Mari Berjuang di Jalan Allah
Disampaikan pada
Khutbah Jumat
Di Masjid Kampus
Unimus “11-11-2016” oleh Akhmad Fathurohman
Disarikan dai
berbagai sumber.
"Sesungguhnya orang-orang yang beriman hanyalah orang-orang yang beriman kepada Allah dan Rasul-Nya kemudian mereka tidak ragu-ragu dan mereka berjihad dengan hrta dan jiwa mereka pada jalan Allah, mereka itulah orang-orang yang benar." (QS: Al-Hujurat 49:15)
Sidang Jum'at yang dirahmati Allah
Salah satu tugas manusia adalah berjuang di jalan Allha SWT baik dengan harta
maupun dengan jiwa dan raga. Dalam arti bahwa sebagai umat Nabi Muhammad SAW
hendaknya selalu meningkatkan perjuangan di jalan Allah "Jihad fi
Sabilillah".
"Jihad fi Sabilillah" ini jangan diartikan sebagai bom bunuh
diri karena bom bunuh diri itu sudah keluar dari kriteria yang diamanatkan oleh
NAbi Muhammad SAW dan firman Allah SWT.
Jihad dalam arti yang luas bukan seperti yang digembor-gemborkan oleh para
teroris, sebab di dalam Al-Qur'an dinyatakan bahwa kita dilarang mencampakkan
dengan tangan, kewenangan, dan kekuasaan kita kepada kerusakan, sebagaimana
firman Allah SWT:
" Dan belanjakanlah (harta bendamu) di jalan Allah, dan janganlah kamu menjatuhkan dirimu sendiri ke dalam kebinasaan, dan berbuat baiklah, karena sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang berbuat baik." (Al-Baqarah 2: 195).
Sebagai umat Nabi Muhammad SAW dengan dalih dan sebab apapun kita dilarang
untuk mencampakkan orang lain. Ini merupakan hal yang fundamental dalam Islam,
karena agama Islam itu diturunkan untuk membawa rahmat dan kasih sayang bagi
seluruh alam ini "Rahmatan lil 'alamin", baik untuk manusia
maupun untuk lingkungan sekitarnya.
Ma’asyirol Muslimin Rahimakumullah
1. Jihad dengan Harta
Orang-orang yang berjuang di jalan Allah "Jihad fi Sabiillah" itu yang pertama adalah dengan hartanya "Biamwalihim". Mungkin diri kita sibuk dan berhalangan untuk melakukan jihad fi sabilillah maka kita keluarkan harta-harta kita untuk meningkatkan jihad fi sabilillah.
Perumpamaan (nafkah
yang dikeluarkan oleh) orang-orang yang menafkahkan hartanya di jalan Allah
adalah serupa dengan sebutir benih yang menumbuhkan tujuh bulir, pada tiap-tiap
bulir seratus biji. Allah melipat gandakan (ganjaran) bagi siapa yang Dia
kehendaki. Dan Allah Maha Luas (karunia-Nya) lagi Maha Mengetahui. (Al Baqarah:
261)
2. Dakwah Syiar Agama / Amar Ma’ruf Nahyil Munkar
Dalam segala segi kehidupan (sosial, politik ekonomi)
Pengertian
jihad fi sabilillah itu luas sekali, diantaranya yang berhubungan dengan
syiar agama, yang berhubungan dengan kemaslahatan dan kesejahteraan umat adalah
termasuk dalam sabilillah, dan jangan hanya diartikan dengan berperang saja.
“Siapakah yang lebih baik perkataannya daripada orang yang menyeru menuju Allah, mengerjakan amal yang shalih dan berkata: “Sesungguhnya aku termasuk orang-orang yang berserah diri”. [QS: Fushshilat:33].
Dan hendaklah ada di antara kamu segolongan umat yang menyeru kepada kebajikan, menyuruh kepada yang ma'ruf dan mencegah dari yang munkar; merekalah orang-orang yang beruntung (QS: Ali Imraan : 104).
3. Jihad dalam arti Perang (dijelaskan Oleh Majelis tarjih Muhammadiyah pada
lampiran)
Al-Qur'an memberikan
kriteria tentang jihad dalam arti perang, yaitu firman Allah dalam surat
Al-Hajj (22) ayat 39:
"Telah diizinkan (berperang) bagi orang-orang yang diperangi, karena sesungguhnya mereka telah dianiaya. Dan sesunggunya Allah benar-benar Maha Kuasa menolong mereka itu".
Jihad, di dalam arti perang itu memiliki kriteria, diantaranya adalah ada musuhnya yang jelas dan ada orang-orang yang teraniaya (jika umat Islam teraniyaya), yaitu pertama orang-orang yang dibunuh tanpa alasan yang hak dan kedua orang-orang yang diusir dari tempat tinggalnya. Dan dalam perangpun terdapat kriterianya yaitu dilarang melakukan kerusakan.
Dan carilah pada apa yang telah dianugerahkan Allah kepadamu (kebahagiaan) negeri akhirat, dan janganlah kamu melupakan bahagianmu dari (kenikmatan) duniawi dan berbuat baiklah (kepada orang lain) sebagaimana Allah telah berbuat baik, kepadamu, dan janganlah kamu berbuat kerusakan di (muka) bumi. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang berbuat kerusakan. Surat Al-Qashash (28) ayat 77
Dalam penjelasan
lain pada Surat Al-Qashash (28) ayat 77 memberikan isyarat agar kita mencari
bekal untuk negeri akhirat, meskipun demikian jangan lupa nasib kita di dunia
ini, jangan sampai melarat, susah dan tidak bisa beribadah.
Ma’asyirol Muslimin Rahimakumullah
Allah SWT juga memerintahkan agar kita memelihara dan memperindah apa yang
telah dianugerahkan Allah kepada kita, diantaranya tanah air yang luas, banyak
hasil tambang yang menjadi kewajiban kita untuk memperbagus dan menyuburkan
tanah air ini, misalnya dengan hutan yang ada kita suburkan dan bukan
digunduli.
Allah SWT memberikan negeri ini subur dan makmur, maka kewajiban kita untuk
memelihara dan meningkatkan kesuburan anugerah Allah itu. Allah juga melarang
kita untuk berbuat kerusakan di muka bumi ini, sebagai penguasa maupun
pengusaha dan sebagai apapun kita dilarang untuk mencari-cari kerusakan di
negeri ini.
Allah SWT tidak menyukai orang-orang yang berbuat kerusakan, misalnya para
teroris yang membunuh orang yang tidak berdosa, menghancurkan gedung-gedung
yang indah itu adalah termasuk berbuat kerusakan yang dilarang oleh Allah SWT.
4. Menuntut Ilmu / majelis Ilmu
Syaikh Muhammad bin Sholih Al
‘Utsaimin rahimahullah berkata,
“Menuntut ilmu adalah bagian dari
jihad di jalan Allah karena agama ini bisa terjaga dengan dua hal yaitu dengan
ilmu dan berperang (berjihad) dengan senjata.
Sampai-sampai sebagian ulama
berkata, “Sesungguhnya menuntut ilmu lebih utama daripada jihad di jalan Allah
dengan pedang.”
Karena menjaga syari’at adalah
dengan ilmu. Jihad dengan senjata pun harus berbekal ilmu. Tidaklah bisa
seseorang berjihad, mengangkat senjata, mengatur strategi, membagi ghonimah
(harta rampasan perang), menawan tahanan melainkan harus dengan ilmu. Ilmu
itulah dasar segalanya”. (Syarh Riyadhus Sholihin, 1: 108)
Di halaman yang sama, Syaikh Ibnu
‘Utsaimin berkata bahwa ilmu yang dipuji di sini adalah ilmu agama yang
mempelajari Al Qur’an dan As Sunnah.
Syaikh ‘Abdul ‘Aziz bin ‘Abdillah
bin Baz pernah ditanya, “Apakah afdhol saat ini untuk berjihad di jalan
Allah ataukah menuntut ilmu (agama) sehingga dapat bermanfaat pada orang banyak
dan dapat menghilangkan kebodohan mereka? Apa hukum jihad bagi orang yang tidak
diizinkan oleh kedua orang tuanya, namun ia masih tetap pergi berjihad?”
Jawab beliau, “Perlu diketahui bahwa
menunut ilmu adalah bagian dari jihad. Menuntut ilmu dan mempelajari Islam
dihukumi wajib. Jika ada perintah untuk berjihad di jalan Allah dan jihad
tersebut merupakan semulia-mulianya amalan, namun tetap menuntut ilmu harus
ada. Bahkan menuntut ilmu lebih didahulukan daripada jihad. Karena menuntut
ilmu itu wajib. Sedangkan jihad bisa jadi dianjurkan, bisa pula fardhu kifayah.
Artinya jika sebagian sudah melaksanakannya, maka yang lain gugur kewajibannya.
Akan tetapi menuntut ilmu adalah suatu keharusan. Jika Allah mudahkan bagi dia
untuk berjihad, maka tidaklah masalah. Boleh ia ikut serta asal dengan izin
kedua orang tuanya. Adapun jihad yang wajib saat kaum muslimin diserang oleh
musuh, maka wajib setiap muslim di negeri tersebut untuk berjihad. Mereka
hendaknya menghalangi serangan musuh tersebut. Termasuk pula kaum wanita
hendaklah menghalanginya sesuai kemampuan mereka. Adapun jihad untuk menyerang
musuh di negeri mereka, jihad seperti ini dihukumi fardhu kifayah bagi setiap
pria.” (Majmu’
Fatawa Ibnu Baz, 24: 74)
Sumber:
https://almanhaj.or.id/2713-tugas-dakwah.html
Ma’asyirol Muslimin Rahimakumullah
Orang-orang yang
berjuang di dalan Allah dengan harta dan dirinya maka disebut oleh Al-Qur'an
sebagai Shadiqin, yaitu orang-orang yang membela kebenaran dan orang-orang yang
jujur. Al-Qur'an juga memberikan predikat lain bagi orang-orang yang berjuang
di jalan Allah dengan harta dan dirinya adalah diangkat derajatnya oleh Allah
SWT melebihi orang lain yang tidak berjuang, dan orang yang berjuang di jalan
Allah itu termasuk orang-orang yang mendapat kemenangan "Faizin".
Selain jihad jiwa dan harta, Nabi Muhammad SAW juga mengisyaratkan untuk jidah
melawan hawa nafsu. memang berat mengendalikan hawa nafsu, sebab Allah
memberikan keleluasaan secara demokratis di dalam diri manusia, kejahan "Faalhamaha
Fujuroha" dan ketakwaan "Wa taqwaha". Rasulullah
menyatakan bahwa manusia yang kuat adalah seorang yang mampu berjihad melawan
hawa nafsunya.
BACA ARTIKEL LAINNYA YANG BERKAITAN;
- MATERI KHUTBAH JUM'AT TENTANG DENGAN TAQWA KITA GAPAI MASADEPAN YANG GEMILANG SERTA KEHIDUPAN YANG HAKIKI
- MATERI KHUTBAH JUM'AT TENTANG MEMBUKA PINTU RIZQI YANG BARAKAH
- MATERI KHUTBAH JUM'AT TENTANG HUBUNGAN ANTARA DOSA DAN BENCANA
- MATERI KHUTBAH JUM'AT TENTANG AYAT YANG PALING DITAKUTI OLEH ULAMA
- MATERI KHUTBAH JUMAT TENTANG MENSYUKURI NIKMAT ALLAH SWT
- TEKS KHUTBAH JUM'AT TENTANG MARI BERJUANG DI JALAN ALLAH
- MATERI KHUTBAH JUM'AT HIKMAH MORALITAS DAN MAULID NABI
- MATERI KHUTBAH IDUL FITRI TENTANG MENGEMBALIKAN NURANI YANG HILANG
- MATERI KHUTBAH JUM'AT TENTANG PEMUDA-PEMUDA PILIHAN
- MATERI KHUTBAH JUM'AT TENTANG DENGAN TAQWA KITA GAPAI MASADEPAN YANG GEMILANG SERTA KEHIDUPAN YANG HAKIKI
Lampiran:
Penjelasan Jihad Perang Menurut Majelis Tarjih Muhammadiyah
Perlu diketahui bahwa ayat tersebut tidaklah berdiri
sendiri, melainkan masih erat hubungannya dengan ayat lainnya, terutama ayat
tentang perang. Maka untuk memahaminya perlu dikutipkan ayat-ayat lain yang
mempunyai tema yang sama, yaitu qital (peperangan), sekalipun
tidak semuanya. Baiklah kami kutipkan ayat-ayat dimaksud:
Artinya: “Diwajibkan atas kamu berperang, padahal berperang itu adalah suatu yang kamu benci. Boleh jadi kamu membenci sesuatu, padahal ia amat baik bagimu, dan boleh jadi kamu menyukai sesuatu, padahal ia amat buruk bagimu. Allah mengetahui, sedang kamu tidak mengetahui”. Al Baqarah: 216.
Artinya:
“Mereka bertanya kepadamu tentang berperang pada bulan
haram. Katakanlah: Berperang pada bulan haram itu adalah dosa besar; tetapi
(menghalangi) manusia dari jalan Allah, kafir kepada Allah, (menghalangi masuk)
masjid al haram dan mengusir penduduknya dari sekitarnya, lebih besar
dosanya di sisi Allah. Dan berbuat fitnah lebih besar dosanya daripada
membunuh. Mereka tidak henti-hentinya memerangi kamu sampai mereka dapat
mengembalikan kamu dari agamamu (kepada kekafiran), seandainya mereka sanggup.
Barang siapa yang murtad di antara kamu dari agamanya, lalu dia mati dalam
kekafiran, maka mereka itulah yang sia-sia amalannya di dunia dan di akhirat,
dan mereka itulah penghuni neraka, mereka kekal di dalamnya”. Al Baqarah:
217.
Artinya:
“Sesungguhnya orang-orang yang beriman, orang-orang yang
berhijrah dan berjihad di jalan Allah, mereka itu mengharapkan rahmat Allah,
dan Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang”. Al-Baqarah:
218.
Artinya: “Telah diizinkan berperang bagi orang-orang yang diperangi, karena sesungguhnya mereka telah dianiaya. Dan sesungguhnya Allah benar-benar Maha Kuasa menolong mereka itu”. Al Hajj: 39.
Pada ayat 216 Surat Al Baqarah, ditegaskan bahwa Allah telah
mewajibkan kaum muslimin memerangi orang-orang kafir, padahal perang adalah
pekerjaan yang sangat berat, sebab perang itu akan menghabiskan harta, dan
menghilangkan jiwa begitu banyak. Tetapi kadang-kadang sesuatu yang dibenci di
dalamnya terdapat kebaikan dan manfaat yang besar, dan sesuatu yang disenangi
di dalamnya terdapat hal-hal yang tidak baik dan tidak bermanfaat atau
membahayakan. Maka janganlah merasa tidak senang terhadap kewajiban berperang
melawan musuh., sebab di dalamnya terdapat kebaikan, cepat atau lambat. Sudah
menjadi sunnah Allah atau tabiat, bahwa solusi suatu masalah harus melalui
jalan yang berat, sebagaimana penyembuhan penyakit, harus minum obat yang
pahit.
Ayat ini adalah ayat yang pertama diturunkan mewajibkan berperang,
diturunkan pada tahun 2 H. Pada priode sebelumnya, yaitu pada priode Makkah,
Allah belum mengizinkan berperang, sebab pada priode tersebut kekuatan kaum
muslimin belum memadai. Setelah Nabi saw berhijrah, barulah diizinkan memerangi
kaum musyrikin yang memerangi Nabi saw, dengan diturunkan ayat 39 surat Al
Hajj:
Artinya: “Telah diizinkan berperang bagi orang-orang yang diperangi, karena sesungguhnya mereka telah dianiaya…”
Setelah itu barulah Allah mewajibkan berperang. (Al Maraghi,
1969, I: 132).
Telah menjadi sunnah Allah juga, bahwa hal-hal yang enak,
yang menyenangkan, di belakangnya terdapat hal-hal yang membahayakan. Misalnya
meninggalkan jihad di jalan Allah, atau berperang melawan musuh, pada
permulaannya tidak menimbulkan korban, baik jiwa maupun harta, dan tampak
sangan aman dan tentram, tetapi sebenarnya di belakang ketenangan tersebut
terdapat bahaya yang mengancam, seperti penguasaan orang-orang terhadap
negara-negara kaum muslimin dan harta mereka, seperti kita saksikan sekarang, betapa
sombong negara-negara yang dikuasai orang-orang kafir terhadap negara-negara
muslim, mereka dengan seenaknya menuduh orang-orang muslim sebagai teroris.
Hanya Allah-lah yang mengetahui hikmah segala macam
peristiwa yang terjadi, dan kita harus yakin bahwa Allah tidak memerintahkan
sesuatu, melainkan untuk kebaikan dan kemaslahatan. Kita harus meyakini bahwa
Allah akan membela kebenaran dan menghancurkan kebatilan, sekalipun jumlah
pembela kebenaran hanya sedikit, sebagaimana ditegaskan dalam firmanNya:
Artinya:
“Berapa banyak terjadi golongan yang sedikit dapat
mengalahkan golongan yang banyak dengan izin Allah. Dan Allah beserta
orang-orang yang sabar”. Al Baqarah: 249.
Tentu saja dalam masalah jihad, harus mempersiapkan segala
kemampuan, baik fisik maupun non fisik.
Setelah menjelaskan bahwa perang adalah wajib bagi kaum
muslimin apabila diserang musuh, maka pada ayat berikutnya Allah menjelaskan
pertanyaan para sahabat tentang perang pada bulan haram, yaitu Dzul Qa’dah,
Dzul Hijjah, Muharram dan Rajab.
Sebab turun (sababun nuzul) ayat ini, menurut riwayat
dari Ibn ‘Abbas, bahwa Rasulullah saw pada bulan Jumadal Akhirah, dua bulan
sebelum perang Badar, mengutus ‘Abdullah Ibn Jahsy membawa satu pasukan untuk
menghadang kafilah orang Quraisy yang terdiri dari ‘Amr Ibn ‘Abdillah dan tiga
orang lainnya. Pasukan tersebut berhasil membunuh ‘Amr dan menahan dua orang
dan menggiring kafilah tersebut beserta dagangannya. Peristiwa itu terjadi pada
awal bulan Rajab, tetapi mereka menyangka bulan Jumadal Akhirah. Maka
berkatalah orang-orang Quraisy: Muhammad telah menghalalkan bulan haram., yang
seharusnya pada bulan itu orang-orang merasa aman untuk mencari kehidupan.
Kemudian Rasulullah saw menghentikan kafilah tersebut, tetapi mereka berkata:
Kami akan berhenti hingga sampai ke tempat kembali kami. Kemudian turunlah
ayat:
Artinya: “Mereka bertanya kepadamu tentang berperang pada
bulan haram…”
Apakah dihalalkan perang berperang di bulan haram?
Rasulullah saw menjawab setelah menerima wahyu dari Allah swt: Perang itu
sendiri masalah besar, tetapi menghalang-halangi kamu dari jalan Allah, dan
dari al Masjid al Haram, dan mengingkari Allah serta mengusir kamu dari al
Makkah al Mukarramah, padahal kamu adalah penghuninya, semua itu lebih besar
kejahatan dan dosanya menurut Allah dari membunuh seorang musyrik yang selalu
memfitnah kamu sekalian. Fitnah yang dilakukan oleh kaum musyrikin adalah lebih
besar dosanya menurut Allah dari pada pembunuhan. Tidak apalah kamu menyerang
kaum musyrikin pada bulan haram, sebab mereka telah melakukan kejahatan yang
lebih keji, mereka telah memfitnah agamamu, dan fitnah adalah lebih kejam dari
pada pembunuhan.
Al maraghi dalam tafsirnya menjelaskan, dimaksudkan dengan
fitnah yang dilakukan kaum musyrikin terhadap kaum muslimin ialah memasukkan
keragu-raguan dalam kalbu kaum muslimin, atau melakukan penganiayaan,
sebagaimana mereka lakukan terhadap ‘Ammar Ibn yasir, Bilal Ibn Rabah, Khabbab
Ibn al Arats dan lain-lainnya. Mereka menganiaya ‘Ammar dengan api agar kembali
kepada kekafiran, dan menganiaya saudara dan ibunya. Ketika mereka melakukannya
dengan penganiayaan yang sangat keji itu, Rasulullah saw bersabda: Sabarlah
keluarga Yasir! Sabarlah! Tempatmu adalah surga. Yasir wafat dalam penganiayaan
tersebut, sedang ibunya wafat karena ditikam pada anggota kesuciannya. Adalah
Bilal disiksa oleh Umayyah Ibn Khalaf dengan tidak diberi makan dan minum satu
hari satu malam, kemudian punggungnya dilemparkan di atas pasir yang telah
dipanaskan, lalu ditekan dengan batu besar. Ketika itu berkatalah Umayyah Ibn
Khalaf: Kamu akan diperlakukan terus seperti ini hingga mati atau ingkar kepada
Muhammad, dan menyembah Lata dan ‘Uzza. Tetapi ia tetap tabah, tidak menyerah
dalam meyakini dan menjaga agamanya.
Kaum musyrikin tidak hanya menganiaya para sahabatnya,
melainkan juga menganiaya Rasulullah saw, dengan meletakkan isi perut unta di
atas punggungnya ketika beliau melakukan shalat, kemudian disingkirkan oleh
Fatimah, dan tidak hanya sampai di situ, sering sekali beliau diperlakukan
dengan berbagai macam penganiayaan, yang kemudian diselamatkan oleh Allah swt,
sebagaimana diungkapkan dalam firmanNya:
Artinya: “Sesungguhnya Kami memelihara kamu dari pada
kejahatan orang-orang yang memperolok-olokkan kamu”. Al Hijr: 95.
Setelah kaum muslimin berhijrah ke Madinah dan
jumlah mereka bertambah besar, barulah mereka memerangi kaum musyrikin untuk
memusnahkan fitnah dan profokasi mereka (Al Maraghi, 1969, I: 135).
Selanjutnya Allah mengungkapkan bahwa tujuan perang bagi
kaum musyrikin adalah agar Islam tidak tersebar di muka bumi ini, sebab
permusuhan mereka terhadap Islam sangat mendalam. Maka menunggu iman mereka
hanya dengan dakwah, merupakan harapan kosong belaka. Karena itulah Allah
mengizinkan perang melawan kaum musyrikin di bulan haram. Mereka memang sangat
mengharapkan agar kaum muslimin kembali kepada kekafiran, tetapi apabila iman
sudah menjadi darah daging, tidaklah mungkin dapat memurtadkan mereka.
Murtad adalah perbuatan yang sangat besar dosanya, maka
Allah mengancam siapa saja yang murtad dan mati dalam kekafiran, semua amal
kebaikannya terhapus, seakan-akan tidak pernah berbuat kebaikan, dan merugi
baik di dunia maupun di akhirat.
Kemudian pada ayat berikutnya, yaitu ayat 218, Allah
menerangkan bahwa orang-orang yang beriman, berhijrah dan berjihad di jalan
Allah itulah yang benar-benar mengharapkan rahmat Allah. Para ulama berbeda
pendapat mengenai hijrah dari negara kafir ke negara Islam pada masa sekarang.
Sebagian ulama berpendapat bahwa kewajiban berhijrah itu tergantung kepada ‘illat
(alasannya), apabila benar-benar tidak dapat melaksanakan kewajiban agama,
karena terancam jiwanya, maka berhijrah adalah wajib. (Rasyid Ridha, tt, II:
320).
Dimaksudkan dengan jihad pada ayat tersebut, ialah
mencurahkan segala kemampuannya untuk membela agama Allah, dan jihad tidak
selalu berarti perang. Sebab perang baru diizinkan apabila telah didhalimi dan
difinah., sebagaimana telah ditegaskan dalam surat al Hajj : 39.
Al Quran telah menggariskan beberapa peraturan dan etika
perang; kapan dan di mana perang itu dibolehkan, apa yang harus dilakukan
terhadap tahanan, bagaimana pemanfaatan harta rampasan, dan kapan perang itu
harus diakhiri, serta kapan harus diadakan perdamaian.
Pertama, perang diizinkan untuk mempertahankan diri dari serangan
musuh, seperti ditegaskan dalam surat al Baqarah : 90. Kedua, untuk
membalas karena telah didhalimi, seperti ditegaskan dalam surat al Hajj : 39. Ketiga,
untuk menegakkan kebenaran, seperti disebutkan dalam surat al Bara’ah : 12. Keempat,
untuk menghilangkan penganiayaan, seperti disebutkan dalam surat al Baqarah :
193. Kelima, untuk mempertahankan ketenangan agama, sebagaimana
disebutkan dalam surat al Baqarah : 191.
Dari penjelasan tersebut, dapat ditarik kesimpulan bahwa
perang dalam Islam prinsipnya adalah untuk pembelaan diri (defensive).
Islam melarang umatnya menyerang musuh lebih dahulu, tetapi apabila diserang
musuh, Islam dilarang mundur setapakpun, sebagaimana ditegaskan dalam surat al
Anfal: 15-16. Pada ayat tersebut Allah menegaskan, barang siapa mundur dalam
peperangan, maka ia akan membawa kemurkaan Allah swt. Jika kaum muslimin diberi
kemenangan pun tidak boleh berbuat sewenang-wenang terhadap musuh yang kalah,
sebagaimana diatur dalam surat al Mumtahanah : 7-8. Terhadap tawanan perang
Islam memberikan dua alternatif; membebaskan tanpa tebusan, dan membebaskan
dengan tebusan, sebagaimana diatur dalam surat Muhammad : 4.
Perang dalam arti saling membunuh antara manusia memang
telah terjadi sejak permulaan sejarah kehidupan manusia, sebelum diturunkan
kitab Taurat, Zabur, Injil dan al Quran. Karena pada waktu itu jumlah manusia
belum begitu banyak.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar