1).
Hadis tentang memelihara jenggot.
5893-
حَدَّثَنِي مُحَمَّدٌ ، أَخْبَرَنَا عَبْدَةُ ، أَخْبَرَنَا عُبَيْدُ اللهِ بْنُ
عُمَرَ عَنْ نَافِعٍ ، عَنِ ابْنِ عُمَرَ ، رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمَا ، قَالَ : :
قَالَ رَسُولُ اللهِ صلى الله عليه وسلم : انْهَكُوا الشَّوَارِبَ وَأَعْفُوا
اللِّحَى.
Guntinglah kumis dan
panjangkanlah jenggot.[1]
Hadis di atas
oleh sebagian umat Islam dipahami secara tekstual. Mereka berpendapat Nabi menyuruh
semua kaum laki-laki untuk memelihara kumis dengan memangkas ujungnya dan
memelihara jenggot dan memanjangkannya. Mereka memandang bahwa ketentuan itu
merupakan salah satu kesempurnaan dalam mengamalkan ajaran Islam.
Secara
tekstual hadis, perintah Nabi tersebut memang relevan dengan orang-orang Arab dan
negara-negara lain yang secara alami dikaruniai rambut yang subur, termasuk
kumis dan jenggot. Sedang tingkat kesuburan rambut orang-orang indonesia tidak
sama dengan orang-orang arab. Banyak orang indonesia yang kumis dan jenggotnya
jarang dan bahkan tidak ada sama sekali.
Atas
kenyataan itu, maka hadis diatas tidak bisa dipahami secara tekstual, akan
tetapi hadis tersebut harus dipahami secara kontekstual yaitu kandungan hadis
tersebut bersifat lokal.
2).
Kewajiban menunaikan zakat fithrah
Dalam sebuah riwayat
dinyatakan :
1503- حَدَّثَنَا
يَحْيَى بْنُ مُحَمَّدِ بْنِ السَّكَنِ ، حَدَّثَنَا مُحَمَّدُ بْنُ جَهْضَمٍ ،
حَدَّثَنَا إِسْمَاعِيلُ بْنُ جَعْفَرٍ ، عَنْ عُمَرَ بْنِ نَافِعٍ ، عَنْ أَبِيهِ
، عَنِ ابْنِ عُمَرَ ، رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمَا ، قَالَ : فَرَضَ رَسُولُ اللهِ
صلى الله عليه وسلم زَكَاةَ الْفِطْرِ صَاعًا مِنْ تَمْرٍ ، أَوْ صَاعًا مِنْ
شَعِيرٍ عَلَى الْعَبْدِ وَالْحُرِّ وَالذَّكَرِ وَالأُنْثَى وَالصَّغِيرِ
وَالْكَبِيرِ مِنَ الْمُسْلِمِينَ وَأَمَرَ بِهَا أَنْ تُؤَدَّى قَبْلَ خُرُوجِ
النَّاسِ إِلَى الصَّلاَةِ.
“…..Mengeluarkan zakat fitrah sebanyak satu sa‘
kurma atau gandum atas hamba sahaya, orang Dari ibnu Umar ra. Dia berkata Rasulullah
saw. Telah mewajibkan untuk merdeka, laki-laki perempuan, anak-anak, dan orang
dewasa yang beragama Islam, dan memerintahkan agar zakat fitrah ditunaikan
sebelum orang-orang pergi melaksanakan salat ‘Id al-Fitrih.”[2]
Hadis di atas dikemukakan oleh Nabi tanpa didahului oleh sebab secara khusus. Hadis Nabi tentang kewajiban zakat fitrah tersebut merupakan penyampaian shariat (bayan tashri‘) yakni penjelasan Nabi yang dalam al-Quran tidak dikemukakan ketentuannya, Yang ada hanya kewajiaban akan menunaikan zakat.[3] Yang dapat dilakukan pemahaman secara tekstual terhadap hadis tersebut hanyalah hal yang berhungan dengan kewajiban membayar zakat fitrah. Dimana kewajiban itu bersifat universal berlaku kapan saja dan dimana saja. Sedang yang berhubungan dengan material yang digunakan dalam membayar zakat fitrah harus dengan pemahaman kontektual, pernyataan yang menyebutkan kurma dan gandum adalah bersifat lokal. Karna tidak semua daerah terdapat kurma dan gandum. Jadi untuk daerah yang makanan pokok selain dua jenis bahan makanan tersebut, maka zakat fitrahnya ditunaikan dengan jenis makan pokok daerah tersebut.[4]Rasullah menentukan zakat dengan makanan bagitu juga jenisnya, karna memang ketika itu makan lebih mudah didapatkan dan dibutuhkan pada waktu itu. Dan sekarang keadaan berubah dimana uang lebih dibutuhkan daripada makan baik untuk dirinya sendiri ataupun keluarganya, maka dengan memberikan zakat dalam bentuk uang akan lebih berguna bagi mereka, dari sini terliahat jelas bahwa dengan hanya berpegangan pada tekstual hadis terkadang kurang dalam mengamalkan ruh dan tujuan dari hadis itu sendiri.[5]
- Hadis Dengan Pemahaman Tekstual Yang Bersifat Lokal
- Hadis Dengan Pemahaman Tekstual Yang Bersifat Universal
- Hadis Dengan Pemahaman Kontekstual Yang Bersifat Universal
- Hadis Dengan Pemahaman Kontekstual Yang Bersifat Lokal
- Hadist Ungkapan Simbolik
- Hadist Tamstil (Perumpamaan)
- Hadis Yang Singkat Padat Makna
- Hadis Tentang Nabi Musa Menampar Malaikat
- Hadis Tentang Nabi Musa Mandi Telanjang Di Depan Umum
- Hadis Tentang Hal-Hal Yang Menyebabkan Lupa
[1]Sahih Bukhari, dalam
kitab bada’ al-wahyi, 7, 206. Shahih Muslim, 1,222; . Musnad
Ahmadb.Hanbaldalam Musnad Abdullah bin Umar
b.Khattab.2,16, no
4654.
[2]Sahih Bukhari.2,161
no;1503.Sahih
Muslim.3,68 no; 2325.
[3]Al-Quran Surat al-A‘la 14
[4] Suhudi Ismail, Hadis Nabi
yang Tekstual dan
Kontekstual.(Jakarta: Bulan Bintang), 1994.51-53
[5] Yusuf al-Qardawi, Kaifa Nata’amal Ma’a al-Sunnah
al-Nabawiyah.( Firjiniya: Dar al-Wafa’, 1990),135