HOME

02 April, 2022

Hadis Dengan Pemahaman Kontekstual Yang Bersifat Lokal

 

1). Hadis tentang memelihara jenggot.

5893- حَدَّثَنِي مُحَمَّدٌ ، أَخْبَرَنَا عَبْدَةُ ، أَخْبَرَنَا عُبَيْدُ اللهِ بْنُ عُمَرَ عَنْ نَافِعٍ ، عَنِ ابْنِ عُمَرَ ، رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمَا ، قَالَ : : قَالَ رَسُولُ اللهِ صلى الله عليه وسلم : انْهَكُوا الشَّوَارِبَ وَأَعْفُوا اللِّحَى.

Guntinglah kumis dan panjangkanlah jenggot.[1]

Hadis di atas oleh sebagian umat Islam dipahami secara tekstual. Mereka berpendapat Nabi menyuruh semua kaum laki-laki untuk memelihara kumis dengan memangkas ujungnya dan memelihara jenggot dan memanjangkannya. Mereka memandang bahwa ketentuan itu merupakan salah satu kesempurnaan dalam mengamalkan ajaran Islam.

Secara tekstual hadis, perintah Nabi tersebut memang relevan dengan orang-orang Arab dan negara-negara lain yang secara alami dikaruniai rambut yang subur, termasuk kumis dan jenggot. Sedang tingkat kesuburan rambut orang-orang indonesia tidak sama dengan orang-orang arab. Banyak orang indonesia yang kumis dan jenggotnya jarang dan bahkan tidak ada sama sekali.

Atas kenyataan itu, maka hadis diatas tidak bisa dipahami secara tekstual, akan tetapi hadis tersebut harus dipahami secara kontekstual yaitu kandungan hadis tersebut bersifat lokal.


2). Kewajiban menunaikan zakat fithrah

Dalam sebuah riwayat dinyatakan :

1503- حَدَّثَنَا يَحْيَى بْنُ مُحَمَّدِ بْنِ السَّكَنِ ، حَدَّثَنَا مُحَمَّدُ بْنُ جَهْضَمٍ ، حَدَّثَنَا إِسْمَاعِيلُ بْنُ جَعْفَرٍ ، عَنْ عُمَرَ بْنِ نَافِعٍ ، عَنْ أَبِيهِ ، عَنِ ابْنِ عُمَرَ ، رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمَا ، قَالَ : فَرَضَ رَسُولُ اللهِ صلى الله عليه وسلم زَكَاةَ الْفِطْرِ صَاعًا مِنْ تَمْرٍ ، أَوْ صَاعًا مِنْ شَعِيرٍ عَلَى الْعَبْدِ وَالْحُرِّ وَالذَّكَرِ وَالأُنْثَى وَالصَّغِيرِ وَالْكَبِيرِ مِنَ الْمُسْلِمِينَ وَأَمَرَ بِهَا أَنْ تُؤَدَّى قَبْلَ خُرُوجِ النَّاسِ إِلَى الصَّلاَةِ.

“…..Mengeluarkan zakat fitrah sebanyak satu sa‘ kurma atau gandum atas hamba sahaya, orang Dari ibnu Umar ra. Dia berkata Rasulullah saw. Telah mewajibkan untuk merdeka, laki-laki perempuan, anak-anak, dan orang dewasa yang beragama Islam, dan memerintahkan agar zakat fitrah ditunaikan sebelum orang-orang pergi melaksanakan salat ‘Id al-Fitrih.”[2]

Hadis di atas dikemukakan oleh Nabi tanpa didahului oleh sebab secara khusus. Hadis Nabi tentang kewajiban zakat fitrah tersebut merupakan penyampaian shariat (bayan tashri‘) yakni penjelasan Nabi yang dalam al-Quran tidak dikemukakan ketentuannya, Yang ada hanya kewajiaban akan menunaikan zakat.[3] Yang dapat dilakukan pemahaman secara tekstual terhadap hadis tersebut hanyalah hal yang berhungan dengan kewajiban membayar zakat fitrah. Dimana kewajiban itu bersifat universal berlaku kapan saja dan dimana saja. Sedang yang berhubungan dengan material yang digunakan dalam membayar zakat fitrah harus dengan pemahaman kontektual, pernyataan yang menyebutkan kurma dan gandum adalah bersifat lokal. Karna tidak semua daerah terdapat kurma dan gandum. Jadi untuk daerah yang makanan pokok selain dua jenis bahan makanan tersebut, maka zakat fitrahnya ditunaikan dengan jenis makan pokok daerah tersebut.[4]Rasullah menentukan zakat dengan makanan bagitu juga jenisnya, karna memang ketika itu makan lebih mudah didapatkan dan dibutuhkan pada waktu itu. Dan sekarang keadaan berubah dimana uang lebih dibutuhkan daripada makan baik untuk dirinya sendiri ataupun keluarganya, maka dengan memberikan zakat dalam bentuk uang akan lebih berguna bagi mereka, dari sini terliahat jelas bahwa dengan hanya berpegangan pada tekstual hadis terkadang kurang dalam mengamalkan ruh dan tujuan dari hadis itu sendiri.[5]


BACA ARTIKEL LAIN YANG BERKAITAN:


[1]Sahih Bukhari, dalam kitab bada’ al-wahyi, 7, 206. Shahih Muslim, 1,222; . Musnad Ahmadb.Hanbaldalam Musnad Abdullah bin Umar b.Khattab.2,16, no 4654.

[2]Sahih Bukhari.2,161 no;1503.Sahih Muslim.3,68 no; 2325.

[3]Al-Quran Surat al-A‘la 14

[4] Suhudi Ismail, Hadis Nabi yang Tekstual dan Kontekstual.(Jakarta: Bulan Bintang), 1994.51-53

[5] Yusuf al-Qardawi, Kaifa Nata’amal Ma’a al-Sunnah al-Nabawiyah.( Firjiniya: Dar al-Wafa’, 1990),135

Hadis Dengan Pemahaman Kontekstual Yang Bersifat Universal

 

Keimanan pezina, pencuri dan peminum khamr

لاَ يَزْنِي الزَّانِي حِينَ يَزْنِي وَهُوَ مُؤْمِنٌ ، وَلاَ يَسْرِقُ حِينَ يَسْرِقُ وَهُوَ مُؤْمِنٌ ، وَلاَ يَشْرَبُ حِينَ يَشْرَبُهَا وَهُوَ مُؤْمِنٌ.

“Pezina tidak akan berzina tatkala berzina dia beriman, pencuri tidak akan mencuri tatkala dia mencuri dalam keadaan beriman, peminum khamr tidak akan minum khamr tatkala dia minum dalam keadaan beriman.”[1]

Hadis ini tidak mempunyai sebab tertentu. Secara tekstual, hadis tersebut menjelaskan bahwa orang yang berzina, mencuri atau minum khamr tidak dalam keadaan beriman. Artinya orang tersebut bukan lagi orang mukmin. Dalam al-Quran dijelaskan bahwa iman itu dapat bertambah,[2] dengan begitu iman sebenarnya dapat berkurang yakni tatkala melakukan maksiat. Maksud dari istilah iman berkurang dan bertambah adalah kualitas dan kadarnya.

Dengan mengambil pengertian seperti itu, maka pemahaman secara kontekstual terhadap hadis di atas adalah bahwa kualitas dan kadar iman orang yang berzina, mencuri dan minum khamr dan maksiat lainnya adalah sangat rendah, yakni mereka tidak keluar dari Islam selama masih mengakui bahwa tidak ada Tuhan selain Allah dan Muhammad adalah Rasul Allah. Kandungan hadis tersebut adalah bersifat umum (universal).[3]


BACA ARTIKEL LAIN YANG BERKAITAN:


[1]Sahih Bukhari, 3,178 no; 2475. Sahih Muslim 45-56, no: 100-105. Sunan Abi Daud, 4,357 no;4691. Sunan Tirmidhi, 5,15 no; 2625. Musnad Ahmad, 2,243 no; 7316

[2]Al-Quran, Surah al-Anfal:2. Surah al-Taubah; 124

[3]Suhudi Ismail,Hadis Tektual dan Kontekstual. (Jakarta: Bulan Bintang, 1994),50-51

Hadis Dengan Pemahaman Tekstual Yang Bersifat Lokal

 

حَدَّثَنِي إِسْحَاقُ بْنُ نَصْرٍ ، حَدَّثَنَا مُحَمَّدُ بْنُ عُبَيْدٍ ، حَدَّثَنَا عُبَيْدُ اللهِ عَنْ نَافِعٍ وَسَالِمٍ ، عَنِ ابْنِ عُمَرَ ، رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمَا ، قَالَ : نَهَى النَّبِيُّ صلى الله عليه وسلم عَنْ أَكْلِ لُحُومِ الْحُمُرِ الأَهْلِيَّةِ.

Dari Ibn Umar r.a bahwa Nabi saw. Melarang makan daging keledai kampung.[1]

Sebagian ulama ada yang  menyatakan bahwa petunjuk hadith tersebut merupakan salah satu contoh bahwa Rasulullah memiliki wewenang menetapkan hukum yang di dalam al-Quran tidak dijelaaskan. Ulama berselisih pendapat haram sebagian berpendapat makruh.

Para sahabat Nabi pada umumnya dan jumhur ulama sesudah zaman Nabi memahami petunjuk hadis tersebut secara tekstual. Ibnu Abbas yang merupakan salah satusahabat Nabi, membedai pendapat itu. Dia berpendapat bahwa daging keledai kampung halal dimakan berdasarkan dalil al-Quran, surat al-An’am:145. Dia menyatakan bahwa dirinya tidak mengerti latar belakang keharaman daging keledai kampung tersebut, apakah larangan tersebut bertujuan untuk memelihara populasi keledai kampung, atau larangan itu hanya berlaku pada saat perang khaibar saja.

Ulama menyatakan beberapa illat (alasan) keharaman daging keledai kampung tersebut. Bahwa keharamannya ditetapkkan oleh Nabi: a). Dalam rangka memelihara populasi keledai kampung. b). Karena termasuk binatang rijs (kotor), c). Karena merupakan binatang piaraan di rumah. Dan d). Karna Nabi melarangnya, dan ini adalah pendapat jumhur ulama.

Perbedaan pendapat para sahabat dan ulama tersebut antara lain menunjukkan adanya perbedaan pandangan tentang fungsi Nabi ketika menyampaikan hadis tersebut, sebagian golongan berpandangan bahwa pada saat itu Nabi posisinya sebagi Rasulullah, sebagian lagi berpandangan bahwa saat itu Nabi posisinya sebagi kepala negara atau pemimpin masharakat. Untuk golongan kedua maka larangan tersebut bersifat lokal.[2]


BACA ARTIKEL LAIN YANG BERKAITAN:


[1] Sahih Bukhari, juz 5,173. Sahih Muslim, juz 6,63 no 5119. Pada sebagian riwayat dijelaskan akan alasan larangan tersebut

[2]Suhudi Ismail,Hadis Tektual dan Kontekstual. (Jakarta: Bulan Bintang, 1994).41-43

Hadis Dengan Pemahaman Tekstual Yang Bersifat Universal

 

1). Berbuat adil terhadap anak.

2447 -حدثنا حامد بن عمر حدثنا أبو عوانة عن حصين عن عامر قال سمعت النعمان بن بشير رضي الله عنهما وهو على المنبر يقول

 :أعطاني أبي عطية فقالت عمرة بنت رواحة لا أرضى حتى تشهد رسول الله صلى الله عليه و سلم فأتى رسول الله صلى الله عليه و سلم فقال إني أعطيت ابني من عمرة بنت رواحة عطية فأمرتني أن أشهدك يا رسول الله قال ( أعطيت سائر ولدك مثل هذا ) . قال لا قال ( فاتقوا الله واعدلوا بين أولادكم ) . قال فرجع فرد عطيته

Hadis riwayat dari Nu‘man binBashir r.a. dia berkata : “saya telah diberi sesuatu pemberian oleh ayah saya, tetapi (ibu saya) Amrah binti Rawahah tidak merestuinya, sehingga (pemberian itu) dipersaksikan kepada Rasulullah saw. Kemudian (ayah saya) datang menghadap kepada Rasulullah saw. Dan berkata : sesungguhnya saya telah memberi anak saya yang dari Amrah binti Rawahah ini sesuatu pemberian. Dia Amrah meminta saya untuk mempersaksikan pemberian tersebut di hadapan anda ya Rasulullah. Beliau menjawab: apakah kamu memberi semua anak kamu seperti yang kamu berikan pada anakmu ini. Dia menjawab: tidak. Beliau bersabda: bertakwalah kamu kepada Allah swt. Dan berbuat adillah terhadap anak-anakmu.

Nu’man berkata: maka dia (ayah saya) pulang dan menarik(membatalkan) pemberiannya.[1]

Bersikap adil merupakan salah satu ajaran Islam, termasuk orang tua terhadap anaknya, maka cukup dengan pemahaman tekstual hadis tersebut menunjukkan salah satu ajaran Islam yang bersifat universal.[2]Untuk sifat keadilannya ulama berbeda pendapat, ada yang mengatakan sama dengan pemberian waris yaitu anak laki-laki mendapatkan dua bagian dari perempuan, pendapat lain mengatakan harus sama.[3]

2). Mahram karena susuan.

2646 - حَدَّثَنَا عَبْدُ اللَّهِ بْنُ يُوسُفَ أَخْبَرَنَا مَالِكٌ عَنْ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ أَبِى بَكْرٍ عَنْ عَمْرَةَ بِنْتِ عَبْدِ الرَّحْمَنِ أَنَّ عَائِشَةَ - رضى الله عنها - زَوْجَ النَّبِىِّ - صلى الله عليه وسلم - أَخْبَرَتْهَا أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ - صلى الله عليه وسلم - كَانَ عِنْدَهَا ، وَأَنَّهَا سَمِعَتْ صَوْتَ رَجُلٍ يَسْتَأْذِنُ فِى بَيْتِ حَفْصَةَ . قَالَتْ عَائِشَةُ فَقُلْتُ يَا رَسُولَ اللَّهِ أُرَاهُ فُلاَنًا . لِعَمِّ حَفْصَةَ مِنَ الرَّضَاعَةِ . فَقَالَتْ عَائِشَةُ يَا رَسُولَ اللَّهِ ، هَذَا رَجُلٌ يَسْتَأْذِنُ فِى بَيْتِكَ . قَالَتْ فَقَالَ رَسُولُ اللَّهِ - صلى الله عليه وسلم - « أُرَاهُ فُلاَنًا » . لِعَمِّ حَفْصَةَ مِنَ الرَّضَاعَةِ . فَقَالَتْ عَائِشَةُ لَوْ كَانَ فُلاَنٌ حَيًّا - لِعَمِّهَا مِنَ الرَّضَاعَةِ - دَخَلَ عَلَىَّ فَقَالَ رَسُولُ اللَّهِ - صلى الله عليه وسلم - « نَعَمْ ، إِنَّ الرَّضَاعَةَ تُحَرِّمُ مَا يَحْرُمُ مِنَ الْوِلاَدَةِ »

Sesungguhnya susuan itu mengharamkan apa yang menjadi haram karena kelahiran (keturunan).[4]

Hadis Nabi di atas merupakan penjelasan ketentuan al-Quran surat al-Nisa’:23. Nabi Muhammad melalui hadisnya itu menjelaskan bahwa kemahraman atas susuan berkedudukan sama dengan kemahraman atas dasar keturunan. Dan ketentuan ini bersifat universal. Artinya ketentuan ini berlaku tanpa ada batasan waktu, terhadap siapapun dan dalam kondisi apapun.[5]

3). Hadis tentang perintah patuh kepada pemimpin.

7144- حَدَّثَنَا مُسَدَّدٌ ، حَدَّثَنَا يَحْيَى بْنُ سَعِيدٍ ، عَنْ عُبَيْدِ اللهِ ، حَدَّثَنِي نَافِعٌ ، عَنْ عَبْدِ اللهِ ، رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ ، عَنِ النَّبِيِّ صلى الله عليه وسلم قَالَ : السَّمْعُ وَالطَّاعَةُ عَلَى الْمَرْءِ الْمُسْلِمِ فِيمَا أَحَبَّ وَكَرِهَ مَا لَمْ يُؤْمَرْ بِمَعْصِيَةٍ فَإِذَا أُمِرَ بِمَعْصِيَةٍ فَلاَ سَمْعَ ، وَلاَ طَاعَة.

Taatlah atas pemimpin baik terhadap sesuatu yang menyenangkan atau yang meberatkan kecuali diperintah dalam kema’siatan, maka tidak ada ketaatan dalam hal tersebut.[6]

Hadis ini dinilai sahih.[7]Hadis tersebut mengandung perintah taat kepada pemimpin masharakat (Ulu al-Amri) baik itu memberatkan atau menyenangkan supaya dipatuhi. Kecuali perintah untuk Ma‘siat,[8] Hadis ini dapat kita hadapkan dengan ayat al-Quran[9] dengan demikian dari segi matan, hadis ini bisa dipahami sacara tekstual, dimana muatan hadis tentang kewajiaban taat kepada pemimpin disini bersifat universal. Walaupun pengertian Ulul Amri masih diperselisihkan.[10]


[2]Ismail, Suhudi. Hadis Tektual dan Kontekstual. (Jakarta: Bulan Bintang, 1994). 27-28

[3] Ibnu Hajar, Fath Al-Bari, bab Hibah li al-Walad, Fath al-Bari, Beirut: Dar Ma‘rifah, 1379).5,214

[4]Muhammad b, Ismail Al-Bukhari, Sahih Bukhari. (Beirut: dar al-kutub al-ilmiyah,2008).3,222.

[5] Suhudi Ismail, Hadis Nabi Yang Tekstual dan Kontekstual,(Jakarta: Bulan Bintang, 1994).12

[6] Sahih Bukhari, juz 9,78 no 7144, Sahih Muslim, juz 6,15 no 4869, (Musnad Admad bin Hanbal). 2,142 no. 6278

[7]Husain bin Mas’ud al-Baghawi, Sharhu al-Sunnah, (Beirut: Maktabah al-Islami, 1983).10, 43

[8]Abu al-farj abdurrahman ibnu al-jauzi, Kashfu Mushkil Min Sahihain,(Riyad: Dar al-Nashar,1997).1, 636

[9]Al-Quran, Surat al-Nisa’ 29

[10]Zuhri, Muh. Tela’ah matan hadis: sebuah tawaran metodologis. (Yogyakarta: Lesfi, 2003), 66

MAKALAH HADIST TENTANG HIJAB

  A.   Latar Belakang Telah disepakati oleh seluruh umat Islam bahwa al-Qur’an menjadi pedoman hidup baik tentang syariah maupun dalam keh...