HOME

02 Juni, 2022

PEMIKIRAN SYUHUDI ISMAIL DALAM KAJIAN ILMU HADIST

 


BAB I

PENDAHULUAN

A.    LATAR BELAKANG MASALAH

Studi hadith termasuk salah satu keajian keislaman yang sangat penting dan sekaligus menantang, karna kedudukannya sebagai salah satu sumber ajaran islam setelah al-Qur’an. Pemahaman terhadap al-Qur’an terbuka luas, tanpa harus hawatir akan otoritas al-Qur’an sebagai pedoman utama umat islam. Beda halnya dengan hadith ulama lebih cendrung untuk mengendalikan diri dalam melakukan kajian ulang dan pengembangan pemahaman atau pemikiran terhadapa hadith. Padalal itu semua dibutuhkan agar pemahaman hadith tetap relevan dengan perkembangan zaman.

Keengganan ulam dalam mengkaji ulang dan pengembangan pemahaman antara lain disebabkan kerena obyek studi yang sangat kompleks dan rumit. Hal ini tidak hanya terkait dengan sejarah hadith yang masih banyak diselimuti mesteri dan kontroversi, tapi juga menyangkut bidang kajian atau cabang ilmu hadith yang sangat banayak. Hingga minim ulama yang benar-benar ahli dalam bidang ini.

Di indonesia ada beberapa tokoh yang aktif dan mumpuni dalam bidang hadith di antaranya shuhudi ismail, beliau adalah diantara sekian ilmuan yang mampu untuk memperjelas akan kerumitan kajian ilmu hadith lewat tulisannya, Sesuai dengan ungkapan beliau dalam bukunya metodologi penelitian Hadith Nabi yaitu dalam penulisan bukunya Syuhudi menghindari “keruwetan” yang menjadi salah satu ciri khusus ilmu Hadith.

B.     RUMUSAN MASALAH

1.      Siapakah Syhudi Ismail ?

2.      Bagaimana pemikiran Syhuhudi Ismail tentang hadith ?

BAB II

PEMBAHASAN

A.     Biografi.

Syuhudi Ismail dilahirkan pada tanggal 23 April 1943 di Rowo Kangkung, Lumajang, Jawa Timur. Syuhudi Ismail merupakan putra keempat dari pasangan H. Ismail bin Misrin bin Soemaharjo (W. 1994 M) dan Sufiyatun binti M. Ja‘far (W. 1993).[1]

B.     Pendidikan dan prestasi;

-          Lulus sekolah rakyat negeri di Sidorejo, Lumajang, Jawa timur (1955).

-          Pendidikan kependidikan guru agama islam (PGAN) 4 tahun di malang (lulus 1959).

-          Pendidikan Hakim Islam Negeri (PHIN) di Yogyakarta (lulus 1961) Fakultas Shari’ah, Institut Agama Islam Negeri (IAIN) Sunan Kalijaga Yogyakarta cabang Makassar (kemudian menjadi IAIN Aluddin” Ujungpandang (lulus 1973) dan program studi S2 pada fakultas pasca sarjana IAIN “ Sharif Hudayatullah” jakarta (lulus 1985).[2]

-          Staf IAIN Aluddin Ujungpandang yang berhasil menyelesaikan program doktornya di Fakultas Pasca Sarjana IAIN Sharif Hidayatullah Jakarta,  dengan Takhassus ilmu Hadis. Dan merupakan peraih gelar doktor ilmu Hadis pertama yang dihasilkan oleh IAIN di Indonesia.

-          Mampu menyelesaikan program studinya dengan waktu singkat (empat tahun untuk program S2 dan S3).

-          Memperoleh yudisium amat baik dalam ujian promosi doktornya dan memperoleh piagam sebagai doktor terbaik dari rektor dalam acara wisuda sarjana IAIN Sharif Hidatullah Jakarta.

-          Merupakan doktor pertama yang memperoleh dua predikat kehormatan akademik sekaligus, sepanjang IAIN Sharif Hidyatullah Jakarta melaksanakan program doktor, baik program bebas maupun program pendidikan fakultas Sarjana.[3]

C.     Organisasi.

Syuhudi Ismail juga aktif di berbagai organisasi. Ketika menjadi mahasiswa IAIN Yogyakarta cabang Makasar, beliau tergabung dalam Serikat Mahasiswa Muslim Indonesia (SEMMI), sebuah organisasi kemahasiswaan di bawah naungan Partai Serikat Islam Indonesia (PSII). Pengalamannya ini membuat beliau dipercaya sebagai Ketua Pemuda Muslim Indonesia wilayah Sulawesi Selatan (1970-1973) dan menjadi anggota DPRD termuda tingkat I Sulawesi Selatan (1996-1973).[4]

D.    Jabatan.

Pegawai pengadilan agama tinggi (mahkamah shari’ah propinsi) di Ujungpandang (1962-1970). Kepala bagian kemahasiswaan dan alumni IAIN Alauddin Ujungpandang (1973-1978).Sekertaris kopertai wilayah VIII Sulawesi (1974-1982). Skretaris al-Jami’ah IAIN Alauddin Ujungpandang (1979-1982). Staf pengajar pada fakultas Shari’ah IAIN Alauddin (1987), Fakultas Unismuh Makassar di Ujungpandang dan Enrekang (1974-1979), Fakultas Usuluddin dan Shari’ah, Universitas Muslim Indobesia (UMI) Ujungpandang (1976-1982), pesantren IMMIM Tamalanrea, Ujungpandang (1973-1978).[5]

E.     Karya tulis.

Ada sekitar 164 judul karya ilmiah yang telah beliau hasilkan, baik yang berkaitan dengan Hadis ataupun karya ilmiyah lainnya. Karya beliau menjadi standar mata kuliah Hadith seluruh seluruh fakultas agama di indonesia. Diantaranya dalah:

Pengantar Ilmu Hadith (1987), Kaidah Kesahihan Sanad Hadith:Telaah Kritis dan Tinjauan dengan Pendekatan Sejarah (1988), Cara Praktis Mencari Hadith (1991), Sunnah Menurut Para Pembelanya dan Upaya Pelestarian Sunnah oleh Para Pembelanya (1991), Sunnah Menurut Para Pengingkarnya dan Upaya Pelestarian Sunnah oleh Para Pembelanya (1991), Metodologi Penelitian Hadith (1992), Hadith Nabi yang Tekstual dan Kontekstual: Telaah Ma’anil Hadith tentang Ajaran Islam yang Universal, Temporal, dan Lokal (1994), Hadith Nabi Menurut Pembela, Pengingkar dan Pemalsunya (1995).[6]

Adapun penelitian dan karya ilmiah lainnya antara lain: Tempus Delictus dalam Hukum Pidana Islam (1965), Diktat Ilmu Falak I (1981), Gerhana Matahari Menurut Hisab dan Hadith Nabi (1982), Menentukan Arah Kiblat dan Waktu Shalat (1987), Penerapan Arah Kiblat pada Bangunan Mesjid (1987), Kebahagian Menurut Aristoteles dan Islam, Sokrates dan Filsafatnya, Syah Waliyullah ad-Dahlawi: Pembaharu Pemikiran Islam di India, dan masih banyak lagi . [7]

Disamping kesibukannya sebagai pegawai dan pengajar Syuhudi Ismail juga giat dalam membuat karya-karya tulis dalam bentuk makalah, penelitian , bahan pidato, artikel, maupun diklat, baik untuk kalangan IAIN Alauddin sendiri, atau untuk forum ilmiah lainnya. Juga untuk dimuat dalam majalah atau surat kabar yang terbit di Makassar atau Jakarta. Bahkan ada pula karya tulisnya yang telah terbit sebagai buku teks. Seperti pengantar Ilmu Hadith dan menentukan arah kiblat dan waktu salat (keduanya diterbitkan di Bandung, 1987). Kesahihan Sanad Hadith; telaah kritis dan tinjauan dengan pendekatan ilmu sejarah, yang merupakan Diseertasi untuk meraih gelar doktor. Banyak pula makalah-makalah yang telah disusun, baik yang ditulis  selama ia mengikuti studi purna sarjana di Yogyakarta maupun ketika ia mengikuti program-program S2 dan S3 di Jakarta. Shuhudi Ismail juga turut menyumbangkan 13 judul entri untuk Ensiklopedi Islam (proyek peningkatan prasarana dan sarana perguruan tinggi agama (IAIN), direktorat jendral pembinaan kelembagaan agama islam, departemen agama RI, Jakarta, 1978-1988.[8]

F.      Wafat.

Syuhudi Ismail meninggal pada hari Rabu 19 November 1995, di Rumah Sakit Cipto Mangun Kusumo Jakarta, pada usia 52 tahun, dan dikebumikan di Bontala Ujungpandang.[9]

G.    PEMIKIRAN SYUHUDI ISMAIL TENTANG HADITH.

1.      Pemikiran syuhudi ismail tentang hadith secara umum.

a.       Untuk definisi hadith Syuhudi lebih condong pada pengertian yang digunakan oleh Ibnu Subky yaitu, Hadith adalah “segala Sabda dan perbuatan Nabi Muhammad SAW”.[10]

b.      Pendapat beliau tentang awal permulaan terjadinya Hadis, Shuhudi mengacu pada berpendapat ulama yang menyatakan bahwa permulaan terjadinya Hadith Nabi adalah pada masa kenabian (al-Nubuwah) pendapat beliau ini dengan alasan-alasan sebagai berikut.[11]

1). Perintah Allah kepada orang-orang yang beriman untuk meneladani dan mentaati Muhammad adalah dalam kedudukan Muhammad sebagai utusan Allah, yaitu ketika Muhammad dalam masa kenabiannya.

2). Sifat-sifat Muhammad yang tampak sebelum masa kenabian tidak harus disimpulkan bahwa perintah mengikuti jejaknya berlaku sejak sebelum masa kenabian. Karna keluhuran pribadi muhammad tetap berlanjut dan terpelihara pada masa kenabian.

3). Kegiatan Nabi sebelum masa kenabian ada yang tidak diamalkan lagi pada masa kenabian, sepeti kegiatan menyepi di gua Hira’ karna tidak petunjuk Nabi untuk di amalkan.

4). Menurut Ibnu Taymiyyah, Berita tentang diri Nabi banyak termaktub dalam kitab-kitab Sejarah, Tafsir, dan Hadis. Khususnya pada masa kenabian.

5). Shuhudi menyatakan, dalam proses menyampaikan dan menerima riwayat (tahammul wa al-ada’), al-ada’ mempunyai persyaratan yang lebih ketat dengan rincian sebagai berikut:

a). Sharat tahammul: 1. Sehat akal pikirannya 2. Secara fisik dan mental memungkinkan mampu memahami dengan baik riwayat yang diterimanya.

b). Sharat al-ada’ : 1. beragama islam. 2. Baligh, 3. Berakal, 4. Tidak fasik, 5. Terhindar dari tingkah laku yang mengurangi atau menghilangkan kehormatan (Muru’ah).[12]

2.      Pendapat Syuhudi Ismail dalam penelitian Hadith Nabi:

a.       Faktor pentingnya penelitian Hadith.[13]

1). Hadith Nabi sebagai salah satu sumber ajaran Islam.

2). Tidak seluruh Hadith tertulis pada zaman Nabi.

3). Munculnya berbagai pemalsuan Hadith.

4). Proses penghimpunan hadith yang memakan waktu lama.

5). Jumlah kitab Hadis yang banyak dengan metode penyusunan yang beragam.

6). Telah terjadi periwayatan Hadith secara makna.

b.      Hadis yang diteliti adalah Hadis yang bersetatus Ahad, sedang Hadis yang Mutawatir diteliti untuk membuktikan akan kemutawatirannya.[14] Adapun obyek yang diteliti adalah 1. Sanad Hadis, 2. Matan Hadis.[15]

3.      Pandangan beliau tentang kritik Sanad Hadith.

Shuhudi menampilkan 4 Faktor pentingnya penelitian sanad; 1. Hadith sebagai salah satu sumber ajaran islam, 2. Hadith tidak seluruhnya tertulis pada zaman nabi, 3. Munculnya pemalsuan hadith, 4. Proses penghimpunan (tadwin) hadis.

Bagian-bagian Sanad yang diteliti.[16] 1. nama periwayat yang terlibat dalam periwayatan Hadis yang bersangkutan, 2. Lambang-lambang periwayatan hadis yang telah digunakan oleh masing-masing periwayat dalam meriwayatkan Hadis yang bersangkutan, misal Sami’tu, Akhbarana, an, dan Anna.

Menurut beliau kaedah kesahihan Sanad Hadis merupakan salah satu acuan umum yang mendasar untuk meneliti dan menentukan kualitas suatu Hadis. Dengan demikian kaidah yang dimaksud perlu ditelaah secara kritis.[17] Dan ditinjau Dengan pendekatan ilmu sejarah dengan maksud untuk diuji kaidah tersebut dari segi tingkat akurasinya.[18]

Usaha telah lakukan yaitu menelaah secara kritis kaidah kesahihan sanad Hadis yang telah ditetapkan oleh para ulama. Sehingga diketahui, kaidah tersebut masih relevan atau tidak unsur-unsur yang terdapat dalam kaidah itu bagi penelitian kesahihan hadis. Salah satu unsur dalam kaidah tersebut adalah kritik sumber, unsur ini yang dipakai dalam ilmu sejarah. Maka menurut beliau kiranya perlu juga menempatkan teori-teori “ilmu sejarah” dalam kaidah kesahihan sanad hadith. Sehingga menjadi salah satu unsur yang menjadi acuan dalam meneliti dan  menetukan kualitas hadis. [19]

Menurut Dikri nirwana yang senada dengan M. Quraish Shihab mengatakan; Dalam disertasinya Suhudi Ismail telah telah berhasil membuktikan bahwa kaidah kesahihan sanad hadith yang dipakai oleh mayoritas (Jumhur) ulama haids untuk meneliti Sahih dan tidak Sahihnya suatu Sanad Hadis memiliki tingkat akurasi yang tinggi. maka suatu hadith yang sanad-nya sahih, seharusnya matn-nya juga sahih. Namun pada kenyataannya ada saja hadith yang sanad-nya sahih, tetapi matn-nya lemah. Hal ini bukanlah disebabkan oleh kaidah kesahihan sanad yang kurang akurat, tetapi karena ada kemungkinan faktor-faktor lain.[20]

Menurut hasil penelitiannya, dalam batas-batas tertentu kaidah kesahihan Sanad Hadis dapat juga dipakai meneliti sumber sejarah. Demikian pula sebaliknya, dalam batas-batas tertentu, kritik ekstern dalam ilmu sejarah dapat pula dipakai untuk meneliti Hadis. Beliau berpendapat, baik kaidah keSahihan Sanad Hadis maupun kritik Ekstern dalam ilmu sejarah sama-sama memenuhi Sharat sebagai Metode yang ilmiah. Dinyatakan juga bahwa, penelitian-penelitian dalam ilmu Hadis dan ilmu sejarah sama-sama menganggap penting kedudukan kritik Matn (kritik Intern) dan kritik sanad (kritik Eksetrn).[21]

a.       Kaidah Kesahihan Sanad Hadis.

Definisi hadith Sahih;

أما الحديث الصحيح فهو الحديث المسند الذي يتصل إسناده بنقل العدل الضابط عن العدل الضابط إلى منتهاه زلا يكون شاذا ولا معللا.

Hadith sahih adalah hadith yang sambung sanadnya (sampai kepada nabi) diriwayatkan oleh periwayat yang adil dan dabit sampai akhir sanad, didalam hadith tidak terdapat kejanggalan (shuzuz) dan cacat (‘illat).[22]

Dari pengertian Hadis Sahih yang telah dikemukakan oleh Ibnu Salah dan diikuti serta disepakati oleh mayoritas ulama telah mencakup Sanad dan Matn Hadis. Kriteria yang menyatakan bahwa rangkaian periwayat dalam sanad harus bersambung dan seluruh periwayatnya harus adil dan dabit adalah kriteria untuk kesahihan sanad, sedang terhindar dari shuzuz dan ‘illat, selain merupakan merupakan kriteria untuk kesahihan sanad, juga kriteria untuk kesahihan matn hadis.

Dari sini Shuhudi menyatakan unsur-unsur kaidah Mayor kesahihan sanad hadith ialah:

“sanad bersambung, seluruh periwayat dalam sanad bersifat adil (al-adl), seluruh periwayat dalam sand berisfat dabit, sanad hadith itu terhindar dari shuzuz, sanad hadith itu terhindar dari ‘illat”.[23]

b.      Unsur-unsur kaidah Minor kasahihan sanad hadis, Di sini syuhudi memasukkan unsur-unsur sejarah guna mengetahui keakuratan kaidah:

1). Sanad bersambung

a). Argumen yang mendasari adalah sejarah yaitu Tradisi periwayatan hadith pada zaman nabi dan sahabat nabi yang berlangsung secara al-sama’. Dalam cara ini terjadi hubungan langsung antara penyampai dan penerima hadith.[24]

b). Petunjuk Nabi kepada sahabatnya,

3659- حَدَّثَنَا زُهَيْرُ بْنُ حَرْبٍ ، وَعُثْمَانُ بْنُ أَبِي شَيْبَةَ ، قَالاَ : حَدَّثَنَا جَرِيرٌ ، عَنِ الأَعْمَشِ ، عَنْ عَبْدِ اللهِ بْنِ عَبْدِ اللهِ ، عَنْ سَعِيدِ بْنِ جُبَيْرٍ ، عَنِ ابْنِ عَبَّاسٍ ، قَالَ : قَالَ رَسُولُ اللهِ صلى الله عليه وسلم : تَسْمَعُونَ وَيُسْمَعُ مِنْكُمْ وَيُسْمَعُ مِمَّنْ سَمِعَ مِنْكُمْ.

Kalian mendengar hadith dari saya, kemudian dari kalian hadith itu di dengarkan oleh orang lain dan dari orang lain tersebut hadith yang bersal dari kalian itu didengar oleh orang lain lagi.[25]

2). Priwayat bersifat ‘Adil.

a). Beragama islam.

b). Bersetatus Mukallaf.

c). Melaksankan ketentuan agama.

d). Memelihara Muru’ah.

e). Seluruh sahabat Nabi dinilai bersifat ‘adil

3).Priwayat bersifat Dabit

4). Terhindar dari shuzuz.

5). Terhindar dari ‘illat.

c. Tabel ringkasan unsur-unsur kaidah Mayor dan Minor kasahihan sanad hadith.

PENDAPAT JUMHUR ULAMA’

HASIL TELAAH SYUHUDI TERHADAP PENDAPAT JUMHUR ULAMA’

UNSUR KAIDAH MAYOR

UNSUR KAIDAH MINOR

UNSUR KAIDAH MAYOR

UNSUR KAIDAH MINOR

I.sanad bersambung

1. muttasil (mausul)

2. Marfu’

I. sanad bersambung

1. muttasil(mausl)

2. marfu’

3. mahfuz{

4.bukan mu’all.

II.Periwayat bersifat ‘Adil

pendapat ulama yang bergam dikompromikan menjadi:

II.Periwayat bersifat ‘Adil

1.beragama islam

2. mukallaf

3.Melaksanakan ketentuan agama islam.

4.memelihara muru’ah.

III.periwayat bersifat dabit.

1.hafal dengan baik hadith yang driwayatkan.

2. mamapu dengan baik menyampaikan hadithbyang dihafalnya kepada orang lain tanpa kesalahan.

III.periwayat bersifat dabit atau dabit tam.

1.hafal dengan baik hadith yang dirwayatkan.

2.mamapu menyampaikan hadith dengan baik hadith yang dihafalnya.

3.terhindar dari shuzuz.

4.terhindar dari ‘illat.

iv.terhindar dari shuzuz.

Riwayat perawi yang siqat tidak bertentangan dengan riwayat para perawi yang siqat lainnya.

 

 

v.terhindar dari ‘illat

Tidak terjadi:

1.periwayat tidak siqat dinilai siqat.

2.sanad terputus dinilai bersambung

 

 

 Pada tabel terlihat perbedaan unsur-unsur kaidah hanya terletak pada pengorganisaian saja. Mayoritas ulama menempatkan unsur terhindar dari shuzuz dan terhindar dari illat pada kaidah mayor, sedang dari hasil penelaahan, kedua unsur tersebut diletakkan pada kaidah minor. Menurut analisis syuhudi mayoritas ulama berbuat demikian terdapat dua kemungkinan:

1). Kedua unsur tersebut memang mandiri, terlepas dari ketiga unsur kaidan mayor yang disebutkan terdahulu. Syuhudi menduga demikian karna hampir seluruh kitab yang membahas definisi hadith sahih yang beliau jadikan rujukan, tidak ada yang menjelaskan status kedua unsur tersebut. Bila dugaan ini benar, maka berarti ada sanad yang benar-benar bersambung dan diriwayatka oleh perawi yang benar-benar adil dan dabit(dan atau dabit tam) benar-benar adil dan dabit (dan atau dabit tam). Ternyata masih bershuzuz atau berillat. Hal ini menurut beliau tidak akan terjadi karena sebagaimana dibahas, sanad yang bershuzuz dan yang berillat, penyebab utamanya adalah ada yang karena tidak bersambung sanadnya atau tidak sempurna ke-dabita-an perawinya.

2). Kedua unsur itu disebutkan dengan maksud sebagai penekanan (ta’kid) akan pentingnya pemenuhan kedua unsur dimaksud sebagai sikap kehati-hatian semata.[26]


4.                  Pendangan beliau tentang kritik Matn Hadis.

a.       Faktor kesulitan dalam penelitian Matn yaitu;[27]

1). Adanya periwayatan secara makna.

2). Acuan yang digunakan sebagai pendekatan tidak satu macam (bahasa, rasio, sejarah, dan prinsip-prinsip pokok ajaran islam.

3). Latar balakng timbulnya petunjuk hadith tidak selalu mudah dapat diketahui.

4). Adanya kandungan petunjuk hadith yang berkaitan dengan dimensi supra natural.

5). Langkanya kitab-kitab yang membahas secara khusus penelitian Matn Hadis.[28]

b.      Perlunya pemahaman Tekstual dan Kontekstual dalam memahami hadis Nabi. [29]

Menurut Shuhudi Ismail ada keterkaitan antara islam dengan ajarannya yang  sempurna sebagai petunjuk untuk semua manusia[30] dengan keberadaan manusia pada setiap generasi dan tempat memiliki kesamaan, perbedaan dan kekhususan. sedang Nabi Muhammad diutus oleh Allah untuk semua umat manusia[31] dan rahmat bagi seluruh alam.[32] Itu berarti, kehadiran Nabi Muhammad membawa kebijakan dan rahmat bagi semua umat manusia dalam segala waktu dan tempat. Sedangkan hidup Nabi Muhammad dibatasi oleh waktu dan tempat. Sehingga dengan semua itu memunculkan pemahaman bahwa ajaran islam ada yang berlaku tidak terikat oleh waktu dan tempat disamping ada juga ajaran yang terikat oleh waktu dan tempat tertentu. jadi, menurut beliau dalam islam ada ajaran yang bersifat umum (Universal), Temporal dan Lokal.[33]

Contoh hadith Hadith tentang memelihara jenggot.

5893- حَدَّثَنِي مُحَمَّدٌ ، أَخْبَرَنَا عَبْدَةُ ، أَخْبَرَنَا عُبَيْدُ اللهِ بْنُ عُمَرَ عَنْ نَافِعٍ ، عَنِ ابْنِ عُمَرَ ، رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمَا ، قَالَ : : قَالَ رَسُولُ اللهِ صلى الله عليه وسلم : انْهَكُوا الشَّوَارِبَ وَأَعْفُوا اللِّحَى.

Guntinglah kumis dan panjangkanlah jenggot.[34]

Hadith di atas oleh sebagian umat islam dipahami secara tekstual. Mereka berpendapat Nabi menyuruh semua kaum laki-laki untuk memelihara kumis dengan memangkas ujungnya dan memelihara jenggot dan memanjangkannya. Mereka memandang bahwa ketentuan itu merupakan salah satu kesempurnaan dalam mengamalkan ajaran islam.

Secara tekstual hadith, perintah Nabi tersebut memang relevan dengan orang-orang Arab dan negara-negara lain yang secara alami dikaruniai rambut yang subur, termasuk kumis dan jenggot. Sedang tingkat kesuburan rambut orang-orang indonesia tidak sama dengan orang-orang arab. Banyak orang indonesia yang kumis dan jenggotnya jarang dan bahkan tidak ada sama sekali.

Atas kenyataan itu, maka hadith diatas tidak bisa dipahami secara tekstual, akan tetapi hadith tersebut harus dipahami secara kontekstual yaitu kandungan hadith tersebut bersifat lokal.[35]

Dihubungkan dengan keberadaan Nabi Muhammad. dalam sejarah, Nabi Muhammad selain dinyatakan sebagai Rasululah, juga dinyatakan sebagai manusia biasa dengan berbagai fungsinya. Sehingga Hadis yang merupakan suatu yang berasal dari Nabi mengandung petunjuk yang pemahaman dan penerapannya perlu dikaitkan dengan peran Nabi tatkala Hadis itu terjadi.[36]

Contoh hadith keutamaan Nabi Muhamamd.

335- حَدَّثَنَا مُحَمَّدُ بْنُ سِنَانٍ قَالَ : حَدَّثَنَا هُشَيْمٌ (ح) قَالَ : وَحَدَّثَنِي سَعِيدُ بْنُ النَّضْرِ قَالَ : أَخْبَرَنَا هُشَيْمٌ قَالَ : أَخْبَرَنَا سَيَّارٌ قَالَ : حَدَّثَنَا يَزِيدُ ، هُوَ ابْنُ صُهَيْبٍ الْفَقِيرُ- قَالَ : أَخْبَرَنَا جَابِرُ بْنُ عَبْدِ اللهِ أَنَّ النَّبِيَّ صلى الله عليه وسلم قَالَ : أُعْطِيتُ خَمْسًا لَمْ يُعْطَهُنَّ أَحَدٌ قَبْلِي نُصِرْتُ بِالرُّعْبِ مَسِيرَةَ شَهْرٍ وَجُعِلَتْ لِيَ الأَرْضُ مَسْجِدًا وَطَهُورًا فَأَيُّمَا رَجُلٍ مِنْ أُمَّتِي أَدْرَكَتْهُ الصَّلاَةُ فَلْيُصَلِّ وَأُحِلَّتْ لِيَ الْمَغَانِمُ وَلَمْ تَحِلَّ لأَحَدٍ قَبْلِي وَأُعْطِيتُ الشَّفَاعَةَ ، وَكَانَ النَّبِيُّ يُبْعَثُ إِلَى قَوْمِهِ خَاصَّةً وَبُعِثْتُ إِلَى النَّاسِ عَامَّةً

Saya dikaruniai (oleh Allah) lima macam hal, yang (kelimanya) belum pernah dikaruniakan kepada selain saya, saya ditolong (dalam peperangan, sehingga) perasan musuh dalam peperangan menjadi gentar (menghadapi saya) dalam masa peperangan yang memakan waktu sekitar sebulan. Bumi dijadikan tempat salat dan suci bagi saya dan karenanya, siapa saja dari umat saya yang berada dalam waktu salat maka hendaklah dia salat (dibumi mana saja dia berada), dihalalkan bagi saya harta rampasan perang, sedang sebelum saya harta tersebut diharamkan, saya diberi kemamapuan memeberi shafa’at; dan nabi (sebelum saya) dibangkitkan untuk kaum tertentu, sedang saya dibangkitakan untuk manusia secara umum. (seluruhnya).[37]

 

Secara tekstual hadith tersebut memberi informasi tentang lima keutamaan nabi muhammad dibandigkan dengan para nabi selum beliau. Pernyataan tersebut universal. Nabi muhammad tatkala menyampaikan pernyataan tersebut berada dalam fungsi sebagai rasulullah sebab informasi yang beliau sampaikan tidak mungkin didasarkan atas pertimbangan rasio, tetapi semata-mata didasarkan atas petunjuk wahyu Allah. Pertimbangan tersebut tidaklah berarti bahwa dalam fungsi nabi myhammad sebagai rasulullah, pertimbangan rasio tidak dikenal sama sekali.[38]

Nabi hidup di tengah-tengah masyarakat sehingga interaksipun terjadi dari dua arah, dengan demikian terkadang Hadis Nabi terkadang didahului dengan sebab tertentu dan ada yang tanpa sebab. Terjadi dengan sebab yang bersifat umum dan ada yang bersifat khusus. Dan Allah SWT. Dalam al-Qur’an membimbing Nabi dalam menyampaikan perintahnya. Sekiranya Nabi mengalami kekeliruan niscaya Allah segera memberi petunjuk perbaikannya. Dengan demikian hadis Nabi merupakan bukti kebijaksanaan nabi dalam menyampaikan ajaran agama Allah. Karena hadis merupakan dari kebijaksanaan Nabi maka mungkin saja Hadis tertentu yang sanadnya Sahih secara tekstual tampak bertentangan dengan Hadis lain yang sanadnya juga sahih. Dan ulama telah memberikan metode penyelesaiannya.[39] Dari uraian yang panjang tersebut segi-segi yang berkaitan dengan diri Nabi dan suasana yang melatar belakangi ataupun yang menyebabkan terjadinya Hadis tesebut mempunyai kedudukan yang penting dalam pemahaman Hadis. Mungkin suatu Hadis tertentu lebih tepat dipahami secara tekstual bila dihubungkan dengan segi-segi yang berkaitan tetap meneuntup pemahamn sesuai dengan apa yang tertulis. Dedang Hadis tertentu lainnya lebih tepat dipahami secara kontekstual bila dibalik teks Hadis ada petunjuk yang kuat yang mengharuskan yang mengharuskan Hadis yang bersangkutan dipahami dan diterapkan tidak sebgaimana maknanya yang tersurat.[40]

Contoh Hadith Kewajiban menunaikan zakat fithrah.

Dalam sebuah riwayat dinyatakan :

1503- حَدَّثَنَا يَحْيَى بْنُ مُحَمَّدِ بْنِ السَّكَنِ ، حَدَّثَنَا مُحَمَّدُ بْنُ جَهْضَمٍ ، حَدَّثَنَا إِسْمَاعِيلُ بْنُ جَعْفَرٍ ، عَنْ عُمَرَ بْنِ نَافِعٍ ، عَنْ أَبِيهِ ، عَنِ ابْنِ عُمَرَ ، رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمَا ، قَالَ : فَرَضَ رَسُولُ اللهِ صلى الله عليه وسلم زَكَاةَ الْفِطْرِ صَاعًا مِنْ تَمْرٍ ، أَوْ صَاعًا مِنْ شَعِيرٍ عَلَى الْعَبْدِ وَالْحُرِّ وَالذَّكَرِ وَالأُنْثَى وَالصَّغِيرِ وَالْكَبِيرِ مِنَ الْمُسْلِمِينَ وَأَمَرَ بِهَا أَنْ تُؤَدَّى قَبْلَ خُرُوجِ النَّاسِ إِلَى الصَّلاَةِ.

mengeluarkan zakat fitrah sebanyak satu sa‘ kurma atau gandum atas hamba sahaya, orang Dari ibnu Umar ra. Dia berkata Rasulullah saw. Telah mewajibkan untuk merdeka, laki-laki perempuan, anak-anak, dan orang dewasa yang beragama islam, dan memerintahkan agar zakat fitrah ditunaikan sebelum orang-orang pergi melaksanakan salat ‘Id al-Fitrih.[41]

Hadith di atas dikemukakan oleh Nabi tanpa didahului oleh sebab secara khusus. Hadith Nabi tentang kewajiban zakat fitrah tersebut merupakan penyampaian shariat (bayan tashri‘) yakni penjelasan Nabi yang dalam al-Qur’an tidak dikemukakan ketentuannya, Yang ada hanya kewajiaban akan menunaikan zakat.[42] Yang dapat dilakukan pemahaman secara tekstual terhadap hadith tersebut hanyalah hal yang berhungan dengan kewajiban membayar zakat fitrah. Dimana kewajiban itu bersifat universal berlaku kapan saja dan di mana saja. Sedang yang berhubungan dengan material yang digunakan dalam membayar zakat fitrah harus dengan pemahaman kontektual, pernyataan yang menyebutkan kurma dan gandum adalah bersifat lokal. Karna tidak semua daerah terdapat kurma dan gandum. Jadi untuk daerah yang makanan pokok selain dua jenis bahan makanan tersebut, maka zakat fitrahnya ditunaikan dengan jenis makan pokok daerah tersebut.[43] Rasullah menentukan zakat dengan makanan bagitu juga jenisnya, karna memang ketika itu makan lebih mudah didapatkan dan dibutuhkan pada waktu itu. Dan sekarang keadaan berubah dimana uang lebih dibutuhkan daripada makan baik untuk dirinya sendiri ataupun keluarganya, maka dengan memberikan zakat dalam bentuk uang akan lebih berguna bagi mereka, darisni terliahat jelas bahwa dengan hanya berpegangan pada tekstual hadith  terkadang kurang dalam mengamalkan ruh dan tujuan dari hadith itu sendiri.[44]

5.      Berkenaan dengan hasil penelitian hadith yang telah ada, yang telah dilakukan oleh para ulama. Shuhudi berpendapat dengan beberapa alasan penelitian ulang tetap akan memeberikan manfaat, penelitian ulang merupakan salah satu upaya untuk mengetahui seberapa jauh tingkat akurasi penelitian mereka, juga untuk menghindari dari penggunaan dalil Hadis yang tidak memenuhi sharat dilihat dari segi kehujjahan. Dan hal itupun bukan berarti meragukan akan penelitian yang telah ulama lakukan. Dan kenyataannya hasil penelitian yang dilakukan ulama masa lalu memiliki tingkat akurasi yang tinggi, bahkan sangat tinggi. Yang menentukan bukan hanya berkaitan dengan masalah metodologi saja, tetapi juga masalah kecerdasan dan penguasaan ilmu yang dimiliki oleh peneliti.[45]


 BACA ARTIKEL LAINNYA YANG BERKAITAN:

BAB III

PENUTUP

Kesimpulan.

1.      Untuk definisi hadith Syuhudi lebih condong pada pengertian yang digunakan oleh Ibnu Subky yaitu, Hadis adalah “segala Sabda dan perbuatan Nabi Muhammad SAW”.

2.      Pendapat beliau tentang awal permulaan terjadinya Hadis, Shuhudi mengacu pada berpendapat ulama yang menyatakan bahwa permulaan terjadinya Hadis Nabi adalah pada masa kenabian (al-Nubuwah).

3.      Shuhudi menyatakan, dalam proses menyampaikan dan menerima riwayat (tahammul wa al-ada’), al-ada’ mempunyai persyaratan yang lebih ketat.

4.      Faktor pentingnya penelitian Hadis:

a.       Hadith Nabi sebagai salah satu sumber ajaran Islam.

b.      Tidak seluruh Hadis tertulis pada zaman Nabi.

c.       Munculnya berbagai pemalsuan Hadis.

d.      Proses penghimpunan hadith yang memakan waktu lama.

e.       Jumlah kitab Hadis yang banyak dengan metode penyusunan yang beragam.

f.       Telah terjadi periwayatan Hadis secara makna.

g.       Hadis yang diteliti adalah Hadis yang bersetatus Ahad, sedang Hadis yang Mutawatir diteliti untuk membuktikan akan kemutawatirannya.

h.      Shuhudi menampilkan 4 Faktor pentingnya penelitian sanad; 1. Hadith sebagai salah satu sumber ajaran islam, 2. Hadith tidak seluruhnya tertulis pada zaman nabi, 3. Munculnya pemalsuan hadith, 4. Proses penghimpunan (tadwin) hadis.

5.      Menurut beliau kaedah kesahihan Sanad Hadis merupakan salah satu acuan umum yang mendasar untuk meneliti dan menentukan kualitas suatu Hadis. Sehingga perlu ditelaah secara kritis dengan maksud untuk diuji kaidah tersebut dari segi tingkat akurasinya.

6.      Kata-kata terhindar dari shuzuz dan terhindar dari illat berstatus sebagai unsur kaidah minor. Kedua unsur kaidah minor itu muncul dalam lafal definisi dengan tujuan untuk penekanan semata.

Dalam memahami Matn hadis, ada beberapa hal yang perlu diperhatikan:

a.       Pemahaman hadith meliputi dua jenis, yakni secara tekstual dan kontekstual. Sebuah hadith dipahami secara tekstual jika setelah dihubungkan dengan aspek-aspek yang berhubungan dengan hadith, hadith tersebut tetap menuntut untuk dipahami secara tekstual. Sedangkan sebuah hadith harus dimaknai secara kontekstual apabila ada indikasi kuat dibalik teks yang menuntut pemahaman secara kontekstual.

b.      Secara garis besar hermeneutika hadis Syuhudi Ismail meliputi sisi kebahasaan hadith dengan melihat bentuk redaksi matan dan dari sisi historis dengan mengaitkan peran Nabi SAW ketika menyampaikan hadith dan menelusuri latar belakang terjadinya hadith. Ketika memahami hadith yang tidak mempunyai asbab al-wurud khusus, Syuhudi Ismail sepertinya mempertimbangkan situasi dan kondisi masyarakat secara umum atau disebut dengan asbab al-wurud umum. Dengan kata lain, penting untuk memahami situasi masyarakat Arab pada saat itu.

c.       hadith yang bersifat temporal maupun lokal perlu dipahami secara kontekstual agar tetap relevan dengan permasalahan yang muncul belakangan. Meskipun demikian, banyak juga hadith-hadith yang memuat ajaran yang bersifat universal ketika dimaknai secara tekstual.

d.      Kontribusi Syuhudi Ismail adalah mengklasifikasi hadith atau sunnah yang bersifat universal, temporal, dan lokal. Secara tidak langsung ini menunjukkan bahwa tidak semua hadith harus diikuti dan dipahami secara tekstual saja.

7.      Terbukanya pintu ijtihad untuk terus melakukan penelitian dan pengembangan ilmu hadith.


Daftar pustaka

Al-Quran dan terjemah depag RI.

Ismail, Syuhudi, Kesahihan Sanad Hadith, Bandung: Bulan Bintang, 2005, 269

________. Metodologi Penelitian Hadith Nabi.  Jakarta: Bulan Bintang, 1992

________. Hadith Nabi yang Tekstual dan Kontekstual. Jakarta: Bulan Bintang, 1994.

Muhammad b, Ismail Al-Bukhari, Sahih Bukhari, Beirut: Dar al-Kutub al-Ilmiyah,2008.

Naisabur (al), Muslim b. al-Hajjaj, Sahih Muslim. Beirut: Dar al-Kutub al-Ilmiyah, 2008.

Nirwana, Dzikri, Diskursus Studi Hadith, AL-BANJARI Vol. 13, No. 2, Juli-Desember 2014.

Qardawi(al), Yusuf. Kaifa Nata’amal ma’a al-Sunnah al-Nabawiyah. Firjiniya: Dar al-Wafa’, 1990.

Sijistani(al), Abu Daud Sulaiman al-Ash‘ath, Sunan Abi Daud. Beirut: Dar al-Qutub al-Ilmiyah, 2008).

Sri Handayana; Pemikiran Hadith Suhudi Ismail, TAJDID, Vol. 16, No.2; November 2013.

Salah(al), Ibnu, Usman bin Abdu al-Rahman, Ma’rifat Anwa Ulum al-Hadith, Beirut: Dar al-Fikr. 1986

Yusuf al-Qardawi, Kaifa Nata’amal Ma’a al-Sunnah al-Nabawiyah. Firjiniya: Dar al-Wafa’, 1990.



[1] Sri Handayana; Pemikiran Hadith Suhudi Ismail, TAJDID, Vol. 16, No.2; November 2013, 226

[2] Syuhudi Ismail, Kesahihan Sanad Hadith, Bandung: Bulan Bintang, 2005, 269

[3] Syuhudi ismail,  Kaidah Kasahihan Sanad Hadith, xvi-xvii

[4] Sri Handayana; Pemikiran Hadith Suhudi Ismail, TAJDID, Vol. 16, No.2; November 2013, 227

[5] Syuhudi Ismail, Kesahihan Sanad Hadith, Bandung: Bulan Bintang, 2005, 269

[6] Sri Handayana; Pemikiran Hadith Suhudi Ismail, TAJDID, Vol. 16, No.2; November 2013, 227

[7] Ibid, 227

[8] Kaidah kesahihan sanad hadith, 269-270

[9] Sri Handayana; Pemikiran Hadith Suhudi Ismail, TAJDID, Vol. 16, No.2; November 2013, 228

[10] Kaidah kesahihan sand hadith, 26-29

[11]Ibid., 28

[12] Shuhudi ismail, Kaidah Kasahihahan Sanad Hadith, 59

[13] Shuhudi ismail, Metodologi Penelitian Hadith Nabi, 7

[14] Ibid., 29

[15] Ibid., 23

[16] Ibid., 25

[17] Syuhudi ismail, Kaidah kesahihan sanad hadith, jakarta: bulan bintang, 2005, 8

[18] Suhudi ismail, Pengantar kaidah kesahihan sand hadith, xvii

[19] Syuhudi ismail, Kaidah kesahihan sanad hadith, jakarta: bulan bintang, 2005, 8

[20] Dzikri nirwana, diskursus studi hadith, AL-BANJARI Vol. 13, No. 2, Juli-Desember 2014,  185

[21] Pengantar kaidah kesahihan sand hadith, xvii

[22] Ibnu salah, Muqadimah Ibnu Salah,1,11

[23] Suhudi ismail, Kaidah Kesahihan Sanad Hadith, 130

[24] Unsur sejarah disini sangat membenatu dalam menguji kaidah persambungan sanad. Didalamnya dijelaskan keadaan yang ada kala itu.

[25]  Sunan abi daud, bab fadlu nashr al-ilmi, 3,321

[26] Kaidah kesahihan sanad hadith, 156-158

[27] Suhudi ismail, Metodologi Penelitian Hadith Nabi. 28

[28] Beliau menyebutkan bahwa pendapat berbeda denga al-adabi yang menyebutkan tiga faktor saja. 1. Kitab-kitab yang membahas kritik matn dan metodenya sangat langka, 2. Pembahsan matn pada kitab-kitab tertentu termuat diberbagai bab yang bertebaran sehingga sulit dikaji secara khusus. 3. Adanya kekhawatiran menyatakan sesuatu yang bukan hadith ternyata hadith dan sebaliknya.

[29] Apabila diteliti secara cermat, metode pemahaman hadith yang digunakan Syuhudi Ismail bukanlah sesuatu yang baru dalam kajian ma‘anil hadis\. Pembedaan peran dan fungsi Nabi sudah pernah dilakukan oleh al-Qarafi yang membedakan peran Nabi sebagai imam, qadi, atau mufti. Begitu juga dengan penelusuran latar belakang turunnya hadith juga telah dimulai oleh as-Suyuti. Adapun penyelesaian hadith mukhtalif juga telah dirumuskan oleh as-Syafi‘i. Sri Handayana; Pemikiran Hadith Suhudi Ismail, TAJDID, Vol. 16, No.2; November 2013, 235

[30] Al-qur’an surat al-maidah:3

[31] Al-qur’an surat al-sab’:28

[32] Al-qur’an surat al-anbiya’:107

[33] Suhudi ismail, Hadith nabi yang tekstual dan kontekstual, 3-6

[34] Sahih Bukhari, dalam kitab bada’ al-wahyi, 7, 206. Shahih Muslim, 1,222; . Musnad Ahmad b. Hanbal dalam Musnad Abdullah bin Umar b. Khattab.2,16, no 4654.

[35] Suhudi Ismail, Hadith Nabi yang Tekstual dan Kontekstual. (Jakarta: Bulan Bintang), 1994. 51-53

[36] Hadith nabi yang tekstual dan kontekstual, 3-6

[37] Sahih bukhari, 1, 91. Sahih muslim, 2, 63

[38] Syuhudi, Hadith nabi yang tekstual dan kontekstual, bandung: bulan bintang, 1994. 34-35.

[39] Masalah ini dikenal dengan ilmu mukhtalif hadith.

[40] Suhudi Ismail, Hadith Nabi yang Tekstual dan Kontekstual. (Jakarta: Bulan Bintang), 1994, 3-6

[41] Sahih Bukhari. 2,161 no;1503. Sahih Muslim. 3,68 no; 2325.

[42] Al-Qur’an Surat al-A‘la 14

[43] Suhudi Ismail, Hadith Nabi yang Tekstual dan Kontekstual. (Jakarta: Bulan Bintang), 1994. 51-53

[44] Yusuf al-Qardawi, Kaifa Nata’amal Ma’a al-Sunnah al-Nabawiyah.( Firjiniya: Dar al-Wafa’, 1990),135

[45] Metodologi penelitian hadith nabi, 29-31

MAKALAH HADIST TENTANG HIJAB

  A.   Latar Belakang Telah disepakati oleh seluruh umat Islam bahwa al-Qur’an menjadi pedoman hidup baik tentang syariah maupun dalam keh...