HOME

20 November, 2016

MAKALAH TENTANG IJTIHAD UMAR BIN KHATTAB (SEJARAH PERADABAN ISLAM)



BAB I
PENDAHULUAN
A.      Latar Belakang Masalah
Ijtihad sebenarnya telah berlangsung sejak masa Rasulullah. Banyak sahabat Nabi yang telah berijtihad tentang berbagai persoalan, baik ketika mereka berada disamping Rasulullah, ataupun ketika mereka berjauhan dengan beliau. Terhadap hasil ijtihad yang beliau ketahui secara langsung, ataupun melalui perantara-perantara sahabat-sahabat yang lain, beliau senantiasa menentukan sikap dan kalau perlu memberikan keputusan; ada yang beliau setujui dan ada yang pula yang beliau betulkan.
Semangat ijtihad tumbuh subur di kalangan sahabat, karena Rasulullah memang memberi peluang yang besar kepada mereka untuk berijtihad. Di samping itu dalam bentuk tindakan praktis, Rasulullah memberi kesempatan agar sahabat-sahabat berani mengemukakan pendapat, terutama dalam kasus-kasus yang memerlukan pemecahan secepatya. Oleh karena itu, tidaklah mengherankan kalau ada beberapa orang sahabat yang tercatat dalam sejarah, sebagai orang-orang yang sering diajak musyawarah oleh Rasulullah.
Setelah Rasulullah wafat, keperluan kepada ijtihad semakin meningkat. Kalau pada masa Rasulullah, di samping ada ijtihad, berbagai persoalan masih dapat dikembalikan dan dikonsultasikan kepada beliau, tetapi setelah itu keadaannya menjadi lain. Tanggung jawab sepenuhnya untuk memecahkan segala persoalan jelas terpikul kepada ummat yang ditinggalkannya. Kedudukan Nabi Muhammad SAW sebagai rasul pamungkas (khatam al-anbiya wa al-mursalin) Nampaknya difahami mereka secara kreatif.
Untuk itulah, mereka dengan segala upaya dan kesungguhan, berijtihad, mencari pemecahan masalah, dengan selalu mengambil inspirasi dan mengakap pesan-pesan universal dari al-Qur’an dan Sunnah. Dalam ijtihad kadangkala terlihat, mereka membawa pemecahan yang berbeda, bukan saja di kalangan mereka, bahkan juga dengan praktek-praktek yang telah berlaku di masa Rasulullah. Dalam sejarah Islam, sahabat yang paling berani berbuat demikian ialah Umar Ibn Al-Khattab.


BAB II
PEMBAHASAN
A.      Pengertian Khalifah Nabi
Khalifah sebagai penganti nabi dalam urusan agama dan kenegaraan. Menurut Joesoef Sou’yb di dalam Sejarah Daulah Khulafaur Rasyidin (1979), bahwa khulafaur-rasyidin itu bermakna ‘pengganti-pengganti yang cendikia’, terdiri dari empat tokoh sepeninggal nabi muhammad, yaitu;
1.                            Khalifah Abu Bakar al-Siddiq (11-13 H./632-634 M.).
2.                            Khalifah ‘Umar  b. Khattab (13-23 H./ 634-644 M.).
3.                            Khalifah ‘Usman b. ‘Affan (23-35 H/. 644-655 M.).
4.                            Khalifah ‘Ali b. Abi Thalib (35-41 H./ 655-661 M).
Panggilan resmi bagi pejabat kekusaan tertinggi dalam dunia Islam adalah amirul-mukminin (pangeran bagi kaum mukmin) dan beberapa liteatur barat menyalinya dengan istilah populer, prince of believers. Akan tetapi, dalam kehidupan sehari-hari pada masa sulit, dan dalam literatur Arab, lebih populer digunakan panggilan khalifah 1 (pengganti). Sewaktu Abu Bakar al-Siddiq terpilih dan diangkat menjabat kekuasaan tertinggi itu, bermula dipanggil dengan panggilan Khalifatullah (pengganti Allah, Khalifah Allah). Dia pun keberatan atas panggilan itu. Belakangan, dia pun dipanggil dengan Khalifatur-rasul (Pengganti Rasul). Didalam aspek imamah, yakni aspek pemimpin kekuasaan, dia pun menerima panggilan tersebut.[1]
B.       ‘Umar  b. Khattab
1.         Biografi ‘Umar b. Khattab
Umar Ibnu Khattab adalah putra dari Nafail al-Quraisy, dari suku Bani Adi. Sebelum Islam suku Bani Adi ini terkenal sebagai suku yang terpandang mulia, megah, dan berkedudukan tinggi.
Di masa jahiliyyah Umar bekerja sebagai seorang saudagar. dia menjadi duta kaumnya di kala timbul peristiwa-peristiwa penting antara kaumnya dengan suku Arab yang lain. Sebelum Islam, begitu juga sesudahnya, Umar terkenal sebagai orang yang pemberani, tidak mengenal rasa takut, gentar, dan mempunyaiketabahan dan kemauan keras, serta tidak menegenal bingung dan ragu.
Menurut yang diriwayatkan  oleh Ibn Atsir bahwa Abdullah Ibnu Mas’ud berkata : “Islamnya Umar, adalah suatu kemenanagan, hijrahnya adalah suatu pertolongan, dan pemerintahanya adalah suatu rahmat. Mulanya umat Islam tidak dapat beribadah di rumahnya sendiri, karena takut kepada Quraisy. Tetapi sesudah Umar masuk Islam lalu dilawanya kaum quraisy itu, sehingga mereka membiarkan umat Islam beribadah.”

2.         Pengangkatan ‘Umar Sebagai Khalifah
Setelah Abu Bakar sakit dan merasa ajalnya  sudah dekat, dia bermusyawarah dengan para pemuka sahabat, kemudian mengangkat Umar sebagai penggantinya dengan maksud untuk mencegah kemungkinan terjadinya perselisihan dan perpecahan di kalangan umat Islam, karena waktu itu balatentara Islam sedang sedang berperang dengan bangsa Persia dan Romawi. kebijakan Abu Bakar tersebut diterima masyarakat yang segera secara beramai-ramai. Oleh karena itu, Abu Bakar menunjuk umar menjadi khalifah. Dan piagam penunjukan itu ditulis sebelum beliau wafat.[2]

3.         Terbunuhnya ‘Umar b. Khattab
Sejumlah musuh-musuh Islam terdiri dari orang-orang persia dan yahudi mengadakan komplotan untuk membunuh umar b. Khattab. Pembunuhan itu dilakukan oleh seorang Nasrani yang bernama abu lu’luah. Dia seorang persia, ditawan oleh tentara Islam di nahawand, dan kemudian menjadi hamba sahaya dari mughiroh ibnu syu’bah.
Sejarah telah menguraikan bahwa umar telah merobohkan kerajaan kerajaan persia dan melenyapkan kekuasaan mereka. Karena itu lapisan atas dari bangsa persia beseta pendukung-pendukungnya menaruh deendam terhadap umar, dan berniat hendak membunuh beliau.
Abu lu’luah telah berhasil menyusup kedalam masjid, di waktu umar hendak memulai sembahyang subuh, di kala itu hari masih gelap. Maka ditikamnyalah khalifah dengan sebuah golok beberapa kali, diantaranya satu di bawah pusatnya, maka keluarlahlah perut itu.
Umar memekik, maka datanglah kaum muslimin hendak menangkap pembunuh itu, tetapi mereka diserangnya pula dengan goloknya, hingga ada yang mati, dan beberapa orang-orang luka. Akhirnya kaum muslimin dapat dapat menangkapnya, tetapi masih dapat dia memakai goloknya untuk membunuh dirinya sendiri.


C.      IJTIHAD UMAR BIN KHATTAB
1.                Perluasan dan Pengelolaan Wilayah
a.                  Pertempuran di Persia
Di masa pemerintahan Umar bin Khattab tepatnya 15 H, umar mengirimkan mengirim balatentara ke negeri Persia. Disiapkanya suatu pasukan berjumlah 8000 orang, dan diangkat Sa’ad bin Abi Waqqas menjadi pemimpinya. Balatentara ini berhadapan dengan laskar Persia yang berjumlah 30.000 orang, di bawah pimpinan seorang panglima besar yang bernama Rustam. Tetapi balatentara Persia telah dapat dikalahkan oleh laskar kaum muslimin dan Rustam dapat di bunuh. Pada pertempuran ini kaum muslih banyak sekali mendapat rampasan yang tidak sedikit jumlahnya.
Sa’ad meneruskan penyerbuanya, hingga dia berhasil menduduki ibu kota kerajaan Persia yang terkenal dalam sejarah dengan nama al-Madain. Demi ibu kota kerajaan Persia, larilah Yazdigird. Tetapi dia mengumpulkan laskarnya kembali untuk menghadapi kaum muslimin.
Yazdigird berhasil mengumpulkan 100.000 orang pemanggul senjata. Dengan jumlah yang besar inilah dia menghadapi laskar kaum muslimin di Nahawand yang berada di bawah pimpinan Nu’man ibnu Muqarrin al-Muzani pada tahun 21 H. Pertempuran di Nahawand adalah satu pertempuran yang terkuat dan terbesar yang pernah dikenal dalam sejarah bangsa persia. Bangsa persia berperang mati-matian, tetapi kaum muslimin dapat mengalahkan mereka. Pertempuran di Nahawand ini terkenal dengan sebutan “fathul futuh” (kemenangan yang paling besar di antara seluruh kemenangan).[3]
b.      Pertempuran-Pertempuran di Negeri Romawi
Imperium Romawi adalah satu imperium yang sangat luas, yang membujur mulaia dari semenanjung Iberia sampai ke Syam, Mesir dan Afrika Utara. Imperium ini melingkupi beberapa negara dan berjenis-jenis bangsa manusia. Sedang kaisar-kaisarnya terkenal dalam sejarah sebagai kaisar yang kejam, dan berdarah penjajah. Kerapkali negara-negara yang telah mereka tahlukan memberontak, maka mereka ajarlah pemberontak-pemberontak itu dengan bengis dan kejam. Darah mereka ditumpahkan dan harta mereka dirampas.[4]


1)             Pertempuran Ajnadain
Pertempuran Ajnadain terjadi tahun 13 H. laskar kaum muslimin berjumlah 30.000 orang di bawah pimpinan Khalid Ibnu Walid. Adapun lskar Romawi berjumlah 100.000 orang, di bawah pimpinan Theodore saudara Heraklius.
Tentara Romawi cukup dengan senjata dan alat-alat perlengkapan, sedangkan tentara muslim miskin dengan itu, hanya kaya dengan senjata rohani, yaitu semangat yang berkobar-kobar, dan kepercayaan yang kuat terhadap terhadap perolongan Tuhan dan kemenangan yang gemilang. Pertempuaran sengit terjadi yang berakhir dengan tewasnya separo dari laskar Romawi sebagaian yang lain melarikan diri.
Kekalahan laskar Romawi ini sangat memalukan Heraklius dan merupakan suatu pukulan hebat kepadanya. Demikian hebatnya pukulan hingga di melarikan diri ke Anthakiah.
2)             Pertempuaran Damaskus
Pada tahun 14 H, kaum muslimin mengepung kota yang indah ini. Sementara itu penduduk bertahan di dalam kota sambil menutup semua pintu masuk. Khalid Ibnu Walid dengan pasukanya berdiri di pintu kota sebelah Timur, Abu Ubaidah di pintu sebelah di pintu yang disebut Bab al-Jabiah, amr Ibnu Ash di Bab Tuma, Syurahbil di Bab al-Faradis, dan Yazid Ibnu Abi Sufyan di Bab al-Shaghir. Maka terjadilah pertempuran kecil-kecil antara tentara Islam dengan penduduk kota. Sementara itu pembicaraan berlangsung antara kaum muslimin dengan beberapa orang uskup dari kota yang sedang terkepung itu. Akhirnya kaum muslimin dapat memasuki kota Damaskus.
3)             Pertempuran Yarmuk
Heraklius menyiapkan lagi perlengkapan-perlengkapan untuk suatu pertempuran yang menentukan. Dikumpulkanya seluruh kekuatandengan balatentara sejumlah 200.000 orang bahkan menurut beberapa riwayat dari pihak arab jumlah itu sampai 1.000.000 bahakan 1.500.000 orang. Pimpinan tentara yang besar diserahkan Heraklius kepada Jabalah Ibnu Aiham raja yang terakhir dari kerajaan Ghassasinah, dibantu seorang panglima bangsa Armenia bernama Mahan. Sedang tentara Islam berjumlah 24.000 orang dibawah pimpinan Abu ‘Ubaidah.
Pertempuran sengit terjadi di suatu tempat di dekat sungai yarmuk. Demikian dahsatnya pertempuran ini menurut pandangan bangsa Romawi dan pengikut-pengikutnya, hingga mereka mengikat diri satu sama lain dengan rantai, agar tak seorang pun diantara mereka yang melarikan diri. Kendatipun demikian namaun mereka kalah juga. Kira-kira 70.000 orang diantara mereka melarikan diri dan sisanya kocar-kacir dan cerai-berai ke pelbagai tempat.
4)             Pertempuran Mesir
Mesir negara Mesir dewasa itu sedang menderita tindasan, penganiayaan dan kesewenang-wenangan bangsa Romawi, sama halnya dengan Syria dan Palestina sebelum dibebaskan kaum muslimin. Mesir negara kaya raya. Buminya subur, sungai nilnya yang abadi itu melimpahkan kebaikan sepanjang massa. Pada kiri kanan sungai, membentang kebun-kebun, dan ladang-ladang. Disamping itu Mesir mempunyai sejarah semenjak beribu-ribu tahun yang lewat. Tiada salah kalau orang yang mengatakan bahwa negeri Mesir itu mutiara timur yan cemerlang. Mengusai Mesir berarti, kesetabilan Islam diseluruh negeri-negeri asia dan afrika yang tadinya berada dibawah kekuasaan Romawi.
Berangkatlah ‘Amr Ibnu Ash melalui padang Sinai, hingga sampai di ‘Arisy, lalu didudukinya dengan tiada suatu perlawanan berarti. Setelah itu, menuju Frama yang merupakan kunci negeri Mesir. Kota Frama jatuh ke tangan kaum muslimin pada tahun 19 H. Kemenanagan ini mendapat sokongan dan dukungan yang kuat dari Mesir itu sendiri, dikatakan Mesir memegang peranan yang besar dalam membebaskan kota ini dari penjajahan bangsa Romawi.
Dari frama menuju Bulbais kemudian menuju Ummu Dunain. Di sini terdapat pertempuran yang sengit, kaum muslimin tidak dapat mengalahkan bangsa Romawi dalam pertempuran tersebut. ‘Amr bin ‘Ash meminta bantuan kepada khalifah. Khalifah mengirim 4000 balabantuan. Maka bertemulah bala tentara Islam dengan laskar Romawi yang berjumlah 20.000 orang dibawah pimpinan panglima besar, bernama Theodore. Pada pertempuran ini  mendapat kemenanagan, berkat kemahira ‘Amr bin ‘Ash dalam mengatur balatentaranya.
5)             Pertempuran di Benteng Babilyon
Pertempuran di Benteng Babilyon pada tahun 20 H. Terjadilah pertempuran besar, diBenteng Babilyon. Tujuh bulan lamanya kaum muslimin mengepung benteng ini, akhirnya dimulai pembicaraan untuk merundingkan perdamaian. Muqauqis mengutus suatu delegasi, delegasi ini ditahan ‘Umar bin ‘Ash 2 hari lamanya supaya lebih lama mereka dapat memperhatikan kaum muslimin. Akhirnya mereka disuruh memilih 3 hal :
a.         Masuk Islam, dan mereka akan mendapatkan hak dan kewajiban sebagai hak dan kewajiban kaum muslimin.
b.        Membayar Jizyah (pajak yang diharuskan oleh tiap-tiap jiwa, selain daripada anak-anak dan orang-orang tua tua). Dengan membayar Jizyah mereka dapat menikmati dan mempergunakan alat-alat perlengkapan negara, seperti pengairan, polisi dan lain-lain.
c.         Berperang.
Muqauqis memilih syarat kedua, yaitu membayar pajak. Karena pajak yang harus dibayar kepada pemerintah Islam jauh lebih kecil dari pajak yang selama ini dibayar kepada bangasa Romawi.
6)             Pertempuan Iskandariah
Pertempuran Iskandariah tidak ada lagi tempat-tempat strategis yang lebih penting sesudah Benteng Babilyon selain dari Iskandariah. Iskandariah adalah ibukota Mesir. Kaum muslimin meneruskan perjalanannya ke kota iskandaria.
Kota Iskandariah terletak di pinggir laut, mempunyai pertahanan yang kuat. Banyak tentara yang ditempatkan di sana, bahkan balabantuanpun mudah didatangkan dari Konstantinopel melaui laut. Karena fakta-fakta ini, maka kaum muslimin terpaksa lama mengepung kota ini, tetapi benteng pertahananya tidak dapat mereka tembus, sehingga harapan mereka menaklukkan kota ini menjadi tipis.
Harapan kaum muslimin yang telah lemah diketahui oleh Khalifah Umar. Kepada ‘Amr ditulislah surat yang isinya cukup keras. Dalam surat Umar mencela ‘Amr dan kaum muslimin yang masih bimbang dan ragu-ragu. Andai Iskandaria tidak dapat ditahlukkan kedudukan mereka akan lebih berbahaya. Sesampainya surat itu ke tangan ‘Amr dibacakanlah di hadapan kaum muslimin, maka bulatlah tekat mereka untuk berjuang kembali dengan sabar dan tabah. Kemudian mereka menyerbu kota Iskandaria dengan gigih.
Tentara Romawi kacau bala, ada yang tawan dan banyak yang melarikan diri ke kapal-kapal yang sedang berlabuh di laut. Akhirnya Maqauqis bertindak sekali lagi dengan mengadakan perdamaian dengan kaum muslimin. Dengan demikian negeri Mesir masuklah ke dalam wilayah pemerintahan Islam.[5]

2.                  Pengelolaan  Kas Negara
Pada masa Rasulullah SAW dan Abu Bakar, kekuasaan bersifat sentral (eksekutif, legislatif, dan yudikatif terpusat pada pemimpin tertinggi), sedangkan pada masa Umar, lembaga yudikatif dipisahkan dengan didirikannya lembaga pengadilan.
Diantara kebijakan yang dilakukan umar adalah menata pemerintahan dengan membentuk departemen-departemen (diwan), mengadopsi model persia. Misalnya untuk menjaga keamanan dan ketertiban dibentuk jawatan kepolisian dan juga jabatan pekerjaan umum. Tugas diwan adalah menyampaikan perintah dari pemerintah pusat ke daerah-daerah dan menyampaikan laporan tentang perilaku dan tindakan-tindakan penguasa daerah kepada khalifah. Wilayah negara pada masa pemerintahannya dibagi menjadi delapan provinsi, yaitu : Mekkah, Madinah, Syria, Jazirah, Bashrah, Kufah, Palestina, dan Mesir. Tujuannya adalah untuk melancarkan hubungan antar daerah.
Pada masa Umar ini pulalah mulai diatur dan ditertibkan tentang pembayaran gaji dan pajak tanah. Terkait dengan masalah pajak, Umar membagi warga negaranya dalam dua kelompok yaitu muslim dan non muslim (dzimmy). Bagi muslim diwajibkan untuk membayar zakat, sedangkan bagi non muslim dipungut kharaj (pajak tanah) dan jizyah (pajak kepala). Bagi muslim diberlakukan hukum Islam, bagi non muslim diperlakukan hukum menurut agama atau adat mereka masing-masing. Untuk mengelola keuangan negara didirikan Baitul Mal. Mata uang telah ditempa sendiri pada masanya. Kemudian untuk mengenang peristiwa hijrah ditetapkan peristiwa tersebut sebagai awal tahun hijriah. Seluruh kebijakan yang dilaksanakan, pada hakekatnya merupakan upaya mengkonsolidasikan bangsa Arab dan melebur suku-suku Arab ke dalam satu bangsa.
Kebijakan Umar yang lain dalam hal pengelolaan kas negara adalah Umar menerapkan pajak perdagangan (bea cukai) yang bernama al-‘Ushur, Ia mengadopsi sistem ini ketika ia mendapat laporan bahwa apabila pedagang Arab datang ke Byzantium,  maka pedagang tersebut ditarik pajak 10% dari barang yang dijual. Sementara itu bagi dzimmi yang berada di dalam negeri dikenakan sebesar 5%, sedangkan bagi orang Islam membayar 2,5% dari harga barang dagangan. Umar juga mengeluarkan beberapa kebijakan yang inovatif yang tidak terdapat pada periode sebelumnya, misalnya demi keamanan, menjaga kualitas/mutu tentara Arab, produksi panen yang memadai, menghindari negara dari kerugian pajak 80%, keadilan, menghindari diskriminasi Arab dan non-Arab, khalifah melarang transaksi jual beli tanah bagi orang Arab di luar Arab. al-Mal al-Ghanimah selama pemerintahannya dibagikan kepada kepala negara sebesar 20% dan tentara 80%, Umar memasukkannya ke kas negara.[6]

3.                Penataan Birokrasi Pemerintahan
Masa Khalifah Umar lembaga yudikatif sudah berdiri sendiri, terpisah dari eksekutif dan legislatif. Ia memisahkan kekuasaan yudikatif di Madinah dari kekuasaannya, dan untuk itu ia mengangkat Abu ad-Darda’ yang diberi gelar Qadi (Hakim). Dalam pemerintahan Umar terjadi banyak perubahan, ia membangun jaringan pemerintahan sipil yang sempurna tanpa memperoleh contoh sebelumnya, sehingga ia pantas mendapatkan julukan “Peletak Dasar/Pembangun Negara Modern”. Hal-hal penting sebagai prasyarat bagi suatu bentuk pemerintahan yang demokratis sudah mulai diletakkan. Dalam masa pemerintahannya terdapat dua lembaga penasehat, yaitu majelis yang bersidang atas pemberitahuan umum dan majelis yang hanya membahas masalah-masalah yang penting.
Wilayah negara terdiri dari provinsi-provinsi yang berotonomi penuh, kepala pemerintahan provinsi bergelar Amir. Di setiap provinsi tetap berlaku adat kebiasaan setempat selama tidak bertentangan dengan aturan pemerintah pusat. Para Amir (gubernur) provinsi dan para pejabat distrik sering diangkat melalui pemilihan. Pemerintahan Umar menjamin hak setiap orang dan orang-orang menggunakan kemerdekaannya dengan seluas-luasnya. Khalifah tidak memberikan hak istimewa tertentu. Tidak seorangpun memperoleh pengawal, tidak ada istana dan pakaian kebesaran, baik untuk khalifah sendiri maupun bawahan-bawahannya. Tidak ada perbedaan antara penguasa dan rakyat, setiap waktu mereka dapat dihubungi oleh rakyat.
Agar mekanisme pemerintahan berjalan lancar, dibentuk organisasi negara Islam yang pada garis besarnya sebagai berikut :
a.       An-Nidham As-Siyasy (Organisasi Politik), yang mencakup :
·         Al-Khilafat : terkait dengan cara memilih khalifah
·      Al-Wizariat : para wazir (menteri) yang bertugas membantu khalifah dalam urusan pemerintahan.
·      Al-Kitabat  : terkait dengan pengangkatan orang untuk mengurusi sekretariat negara.
b.      An-Nidham Al-Idary : organisasi tata usaha/administrasi negara, saat itu masih sangat sederhana.
c.       An-Nidham Al-Maly : organisasi keuangan negara, mengelola masalah keluar masuknya uang negara. Untuk itu dibentuk Baitul Mal.
d.      An-Nidham Al-Harby : organisasi ketentaraan yang meliputi susunan tentara, urusan gaji tentara, urusan persenjataan, pengadaan asrama-asrama dan benteng-benteng pertahanan.
e.       An-Nidham Al-Qadla’i : organisasi kehakiman yang meliputi masalah-masalah pengadilan.
Pengembangan sistem birokrasi pemerintahan yang dihasilkan oleh pemikiran keras Umar bin Khattab ini diperoleh setelah berhasil memadukan sistem yang ada di daerah perluasan dengan kebutuhan masyarakat yang sudah mulai berkembang pada saat itu.

4.      Ijtihad Umar di Bidang Hukum
Pada saat agama Islam telah meluas hingga ke Syam, Mesir dan Persia, agama Islam banyak menjumpai kebudayaan baru yang hidup di negeri-negeri itu, sehingga timbullah berbagai macam kesulitan dan masalah-masalah yang belum pernah ditemui oleh kaum muslim.
Umar bukan saja menciptakan peraturan-peraturan baru, tetapi juga memperbaiki dan mengadakan perubahan terhadap peraturan yang telah ada, bilamana peraturan itu memang harus diperbaiki dan diubah. Misalnya peraturan yang telah berlaku bahwa kaum muslim diberi hak menguasai tanah dan segala sesuatu yang didapat dengan berperang, Umar mengubah-nya bahwa tanah itu harus tetap di tangan pemiliknya semula tetapi dikenai pajak tanah (kharaj).
Di antara ijtihadnya di bidang hukum yang cukup spektakuler yaitu:
a.    tidak melaksanakan hukuman potong tangan terhadap pencuri yang terpaksa mencuri demi membebaskan dirinya dari kelaparan.
b.    menghapuskan bagian zakat bagi para muallaf (orang yang dibujuk hatinya karena baru masuk Islam).
c.    menghapuskan hukum mut’ah (kawin kontrak) yang semula diperbolehkan dan sampai sekarang masih diakui oleh orang-orang Syi’ah Itsna ‘Asyariyah.
Dengan melaksanakan ijtihad, Umar hanya ingin memberikan tuntunan dan pengertian bahwa ajaran Islam itu tidak kaku, tapi bisa lentur dan luwes sesuai dengan perkembangan zaman dan permasalahan yang dihadapi dengan tetap mengacu pada substansi ajaran yang ada dalam al-Qur’an dan al-Hadits.

BAB III
PENUTUP
A.           KESIMPULAN
1. Pada periode Khalifah Umar (634-644 M), peta Islam semakin meluas, Islam meluas di Timur sampai perbatasan India dan sebagian Asia Tengah di Barat sampai Afrika Utara. Setelah memangku jabatan kekhalifahan, Umar melanjutkan kebijakan perang yang telah dimulai oleh Abu Bakar untuk menghadapi tentara Sasania maupun Byzantium baik di front Timur ( Persia ), Utara (Syam) maupun di Barat (Mesir). Ada beberapa sebab ekspansi Umar Bin Khattab ke wilayah-wilayah tersebut di antaranya :
a.       Letak geografis Persia, Syam, Iraq maupun Mesir adalah wilayah perbatasan dengan pemerintahan Islam. Daerah Byzantium terletak sebelah barat laut dari Arab terdiri dari Syiria, Palestina, Yordania, dan Mesir. Mereka, sejak awal, memiliki hubungan yang kurang harmonis dengan bangsa Arab.
b.      Pada saat itu, Sungai Nil (Mesir) dan Mesopotamia merupakan lahan yang subur. Jika dibandingkan dengan keadaan di Arab yang gersang dan tandus, maka hal ini menarik keinginan para prajurit Islam untuk menguasai wilayah tersebut sebagai sentrum perjuangan dakwah di luar Jazirah Arab.
c.       Damaskus pada saat itu merupakan kota penting. Damaskus dijadikan kota dan jalur perdagangan internasional.















[1] Joesoef Sou’yb, Sejarah Daulah Khulafaur Rosyidin, (Jakarta:Bulan Bintang. 1979), 9-10.
[2] Joesoef Sou’yb, Sejarah Daulah Khulafaur Rosyidin, (Jakarta:Bulan Bintang. 1979), 9-10.
[3] A Syalabi, Sejarah dan Kebudayaan Islam, (Jakarta:al-Huma Zikra. 1997), 244-245.
[4] Ibid., 248
[5] Ibid., 259.
[6] Ibid., 262-263

MAKALAH ILMU NASIKH WA MANSUKH HADITH (PENGERTIAN, URGENSI, DAN CARA MENGETAHUINYA).

BAB I
PENDAHULUAN
A.    Latar Belakang Masalah
Dewasa ini kompleksitas permasalahan agama terus berkembang seiring dengan perkembangan zaman dan bertambahnya kuantitas jumlah pemeluk agama Islam. Berbeda pada masa Rasulullah SAW kehidupan waktu itu masih sederhana, kalau terdapat permasalahan para sahabat bisa langsung bertanya kepada Rasulullah. Saat ini, bila ada permasalahan orang-orang berijtihad mencari hukum suatu masalah berdasar al-Qur’an dan al-Hadith (Sunnah).
Namun, bagaimana jika terdapat Hadith-hadith yang kontradiktif yang tidak mungkin dikompromikan antara keduanya. Tidaklah tepat  bila kita mengingkari dan memilih salah satu Hadith tersebut jika belum belum diteliti lebih mendalam. Oleh karena itu, diperlukan suatu ilmu yang membahas Hadith tersebut untuk mengetahui mana Hadith yang diriwayatkan pertama dan setelahnya atau Hadist yang fungsinya sebagai penghapus hukum Hadith pertama yang disebut Ilmu Nasi>kh  wa Mansu>kh.
B.    Rumusan Maslah
1.                  Apa pengertian Nasi>kh  dan Mansu>kh?.
2.                  Bagaimana urgensi Nasi>kh  dan Mansu>kh?.
3.                  Bagaimana cara mengetahui ilmu Nasi>kh  dan Mansu>kh?.
C.    Tujuan Masalah
1.                  Untuk mengetahui pengertian Nasi>kh  dan Mansu>kh.
2.                  Untuk mengetahui objek dan urgensi Nasi>kh  dan Mansu>kh.
3.                  Cara mengetahui  ilmu Nasi>kh  dan Mansu>kh.


BAB II
PEMBAHASAN
A.    Ilmu Nasi>kh  dan Mansu>kh Hadith
Secara bahasa, an-Naskh berarti pembatalan, penghapusan, pemindahan dari satu wadah ke wadah yang lain. Sesuatu yang membatalkan, menghapus, memindahkan, disebut dengan Nasi>kh. Sedangkan yang dibatalkan, dihapus, dipindahkan, disebut dengan Mansu>kh.[1]
Sedangkan menurut istilah, Ilmu Nasi>kh  wa Mansu>kh al-Hadith adalah ilmu yang mempelajari Hadith-hadith yang dihapus hukumnya dengan hadith yang datang setelahnya. Dengan demikian ketentuan hukum yang datang kemudian, guna mencabut atau menyatakan berakhirnya masa pemberlakuan hukum yang terdahulu, sehingga ketentuan hukum yang berlaku adalah yang ditetapkan yang terakhir. [2]
Hadith-hadith kontradiktif yang tidak mungkin dikompromikan antara keduanya dengan menjadikan yang satu sebagai Nasi>kh  (penghapus) dan yang lainnya sebagai Mansu>kh (yang dihapus). Langkah seperti ini apabila dua atau beberapa Hadith terdapat unsur kontradiktif dan dapat diketahui mana Hadith yang pertama kali disampaikan Nabi dan Hadith yang terakhir disampaikan Nabi.
Kehadiran Ilmu Nasi>kh  Wa Mansu>kh diawali oleh Qatadah bin Di’mar al-Sudusi (61-118 H.) dengan karyanya al-Nasi>kh wa al-Mansu>kh. Namun, kitab tersebut tidak terjaga sampai sekarang.[3]
B.    Urgensi Ilmu Nasi>kh  dan Mansu>kh
Nasi>kh  dan Mansu>kh hanya ada pada kajian hukum.[4] Ketika terdapat Hadith-hadith hukum yang bertentangan yang tidak bisa dikompromikan, maka dibutuhkan ilmu Nasi>kh dan Mansu>kh untuk menentukan hukum. Cara menentukannya satu sebagai Nasi>kh  dan lainnya sebagai Mansu>kh. Hadith yang datang terlebih dahulu sebagai Mansu>kh dan yang datang kemudian sebagai Nasi>kh.
Nasi>kh  dan Mansu>kh  merupakan hal yang harus diketahui oleh mereka yang menekuni kajian hukum-hukum syari’at. Sebab, tidak mungkin bagi seseorang untuk menggali hukum-hukum dari dalil-dalilnya tanpa mengetahi dalil-dalil Nasi>kh  dan Mansu>kh.[5]
Seorang tanpa mengetahui dalil-dali Nasi>kh  dan Mansu>kh akan terjebak dalam kesalahan dalam penentuan hukum. Begitu juga seorang Muslim yang mengamalkan suatu Hadith tanpa mengaetahui kalau Hadith itu Mansu>kh (sudah terhapus hukumnya), berarti dia telah terjatuh ke dalam ilmu yang tidak diperintahkan oleh syari’at untuk mengamalkannya. Memahami khabar secara literal memang mudah, tetapi memahaminya secara detail sangatlah sulit. Kesulitan itu dikarenakan adanya misteri-misteri yang terkandung di dalam teks-teks itu yang mengakibatkan tidak mudah untuk menggali kandungan hukumnya. Salah satu untuk mengetahui kejelasannya adalah dengan mengetahui mana yang awal dan mana yang akhir dari dua hal yang tampak bertentangan.
C.    Cara Mengetahui Nasi>kh  dan Mansu>kh
Nasi>kh  dan Mansu>kh dapat diketahui dengan cara sebagai berikut;[6]
  1. Pernyataan dari Rasulullah, seperti sabda beliau yang artinya, “Aku dulu pernah melarang kalian berziarah kubur, maka (sekarang) berziarahlah kalian, karena hal itu bisa mengingatkan akhirat.” (HR. Muslim).
  2. Perkataan Sahabat.
  3. Mengetahui sejarah, seperti Hadith yang diriwayatkan Syaddah bin ‘Aus: Rasulullah bersabda yang artinya “Orang yang membekam dan yang dibekam batal puasanya.” (HR. Abu Dawud). Hadith ini di-Nasakh oleh hadith yang diriwayatkan Ibnu Abbas yang artinya: “bahwasanya Rasulullah berbekam sedangkan beliau sedang ihram dan berpuasa.” (HR. Muslim). Dalam salah satu jalur sanad Syaddad dijelaskan, bahwa Hadith itu diucapkan pada tahun 8 Hijriyah ketika terjadi fathul Makkah sedangkan Ibnu Abbas menemani Rasulullah SAW dalam keadaan Ihram pada saat Haji Wada’ tahun 10 Hijriyah. Oleh karenanya, Hadith yang pertama di-Nasakh hukumnya oleh hadith setelahnya.
D.    Kitab-kitab Tentang Nasi>kh  dan Mansu>kh
Sebagian ulama telah menyusun buku tentang Nasi>kh  dan Mansu>kh dalam Hadith, diantaranya:
1.      Al-Nasi>kh  wa al-Mansu>kh, karya Qatadah bin Di’amah al-Sadusi (w.118 H), namun tidak sampai ke tangan kita sekarang.
2.      Nasi>kh  al-Hadith wa Mansu>khu, karya ahli Hadith Iraq, Abu Hafsh Umar Ahmad al-Baghdadi, yang dikenal dengan Ibnu Syahin (w.385 H).
3.      Nasi>kh  al-Hadith wa Masukhu, karya al-Hafidz Abu Bakar Ahmad bin Muhammad al-Atsram (w.261 H).
4.      Al-I’tibar fi al-Nasi>kh  wa al-Mansu>kh min al-Atsar, karya Imam Abu Bakar Muhammad bin Musa al-Hazimi al-Hamadani (w.584 H).[7]

BAB III
PENUTUP
A.    Kesimpulan
1.    Sesuatu yang membatalkan, menghapus, memindahkan, disebut dengan Nasi>kh. Sedangkan yang dibatalkan, dihapus, dipindahkan, disebut dengan Mansu>kh.
2.    Nasi>kh  dan Mansu>kh hanya ada pada kajian hukum. Sebab, tidak mungkin bagi seseorang untuk menggali hukum-hukum dari dalil-dalilnya tanpa mengetahi dalil-dalil Nasi>kh  dan Mansu>kh.
3.    Nasi>kh  dan Mansu>kh dapat diketahui dari pernyataan Rasulullah SAW, Sahabat, dan Sejarah.
Baca juga Artikel yang terkait:



[1] Muhammad Gufron dkk, Ulumul Hadits, (Yogyakarta : Teras, 2013), 83.
[2] Ibid., 83.
[3] Ibid., 83-84.
[4] Zainudin dkk, Studi Hadits, (Surabaya : UIN Sunan Ampel Press, 2013), 197.
[5] Ibid., 198.
[6] Muhammad Gufron dkk, Ulumul Hadits, (Yogyakarta : Teras, 2013), 84-85.
[7] Ibid., 85-86.

DALIL PUASA RAMADHAN DALAM AL-QUR'AN DAN HADIST

  Dalil Puasa Ramadhan dalam Al-Qur'an Berikut empat dalil tentang puasa Ramadhan yang ada dalam Al-Qur'an: 1. Surah Al-Baqarah ...