HOME

05 Maret, 2022

Studi Kasus Hadis : Hadis tentang Ilmu yang Tersembunyi

 1.      Telaah Hadis tentang Ilmu yang Tersembunyi

رواه سفيان بن عيينة عن ابن جريج عن عطاء عن أبي هريرة عن رسول الله صلى الله عليه وسلم قال : إن من العلم كهيئة المكنون لا يعلمه إلا العلماء بالله فإذا نطقوا به لا ينكره إلا أهل الغرة بالله.   

Diriwayatkan oleh Sufyan bin Uyainah dari Juraij dari ‘Ata’ dari Abu Hurairah, Rasulullah SAW. bersabda: “Sesungguhnya terdapat bagian dari ilmu yang tersembunyi, hanya para ulama Allah yang mengetahuinya, maka apabila mereka membicarakannya, hanya orang-orang yang lalai akan Allah yang mengingkarinya”.

            Abu Abdurrahman al-Sulaimi meriwayatkan hadis tersebut dalam kitab al-Arbain fi al-Tasawwuf, sanadnya ia dapatkan dari Hamid Al-Harwi bersambung ke Nasr bin Muhammad bin al-Harith, lalu Abd al-Salam bin Salih kemudian barulah sampai pada sang muara Sufyan bin ‘Uyainah.[1] Kesemua rantai sanad di atas terhubung dengan lambang periwayatan haddathana, kecuali rantai terakhir yang menghubungkan antara Abd al-Salam bin Salih dan Sufyan bin Uyainah, menggunakan lafal ‘an. Dalam istilah muhadisin, haddathana yang berarti telah diriwayatkan kepada kami, memiliki otoritas lebih tinggi dibandingkan lafal ‘an. Lafal pertama memuat kabar bentuk transmisi yang jelas, sedang lafal kedua meskipun berpotensi memiliki makna yang sama, akan tetapi tetap saja ia mengandung bentuk transmisi yang samar. Tak elak bila yang pertama dinilai lebih actual dalam menyampaikan fakta.

             Selain itu al-Dailamy juga meriwayatkan hadis tersebut dalam Musnadnya, Musnad al-Firdaus. Sanad yang digunakan berbeda dengan al-Sulaimi. Hadis yang diriwayatkannya memakai jalur sanad Abu Abd al-Rahman. Meskipun, pada akhirnya al-Mundhiri melemahkannya dan al-‘Iraqi dalam kita Takhrij Ahadith al-Ihya’ turut mengamini hal tersebut.[2]

            Dalam buku al-Targhib, al-Tibby memaparkan sanad hadis di atas dengan jalur al-Qadi Abu Bakar Ahmad bin al-Hasan, berlanjut ke Abu Ali Hamid bin Muhammad al-Rifa al-Harwy, lalu Nasr bin Ahmad al-Bauzijani. Semuanya menggunakan lafal anba’ana, kemudian dilanjutkan ke Abd al-Salam bin Salih dengan lafal transmisi haddathana, barulah bersambung ke perawi pokok yakni Sufyan bin Uyainah sampai akhir. Sedang golongan lainnya juga meriwayatkan hadis tersebut melalui jalur sanad Abi Salt Abd al-Salam bin Salih al-Harwy. Sementara, Abd al-Salam al-Harwy dikenal perawi yang lemah kapabelitasnya. Mau tak mau, hal ini berakibat pada kelemahan otoritas hadis yang diriwayatkan.[3]

            Ditambah lagi, penulis pribadi tidak menemukan hadis ini dalam kutub al-sittah, 6 kitab monumental dan muktabar dalam bidang hadis. akan tetapi terdapat riwayat senada dengan hadis tersebut dalam kitab ‘Awarif Al-Ma‘arif. “Ia adalah rahasia-rahasia Allah, yang ditampakkan kepada para wali yang amanah dan insan-insan yang mulia tanpa adanya proses belajar. Dan ia adalah bagian dari sekian rahasia yang tak tersentuh tabirnya kecuali orang-orang yang khusus”.[4]

            Begitu juga yang dikatakan oleh Abu Sa‘id al-Kharraz, ia berpendapat bahwa bagi golongan manusia yang telah mencapai tingkatan arif, mereka mempunyai lumbung tersendiri yang mana mampu memuat dan menyimpan berbagai ilmu yang berbau aneh dan pengetahuan yang ajaib. Mereka memperbincangkannya melalui lisan yang abadi dan menjabarkannya dengan retorika azali,[5] serta ia merupakan bagian dari ilmu yang samar.[6]

            Ditambah lagi dengan adanya hadis Nabi SAW lainnya yang masih senada dengan hadis tentang ilmu yang tersembunyi. Berisikan sebagai berikut: “Allah SWT. Berkata: “Hai ulama, sesungguhnya ilmuKu takkan kuberikan padamu kecuali karena pengetahuanKu atas dirimu, bangkitlah sesungguhnya aku telah mengampuni kalian”. Diriwayatkan oleh Ibn ‘Adiy melalui Wathilah bin al-Asqa marfu’ (bersambung hingga Rasulullah SAW) dan dihukumi munkar oleh sebagian ulama. Namun, masih terdapat jalur sanad yang lain melalui Ibn ‘Adiy dari Abu Musa al-‘Ash‘aryn marfu’. Jua termaktub dalam al-Lali’i seperti yang dikatakan al-Shaukani, bahwa para perawi dalam periwayatan hadis ini dinilai berkapabelitas dan terpercaya (‘adil dan dabit) serta hadis ini masih memiliki beberapa jalur sanad yang lain.[7]

2.         Perspektif Ibn ‘Arabi tentang Ilmu yang Tersembunyi

            Dalam pandangan Ibn Arabi, hadis tersebut merupakan hadis sahih melalui kashaf menurut ahlinya. Benar adanya, bila terdapat sebagian ilmu yang bersifat tersembunyi. Namun, pada hakikatnya ilmu tersebut tidak tersembunyi secara mutlak. Karena apabila hal itu terjadi, maka tidak akan ada ulama satu pun yang mengetahui tentang eksistensi ilmu tersebut dan perkara tersebut hanya Allah lah yang tahu. Akan tetapi sekali lagi, pada kenyataannya Allah menganugrahi dan mewarisi ilmu tersebut kepada manusia, meskipun hanya kepada insan-insan tertentu. Dengan demikian ilmu tersebut tetaplah tersembunyi, meskipun tidak seutuhnya.[8]

            Sebagaimana yang kita ketahui, pengetahuan insan akan Tuhannya akan membuatnya mewarisi segala ilmu-ilmu yang Allah berikan dan diajarkan padanya. Tak ayal, ilmu-ilmu ini hanya akan diberikan kepada komunitas manusia tertentu saja, bukan bersifat umum. Karena tidak bersifat umum inilah, maka setiap individu yang tergolong dalam komunitas khusus ini diperkenankan untuk tidak memperbincangkan perkara ini di depan khalayak ramai. Mengapa? sebab kembali kepada hal pertama tadi, bahwa hanya insan-insan tertentu yang memperoleh anugerah tersebut, juga hanya mereka yang mengerti sepenuhnya tentang perkara di dalamnya. Maka apabila diperbincangkan di khalayak ramai di mana kapabelitas akal dan kualitas iman manusia berbeda-beda, tak pelak akan menimbulkan perseteruan dan pengingkaran dari golongan orang-orang yang merasa lebih tahu akan Tuhannya, namun pada kenyataannya lalai.[9]

            Dan jika suatu saat, timbul padanya sebuah rasa pemaksaan ataupun layaknya seperti perintah, yang ia dapatkan melalui penerawangan spritualnya atau kashaf, namun tidak sesuai dengan pilihannya, maka ketika ia kerjakan dan menimbulkan pertentangan, manusia yang terkhusus itu tidaklah bersalah. Juga tidak melanggar apa yang ada. Karena sejatinya, ia hanya mengerjakan perkara yang ia ketahui saja, tidak lebih. Dengan demikian, tindakan yang ia perbuat tidaklah membahayakannya, bahkan Allah pun mengampuninya.[10]

            Tak salah bila dikatakan ilmu yang bersifat tersembunyi ini diketahui secara individual dan tak bisa diwariskan. Lain halnya dengan ilmu yang didapat dari hasil olah pikir. Ilmu tersebut masih bisa untuk dipindahkan, diwariskan kepada generasi selanjutnya yang berkompeten. Masih dapat diwariskan karena terdapat dalil-dalil, atau bukti-bukti secara logis, sehingga dapat diterima rasio dengan mudah. Sedang ilmu yang khusus itu tidak demikian. Ilmu tersebut didapat tanpa ada proses berpikir. Ia seperti anugerah yang tidak bisa ditolak, dan mampu diterima walau tanpa dalil apapun seketika.[11]

            Tak heran, bila sebagian dari komunitas mereka mengatakan bahwa ilmu itu di luar dari daya otak, jauh dari rasionalitas yang sangat tinggi. Statement mereka bersandar pada kalam ilahi yang menyinggung tentang kisah Nabi Khidir AS. “ Telah kami ajarkan padanya ilmu dari sisi kami”.[12] Dan firman Allah di surat al-Rahman “Mengajarinya al-Bayan”.[13] Dari kata-kata ‘allamahu (mengajarinya) diambillah benang merah bahwa ilmu ini didapatkan melalui pengajaran, yang berasal dari Allah langsung kepada hambaNya tanpa perantara melainkan melalui penyingkapan spiritual. Telah kita ketahui bersama bahwa Allah Maha Kuasa atas segala sesuatu, bukanlah hal yang aneh bila ia mengajari hambaNya segala sesuatu di berbagai urusan, karena Ia bertindak sesuai dengan kehendakNya. Ada ilmu yang mampu dicerna rasio manusia, adapula yang tidak, namun tak mustahil bila terjadi. Terkadang, adapula yang sama sekali tidak bisa dicapai akal dan mustahil untuk terjadi. Karena kita semua tahu, di sana ada kawasan yang tidak bisa disentuh oleh otak. Tak pelak bila disebut jauh dari hasil olah pikir manusia.

            Dengan demikian, maklum adanya bila ilmu-ilmu yang dianggap tersembunyi tersebut tidak bisa dikupas secara nyata. Karena ia seperti ilmu tentang rasa, yang tidak bisa diungkapkan dengan kata-kata.

Baca Juga Artikel yang lainya :

Daftar Pustaka

‘Asqalani (al), Ibn Hajar. Sharh Nukhbah Nuzhah al-Nazar fi TaudihI Nukhbat al-Fikr. Kairo: Dar al-                Basair, 2011.

Bukhari (al), Muhammad bin Ismail Abu Abdillah. Sahih Bukhari. tahkik Muhammad Zahir bin Nasir                 al-Nasir. t.tp: Dar Tauq al-Najah, 1422 H.

Dhahabi (al), Shams al-Din Abu ‘Abdullah Muhammad bin Ahmad. Siyar A‘lam al-Nubala’. Kairo: Dar             Al-Hadith, 2006.

Ghamary (al), Abu al-Yasar Abd al-Aziz bin Al-Siddiq. al-Qaul al-Asad fi Bayani Hali Hadith Ra’aitu                 Rabbi fi Surati Shab Amrad, Amman: Dar Imam Nawawi, 2009.

Ghazali (al), Abu Hamid Muhammad bin Muhammad. Ihya’ ‘Ulum al-Din. Beirut: Dar al-Ma‘rifah,                     t.th.

_________. Risalah al-Imam al-Ghazali. Kairo: Maktabah Tauifiqiyyah, t.th.

Ghurab, Mahmud Mahmud. al-Hadith fi Sharh al-Hadith min Kalam al-Syaikh al-Akbar Muhyidin Ibn             Arabi. t.tp, 2007.

_________. al-Tariq ila Allah –al-Syaikh wa al-Murid- min Kalam al-Syaikh al-Akbar Muhyidin Ibn                 ‘Arabi. t.tp, t.th.

Hajjaj, Muslim bin. Sahih Muslim. tahkik Muhammad Fuad ‘Abd al-Baqi. Beirut: Dar Ihya’ Turath,                 t.th.

Hanbal, Ahmad bin. Musnad Ahmad. Tahkik Shu‘aib al-Arnaut. Beirut: Muassasah al-Risalah, 2001.

Hasani (al), Abdullah bin Muhammad bin al-Siddiq al-Ghamary. al-Fawaid al-Maqsudah fi bayan al-                Ahadith al-Shadhah al-Mardudah. Amman: Dar Imam Nawawi, 2007.

Jami (al), Nuruddin Abdurrahman. Nafahat al-Ins min Hadrat al-Quds. tahkik Muhammad Adib al-                    Jadir. Beirut: Dar al-Kutub al-Ilmiyah, 2003.

________. Naqd al-Nusus Sharh Naqsh al-Fusus. t.tp, 1375.

Jum’ah, ‘Ali. Mada Hujjiyah al-Ru’ya ‘inda al-Usuliyin. Kairo: Dar al-Risalah, 2004.

Jurjani (al), Sayyid Sharif Ali bin Muhammad. al-Ta‘rifat. Beirut: Dar Kutub al-Ilmiyah, 1983.

Kurdi (al), Muhammad Najm al-Din. al-Dalail al-‘A<liyah : As’ilah wa al-Ajwibah fi al-Tasawwuf wa             al-Tariqat al-Sadat al-Naqshabandiyah. Kairo: Maktabah Kurdiyah, 2008.

Maghribi (al), Ahmad bin Muhammad bin Al-Siddiq al-Hasani al-Ghamary. ‘Awatif al-Lataif min                     Ahadith ‘Awarif al-Ma’arif. Arab Saudi: Maktabah Makkiyah, 2001.

Murakibi (al), ‘Abdurrahman bin Muhammad. Qadiyyat al-Takwil fi al-Fikr al-Islamy. Kairo: Dar al-                Tiba‘ah al-Muhammadiyah, 1987.

Qutb, ‘Abd al-Fattah Ahmad. Al-Ilham wa Dalalatuhu ‘ala al-Ahkam; Dirasat Usuliyah. Kairo:                         Muassasah Qurtuba, 2005.

Sahruradi (al), Abi Hafs Umar bin Muhammad bin Abdillah. ‘Awarif al-Ma‘arif. Arab Saudi: Maktabah             Makkiyah, 2001.

Shah, Muhammad Aunul Abid. ‘An Al-Ahaadith allati Sahhat Kashfan ‘inda Al-Sufiyah. t.tp, 2012.

Sindi (al), al-‘Allamah. Fath al-Wadud bi Sharh Sunan Abi Dawud.  tahkik. Najm al-Din al-Kurdi.                     Kairo: Maktabah Kurdiyah, 2008.

Sumbulah, Umi. Kajian Kritis Ilmu Hadis. Malang: UIN Maliki Press, 2010.

Tabarani. Musnad al-Shammiyin li al-Tabarani. tahkik Hamdi bin ‘Abd al-Majid al-Salafi. Beirut :                     Muassasah al-Risalah, 1984.

Zahwu, Muhammad Muhammad. al-Hadith wa al-Muhaddithun. t.tp: Dar al-Fikr al-Arabi, t.th.



[1] Ahmad bin Muhammad bin Al-Siddiq al-Hasani al-Ghamary al-Maghribi, ‘Awatif al-Lataif min Ahadith ‘Awarif al-Ma’arif, (Arab Saudi: Maktabah Makkiyah, 2001), 764.

[2] Lihat Jami’ al-Ahadith, bab Inna al-Muashadadah ma‘a Hamzah, Juz 9, no. 8481, 308.

[3] al-Ghamary al Maghribi, ‘Awatif al-Lataif, 764.

[4] Abi Hafs Umar bin Muhammad bin Abdillah al-Sahruradi, ‘Awarif al-Ma‘arif, (Arab Saudi: Maktabah Makkiyah, 2001), 893.

[5] Maksud dari lisan abadi dan retorika azali tak lain adalah isyarat bahwa mereka berbicara dengan bantuan Allah.

[6] Ibid., 893.

[7] Ibid., 893.

[8] Mahmud Mahmud Ghurab, al-Hadith fi Sharh al-Hadith min Kalam al-Syeikh al-Akbar Muhyidin Ibn Arabi, (t.tp, 2007), 23.

[9] Ibid., 24.

[10] Ibid., 24.

[11] Ibid., 24.

[12] al-Qur’an, 18:65.

[13] al-Qur’an, 55:4.

Otoritas Kashaf Dalam Hadis Nabawi

 

Sebelum berbincang panjang lebar dengan kashaf dalam dunia sufi, eloknya berkenalan terlebih dahulu dengan makna kashaf itu sendiri. Secara terminologi, kashaf berarti menyibak tabir. الكشف هو رفع الحجاب Sedang secara epistemologi sufi berarti menyibak tabir tentang hal-hal yang berhubungan dengan gaib dan hakikat sesuatu melalui eksistensinya maupun apa yang tampak. [1]

الاطلاع على ما وراء الحجاب من المعاني الغيبية و الأمور الحقيقية وجودا و شهودا

            Kashaf banyak macamnya, meliputi mimpi, ilham dan wahyu. Kashaf menurut Ibn ‘Arabi ada dua jenis, hissi dan khayali. Pertama kashaf melalui panca indera yang nyata, lainnya adalah kashaf melalui firasat dalam khayal. Tidak ada definisi khusus untuk kedua hal tersebut, hanya saja kita bisa membedakan di antaranya, yakni apabila kita melihat seseorang atau sebuah perilaku makhluk maka tutuplah kedua mata kita, apabila hal tersebut masih tetap ada, maka ia berada dalam alam bawah sadar (khayal). atau dengan kata lain itulah kashaf khayali. Sedangkan bila hal tersebut tidak ada, maka kashaf hissi.[2]

            Sementara, mimpi sebagai bagian dari kashaf, bagi para fakih tidak bisa dijadikan dalil ataupun otoritas dalam Islam. Karena kashaf seperti yang tadi disebutkan adalah ilmu yang didapatkan secara personal dan tidak dapat diwariskan kepada khalayak umum. Apalagi, orang dalam keadaan tidur tidak memiliki tanggungan dan beban. Karena posisi dia bukanlah mukalaf, terlebih mempunyai hak untuk meriwayatkan sesuatu. Kemudian mimpi sesuai kebiasaannya, muncul berbanding terbalik dengan kenyataannya, karena ia merupakan simbol-simbol dan isyarat yang membutuhkan penafsiran dan penakwilan.[3] Maka hukum-hukum shariat Islam hanyalah berbasis kepada al-Qur’an, sunah, konsensus para ulama, analogi dan sebagainya.

            Kembali kepada macam-macam kashaf, antara mimpi dan ilham terdapat keterkaitan semacam hubungan umum dan khusus bagi sebagian ulama. Ilham mencakup mimpi dalam metodenya, sedang mimpi berarti salah satu jenis dari ilham. Sementara sebagian ulama yang lain berpendapat di antara keduanya tabayun. Ilham adalah kashaf dalam kondisi sadar, berbeda dengan mimpi yang termasuk kashaf di kala tidur. Yang jelas, kesemuanya di atas mencakup mimpi, ilham, ataupun pertemuan dengan Rasulullah dalam keadaan sadar termasuk beberapa metode yang dapat menentukan keabsahan sebuah hadis melalui kashaf.[4]

            Bentuknya pun bermacam-macam, seperti terbukanya tabir padanya akan hakikat sebuah hadis tertentu. Sebagaimana yang dialami oleh Ali bin Abi Talib. Di mana ia mendapatkan ilham dari Allah berupa petunjuk, ataupun peringatan padanya untuk mencerna kembali sebuah hadis tentang rahbah, berdasarkan pada kebiasaan dan bahasa Nabi SAW, serta retorikanya. Diriwayatkan dari Imam al-Mustaghfiry dengan sanadnya, bahwasannya Ali bertanya kepada seseorang tentang hadis rahbah, kemudian berbohonglah orang itu kepada Ali. Maka Ali berkata: “Engkau membohongiku”. Orang tersebut menjawab: “Tidak, aku tidak membohongimu”. Kemudian berkatalah Ali: “Apakah aku harus mendoakanmu buta terlebih dahulu jikalau dirimu benar-benar berdusta?”. Ia menjawab: “Berdoalah saja”. Maka berdoalah Ali seperti demikian, hingga akhirnya orang tersebut benar-benar buta.[5]

            Dengan demikian, perlunya memahami pernyataan Abd al-Rahman bin Mahdi, guru Imam Bukhari bahwasannya makrifat hadis adalah ilham. Yakni dalam mengetahui hadis, ilham merupakan unsur penyokongnya.[6]Tak ayal, Abdullah al-Ghamari menyatakan peranan ilham dalam kritik hadis. “Dan ulama hadis menelaah ‘ilal-‘ilal hadis yang zahir dan tersembunyi (khafiy) dengan menggunakan ilham yang dikhususkan Allah kepada mereka, sehingga mereka mampu mengetahui hadis yang maudu‘ meskipun secara zahir sanadnya sahih.[7] Mungkin hal inilah yang membuat seorang peneliti mengatakan seorang sufi dalam menelaah hadis tidak hanya mengandalkan kritik sanad dan matan semata, namun mereka juga menelisik kandungannya, apabila sesuai dengan kashaf yang ia peroleh maka hadisnya sahih apabila bertentangan maka hadisnya mardud. berbeda dengan ulama-ulama zahir meliputi muhadisin, mutakallimin, fukaha yang mana pembahasan dan ilmunya selalu berkutat dalam daerah dzan, kebenarannya bersifat relatif bukan absolut.[8]

            Adapun bentuk lainnya yang seringkali disebut dengan al-Rabitah al-Barzakhiyah, bisa dideskripsikan sebagai komunikasi dua pihak, antara sufi yang tengah meneliti keabsahan hadis dengan perawi tersebut. Di mana seorang Fulan dalam tidurnya berjumpa dengan sang perawi asli, kemudian sang perawi dengan serta merta membenarkan keabsahan hadis yang diduga lemah oleh sebagian kalangan. Ataupun sebaliknya, malah menyangkal partisipasinya dalam sebuah periwayatan hadis yang sebelumnya dianggap benar. [9]

            al-Rabitah al-Barzakhiyah atau dalam istilah lainnya Kashfu al-Qabr, merupakan kontak batin yang terjadi di antara manusia-manusia yang saleh, ataupun antara syeikh dan muridnya, yang mana salah satu di antaranya telah berpindah ke alam barzah. Entah kontak batin tersebut berisikan pengajaran atau nasehat semata. Yang jelas, arwah syaikh itu tampak dengan jasad aslinya dan mampu dilihat oleh sahibul kashaf dengan melalui perantara mimpi atau penyingkapan tersebut bisa terjadi ketika sahibul kashaf berada dalam alam sadarnya alias nyata. Maupun melalui ziarah makam-makam para syeikh akbar beserta para wali. Kesemuanya itu bukanlah hal yang baru, karena telah banyak dalil dalam al-Qur’an dan hadis serta asar para sahabat dan tabiin yang mengungkap tentang hal tersebut.[10]

            Dalam tarekat Naqsabandiyah, bentuk penyingkapan di atas lebih dikenal dengan sebutan tarbiyah Uwaisiyah. Kata Uwaisiyah diambil dari sosok Uwais al-Qarni, seorang tabiin yang belum berkesempatan untuk bertemu dengan Nabi SAW. Namun, memiliki keistimewaan khusus hingga membuat Ali bin Abi Talib dan Umar bin Khattab menyalaminya dan memohon kepada dirinya untuk mendoakan mereka berdua. Hal tersebut tentunya tak lepas dari perintah Nabi SAW. kepada kedua Khalifah Rashidin sebelum beliau wafat.[11]

            Tidak hanya dua bentuk itu saja, melainkan terdapat bentuk lain di mana sahibul kashaf dapat melihat Nabi SAW dalam posisi tidur. Di situlah Nabi ditanya tentang keabsahan hadis yang dipermasalahkan oleh sahibul kashaf, dijawablah Nabi SAW dengan ingkar  jikalau hadis tersebut palsu, atau dengan penegasan jikalau benar dan sahih. Namun tidak bisa dikatakan bahwa seseorang yang telah bertemu Nabi SAW. dalam kondisi ini disebut sebagai sahabat. Karena bagi para muhadis, sahabat adalah seseorang yang bertemu Nabi SAW. dalam keadaan beriman dan meninggal dalam keislamannya.[12]

            Dari sekian hasil kashaf dari berbagai bentuk yang ada, jikalau hasil kashaf menunjukkan kepada kesahihan sebuah hadis, yang mana secara disiplin ilmu hadis sendiri hadis tersebut bernilai hasan atau sahih, maka tidak ada pertentangan mengenai otoritas hadis tersebut. Karena buah dari kashaf dinilai sebagai penegas, dalam kata lain didapatkannya dua bukti bagi satu perkara. Kemudian, harus disadari bahwa otoritas dari hasil kashaf yang benar hanya diperuntukkan bagi sahibul kashaf saja, tidak bagi yang lain. Juga tidak diperkenankan untuk menyeru khalayak umum untuk mengaplikasikan buah kashaf yang diperolehnya. Otoritasnya bukanlah publik melainkan individual. Berangkat dari sini, sebagian ulama menentukan pagar-pagar batasan dalam lingkup otoritas kashaf yang berasal dari individual selain para Nabi. Dikatakan bahwa buah kashaf tak berarti apa-apa apabila bersinggungan perihal akidah, serta hukum shariat mencakup wajib, makruh, mandub. Kecuali apabila berhubungan perihal keutamaan amal ataupun meliputi berbagai urusan yang berhukum mubah, ia menjadi hal yang tidak dipermasalahkan.[13]

            Di samping itu, karena otoritas kashaf bersifat individual, tidak bisa dinafikan bila terkadang tak semua hasil dari penyingkapan spiritual tersebut bernilai mutlak. Ada yang benar, ada juga yang salah. Dengan demikian, tak pelak bila sahibul kashaf dihukumi mujtahid. Di kala salah mendapat satu pahala, sedang di kala benar baginya dua pahala. Maka apabila buah kashaf bertentangan dengan norma-norma yang telah diajarkan agama, sangat dianjurkan bagi sahibul kashaf untuk meninggalkannya. Karena tidak ada otoritas yang terkandung dalam hasil kashaf tersebut. Sebagaimana yang dipaparkan Ibn ‘Arabi dan Imam Al-Ghazali bahwa hasil ijtihad sahibul kashaf yang non fakih, hanyalah diperuntukkan dia seorang, dengan ketentuan tidak menyimpang dari shariat agama yang ada. Namun, bisa saja seseorang yang hatinya telah diterangi cahaya kebenaran, boleh baginya mengikuti buah kashaf dari sahibnya bila sesuai dengan nilai-nilai shariat.[14]

Baca Juga Artikel yang lainya :


[1] Sayyid Sharif Ali bin Muhammad al-Jurjani, al-Ta‘rifat, (Beirut: Dar Kutub Al-Ilmiyah, 1983), 184.

[2] Nuruddin Abdurrahman al-Jami, Naqd Al-Nusus Sharh Naqsh al-Fusus, (t.tp, 1375), 162-163.

[3] Ali Jum’ah, Mada Hujjiyah al-Ru’ya ‘inda Al-Usuliyin, (Kairo: Dar al-Risalah, 2004), 86.

[4] Muhammad Aunul Abid Shah, ‘An al-Ahaadith allati Sahhat Kashfan ‘inda al-Sufiyah, (t.tp, 2012), 3.

[5] Nuruddin Abdurrahman al-Jami, Nafahat al-Ins min Hadrat al-Quds, tahkik Muhammad Adib al-Jadir, (Beirut: Dar al-Kutub Al-Ilmiyah, 2003), 38.

[6] Shams al-Din Abu ‘Abdullah Muhammad bin Ahmad al-Dhahabi, Siyar A‘lam Al-Nubala’ (Kairo: Dar al-Hadith, 2006), Vol 7, 594.

[7] Al-Ghamary al-Hasani, al-Fawaid al-Maqsudah, 18.

[8] ‘Abdurrahman bin Muhammad Al-Murakibi, Qadiyyat al-Takwil fi al-Fikr al-Islamy, (Kairo: Dar al-Tiba‘ah al-Muhammadiyah, 1987), 196.

[9] Muhammad Najm al-Din al-Kurdi, al-Dalail al-‘A<liyah : As’ilah wa Al-Ajwibah fi al-Tasawwuf wa al-Tariqat al-Sadat al-Naqshabandiyah, (Kairo: Maktabah Kurdiyah, 2008), 298-308.

[10] Ibid., 298-308.

[11] Al-‘Allamah Al-Sindi, Fath al-Wadud bi Sharh Sunan Abi Dawud, tahkik. Najm al-Din al-Kurdi, (Kairo: Maktabah Kurdiyah, 2008), 1-38.

[12] Ibn Hajar al-‘Asqalani, Sharh Nukhbah Nuzhah al-Nazar fi Taudihi Nukhbat al-Fikr, (Kairo: Dar al-Basair, 2011), 111.

[13] ‘Abd al-Fattah Ahmad Qutb, al-Ilham wa Dalalatuhu ‘ala al-Ahkam; Dirasat Usuliyah, (Kairo: Muassasah Qurtuba, 2005), 92.

[14] Abu Hamid Muhammad bin Muhammad al-Ghazali, Ihya’ ‘Ulum al-Din, (Beirut: Dar al-Ma‘rifah, t.th), 3-18. Lihat juga Mahmud Mahmud Ghurab, Al-Tariq ila Allah –al-Syeikh wa al-Murid- min Kalam al-Syaikh Al-Akbar Muhyidin Ibn ‘Arabi, (t.tp, t.th), 51.

Otoritas Hadis Dalam Kehidupan Manusia

 

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا أَطِيعُوا اللَّهَ وَأَطِيعُوا الرَّسُولَ وَأُولِي الْأَمْرِ مِنْكُمْ ۖ فَإِنْ تَنَازَعْتُمْ فِي شَيْءٍ فَرُدُّوهُ إِلَى اللَّهِ وَالرَّسُولِ إِنْ كُنْتُمْ تُؤْمِنُونَ بِاللَّهِ وَالْيَوْمِ الْآخِرِ ۚ ذَٰلِكَ خَيْرٌ وَأَحْسَنُ تَأْوِيلًا[1]  

“Hai orang –orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah Rasul (Nya) dan ulil amri di antara kamu, kemudian jika kamu berlainan pendapat tentang sesuatu, maka kembalikanlah ia kepada Allah (al-Qur’an) dan rasul (sunahnya), jika kamu benar-benar beriman kepada Allah dan hari kemudian. Yang demikian itu lebih utama (bagimu) dan lebih baik akibatnya”.[2]

Hadis memiliki nilai-nilai otoritas tinggi dalam hal beragama, di samping al-Qur’an. Allah menempatkannya di sisi kitab suci, bukan hanya sebagai penafsir ataupun penjelas semata. Namun, hadis juga memiliki otoritas untuk mensyariatkan segala sesuatu yang belum disinggung oleh al-Qur’an. Entah hukum yang disyariatkan itu berasal dari wahyu ilahi maupun hasil ijtihad Nabi SAW sendiri.[3]

tوَمَا يَنْطِقُ عَنِ الْهَوَى إِنْ هُوَ إِلا وَحْيٌ يُوحَى  [4] 

“Dan tiadalah yang diucapkannya itu menurut kemauan hawa nafsunya, melainkan ia hanyalah wahyu yang diwahyukan kepadanya”.[5]

Kesemua golongan mengamini otoritas hadis tersebut sebagai rujukan kedua dalam shariat, mencakup golongan Ahlu Sunnah, Mu’tazilah, Zaidiyah maupun Imamiyah dan Ibadiyah, terkecuali golongan yang terlalu menyeleweng dalam garis agama. Seperti kelompok-kelompok yang menyempitkan pedoman mereka kepada al-Qur’an saja, hanya karena alasan yang kurang bijaksana. Tak lain dan tak bukan karena terdapatnya hadis-hadis yang lemah secara sanad maupun matannya.[6]

            Dalam observasi menuju keabsahan, hal yang layak dilakukan bagi seorang muhadis adalah meneliti hadis dari segi sanad melalui perangkat ilmu jarh wa ta’dil. Dan meneliti bagian matan dengan menggunakan ilmu ‘ilal dan mukhtalaf hadis serta asbab al-wurud . Yakni matan hadis diukur dan dibandingkan dengan beberapa elemen, meliputi ayat al-Qur’an, hadis sahih atau yang bernilai lebih sahih dari hadis yang tengah diteliti, rasio dan ilmu pengetahuan beserta historisitas.[7] Berangkat dari sini, tak heran bila seorang al-Ghamary, dalam bukunya secara terang-terangan menolak pengakuan otoritas hadis yang telah terbukti sanadnya lemah. Baginya, hadis yang telah terbukti lemah sanadnya melalui perangkat disiplin ilmu hadis, sudah tidak bisa diterima matannya. Baik kandungan matan tersebut senada dengan riwayat atau kebenaran yang lain ataupun tidak, baik hadis tersebut mencapai nilai keabsahan melalui perangkat lain selain disiplin ilmu hadis.[8]

Sejatinya, pendapat untuk hadis yang lemah bermacam-macam. Pertama, ada yang menganggap tidak bisa diamalkan sama sekali, entah itu dalam urusan keutamaan amal atau hukum shariat sekalipun, sebagaimana al-Ghamary. Kedua, bisa diamalkan secara mutlak seperti yang diungkapkan Imam Suyuti bahwa Imam Abu Dawud dan Imam Ahmad berpendapat demikian. Sebab, bagi mereka hadis yang lemah itu lebih baik daripada pendapat seseorang. Ketiga, bisa diamalkan apabila termasuk dalam perihal keutamaan amal dan pendapat inilah yang diamini oleh sebagian besar para ulama.

Namun, satu hal yang perlu diperhatikan. Sebagaimana yang dipaparkan ‘Abd al-Rahman bin Mahdi, guru Imam Bukhari bahwasannya ada sebuah unsur yang membantu seorang muhadis dapat mengetahui hadis-hadis palsu, yang mana secara zahir sanadnya bernilai sahih. Unsur tersebut adalah ilmu yang diilhamkan Allah bagi segenap insan-insan terkhusus.[9] Maka penting kiranya untuk menyinggung otoritas kashaf dalam dunia tasawuf, di mana ilham tercakup di dalamnya sebagai salah satu warna dalam medan penyingkapan spiritual para sufi.

Baca Juga Artikel yang lainya :


[1] al-Qur’an, 4 : 59.

[2]Kemenag RI, Terjemah Quran al-Jumanatul ‘Ali, (Bandung: J-ART, t.th), 87.

[3] Muhammad Muhammad Zahwu, al-Hadith wa al-Muhaddithun, (t.tp: Dar Al-Fikr Al-Arabi, t.th), 44.

[4] al-Qur’an, 53 : 3-4.

[5]Kemenag RI, Terjemah Quran al-Jumanatul ‘Ali, (Bandung: J-ART, t.th), 526.

[6]Abdullah bin Muhammad bin al-Siddiq al-Ghamary al-Hasani, al-Fawaid al-Maqsudah fi bayan al-Ahadith al-Shadhah al-Mardudah, (Amman: Dar Imam Nawawi, 2007), 17.

[7] Umi Sumbulah, Kajian Kritis Ilmu Hadis, (Malang: UIN Maliki Press, 2010), 192.

[8] Abu al-Yasar Abd al-Aziz bin al-Siddiq al-Ghamary, al-Qaul al-Asad fi Bayani Hali Hadith Ra’aitu Rabbi fi Surati Shab Amrad, (Amman: Dar Imam Nawawi, 2009), 9.

[9] al-Ghamary al-Hasani, al-Fawaid al-Maqsudah, 18.

MAKALAH HADIST TENTANG HIJAB

  A.   Latar Belakang Telah disepakati oleh seluruh umat Islam bahwa al-Qur’an menjadi pedoman hidup baik tentang syariah maupun dalam keh...