BAB
I
PENDAHULUAN
A.
LATAR
BELAKANG MASALAH
Studi
hadith termasuk salah satu keajian keislaman yang sangat penting dan sekaligus
menantang, karna kedudukannya sebagai salah satu sumber ajaran islam setelah
al-Qur’an. Pemahaman terhadap al-Qur’an terbuka luas, tanpa harus hawatir akan
otoritas al-Qur’an sebagai pedoman utama umat islam. Beda halnya dengan hadith
ulama lebih cendrung untuk mengendalikan diri dalam melakukan kajian ulang dan
pengembangan pemahaman atau pemikiran terhadapa hadith. Padalal itu semua
dibutuhkan agar pemahaman hadith tetap relevan dengan perkembangan zaman.
Keengganan
ulam dalam mengkaji ulang dan pengembangan pemahaman antara lain disebabkan
kerena obyek studi yang sangat kompleks dan rumit. Hal ini tidak hanya terkait
dengan sejarah hadith yang masih banyak diselimuti mesteri dan kontroversi,
tapi juga menyangkut bidang kajian atau cabang ilmu hadith yang sangat banayak.
Hingga minim ulama yang benar-benar ahli dalam bidang ini.
Di
indonesia ada beberapa tokoh yang aktif dan mumpuni dalam bidang hadith di
antaranya shuhudi ismail, beliau adalah diantara sekian ilmuan yang mampu untuk
memperjelas akan kerumitan kajian ilmu hadith lewat tulisannya, Sesuai dengan
ungkapan beliau dalam bukunya metodologi penelitian Hadith Nabi yaitu dalam
penulisan bukunya Syuhudi menghindari “keruwetan” yang menjadi salah satu ciri
khusus ilmu Hadith.
B.
RUMUSAN
MASALAH
1.
Siapakah
Syhudi Ismail ?
2.
Bagaimana
pemikiran Syhuhudi Ismail tentang hadith ?
BAB
II
PEMBAHASAN
A.
Biografi.
Syuhudi
Ismail dilahirkan pada tanggal 23 April 1943 di Rowo Kangkung, Lumajang, Jawa
Timur. Syuhudi Ismail merupakan putra keempat dari pasangan H. Ismail bin
Misrin bin Soemaharjo (W. 1994 M) dan Sufiyatun binti M. Ja‘far (W. 1993).[1]
B.
Pendidikan
dan prestasi;
-
Lulus
sekolah rakyat negeri di Sidorejo, Lumajang, Jawa timur (1955).
-
Pendidikan
kependidikan guru agama islam (PGAN) 4 tahun di malang (lulus 1959).
-
Pendidikan
Hakim Islam Negeri (PHIN) di Yogyakarta (lulus 1961) Fakultas Shari’ah, Institut
Agama Islam Negeri (IAIN) Sunan Kalijaga Yogyakarta cabang Makassar (kemudian
menjadi IAIN Aluddin” Ujungpandang (lulus 1973) dan program studi S2 pada
fakultas pasca sarjana IAIN “ Sharif Hudayatullah” jakarta (lulus 1985).[2]
-
Staf
IAIN Aluddin Ujungpandang yang berhasil menyelesaikan program doktornya di Fakultas
Pasca Sarjana IAIN Sharif Hidayatullah Jakarta,
dengan Takhassus ilmu Hadis. Dan merupakan peraih gelar doktor ilmu Hadis
pertama yang dihasilkan oleh IAIN di Indonesia.
-
Mampu
menyelesaikan program studinya dengan waktu singkat (empat tahun untuk program S2
dan S3).
-
Memperoleh
yudisium amat baik dalam ujian promosi doktornya dan memperoleh piagam sebagai
doktor terbaik dari rektor dalam acara wisuda sarjana IAIN Sharif Hidatullah
Jakarta.
-
Merupakan
doktor pertama yang memperoleh dua predikat kehormatan akademik sekaligus,
sepanjang IAIN Sharif Hidyatullah Jakarta melaksanakan program doktor, baik
program bebas maupun program pendidikan fakultas Sarjana.[3]
C.
Organisasi.
Syuhudi
Ismail juga aktif di berbagai organisasi. Ketika menjadi mahasiswa IAIN
Yogyakarta cabang Makasar, beliau tergabung dalam Serikat Mahasiswa Muslim
Indonesia (SEMMI), sebuah organisasi kemahasiswaan di bawah naungan Partai
Serikat Islam Indonesia (PSII). Pengalamannya ini membuat beliau dipercaya
sebagai Ketua Pemuda Muslim Indonesia wilayah Sulawesi Selatan (1970-1973) dan
menjadi anggota DPRD termuda tingkat I Sulawesi Selatan (1996-1973).[4]
D.
Jabatan.
Pegawai
pengadilan agama tinggi (mahkamah shari’ah propinsi) di Ujungpandang (1962-1970).
Kepala bagian kemahasiswaan dan alumni IAIN Alauddin Ujungpandang (1973-1978).Sekertaris
kopertai wilayah VIII Sulawesi (1974-1982). Skretaris al-Jami’ah IAIN Alauddin
Ujungpandang (1979-1982). Staf pengajar pada fakultas Shari’ah IAIN Alauddin (1987),
Fakultas Unismuh Makassar di Ujungpandang dan Enrekang (1974-1979), Fakultas
Usuluddin dan Shari’ah, Universitas Muslim Indobesia (UMI) Ujungpandang (1976-1982),
pesantren IMMIM Tamalanrea, Ujungpandang (1973-1978).[5]
E.
Karya
tulis.
Ada
sekitar 164 judul karya ilmiah yang telah beliau hasilkan, baik yang berkaitan
dengan Hadis ataupun karya ilmiyah lainnya. Karya beliau menjadi standar mata
kuliah Hadith seluruh seluruh fakultas agama di indonesia. Diantaranya dalah:
Pengantar
Ilmu Hadith (1987), Kaidah Kesahihan Sanad Hadith:Telaah Kritis dan Tinjauan
dengan Pendekatan Sejarah (1988), Cara Praktis Mencari Hadith (1991), Sunnah
Menurut Para Pembelanya dan Upaya Pelestarian Sunnah oleh Para Pembelanya
(1991), Sunnah Menurut Para Pengingkarnya dan Upaya Pelestarian Sunnah oleh
Para Pembelanya (1991), Metodologi Penelitian Hadith (1992), Hadith Nabi yang
Tekstual dan Kontekstual: Telaah Ma’anil Hadith tentang Ajaran Islam yang
Universal, Temporal, dan Lokal (1994), Hadith Nabi Menurut Pembela, Pengingkar
dan Pemalsunya (1995).[6]
Adapun
penelitian dan karya ilmiah lainnya antara lain: Tempus Delictus dalam Hukum
Pidana Islam‖
(1965), Diktat Ilmu Falak I (1981), Gerhana Matahari Menurut Hisab dan Hadith
Nabi‖
(1982), Menentukan Arah Kiblat dan Waktu Shalat‖
(1987), Penerapan Arah Kiblat pada Bangunan Mesjid‖
(1987), Kebahagian Menurut Aristoteles dan Islam‖,
Sokrates dan Filsafatnya‖, Syah Waliyullah ad-Dahlawi:
Pembaharu Pemikiran Islam di India, dan masih banyak lagi . [7]
Disamping
kesibukannya sebagai pegawai dan pengajar Syuhudi Ismail juga giat dalam
membuat karya-karya tulis dalam bentuk makalah, penelitian , bahan pidato,
artikel, maupun diklat, baik untuk kalangan IAIN Alauddin sendiri, atau untuk
forum ilmiah lainnya. Juga untuk dimuat dalam majalah atau surat kabar yang
terbit di Makassar atau Jakarta. Bahkan ada pula karya tulisnya yang telah
terbit sebagai buku teks. Seperti pengantar Ilmu Hadith dan menentukan arah
kiblat dan waktu salat (keduanya diterbitkan di Bandung, 1987). Kesahihan Sanad
Hadith; telaah kritis dan tinjauan dengan pendekatan ilmu sejarah, yang
merupakan Diseertasi untuk meraih gelar doktor. Banyak pula makalah-makalah
yang telah disusun, baik yang ditulis selama
ia mengikuti studi purna sarjana di Yogyakarta maupun ketika ia mengikuti
program-program S2 dan S3 di Jakarta. Shuhudi Ismail juga turut menyumbangkan
13 judul entri untuk Ensiklopedi Islam (proyek peningkatan prasarana dan sarana
perguruan tinggi agama (IAIN), direktorat jendral pembinaan kelembagaan agama
islam, departemen agama RI, Jakarta, 1978-1988.[8]
F.
Wafat.
Syuhudi
Ismail meninggal pada hari Rabu 19 November 1995, di Rumah Sakit Cipto Mangun
Kusumo Jakarta, pada usia 52 tahun, dan dikebumikan di Bontala Ujungpandang.[9]
G.
PEMIKIRAN
SYUHUDI ISMAIL TENTANG HADITH.
1.
Pemikiran
syuhudi ismail tentang hadith secara umum.
a.
Untuk
definisi hadith Syuhudi lebih condong pada pengertian yang digunakan oleh Ibnu
Subky yaitu, Hadith adalah “segala Sabda dan perbuatan Nabi Muhammad SAW”.[10]
b.
Pendapat
beliau tentang awal permulaan terjadinya Hadis, Shuhudi mengacu pada
berpendapat ulama yang menyatakan bahwa permulaan terjadinya Hadith Nabi adalah
pada masa kenabian (al-Nubuwah) pendapat beliau ini dengan alasan-alasan
sebagai berikut.[11]
1). Perintah Allah kepada orang-orang
yang beriman untuk meneladani dan mentaati Muhammad adalah dalam kedudukan Muhammad
sebagai utusan Allah, yaitu ketika Muhammad dalam masa kenabiannya.
2). Sifat-sifat Muhammad yang tampak
sebelum masa kenabian tidak harus disimpulkan bahwa perintah mengikuti jejaknya
berlaku sejak sebelum masa kenabian. Karna keluhuran pribadi muhammad tetap
berlanjut dan terpelihara pada masa kenabian.
3). Kegiatan Nabi sebelum masa kenabian
ada yang tidak diamalkan lagi pada masa kenabian, sepeti kegiatan menyepi di
gua Hira’ karna tidak petunjuk Nabi untuk di amalkan.
4). Menurut Ibnu Taymiyyah, Berita
tentang diri Nabi banyak termaktub dalam kitab-kitab Sejarah, Tafsir, dan Hadis.
Khususnya pada masa kenabian.
5). Shuhudi menyatakan, dalam proses menyampaikan
dan menerima riwayat (tahammul wa al-ada’), al-ada’ mempunyai
persyaratan yang lebih ketat dengan rincian sebagai berikut:
a). Sharat tahammul: 1. Sehat akal
pikirannya 2. Secara fisik dan mental memungkinkan mampu memahami dengan baik
riwayat yang diterimanya.
b).
Sharat al-ada’ : 1. beragama islam. 2. Baligh, 3. Berakal, 4. Tidak fasik, 5.
Terhindar dari tingkah laku yang mengurangi atau menghilangkan kehormatan (Muru’ah).[12]
2.
Pendapat
Syuhudi Ismail dalam penelitian Hadith Nabi:
a.
Faktor
pentingnya penelitian Hadith.[13]
1). Hadith Nabi sebagai salah satu
sumber ajaran Islam.
2). Tidak seluruh Hadith tertulis pada
zaman Nabi.
3). Munculnya berbagai pemalsuan Hadith.
4). Proses penghimpunan hadith yang
memakan waktu lama.
5). Jumlah kitab Hadis yang banyak dengan
metode penyusunan yang beragam.
6). Telah terjadi periwayatan Hadith secara
makna.
b.
Hadis
yang diteliti adalah Hadis yang bersetatus Ahad, sedang Hadis yang Mutawatir diteliti
untuk membuktikan akan kemutawatirannya.[14] Adapun obyek yang
diteliti adalah 1. Sanad Hadis, 2. Matan Hadis.[15]
3.
Pandangan
beliau tentang kritik Sanad Hadith.
Shuhudi
menampilkan 4 Faktor pentingnya penelitian sanad; 1. Hadith sebagai salah satu
sumber ajaran islam, 2. Hadith tidak seluruhnya tertulis pada zaman nabi, 3.
Munculnya pemalsuan hadith, 4. Proses penghimpunan (tadwin) hadis.
Bagian-bagian
Sanad yang diteliti.[16] 1. nama periwayat yang
terlibat dalam periwayatan Hadis yang bersangkutan, 2. Lambang-lambang
periwayatan hadis yang telah digunakan oleh masing-masing periwayat dalam
meriwayatkan Hadis yang bersangkutan, misal Sami’tu, Akhbarana, an,
dan Anna.
Menurut
beliau kaedah kesahihan Sanad Hadis merupakan salah satu acuan umum yang
mendasar untuk meneliti dan menentukan kualitas suatu Hadis. Dengan demikian
kaidah yang dimaksud perlu ditelaah secara kritis.[17] Dan ditinjau Dengan
pendekatan ilmu sejarah dengan maksud untuk diuji kaidah tersebut dari segi
tingkat akurasinya.[18]
Usaha
telah lakukan yaitu menelaah secara kritis kaidah kesahihan sanad Hadis yang
telah ditetapkan oleh para ulama. Sehingga diketahui, kaidah tersebut masih
relevan atau tidak unsur-unsur yang terdapat dalam kaidah itu bagi penelitian
kesahihan hadis. Salah satu unsur dalam kaidah tersebut adalah kritik sumber,
unsur ini yang dipakai dalam ilmu sejarah. Maka menurut beliau kiranya perlu
juga menempatkan teori-teori “ilmu sejarah” dalam kaidah kesahihan sanad hadith.
Sehingga menjadi salah satu unsur yang menjadi acuan dalam meneliti dan menetukan kualitas hadis. [19]
Menurut
Dikri nirwana yang senada dengan M. Quraish Shihab mengatakan; Dalam
disertasinya Suhudi Ismail telah telah berhasil membuktikan bahwa kaidah
kesahihan sanad hadith yang dipakai oleh mayoritas (Jumhur) ulama haids untuk
meneliti Sahih dan tidak Sahihnya suatu Sanad Hadis memiliki tingkat akurasi
yang tinggi. maka suatu hadith yang sanad-nya sahih, seharusnya matn-nya
juga sahih. Namun pada kenyataannya ada saja hadith yang sanad-nya
sahih, tetapi matn-nya lemah. Hal ini bukanlah disebabkan oleh kaidah
kesahihan sanad yang kurang akurat, tetapi karena ada kemungkinan
faktor-faktor lain.[20]
Menurut
hasil penelitiannya, dalam batas-batas tertentu kaidah kesahihan Sanad Hadis dapat
juga dipakai meneliti sumber sejarah. Demikian pula sebaliknya, dalam batas-batas
tertentu, kritik ekstern dalam ilmu sejarah dapat pula dipakai untuk meneliti Hadis.
Beliau berpendapat, baik kaidah keSahihan Sanad Hadis maupun kritik Ekstern dalam
ilmu sejarah sama-sama memenuhi Sharat sebagai Metode yang ilmiah. Dinyatakan
juga bahwa, penelitian-penelitian dalam ilmu Hadis dan ilmu sejarah sama-sama
menganggap penting kedudukan kritik Matn (kritik Intern) dan
kritik sanad (kritik Eksetrn).[21]
a.
Kaidah
Kesahihan Sanad Hadis.
Definisi
hadith Sahih;
أما الحديث الصحيح فهو الحديث المسند الذي يتصل إسناده بنقل
العدل الضابط عن العدل الضابط إلى منتهاه زلا يكون شاذا ولا معللا.
Hadith sahih adalah hadith yang sambung
sanadnya (sampai kepada nabi) diriwayatkan oleh
periwayat yang adil dan dabit
sampai akhir sanad, didalam hadith tidak terdapat kejanggalan (shuzuz) dan
cacat (‘illat).[22]
Dari
pengertian Hadis Sahih yang telah dikemukakan oleh Ibnu Salah dan diikuti serta
disepakati oleh mayoritas ulama telah mencakup Sanad dan Matn Hadis. Kriteria
yang menyatakan bahwa rangkaian periwayat dalam sanad harus bersambung dan
seluruh periwayatnya harus adil dan dabit adalah kriteria untuk kesahihan
sanad, sedang terhindar dari shuzuz dan ‘illat, selain merupakan merupakan
kriteria untuk kesahihan sanad, juga kriteria untuk kesahihan matn hadis.
Dari
sini Shuhudi menyatakan unsur-unsur kaidah Mayor kesahihan sanad hadith ialah:
“sanad
bersambung, seluruh periwayat dalam
sanad bersifat adil (al-adl),
seluruh periwayat dalam sand berisfat dabit, sanad hadith itu terhindar dari
shuzuz, sanad hadith itu terhindar dari ‘illat”.[23]
b.
Unsur-unsur
kaidah Minor kasahihan sanad hadis, Di sini syuhudi memasukkan unsur-unsur
sejarah guna mengetahui keakuratan kaidah:
1). Sanad bersambung
a). Argumen yang mendasari adalah
sejarah yaitu Tradisi periwayatan hadith pada zaman nabi dan sahabat nabi yang
berlangsung secara al-sama’. Dalam cara ini terjadi hubungan langsung antara
penyampai dan penerima hadith.[24]
b). Petunjuk Nabi kepada sahabatnya,
3659-
حَدَّثَنَا زُهَيْرُ بْنُ حَرْبٍ ، وَعُثْمَانُ بْنُ أَبِي شَيْبَةَ
، قَالاَ : حَدَّثَنَا جَرِيرٌ ، عَنِ الأَعْمَشِ ، عَنْ عَبْدِ اللهِ بْنِ عَبْدِ
اللهِ ، عَنْ سَعِيدِ بْنِ جُبَيْرٍ ، عَنِ ابْنِ عَبَّاسٍ ، قَالَ : قَالَ رَسُولُ
اللهِ صلى الله عليه وسلم : تَسْمَعُونَ وَيُسْمَعُ مِنْكُمْ وَيُسْمَعُ مِمَّنْ سَمِعَ
مِنْكُمْ.
Kalian mendengar hadith dari saya,
kemudian dari kalian hadith itu di dengarkan oleh orang lain dan dari orang
lain tersebut hadith yang bersal dari kalian itu didengar oleh orang lain lagi.[25]
2). Priwayat bersifat ‘Adil.
a). Beragama islam.
b). Bersetatus Mukallaf.
c). Melaksankan ketentuan agama.
d). Memelihara Muru’ah.
e). Seluruh sahabat Nabi dinilai
bersifat ‘adil
3).Priwayat bersifat Dabit
4). Terhindar dari shuzuz.
5). Terhindar dari ‘illat.
c.
Tabel ringkasan unsur-unsur kaidah Mayor dan Minor kasahihan sanad hadith.
PENDAPAT
JUMHUR ULAMA’ |
HASIL
TELAAH SYUHUDI TERHADAP PENDAPAT JUMHUR ULAMA’ |
||
UNSUR
KAIDAH MAYOR |
UNSUR
KAIDAH MINOR |
UNSUR
KAIDAH MAYOR |
UNSUR
KAIDAH MINOR |
I.sanad
bersambung |
1.
muttasil (mausul) 2.
Marfu’ |
I.
sanad bersambung |
1.
muttasil(mausl) 2.
marfu’ 3.
mahfuz{ 4.bukan
mu’all. |
II.Periwayat
bersifat ‘Adil |
pendapat
ulama yang bergam dikompromikan menjadi: |
II.Periwayat
bersifat ‘Adil |
1.beragama
islam 2.
mukallaf 3.Melaksanakan
ketentuan agama islam. 4.memelihara
muru’ah. |
III.periwayat
bersifat dabit. |
1.hafal
dengan baik hadith yang driwayatkan. 2.
mamapu dengan baik menyampaikan hadithbyang dihafalnya kepada orang lain
tanpa kesalahan. |
III.periwayat
bersifat dabit atau dabit tam. |
1.hafal
dengan baik hadith yang dirwayatkan. 2.mamapu
menyampaikan hadith dengan baik hadith yang dihafalnya. 3.terhindar
dari shuzuz. 4.terhindar
dari ‘illat. |
iv.terhindar
dari shuzuz. |
Riwayat
perawi yang siqat tidak bertentangan dengan riwayat para perawi yang siqat
lainnya. |
|
|
v.terhindar
dari ‘illat |
Tidak
terjadi: 1.periwayat
tidak siqat dinilai siqat. 2.sanad
terputus dinilai bersambung |
|
|
Pada tabel terlihat perbedaan unsur-unsur kaidah
hanya terletak pada pengorganisaian saja. Mayoritas ulama menempatkan unsur
terhindar dari shuzuz dan terhindar dari illat pada kaidah mayor, sedang dari
hasil penelaahan, kedua unsur tersebut diletakkan pada kaidah minor. Menurut
analisis syuhudi mayoritas ulama berbuat demikian terdapat dua kemungkinan:
1).
Kedua unsur tersebut memang mandiri, terlepas dari ketiga unsur kaidan mayor
yang disebutkan terdahulu. Syuhudi menduga demikian karna hampir seluruh kitab
yang membahas definisi hadith sahih yang beliau jadikan rujukan, tidak ada yang
menjelaskan status kedua unsur tersebut. Bila dugaan ini benar, maka berarti
ada sanad yang benar-benar bersambung dan diriwayatka oleh perawi yang
benar-benar adil dan dabit(dan atau dabit tam) benar-benar adil dan dabit (dan
atau dabit tam). Ternyata masih bershuzuz atau berillat. Hal ini menurut beliau
tidak akan terjadi karena sebagaimana dibahas, sanad yang bershuzuz dan yang
berillat, penyebab utamanya adalah ada yang karena tidak bersambung sanadnya
atau tidak sempurna ke-dabita-an perawinya.
2).
Kedua unsur itu disebutkan dengan maksud sebagai penekanan (ta’kid) akan
pentingnya pemenuhan kedua unsur dimaksud sebagai sikap
kehati-hatian semata.[26]
4.
Pendangan
beliau tentang kritik Matn Hadis.
a.
Faktor
kesulitan dalam penelitian Matn yaitu;[27]
1). Adanya periwayatan secara makna.
2). Acuan yang digunakan sebagai
pendekatan tidak satu macam (bahasa, rasio, sejarah, dan prinsip-prinsip pokok
ajaran islam.
3). Latar balakng timbulnya petunjuk hadith
tidak selalu mudah dapat diketahui.
4). Adanya kandungan petunjuk hadith
yang berkaitan dengan dimensi supra natural.
5). Langkanya kitab-kitab yang membahas secara khusus penelitian Matn Hadis.[28]
b.
Perlunya
pemahaman Tekstual dan Kontekstual dalam memahami hadis Nabi. [29]
Menurut
Shuhudi Ismail ada keterkaitan antara islam dengan ajarannya yang sempurna sebagai petunjuk untuk semua manusia[30] dengan keberadaan manusia
pada setiap generasi dan tempat memiliki kesamaan, perbedaan dan kekhususan. sedang
Nabi Muhammad diutus oleh Allah untuk semua umat manusia[31] dan rahmat bagi seluruh
alam.[32] Itu berarti, kehadiran Nabi
Muhammad membawa kebijakan dan rahmat bagi semua umat manusia dalam segala
waktu dan tempat. Sedangkan hidup Nabi Muhammad dibatasi oleh waktu dan tempat.
Sehingga dengan semua itu memunculkan pemahaman bahwa ajaran islam ada yang
berlaku tidak terikat oleh waktu dan tempat disamping ada juga ajaran yang
terikat oleh waktu dan tempat tertentu. jadi, menurut beliau dalam islam ada
ajaran yang bersifat umum (Universal), Temporal dan Lokal.[33]
Contoh
hadith Hadith tentang memelihara jenggot.
5893-
حَدَّثَنِي مُحَمَّدٌ ، أَخْبَرَنَا عَبْدَةُ ، أَخْبَرَنَا عُبَيْدُ اللهِ بْنُ
عُمَرَ عَنْ نَافِعٍ ، عَنِ ابْنِ عُمَرَ ، رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمَا ، قَالَ : :
قَالَ رَسُولُ اللهِ صلى الله عليه وسلم : انْهَكُوا الشَّوَارِبَ وَأَعْفُوا
اللِّحَى.
Guntinglah
kumis dan panjangkanlah jenggot.[34]
Hadith di atas oleh sebagian umat islam
dipahami secara tekstual. Mereka berpendapat Nabi menyuruh semua kaum laki-laki
untuk memelihara kumis dengan memangkas ujungnya dan memelihara jenggot dan
memanjangkannya. Mereka memandang bahwa ketentuan itu merupakan salah satu
kesempurnaan dalam mengamalkan ajaran islam.
Secara tekstual hadith, perintah Nabi tersebut
memang relevan dengan orang-orang Arab dan negara-negara lain yang secara alami
dikaruniai rambut yang subur, termasuk kumis dan jenggot. Sedang tingkat
kesuburan rambut orang-orang indonesia tidak sama dengan orang-orang arab.
Banyak orang indonesia yang kumis dan jenggotnya jarang dan bahkan tidak ada
sama sekali.
Atas kenyataan itu, maka hadith diatas tidak
bisa dipahami secara tekstual, akan tetapi hadith tersebut harus dipahami
secara kontekstual yaitu kandungan hadith tersebut bersifat lokal.[35]
Dihubungkan
dengan keberadaan Nabi Muhammad. dalam sejarah, Nabi Muhammad selain dinyatakan
sebagai Rasululah, juga dinyatakan sebagai manusia biasa dengan berbagai
fungsinya. Sehingga Hadis yang merupakan suatu yang berasal dari Nabi mengandung
petunjuk yang pemahaman dan penerapannya perlu dikaitkan dengan peran Nabi tatkala
Hadis itu terjadi.[36]
Contoh
hadith keutamaan Nabi Muhamamd.
335- حَدَّثَنَا مُحَمَّدُ بْنُ سِنَانٍ
قَالَ : حَدَّثَنَا هُشَيْمٌ (ح) قَالَ : وَحَدَّثَنِي سَعِيدُ بْنُ النَّضْرِ
قَالَ : أَخْبَرَنَا هُشَيْمٌ قَالَ : أَخْبَرَنَا سَيَّارٌ قَالَ : حَدَّثَنَا
يَزِيدُ ، هُوَ ابْنُ صُهَيْبٍ الْفَقِيرُ- قَالَ : أَخْبَرَنَا جَابِرُ بْنُ
عَبْدِ اللهِ أَنَّ النَّبِيَّ صلى الله عليه وسلم قَالَ : أُعْطِيتُ خَمْسًا لَمْ
يُعْطَهُنَّ أَحَدٌ قَبْلِي نُصِرْتُ بِالرُّعْبِ مَسِيرَةَ شَهْرٍ وَجُعِلَتْ
لِيَ الأَرْضُ مَسْجِدًا وَطَهُورًا فَأَيُّمَا رَجُلٍ مِنْ أُمَّتِي أَدْرَكَتْهُ
الصَّلاَةُ فَلْيُصَلِّ وَأُحِلَّتْ لِيَ الْمَغَانِمُ وَلَمْ تَحِلَّ لأَحَدٍ
قَبْلِي وَأُعْطِيتُ الشَّفَاعَةَ ، وَكَانَ النَّبِيُّ يُبْعَثُ إِلَى قَوْمِهِ
خَاصَّةً وَبُعِثْتُ إِلَى النَّاسِ عَامَّةً
Saya dikaruniai (oleh Allah) lima macam
hal, yang (kelimanya) belum pernah dikaruniakan kepada selain saya, saya
ditolong (dalam peperangan, sehingga) perasan musuh dalam peperangan menjadi
gentar (menghadapi saya) dalam masa peperangan
yang memakan waktu sekitar sebulan. Bumi
dijadikan tempat salat dan suci bagi saya dan karenanya, siapa saja dari umat
saya yang berada dalam waktu salat maka hendaklah dia salat (dibumi mana saja
dia berada), dihalalkan bagi saya harta rampasan perang, sedang sebelum saya
harta tersebut diharamkan, saya diberi kemamapuan memeberi shafa’at; dan nabi
(sebelum saya) dibangkitkan untuk kaum tertentu, sedang saya dibangkitakan
untuk manusia secara umum. (seluruhnya).[37]
Secara tekstual hadith
tersebut memberi informasi tentang lima keutamaan nabi muhammad dibandigkan
dengan para nabi selum beliau. Pernyataan tersebut universal. Nabi muhammad
tatkala menyampaikan pernyataan tersebut berada dalam fungsi sebagai rasulullah
sebab informasi yang beliau sampaikan tidak mungkin didasarkan atas
pertimbangan rasio, tetapi semata-mata didasarkan atas petunjuk wahyu Allah.
Pertimbangan tersebut tidaklah berarti bahwa dalam fungsi nabi myhammad sebagai
rasulullah, pertimbangan rasio tidak dikenal sama sekali.[38]
Nabi hidup di
tengah-tengah masyarakat sehingga interaksipun terjadi dari dua arah, dengan
demikian terkadang Hadis Nabi terkadang didahului dengan sebab tertentu dan ada
yang tanpa sebab. Terjadi dengan sebab yang bersifat umum dan ada yang bersifat
khusus. Dan Allah SWT. Dalam al-Qur’an membimbing Nabi dalam menyampaikan
perintahnya. Sekiranya Nabi mengalami kekeliruan niscaya Allah segera memberi
petunjuk perbaikannya. Dengan demikian hadis Nabi merupakan bukti kebijaksanaan
nabi dalam menyampaikan ajaran agama Allah. Karena hadis merupakan dari
kebijaksanaan Nabi maka mungkin saja Hadis tertentu yang sanadnya Sahih secara
tekstual tampak bertentangan dengan Hadis lain yang sanadnya juga sahih. Dan
ulama telah memberikan metode penyelesaiannya.[39] Dari uraian yang panjang
tersebut segi-segi yang berkaitan dengan diri Nabi dan suasana yang melatar
belakangi ataupun yang menyebabkan terjadinya Hadis tesebut mempunyai kedudukan
yang penting dalam pemahaman Hadis. Mungkin suatu Hadis tertentu lebih tepat
dipahami secara tekstual bila dihubungkan dengan segi-segi yang berkaitan tetap
meneuntup pemahamn sesuai dengan apa yang tertulis. Dedang Hadis tertentu
lainnya lebih tepat dipahami secara kontekstual bila dibalik teks Hadis ada
petunjuk yang kuat yang mengharuskan yang mengharuskan Hadis yang bersangkutan
dipahami dan diterapkan tidak sebgaimana maknanya yang tersurat.[40]
Contoh Hadith Kewajiban menunaikan zakat
fithrah.
Dalam
sebuah riwayat dinyatakan :
1503- حَدَّثَنَا
يَحْيَى بْنُ مُحَمَّدِ بْنِ السَّكَنِ ، حَدَّثَنَا مُحَمَّدُ بْنُ جَهْضَمٍ ،
حَدَّثَنَا إِسْمَاعِيلُ بْنُ جَعْفَرٍ ، عَنْ عُمَرَ بْنِ نَافِعٍ ، عَنْ أَبِيهِ
، عَنِ ابْنِ عُمَرَ ، رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمَا ، قَالَ : فَرَضَ رَسُولُ اللهِ
صلى الله عليه وسلم زَكَاةَ الْفِطْرِ صَاعًا مِنْ تَمْرٍ ، أَوْ صَاعًا مِنْ
شَعِيرٍ عَلَى الْعَبْدِ وَالْحُرِّ وَالذَّكَرِ وَالأُنْثَى وَالصَّغِيرِ
وَالْكَبِيرِ مِنَ الْمُسْلِمِينَ وَأَمَرَ بِهَا أَنْ تُؤَدَّى قَبْلَ خُرُوجِ
النَّاسِ إِلَى الصَّلاَةِ.
mengeluarkan
zakat fitrah sebanyak satu sa‘ kurma atau gandum atas hamba sahaya, orang Dari
ibnu Umar ra. Dia berkata Rasulullah saw. Telah mewajibkan untuk merdeka,
laki-laki perempuan, anak-anak, dan orang dewasa yang beragama islam, dan
memerintahkan agar zakat fitrah ditunaikan sebelum orang-orang pergi
melaksanakan salat ‘Id al-Fitrih.[41]
Hadith di atas dikemukakan oleh Nabi tanpa
didahului oleh sebab secara khusus. Hadith Nabi tentang kewajiban zakat fitrah
tersebut merupakan penyampaian shariat (bayan tashri‘) yakni penjelasan Nabi
yang dalam al-Qur’an tidak dikemukakan ketentuannya, Yang ada hanya kewajiaban
akan menunaikan zakat.[42] Yang
dapat dilakukan pemahaman secara tekstual terhadap hadith tersebut hanyalah hal
yang berhungan dengan kewajiban membayar zakat fitrah. Dimana kewajiban itu
bersifat universal berlaku kapan saja dan di mana saja. Sedang yang berhubungan
dengan material yang digunakan dalam membayar zakat fitrah harus dengan
pemahaman kontektual, pernyataan yang menyebutkan kurma dan gandum adalah bersifat
lokal. Karna tidak semua daerah terdapat kurma dan gandum. Jadi untuk daerah
yang makanan pokok selain dua jenis bahan makanan tersebut, maka zakat
fitrahnya ditunaikan dengan jenis makan pokok daerah tersebut.[43]
Rasullah menentukan zakat dengan makanan bagitu juga jenisnya, karna memang
ketika itu makan lebih mudah didapatkan dan dibutuhkan pada waktu itu. Dan
sekarang keadaan berubah dimana uang lebih dibutuhkan daripada makan baik untuk
dirinya sendiri ataupun keluarganya, maka dengan memberikan zakat dalam bentuk
uang akan lebih berguna bagi mereka, darisni terliahat jelas bahwa dengan hanya
berpegangan pada tekstual hadith
terkadang kurang dalam mengamalkan ruh dan tujuan dari hadith itu
sendiri.[44]
5.
Berkenaan
dengan hasil penelitian hadith yang telah ada, yang telah dilakukan oleh para
ulama. Shuhudi berpendapat dengan beberapa alasan penelitian ulang tetap akan
memeberikan manfaat, penelitian ulang merupakan salah satu upaya untuk
mengetahui seberapa jauh tingkat akurasi penelitian mereka, juga untuk
menghindari dari penggunaan dalil Hadis yang tidak memenuhi sharat dilihat dari
segi kehujjahan. Dan hal itupun bukan berarti meragukan akan penelitian yang
telah ulama lakukan. Dan kenyataannya hasil penelitian yang dilakukan ulama
masa lalu memiliki tingkat akurasi yang tinggi, bahkan sangat tinggi. Yang
menentukan bukan hanya berkaitan dengan masalah metodologi saja, tetapi juga
masalah kecerdasan dan penguasaan ilmu yang dimiliki oleh peneliti.[45]
- KARAKTERISTIK HADIS-HADIS PADA PERIODE MAKKIYAH DAN MADANIYAH
- PEMIKIRAN A. HASSAN (PERSIS)
- PEMIKIRAN MUHAMMADIYAH TENTANG HADIST
- PEMIKIRAN SYUHUDI ISMAIL DALAM KAJIAN ILMU HADIST
- PEMIKIRAN NAHDHATUL ULAMA (NU) TENTANG HADIST
- HADIS MENURUT PANDANGAN DARUL AL-HADITH (LDII)
- AL-SYAUKANI DAN PEMIKIRANNYA DALAM KAJIAN HADIS
- HERMENEUTIKA IBN ‘ARABI
- MEMAHAMI HADIS DENGAN PENDEKATAN HISTORIS, SOSIOLOGIS DAN ANTROPOLOGIS
- HADIS TENTANG ZAKAT HARTA KARUN (RIKAZ)
- KEHUJJAHAN HADIS AHAD MENURUT PENGINGKAR SUNNAH
BAB
III
PENUTUP
Kesimpulan.
1.
Untuk
definisi hadith Syuhudi lebih condong pada pengertian yang digunakan oleh Ibnu
Subky yaitu, Hadis adalah “segala Sabda dan perbuatan Nabi Muhammad SAW”.
2.
Pendapat
beliau tentang awal permulaan terjadinya Hadis, Shuhudi mengacu pada
berpendapat ulama yang menyatakan bahwa permulaan terjadinya Hadis Nabi adalah
pada masa kenabian (al-Nubuwah).
3.
Shuhudi
menyatakan, dalam proses menyampaikan dan menerima riwayat (tahammul wa
al-ada’), al-ada’ mempunyai persyaratan yang lebih ketat.
4.
Faktor
pentingnya penelitian Hadis:
a.
Hadith
Nabi sebagai salah satu sumber ajaran Islam.
b.
Tidak
seluruh Hadis tertulis pada zaman Nabi.
c.
Munculnya
berbagai pemalsuan Hadis.
d.
Proses
penghimpunan hadith yang memakan waktu lama.
e.
Jumlah
kitab Hadis yang banyak dengan metode penyusunan yang beragam.
f.
Telah
terjadi periwayatan Hadis secara makna.
g. Hadis yang diteliti adalah Hadis yang bersetatus Ahad, sedang Hadis yang Mutawatir diteliti untuk membuktikan akan kemutawatirannya.
h.
Shuhudi
menampilkan 4 Faktor pentingnya penelitian sanad; 1. Hadith sebagai salah satu
sumber ajaran islam, 2. Hadith tidak seluruhnya tertulis pada zaman nabi, 3.
Munculnya pemalsuan hadith, 4. Proses penghimpunan (tadwin) hadis.
5.
Menurut
beliau kaedah kesahihan Sanad Hadis merupakan salah satu acuan umum yang
mendasar untuk meneliti dan menentukan kualitas suatu Hadis. Sehingga perlu
ditelaah secara kritis dengan maksud untuk diuji kaidah tersebut dari segi
tingkat akurasinya.
6.
Kata-kata
terhindar dari shuzuz dan terhindar dari illat berstatus sebagai unsur kaidah
minor. Kedua unsur kaidah minor itu muncul dalam lafal definisi dengan tujuan
untuk penekanan semata.
Dalam memahami Matn hadis, ada beberapa
hal yang perlu diperhatikan:
a. Pemahaman hadith meliputi dua jenis,
yakni secara tekstual dan kontekstual. Sebuah hadith dipahami secara tekstual
jika setelah dihubungkan dengan aspek-aspek yang berhubungan dengan hadith, hadith
tersebut tetap menuntut untuk dipahami secara tekstual. Sedangkan sebuah hadith
harus dimaknai secara kontekstual apabila ada indikasi kuat dibalik teks yang
menuntut pemahaman secara kontekstual.
b.
Secara
garis besar hermeneutika hadis Syuhudi Ismail meliputi sisi kebahasaan hadith
dengan melihat bentuk redaksi matan dan dari sisi historis dengan mengaitkan
peran Nabi SAW ketika menyampaikan hadith dan menelusuri latar belakang
terjadinya hadith. Ketika memahami hadith yang tidak mempunyai asbab
al-wurud khusus, Syuhudi Ismail sepertinya mempertimbangkan situasi dan
kondisi masyarakat secara umum atau disebut dengan asbab al-wurud umum.
Dengan kata lain, penting untuk memahami situasi masyarakat Arab pada saat itu.
c.
hadith
yang bersifat temporal maupun lokal perlu dipahami secara kontekstual agar
tetap relevan dengan permasalahan yang muncul belakangan. Meskipun demikian,
banyak juga hadith-hadith yang memuat ajaran yang bersifat universal ketika
dimaknai secara tekstual.
d.
Kontribusi
Syuhudi Ismail adalah mengklasifikasi hadith atau sunnah yang bersifat
universal, temporal, dan lokal. Secara tidak langsung ini menunjukkan bahwa
tidak semua hadith harus diikuti dan dipahami secara tekstual saja.
7.
Terbukanya
pintu ijtihad untuk terus melakukan penelitian dan pengembangan ilmu hadith.
Daftar
pustaka
Al-Quran
dan terjemah depag RI.
Ismail, Syuhudi, Kesahihan Sanad Hadith,
Bandung: Bulan Bintang, 2005, 269
________. Metodologi Penelitian Hadith
Nabi. Jakarta: Bulan Bintang, 1992
________.
Hadith Nabi yang Tekstual dan Kontekstual. Jakarta: Bulan Bintang, 1994.
Muhammad
b, Ismail Al-Bukhari, Sahih Bukhari, Beirut: Dar al-Kutub al-Ilmiyah,2008.
Naisabur (al), Muslim b. al-Hajjaj, Sahih Muslim.
Beirut: Dar al-Kutub al-Ilmiyah, 2008.
Nirwana,
Dzikri, Diskursus Studi Hadith, AL-BANJARI Vol. 13, No. 2, Juli-Desember
2014.
Qardawi(al),
Yusuf. Kaifa Nata’amal ma’a al-Sunnah al-Nabawiyah. Firjiniya: Dar
al-Wafa’, 1990.
Sijistani(al), Abu Daud Sulaiman al-Ash‘ath, Sunan
Abi Daud. Beirut: Dar al-Qutub al-Ilmiyah, 2008).
Sri
Handayana; Pemikiran Hadith Suhudi Ismail, TAJDID, Vol. 16, No.2;
November 2013.
Salah(al),
Ibnu, Usman bin Abdu al-Rahman, Ma’rifat Anwa Ulum al-Hadith, Beirut: Dar
al-Fikr. 1986
Yusuf
al-Qardawi, Kaifa
Nata’amal Ma’a al-Sunnah al-Nabawiyah. Firjiniya: Dar al-Wafa’, 1990.
[1] Sri
Handayana; Pemikiran Hadith Suhudi Ismail, TAJDID, Vol.
16, No.2; November 2013, 226
[2] Syuhudi Ismail, Kesahihan
Sanad Hadith, Bandung: Bulan Bintang, 2005, 269
[3] Syuhudi ismail, Kaidah Kasahihan Sanad Hadith,
xvi-xvii
[4] Sri Handayana;
Pemikiran Hadith Suhudi Ismail, TAJDID, Vol. 16, No.2;
November 2013, 227
[5] Syuhudi Ismail, Kesahihan
Sanad Hadith, Bandung: Bulan Bintang, 2005, 269
[6] Sri Handayana;
Pemikiran Hadith Suhudi Ismail, TAJDID, Vol. 16, No.2;
November 2013, 227
[7] Ibid, 227
[8] Kaidah kesahihan sanad hadith,
269-270
[9] Sri Handayana;
Pemikiran Hadith Suhudi Ismail, TAJDID, Vol. 16,
No.2; November 2013, 228
[10] Kaidah kesahihan sand hadith,
26-29
[11]Ibid., 28
[12] Shuhudi ismail, Kaidah
Kasahihahan Sanad Hadith, 59
[13] Shuhudi ismail, Metodologi
Penelitian Hadith Nabi, 7
[14] Ibid., 29
[15] Ibid., 23
[16] Ibid., 25
[17] Syuhudi ismail, Kaidah
kesahihan sanad hadith, jakarta: bulan bintang, 2005, 8
[18] Suhudi ismail, Pengantar
kaidah kesahihan sand hadith, xvii
[19] Syuhudi ismail, Kaidah
kesahihan sanad hadith, jakarta: bulan bintang, 2005, 8
[20] Dzikri nirwana, diskursus
studi hadith, AL-BANJARI Vol. 13, No. 2, Juli-Desember 2014, 185
[21] Pengantar kaidah
kesahihan sand hadith, xvii
[22] Ibnu salah, Muqadimah
Ibnu Salah,1,11
[23] Suhudi ismail, Kaidah
Kesahihan Sanad Hadith, 130
[24] Unsur sejarah disini
sangat membenatu dalam menguji kaidah persambungan sanad. Didalamnya dijelaskan
keadaan yang ada kala itu.
[25] Sunan abi daud, bab fadlu nashr al-ilmi,
3,321
[26] Kaidah kesahihan sanad hadith,
156-158
[27] Suhudi ismail, Metodologi
Penelitian Hadith Nabi. 28
[28] Beliau menyebutkan
bahwa pendapat berbeda denga al-adabi yang menyebutkan tiga faktor saja. 1.
Kitab-kitab yang membahas kritik matn dan metodenya sangat langka, 2. Pembahsan
matn pada kitab-kitab tertentu termuat diberbagai bab yang bertebaran sehingga
sulit dikaji secara khusus. 3. Adanya kekhawatiran menyatakan sesuatu yang
bukan hadith ternyata hadith dan sebaliknya.
[29] Apabila
diteliti secara cermat, metode pemahaman hadith yang digunakan Syuhudi Ismail
bukanlah sesuatu yang baru dalam kajian ma‘anil hadis\. Pembedaan peran dan
fungsi Nabi sudah pernah dilakukan oleh al-Qarafi yang membedakan peran Nabi
sebagai imam, qadi, atau mufti. Begitu juga dengan penelusuran latar belakang
turunnya hadith juga telah dimulai oleh as-Suyuti. Adapun penyelesaian hadith
mukhtalif juga telah dirumuskan oleh as-Syafi‘i. Sri Handayana;
Pemikiran Hadith Suhudi Ismail, TAJDID, Vol. 16,
No.2; November 2013, 235
[30] Al-qur’an surat
al-maidah:3
[31] Al-qur’an surat
al-sab’:28
[32] Al-qur’an surat
al-anbiya’:107
[33] Suhudi ismail, Hadith
nabi yang tekstual dan kontekstual, 3-6
[34] Sahih
Bukhari, dalam kitab bada’ al-wahyi, 7, 206. Shahih Muslim, 1,222; . Musnad
Ahmad b. Hanbal dalam Musnad
Abdullah bin Umar b. Khattab.2,16, no
4654.
[35] Suhudi Ismail, Hadith Nabi yang Tekstual dan Kontekstual. (Jakarta: Bulan Bintang), 1994. 51-53
[36] Hadith nabi yang
tekstual dan kontekstual, 3-6
[37] Sahih bukhari, 1, 91.
Sahih muslim, 2, 63
[38] Syuhudi, Hadith nabi
yang tekstual dan kontekstual, bandung: bulan bintang, 1994. 34-35.
[39] Masalah ini dikenal
dengan ilmu mukhtalif hadith.
[40] Suhudi Ismail, Hadith Nabi yang Tekstual dan Kontekstual. (Jakarta: Bulan Bintang), 1994, 3-6
[41] Sahih Bukhari. 2,161 no;1503. Sahih
Muslim. 3,68
no; 2325.
[42] Al-Qur’an Surat al-A‘la 14
[43] Suhudi Ismail, Hadith
Nabi yang Tekstual dan
Kontekstual. (Jakarta: Bulan Bintang), 1994. 51-53
[44] Yusuf al-Qardawi, Kaifa Nata’amal Ma’a
al-Sunnah al-Nabawiyah.( Firjiniya: Dar al-Wafa’, 1990),135
[45] Metodologi penelitian hadith
nabi, 29-31