1. Telaah Hadis tentang Ilmu yang Tersembunyi
رواه سفيان بن عيينة عن ابن جريج عن عطاء عن أبي هريرة عن رسول الله صلى الله عليه وسلم قال : إن من العلم كهيئة المكنون لا يعلمه إلا العلماء بالله فإذا نطقوا به لا ينكره إلا أهل الغرة بالله.
Diriwayatkan
oleh Sufyan bin Uyainah dari Juraij dari ‘Ata’ dari Abu Hurairah, Rasulullah
SAW. bersabda: “Sesungguhnya terdapat bagian dari ilmu yang tersembunyi, hanya
para ulama Allah yang mengetahuinya, maka apabila mereka membicarakannya, hanya
orang-orang yang lalai akan Allah yang mengingkarinya”.
Abu
Abdurrahman al-Sulaimi meriwayatkan hadis tersebut dalam kitab al-Arbain fi al-Tasawwuf,
sanadnya ia dapatkan dari Hamid Al-Harwi bersambung ke Nasr bin Muhammad bin al-Harith,
lalu Abd al-Salam bin Salih kemudian barulah sampai pada sang muara Sufyan bin
‘Uyainah.[1] Kesemua
rantai sanad di atas terhubung dengan lambang periwayatan haddathana,
kecuali rantai terakhir yang menghubungkan antara Abd al-Salam bin Salih dan
Sufyan bin Uyainah, menggunakan lafal ‘an. Dalam istilah muhadisin,
haddathana yang berarti telah diriwayatkan kepada kami, memiliki
otoritas lebih tinggi dibandingkan lafal ‘an. Lafal pertama memuat kabar
bentuk transmisi yang jelas, sedang lafal kedua meskipun berpotensi memiliki
makna yang sama, akan tetapi tetap saja ia mengandung bentuk transmisi yang
samar. Tak elak bila yang pertama dinilai lebih actual dalam menyampaikan
fakta.
Selain itu al-Dailamy juga meriwayatkan hadis
tersebut dalam Musnadnya, Musnad al-Firdaus. Sanad yang digunakan
berbeda dengan al-Sulaimi. Hadis yang diriwayatkannya memakai jalur sanad Abu
Abd al-Rahman. Meskipun, pada akhirnya al-Mundhiri melemahkannya dan al-‘Iraqi
dalam kita Takhrij Ahadith al-Ihya’ turut mengamini hal tersebut.[2]
Dalam
buku al-Targhib, al-Tibby memaparkan sanad hadis di atas dengan jalur al-Qadi
Abu Bakar Ahmad bin al-Hasan, berlanjut ke Abu Ali Hamid bin Muhammad al-Rifa al-Harwy,
lalu Nasr bin Ahmad al-Bauzijani. Semuanya menggunakan lafal anba’ana,
kemudian dilanjutkan ke Abd al-Salam bin Salih dengan lafal transmisi haddathana,
barulah bersambung ke perawi pokok yakni Sufyan bin Uyainah sampai akhir.
Sedang golongan lainnya juga meriwayatkan hadis tersebut melalui jalur sanad
Abi Salt Abd al-Salam bin Salih al-Harwy. Sementara, Abd al-Salam al-Harwy
dikenal perawi yang lemah kapabelitasnya. Mau tak mau, hal ini berakibat pada
kelemahan otoritas hadis yang diriwayatkan.[3]
Ditambah
lagi, penulis pribadi tidak menemukan hadis ini dalam kutub al-sittah, 6 kitab
monumental dan muktabar dalam bidang hadis. akan tetapi terdapat riwayat senada
dengan hadis tersebut dalam kitab ‘Awarif Al-Ma‘arif. “Ia adalah
rahasia-rahasia Allah, yang ditampakkan kepada para wali yang amanah dan
insan-insan yang mulia tanpa adanya proses belajar. Dan ia adalah bagian dari
sekian rahasia yang tak tersentuh tabirnya kecuali orang-orang yang khusus”.[4]
Begitu
juga yang dikatakan oleh Abu Sa‘id al-Kharraz, ia berpendapat bahwa bagi
golongan manusia yang telah mencapai tingkatan arif, mereka mempunyai
lumbung tersendiri yang mana mampu memuat dan menyimpan berbagai ilmu yang berbau
aneh dan pengetahuan yang ajaib. Mereka memperbincangkannya melalui lisan yang
abadi dan menjabarkannya dengan retorika azali,[5]
serta ia merupakan bagian dari ilmu yang samar.[6]
Ditambah
lagi dengan adanya hadis Nabi SAW lainnya yang masih senada dengan hadis
tentang ilmu yang tersembunyi. Berisikan sebagai berikut: “Allah SWT. Berkata:
“Hai ulama, sesungguhnya ilmuKu takkan kuberikan padamu kecuali karena
pengetahuanKu atas dirimu, bangkitlah sesungguhnya aku telah mengampuni kalian”.
Diriwayatkan oleh Ibn ‘Adiy melalui Wathilah bin al-Asqa marfu’
(bersambung hingga Rasulullah SAW) dan dihukumi munkar oleh sebagian ulama.
Namun, masih terdapat jalur sanad yang lain melalui Ibn ‘Adiy dari Abu Musa al-‘Ash‘aryn
marfu’. Jua termaktub dalam al-Lali’i seperti yang dikatakan al-Shaukani,
bahwa para perawi dalam periwayatan hadis ini dinilai berkapabelitas dan
terpercaya (‘adil dan dabit) serta hadis ini masih memiliki
beberapa jalur sanad yang lain.[7]
2.
Perspektif Ibn ‘Arabi tentang
Ilmu yang Tersembunyi
Dalam
pandangan Ibn Arabi, hadis tersebut merupakan hadis sahih melalui kashaf
menurut ahlinya. Benar adanya, bila terdapat sebagian ilmu yang bersifat
tersembunyi. Namun, pada hakikatnya ilmu tersebut tidak tersembunyi secara
mutlak. Karena apabila hal itu terjadi, maka tidak akan ada ulama satu pun yang
mengetahui tentang eksistensi ilmu tersebut dan perkara tersebut hanya Allah
lah yang tahu. Akan tetapi sekali lagi, pada kenyataannya Allah menganugrahi
dan mewarisi ilmu tersebut kepada manusia, meskipun hanya kepada insan-insan
tertentu. Dengan demikian ilmu tersebut tetaplah tersembunyi, meskipun tidak
seutuhnya.[8]
Sebagaimana
yang kita ketahui, pengetahuan insan akan Tuhannya akan membuatnya mewarisi segala
ilmu-ilmu yang Allah berikan dan diajarkan padanya. Tak ayal, ilmu-ilmu ini
hanya akan diberikan kepada komunitas manusia tertentu saja, bukan bersifat
umum. Karena tidak bersifat umum inilah, maka setiap individu yang tergolong dalam
komunitas khusus ini diperkenankan untuk tidak memperbincangkan perkara ini di
depan khalayak ramai. Mengapa? sebab kembali kepada hal pertama tadi, bahwa
hanya insan-insan tertentu yang memperoleh anugerah tersebut, juga hanya mereka
yang mengerti sepenuhnya tentang perkara di dalamnya. Maka apabila
diperbincangkan di khalayak ramai di mana kapabelitas akal dan kualitas iman
manusia berbeda-beda, tak pelak akan menimbulkan perseteruan dan pengingkaran
dari golongan orang-orang yang merasa lebih tahu akan Tuhannya, namun pada
kenyataannya lalai.[9]
Dan
jika suatu saat, timbul padanya sebuah rasa pemaksaan ataupun layaknya seperti
perintah, yang ia dapatkan melalui penerawangan spritualnya atau kashaf,
namun tidak sesuai dengan pilihannya, maka ketika ia kerjakan dan menimbulkan
pertentangan, manusia yang terkhusus itu tidaklah bersalah. Juga tidak
melanggar apa yang ada. Karena sejatinya, ia hanya mengerjakan perkara yang ia
ketahui saja, tidak lebih. Dengan demikian, tindakan yang ia perbuat tidaklah
membahayakannya, bahkan Allah pun mengampuninya.[10]
Tak
salah bila dikatakan ilmu yang bersifat tersembunyi ini diketahui secara
individual dan tak bisa diwariskan. Lain halnya dengan ilmu yang didapat dari
hasil olah pikir. Ilmu tersebut masih bisa untuk dipindahkan, diwariskan kepada
generasi selanjutnya yang berkompeten. Masih dapat diwariskan karena terdapat dalil-dalil,
atau bukti-bukti secara logis, sehingga dapat diterima rasio dengan mudah.
Sedang ilmu yang khusus itu tidak demikian. Ilmu tersebut didapat tanpa ada
proses berpikir. Ia seperti anugerah yang tidak bisa ditolak, dan mampu
diterima walau tanpa dalil apapun seketika.[11]
Tak
heran, bila sebagian dari komunitas mereka mengatakan bahwa ilmu itu di luar
dari daya otak, jauh dari rasionalitas yang sangat tinggi. Statement mereka
bersandar pada kalam ilahi yang menyinggung tentang kisah Nabi Khidir AS. “
Telah kami ajarkan padanya ilmu dari sisi kami”.[12]
Dan firman Allah di surat al-Rahman “Mengajarinya al-Bayan”.[13]
Dari kata-kata ‘allamahu (mengajarinya) diambillah benang merah bahwa
ilmu ini didapatkan melalui pengajaran, yang berasal dari Allah langsung kepada
hambaNya tanpa perantara melainkan melalui penyingkapan spiritual. Telah kita
ketahui bersama bahwa Allah Maha Kuasa atas segala sesuatu, bukanlah hal yang
aneh bila ia mengajari hambaNya segala sesuatu di berbagai urusan, karena Ia
bertindak sesuai dengan kehendakNya. Ada ilmu yang mampu dicerna rasio manusia,
adapula yang tidak, namun tak mustahil bila terjadi. Terkadang, adapula yang
sama sekali tidak bisa dicapai akal dan mustahil untuk terjadi. Karena kita semua
tahu, di sana ada kawasan yang tidak bisa disentuh oleh otak. Tak pelak bila
disebut jauh dari hasil olah pikir manusia.
Dengan
demikian, maklum adanya bila ilmu-ilmu yang dianggap tersembunyi tersebut tidak
bisa dikupas secara nyata. Karena ia seperti ilmu tentang rasa, yang tidak bisa
diungkapkan dengan kata-kata.
- Pengertian Kodifikasi Hadist
- Sejarah Kodifikasi Hadist
- Faktor-Faktor Pendorong Kodifikasi Hadist
- Metode Kodifikasi Hadist
- Otoritas Hadis Dalam Kehidupan Manusia
- Otoritas Kashaf Dalam Hadis Nabawi
- Studi Kasus Hadis : Hadis tentang Ilmu yang Tersembunyi
- Definisi Hadis Shahih Dan Kriterianya
- Perbedaan Kriteria Hadis Sahih Dalam Kitab Sahih Al-Bukhari, Sahih Muslim, Dan kitab-kitab Hadis Lain
- Macam-Macam Hadis Sahih
- Sanad Yang Paling Sahih Dan Silsilah Al-Dzahab
- Kehujjahan Hadis Sahih
Daftar Pustaka
‘Asqalani (al), Ibn Hajar. Sharh Nukhbah Nuzhah al-Nazar fi TaudihI Nukhbat al-Fikr. Kairo: Dar al- Basair, 2011.
Bukhari (al), Muhammad bin Ismail Abu Abdillah. Sahih Bukhari. tahkik Muhammad Zahir bin Nasir al-Nasir. t.tp: Dar Tauq al-Najah, 1422 H.
Dhahabi (al), Shams al-Din Abu ‘Abdullah Muhammad bin Ahmad. Siyar A‘lam al-Nubala’. Kairo: Dar Al-Hadith, 2006.
Ghamary (al), Abu al-Yasar Abd al-Aziz bin Al-Siddiq. al-Qaul al-Asad fi Bayani Hali Hadith Ra’aitu Rabbi fi Surati Shab Amrad, Amman: Dar Imam Nawawi, 2009.
Ghazali (al), Abu Hamid Muhammad bin Muhammad. Ihya’ ‘Ulum al-Din. Beirut: Dar al-Ma‘rifah, t.th.
_________. Risalah al-Imam al-Ghazali. Kairo: Maktabah Tauifiqiyyah, t.th.
Ghurab, Mahmud Mahmud. al-Hadith fi Sharh al-Hadith min Kalam al-Syaikh al-Akbar Muhyidin Ibn Arabi. t.tp, 2007.
_________. al-Tariq ila Allah –al-Syaikh wa al-Murid- min Kalam al-Syaikh al-Akbar Muhyidin Ibn ‘Arabi. t.tp, t.th.
Hajjaj, Muslim bin. Sahih Muslim. tahkik Muhammad Fuad ‘Abd al-Baqi. Beirut: Dar Ihya’ Turath, t.th.
Hanbal, Ahmad bin. Musnad Ahmad. Tahkik Shu‘aib al-Arnaut. Beirut: Muassasah al-Risalah, 2001.
Hasani (al), Abdullah bin Muhammad bin al-Siddiq al-Ghamary. al-Fawaid al-Maqsudah fi bayan al- Ahadith al-Shadhah al-Mardudah. Amman: Dar Imam Nawawi, 2007.
Jami (al), Nuruddin Abdurrahman. Nafahat al-Ins min Hadrat al-Quds. tahkik Muhammad Adib al- Jadir. Beirut: Dar al-Kutub al-Ilmiyah, 2003.
________. Naqd al-Nusus Sharh Naqsh al-Fusus. t.tp, 1375.
Jum’ah, ‘Ali. Mada Hujjiyah al-Ru’ya ‘inda al-Usuliyin. Kairo: Dar al-Risalah, 2004.
Jurjani (al), Sayyid Sharif Ali bin Muhammad. al-Ta‘rifat. Beirut: Dar Kutub al-Ilmiyah, 1983.
Kurdi (al), Muhammad Najm al-Din. al-Dalail al-‘A<liyah : As’ilah wa al-Ajwibah fi al-Tasawwuf wa al-Tariqat al-Sadat al-Naqshabandiyah. Kairo: Maktabah Kurdiyah, 2008.
Maghribi (al), Ahmad bin Muhammad bin Al-Siddiq al-Hasani al-Ghamary. ‘Awatif al-Lataif min Ahadith ‘Awarif al-Ma’arif. Arab Saudi: Maktabah Makkiyah, 2001.
Murakibi (al), ‘Abdurrahman bin Muhammad. Qadiyyat al-Takwil fi al-Fikr al-Islamy. Kairo: Dar al- Tiba‘ah al-Muhammadiyah, 1987.
Qutb, ‘Abd al-Fattah Ahmad. Al-Ilham wa Dalalatuhu ‘ala al-Ahkam; Dirasat Usuliyah. Kairo: Muassasah Qurtuba, 2005.
Sahruradi (al), Abi Hafs Umar bin Muhammad bin Abdillah. ‘Awarif al-Ma‘arif. Arab Saudi: Maktabah Makkiyah, 2001.
Shah, Muhammad Aunul Abid. ‘An Al-Ahaadith allati Sahhat Kashfan ‘inda Al-Sufiyah. t.tp, 2012.
Sindi (al), al-‘Allamah. Fath al-Wadud bi Sharh Sunan Abi Dawud. tahkik. Najm al-Din al-Kurdi. Kairo: Maktabah Kurdiyah, 2008.
Sumbulah, Umi. Kajian Kritis Ilmu Hadis. Malang: UIN Maliki Press, 2010.
Tabarani. Musnad al-Shammiyin li al-Tabarani. tahkik Hamdi bin ‘Abd al-Majid al-Salafi. Beirut : Muassasah al-Risalah, 1984.
Zahwu, Muhammad Muhammad. al-Hadith wa al-Muhaddithun. t.tp: Dar al-Fikr al-Arabi, t.th.
[1] Ahmad bin Muhammad bin Al-Siddiq
al-Hasani al-Ghamary al-Maghribi, ‘Awatif al-Lataif min Ahadith ‘Awarif al-Ma’arif,
(Arab Saudi: Maktabah Makkiyah, 2001), 764.
[2] Lihat Jami’ al-Ahadith, bab Inna al-Muashadadah ma‘a Hamzah, Juz 9, no. 8481, 308.
[3] al-Ghamary al Maghribi, ‘Awatif
al-Lataif, 764.
[4] Abi Hafs Umar bin Muhammad bin
Abdillah al-Sahruradi, ‘Awarif al-Ma‘arif, (Arab Saudi: Maktabah
Makkiyah, 2001), 893.
[5] Maksud dari lisan abadi dan
retorika azali tak lain adalah isyarat bahwa mereka berbicara dengan bantuan Allah.
[6] Ibid., 893.
[7] Ibid., 893.
[8] Mahmud Mahmud Ghurab, al-Hadith fi Sharh al-Hadith min Kalam al-Syeikh al-Akbar Muhyidin Ibn Arabi, (t.tp, 2007), 23.
[9] Ibid., 24.
[10] Ibid., 24.
[11] Ibid., 24.
[12] al-Qur’an, 18:65.
[13] al-Qur’an, 55:4.