BAB
I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Membincangkan dan
mengkaji teks agama dalam konteks suatu budaya menjadi sesuatu hal yang menarik. Sebab, di dalamnya akan ditemukan suatu gambaran bagaimana sebuah
teks berinteraksi dengan konteks sosio-geografis tertentu yang tentu memiliki
perbedaan, sehingga teks dapat dipahami dan dimaknai berbeda oleh orang atau
kelompok yang tinggal di Arab dan kelompok yang tinggal jauh di luar Arab
seperti Indonesia. Salah satu organisasi keagamaan di Indonesia adalah Nahdlatul
Ulama (NU) yang memiliki tradisi ilmiah berupa bahtsul masail. Dalam kegiatan
bahtsul masail tersebut tidak menutup kemungkinan jika NU telah berinteraksi
dengan teks-teks keagamaan, di dalamnya termasuk teks hadis. Asumsinya, tidak
menutup kemungkinan jika NU mengalami beberapa problematika hermeneutik ketika
memaknai dan memahami hadis Nabi. Di samping itu, beragamnya latar belakang
pemikiran, pengetahuan, dan bahkan perbedaan pandangan mengenai masalah politik
praktis, dan ideologi dari para peserta bahtsul masail semakin mempengaruhi
pola pemahaman NU terhadap hadis Nabi dalam kegiatan bahtsul masail yang sejak
pertama kali digelar pada Tahun 1926 hingga 2004. Bagaimana sebenarnya NU
melakukan pemaknaan dan pemahaman terhadap teks hadis Nabi adalah problem
hermeneutik yang perlu dikaji lebih serius dan ilmiah. Pertanyaan ini kemudian
mengarah kepada pencarian bentuk mengenai bagaimana karakeristik metode dan
pendekatan yang telah dan belum digunakan NU dalam memahami hadis Nabi. Sebuah
pertanyaan yang melatarbelakangi mengapa penelitian ini dilakukan oleh
penyusun.
B.
Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang tersebut
diperoleh rumusan masalah sebagai berikut :
1.
Apa pengertian Nahdlatul Ulama
(NU)?
2.
Bagaimana sejarah lahirnya
Nahdlatul Ulama (NU)?
3.
Bagaimana tradisi keberagamaan
Nahdlatul Ulama (NU)?
4. Bagaimana pemikiran Nahdlatul Ulama (NU) terhadap hadis beserta contohnya?
C.
Tujuan
Tujuan
yang ingin dicapai dalam penelitian ini sebagai berikut :
1.
Mengerti
dan memahami pengertian Nahdlatul Ulama (NU)
2.
Mengerti
sejarah lahirnya Nahdlatul Ulama (NU)
3.
Mengerti
bagaimana tradisi keberagamaan Nahdlatul Ulama (NU)
4.
Mengerti
bagaimana pemikiran Nahdlatul Ulama (NU) terhadap hadis beserta contohnya.
BAB
II
PEMBAHASAN
1.
Pengertian Nahdlatul Ulama (NU)
Nahdlatul
Ulama disingkat NU, artinya kebangkitan Ulama. Sebuah organisasi yang didirikan
oleh para ulama pada tanggal 16 Rajab 1344 H / 31 Januari 1926 M di Surabaya.[1]
Nahdlatul
Ulama’ ( NU ) adalah merupakan gerakan keagamaan yang bertujuan untuk ikut
membangun dan mengembangkan insan dan masyarakat yang bertaqwa kepada Allah
SWT, cerdas, terampil, berakhlaq mulia, tentram, adil dan sejahtera. NU
mewujudkan cita-cita dan tujuannya melalui serangkaian ikhtiar yang didasari
oleh dasar-dasar paham keagamaan, yang membentuk kepribadian khas Nahdlatul
Ulama.[2]
2.
Sejarah
Lahirnya Nahdlatul Ulama
Latar belakang berdirinya NU berkaitan erat dengan perkembangan
pemikiran keagamaan dan politik dunia Islam kala itu. Pada tahun 1924, Syarif
Husein, Raja Hijaz (Makkah) yang berpaham Sunni ditaklukkan oleh Abdul Aziz bin
Saud yang beraliran Wahabi. Tersebarlah berita penguasa baru itu akan melarang
semua bentuk amaliah keagamaan ala kaum Sunni, yang sudah berjalan
berpuluh-puluh tahun didunia Arab, dan akan menggantinya dengan model Wahabi.
Pengamalan agama dengan sistem bermadzhab, tawasul, ziarah kubur, maulid Nabi,
dan sebagainya, akan segera dilarang. Tidak hanya itu saja, Raja Ibnu Saud juga
ingin melebarkan pengaruh kekuasaannya keseluruh dunia Islam, dengan dalil demi
kejayaan Islam. Ia berencana meneruskan kekhalifaan dunia Islam yang terputus di
Turki pasca runtuhnya Daulah Usmaniyah. Untuk itu berencana menggelar Muktamar
Khilafah di kota suci Makkah, sebagai penerus khilafah yang terputus itu.
Seluruh Negara Islam di dunia akan diundang untuk menghadiri muktamar tersebut,
termasuk Indonesia. Awalnya, utusan yang direkomendasikan oleh HOS Cokroaminoto
(Sarikat Islam), KH. Mas Mansur (Muhammadiyah) dan KH. Wahab Hasbullah
(Pesantren). Namun, rupanya ada permainan licik diantara kelompok yang
mengusung para calon utusan Indonesia. Dengan alasan Kiai Wahab tidak mewakili
organisasi resmi, maka namanya dicoret dari daftar calon utusan.
Peristiwa ini menyadarkan para Ulama Pondok Pesantren[3]
akan pentingnya sebuah organisasi. Sekaligus menyisakan sakit hati yang
mendalam, karena tidak ada lagi yang bisa dititipi sikap keberatan akan rencana
Raja Ibnu Saud yang akan merubah model beragama di Makkah. Para Ulama pesantren
sangat tidak menerima kebijakan Raja yang anti kebebasan bermadzhab, anti
Maulid Nabi, anti ziarah makam, dan lain sebagainya.[4]
Seperti yang telah disinggung pada uraian diatas, bahwa pembentukan
jam’iyyah NU tiada lain adalah merupakan upaya pengorganisasian potensi
dan peran ulama pesantren yang sudah ada, untuk ditingkatkan dan dikembangkan
lebih luas lagi. Dengan kata lain, didirikannya NU adalah untuk menjadi wadah
bagi usaha mempersatukan dan menyatukan langkah para ulama pesantren dalam
rangka tugas pengabdian yang tidak lagi terbatas pada soal kepesantrenan dan
kegiatan ritual keagamaan semata, tetapi lebih ditingkatkan lagi pada kepekaan
terhadap masalah sosial, ekonomi maupun persoalan kemasyarakatan pada umumnya.[5]
Sedangkan permasalahan dan persoalan
motif akan berdirinya NU adalah sebagai berikut:
1. Motif Agama.
2. Membangun Nasionalisme
3. Mempertahankan Paham Ahlu
al-Sunnah wa al-Jama’ah.[6]
Pendiri
resmi organisasi NU adalah Hadratus Syeikh KH. M. Hasyim Asy’ari, pengasuh
Pondok Pesantren Tebuireng, Jombang, Jawa Timur. Sedangkan yang bertindak
sebagai arsitek dan motor pergerakannya adalah KH. Abdul Wahab Hasbullah,
pengasuh Pondok Pesantren Bahrul Ulum Tambak Beras, Jombang. Kiai Wahab adalah
salah seorang murid utama Kiai Hasyim, ia lincah, enerjik dan banyak akal.[7]
3.
Nahdlatul
Ulama Dan Tradisi Keberagamaannya
Sebagai
satu jam’iyyah keagamaan dan organisasi kemasyarakatan, NU memilki
prinsip-prinsip yang berkaitan dengan upaya memahami dan mengamalkan ajaran Islam,
baik yang berhubungan dengan komunikasi vertikal dengan Allah SWT maupun
komunikasi horizontal dengan sesama manusia.
NU mendasarkan paham keagamaannya
kepada sumber ajaran Islam, yakni al-Quran, al-Sunnah (hadis), al-Ijma,
al-Qiyas. Dalam memahami serta menafsirkan Islam dari berbagai sumber tersebut,
NU mengikuti paham Ahlussunnah Wa al-Jamaah, dengan memakai jalan pendekatan
(mazhab) sebagai berikut:
a.
Di bidang aqidah, NU menganut paham ahlussunnah wa al-jamaah yang dipelopori oleh
Imam Abu Hasan al-Asy’ari (260-324 H), dan Imam Abu Mansyur al-Maturidi (w. 333
H/944 M).[8]
b.
Di bidang fiqih, NU mengikuti jalan pendekatan salah satu dari empat mazhab,
keempat mazhab tersebut adalah Abu Hanifah An Num’an (80-150 H/ 700-767 M), Imam
Malik bin Anas (93-179 H/713-795 M), Imam Muhammad bin Idris Al-Syafi’i
(150-204 H/767-820 M) serta Imam Ahmad bin Hanbal (164-241 H/780-855 M).
c.
Di bidang tasawuf, NU mengikuti tasawuf Imam Al-Junaidi Al-Baghdadi (w.297 H),
dan Imam Abu Hamid al-Ghazali (450-505 H).[9]
Dalam realitas empiris, warga NU
walaupun lebih condong kepada al-Asy’ari ketimbang al-Maturidi dalam bidang
aqidah, namun kenyataannya mereka lebih akrab dengan kitab-kitab karya
al-Juwaini, al-Baqillani, al-Sanusi dan lain-lain, dibanding dengan karya-karya
al-Asy’ari, apalagi al-Maturidi. Demikian juga dalam bidang fiqh, walaupun
mereka (nahdiyyin) lebih condong mazhab syafi’i dibanding tiga mazhab yang
lainnya namun mereka hanya lebih mengenal kitab-kitab pengikut Syafi’i
ketimbang karya Imam Syafi’i sendiri seperti Al-Umm. Sedangkan dalam bidang
Tasawuf meskipun lebih condong kepada al-Ghazali dan itupun sebatas kitab
Bidayah al-Hidayah dan Ihya’ Ulumuddin namun mereka lebih dekat dengan syeikh
Abdul Qodir Jaelani dengan Manaqibnya. Keterikatan NU dalam bidang aqidah, fiqh
dan tasawuf dan mazhab-mazhab diatas menjadikan warga NU dikategorikan sebagai
kaum tradisionalis.[10]
Paham keagamaan yang dianut NU
tersimpul dalam sebuah “kaidah”
المحافظة
على القديم الصالح والأخذ بالجديد الأصلح
“Memelihara
nilai-nilai terdahulu yang sudah baik, dan mengambil nilai-nilai baru yang
lebih baik”
Kaidah ini sebenarnya bukan klaim
tunggal NU, dan NU juga tidak pernah mengklaim sebagai satu-satunya kaidah
miliknya, yang hanya saja populer dikalangan warga NU (Nahdliyyin).[11]
Landasan pijak “kaidah” diatas
adalah universal, dalam arti banyak hal, peristiwa maupun ajaran yang
orientasinya “memelihara yang sudah baik dan mengambil yang lebih baik.” Ajaran
Islam sendiri juga pada hakikatnya demikian. Nilai-nilai masa lalu yang baik
dipertahankan dengan memperkenalkan syari’at (ajaran) baru yang lebih baik, bahkan
sekitar duapertiga al-Quran menceritakan umat masa lalu agar umat masa kini
dapat memetik hikmah dan pelajaran darinya.[12]
Dapat dipahami dari uraian
Nurcholis Madjid, salah seorang intelektual muslim pembaru yang getol memperkenalkan
“kaidah” tersebut dalam banyak tulisannya, bahwa dalam konteks keIndonesiaan
seharusnya “kaidah” tersebut milik semua organisasi kemasyarakatan Islam, baik
yang tradisionalis maupun modernis, baik NU, NW, Persis, Muhammadiyah,
al-Irsyad ataupun lainnya tanpa perlu ada yang diperselisihkan.[13]
Bentuk lain dari kekokohan NU dalam
mempertahankan nilai-nilai terdahulu yang diyakini baik adalah sikap toleran
dan kooperatifnya terhadap tradisi keberagamaan yang telah berkembang
dimasyarakat, seperti membaca barzanzi dan diba’an (sejarah dan pujian terhadap
Nabi SAW), wiridan kolektif seusai shalat berjamaah, puji-pujian antara azan
dan iqamat, tahlilan (membaca kalimat “thayyibah” la ilaha illallah dirangkai
dengan bacaan-bacaan tertentu), yasinan (membaca surat Yasin dalam waktu-waktu
tertentu), yang menurut kaum modernis tidak perlu lagi dilestarikan, bahkan
sebagian menganggapnya sebagai bid’ah yang harus diberantas.
Sejarah mencatat, dalam wacana
keagamaan muncul dua aliran keagamaan yang dalam hal-hal tertentu bertentangan
secara dimetral, kedua aliran tersebut adalah modernis dan kaum tradisionalis.
Mereka mempersoalkan mazhab dan ijtihad Ahlu Sunnah wa al-Jamaah yang oleh kaum
modernis dituduh sebagai bid’ah dan Khurafat yang mendekati syirik. Modernis
menyerang kitab-kitab klasik yang dijadikan kaum tradisionalis sebagai sumber
rujukan dalam pengambilan hukum, modernis menyerukan untuk kembali kepada
al-Quran al-Hadis, sebaliknya kaum tradisionalis beranggapan bahwa kitab-kitab
itu masih tetap relevan untuk memahami hukum Islam dari sumber aslinya.[14]
4.
Pemikiran
Nahdlatul Ulama Terhadap Hadis
Seperti
telah dijelaskan diatas, NU dalam mengambil sumber ajaran Islam menempatkan
al-Quran sebagai sumber pedoman yang utama kemudian al-Sunnah sebagai sumber hukum
Islam yang kedua. Namun, NU dalam memutuskan dan menyelesaikan persoalan
(istinbat hukum) terkesan mengabaikan al-Qur’an dan hadis tersebut, hal ini
disebabkan NU lebih mengutamakan kehati-hatian (ikhtiyat) dalam memutuskan
persoalan hukum sehingga perlunya untuk berkompromi dan ‘berkonsultasi’ dengan
kitab-kitab kuning (kitab al-Mu’tabarah) yang telah ditulis oleh para mujtahid
dahulu. Kitab al-Mu’tabarah yang dimaksud adalah al-kutub ‘ala mazahib
al-arba’ah atau kitab yang mengacu pada mazhab empat. Lebih dari itu, dengan
merujuk –kitab-kitab kuning kembali akan menghindari dari penafsiran
eksklusif-pundamentalis terhadap pemahaman al-Quran dan al-Hadis karena para
perumusnya lebih jauh telah merumuskan “metode” memahami al-Quran dan al-Hadis
dan merekalah yang berhak untuk merumuskan jawaban dari permasalahan keagamaan
atau yang disebut mujtahid.[15]
Dalam
NU, yang tertinggi dari tingkatan mujtahid adalah yang mampu berijtihad dengan
menggunakan metode dan prosedur yang dirumuskan sendiri. Mujtahid seperti ini
disebut Mujtahid Mutlak Mutsaqil. Ada 11 syarat dari ulama salaf dalam
memberikan gelar mujtahid: pertama menguasai al-Quran, kedua menguasai hadis
al-Shahih, ketiga menguasai bahasa arab, keempat menguasai ilmu ushul al-Fiqh
serta kaidah-kaidahnya, kelima memahami tujuan pokok syariat islam (maqasid
al-Sariah), keenam bertaqwa kepada Allah, ketujuh mustaqil, kedelapan muntasib,
kesembilan muqayyad, kesepuluh mujtahid fatwa, dan terakhir mampu mengeluarkan
pendapat imam-imam dalam mazhab setelah dipelajari secara mendalam.[16]
Kemudian,
dalam memahami Islam, NU terkesan sangat berhati-hati dan tidak mau memecahkan
persoalan keagamaan yang dihadapi dengan merujuk langsung kepada nash al-Qur’an
maupun al-Hadis, hal ini juga tidak terlepas dari pandangan bahwa matarantai
perpindahan Ilmu agama Islam tidak boleh terputus dari satu generasi ke
generasi berikutnya.[17]
Yang dapat dilakukan adalah menulusuri matarantai yang baik dan sah pada setiap
generasi.[18]
Dalam pengantar anggaran dasar NU Tahun 1947, Rais Akbar dan salah seorang
pendiri organisasi NU KH.Muhammad Hasyim Asy’ari menyatakan:
”Wahai para Ulama dan tuan-tuan yang takut kepada Allah dari golongan Ahlussunnah wal Jamaah, golongan mazhab imam yang empat. Engkau sekalian telah menuntut ilmu dari orang-orang sebelum kalian dan begitu seterusnya secara bersambung kepada kalian, dan engkau tidak gegabah memperhatikan dari siapa mempelajari agama, maka oleh karenanya kalian adalah gudang bahkan pintu ilmu tersebut, janganlah memasuki rumah kecuali melalui pintunya. Barang siapa memasuki rumah tidak melalu pintunya maka Ia pencuri.”[19]
Dari pernyataan
tersebut dapat dipahami mengapa NU dalam memecahkan persoalaan keagamaan yang
dihadapi merasa perlu berkonsultasi dengan kitab-kitab yang dianggap mu’tabarah
(diakui) yang ditulis ulama mazhab empat. Demikian juga yang dilakukan terhadap
sebagian besar persoalan keagamaan yang dibahas dan ditetapkan keputusan oleh
Lajnah Bahtsul Masail dari kali pertama (1926) sampai saat ini. Tradisi ini
dilestarikan melalui lembaga pendidikan pesantren yang berada dibawah naungan
NU. Oleh karena itu sikap dan pandangan yang demikian dalam memahami dan
menafsirkan ajaran Islam para pengamat sering menyebut dan mengelompokkan NU
dalam golongan Islam tradisionalis.[20]
Ini bukan
berarti bahwa NU tidak menghendaki ijtihad, tetapi yang dikehendaki hanyalah
ijtihad yang dilakukan oleh orang-orang yang memenuhi persyaratan sebagai
mujtahid. Sedangkan bagi yang belum memenuhi persyaratannya dianjurkan lebih
baik taqlid kepada yang telah memenuhi syarat. Taqlid bagi NU tidak dipahami
sebatas mengikuti tanpa mengetahui dalil melainkan juga mengikuti jalan
pemikiran Imam mazhab.
Faham taqlid
bermazhab sangat erat kaitannya dengan tradisi intelektual pesantren, transmisi
keilmuan yang berlangsung melalui kitab kuning, kitab fiqih yang dipelajari
mewarisi fatwa ulama terdahulu dengan sanad yang tak terputus. Transmisi
seperti ini diyakini memberikan jaminan untuk memperoleh kemurnian ajaran dari
sumbernya yang pertama. Oleh karena itu, pintu ijtihad menurut NU hanya terbuka
dalam kerangka pemikiran mazhab. Jadi dalam menyelesaikan masalah Lajnah
Bahtsul Masail tidak memakai istilah ‘ijtihad’ melainkan ‘istinbat’ (penggalian
dan penetapan) hukum dengan pendekatan mazhaby.[21]
Agar pembacaan atas pemahaman hadis dalam tradisi
NU menjadi utuh, maka penyusun juga menggunakan pendekatan sosio-historis dan
hermeneutik sebagai sistem penafsiran. Hasil penelitian menunjukkan:
(1) Bahtsul masail dari Tahun 1926 hingga 2004
terdapat 458 masalah yang menjadi pembahasan. Dari sebanyak masalah itu,
penggunaan hadis oleh NU dalam bahtsul masail hanya terdapat 75 hadis, baik
yang dikutip dengan cara menulis sebagian dari teks hadis maupun yang ditulis
atau dikutip secara keseluruhan. Melihat garis-garis besar (khittah nahdliyah)
NU serta perwatakannya ini, maka dapat dikatakan bahwa hadis dalam tradisi
bahtsul masail NU dari tahun 1926 hingga 2004 menempati kedudukan yang penting
dalam NU.
Dalam aplikasi NU itu sendiri terdapat beragam perbedaan
dalam tradisi nalar NU, diantaranya adalah :
Pertama: Kelompok yang menekankan metode qauliy, yaitu suatu metode dalam istinbat hukum yang
digunakan ulama/intelektual NU dengan mempelajari masalah yang dihadapi, kemudian
mencari jawabannya kepada Imam yang empat dengan mengacu dan merujuk secara
langsung pada teksnya dengan kata
lain mengikuti pendapat-pendapat yang sudah jadi dalam lingkup mazhab tertentu.
Dalam
kasus ketika bisa dicukupi oleh Ibarat Kitab dan disana
terdapat hanya satu qaul/wajah, maka dipakailah qaul/wajah sebagaimana yang
diterangkan dalam ibarat tersebut. Namun jika terdapat lebih dari satu
qaul/wajah, maka dilakukan tahrir jama’i untuk memilih satu
qaul yaitu dengan mengambil pendapat yang lebih maslahat atau yang lebih rajah
(kuat).
Dan kelompok ilhaqiy yaitu menyamakan hukum suatu kasus yang
jawabannya tidak terdapat dalam kitab al-mu’tabarah dengan hukum atau masalah
serupa yang telah dijawab dalam kitab al-mu’tabarah. Dua kelompok ini adalah elite-struktural NU yang ditenggarai
berpikiran konservatif - radikal dan memiliki background pendidikan pesantren
salaf. Kedudukan hadis terkesan sebagai sumber sekunder yang berada di bawah
kitab kuning[22]. Sebab
bagi kelompok ini hadis harus dipahami melalui pendapat-pendapat para ulama melalui
beberapa kitab yang mu’tabarah dari kalangan empat madzhab, terutama madzhab
Syafi’i. Kelompok ini adalah dominan dalam NU, sehingga tidak aneh jika dari
458 masalah dalam bahtsul masail dari Tahun 1926 hingga 2004, hanya ditemukan
75 masalah yang di dalamnya terdapat keterangan hadis -hadis Nabi.
Kedua: Kelompok yang menekankan metode manhajiy yaitu bermazhab dengan mengikuti jalan
pikiran dan kaidah penetapan hukum yang telah disusun oleh Imam mazhab.[23] Kelompok ini adalah kelompok yang
memiliki background pendidikan dari Pondok Pesantren dan melanjutkan pendidikan
di Perguruan Tinggi Islam baik di Indonesia maupun di Barat, kelompok ini
adalah kelompok moderat dan cenderung liberal karena mendudukkan hadis
sebagaimana fungsinya, yakni sebagai sumber kedua bagi ajaran Islam.
(2) Metode pemahaman hadis yang digunakan NU
adalah metode muqarin, metode ini yang paling banyak ditempuh NU dalam memahami
suatu hadis, yakni berjumlah 41 kali, sedangkan metode ijmali menempati urutan
kedua dengan total jumlah 20 kali. Adapun untuk metode tahlili menempati ututan
terakhir dengan jumlah total 13 kali. Metode muqarin yang ditempuh NU dalam
memahami suatu hadis Nabi tidak hanya sekedar mencocokkan satu dua kasus dalam
beberapa kitab syarah, atau sekedar تنظیر المسائل
بنظائرھا (menyamakan
suatu masalah dengan masalah lain yang mirip), melainkan suatu bentuk ijtihad
meskipun bersifat muqayyad (terbatas) dan telah melalui proses berfikir manhajiy
yang panjang dan “njlimet”.
Metode muqarin yang digunakan NU dalam memahami
hadis Nabi dapat dipetakan menjadi dua model, yakni:
a)
Metode muqarin dengan cara membandingkan hadis
Nabi dengan hadis nabi, beberapa kitab syarah, kitab fikih, atau kitab-kitab
mu’tabarah lainnya.
b)
Metode membandingkan hadis berdasarkan petunjuk
ayat-ayat al-Qur'an, pendapat sahabat, pendapat para ulama, dan membandingkan
dengan hasil muktamar sebelumnya. Adapun pendekatan yang digunakan NU adalah
pendekatan tekstualis .
Dari 75 hadis hanya dua hadis yang dipahami
dengan pendekatan kontekstual, yakni: pertama, hadis tentang Hukum Islam berupa
Penyuapan dalam penerimaan PNS. Kedua, hadis tentang Isu-isu Aktual berupa
Memperkerjakan Wanita pada Malam Hari di Luar Rumah. Dalam muktamar ke -29
Tahun 1994 di Cipasung Tasikmalaya.
(3) Terdapat tiga tipologi pemikiran dan
pemahaman NU terhadap hadis Nabi dalam bahtsul masail 1926-2004. Pertama:
tipologi pemikiran tradisionalis, mereka adalah para elite - struktural NU yang
ditengarai berpikiran konservatif-radikal dan memiliki background pendidikan
pesantren salaf . Karakteristik kelompok ini adalah masih teranamnya idiom - idiom
pemikiran skripturalistik, tesktualistik, dan formalistik dan mendominasi dalam
tradisi bahsul masail NU. Kedua: pemikiran modernis, mereka adalah yang
menempuh pendidikan dari Pondok Pesantren kemudian melanjutkan pendidikan pada
Perguruan Tinggi Islam di Indonesia dan sebagian ada yang meneruskan pendidikan
pada Perguruan Tinggi Islam di Timur Tengah. Tipologi pemikiran modernis dalam
NU ini memiliki pemahaman pembacaan yang kontekstual terhadap teks-teks
keagamaan. Namun dalam bahtsul masail pembacaan kontekstual mereka ini hanya
terbatas pada kitab kuning dan belum menyentuh pada pemahaman yang kontekstual
atas teks al -Qur'an dan hadis. Ketiga: pemikiran liberalis, mereka
adalah yang menempuh pendidikan dari Pondok Pesantren, di Perguruan Tinggi
Islam di Indonesia, kemudian melanjutkan pendidikan di negara Barat . Kelompok
ini mencoba menghidupkan kembali pemikiran dan pemahaman atas teks keagamaan
(didalamnya termasuk pemahaman atas teks hadis Nabi) secara non-literal,
substansial, dan kontekstual. Namun, usaha mereka menemui jalan buntu karena
kuatnya hegemoni kaum tradisionalis.[24]
Kriteria Hadis dalam Bahtsul Masail dan penerimaannya atas Hadis Dhaif
dengan melihat metode dalam Lajnah Bahtsul Masail diatas, terlihat bahwa NU
dalam menggunakan hadis Nabi SAW tidaklah memiliki kriteria tertentu tentang
hadis yang dijadikan sebagai hujjah atau tidak. Namun, yang jelas berbeda
dengan organisasi pembaharu semisal Muhammadiyah dan yang lainnya dengan jargon
‘Back to Quran and Hadis’ tentunya akan memiliki kriteria-kriteria hadis
tersendiri dalam penetapan hadis yang bisa dijadikan hujjah dan atau tidak.
Kemudian, lebih dari itu literatur yang membahas secara spesifik mengenai
hadis-hadis yang bisa diterima dalam NU secara umumnya masih sangat terbatas
namun secara umum dalam amaliah dan istinbatnya, NU masih mentolerir hadis yang
berstatus dhaif meskipun dengan adanya beberapa
persyaratan dengan catatan hadis ini dipakai hanya dalam lingkup Fadhail
Amal. Kendati demikian, hadis dhaif juga kerap diterima dalam Lajnah Bahtsul
Masail. Karena ketika NU menerima keberadaan Hadis Dhaif, ia berpandangan bahwa
selemah-lemahnya Hadis Dhaif masih baik dibandingkan dengan ra’yu.
Contoh Pemahaman Hadis dalam Bahtsul
Masail Nahdlatul Ulama
1.
Dalam hasil muktamar NU yang pertama yang diselenggarakan di Surabaya pada
13 Rabiul Tsani 1345 H/21 Oktober 1926 M, sebuah pertanyaan yang menyinggung
mengenai hukum-hukum mengikuti ulama yang empat dan yang lainnya atau yang
disebut bermazhab. Hal ini merupakan satu permasalahan yang sangat fundamental
karena menyangkut cara dan manhaj kaum NU dalam beragama. Kemudian dalam
menanggapi hal ini para ulama dan Intelektualnya menjawab ‘wajib’. Dalam
memaparkan jawaban seperti ini, sebagaimana yang telah dijelaskan diatas bahwa
NU mengambil referensi dari berbagai kitab kuning yang telah diuraikan
didalamnya dan berdasarkan teks hadis Rasulullah SAW.
حدثنا العباس بن عثمان
الدمشقي: حدثنا الوليد بن مسلم: حدثنا معان بن رفاعة السلامي: حدثني أبو خلف الأعمي
قال: سمعت أنس بن مالك يقول: سمعت رسول الله صلى الله عليه وسلم يقول: (إن امتي لا
تجتمع علي ضلالة. فإذا رأيتم إختلافا, فعليكم بالسواد الأعظم
“Al-Abbas
bin Usman al-Dimasqi menyampaikan kepada kami dari al-Walid bin Muslim, dari
Mu’an bin Rifa’ah as-Salami, dari Abu Khalaf al-A’ma bahwa Anas bin Malik
berkata, Aku pernah mendengar Rasulullah
SAW bersabda: ‘Sesungguhnya umatku tidak akan berkumpul dalam kesesatan.
Apabila kalian melihat perselisihan, hendaklah kalian memegang (pendapat)
kebanyakan orang.[25]
Teks hadis diatas merupakan bagian dari jawaban dalam muktamar pertama yang diambil secara langsung dari kitab al-Mizan
al-Sya’roni fatawi Kubro dan Nihayat usul, dengan ini pemahaman yang diambil
dari hadis diatas adalah untuk mendapatkan pemahaman Islam yang jauh dari
eksklusif-fundamentalis yang akan membawa kepada kesesatan adalah dengan
mengikuti pendapat mayoritas (mazhab).
Mengenai keadaan hadis diatas, mayoritas ulama menilai sebagai hadis dhaif,
berangkat dari dua perawinya yang memang memiliki kecacatan dan dinilai cacat
yakni Abu Khalf al-A’ma dinilai beberapa ulama diantaranya Yahya bin Ma’in
dengan ungkapan ‘kadzdzab’ sementara Abu Khatim al-Razi menilainya dengan
ungkapan ‘Munkar al-ahadis laisa bi al-qawi’, sedangkan al-Dzahabi dengan
ungkapan ‘Layyin’. Yang kedua penilaian kepada Mu’an bin Rifa’ah as-Salami,
antaranya al-Dzahabi menilainya dengan ungkapan ‘dhaif’.[26]
Begitu juga mengenai kuantitasnya hadis diatas hanya diriwayatkan oleh seorang
sahabat yakni Anas bin Malik, termasuk hadis kategori Ahad gharib. Dengan ini
hadis yang menjadi dasar NU dalam hukum bermazhab adalah dengan hadis
dhaif-ahad gharib.
2. Dalam muktamar ke-5 jawaban
masalah tentang sampainya sodaqoh keluarga orang yang sudah meninggal.
حدثنا محمد بن عبد الرحيم: أخبرنا روح بن عبادة: حدثنا
زكريا بن إسحاق قال: حدثنى عمرو بن دينار عن عكرمة, عن ابن عباس رضي الله عنهما: أن
رجلا قال لرسول الله صلى الله عليه وسلم إن أمه توفيت, أينفعها أن تصدقت عنها؟ قال:
((نعم)), قال: فإن لي مخرافا فأنا أشهدك إني قد تصدقت به عنها
“Muhammad bin Abdurrahim
menyampaikan kepada kami dari Rauh bin Ubadah yang mengabarkan dari Zakaria bin
Ishaq, dari Amru bin Dinar yang menyampaikan dari Ikrimah, dari Ibnu Abbas
bahwa ada seorang laki-laki yang menyampaikan kepada Rasulullah SAW bahwa ibunya
telah meninggal. Dia berkata, “Adakah manfaat baginya (ibuku), bila aku
bersedekah atas namanya?” Beliau bersabda, ‘Ya’. Laki-laki itu berkata, “Sungguh,
aku mempunyai kebun yang berbuah, dan aku bersaksi kepadamu bahwa aku
sedekahkan kebun itu atas nama ibuku.”[27]
Singkatnya, dalam memahami dan menjawab persoalan tentang sampainya pahala
sodaqoh kepada mayit ulama NU juga mengambil hadis yang diriwayatkan Imam
Bukhari yang kualitasnya tidak perlu dipertanyakan lagi.
Keputusan diatas dikategorikan sebagai keputusan yang didasarkan pada metode manhajiy karena langsung merujuk kepada hadis yang merupakan dalil yang dipergunakan oleh keempat Imam mazhab setelah al-Quran. Dengan melihat metode penyelesaian masalah dalam Lajnah Bahtsul Masail diatas dapat disimpulkan dalam menyelesaikan persoalan umat, NU dapat dikatakan tidak enggan memakai hadis, kendati memakai suatu hadis namun Nahdiyyin tidak serta merta langsung merujuk kepada teks hadis melainkan memahaminya dengan mereferens kembali kepada pemahaman Imam yang empat terhadap hadis tersebut (kitab al-Mu’tabarah).
BACA ARTIKEL LAINNYA YANG BERKAITAN:
- KARAKTERISTIK HADIS-HADIS PADA PERIODE MAKKIYAH DAN MADANIYAH
- PEMIKIRAN A. HASSAN (PERSIS)
- PEMIKIRAN MUHAMMADIYAH TENTANG HADIST
- PEMIKIRAN SYUHUDI ISMAIL DALAM KAJIAN ILMU HADIST
- PEMIKIRAN NAHDHATUL ULAMA (NU) TENTANG HADIST
- HADIS MENURUT PANDANGAN DARUL AL-HADITH (LDII)
- AL-SYAUKANI DAN PEMIKIRANNYA DALAM KAJIAN HADIS
- HERMENEUTIKA IBN ‘ARABI
- MEMAHAMI HADIS DENGAN PENDEKATAN HISTORIS, SOSIOLOGIS DAN ANTROPOLOGIS
- HADIS TENTANG ZAKAT HARTA KARUN (RIKAZ)
- KEHUJJAHAN HADIS AHAD MENURUT PENGINGKAR SUNNAH
BAB III
PENUTUP
Kesimpulan
Berdasarkan pembahasan mengenai NU
diperoleh kesimpulan antara lain :
1. Nahdlatul
Ulama (Kebangkitan Ulama) Didirikan pada 16 Rajab
1344 H (31 Januari 1926). Organisasi ini dipimpin oleh KH. Hasyim
Asy'ari sebagai Rais Akbar.
2. Proses lahirnya organisasi ini dikarenakan para ulama pesantren sangat tidak menerima kebijakan Raja Ibnu Saud yang anti kebebasan bermadzhab, anti
Maulid Nabi, anti ziarah makam, dan lain sebagainya.
3. NU
menganut paham Ahlussunah
waljama'ah yang mengambil jalan tengah antara
ekstrem aqli (rasionalis) dengan kaum ekstrem naqli (skripturalis). Karena itu
sumber hukum Islam bagi NU tidak hanya al-Qur'an dan sunnah, tetapi juga
menggunakan kemampuan akal ditambah dengan realitas empirik. Dalam bidang teologi/Tauhid dirujuk
dari Abu al-Hasan
al-Asy'ari dan Abu Mansur Al
Maturidi. Dalam bidang fiqih mengikuti 4 mazhab: Imam Syafi'i, Imam Hanafi, Imam Maliki, dan Imam Hanbali. Dalam bidang tasawuf, mengembangkan
metode Al-Ghazali dan Syeikh Juneid
al-Bagdadi, yang mengintegrasikan antara
tasawuf dengan syariat.
4. Paham keagamaan yang dianut NU
tersimpul dalam sebuah kaidah المحافظة علي القديم
الصالح والأخذ بالجديد الأصلح
5. *Bahtsul masail dari Tahun 1926 hingga 2004
terdapat 458 masalah yang menjadi pembahasan. Dari sebanyak masalah itu,
penggunaan hadis oleh NU dalam bahtsul masail hanya terdapat 75 hadis. Dalam
aplikasinya menggunakan metode qauliy, ilhaqiy dan manhajiy.
*Metode pemahaman hadis yang digunakan NU adalah metode
muqarin, metode ijmali dan metode tahlili.
*Tiga tipologi pemikiran dan pemahaman
NU terhadap hadis Nabi dalam bahtsul masail 1926-2004 adalah tipologi pemikiran
tradisionalis, pemikiran modernis, pemikiran liberalis.
6. Kriteria Hadis dalam Bahtsul Masail dan penerimaannya atas Hadis Dhaif dengan melihat metode dalam Lajnah Bahtsul Masail diatas, terlihat bahwa NU dalam menggunakan hadis Nabi SAW tidaklah memiliki kriteria tertentu tentang hadis yang dijadikan sebagai hujjah atau tidak karena ia berpandangan bahwa selemah-lemahnya Hadis Dhaif masih baik dibandingkan dengan ra’yu.
DAFTAR PUSTAKA
Adib, Shohibul. Pemahaman Hadis Dalam Tradisi Nahdlatul Ulama (Telaah Tentang Hasil Bahstul Masa’il 1926-2004)
Anam, Choirul. Pertumbuhan dan Perkembangan NU. tt: PT. Duta Aksara Mulia, 2010
Burhan, Umar. Hari-hari Sekitar Lahir NU. Jakarta: Aula, 1981
Dhofier, Zamakhsyari. Tradisi Pesantren , Studi Tentang Pandangan Hidup Kiyai. Jakarta: LP3ES, 1984
Fatah, Munawwir Abdul. Tradisi Orang-orang NU. cet III Yogyakarta: Pustaka Pesantren LKIS, t.th
Feillard, Andree. NU Vis a Vis Negara. Yogyakarta: L’ Harmattan Archipel, 1999
Masyhuri, Aziz. Masalah Keagamaan Hasil Mu’tamar NU. Surabaya: Dinamika Press, 1977
Muzadi, Abdul Muchit. Mengenal Nahdlatul Ulama. cet IV. Surabaya: Khalista, 2004
Rah}ma>n (al), Yu>suf ibn ‘Abd Tahzhi> b al-Kama>l fi Asama>’ al-Rija>l, juz. 33. Beirut: Mu’assah al-Risa>lah, 1980.
Sodik, Muhammad. Dinamika Kepemimpinan NU. Surabaya: Lajnah Ta’lif wa Nasyr, 2004
Subhan, Soeleiman Fadeli dan Muhammad. Antologi NU Sejarah Istilah Amaliah Uswah. Surabaya: Khalista, 2008
Thahhan (al), Mahmud. terj. Imam Ghozali Sa’id, Metodologi Kitab Kuning Melacak Sumber, Menelusuri Sanad dan Menilai Hadis. Surabaya : Dian Tama, thn 2007.
Zahro, Ahmad. Tradisi Intelektual NU Lajnah Bahtsul Masa’il 1926-1999. Yogyakarta: LKIS Yogyakarta, 2004
[1] Muhammad Sodik, Dinamika Kepemimpinan NU
(Surabaya: Lajnah Ta’lif wa Nasyr, 2004), 40.
[2] Umar Burhan, Hari-hari Sekitar Lahir NU
(Jakarta: Aula, 1981), 21.
[3]Pesantren adalah sejenis sekolah tingkat dasar
dan menengah yang disertai asrama dimana para murid, santri, mempelajari
kitab-kitab keagamaan di bawah bimbingan seorang guru, kiyai. Tidak dapat
diketahui secara pasti sudah berapa lama lembaga pendidikan islam tradisional
ini hadir di Jawa.
[4]Soeleiman Fadeli dan Muhammad Subhan, Antologi
NU Sejarah Istilah Amaliah Uswah, (Surabaya: Khalista, 2008), 1-2.
[5]Choirul Anam, Pertumbuhan dan Perkembangan
NU, (tt: PT. Duta Aksara Mulia, 2010), 18.
[6]Ibid
[7]Soeleiman Fadeli dan Muhammad Subhan, Antologi
NU Sejarah Istilah Amaliah Uswah, 2.
[8] Ahmad Zahro, Tradisi Intelektual NU Lajnah
Bahtsul Masa’il 1926-1999 (Yogyakarta: LKIS Yogyakarta, 2004), 19.
[9] Abdul Muchit Muzadi, Mengenal Nahdlatul
Ulama cet IV (Surabaya: Khalista, 2004), 25-26.
[10] Ahmad Zahro, Tradisi Intelektual
NU…, 20.
[11] Ibid, 21.
[12] Mengenai ayat al-Quran memang
sebagiannya banyak yang membicarakan kembali masa umat terdahulu seperti kisah-kisah
Nabi Yunus dan ummatnya, kisah Nabi Musa dan ummatnya, kisah Fir’aun dsbg.
Kisah-kisah ini dapat dilacak dari berbagai surat seperti al-Anbiya, QS Yunus,
QS Yusuf, dsbg.
[13]Ahmad Zahro, Tradisi Intelektual NU…, 22.
[14] Andree Feillard, NU Vis a Vis Negara (Yogyakarta: L’ Harmattan Archipel, 1999),
7.
[15] Abdul Muchit Muzadi, Mengenal
Nahdlatul Ulama cet IV ((Surabaya: Khalista, 2006), 23-24.
[16] Ibid
[17] Ahmad Zahro, Tradisi Intelektual
NU…, 115.
[18]Zamakhsyari Dhofier, Tradisi Pesantren ,
Studi Tentang Pandangan Hidup Kiyai (Jakarta: LP3ES, 1984), 149-153.
[19] Ahmad Zahro, Tradisi Intelektual
NU …, 115.
[20] Ibid, 116.
[21]Ahmad Zahro, Tradisi Intelektual NU …,
117.
[22]Mahmud at-Thahhan, terj. Imam Ghozali Sa’id, Metodologi Kitab Kuning Melacak Sumber, Menelusuri Sanad dan Menilai Hadis (Surabaya : Dian Tama, thn 2007),11.
[23] Aziz Masyhuri,
Masalah Keagamaan Hasil Mu’tamar NU (Surabaya: Dinamika Press,
1977), 364.
[24]Shohibul Adib, Pemahaman
Hadis Dalam Tradisi Nahdlatul Ulama (Telaah Tentang Hasil Bahstul Masa’il
1926-2004, 78.
[25] Sullam al-Ushul Syarh Nihayat al-usul juz IV..lihat
juga Munawwir abdul Fattah, Tradisi Orang-orang NU cet III (Yogyakarta: Pustaka
Pesantren LKIS, t.th), 22. Teks hadis lihat Sunan Ibnu Majah Kitab al-Fitan bab
al-Suwad al-a’dzam no: 3950
[26] Yusuf ibn ‘Abd al-Rah}man, Tahzhi b al-Kamal fi Asama’ al-Rijal, juz.
33 (Beirut: Mu’assah al-Risalah, 1980), 286.
[27] Muhammad bin Ismail al-Bukhari, Shahih al-Bukhari,
Bab Dibolehkan Mewakafkan atau Menyedekahkan Tanah tanpa Menjelaskan Batasnya,
no: 2770 . Aziz Masyhuri, Masalah keagamaan.., 70.