BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar
Belakang
Perkembangan organisasi gerakan Islam
di Indonesia tumbuh dan berkembang sejak dari negeri ini belum mencapai
kemerdekaan secara fisik sampai pada reformasi sekarang ini. Perkembangannya
bahkan kian pesat dengan dilakukannya tajdid (pembaharuan) di
masing-masing gerakan Islam tersebut. Salah satu organisasi gerakan Islam itu
adalah Muhammadiyah. Muhammadiyah adalah sebuah organisasi Islam yang besar di Indonesia.
Di sebagian negara di dunia, Muhammadiyah memiliki kantor cabang internasional
(PCIM) seperti PCIM Kairo-Mesir, PCIM Republik Islam Iran, PCIM Khartoum-Sudan,
PCIM Belanda, PCIM Jerman, PCIM Inggris, PCIM Libya, PCIM Kuala Lumpur, PCIM
Prancis, PCIM Amerika Serikat, dan PCIM Jepang. PCIM-PCIM tersebut didirikan
berdasarkan pada SK PP Muhammadiyah. Di tanah air, Muhammadiyah tidak hanya
berada di kota-kota besar, tapi telah merambah sampai ke tingkat pusat sampai
ke tingkat ranting.
Nama organisasi ini di ambil dari nama
nabi Muhammad SAW, yang berarti bahwa warga Muhammadiyah menjadikan segala
bentuk tindakan, pemikiran dan perilakunya didasarkan pada seorang Rasulullah.
Nabi dijadikan model uswah al-hasanah yang sebenarnya tidak hanya bagi
warga Muhammadiyah tetapi juga seluruh umat Islam, bahkan bagi warga non
Muslim sekalipun.
Muhammadiyah sebagai gerakan Islam
memiliki cita-cita ideal yang dengan sungguh-sungguh ingin diraih, yaitu
mewujudkan “masyarakat Islam yang sebenar-benarnya”. Dengan cita-cita yang
ingin diwujudkan itu. Organisasi Islam Muhammadiyah tumbuh makin dewasa bersama
organisasi Islam besar lainnya sekelas Nahdlah al-Ulama (NU), merambah
ke segala bentuk kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi dengan tetap
mengedepankan kepentingan umat dari segi sosial budaya, ekonomi, kesehatan dan
pendidikan. Namun demikian, Muhammadiyah tetap selalu melakukan tajdid dalam
aspek ruh al-Islam (jiwa keislamannya).
Muhammadiyah yang didirikan oleh KH,
Ahmad Dahlan diakui sebagai fonomena terbaru dari wajah Islam abad ke 20 yang
kemudian melahirkan modernism Islam Indonesia. Berdirinya organisasi sosial
keagamaan Muhammadiyah tidak terlepas dari sumbangsih empat kuartet bersaudara.
Mereka amat dihormati oleh warga Muhammadiyah, dari sejak dulu hingga kini.
Empat bersaudara tersebut antara lain H Muhammad Sudjak, KH Fakhruddin, Ki
Bagus Hadikusuma, dan KH Zaini.
B. Rumusan Masalah
Adapun rumusan masalah yang
melatar belakangi penyusunan makalah ini antara lain:
1.
Kelahiran Muhammadiyah
2.
Menghayati makna pembaharuan
3.
Konsep Muhammadiyah seputar hadis
4.
Diskursus hadis di Muhammadiyah
C.
Tujuan Masalah
Adapun tujuan dari penyusunan
makalah antara lain untuk mengkaji dan membahas:
1.
Kelahiran Muhammadiyah
2.
Menghayati makna pembaharuan
3.
Konsep Muhammadiyah seputar hadis
4.
Diskursus hadis di Muhammadiyah
BAB II
PEMBAHASAN
A. Kelahiran
Muhammadiyah
Muhammadiyah merupakan sebuah perserikatan atau organisasi
Islam yang lahir di Yogyakarta pada 9 Dzulhijjah 1330 H, yang bertepatan dengan
tanggal 18 November 1912 Masehi. Pendiri utamanya adalah K.H. Ahmad Dahlan,
seorang ulama dan ketib kraton Ngayogyakarta Hadiningrat yang tinggal di
kampung Kauman, Yogyakarta. Berdirinya perserikatan Muhammadiyah tidak dapat
lepas dari situasi dan kondisi yang berkembang pada zamannya. Kondisi umat
Islam di Indonesia yang masih dalam belenggu penjajah, dan hidup dalam
sinkretik, sehingga pengamalan Islam bercampur dengan kepercayaan lain.
Keimanan umat Islam masih banyak yang dikotori oleh perbuatan syirik, bid’ah,
khurafat. Umat Islam banyak yang menyembah dan meminta-minta pada kuburan,
pohon-pohon yang di anggap keramat, dan sebagainya.[1]
Dalam bidang sosial kemasyarakatan umat Islam juga
memprihatinkan. para anak yatim piatu, orang-orang miskin, dan orang-orang
terlantar kurang mendapat perhatian umat Islam, sehingga banyak di antara
mereka yang kemudian ditampung dan di urusi oleh orang-orang Kristen Belanda,
selanjutnya mereka masuk agama Kristen. Dalam bidang pendidikan juga demikian.
Hampir tidak ada lembaga pendidikan atau sekolah Islam yang bermutu. Selain
sekolah yang dimiliki oleh kraton, semua sekolah umum dimiliki oleh Belanda,
dikelola dengan cara Belanda, dan agama yang di ajarkan juga ajaran mereka.
Akibatnya, banyak anak-anak orang Jawa atau pribumi yang telah mendapat
pendidikan dari sekolah Belanda tersebut beralih menjadi pemeluk agama Kristen.
Namun, masih lebih banyak lagi anak-anak penduduk pribumi yang tidak mengenyam
pendidikan sama sekali, sehingga mereka terkungkung dalam kebodohan dan
keterbatasan untuk mengembangkan potensi positif yang ada dalam pendidikan
mereka. Masalah kesehatan dan kesejahteraan juga kurang diperhatikan umat
Islam. Orang-orang yang menderita sakit dibawa kedukun dan lain sebagainya.[2]
Atas dasar itulah kemudian K.H. Ahmad Dahlan mengadakan
pembaharuan dalam bidang pemikiran umat Islam melalui pendidikan dengan
meyelenggarakan sekolah yang mengajarkan ajaran agama disamping ilmu
pengetahuan umum lainnya. Dan untuk menjaga kelangsungan sekolah tersebut
K.H.Ahmad Dahlan mendirikan persyarikatan yang diberi nama Muhammadiyah.[3]
Jika dicermati, starting point kelahiran Muhammadiyah
oleh KH. Ahmad Dahlan bertolak dari dua premis. Pertama, Fenomena sosial
empiris yang memperlihatkan betapa tertinggalnya umat Islam dalam percaturan
modernitas. Kedua, begitu jauhnya umat Islam terlepas dari semangat
Alquran dan keteladanan Rasulallah Muhammad SAW. Dari sinilah KH. Ahmad Dahlan
mengambil langkah mencari solusi dalam bentuk pencerahan (tanwir) dan
pembebasan (liberasi) umat Islam dari keterbelakangan dan kejumudan.[4]
KH. Ahmad Dahlan mengatakan “Semua ibadah diharamkan kecuali
ada perintah dan semua muamalah (masalah dunia) boleh dilakukan kecuali
ada larangan. Doktrin KH. A Dahlan dimaksudkan sebagai peluru atau pemurnian
tauhid (agama) dari unsur-unsur tradisi keagamaan. Kalangan Muhammadiyah
menyebutnya sebagai penyakit TBC (takhayul, bid’ah dan khurafat). Untuk
mendapatkan gambaran bagaimana penyakit TBC itu, barangkali bisa disimak kisah
berikut. Pada tahun 1890 ibu KH. A Dahlan, Nyai Abu Bakar meninggal dunia.
Menurut adat waktu itu, setiap malam pada tujuh malam pertama kematian
dibacakan tahlil dan pada malam ketujuh diselenggarakan kenduri. Setiap pagi
selama tujuh hari itu, keluarga Kiai Abu Bakar juga mengunjungi kuburan Nyai
Abu bakar untuk membaca tahlil. Dan pada malam ke-40. Ke-100, malam satu tahun,
malam dua tahun dan malam ke-1000 diadakan selametan. Beberapa tahun setelah
itu, tepatnya pada 1930-an penyakit itu juga belum sirna.[5]
Penyakit TBC itu, menurut kalangan sejarawan, antara lain
disebabkan oleh dakwah Walisongo yang belum tuntas. Sehingga, kondisi
masyarakat Islam saat itu masih seperti masyarakat Islam Mekah. Saat berada di
Mekah, Nabi Muhammad SAW baru memberi pemahaman tentang tauhid, mengenai Islam
serta ajaran-ajarannya. Beliau masih membiarkan umatnya mempraktekkan
amalan-amalan lama pengaruh dari agama dan budaya setempat.[6]
Sebagai misal mabuk-mabukan, berjudi, dan seterusnya. Beliau
baru meluruskan amalan-amalan yang tidak sesuai dan bahkan bertentangan dengan
ajaran Islam setelah berada di Madinah. Di Madinah ini pulalah beliau mulai
menegakkan hukum-hukum Islam berbagai praktek yang di anggap menyimpang dari
ajaran Islam beliau luruskan, bahkan beliau terapkan pula sanksinya.[7]
Dalam hal hukum, menurut Dahlan, dasar pokoknya adalah
Alquran dan Hadis. Bila dari keduanya tidak di temukan kaidah hukum yang
eksplisit, maka ditentukan berdasarkan penalaran dengan mempergunakan kemampuan
berpikir logis (akal pikiran), ijtima’ (kesepakatan ulama) serta qiyas
(analogi).[8]
Orang ideal menurut Muhammadiyah ialah orang yang
benar-benar beriman kepada Allah. Dia tidak pernah berhenti untuk belajar
langsung dari Kitab Suci, dengan taat melaksanaka rukun Islam, independen, dan
bersedia mengemban segala tanggung jawab atas amal perbuatannya sendiri. Dia
juga hidup sederhana dan menghindari kemewahan, anti-tradisional, dan
berpandangan bahwa semua orang sederajat. Namun demikian ia masih suka bersikap
rendah hati, bisa dan lebih menyukai berbicara dengan bahasa sopan, serta
bergaul dengan harmonis dengan orang lain. Orang ideal adalah orang yang jujur
dan senag membantu, menghargai orang lain, mampu mengendalikan nafsu dirinya
serta menghindari kelakuan yang sekehendak hatinya, siap mengorbankan dirinya
bagi kepentingan Islam dan umat Islam.[9]
KH. A Dahlan wafat taahun 1923, pada usia 55 tahun. Meskipun
ia hanya sempat memimpin Muhammadiyah selama 12 tahun, tapi ormas yang ia
dirikan itu berkembang pesat. Puluhan ribu sekolah, madrasah, universitas,
pesantren, rumah sakit, panti asuhan, dan amal usaha milik Muhammadiah kini
tersebar di hampir seluruh Indonesia. Semua itu jelas merupakan amal jariyah KH
Ahmad Dahlan.[10]
B. Menghayati
Makna Pembaruan
Pembaruan menjadi kebutuhan mutlak bagi warga pergerakan
Muhammadiyah. Pembaruan akan selalu terjadi dan terus berkembang, pembaruan itu
akan terjadi dalam semua bidang, tidak hanya terbatas pada bidang sosial.
Semuanya yang dilakukan harus dijalankan dengan tindakan nyata. Majelis Tarjih
dan Tajdid itu berkutat melayani persoalan-persoalan yang
muncul khususnya masalah keagamaan internal Muhammadiyah. Sehingga warga Muhammadiyahh
mendapatkan pedoman dan jawaban dalam masalah sosial keagamaan. Tidak hanya
masalah fikih tapi juga akidah, akhlak, dan masalah-masalah yang lain.
Renungan
mendalam atas sejarah bangsa mengungkapkan bahwa akar krisis sesungguhnya ada
di dalam diri manusia dan nilai-nilai yang berkembang dalam jaringan sosialnya.
Kata kunci yang menghubungkan keduanya adalah “tirani dan kezaliman”.
Masyarakat terpolarisasi menjadi kelompok kuat sebagai pelaku tirani dan
kelompok lemah yang menjadi objek kezaliman. Tirani dan kezaliman menghancurkan
martabat manusia, merampas hak-hak asasi, mematikan semua potensi kreatif,
merusak jaringan sosial, dan akhirnya menciptakan stagnasi lalu menutup peluang
bangsa untuk menjadi besar dan kuat. Cita-cita untuk mewujudkan masyarakat
madani yang demokratis, egaliter, adil, dan terbuka, harus melalui perjuangan
yang panjang.[11]
Ciri-ciri masyarakat madani
adalah masyarakat yang melegalkan pluralism, bahkan identik dengan masyarakat
pluralistik. Istilah “masyarakat pluralistik” yang dimaksud ialah masyarakat
politik atas dasar pemerintahan “nasional” sedemikian rupa sehingga keyakinan religious,
filosofis, dan moral dijamin kebebasannya. Syaratnya keyakinan tersebut tidak
dipaksakan pada warga lain didalam masyarakat. Jadi yang dimaksud dengan
“masyarakat pluralistis” bukan hanya secara de facto pluralistis,
melainkan masyarakat yang menjamin, atas dasar organisasi politik dan
perundang-undangan nasional.[12]
Gagasan masyarakat Madani yang hendak diwujudkan oleh bangsa
Indonesia menurut Syafi’i Ma’arif adalah membentuk tatanan masyarakat baru yang
demokratis suatu system, makin menguntungkan bagi Islam. Demokrasi yang
perspektif ini yang menjadi fokusnya adalah inklusivisme (keterbukaan) sehingga
arti dan semangat oposisi dihormati. Harus dipahami, oposisi itu artinya
perbedaan pendapat dengan penguasa, yang dalam Islam diperbolehkan. Karena
institusi masyarakat itu sangat kental, oposisi tidak lalu diartikan sebagai
yang bersebrangan tetapi lebih bersifat “kontrak sosial”, yakni “amar ma’ruf
nahi munkar”.[13]
Satu abadi silam, kegelisahan seorang Ahmad Dahlan muncul
karena adanya berbagai “fonomena ketimpangan” pada masyarakat Jawa ketika itu.
Ahmad Dahlan telah menghayati cita-cita pembaruan sekembali dari hajinya yang
pertama. Delier Noer, dalam buku bertajuk Gerakan Modern Islam di Indonesia
menulis:
“… tidak dapat kita buktikan dengan pasti, apakah ia sampai
pada pemikiran pembaruan itu secara perorangan ataukah dipengaruhi oleh
orang-orang lain dalam hal ini. Ia mulai mengintrodusir cita-citanya itu
mulanya dengan mengubah arah orang bersembahyang pada kiblat yang sebenarnya
(sebelumnya, arah sembahyang biasanya ke Barat saja). Kira-kira pada waktu yang
sama ia mulai melakukan pekerjaan sukarela dalam memperbaiki kondisi higienis
daerahnya dengan memperbaiki dan membersihkan jalan-jalan dan parit-parit.[14]
Perubahan-perubahan ini, walaupun bagi kita sekarang sangat
kecil artinya, memperlihatkan kesadaran Ahmad Dahlan tentang perlunya membuang
kebiasaan-kebiasaan yang tidak baik dan yang menurut pendapatnya memang tidak
sesuai dengan Islam. perubahan-perubahan ini tidak perlu datang dari pengaruh
orang-orang lain, sebab kaum tradisional dan kitab-kitab mereka juga mengakui
bahwa kiblat haruslah bersih dari segala kotoran. Masalahnya, apakah praktik
sama dengan teori (dalam hal ini teori yang mudah didapat di dalam kitab-kitab
tradisi)?
Mungkin sekali Ahmad Dahlan tiba pada cita-cita pembaruan
itu secara perorangan. Tetapi ia gagal di dalam merealisasikan perubahan kiblat
di masjid Sultan di Yogyakarta. Ia memang dapat membangun langgarnya sendiri
dengan meletakkan kiblat yang tepat, tetapi
perubahan ini tidak disenangi oleh penghulu Kiai Muhammad Khalil, yang
memerintahkan agar langgar itu dirubuhkan.[15]
Berdasarkan uraian diatas
dapat difahami, bahwa tajdid dalam Muhammadiyah mengalami perubahan yang sangat
berarti. Pada fase pertama tajdid dalam Muhammadiyah baru pada tataran
praktis dan gerakan aksi yang mengarah pada pemurnian akidah dan ibadah,
sebagai reaksi terhadap penyimpangan yang dilakukan oleh umat Islam pada saat
itu. Tema sentral tajdid pada fase ini adalah pemurnian. Kemudian pada fase
kedua konsep tajdid diarahkan pada upaya untuk merespon perubahan
masyarakat yang berkaitan dengan al-umur al-dunyawiyah. Pada fase
ketiga, menjelaskan bagaimana pembaharuan yang dilakukan muhammadiyah. Dan yang
terakhir pentingnya pembaharuan yang dilakukan muhammadiyah. Jadi, pembaruan
akan selalu terjadi dan terus berkembang. Dan, pembaruan itu akan terjadi dalam
semua bidang, tidak hanya terbatas pada bidang sosial. Semuanya yang dilakukan
harus dijalankan dengan tindakan nyata. Itulah yang namanya amal syahadah.
C. Konsep
Muhammadiyah Seputar Hadis
Pandangan Muhammadiyah sebagai organisasi keagamaan Islam
mengenai hadis dapat dilihat pada dokumen-dokumen yang berisikan keputusan
organisasinya antara lain: Mukaddimah Anggaran Dasar Muhammadiyah (selanjutnya
ditulis MADM), Matan Keyakina dan Cita-Cita Hidup Muhammadiyah (selanjutnya
ditulis MKCH), dan Himpunan Putusan Tarjih (selanjutnya ditulis HPT).[16]
Dalam MADM pasal 4 ayat (1) termaktub, bahwa Muhammadiyah
adalah gerakan Islam, dakwah amr ma’ruf nahi munkar dan tajdid,
bersumber kepada Alquran dan al-Sunnah. Dalam MKCH tertulis, bahwa
Muhammadiyah dalam mengamalkan Islam berdasarkan Alquran yaitu kitab Allah yang
diwahyukan kepada nabi Muhammad SAW, Sunnah Rasul yaitu penjelasan dan
pelaksanaan ajaran-ajaran Alquran yang diberikan oleh Nabi Muhammad SAW dengan
menggunakan akal pikiran sesuai dengan jiwa ajaran Islam.[17]
dalam HPT, pernyataan dalam MKCH dijelaskan lebih detail dalam Kitab Masalah
Lima, bahwa agama yakni agama Islam yang di bawa oleh nabi Muhammad SAW ialah
apa yang diturunkan di dalam Alquran dan yang tersebut dalam al-Sunnah
al-Sahihah.[18]
Yang dimaksud dengan al-Sunnah al-Sahihah dalam definisi
agama Islam diatas, bukan hadis sahih dalam istilah ilmu hadis, melainkan hadis
maqbul (yang dapat diterima) walaupun tidak sahih dalam
pengertian ilmu hadis.[19]
Oleh karena itu, Alquran dan Sunnah adalah dasar mutlak untuk berhukum
dalam agama Islam menurut Muhammadiyah. Meski tidak ada penegasan secara
eksplisit, tetapi tampak dalam al-Sunnah dalam HPT diidentikkan dengan
hadis.[20]
Penjabaran mengenai konsep al-Sunnah dapat ditemukan dalam
HPT Kitab Beberapa Masalah No.21. (tentang) Ushul Fikih dalam bidang hadis
(yang juga tertuang dalam Manhaj Tarjih) sebagai berikut:
1.
Hadis mauquf murni tidak dapat dijadikan hujjah
2.
Hadis mauquf yang termasuk ke dalam kategori marfu’
dapat di jadikan hujjah.
3. Hadis mauquf termasuk kategori marfu’ apabila
terdapat qarinah yang dari padanya dapat difahami ke-marfu’-annya
kepada Rasulullah SAW seperti pernyataan Ummu ‘Athiyah: “Kita diperintahkan
supaya mengajak keluar wanita-wanita yang sedang haid pada hari raya” dan
seterusnya bunyi itu, dan sebagainya.
4.
Hadis mursal tabi’i murni tidak dapat dijadikan hujjah
5. Hadis mursal tabi’i dapat dijadikan hujjah
apabila besertanya terdapat qarinah yang menunjukkan kebersambungannya.
6. Hadis mursal sahabi dapat dijadikan hujjah
apabila padanya terdapat qarinah yang menunjukkan kebersambungannya.
7.
Hadis-hadis da’if yang satu sama lain saling
menguatkan tidak dapat dijadikan hujjah, kecuali apabila banyak jalannya
dan padanya terdapat qarinah yang menunjukkan keotentikan asalnya serta
tidak bertentangan dengan Alquran da hadis sahih.
8. Jarh
(cela) didahulukan atas ta’dil setelah adanya keterangan yang jelas dan
sah secara shara’.
9. Riwayat orang yang terkenal suka melakukan tadlis dapat
diterima, apabila ia menegaskan bahwa apa yang ia riwayatkan itu tersambung dan
tadlis-nya tidak sampai merusak keadilannya.
10. Penafsiran sahabat terdapat lafal
(pernyataan) musytarak dengan
salah satu maknanya, wajib diterima.
11. Penafsiran sahabat terhadap lafal
(pernyataan) zhahir dengan makna lain, maka yang diamalkan adalah makna zahir
tersebut.[21]
Jika dipetakan dari kesebelas rumusan di atas, lima di
antaranya (1, 2, 3, 10, 11) terkait dengan hadis mauquf[22],
tiga poin (4, 5, 6) terkait bahasan hadis mursal, poin 7 terkait
kriteria hadis da’if yang dapat diterima (maqbul), poin ke 8
tentang kaidah al-Jarh wa al-Ta’dil Jika terjadi perbedaan penilaian
dari para kritikus hadis terhadap rawi, dan poin 9 membahas mengenai hadis mudallas.
Pemetaan lain atas kaidah-kaidah di atas menyimpulkan bahwa Muhammadiyah
sangat menekankan pada kritik sanad. Sedang untuk kritik matan
dalam kesebelas kaidah di atas hanya kita dapati satu poin, yaitu kaidah ke-7.
Dalam Musyawarh Nasional Tarjih ke-25 di Jakarta, kaidah-kaidah
di atas dilengkapi dengan metode tarjih terhadap nash (teks) yang
berisikan, bahwa dalam proses kritik sanad, ditemukan pada: a) Kualitas
maupun kuantitas rawi, b) Bentuk dan sifat periwayatan. Sedang dalam kritik
matan ditekankan pada: a) Matan yang menggunakan sighat nahyu lebih rajih
(kuat) dari sighat amr, b) Matan yang menggunakan sighat khas
lebih rajih dari sighat ‘am.[23]
Untuk mengantisipasi pertentangan hadis, Muhammadiyah
membuat kaidah-kaidah penyelesaian Ta’arudl al-Adillah dengan sistematika
sebagai berikut:
a.
Al-Jam’u wa al-Taufiq (mengumpulkan dan mengkompromikan), yakni menerima semua
dalil yang walaupun lahirnya bertentangan. Sedang pada pelaksanaannya diberi
kebebasan untuk memilih (takhyir).
b.
Al-Tarjih yakni
memilih dalil yang lebih kuat untuk diamalkan dan meninggalkan dalil yang
lemah.
c.
Al-Naskh
yaitu mengamalkan dalil yang munculnya lenih akhir
d.
Al-Tawaquf yaitu menghentikan
peneliti terhadap dalil yang dipakai (untuk sementara waktu) dengan cara
mencari dalil baru.
Proses konseptualisasi hadis untuk mendapatkan bentuk epistemologinya dalam Muhammadiyah, dilakukan melalui proses ijtihad jama’i (kerja ijtihad kolektif) yang dilakukan oleh Majelis Tarjih sebagai unsure organisasi Muhammadiyah yang berfungsi membidangi masalah keagamaan Islam.
D. Diskursus
Hadis di Muhammadiyah
Seperti organisasi keagamaan lain, Muhammadiyah memerlukan
sabuk pengikat untuk menjaga roda gerak organisasi berupa keputusan-keputusn
ideologis dan sosialisasinya pada beragam level organisasi. Tak terkecuali di
bidang keagamaan dimana Muhammadiyah mengusung misi pembaruan pemahaman
keagamaan. Sabuk ini muncul secara structural ditandai dengan lahirnya Majels
Tarjih pada tahun 1983.[24]
Beberapa faktor penyebab kemunculannya antara lain:
1.
Berkembang dan meluasnya dakwah yang mgakibatkan pimpinan
Muhammadiyah tidak mampu mengontrolnya terutama dalam usaha penertiban agar
pemahaman keagamaan anggotanya sejalan dengan asas perjuangannya, yaitu
berdasarkan Alquran dan al-sunnah als-Sahihah.
2.
Perselisihan faham mengenai masalah-masalah khilafiyah
di tengah masyarakat saat itu. Misi utama majelis ini adalah melakukan kegiatan
intelektual dalam menyelidiki ajaran Islam guna mendapatkan kemurniannya untuk
kemudiandi proyeksikan ke dalam penyusunan konsepsi masarakat Islam yang
sebenar-benarnya sebagai tujuan utama dari Muhammadiyah.[25]
Strukturisasi pembidangan masalah keagamaan di Muhammadiyah
menimbulkan dampak positif dan negatif. Dampak positifnya antara lain
terwujudnya kesatuan paham mengenai masalah-masalah furu’ fiqh atau khilafiyah.
Dampak negatif antara lain:Pertama: timbulnya sikap skeptis di kalangan
anggota Muahammadiyah terhadap masalah yang sebenarnya sudah ada hukumnya,
tidak menjadi pertikaian para ulama namun belum dibicarakan oleh Majelis
Tarjih. Sehingga memunculkan sikap tawaqquf, yaitu berhenti dan menunggu
keputusan Tarjih. Kedua: beredar anggpan bahwa otoritas kebenaran
kebenaran ada dalam Tarjih, di luar itu belum dapat dipertanggung jawabkan
kebenarannya.
Diskursus hadis yang dapat direkam di antaranya mengenai
konsep al-Sunnah al-Sahihah. Dalam hal ini paada tahun 1973 Majelis
Tarjih wilayah Muhammadiyah Jawa Barat memutuskan, bahwa takbir shalat ‘id
hanya satu kali saja seperti shalat biasa tidak 7-5 kali, karena variasi ini
didasarkan pada hadis-hadis da’if. Sedang hadis da’if tidak dapat dijadikan sumber hukum walaupun
jumlahnya banyak. Apalagi mengacu pada definisi agama yang diputuskan oleh
Majelis Tarjih di atas, dimana berpegang kepada al-Sunnah al-Sahihah.[26]
Majelis Tarjih pusat dalam merespon putusan Majelis Tarjih
wilayah Jawa Barat menyatakan bahwa al-Sunnah al-Sahihah dalam definisi
agama Islam itu bukanlah maksudnya hadis sahih dalam istilah ilmu hadis,
melainkan hadis maqbul walaupun tidak sahih dalam pengertian ilmu
hadis. Oleh karena itu, hadis da’if yang saling kuat menguatkan dapat diterima
sebagai sumber hukum, sebagaimana termaktub dalam kaidah hadis dalam HPT.
Selanjutnya, pada tahun 1977 diadakan diskusi panel tentang kaidah hadis da’if,
yang mentimpulkan bahwa kaidah itu sudah tepat dan tidak perlu dikoreksi
lagi. Hasil panel kemudian di kukuhkan dalam Muktamar Tarjih di Klaten tahun
1980.[27]
Diskursus kedua yang dapat direkam adalah polemic terkait
dengan status penilaian terhadap hadis yang berimplikasi pada pilihan hukum
mengenai tambahan kata “wabarakatuh” dalam bacaan salam shalat antara
Majelis Tarjih pusat dengan salah seorang ulama Muhammadiyah, yaitu Ustadz
Syakir Jamaluddin (selanjutnya ditulis SJ) pada kurun waktu 2008-2012. SJ
melemahkan hadis dengan tambahan wabarakatuh[28],
sementara Majelis Tarjih Pusat memutuskan bahwa hadis yang melandasi tambahan “wabarakatuh”
tersebut adalah maqbul. Oleh karena itu, dalam Musyawarah Nasional
Tarjih ke-27 diputuskan bahwa bacaan salam dengan dua versi (tanawwu’),
baik berakhiran pada redaksi “warahmatullah” maupun “wabarakatuh”
adalah absah dan dapat diamalkan.
BACA ARTIKEL LAINNYA YANG BERKAITAN:
- KARAKTERISTIK HADIS-HADIS PADA PERIODE MAKKIYAH DAN MADANIYAH
- PEMIKIRAN A. HASSAN (PERSIS)
- PEMIKIRAN MUHAMMADIYAH TENTANG HADIST
- PEMIKIRAN SYUHUDI ISMAIL DALAM KAJIAN ILMU HADIST
- PEMIKIRAN NAHDHATUL ULAMA (NU) TENTANG HADIST
- HADIS MENURUT PANDANGAN DARUL AL-HADITH (LDII)
- AL-SYAUKANI DAN PEMIKIRANNYA DALAM KAJIAN HADIS
- HERMENEUTIKA IBN ‘ARABI
- MEMAHAMI HADIS DENGAN PENDEKATAN HISTORIS, SOSIOLOGIS DAN ANTROPOLOGIS
- HADIS TENTANG ZAKAT HARTA KARUN (RIKAZ)
- KEHUJJAHAN HADIS AHAD MENURUT PENGINGKAR SUNNAH
DAFTAR PUSTAKA
Abdurrahman,
Asmuji (ed). Laporan Penelitian Majelis Tarjih Muhammadiyah. Yogyakarta:
Lembaga Research dan Survey IAIN Sunan Kalijaga
Anshory,
Nasruddin. Matahari Pembaruan. Yogyakarta: Jogja Bangkit Publisher,
2010.
Fathurrahman
Djamil. Metode Ijtihad Majelis Tarjih Muhammadiyah. Jakarta: Logos
Publishing House, 1955.
Hambali, Hamdan. Ideologi dan Strategi Muhamadiyah .
Yogyakarta: Suara Muhammadiyah, 2011.
Jamaludin.
Syakir. Sholat Sesuai Tuntunan Nabi Saw Mengupas Kontrovesi Hadis Sekitar
Sholat. Yogyakarta: LPPI UMY, 2013.
Kasman. Hadis Dalam
Pandangan Muhamadiyah. Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2012.
Mufidin,
“Studi Literatur Tantang Peran Muhammadiyah Dalam Mengembangkan Pendidikan Islm
di Indonesia” Tarbawi , Vol.1, No.1 Maret 2012.
Pimpinan Pusat Muhammadiyah, Himpunan Putusan Tarjih.
Yogyakarta: Suara Muhammadiyah, 2012.
Rahmanto,
Mukhlis. “Posisi Hadis Dalam Ijtihad
Muhammadyah”, Afkaruna, Vol. 10, No.1 (Januari-Juni 2014).
Sucipto,
Hary. Tajdid Muhammadiyah. Jakarta: Grafindo, 2005.
[1] Mufidin, “Studi Literatur Tantang Peran
Muhammadiyah Dalam Mengembangkan Pendidikan Islm di Indonesia” Tarbawi , Vol.1,
No.1 Maret 2012, 51.
[2] Ibid.,52.
[3] Ibid.
[4] MAARIF Vol. 4, No.
2 — Desember 2009 hal 34
[5] Hary Sucipto, Tajdid Muhammadiyah
(Jakarta: Grafindo, 2005), 22.
[6] Ibid.,23
[7] Ibid.
[8] Ibid.,27.
[9] Nasruddin Anshory, Matahari Pembaruan (Yogyakarta: Jogja
Bangkit Publisher, 2010), 77.
[10] Hary Sucipto, Tajdid Muhammadiyah,.. 28.
[11] Nasruddin Anshory, Matahari Pembaruan
.. 71.
[12] Ibid.,73.
[13] Ibid.,74
[14] Ibid.,75.
[15] Ibid.,76.
[16] Mukhlis Rahmanto, “Posisi Hadis Dalam Ijtihad
Muhammadyah”, Afkaruna, Vol. 10, No.1 (Januari-Juni 2014), 47
[17] Hamdan Hambali, Ideologi dan Strategi
Muhamadiyah (Yogyakarta: Suara Muhammadiyah, 2011), 47
[18] Pimpinan Pusat Muhammadiyah, Himpunan
Putusan Tarjih (Yogyakarta: Suara Muhammadiyah, 2012), 278.
[19] Asmuji Abdurrahman (ed), Laporan Penelitian
Majelis Tarjih Muhammadiyah (Yogyakarta: Lembaga Research dan Survey IAIN
Sunan Kalijaga), 74.
[20] Ibid.,73
[21] Fathurrahman Djamil, Metode Ijtihad Majelis
Tarjih Muhammadiyah (Jakarta: Logos Publishing House, 1955), 161.
[22] Kasman, Hadis Dalam Pandangan Muhamadiyah (Yogyakarta:
Pustaka Pelajar, 2012), 98.
[23] Ajsmuni Abdurrahmn..29.
[24] Himpunan Putusan Tarjih..382.
[25] Ibid.,49.
[26] Tim Majelis dan Tarjih dan Tajdid Pimpinan
Pusat Muhammadiyah, Tanya Jawab Agama Islam (Yogyakarta: Suara
Muhammadiyah, 2012), 10.
[27] Asjmuni Abdurrahman (ed).. 74.
[28] Syakir Jamaludin, Sholat Sesuai Tuntunan
Nabi Saw Mengupas Kontrovesi Hadis Sekitar Sholat (Yogyakarta: LPPI UMY,
2013), 138.