|
PENDAHULUAN
A. Latar
Belakang Masalah
Persis
sebagai organisasi masyarakat Islam, keberadaannya cukup diperhitungkan seperti
halnya ormas NU dan Muhammadiyah. Persis terbentuk di Bandung dan mengusung
purifikasi agama dari segala macam adat istiadat yang mengandung bid’ah dan
khurafat, terlebih takhayul dan hal-hal mistik lainnya. Sebagai ormas Islam
tentunya ia memiliki kaidah-kaidah dan landasan-landasan sendiri dalam memahami
Islam. Antara lain, berpegang kembali kepada al-Quran dan sunah dalam mengambil
fatwa.
Paham ini diprakarsai oleh tokoh-tokoh Persis yang
sangat berpengaruh, A. Hassan diantaranya. A. Hassan disebut sebut sebagai
pembaharu Islam di Indonesia dari kalangan Persis. Ia merupakan salah satu
ulama panutan Persis khususnya di bidang hadis. Bahkan ada yang mengatakannya
sebagai rujukan kaum Persis. A. Hassan menyeru umat Islam Indonesia untuk
mempertanyakan kembali semua aktivitas, ritual adat dan amalan-amalan umat
sehari-hari, adakah dalil dalam otoritas hukum Islam, al-Quran dan hadis yang
mengabsahkannya aktivitasnya.
Sebagai contoh, A. Hassan tidak sepakat dengan
adanya acara makan-makan di rumah keluarga mayit, tentunya dzikir di dalamnya
pun menjadi tidak absah juga. Ia juga menolak ucapan “sayyidina” ketika
melafalkan shalawat dalam bacaan tasyahud.
Maka, dalam makalah sederhana ini penulis akan mencoba mengkaji pemikiran-pemikiran A. Hassan, terlebih dalam bidang disiplin ilmu hadis. Diawali dengan riwayat hidupnya serta sekelumit wawasan tentang Persis. Berikutnya masuk kepada pembahasan pemikirannya beserta implikasinya terhadap Persis, umat Islam Indonesia dan ilmu hadis.
B. Rumusan
Masalah
1. Siapakah A.
Hassan itu?
2. Apa Persis
itu ?
3. Seperti apa
pemikiran-pemikiran A.Hassan?
4. Apa sajakah
dampak dan bentuk kontribusi dari pemikiran A. Hassan?
C. Tujuan
Penelitian
1. Mengetahui biografi
seorang A. Hassan
2. Mengerti
apa itu Persis
3. Mengetahui
pemikiran A. Hassan, khususnya dalam bidang hadis
4. Memahami
dampak dan kontribusi pemikiran A. Hassan
BAB II
PEMBAHASAN
A. Biografi
A. Hassan
Bernama lengkap Hassan bin Ahmad, namun lebih
populer dengan nama Hassan Bandung ketika tinggal di Bandung. Ia juga kerap
disebut Ahmad Hassan Bangil ketika pindah ke daerah Bangil Pasuruan. Sementara
dalam buku-bukunya, seringkali tertulis dengan nama A. Hassan. Ia lahir di
Singapura pada tahun 1887. Ayahnya Ahmad berasal dari India dan bergelar Pandit,
ia merupakan penulis dan wartawan beserta pemimpin majalah Nurul-Islam di
Singapura. Berangkat dari latar belakang profesinya, tak heran bila ayahnya
bercita-cita, menginginkan sang buah hati mengikuti jejaknya menjadi seorang
penulis. Sedangkan ibunya, Maznah berasal dari Madras, India. Namun, ibunya ini
masih memiliki nasab dari Mesir. Kedua orang tua Hassan menikah di Surabaya
lalu merantau ke Singapura. Disinilah Hassan lahir dan tumbuh besar.[1]
Usia 7 tahun, Hassan mulai mempelajari al-Quran dan
pengetahuan dasar agama Islam dan mampu ia selesaikan dalam 2 tahun saja. Lalu
ia masuk ke sekolah Melayu selama 4 tahun, dilanjutkan dengan mempelajari
berbagai bahasa seperti Arab, Melayu, Tamil dan Inggris selama 4 tahun juga.
Setelah itu proses pembelajarannya ia jalani dengan mendatangi para ulama.
Seperti, Haji Ahmad Kampung Tiung untuk mendalami fikih, Haji Muhammad Taib
Kampung Rokoh dalam bidang nahwu dan sharaf, Said Abdullah al-Munawi al-Mausili
dalam bidang bahasa Arab, Abdul Latif, Haji Hasan dan Syekh Ibrahim India.[2]
Disamping belajar, ia juga gemar bekerja dan
berbisnis. Pada umur 12 tahun ia bekerja di toko iparnya, Sulaiman. Tercatat
dalam berbagai referensi seorang Hassan pernah mengasah keterampilannya dalam
bertenun dan bertukang. Ia juga pernah membantu ayahnya di usaha percetakan.
Menginjak usia remaja, kiranya cita-cita ayahnya terkabul. Tulisan Hassan mulai
terpublikasikan. Ia menjadi pembantu surat kabar Utusan Melayu,
Singapura pada tahun 1909. Tulisan Hassan sebagaimana yang dipaparkan Yunasril
Ali seringkali mengandung kritik konstruktif untuk kemajuan Islam.[3]
Ditengah kesibukannya menulis, ia juga mengajar.
Hassan menjadi guru di madrasah untuk orang India di beberapa Singapura. Selain
itu, ia juga masih mencari penghasilan tambahan. Berbagai pekerjaan ia jalani.
Seperti pedagang batu permata, agen es, makelar pakaian, penambal ban mobil.
Selama setahun ia pernah menjadi kerani kepala di Pilgrim Office (kantor urusan
haji yang didirikan oleh Mansfield dan Assegaf) yang mengurus perjalanan haji
di Jeddah.[4]
Pada tahun 1921 ia merantau ke Surabaya guna
mengelola toko guru sekaligus pamannya, Haji Abdul Latif. Di Surabaya ia
menemukan adanya perseteruan yang tengah memanas antara Kaum Tua dan Kaum Muda.
Dimana Kaum Muda menginginkan purifikasi, yakni menghapus semua hal yang tidak
mempunyai landasan dari al-Quran dan Sunah. Sementara Kaum Tua teguh
mempertahankan tradisi keagamaan yang telah mapan dan berkembang di masyarakat.[5]
Awalnya, Hassan cenderung dengan apa yang digagas
Kaum Tua. Terlebih ketika ia telah bertemu KH. Wahab Hasbullah (tokoh NU dan
wakil Kaum Tua) keduanya menjadi teman yang cukup dekat. Namun dalam membahas
berbagai masalah yang tengah muncul, nampaknya Hassan belum merasa puas dengan
jawaban yang diberikan oleh Kaum Tua. Di waktu yang sama ia bertemu dengan
Pakih Hasyim, seorang pedagang dan ulama yang berasal dari Sumatra Barat yang
notabene banyak mendapat masukan pemikiran pembaharuan dari Kaum Muda Sumatra
Barat. Terjalinlah persahabatan di antara keduanya sebagaimana Hassan
bersahabat dengan KH. Wahab Hasbullah sebelumnya. Bahkan, ketika Pakih Hasyim
meninggal dunia menuju baka, Hassan memungut anaknya yang bernama Noer.[6]
Dalam berbisnis, nasibnya tidak begitu mujur. Toko
Haji Abdul Latif yang ia kelola tidak membuahkan hasil baik sampai akhirnya ia
serahkan kembali kepada pemiliknya. Lalu ia membuka usaha tambal ban, lagi-lagi
usaha ini tidak bertahan lama, karena ia memperoleh kepercayaan untuk mengasah
tenun lagi di Kediri. Beberapa bulan di Kediri ia merasa keterampilan yang ia
miliki belum mampu dan sanggup untuk mengelola sebuah perusahaan tenun.
Akhirnya tahun 1924 ia pergi ke Bandung untuk meneruskan belajar tenun. Di sana
ia tinggal di kediaman keluarga KH. M. Yunus, salah seorang pendiri Persis.[7]
Berangkat dari situ, ia kembali aktif dalam
aktivitas keagamaan. Apalagi, pabrik tenun yang ia kelola di Bandung sejak 1926
ini juga tidak membuahkan hasil yang sesuai harapan. Karena kesulitan fasilitas
benang dan celup di sisi lain modalnya pun terbatas. Walhasil pabrik tenun
tersebut ditutup. Setelah itu ia pun fokus menulis dan memajukan Persis. Amanat
yang ia emban ketika itu cukup banyak. Hassan harus bertabligh setiap minggu,
menjadi guru Persis, memberi kursus kepada pelajar-pelajar didikan barat,
menyusun berbagai karya tulis untuk majalah dan buku serta berdebat dimana
saja.[8]
Tulisan pertamanya yang mendapat sambutan baik dari
masyarakat ialah Tafsir al-Furqan yang dicetaknya sendiri. Mengingat
dirinya sangat teguh untuk tidak menerima sedekah atau bantuan dari orang lain
untuk hidup, ia menyusun dan mencetak serta menjual Tafsir al-Furqannya
sendiri. Dari hasil inilah ia hidup. Ia manfaatkan mesin cetak pribadinya dan
ia melakukan semuanya sendiri; dari menulis, mensetting, mencetak,
menjilid, mengoreksi lalu menjualnya. Dalam berdakwah, ia tidak hanya
menggunakan media cetak. Ia juga berdakwah melalui lisan dengan cara berdebat.
Dirinya cukup ahli dalam perdebatan. Orang-orang yang kalah berdebat dengannya
pun cukup banyak. Saking ahlinya dalam berdebat ia tidak memilih-milih lawan
debatnya, siapapun, kapanpun dan dimanapun, dirinya siap melakukannya. Bahkan,
ia bersedia untuk membiayai acara pelaksanaan debat tersebut.[9]
Pada masa inilah, di kota kembang ia bertemu dan
berkenalan dengan Soekarno. Keduanya seringkali berdiskusi. Di sana juga ia
berkenalan Mohammad Natsir hingga akhirnya Mohammad Natsir menjadi sahabat dan
muridnya. Bersama Natsir, ia menerbitkan majalah Pembela Islam (terbit
sampai 72 nomor) dan majalah al-Lisan (terbit sebanyak 58 nomor). Lewat
majalah tersebut, sosok Hassan sebagai pembela, pembaharu, pemurni Islam mulai
dikenal dan tersohor di seluruh nusantara, Malaysia dan Singapura.
Pada tahun 1941, setelah 17 tahun di Bandung dan
Persis sudah banyak dikenal, Hassan
pindah ke Bangil Pasuruan. Dakwahnya ia lanjutkan dan berkembang di Bangil.
Persis juga berkembang pesat di daerah Bangil. Selanjutnya di tahun 1956 ia
berhaji di tanah suci. Akan tetapi ia jatuh sakit di tanah suci, ia pun pulang
ke tanah air. Setelah itu, ia terkena infeksi yang menyebabkan kakinya harus
diamputasi. Dalam keadaan sakit ia meninggal dunia diusianya yang ke 71.[10] Ia
meninggal pada tanggal 10 November 1958.[11]
B. Karya
Tulis A. Hassan
Selain dirinya aktif
menulis di majalah-majalah. Hassan juga memiliki beberapa buku. Ia tergolong
penulis produktif. Syafiq Mughni merekam setidaknya ada kurang lebih 81 buku
karya A. Hassan. Sedangkan Dadan Wildan mencatat ada 80 karya Hassan. Berikut
daftar buku karya A.Hassan yang penulis kutip dan olah dari kedua referensi
tersebut:[12]
No |
Judul Buku |
Tahun |
Isi |
Terbit/ Eksemplar |
1 |
Pengajaran Shalat |
1930 |
Shalat |
45,000 |
2 |
Dosa-dosa Yesus |
1930 |
Kristen |
|
3 |
Debat Riba |
1931 |
Riba |
2,000 |
4 |
Al-Mukhtar |
1931 |
Tarikh |
8,000 |
5 |
Risalah Jum'ah |
1931 |
Shalat Jum'at |
4,000 |
6 |
Soal Jawab |
1931 |
Fikih |
7,000 |
7 |
Talqin |
1931 |
Talqin |
5,000 |
8 |
Al-Burhan |
1931 |
Fikih |
2,000 |
9 |
Al-Furqan |
1931 |
Tafsir |
2,000 |
10 |
Benarkah Muhammad itu
Rasul |
1931 |
Tauhid |
|
11 |
Risalah Ahmadiyah |
1932 |
Ahmadiyah |
3,000 |
12 |
Kitab Riba |
1932 |
Riba |
2,000 |
13 |
Debat Talqin |
1932 |
Talqin |
7,000 |
14 |
Pepatah |
1934 |
Pepatah |
2,000 |
15 |
Debat Luar Biasa |
1934 |
Debat |
3,000 |
16 |
Debat Taqlid |
1935 |
Taqlid |
6,000 |
17 |
Debat Taqlid |
1936 |
Taqlid |
10,000 |
18 |
Surat-Surat Islam dari
Endeh |
1937 |
Umum |
10,000 |
19 |
Al Hidayah |
1937 |
Tafsir |
2,000 |
20 |
Ketuhanan Yesus
Menurut Bibel |
1939 |
Kristen |
4,000 |
21 |
Bacaan Sembahyang |
1939 |
Shalat |
15,000 |
22 |
Kesopanan Tinggi |
1939 |
Akhlak |
15,000 |
23 |
Kesopanan Islam |
1939 |
Akhlak |
2,000 |
24 |
Hafalan |
1940 |
Hadis |
5,000 |
25 |
Qaidah Ibtidaiyah |
1940 |
Pelajaran Juz 'Amma |
8,000 |
26 |
Hai Cucuku |
1941 |
Akhlak |
4,000 |
27 |
Risalah Kerudung |
1941 |
Fikih |
7,000 |
28 |
Islam dan Kebangsaan |
1941 |
Paham Kebangsaan |
6,000 |
29 |
An-Nubuwah |
1941 |
Tauhid |
8,000 |
30 |
Perempuan Islam |
1941 |
|
7,000 |
31 |
Debat Kebangsaan |
1941 |
Paham Kebangsaan |
3,000 |
32 |
Tertawa |
1947 |
Kritik |
3,000 |
33 |
Pemerintahan Cara
Islam |
1947 |
Politik |
5,000 |
34 |
Kamus Rampaian |
1947 |
Kamus |
4,000 |
35 |
A.B.C. Politik |
1947 |
Politik |
6,000 |
36 |
Merebut Kekuasaan |
1947 |
Politik |
4,000 |
37 |
Al-Manasik |
1948 |
Haji |
2,000 |
38 |
Kamus Persamaan |
1948 |
Kamus |
4,000 |
39 |
Al-Hikam |
1948 |
Kata Hikam |
4,000 |
40 |
First Step Before
Learning English |
1948 |
Bahasa |
2,000 |
41 |
Al-Faraidh |
1949 |
Harta Waris |
10,000 |
42 |
Belajar Membaca Huruf
Arab |
1949 |
Pelajaran |
3,000 |
43 |
Special Edition/
Dictionary |
1949 |
Kamus |
2,000 |
44 |
Al-Hidayah |
1949 |
Tafsir |
6,000 |
45 |
Sejarah Isra Mi'raj |
1949 |
Isra Mi'raj |
6,000 |
46 |
Al-Jawahir |
1950 |
Ayat-Hadis |
5,000 |
47 |
Matan Ajrumiyah |
1950 |
Nahwu |
2,000 |
48 |
Kitab Tajwid |
1950 |
Tajwid |
8,000 |
49 |
Surat Yasin |
1951 |
Tafsir |
2,000 |
50 |
Is Muhammad a Prophet |
1951 |
Tauhid |
5,000 |
51 |
Muhammad Rasul ? |
1951 |
Tauhid |
5,000 |
52 |
Apa Dia Islam? |
1951 |
Agama Islam |
5,000 |
53 |
What is Islam? |
1951 |
Agama Islam |
3,000 |
54 |
Tashauf |
1951 |
|
30,000 |
55 |
Al-Fatihah |
1951 |
Bacaan al-Fatihah |
5,000 |
56 |
At-Tahajji |
1951 |
Pelajaran |
5,000 |
57 |
Pedoman Tahajji |
1951 |
Pelajaran |
5,000 |
58 |
Syair |
1953 |
Nasehat |
2,000 |
59 |
Risalah Hajji |
1954 |
Haji |
2,000 |
60 |
Wajibkah Zakat? |
1955 |
Zakat |
3,000 |
61 |
Wajibkah Perempuan
Berjum'at ? |
1955 |
Fikih |
4,000 |
62 |
Topeng Dajjal |
1955 |
Ahmadiyah |
3,000 |
63 |
Halalkah Bermadzhab |
1956 |
Madzhab |
7,000 |
64 |
Al-Madzhab |
1956 |
Madzhab |
7,000 |
65 |
Al-Furqan |
1956 |
Tafsir |
85,000 |
66 |
Bybel-Bybel |
1958 |
Kristen |
5,000 |
67 |
Isa Disalib |
1958 |
Kristen |
5,000 |
68 |
Isa dan Agamanya |
1958 |
Kristen |
5,000 |
69 |
Bulughul Maram |
1959 |
Fikih |
20,000 |
70 |
At-Tauhid |
1959 |
Tauhid |
15,000 |
71 |
Adakah Tuhan? |
1962 |
Tauhid |
12,000 |
72 |
Pengajaran Shalat |
1966 |
Shalat |
3,000 |
73 |
Dosa-dosa Yesus |
1966 |
Kristen |
3,000 |
74 |
Bulughul Maram II |
|
Fikih |
|
75 |
Hai Puteriku |
|
Akhlak |
|
76 |
Nahwu |
|
Nahwu |
|
77 |
Al-Iman |
|
Tauhid |
|
78 |
Aqaid |
|
Tauhid |
|
79 |
Hai Puteriku II |
|
Akhlak |
|
80 |
Ringkasan Islam |
|
Agama Islam |
|
81 |
Munazarah |
|
Debat |
|
82 |
Hai Puteraku |
|
Akhlak |
|
Diantara
karya-karyanya yang paling populer adalah Tafsir al-Furqan, Soal
Jawab Masalah Agama, Terjemah Bulughul Maram. Dari daftar bukunya
terlihat A. Hassan tidaklah terpaku pada satu bidang keilmuan saja. Tetapi
karya tulisnya sebagian besar mencakup Islam dari berbagai sisi, meliputi sisi
akidah, syariat, adab dan etika, tafsir, hadis beserta bahasa.
C. Mengenal
Persis
Persis atau
Persatuan Islam didirikan secara formal pada tanggal 11 September 1923 di
Bandung oleh sekelompok umat Islam yang tertarik pada kajian dan aktivitas
keagamaan. Sebelumnya, ide pendirian organisasi ini berasal dari pertemuan yang
sifatnya kenduri yang diadakan secara berkala di rumah salah seorang anggota
kelompok kajian. Mendirikan organisasi pada waktu itu bukanlah hal yang luar
biasa, karena sejumlah organisasi, klub dan gerakan telah banyak yang berdiri
untuk tujuan sosial, ekonomi, religious, pendidikan dan lain lain. Sebut saja
Sarikat Islam, Budi Utomo atau Muhammadiyah sebagai contoh.[13]
Pendirian Persis
merupakan usaha sejumlah umat Islam untuk memperluas diskusi-diskusi tentang
topik-topik keagamaan yang telah dilakukan pada secara informal selama beberapa
bulan. Latar belakang personil kajian ini semuanya adalah pedagang. Dua tokoh
utama dalam diskusi ini adalah Haji Zamzam dan Haji Muhammad Junus. Haji Zamzam
telah menghabiskan tiga setengah tahun untuk belajar di Dar al-Ulum di Mekkah, lalu
ia menjadi guru di Madrasah Darul Muta’allimun di Bandung sekitar 1910. Ia
kenal dengan Ahmad al-Surkati, pendiri al-Irsyad dan pendukung awal pemikiran
Islam fundamentalis di Indonesia. Sementara Muhammad Junus adalah seorang
pedagang. Ia hanya pernah memperoleh pendidikan agama secara tradisional dan
menguasai bahasa Arab, tetapi ia tida pernah mengajar. Hanya saja minatnya
untuk mempelajari agama tidak pernah hilang. Dengan kekayaannya ia mampu
membeli kitab-kitab agama untuk dirinya sendiri dan anggota Persis lainnya.[14]
Jumlah anggota
Persis pada masa awal tahun-tahun pertama kurang dari dua puluh orang. Syarat
untuk menjadi anggota Persis ketika itu adalah ketertarikan pada agama dan umat
Islam yang mewakili faksi Kaum Tua dan Kaum Muda pada mulanya dicatat di antara
anggota-anggotanya. Sebelum tahun 1926, Persis tidak mendukung prinsip-prinsip
modernis sebagai suatu organisasi, tetapi sejalan dengan keanggotaan campur
meningkatkan studi Islam secara umum. Namun, tampaknya sudah ada kecenderungan
di pihak Haji Zamzam untuk mempromosikan ide-ide fundamentalis, sehingga
membuat jengkel pihak anggota yang cenderung mendukung pandangan tradisionalis.[15]
Terlebih ketika
Ahmad Hassan bergabung dengan gerakan ini pada tahun 1942, perspektif dan
pemikirannya telah memberikan format dan individualitas nyata kepada Persis dan
terang-terangan menempatkannya ke dalam barisan muslim modernis. Sistem
keagamaan Ahmad Hassan menekankan bahwa hubungan manusia dengan Tuhan sangat
bergantung pada interpretasi dan implementasi yang benar terhadap hukum agama.
Keyakinan Hassan bahwa ulama-ulama terkenal dan Imam –Imam besar Islam hanya
dianggap sebagai “guru” yang pendapat-pendapatnya tidak boleh diterima secara
buta. Maka dari itu, Hassan tidak mengikuti salah satu dari empat mazhab besar
yang ada. Tetapi pendapat empat mazhab tidaklah salah asalkan tidak
bertentangan dengan sumber-sumber hukum Islam yaitu al-Quran dan sunah.[16]
Pemikiran Ahmad
Hassan secara umum mulai diterima oleh sebagian besar anggota Persis, tetapi
juga berakibat pada penyingkiran anggota-anggota lain yang menganggap
mazhab-mazhab sebagai pembimbing utama bagi kehidupan religious. Menjelang
tahun 1926, terjadilah perpecahan antar anggota yang berbeda paham. Anggota
yang tradisionalis memisahkan diri dari Persis dan mendirikan organisasi
tandingan yang bernama Permoefakatan Islam. Sedang kelompok sisanya tetap
mempertahankan nama Persatuan Islam, dan mengikrarkan diri bahwa mereka adalah
gerakan Islam modernis.[17]
Memang perhatian
Persis yang utama ialah bagaimana menyebarkan cita-cita dan pemikirannya.
Berbagai aktivitas mereka gelar demi terwujudnya cita-cita ini. Hal ini
dilakukan dengan mengadakan pertemuan umum, tabligh, khutbah-khutbah,
kelompok-kelompok studi, mendirikan sekolah-sekolah dan menyebarkan atau
menerbitkan pamflet-pamflet, majalah-majalah dan kitab-kitab. Penerbitan inilah
yang menyebabkan luasnya daerah penyebaran pemikirannya dan pesatnya
perkembangan paham dan organisasinya.[18]
D. Pemikiran
A. Hassan secara Umum
Formulasi doktrin
dan keyakinan keagamaan Ahmad Hassan tidak tertulis dalam satu buku tertentu.
Melainkan tersebar di beberapa buku penting yang masing-masing ia tulis untuk
tujuan tertentu. Pertama, ada buku at-Tauhied yang menjelaskan keyakinan
Hassan tentang hubungan manusia dengan Tuhannya, disamping untuk membantah
konsep trinitas Kristen, pemujaan terhadap para wali dan praktik-praktik
animisme yang masih dominan dan kental di Jawa. Kedua, kitab an-Nubuwah
menggambarkan pikirannya tentang Nabi untuk membuktikan kepada kaum nasionalis,
sekuler dan Kristiani, bahwa Muhammad adalah progresif dan sejalan dengan
pemikiran saintifik. Kemudian, Islam dan Kebangsaan menjelaskan pandangannya
tentang kewajiban manusia kepada Tuhan dan sesama umat manusia, disamping untuk
menunjukkan kepada umat Islam, peran Islam yang sebenarnya dalam kehidupan
publik.[19]
Dalam akidah dan pemahaman
agama, Ahmad Hassan adalah seorang muslim Sunni. Pemahaman agamanya sangatlah
sejalan dengan keyakinan-keyakinan dasar Muhammad Abduh dan Rashid Rida.[20]
Selain itu, Hassan
juga mempunyai empat prinsip dasar yang menjadi pokok pandangan-pandangannya.
Yaitu, pertama sumber hukum Islam. Kedua, ijtihad, ittiba’ dan taklid. Ketiga,
bid’ah. Keempat, faham kebangsaan.[21]
Sumber hukum menurutnya
hanya ada dua. Yaitu al-Quran dan hadis. sedangkan ijma’ dan qiyas tidaklah
berdiri sendiri tetapi harus merujuk kepada kedua sumber di atas. Islam telah
sempurna dengan kedua sumber hukum tersebut. Ia hanya mengakui ijma’ yang
dilakukan sahabat. Sebab, ia percaya bahwa mereka tidak akan menentukan suatu
hukum bila tidak ada landasan dari Nabi. Ia juga membenarkan qiyas dalam
masalah duniawi sebagai cara memutuskan hukum, asalkan lagi-lagi hukum itu
diambil dari al-Quran dan sunah. Namun, ia menolak qiyas apabila dalam hal
ibadah. Karena baginya qiyas dalam hal tersebut sama saja dengan menambahi hal
baru dalam ritual ibadah. Baginya, setiap ibadah selain yang telah ditentukan
Allah atau Rasulullah adalah bid’ah.[22]
Kemudian, ijtihad
dan ittiba’ serta taklid adalah tiga jalan yang biasa dipakai umat Islam dalam
memahami dan mengamalkan ajaran agamanya. Menurut Hassan, ijtihad mungkin atau
bisa terjadi di setiap waktu, sejak zaman Rasulullah, sahabat, tabiin dan
masa-masa selanjutnya. Sebab pada dasarnya agama mengharuskan setiap orang
untuk memahami dan mengamalkan agamanya melalui ijtihad. Kecuali bagi
orang-orang yang tidak mempunyai kapasitas atau memenuhi syarat, maka ia harus
mengambil alternatif kedua, ittiba’. Untuk menjadi mujtahid, menurut Hassan, seseorang
harus mengetahui bahasa Arab dan ilmunya, ilmu tafsir, ilmu usul fikih, ilmu
hadis sekedar cukup untuk memeriksa dan memahami arti dan maksud al-Quran dan
hadis.[23]
Menurutnya pula,
ulama terdahulu tidak bisa mendapatkan sunah Rasul secara lengkap dan utuh.
Berbeda dengan zaman sekarang, hadis-hadis nabi telah terhimpun secara
sistematis dan rapi, sehingga ulama terdahulu bersusah payah mengadakan
ijtihad. Mereka tidak memiliki bahan yang sama satu dengan yang lain. Apa yang
didapat seorang imam mungkin tidak diketahui imam yang lain begitupula
sebaliknya. Sementara, untuk masa kini keadaan sudah berbeda. Sunah nabi mudah
didapat oleh umat Islam, termaktub di berbagai kitab, sehingga memudahkan umat
Islam yang telah memenuhi syarat-syarat ijtihad untuk berijtihad. Adapun umat
Islam yang belum mampu untuk berijtihad maka ia wajib ittiba’ dan tidak boleh
bertaklid.[24]
Hassan menentang
taklid dan menghukuminya haram. Menurutnya, larangan taklid itu bukan saja
bersumber dari al-Quran semata. Bahkan imam mazhab pun dengan keras melarang
orang lain mengikuti mereka. Ditambah lagi dengan al-Quran surat Bani Israil
ayat 46. Ia berpendapat mengikuti pendapat imam mazhab atau bermazhab itu sama
saja dengan bertaklid.[25] Menurut
Syafiq, pikiran Hassan mengenai ijtihad, ittiba’ dan taklid menjadi salah satu
koreksi terhadap sistem umat Islam dalam memahami dan mengamalkan agama saat
itu, sekaligus merupakan tantangan bagi orang-orang yang menyeru pada doktrin
tertutupnya pintu ijtihad.[26]
Selanjutnya tentang
bid’ah. Hassan menjelaskan bahwa bagi pemeluk Islam, beribadah kepada Allah
adalah mengerjakan perintah-perintahNya dan menjauhi larangan-laranganNya.
Semua aktivitas muslim bernilai ibadah menurut pengertian luas. Namun, ada
pengertian ibadah dalam arti khas atau khusus. Ibadah yang mempunyai arti
khusus tersebut ialah masalah yang berkenaan dengan akhirat. Sedang di luar itu
adalah masalah duniawi. Ajaran yang ada dalam al-Quran dan hadis terbagi
menjadi dua macam. Pertama, keduniaan dan yang kedua adalah keakhiratan, begitu
ia menyebutnya.[27]
Keduniaan dalam
perspektifnya ialah segala masalah atau perbuatan yang biasa atau mungkin dikerjakan
oleh manusia, walaupun seandainya tidak ada agama di dunia ini. Ia menyebutnya
sebagai “Ma‘qul al-Ma‘na” maksudnya ialah sesuatu yang sebab dan
maksudnya bisa dimengerti akal pikiran. Apabila urusan dunia ini ditetapkan
oleh agama maka disebut “Urusan agama bagi keduniaan”. Dengan demikian bila
agama mewajibkan maka hukumnya wajib, jika mensunahkan berarti hukum hal
tersebut menjadi sunah. Bila agama memakruhkannya, sebaiknya ditinggalkan. Bila
sama sekali tidak ditegaskan oleh agama maka hukumnya mubah.[28]
Keakhiratan
menurutnya adalah masalah atau perbuatan yang seandainya tidak ada petunjuk
agama, manusia tidak akan mengerjakannya. Hal ini disebut dengan “Ghairu
Ma‘qul al-Ma‘na” yakni sesuatu yang sebab dan tujuannya tidak bisa dipahami
oleh akal pikiran. Dalam masalah ini hanya ada hukum wajib dan sunah. Sementara
selain kedua hal itu adalah haram dan bid’ah. Dengan demikian tiada bid’ah lain
kecuali haram. Karena ibadah yang tidak diwajibkan atau disunahkan oleh agama
merupakan bid’ah.[29]
Ghairu ma’qul
al-ma’na bisa disebut ada di dalam Islam apabila
tercantum dalam sumber hukum Islam. Atau dengan kata lain suatu perbuatan bisa
dimasukkan ke dalam kategori ghairu ma’qul al-ma’na bila ada keterangan yang
berdasarkan pada sumber hukum Islam. Bila tidak ada, maka hukum perbuatan
tersebut ialah bid’ah. Intinya, Hassan menyebut bid’ah sebagai perbuatan atau
ucapan yang bersifat keakhiratan (ibadah) yang dilakukan orang padahal tidak
ada keterangan dari agama, menurut sumbernya yakni al-Quran dan sunah.[30]
Menurutnya agama
Islam melarang keras adanya bid’ah. Sampai-sampai ia menghukumi haram bila
menghadiri acara yang di dalamnya terdapat bid’ah. Kecuali jika kedatangannya
untuk mengubah bid’ah dengan tangan atau ucapan. Dalam beribadah, seorang
muslim harus melakukannya persis seperti
yang termaktub dalam al-Quran dan sunah yang dicontohkan Nabi, tanpa tambahan
ataupun pengurangan. Oleh karena itu Hassan menolak bacaan “Usalli”
ketika memulai shalat, bacaan “Wabihamdihi” dalam tasbih ruku’ dan
sujud, bacaan “Sayyidina” dalam tashahud, doa qunut selain qunut nazilah
dan qada’ shalat. Karena masing-masing tidak berdasar pada keterangan agama,
maka dari itu hukumnya haram.[31]
Ketika menjelaskan
hadis tentang bid’ah “Setiap bid’ah adalah sesat”, Hassan mengatakan:
“Kata-kata bid’ah dalam hadis ini kalau kita pakai dengan arti bahasa, maka
memakai sepeda, sepeda motor, kereta api, radio dan lain lain itu semua sesat
karena barang-barang tersebut tidak ada pada zaman Nabi. Tetapi tak usahlah
kita begitu gila mengartikan sabda tersebut. Nabi tahu bahwa dunia ini berubah.
Nabi mengerti kebutuhan-kebutuhan manusia. Karena itu tak mungkin kata-kata itu
ditujukan kepada benda-benda tersebut. Yang pasti kata tersebut ditujukan
kepada tugas pokok yang diperintahkan Nabi menyampaikan kepada umatnya, yaitu
soal agama. Jadi bid’ah itu ialah yang berhubungan dengan perbuatan agama yang
tidak ada pada masa Nabi dan tidak pernah dibenarkan oleh Nabi serta tidak
dapat dimasukkan dalam salah satu hal atau perbuatan yang dibenarkan beliau. [32]
E.
Pemikiran A. Hassan dalam Hadis
Ahmad
Hassan tidak meninggalkan sebuah karya spesifik tentang ilmu hadis.
pemikirannya tentang hadis tersebar di beberapa buku karyanya dan majalah.
Hassan menjelaskan sunah sebagai “Sabda Nabi, tingkah laku Nabi dan tingkah
laku orang-orang lain yang diperkenankan olehnya”. Dalam masalah agama semisal
shalat, ucapan dan perbuatan Nabi telah diatur oleh wahyu dari Allah. Sedangkan
dalam masalah duniawi, Nabi tidak dibimbing oleh wahyu tetapi melakukan
ijtihad. Ia mencatat bahwa semua muslim harus menerima semua yang berasal dari
Nabi –entah berasal dari wahyu maupun ijtihad- sebagai bagian dari agama Islam.[33]
Selain
itu, menurutnya tidak semua hadis dapat diamalkan. Hadis yang bisa dipakai
sebagai pokok untuk menetapkan hukum ada lima:[34]
1. Hadis mutawatir, yaitu hadis yang diriwayatkan
dari Nabi oleh orang banyak, lalu disampaikan kepada orang banyak pula.
Demikian seterusnya sampai tercatat dalam kitab-kitab masa belakangan. Orang-orang
banyak itu secara adat, mustahil untuk melakukan kebohongan atas Nabi.
2. Hadis sahih
li dhatihi,
yaitu hadis yang sahih secara sanadnya bukan karena dibantu oleh yang lain.
3. Hadis sahih
li ghairihi,
yaitu hadis yang derajatnya dibawah sedikit dari hadis sahih, lalu ditopang
oleh hadis lain semisal.
4. Hadis hasan
li dhatihi,
yaitu hadis sah tetapi derajatnya di bawah sedikit dari hadis sahih karena di
antara rawi-rawinya ada rawi yang hafalannya sekali, dua kali terganggu.
5. Hadis hasan
li ghairihi,
yaitu hadis yang lemahnya agak ringan lalu dibantu atau dikuatkan dengan yang
semisalnya atau dengan jalan-jalan lain yang dapat diterima.
Kelima
macam hadis di atas, lanjutnya, dapat dipakai untuk menetapkan suatu hukum
kecuali hadis hasan li ghairihi yang hanya dipakai untuk hukum-hukum yang
ringan. Seperti hukum sunah, makruh atau mubah.
Dalam
pandangannya, sebuah hadis dinilai sahih dan dapat diamalkan bila memenuhi
beberapa persyaratan berikut ini: [35]
1. Setiap
perawinya tidak terkenal sebagai pendusta, tidak dituduh sebagai pendusta,
tidak banyak salahnya, tidak kurang kuat hafalannya, tidak sering menyalahi
rawi-rawi kuat, dan bukan termasuk perawi yang tidak dikenal. Menurutnya perawi
terkenal adalah seorang yang dikenal oleh dua ahli hadis di zamannya.
2. Masing-masing
perawi tersebut saling bertemu dan menerima hadis tersebut. Masing-masing
perawi dari awal sanad hingga terakhir. Perawi tersebut harus menggunakan shigat
yang menunjukkan bahwa ia menerima langsung hadis tersebut dari orang yang ada
di atasnya. Shigat tersebut antara lain; Diucapkan kepada saya oleh si Fulan;
dikabarkan kepada saya oleh si Fulan; diomongkan kepada saya oleh si Fulan;
diceritakan kepada saya oleh si Fulan. Bila seorang perawi tidak memakai lafal
“kepada saya” maka sanad tersebut tidak dapat dinilai sahih. Karena ia tidak
tegas menerangkan menerima langsung hadis tersebut dari orang yang ada di
atasnya. Sebab tidak menutup kemungkinan si Fulan tidak berkata kepadanya
tetapi kepada orang lain dan boleh jadi ia meriwayatkan dari si Fulan dengan
perantaraan orang lain.
3. Perawi
sudah baligh dan beragama Islam
4. Hadis
tersebut tidak berlawanan dengan hadis lain yang lebih kuat darinya dan tidak
bertentangan dengan al-Quran. Karena ia meyakini apa yang difirmankan Allah
tidak akan bertentangan dengan keadaan atau firman Nya atau dengan lainnya.
Maka bila dijumpai sebuah hadis yang secara lahiriah yang nampaknya
bertentangan dengan al-Quran , sesungguhnya itu bukanlah bertentangan, hanya
kita saja yang tidak mampu mendudukkannya.
5. Tidak
mengandung illat atau cacat yang tersembunyi.
Tentang hadis daif,
Hasan berpendapat bahwa hadis ini memiliki tingkatan-tingkatan. Ada yang
lemahnya sangat berat. Hadis yang jenisnya seperti ini sama sekali tidak dapat
dipakai. Ada yang lemahnya kurang sedikit dari yang di atas. Hadis ini pun
menurutnya tetap tidak bisa dipakai sebagai hujjah. Ada juga yang lemahnya
ringan karena di antara para perawinya ada yang hafalannya kurang kuat. Hadis
yang seperti menurutnya bisa ditopang oleh salah satu sanad lain yang semisal
dengannya. Karenanya ia naik menjadi hadis hasan li ghairihi. Hadis
penopang tersebut dalam ilmu hadis disebut shahid.[36]
Suatu hadis dianggap
daif apabila di antara para perawinya ada yang bersifat dituduh berbohong,
dituduh suka keliru, dituduh suka salah, pembohong, suka melanggar hukum agama,
tidak dapat dipercaya, banyak salah dalam meriwayatkan, tidak kuat hafalan,
bukan orang Islam, belum baligh saat meriwayatkan, berubah akal,dan lain-lain
yang menyebabkan perawi tercela.[37]
Tentang hadis qudsi,
ia berpendapat hadis ini sama saja dengan hadis-hadis yang lain. Dia menolak
dengan tegas anggapan yang menyatakan bahwa hadis qudsi pasti sahih. Dalam
penelitiannya ia menemukan bahwa hadis qudsi ada yang sahih, hasan maupun daif.
Jumlah hadis qudsi menurutnya tidak banyak, hanya sekitar seratus lebih.[38]
Perspektifnya yang
cukup menarik adalah tentang hadis fadail a’mal. yakni, hadis-hadis yang
menerangkan keutamaan suatu amal yang isinya mendorong dan mengancam.
Menurutnya, bila hadisnya sahih maka tidak diragukan lagi dan bisa diamalkan.
Yang menjadi masalah ialah apabila status hadis tersebut daif. Menurutnya hadis
daif tidak dapat dipakai meski berhubungan dengan fadail a’mal. sebab
bila kita mengamalkannya, berarti berpegang pada sesuatu yang belum tentu benar
atau meragukan. Sedangkan Nabi bersabda: “Tinggalkan sesuatu yang meragukan
berpindahlah kepada sesuatu yang tidak meragukan”. (HR. Ahmad dan lainnya). Di
samping itu,fadail a’mal juga termasuk sendi-sendi agama yang harus
berdasarkan pada hadis sahih. Selain itu, hadis sahih yang menunjukkan fadail
a’mal juga sudah banyak.[39]
Selanjutnya, ketika
menghadapi hadis-hadis yang menerangkan aspek ibadah murni, Hassan memahaminya
secara tekstual. Karena ibadah harus dijalankan sesuai dengan perintah agama
tanpa mengurangi atau melebihkan. Maka dari itu, ia berpendapat seorang
mukallaf yang meninggalkan shalat bukan karena tertidur atau lupa, ia tidak
wajib mengqada atau menggantinya. Sebab bila ia menggantinya maka ia telah
melakukan ibadah yang tidak diperintahkan oleh agama. Ditambah lagi,
mengerjakan ibadah yang tidak diperintahkan tidak akan diterima oleh Allah.[40]
Sedangkan terkait
dengan muamalah, Hassan terkadang tampak sangat kontekstual dalam memahami
sebuah hadis. misalnya hadis tentang memotong kumis dan memelihara jenggot.
Nabi SAW bersabda: “ Cukurlah kumis kalian dan peliharalah jenggot kalian, dan
hendaklah kalian menyalahi orang-orang Majusi” (HR. Ahmad dan Muslim) dalam
hadis lain Rasulullah SAW bersabda: “ Hendaklah kalian menyalahi orang-orang
musyrik. Peliharalah jenggot dan cukurlah kumis”. (HR. Bukhari dan Muslim).[41]
Hassan menyatakan
bahwa dalam hadis ini Rasulullah memerintahkan umat Islam agar mengambil
tindakan berbeda dari orang-orang Majusi dan musyrik dalam hal jenggot dan
kumis. Mereka tidak memelihara jenggot tetapi kumis. Hal tersebut tak lain agar
Nampak identitas tertentu yang membedakan antara kaum muslimin dan musyrikin.
Keadaan demikian, kata Hassan tak lain karena pada zaman itu kamu Majusi dan
musyrik memakai pakaian yang sama dengan muslim. ketika itu secara fisik
hampir-hampir tidak ada perbedaan antara mereka, sehingga Nabi menyuruh umat
Islam untuk memelihara jenggot supaya ada perbedaan.[42]
Maka sekarang,
lanjut Hassan, kalau kita dapat mengadakan perbedaan antara kaum muslim dan
lainnya dengan suatu cara, maka tidak ada halangan tentang mencukur jenggot.
Malahan jenggot tidak berguna kalau tidak menjadi pembeda. Hassan mencontohkan
sebagian komunitas India di mana orang-orang kafir memelihara jenggot dan
bersurban dan umat Islam pun berpenampilan serupa; orang-orang Islam di Tunis
memakai jenggot Perancis dan topi Eropa dan jenggot itu tidak menolong apa-apa.
Karena itu ia berpendapat, kita boleh mengatur rambut kepala, jenggot, kumis,
pakaian dan lain-lain sesuka kita asalkan ada satu tanda yang dengan mudah bisa
dikenal sebagai orang Islam.[43]
Ketika menjumpai
dali-dalil yang nampak bertentangan, Hassan menawarkan tiga metode
penyelesaian. Yaitu jam’u, tarjih dan tawaqquf. Dalam
menjama’ keterangan-keterangan agama hendaklah dilakukan dengan dasar-dasar
keterangan lain, tidak dengan pikiran dan perasaan semata. Hal yang pertama
dilakukan adalah jam’u. apabila jam’u tidak bisa dilakukan maka tarjih
dilaksanakan. Dan apabila masih tidak bisa disinergikan bersama, maka jalan tawaqquf
lah yang diambil. [44]
F. Pesantren
Persis Bangil; Jejak Ahmad Hassan Masa Kini
Dalam
situs resmi pesantren Persis Bangil, penulis tidak menemukan tentang sejarah
berdirinya pondok pesantren tersebut. Penulis menemukan sejarah pesantren
tersebut dari website alumni pesantren Persis yang berdomisili di Pakistan
mereka menyebutnya dengan FOSPI (Forum Silaturahmi Persatuan Islam) Pakistan. Disana
dinyatakan bahwa dalam buku Waqfiyah Yayasan
Pesantren Persis Bangil yang diterbitkan tahun 1960 tercatat Pesantren Persis
didirikan pertama kali di Bandung di Masjid Persatuan Islam pada tahun
1936 (1 Dzulhijjah 1354 H) oleh Ahmad Hassan (sebagai kepala pesantren dan
guru), M. Natsir , R. Abdul Qadir dan M. Ali Al-Hamidi (sebagai guru) dengan
jumlah siswa 40 orang dari tanah air dan mancanegara. Kemudian, di permulaan
bulan Maret tahun 1940, pesantren ini dipindah ke Bangil Pasuruan. Murid-murid
yang belum mendapat pelajaran yang cukup ketika di Bandung, dibawa pindah ke
Bangil, untuk ditamatkan beberapa pelajaran lagi. Selang setahun kemudian,
pesantren Persis untuk putri pun dibangun.[45]
Tujuan
didirikannya pesantren tersebut ialah mengeluarkan mubalighin yang sanggup
menyiarkan, mengajar, membela dan mempertahankan agama mereka, Islam, dimana
saja mereka berada. Bagi penulis, tujuan serta visi misi pesantren Persis
sangatlah erat dan kental dengan pemikiran –pemikiran Ahmad Hassan yang
seringkali menonjolkan upaya purifikasi dalam setiap dakwahnya. Selalu menyeru
pada paham dan amal perbuatan yang mengacu kembali pada sumber agama al-Quran
dan sunnah. Sebagaimana misi pesantren:[46]
1. Menyelenggarakan
pendidikan Islam berbasis pesantren melalui pendidikan yang integral
2. Menyelenggarakan
pendidikan yang menguatkan akidah, akhlak dan hukum syariah sebagai dasar
amaliyah yang sholehah
3. Mewujudkan
suasana belajar yang kreatif, kritis dan argumentatif berdasarkan pemikiran
Islam yang benar
4. Menyelenggarakan
pendidikan ketrampilan yang didukung oleh teknologi informasi
Misi
di atas menurut penulis merupakan cermin dari sosok Ahmad Hassan, dimana ia
adalah seorang ulama modernis, yang pastinya akan mudah menyambut kemajuan
teknologi ketika mendidik keterampilan murid. Terlebih, ia cukup banyak
menjalani berbagai pekerjaan yang membutuhkan ketrampilan seperti tenun dan
percetakan. Poin ketiga, suasana kelas yang kritis dan argumentatif, juga
merupakan ciri khas seorang Ahmad Hassan yang selalu kritis dalam
tulisan-tulisannya di media cetak maupun ketika debat. Terakhir, amaliyah
sholehah yang termaktub dalam misi pesantren merupakan slogan seorang Hassan,
bahwa setiap amal perbuatan yang dikerjakan manusia haruslah sholeh, dalam
artian sesuai dengan apa yang ada dalam al-Quran dan sunah.
Kini,
mudir tertinggi yang tengah memimpin pesantren Persis Bangil adalah
ustadz Luthfie Abdullah Ismail, Lc.[47] Dahulu,
anak pertama Ahmad Hassan yaitu Abdul Qodir Hassan atau Abdul Qodir bin Hassan
bin Ahmad juga pernah memimpin pesantren Persis ini pasca wafat ayahnya.[48]
Abdul Qodir Hassan merupakan ulama hadis di Indonesia pada masanya. Seperti
ayahnya, ia juga memiliki banyak karya tulis. Di antaranya buku Ilmu
Musthalah Hadis, Ushul Fiqh, Kata Berjawab (soal jawab tentang
hukum Islam) dan Qamus al-Quran merupakan karya besarnya yang cukup dikenal di
masyarakat. Ia wafat pada tanggal 25 Agustus 1984 di Bangil Pasuruan Jawa
Timur.[49]
BACA ARTIKEL LAINNYA YANG BERKAITAN:
- KARAKTERISTIK HADIS-HADIS PADA PERIODE MAKKIYAH DAN MADANIYAH
- PEMIKIRAN A. HASSAN (PERSIS)
- PEMIKIRAN MUHAMMADIYAH TENTANG HADIST
- PEMIKIRAN SYUHUDI ISMAIL DALAM KAJIAN ILMU HADIST
- PEMIKIRAN NAHDHATUL ULAMA (NU) TENTANG HADIST
- HADIS MENURUT PANDANGAN DARUL AL-HADITH (LDII)
- AL-SYAUKANI DAN PEMIKIRANNYA DALAM KAJIAN HADIS
- HERMENEUTIKA IBN ‘ARABI
- MEMAHAMI HADIS DENGAN PENDEKATAN HISTORIS, SOSIOLOGIS DAN ANTROPOLOGIS
- HADIS TENTANG ZAKAT HARTA KARUN (RIKAZ)
- KEHUJJAHAN HADIS AHAD MENURUT PENGINGKAR SUNNAH
BAB III
PENUTUP
1.
A. Hassan. Ia lahir di Singapura pada tahun 1887. Ayahnya
Ahmad berasal dari India dan bergelar Pandit, ia merupakan penulis dan wartawan
beserta pemimpin majalah Nurul-Islam di Singapura. Berangkat dari latar
belakang profesinya, tak heran bila ayahnya bercita-cita, menginginkan sang
buah hati mengikuti jejaknya menjadi seorang penulis. Sedangkan ibunya, Maznah
berasal dari Madras, India. Namun, ibunya ini masih memiliki nasab dari Mesir.
2.
Persis atau Persatuan Islam didirikan secara formal
pada tanggal 11 September 1923 di Bandung oleh sekelompok umat Islam yang
tertarik pada kajian dan aktivitas keagamaan. Sebelumnya, ide pendirian
organisasi ini berasal dari pertemuan yang sifatnya kenduri yang diadakan
secara berkala di rumah salah seorang anggota kelompok kajian. Pendirian Persis
merupakan usaha sejumlah umat Islam untuk memperluas diskusi-diskusi tentang
topik-topik keagamaan yang telah dilakukan pada secara informal selama beberapa
bulan. Latar belakang personil kajian ini semuanya adalah pedagang. Dua tokoh
utama dalam diskusi ini adalah Haji Zamzam dan Haji Muhammad Junus.
3.
Hassan juga mempunyai empat prinsip dasar yang
menjadi pokok pandangan-pandangannya. Yaitu, pertama sumber hukum Islam. Kedua,
ijtihad, ittiba’ dan taklid. Ketiga, bid’ah. Keempat, faham kebangsaan.
4.
Ahmad Hassan tidak meninggalkan sebuah karya
spesifik tentang ilmu hadis. pemikirannya tentang hadis tersebar di beberapa
buku karyanya dan majalah. Hassan menjelaskan sunah sebagai “Sabda Nabi,
tingkah laku Nabi dan tingkah laku orang-orang lain yang diperkenankan
olehnya”.
5.
Menurutnya, hadis fadail a’mal bila hadisnya sahih
maka tidak diragukan lagi dan bisa diamalkan. Yang menjadi masalah ialah
apabila status hadis tersebut daif. Menurutnya hadis daif tidak dapat dipakai
meski berhubungan dengan fadail a’mal. sebab bila kita mengamalkannya, berarti
berpegang pada sesuatu yang belum tentu benar atau meragukan.
Daftar Pustaka
Ali,
Yunasril, Hassan Ahmad, Ensiklopedi Tematis Islam, Jakarta: Ichtiar Baru
Van Hoeve, 2005.
Fatih,
M, Mengenal Pemikiran Hadis A. Hassan Persis, Mutawatir Vol I, no 1,
Januari-Juni, Surabaya: IAIN Sunan Ampel, 2011.
Federspiel,
Howard M, Persatuan Islam: Islamic Reform in Twentieth Century Indonesia,
Yudian W. Asmin dan Afandi Mochtar, Persatuan Islam Pembaharuan Islam Indonesia
Abad XX. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press, 1996.
Hassan,
Ahmad. Soal Jawab Masalah Agama, Bangil: t.p, 1996.
Mughni,
Syafiq A. Hasan Bandung, Surabaya: Bina Ilmu, 1994.
Noer,
Deliar. Gerakan Modern Islam di Indonesia 1900-1942, Jakarta: LP3ES,
1980.
Wildan,
Dadan Yang Da’i Yang Politikus, Bandung: Rosda, 1997.
http://digilib.uinsby.ac.id/7968/5/BAB%20III.pdf
https://fospi.wordpress.com/persis-bangil/
http://persisbangil.hol.es/profil.php?id=profil&kode=12&profil=Misi
http://www.arrahmah.com/news/2013/07/16/abdul-qadir-hassan-ulama-ahli-hadits-dari-bangil.html
[1] Yunasril, Hassan Ahmad, Ensiklopedi Tematis Islam, Jakarta: Ichtiar Baru Van Hoeve, 2005, 325.
[2] Ibid., 325.
[3] Ibid., 325.
[4] Ibid., 326.
[5] Ibid., 326.
[6] Ibid., 326.
[7] Ibid, 326.
[8]Dadan
Wildan, Yang Da’i Yang Politikus, Bandung: Rosda, 1997, 23.
[9] Ibid., 23.
[10] Ibid., 25.
[11] http://digilib.uinsby.ac.id/7968/5/BAB%20III.pdf diakses pada tanggal 15-04-2016.
[12] Ibid., 47-50. Lihat juga, Syafiq A. Mughni, Hasan Bandung, Surabaya: Bina Ilmu, 1994, 129-131.
[13]Deliar Noer, Gerakan Modern Islam di Indonesia 1900-1942, Jakarta: LP3ES, 1980, 45.
[14] Ibid., 46.
[15] Ibid., 47.
[16] Ibid., 47.
[17] Ibid., 48.
[18] Ibid., 48.
[19] Howard M Federspiel, Persatuan Islam: Islamic Reform in Twentieth Century Indonesia, Yudian W. Asmin dan Afandi Mochtar, Persatuan Islam Pembaharuan Islam Indonesia Abad XX. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press, 1996, 44.
[20] Ibid., 45.
[21] Ibid., 45.
[22] Syafiq , Hassan Bandung, 28.
[23] Syafiq, Hassan Bandung, 28.
[24] Syafiq, Hassan Bandung, 30.
[25] Syafiq, Hassan Bandung, 30.
[26] Syafiq, Hassan Bandung, 30.
[27] Syafiq, Hassan Bandung, 31.
[28] Syafiq, Hassan Bandung, 31.
[29] Syafiq, Hassan Bandung, 31.
[30] Syafiq, Hassan Bandung, 31.
[31] Syafiq, Hassan Bandung,31.
[32] Syafiq, 31-32. Lihat Federspiel, Persatuan Islam, 73. dan lihat juga Fatih, M, Mengenal Pemikiran Hadis A. Hassan Persis, Mutawatir Vol I, no 1, Januari-Juni, Surabaya: IAIN Sunan Ampel, 2011, 60-61. Bandingkan dengan Ahmad Hassan,Soal Jawab Masalah Agama, Bangil: t.p, 1996, 610-625.
[33] Federspiel, Persatuan Islam, 50.
[34] Fatih, Mengenal Pemikiran, 60-61. Hassan,Soal Jawab, 15-17.
[35] Ibid., 61-62.
[36] Ibid, 62.
[37] Ibid., 62.
[38] Ibid., 62.
[39] Ibid., 63. Hassan,Soal Jawab, 20.
[40] Hassan,Soal Jawab, 610-625.
[41] Ibid., 610-625.
[42] Ibid., 610-625.
[43] Ibid., 610-625.
[44] M. Fatih, 66-67.
[45] https://fospi.wordpress.com/persis-bangil/ diakses pada tanggal 17-04-2016.
[46] http://persisbangil.hol.es/profil.php?id=profil&kode=12&profil=Misi diakses pada tanggal 17-04-2016.
[47] Dari akun facebooknya, penulis menemukan ia berasal dari Singapura.
[48] Abdul Qodir Hassan lahir di Singapura tahun 1914.
[49] http://www.arrahmah.com/news/2013/07/16/abdul-qadir-hassan-ulama-ahli-hadits-dari-bangil.html diakses pada tanggal 17-04-2016.