HOME

02 Juni, 2022

PEMIKIRAN MUHAMMADIYAH TENTANG HADIST

 


BAB I

PENDAHULUAN

    A.  Latar Belakang

Perkembangan organisasi gerakan Islam di Indonesia tumbuh dan berkembang sejak dari negeri ini belum mencapai kemerdekaan secara fisik sampai pada reformasi sekarang ini. Perkembangannya bahkan kian pesat dengan dilakukannya tajdid (pembaharuan) di masing-masing gerakan Islam tersebut. Salah satu organisasi gerakan Islam itu adalah Muhammadiyah. Muhammadiyah adalah sebuah organisasi Islam yang besar di Indonesia. Di sebagian negara di dunia, Muhammadiyah memiliki kantor cabang internasional (PCIM) seperti PCIM Kairo-Mesir, PCIM Republik Islam Iran, PCIM Khartoum-Sudan, PCIM Belanda, PCIM Jerman, PCIM Inggris, PCIM Libya, PCIM Kuala Lumpur, PCIM Prancis, PCIM Amerika Serikat, dan PCIM Jepang. PCIM-PCIM tersebut didirikan berdasarkan pada SK PP Muhammadiyah. Di tanah air, Muhammadiyah tidak hanya berada di kota-kota besar, tapi telah merambah sampai ke tingkat pusat sampai ke tingkat ranting.

Nama organisasi ini di ambil dari nama nabi Muhammad SAW, yang berarti bahwa warga Muhammadiyah menjadikan segala bentuk tindakan, pemikiran dan perilakunya didasarkan pada seorang Rasulullah. Nabi dijadikan model uswah al-hasanah yang sebenarnya tidak hanya bagi warga Muhammadiyah tetapi juga seluruh umat Islam, bahkan bagi warga non Muslim  sekalipun.

Muhammadiyah sebagai gerakan Islam memiliki cita-cita ideal yang dengan sungguh-sungguh ingin diraih, yaitu mewujudkan “masyarakat Islam yang sebenar-benarnya”. Dengan cita-cita yang ingin diwujudkan itu. Organisasi Islam Muhammadiyah tumbuh makin dewasa bersama organisasi Islam besar lainnya sekelas Nahdlah al-Ulama (NU), merambah ke segala bentuk kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi dengan tetap mengedepankan kepentingan umat dari segi sosial budaya, ekonomi, kesehatan dan pendidikan. Namun demikian, Muhammadiyah tetap selalu melakukan tajdid dalam aspek ruh al-Islam (jiwa keislamannya).

Muhammadiyah yang didirikan oleh KH, Ahmad Dahlan diakui sebagai fonomena terbaru dari wajah Islam abad ke 20 yang kemudian melahirkan modernism Islam Indonesia. Berdirinya organisasi sosial keagamaan Muhammadiyah tidak terlepas dari sumbangsih empat kuartet bersaudara. Mereka amat dihormati oleh warga Muhammadiyah, dari sejak dulu hingga kini. Empat bersaudara tersebut antara lain H Muhammad Sudjak, KH Fakhruddin, Ki Bagus Hadikusuma, dan KH Zaini.

        B.     Rumusan Masalah

Adapun rumusan masalah yang melatar belakangi penyusunan makalah ini antara lain:

1.      Kelahiran Muhammadiyah

2.      Menghayati makna pembaharuan

3.      Konsep Muhammadiyah seputar hadis

4.      Diskursus hadis di Muhammadiyah

        C.           Tujuan Masalah

Adapun tujuan dari penyusunan makalah antara lain untuk mengkaji dan membahas:

1.             Kelahiran Muhammadiyah

2.             Menghayati makna pembaharuan

3.             Konsep Muhammadiyah seputar hadis

4.             Diskursus hadis di Muhammadiyah


BAB II

PEMBAHASAN

    A.  Kelahiran Muhammadiyah

Muhammadiyah merupakan sebuah perserikatan atau organisasi Islam yang lahir di Yogyakarta pada 9 Dzulhijjah 1330 H, yang bertepatan dengan tanggal 18 November 1912 Masehi. Pendiri utamanya adalah K.H. Ahmad Dahlan, seorang ulama dan ketib kraton Ngayogyakarta Hadiningrat yang tinggal di kampung Kauman, Yogyakarta. Berdirinya perserikatan Muhammadiyah tidak dapat lepas dari situasi dan kondisi yang berkembang pada zamannya. Kondisi umat Islam di Indonesia yang masih dalam belenggu penjajah, dan hidup dalam sinkretik, sehingga pengamalan Islam bercampur dengan kepercayaan lain. Keimanan umat Islam masih banyak yang dikotori oleh perbuatan syirik, bid’ah, khurafat. Umat Islam banyak yang menyembah dan meminta-minta pada kuburan, pohon-pohon yang di anggap keramat, dan sebagainya.[1]

Dalam bidang sosial kemasyarakatan umat Islam juga memprihatinkan. para anak yatim piatu, orang-orang miskin, dan orang-orang terlantar kurang mendapat perhatian umat Islam, sehingga banyak di antara mereka yang kemudian ditampung dan di urusi oleh orang-orang Kristen Belanda, selanjutnya mereka masuk agama Kristen. Dalam bidang pendidikan juga demikian. Hampir tidak ada lembaga pendidikan atau sekolah Islam yang bermutu. Selain sekolah yang dimiliki oleh kraton, semua sekolah umum dimiliki oleh Belanda, dikelola dengan cara Belanda, dan agama yang di ajarkan juga ajaran mereka. Akibatnya, banyak anak-anak orang Jawa atau pribumi yang telah mendapat pendidikan dari sekolah Belanda tersebut beralih menjadi pemeluk agama Kristen. Namun, masih lebih banyak lagi anak-anak penduduk pribumi yang tidak mengenyam pendidikan sama sekali, sehingga mereka terkungkung dalam kebodohan dan keterbatasan untuk mengembangkan potensi positif yang ada dalam pendidikan mereka. Masalah kesehatan dan kesejahteraan juga kurang diperhatikan umat Islam. Orang-orang yang menderita sakit dibawa kedukun dan lain sebagainya.[2]

Atas dasar itulah kemudian K.H. Ahmad Dahlan mengadakan pembaharuan dalam bidang pemikiran umat Islam melalui pendidikan dengan meyelenggarakan sekolah yang mengajarkan ajaran agama disamping ilmu pengetahuan umum lainnya. Dan untuk menjaga kelangsungan sekolah tersebut K.H.Ahmad Dahlan mendirikan persyarikatan yang diberi nama Muhammadiyah.[3]

Jika dicermati, starting point kelahiran Muhammadiyah oleh KH. Ahmad Dahlan bertolak dari dua premis. Pertama, Fenomena sosial empiris yang memperlihatkan betapa tertinggalnya umat Islam dalam percaturan modernitas. Kedua, begitu jauhnya umat Islam terlepas dari semangat Alquran dan keteladanan Rasulallah Muhammad SAW. Dari sinilah KH. Ahmad Dahlan mengambil langkah mencari solusi dalam bentuk pencerahan (tanwir) dan pembebasan (liberasi) umat Islam dari keterbelakangan dan kejumudan.[4]

KH. Ahmad Dahlan mengatakan “Semua ibadah diharamkan kecuali ada perintah dan semua muamalah (masalah dunia) boleh dilakukan kecuali ada larangan. Doktrin KH. A Dahlan dimaksudkan sebagai peluru atau pemurnian tauhid (agama) dari unsur-unsur tradisi keagamaan. Kalangan Muhammadiyah menyebutnya sebagai penyakit TBC (takhayul, bid’ah dan khurafat). Untuk mendapatkan gambaran bagaimana penyakit TBC itu, barangkali bisa disimak kisah berikut. Pada tahun 1890 ibu KH. A Dahlan, Nyai Abu Bakar meninggal dunia. Menurut adat waktu itu, setiap malam pada tujuh malam pertama kematian dibacakan tahlil dan pada malam ketujuh diselenggarakan kenduri. Setiap pagi selama tujuh hari itu, keluarga Kiai Abu Bakar juga mengunjungi kuburan Nyai Abu bakar untuk membaca tahlil. Dan pada malam ke-40. Ke-100, malam satu tahun, malam dua tahun dan malam ke-1000 diadakan selametan. Beberapa tahun setelah itu, tepatnya pada 1930-an penyakit itu juga belum sirna.[5]

Penyakit TBC itu, menurut kalangan sejarawan, antara lain disebabkan oleh dakwah Walisongo yang belum tuntas. Sehingga, kondisi masyarakat Islam saat itu masih seperti masyarakat Islam Mekah. Saat berada di Mekah, Nabi Muhammad SAW baru memberi pemahaman tentang tauhid, mengenai Islam serta ajaran-ajarannya. Beliau masih membiarkan umatnya mempraktekkan amalan-amalan lama pengaruh dari agama dan budaya setempat.[6]

Sebagai misal mabuk-mabukan, berjudi, dan seterusnya. Beliau baru meluruskan amalan-amalan yang tidak sesuai dan bahkan bertentangan dengan ajaran Islam setelah berada di Madinah. Di Madinah ini pulalah beliau mulai menegakkan hukum-hukum Islam berbagai praktek yang di anggap menyimpang dari ajaran Islam beliau luruskan, bahkan beliau terapkan pula sanksinya.[7]

Dalam hal hukum, menurut Dahlan, dasar pokoknya adalah Alquran dan Hadis. Bila dari keduanya tidak di temukan kaidah hukum yang eksplisit, maka ditentukan berdasarkan penalaran dengan mempergunakan kemampuan berpikir logis (akal pikiran), ijtima’ (kesepakatan ulama) serta qiyas (analogi).[8]

Orang ideal menurut Muhammadiyah ialah orang yang benar-benar beriman kepada Allah. Dia tidak pernah berhenti untuk belajar langsung dari Kitab Suci, dengan taat melaksanaka rukun Islam, independen, dan bersedia mengemban segala tanggung jawab atas amal perbuatannya sendiri. Dia juga hidup sederhana dan menghindari kemewahan, anti-tradisional, dan berpandangan bahwa semua orang sederajat. Namun demikian ia masih suka bersikap rendah hati, bisa dan lebih menyukai berbicara dengan bahasa sopan, serta bergaul dengan harmonis dengan orang lain. Orang ideal adalah orang yang jujur dan senag membantu, menghargai orang lain, mampu mengendalikan nafsu dirinya serta menghindari kelakuan yang sekehendak hatinya, siap mengorbankan dirinya bagi kepentingan Islam dan umat Islam.[9]

KH. A Dahlan wafat taahun 1923, pada usia 55 tahun. Meskipun ia hanya sempat memimpin Muhammadiyah selama 12 tahun, tapi ormas yang ia dirikan itu berkembang pesat. Puluhan ribu sekolah, madrasah, universitas, pesantren, rumah sakit, panti asuhan, dan amal usaha milik Muhammadiah kini tersebar di hampir seluruh Indonesia. Semua itu jelas merupakan amal jariyah KH Ahmad Dahlan.[10]

    B.  Menghayati Makna Pembaruan

Pembaruan menjadi kebutuhan mutlak bagi warga pergerakan Muhammadiyah. Pembaruan akan selalu terjadi dan terus berkembang, pembaruan itu akan terjadi dalam semua bidang, tidak hanya terbatas pada bidang sosial. Semuanya yang dilakukan harus dijalankan dengan tindakan nyata. Majelis Tarjih dan Tajdid itu berkutat melayani persoalan-persoalan yang muncul khususnya masalah keagamaan internal Muhammadiyah. Sehingga warga Muhammadiyahh mendapatkan pedoman dan jawaban dalam masalah sosial keagamaan. Tidak hanya masalah fikih tapi juga akidah, akhlak, dan masalah-masalah yang lain.

Renungan mendalam atas sejarah bangsa mengungkapkan bahwa akar krisis sesungguhnya ada di dalam diri manusia dan nilai-nilai yang berkembang dalam jaringan sosialnya. Kata kunci yang menghubungkan keduanya adalah “tirani dan kezaliman”. Masyarakat terpolarisasi menjadi kelompok kuat sebagai pelaku tirani dan kelompok lemah yang menjadi objek kezaliman. Tirani dan kezaliman menghancurkan martabat manusia, merampas hak-hak asasi, mematikan semua potensi kreatif, merusak jaringan sosial, dan akhirnya menciptakan stagnasi lalu menutup peluang bangsa untuk menjadi besar dan kuat. Cita-cita untuk mewujudkan masyarakat madani yang demokratis, egaliter, adil, dan terbuka, harus melalui perjuangan yang panjang.[11]

Ciri-ciri masyarakat madani adalah masyarakat yang melegalkan pluralism, bahkan identik dengan masyarakat pluralistik. Istilah “masyarakat pluralistik” yang dimaksud ialah masyarakat politik atas dasar pemerintahan “nasional” sedemikian rupa sehingga keyakinan religious, filosofis, dan moral dijamin kebebasannya. Syaratnya keyakinan tersebut tidak dipaksakan pada warga lain didalam masyarakat. Jadi yang dimaksud dengan “masyarakat pluralistis” bukan hanya secara de facto pluralistis, melainkan masyarakat yang menjamin, atas dasar organisasi politik dan perundang-undangan nasional.[12]

Gagasan masyarakat Madani yang hendak diwujudkan oleh bangsa Indonesia menurut Syafi’i Ma’arif adalah membentuk tatanan masyarakat baru yang demokratis suatu system, makin menguntungkan bagi Islam. Demokrasi yang perspektif ini yang menjadi fokusnya adalah inklusivisme (keterbukaan) sehingga arti dan semangat oposisi dihormati. Harus dipahami, oposisi itu artinya perbedaan pendapat dengan penguasa, yang dalam Islam diperbolehkan. Karena institusi masyarakat itu sangat kental, oposisi tidak lalu diartikan sebagai yang bersebrangan tetapi lebih bersifat “kontrak sosial”, yakni “amar ma’ruf nahi munkar”.[13]

Satu abadi silam, kegelisahan seorang Ahmad Dahlan muncul karena adanya berbagai “fonomena ketimpangan” pada masyarakat Jawa ketika itu. Ahmad Dahlan telah menghayati cita-cita pembaruan sekembali dari hajinya yang pertama. Delier Noer, dalam buku bertajuk Gerakan Modern Islam di Indonesia menulis:

“… tidak dapat kita buktikan dengan pasti, apakah ia sampai pada pemikiran pembaruan itu secara perorangan ataukah dipengaruhi oleh orang-orang lain dalam hal ini. Ia mulai mengintrodusir cita-citanya itu mulanya dengan mengubah arah orang bersembahyang pada kiblat yang sebenarnya (sebelumnya, arah sembahyang biasanya ke Barat saja). Kira-kira pada waktu yang sama ia mulai melakukan pekerjaan sukarela dalam memperbaiki kondisi higienis daerahnya dengan memperbaiki dan membersihkan jalan-jalan dan parit-parit.[14]

Perubahan-perubahan ini, walaupun bagi kita sekarang sangat kecil artinya, memperlihatkan kesadaran Ahmad Dahlan tentang perlunya membuang kebiasaan-kebiasaan yang tidak baik dan yang menurut pendapatnya memang tidak sesuai dengan Islam. perubahan-perubahan ini tidak perlu datang dari pengaruh orang-orang lain, sebab kaum tradisional dan kitab-kitab mereka juga mengakui bahwa kiblat haruslah bersih dari segala kotoran. Masalahnya, apakah praktik sama dengan teori (dalam hal ini teori yang mudah didapat di dalam kitab-kitab tradisi)?

Mungkin sekali Ahmad Dahlan tiba pada cita-cita pembaruan itu secara perorangan. Tetapi ia gagal di dalam merealisasikan perubahan kiblat di masjid Sultan di Yogyakarta. Ia memang dapat membangun langgarnya sendiri dengan meletakkan kiblat yang tepat, tetapi  perubahan ini tidak disenangi oleh penghulu Kiai Muhammad Khalil, yang memerintahkan agar langgar itu dirubuhkan.[15]

Berdasarkan uraian diatas dapat difahami, bahwa tajdid dalam Muhammadiyah mengalami perubahan yang sangat berarti. Pada fase pertama tajdid dalam Muhammadiyah baru pada tataran praktis dan gerakan aksi yang mengarah pada pemurnian akidah dan ibadah, sebagai reaksi terhadap penyimpangan yang dilakukan oleh umat Islam pada saat itu. Tema sentral tajdid pada fase ini adalah pemurnian. Kemudian pada fase kedua konsep tajdid diarahkan pada upaya untuk merespon perubahan masyarakat yang berkaitan dengan al-umur al-dunyawiyah. Pada fase ketiga, menjelaskan bagaimana pembaharuan yang dilakukan muhammadiyah. Dan yang terakhir pentingnya pembaharuan yang dilakukan muhammadiyah. Jadi, pembaruan akan selalu terjadi dan terus berkembang. Dan, pembaruan itu akan terjadi dalam semua bidang, tidak hanya terbatas pada bidang sosial. Semuanya yang dilakukan harus dijalankan dengan tindakan nyata. Itulah yang namanya amal syahadah.

    C.  Konsep Muhammadiyah Seputar Hadis

Pandangan Muhammadiyah sebagai organisasi keagamaan Islam mengenai hadis dapat dilihat pada dokumen-dokumen yang berisikan keputusan organisasinya antara lain: Mukaddimah Anggaran Dasar Muhammadiyah (selanjutnya ditulis MADM), Matan Keyakina dan Cita-Cita Hidup Muhammadiyah (selanjutnya ditulis MKCH), dan Himpunan Putusan Tarjih (selanjutnya ditulis HPT).[16]

Dalam MADM pasal 4 ayat (1) termaktub, bahwa Muhammadiyah adalah gerakan Islam, dakwah amr ma’ruf nahi munkar dan tajdid, bersumber kepada Alquran dan al-Sunnah. Dalam MKCH tertulis, bahwa Muhammadiyah dalam mengamalkan Islam berdasarkan Alquran yaitu kitab Allah yang diwahyukan kepada nabi Muhammad SAW, Sunnah Rasul yaitu penjelasan dan pelaksanaan ajaran-ajaran Alquran yang diberikan oleh Nabi Muhammad SAW dengan menggunakan akal pikiran sesuai dengan jiwa ajaran Islam.[17] dalam HPT, pernyataan dalam MKCH dijelaskan lebih detail dalam Kitab Masalah Lima, bahwa agama yakni agama Islam yang di bawa oleh nabi Muhammad SAW ialah apa yang diturunkan di dalam Alquran dan yang tersebut dalam al-Sunnah al-Sahihah.[18]

Yang dimaksud dengan al-Sunnah al-Sahihah dalam definisi agama Islam diatas, bukan hadis sahih dalam istilah ilmu hadis, melainkan hadis maqbul (yang dapat diterima) walaupun tidak sahih dalam pengertian ilmu hadis.[19] Oleh karena itu, Alquran dan Sunnah adalah dasar mutlak untuk berhukum dalam agama Islam menurut Muhammadiyah. Meski tidak ada penegasan secara eksplisit, tetapi tampak dalam al-Sunnah dalam HPT diidentikkan dengan hadis.[20]

Penjabaran mengenai konsep al-Sunnah dapat ditemukan dalam HPT Kitab Beberapa Masalah No.21. (tentang) Ushul Fikih dalam bidang hadis (yang juga tertuang dalam Manhaj Tarjih) sebagai berikut:

1.      Hadis mauquf  murni tidak dapat dijadikan hujjah

2.      Hadis mauquf  yang termasuk ke dalam kategori marfu’ dapat di jadikan hujjah.

3.    Hadis mauquf  termasuk kategori marfu’ apabila terdapat qarinah yang dari padanya dapat difahami ke-marfu’-annya kepada Rasulullah SAW seperti pernyataan Ummu ‘Athiyah: “Kita diperintahkan supaya mengajak keluar wanita-wanita yang sedang haid pada hari raya” dan seterusnya bunyi itu, dan sebagainya.

4.      Hadis mursal tabi’i murni tidak dapat dijadikan hujjah

5.  Hadis mursal tabi’i dapat dijadikan hujjah apabila besertanya terdapat qarinah yang menunjukkan kebersambungannya.

6.  Hadis mursal sahabi dapat dijadikan hujjah apabila padanya terdapat qarinah yang menunjukkan kebersambungannya.

7.      Hadis-hadis da’if yang satu sama lain saling menguatkan tidak dapat dijadikan hujjah, kecuali apabila banyak jalannya dan padanya terdapat qarinah yang menunjukkan keotentikan asalnya serta tidak bertentangan dengan Alquran da hadis sahih.

8.   Jarh (cela) didahulukan atas ta’dil setelah adanya keterangan yang jelas dan sah secara shara’.

9.   Riwayat orang yang terkenal suka melakukan tadlis dapat diterima, apabila ia menegaskan bahwa apa yang ia riwayatkan itu tersambung dan tadlis-nya tidak sampai merusak keadilannya.

10.  Penafsiran sahabat terdapat lafal (pernyataan)  musytarak dengan salah satu maknanya, wajib diterima.

11.  Penafsiran sahabat terhadap lafal (pernyataan) zhahir dengan makna lain, maka yang diamalkan adalah makna zahir tersebut.[21]

Jika dipetakan dari kesebelas rumusan di atas, lima di antaranya (1, 2, 3, 10, 11) terkait dengan hadis mauquf[22], tiga poin (4, 5, 6) terkait bahasan hadis mursal, poin 7 terkait kriteria hadis da’if yang dapat diterima (maqbul), poin ke 8 tentang kaidah al-Jarh wa al-Ta’dil Jika terjadi perbedaan penilaian dari para kritikus hadis terhadap rawi, dan poin 9 membahas mengenai hadis mudallas. Pemetaan lain atas kaidah-kaidah di atas menyimpulkan bahwa Muhammadiyah sangat menekankan pada kritik sanad. Sedang untuk kritik matan dalam kesebelas kaidah di atas hanya kita dapati satu poin, yaitu kaidah ke-7.

Dalam Musyawarh Nasional Tarjih ke-25 di Jakarta, kaidah-kaidah di atas dilengkapi dengan metode tarjih terhadap nash (teks) yang berisikan, bahwa dalam proses kritik sanad, ditemukan pada: a) Kualitas maupun kuantitas rawi, b) Bentuk dan sifat periwayatan. Sedang dalam kritik matan ditekankan pada: a) Matan yang menggunakan sighat nahyu lebih rajih (kuat) dari sighat amr, b) Matan yang menggunakan sighat khas lebih rajih dari sighat ‘am.[23]

Untuk mengantisipasi pertentangan hadis, Muhammadiyah membuat kaidah-kaidah penyelesaian Ta’arudl al-Adillah dengan sistematika sebagai berikut:

a.    Al-Jam’u wa al-Taufiq (mengumpulkan dan mengkompromikan), yakni menerima semua dalil yang walaupun lahirnya bertentangan. Sedang pada pelaksanaannya diberi kebebasan untuk memilih (takhyir).

b.     Al-Tarjih yakni memilih dalil yang lebih kuat untuk diamalkan dan meninggalkan dalil yang lemah.

c.    Al-Naskh yaitu mengamalkan dalil yang munculnya lenih akhir

d.   Al-Tawaquf  yaitu menghentikan peneliti terhadap dalil yang dipakai (untuk sementara waktu) dengan cara mencari dalil baru.

Proses konseptualisasi hadis untuk mendapatkan bentuk epistemologinya dalam Muhammadiyah, dilakukan melalui proses ijtihad jama’i (kerja ijtihad kolektif) yang dilakukan oleh Majelis Tarjih sebagai unsure organisasi Muhammadiyah yang berfungsi membidangi masalah keagamaan Islam.

    D.  Diskursus Hadis di Muhammadiyah

Seperti organisasi keagamaan lain, Muhammadiyah memerlukan sabuk pengikat untuk menjaga roda gerak organisasi berupa keputusan-keputusn ideologis dan sosialisasinya pada beragam level organisasi. Tak terkecuali di bidang keagamaan dimana Muhammadiyah mengusung misi pembaruan pemahaman keagamaan. Sabuk ini muncul secara structural ditandai dengan lahirnya Majels Tarjih pada tahun 1983.[24] Beberapa faktor penyebab kemunculannya antara lain:

1.    Berkembang dan meluasnya dakwah yang mgakibatkan pimpinan Muhammadiyah tidak mampu mengontrolnya terutama dalam usaha penertiban agar pemahaman keagamaan anggotanya sejalan dengan asas perjuangannya, yaitu berdasarkan Alquran dan al-sunnah als-Sahihah.

2.    Perselisihan faham mengenai masalah-masalah khilafiyah di tengah masyarakat saat itu. Misi utama majelis ini adalah melakukan kegiatan intelektual dalam menyelidiki ajaran Islam guna mendapatkan kemurniannya untuk kemudiandi proyeksikan ke dalam penyusunan konsepsi masarakat Islam yang sebenar-benarnya sebagai tujuan utama dari Muhammadiyah.[25]

Strukturisasi pembidangan masalah keagamaan di Muhammadiyah menimbulkan dampak positif dan negatif. Dampak positifnya antara lain terwujudnya kesatuan paham mengenai masalah-masalah furu’ fiqh atau khilafiyah. Dampak negatif antara lain:Pertama: timbulnya sikap skeptis di kalangan anggota Muahammadiyah terhadap masalah yang sebenarnya sudah ada hukumnya, tidak menjadi pertikaian para ulama namun belum dibicarakan oleh Majelis Tarjih. Sehingga memunculkan sikap tawaqquf, yaitu berhenti dan menunggu keputusan Tarjih. Kedua: beredar anggpan bahwa otoritas kebenaran kebenaran ada dalam Tarjih, di luar itu belum dapat dipertanggung jawabkan kebenarannya.

Diskursus hadis yang dapat direkam di antaranya mengenai konsep al-Sunnah al-Sahihah. Dalam hal ini paada tahun 1973 Majelis Tarjih wilayah Muhammadiyah Jawa Barat memutuskan, bahwa takbir shalat ‘id hanya satu kali saja seperti shalat biasa tidak 7-5 kali, karena variasi ini didasarkan pada hadis-hadis da’if. Sedang hadis da’if  tidak dapat dijadikan sumber hukum walaupun jumlahnya banyak. Apalagi mengacu pada definisi agama yang diputuskan oleh Majelis Tarjih di atas, dimana berpegang kepada al-Sunnah al-Sahihah.[26]

Majelis Tarjih pusat dalam merespon putusan Majelis Tarjih wilayah Jawa Barat menyatakan bahwa al-Sunnah al-Sahihah dalam definisi agama Islam itu bukanlah maksudnya hadis sahih dalam istilah ilmu hadis, melainkan hadis maqbul walaupun tidak sahih dalam pengertian ilmu hadis. Oleh karena itu, hadis da’if  yang saling kuat menguatkan dapat diterima sebagai sumber hukum, sebagaimana termaktub dalam kaidah hadis dalam HPT. Selanjutnya, pada tahun 1977 diadakan diskusi panel tentang kaidah hadis da’if, yang mentimpulkan bahwa kaidah itu sudah tepat dan tidak perlu dikoreksi lagi. Hasil panel kemudian di kukuhkan dalam Muktamar Tarjih di Klaten tahun 1980.[27]

Diskursus kedua yang dapat direkam adalah polemic terkait dengan status penilaian terhadap hadis yang berimplikasi pada pilihan hukum mengenai tambahan kata “wabarakatuh” dalam bacaan salam shalat antara Majelis Tarjih pusat dengan salah seorang ulama Muhammadiyah, yaitu Ustadz Syakir Jamaluddin (selanjutnya ditulis SJ) pada kurun waktu 2008-2012. SJ melemahkan hadis dengan tambahan wabarakatuh[28], sementara Majelis Tarjih Pusat memutuskan bahwa hadis yang melandasi tambahan “wabarakatuh” tersebut adalah maqbul. Oleh karena itu, dalam Musyawarah Nasional Tarjih ke-27 diputuskan bahwa bacaan salam dengan dua versi (tanawwu’), baik berakhiran pada redaksi “warahmatullah” maupun “wabarakatuh” adalah absah dan dapat diamalkan.

 

BACA ARTIKEL LAINNYA YANG BERKAITAN:

DAFTAR PUSTAKA

Abdurrahman, Asmuji (ed). Laporan Penelitian Majelis Tarjih Muhammadiyah. Yogyakarta: Lembaga Research dan Survey IAIN Sunan Kalijaga

Anshory, Nasruddin. Matahari Pembaruan. Yogyakarta: Jogja Bangkit Publisher, 2010.

Fathurrahman Djamil. Metode Ijtihad Majelis Tarjih Muhammadiyah. Jakarta: Logos Publishing House, 1955.

Hambali, Hamdan. Ideologi dan Strategi Muhamadiyah . Yogyakarta: Suara Muhammadiyah, 2011.

Jamaludin. Syakir. Sholat Sesuai Tuntunan Nabi Saw Mengupas Kontrovesi Hadis Sekitar Sholat. Yogyakarta: LPPI UMY, 2013.

Kasman. Hadis Dalam Pandangan Muhamadiyah. Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2012.

Mufidin, “Studi Literatur Tantang Peran Muhammadiyah Dalam Mengembangkan Pendidikan Islm di Indonesia” Tarbawi , Vol.1, No.1 Maret 2012.

Pimpinan Pusat Muhammadiyah, Himpunan Putusan Tarjih. Yogyakarta: Suara Muhammadiyah, 2012.

Rahmanto, Mukhlis.  “Posisi Hadis Dalam Ijtihad Muhammadyah”, Afkaruna, Vol. 10, No.1 (Januari-Juni 2014).

Sucipto, Hary. Tajdid Muhammadiyah. Jakarta: Grafindo, 2005.


[1] Mufidin, “Studi Literatur Tantang Peran Muhammadiyah Dalam Mengembangkan Pendidikan Islm di Indonesia” Tarbawi , Vol.1, No.1 Maret 2012, 51.

[2] Ibid.,52.

[3] Ibid.

[4] MAARIF Vol. 4, No. 2 — Desember 2009 hal 34

[5] Hary Sucipto, Tajdid Muhammadiyah (Jakarta: Grafindo, 2005), 22.

[6] Ibid.,23

[7] Ibid.

[8] Ibid.,27.

[9] Nasruddin Anshory, Matahari Pembaruan (Yogyakarta: Jogja Bangkit Publisher, 2010), 77.

[10] Hary Sucipto, Tajdid Muhammadiyah,.. 28.

[11] Nasruddin Anshory, Matahari Pembaruan .. 71.

[12] Ibid.,73.

[13] Ibid.,74

[14] Ibid.,75.

[15] Ibid.,76.

[16] Mukhlis Rahmanto, “Posisi Hadis Dalam Ijtihad Muhammadyah”, Afkaruna, Vol. 10, No.1 (Januari-Juni 2014), 47

[17] Hamdan Hambali, Ideologi dan Strategi Muhamadiyah (Yogyakarta: Suara Muhammadiyah, 2011), 47

[18] Pimpinan Pusat Muhammadiyah, Himpunan Putusan Tarjih (Yogyakarta: Suara Muhammadiyah, 2012), 278.

[19] Asmuji Abdurrahman (ed), Laporan Penelitian Majelis Tarjih Muhammadiyah (Yogyakarta: Lembaga Research dan Survey IAIN Sunan Kalijaga), 74.

[20] Ibid.,73

[21] Fathurrahman Djamil, Metode Ijtihad Majelis Tarjih Muhammadiyah (Jakarta: Logos Publishing House, 1955), 161.

[22] Kasman, Hadis Dalam Pandangan Muhamadiyah (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2012), 98.

[23] Ajsmuni Abdurrahmn..29.

[24] Himpunan Putusan Tarjih..382.

[25] Ibid.,49.

[26] Tim Majelis dan Tarjih dan Tajdid Pimpinan Pusat Muhammadiyah, Tanya Jawab Agama Islam (Yogyakarta: Suara Muhammadiyah, 2012), 10.

[27] Asjmuni Abdurrahman (ed).. 74.

[28] Syakir Jamaludin, Sholat Sesuai Tuntunan Nabi Saw Mengupas Kontrovesi Hadis Sekitar Sholat (Yogyakarta: LPPI UMY, 2013), 138.

MAKALAH HADIST TENTANG HIJAB

  A.   Latar Belakang Telah disepakati oleh seluruh umat Islam bahwa al-Qur’an menjadi pedoman hidup baik tentang syariah maupun dalam keh...