarkan atribut-atribut keTuhanan dalam cermin dirinya. Kondisi semacam inilah yang pada saatnya nanti akan menyelamatkan nasibnya di masa yang akan datang.[12]

Manusia teosentris adalah manusia yang statis kerena sering terjebak dalam kepasrahan mutlak kepada Tuhan. Sikap kepasrahan ini menjadikannya seperti tidak mempunyai pilihan lain. Baginya, segala perbuatannya pada hakikatnya adalah aktivitas Tuhan. Ia tidak memiliki pilihan lain, kecuali apa yang telah ditetapkan Tuhan. Dengan cara itu, Tuhan menjadi penguasa mutlak yang tidak dapat diganggu gugat. Tuhan dapat saja memasukan manusia jahat ke dalam keuntungan yang melimpah (surga). Begitu pula, Dia juga dapat memasukan manusia yang taat kedalam situasi serba rugi yang terus-menerus (neraka).

Aliran teosentris menganggap daya yang menjadi potensi perbuatan baik atau jahat manusia bisa datang sewaktu-waktu dari Tuhan. Oleh sebab itu, adakalanya manusia mampu melaksanakan suatu perbuatan tatkala ada daya yang datang kepadanya. Sebaliknya, ia tidak mampu melaksanakan suatu perbuatan apapun tatkala tidak ada daya yang datang kepadanya. Dengan perantaraan daya, Tuhan selalu campur tangan, bahkan manusia dapat dikatakan tidak mempunyai daya samasekali terhadap segala perbuatannya. Aliran teologi yang tergolong dalam kategori ini adalahJabbariyah.


3.      Aliran Konvergensi atau Sintesis

Aliran konvergensi mengnggap hakikat realitas transenden bersifat supra sekaligus intrakosmos, personal dan ipersonal, lahut dan nashut, makhluk dan Tuhan, sayang dan jahat, lenyap dan abadi, tampak dan abstrak, dan sifat lain yang dikotomik. Ibn Arabi menamakan sifat-sifat semacam ini dengan insijam al-azali (prestabilished harmony).[13] Aliran ini memandang bahwa manusia juga merupakan cermin asma dan sifat-Nyayang beragam. Oleh sebab itu, eksistensi kosmos yang dikatakan sebagai penciptaan pada dasarnya adalah penyingkapan asma dan sifat-sifatNya yang Azali.

Aliran konvergensi memandang bahwa pada dasarnya, segala sesuatu itu selalu berada dalam ambigu (serba ganda), baik secara substansial maupun formal. Secara substansial, sesuatu mempunyai nilai-nilai batini,huwiyah, dan eternal (qadim) karena merupakan gambaran Al-Haq. Dari sisi ini, sesuatu tidak dapat dimusnahkan, kecuali atas kehendakNya yang mutlak. Secara formal, sesuatu mempunyai nilai-nilai zahiri, inniyah,dan temporal (huduts) karena merupakan cermin Al-Haq. Dari sisi ini, sesuatu dapat dimusnahkan kapan saja karena sifat makhluk adalah profan dan relatif. Eksistensinya sebagai makhluk adalah mengikutisunatullah atau natural law (hukum alam) yang berlaku.

Aliran ini berkeyakinan bahwa hakikat daya manusia merupakan proses kerja sama antara daya yang transendental (Tuhan) dalam bentuk kebijaksanaan dan daya temporal (manusia) dalam bentuk teknis. Dampaknya, ketika daya manusia tidak berpartisipasi dalam proses peristiwa yang terjadi pada dirinya, daya yang transendental yang memperoses suatu peristiwa yang terjadi pada dirinya. Oleh karena itu, ia tidak memperoleh pahala atau siksaan dari Tuhan. Sebaliknya, ketika terjadi suatu peristiwa pada dirinya, sementara ia sendiri telah berusaha melakukannya, maka pada dasarnya kerja sama harmonis antara daya transendental dan daya temporal. Konsekuensinya, manusia akan memperoleh pahala atau siksaan dari Tuhan, sebanyak andil temporalnya dalam mengaktualkan peristiwa tertentu.

Kebahagiaan, bagi para penganut aliran konvergensi, terletak pada kemampuannya membuat pendulum agar selalu berada tidak jauh ke kanan atau ke kiri, tetapi tetap ditengah-tengah antara berbagai ekstrimitis. Dilihat dari sisi ini, Tuhan adalah sekutu manusia yang tetap, atau lebih luas lagi bahwa Tuhan adalah sekutu makhlukNya, dan sedangkan makhluk adalah sekutu Tuhannya. Ini karena, baik manusia ataupun makhluk merupakan suatu bagian yang tak terpisahkan sebagaimana keterpaduan antara dzat Tuhan dan asma serta sifat-sifatNya. Kesimpulannya, kemardekaan kehendak manusia yang profan selalu berdampingan dengandeterminisme transendental Tuhan yang sakral dan menyatu dalam daya manusia. Aliran teologi yang dapat dimasukan ke dalam kategori ini adalah Asy’Ariyah.


4.      Aliran Nihilis

Aliran Nihilis menganggap bahwahakikat realitas transendental hanyalah ilusi. Aliran ini pun menolak Tuhan yang mutlak, tetapi menerima berbagai variasi Tuhan kosmos. Manusia hanyalah bintik kecil dari aktivitas mekanisme dalm suatu masyarakat yang serba kebetulan. Kekuatan terletak pada kecerdikan diri manusia sendiri sehingga mampu melakukan yang terbaik dari tawaran yang buruk. Idealnya, manusia mempunyai kebahagiaan yang bersifat bisik, yang merupakan titik sentral perjuangan seluruh manusia.[14]

Dalam aliran-aliran yang berpendapat bahwa akal dapat sampai kepada kewajiban mengetahui Tuhan, iman tidak bisa mempunyai arti pasif, iman tidak bisa mempunyai arti tasdiq, yaitu menerima apa yang dikatakan atau disampaikan orang sebagai benar. Bagi aliran-aliran ini, iman mesti mempunyai arti aktif, karena manusia akalnya masti dapat sampai kepada kewajiban mengetahui Tuhan.

Oleh karena itu bagi kaum Mu’tazilah iman buknalah tasdiq. Dan iman dalam arti mengetahuipun belumlah cukup. Menurut ‘Abd al-Jabbar, orang yang tahu Tuhan tetapi melawan kepadaNya, bukanlah yang mukmin. Dengan demikian iman bagi mereka bukanlah tasdiq, bukan pula ma’rifah, tetapi amal yang timbul sebagai akibat dari mengetahui Tuhan . tegasnya iman bagi mereka adalah pelaksanaan perintah-perintah Tuhan. Menurut Abu al-Huzail yang dimaksud dengan perintah-perintah Tuhan bukanlah hanya yang wajib saja, tetapi jiga yang sunnat. Sedangkan menurut al-Jubba’i, yang dimaksud dengan itu hanyalah perintah-perintah yang bersifat wajib. Al-Nazzam mempunyai pendapat lain. Iamn baginya adalah menjauhi dosa-dosa yang besar. Sungguhpun ada perbedaan paham dalam hal ini, kaum Mu’tazilah sependapat bahwa iman bukanlah tasdiq, tetapi suatu hal yang lebih tinggi dari itu.[15]

Bagi kaum Asy’ariah, dengan keyakinan mereka bahwa akal manusia tidak bisa sampai kepada kewajiban mengetahui Tuhan, iaman tidak bisa merupakan ma’rifah atau ‘amal. Manusia dapat mengetahui kewajiban itu hanya melalui wahyu. Whyulah yang mengatakan dan menerangkan kepada manusia, bahwa ia berkewajiban mengetahui Tuhan, dan manusia harus menerima kebenaran berita ini. Oleh karena itu, iman bagi kaum Asy’ariah adalah tasdiq, dan batasan iman, sebagai diberikan al-Asy’ari ialahal-tasdiq bi Allah,[16] yaitu menerima sebagai benar kabar tentang adanya Tuhan. Al-Baghdadi menyebut batasan yang lebih panjang. Iman ialah tasdiq tentang adanya Tuhan, rasul-rasul dan berita yang mereka bawa; tasdiq tidak sempurna apabila tidak disertai pengetahuan. Bagaimanapun iman hanyalah tasdiq dan pengetahuan tidak timbul kecuali setelah datangnya kabar yang dibawa wahyu bersangkutan.

Kaum maturidiah golongan Bukhara mempunyai paham yang sama dalam hal ini dengan kaum Asy’ariah. Sejalan dengan pendapat mereka bahwa akal tidak dapat sampai kepada kewajiban mengetahui adanya Tuhan, iman tidak bisa mengambil bentuk ma’rifah atau ‘amal, tetapi haruslah merupakan tasdiq. Batasan yang diberikan al-Bazdawi tentang iman adalah menerima dalam hati dengan lidah bahwa tidak ada Tuhan selain Allah dan bahwa tidak ada yang serupa dengan Dia.[17]

Bagi golongan Samarkand, iman mestilah lebih dari tasdiq, karena bagi mereka akal dapat sampai kepada kewajiban mengetahui Tuhan. Al-Maturidi sendiri menulis sendiri bahwa Islam adalah menegetahui Tuhan dengan tidak bertanya bagaimana bentukNya, iman adalah mengetahui Tuhan dalam keTuhanannya, ma’rifah adalah mengetahui Tuhan dengan segala sifatNya dan tauhid adalah mengenal Tuhan dalam keEsaannya. Ada juga diberikan definisi lain, yaitu pengakuan dengan lidah dan penerimaan dalam hati. Tetapi definisi ini kelihatannya bukanlah definisi al-Maturidi, karena dalam Syarh al-Fiqhal-Akbar, ditegaskan bahwa defini al-Maturidi yang sebenarnya ialah definisi yang pertama.[18] Bagaimanapun batasan iman dengan tasdiq hanya dapat sesuai dengan aliran Asy’ariyah dan aliran Maturidiah golongan Bukhara. Adapun bagi aliran Mu’tazilah dan aliran Maturidiah golongan Samarkand, iman mestilah lebih dari tasdiq, yaitu ma’rifah atau ‘amal.[19]


F.      SIKAP INKLUSIF DALAM BERAKIDAH

Kebutuhan individu dan bermasyarakat bersifat luas seiring dengan perkembangan zaman. Kerjasama dengan individu atau kelompok lain menjadi keniscayaan. Prinsip bersikap inklusif muncul karena adanya kebutuhan bekerjasama untuk mencapai cita-cita, titik tolaknya adalah memandang sisi positif perbedaan sehingga mendorong usaha-usaha untuk mempelajari perbedaan dan menarik sisi-sisi universal yang mungkin bernilai positif dan menunjang cita-cita atau misi pembangunan masyarakat.

Beberapa usaha yang bisa dilakukan untuk mengembangkan sikap inklusif :

1)    Menyadari bahwa setiap orang atau kelompok dimasyarakat memiliki potensi mencapai kebenaran, sehingga tidak menghindari primordialisme yang berlebihan terhadap keunggulan dirinya dan kelompoknya, setiap orang atau kelompok juga memiliki sisi kelemahan yang membutuhkan kerjasama dengan orang atau kelompok lain.

2)  Mengakui adanya aspek-aspek universal yang mungkin bernilai positif pada orang lain atau kelompok lain yang berbeda pandangan (aliran) agama untuk menunjang tercapainya cita-cita atau misi pembangunan masyarakat.

3)  Menumbuhkan jiwa sportif dalam bersosialisasi dan hidup bersama dengan orang lain atau kelompok lain, sehingga terdorong untuk mengelolah perbedaan secara etis atau mengembangkan kompotisi yang sehat meskipun memiliki pandangan dan cara hidup yang berbeda.

4)   Membiasakan berkomunikasi dengan sehat tidak semata-mata didasari persepsi yang sempit dan kacamata kuda, melainkan bedasarkan pengamatan dan pengertian terhadap perbedaan yang ada.

Baca juga artikel yang lain:

BAB III

PENUTUP

A.    Kesimpulan

Aqidah adalah keyakinan atau kepercayaan tentang tuhan

Aqidah Ilmu Kalam diarahkan untuk mengkaji secara rasional akidah islam. Argumentasi-argumentasi rasional dipergunakan untuk memperdalam keyakinan terhadap ajaran islam.

Aqidah Islamiyah telah memecahkan ‘uqdah al-kubro’ (perkara besar) pada manusia. Aqidah Islam juga memberikan jawaban atas pertanyaan-pertanyaan manusia, sebab Islam telah menjelaskan bahwa alam semesta, manusia, dan kehidupan adalah ciptaan (makhluk) bagi pencipta (al-khaliq) yaitu Allah SWT. Dan bahwasannya setelah kehidupan ini akan ada hari kiamat. Hubungan antara kehidupan dunia dan kehidupan sebelumnya adalah ketundukan manusia terhadap perintah-perintah Allah dan larangan-larangan Nya. Sedangkan hubungan antara kehidupan dunia dengan kehidupan sesudahnya adalah hari kiamat., yang di dalamnya terdapat pahala dan siksa, serta surga dan neraka.


DAFTAR PUSTAKA

[1] Ahmad Warson Munawwir, Al-Munawwir kamus Arab Indonesia, (Surabaya: Pustaka Progresif, 1997). Hal. 952.

[2] Abdurrahman Madjrie, Meluruskan Akidah, (Yogyakarta: Titian Ilahi Press, 1997), Hal. 21.

[3] Suryan A. Jamrah, Studi Ilmu Kalam , (Jakarta: Prenada Media Group, 2015), Hal. 66.

[4] Abdul Razak, Rosihon Anwar, Ilmu Kalam, (Pustaka Setia, Bandung, 2000), Hal. 31.

[5] Ibid

[6] Imam munawwir, Mengapa Umat Islam Dilanda Perpecahan, (Bina Ilmu, Surabaya, 1985), Hal. 38.

[7] Umar Sulaiman Asy-Asyqar, Mengembalikan Citra dan Wibawa Umat:Perecahan, Akar Masalah, dan Solusinya, (terj. Abu Fahmi Wacana Lazuardi Amanah, Jakarta), Hal 35-39.

[8] Yunan Yusuf, Corak Pemikiran Kalam Tafsir Al-Azhar, (Pustaka Panjimas, Jakarta, 1990), Hal. 16.

[9] Harun Nasution, Teologi Islam: Aliran-Aliran Sejarah Analisa Perbandingan, (UI-Press, Jakarta, 1986), Hal. 86.

[10] Muhammad Fazlur Rahman Ansar, Konsepsi Masyarakat Islam Modern, (terj. Juniarso Ridwan dkk, Risalah, Bandung, 1984). Hal. 92.

[11] ibid

[12] Ibid, hal. 93.

[13] Asy-Syaikh Al-Akbar Muhyi Ad-Din bin Arabi, Fushush Al-Hika, komentar A.R. Nicholson, Jilid II, t.t., Hal. 22.

[14] Ibid, Hal. 92.

[15] Harun Nasution, Teologi Islam: Aliran-aliran Sejarah Analisa Perbandingan, (UI-Press, Jakarta, 1986), Hal. 147.

[16] Ibid, Hal. 148.

[17] Ibid.

[18] Ibid.

[19] Ibid, Hal. 149.

MAKALAH HADIST TENTANG HIJAB

  A.   Latar Belakang Telah disepakati oleh seluruh umat Islam bahwa al-Qur’an menjadi pedoman hidup baik tentang syariah maupun dalam keh...