Latar Belakang
Gadai merupakan salah satu kegiatan ekonomi
yang dilandasi oleh beberapa factor, terutama kebutuhan manusia akan kehadiran
uang maupun emas dan lainnya. Kita mengetahui bahwa di Indonesia telah banyak
didirikan pegadaian-pegadaian hingga menyebar di seluruh kota maupun kabupaten.
Ada banyak program yang diadakan oleh pihak
pegadaian, seperti halnya menggadaikan barang berharga demi mendapatkan sebuah
pinjaman uang, program tabung emas, pegadaian emas, arisan emas dan lain
sebagainya.
Pegadaian mempunyai sebuah semboyan, yaitu
“mengatasi masalah tanpa masalah”, tentu dengan adanya hal tersebut pastinya
kehadiran pegadaian adalah untuk membantu masyarakat dan melayani masyarakat
untuk mengatasi permasalahan yang mereka miliki.
Bukan hanya bank saja yang memiliki dua
jenis, yaitu konvensional dan syariah, pegadaianpun juga memiliki dua jenis,
yaitu pegadaian konvensional yang sering kita lihat pada umumnya, serta
pegadaian syariah yang baru-baru ini muncul dengan membawa misi melengkapi
kinerja pegadaian konvensioanal. Kedua jenis pegadaian ini memiliki landasan
hukum sendiri-sendiri, untuk konvensional maka berdasarkan atas peraturan
perundang-undangan, sedangkan untuk yang syariah atau islami tentu hukumnya
bersumber dari Al-Qur’an dan sunnah.
Pada dasarnya, produk-produk berbasis syariah
memiliki karakteristik seperti, tidak memungut bunga dalam berbagai bentuk
karena riba, menetapkan uang sebagai alat tukar bukan sebagai komoditas yang
diperdagangkan, dan melakukan bisnis untuk memperoleh imbalan atas jasa dan
atau bagi hasil. Pegadaian syariah atau dikenal dengan isltilah rahn, dalam pengoperasiannya menggunakan
metode Fee Based Income (FBI) atau
Mudharobah (bagi hasil). Karena nasabah dalam mempergunakan marhumbih (UP)
mempunyai tujuan yag berbeda-beda, misalnya untuk konsumsi, membayar uang
sekolah atau tambahan modal kerja, penggunaan metode Mudharobah belum tepat
pemakaiannya. Oleh karenanya, pegadaian menggunakan metode Fee Based Income (FBI).
Sebagai peerima gadai atau disebut Mutahim,
penggadaian akan mendapatkan Surat Bukti Rahn
(gadai) berikut dengan akad pinjam-meminjam yang disebut Akad Gadai Syariah dan
Akad Sewa Tempat (Ijarah). Dalam akad gadai syariah disebutkan bila jangka
waktu akad tidak diperpanjang maka penggadai menyetujui agunan (marhun)
miliknya dijual oleh murtahin guna melunasi pinjaman. Sedangkan Akad Sewa
Tempat (ijarah) merupakan kesepakatan antara penggadai dengan penerima gadai
untk menyewa tempat untuk penyimpanan dan penerima gadai akan mengenakan jasa
simpan.
Rumusan
Masalah
1.
Bagaimanakah perkembangan praktik jasa pergadaian saat ini apabila dikaitkan dengan tujuan gadai
sebagai sumber pembiayaan?
2.
Bagaimanakah konsep pengaturan gadai di masa datang guna mewujudkan fungsi gadai sebagai alternatif pembiayaan?
Kajian
Pustaka
Data yang didapat oleh penulis berdasarkan
hasil kajian pustaka pada buku-buku literature, jurnal ilmiah dan internet.
Metode
Penelitian
Dalam upaya mencapai tujuan penelitian ini, metode penelitian yang
digunakan bersifat deskriptif analitis. Metode ini menggambarkan dan
menganalisis data sekunder yang didukung data primer mengenai berbagai masalah
yang berkaitan dengan praktik pegadaian saat ini.
Sesuai dengan bidang kajian ilmu hukum, pendekatan yang dipakai dalam
pendekatan ini adalah yuridis normatif, yang lebih menitikberatkan pada studi
kepustakaan untuk mengkaji arti, maksud dan keberadaan gadai sebagai alternatif
pembiayaan.
Bahan hukum yang dipergunakan dalam penelitian ini meliputi :
1.
Bahan hukum primer dalam bentuk antara lain kitab
undang-undang hukum perdata; undang-undang no 10 tahun 1998 tentang perubahan
atas undang-undang no 7 tahun 1992 tentang perbankan; undang-undang nomor 19
tahun 1993 tentang badan usaha milik negara; undang-undang nomor 9 tahun 2011
tentang perubahan atas undang-undang nomor 9 tahun 2006 tentang resi Gudang;
peraturan pemerintah nomor 51 tahun 2011 tentang perubahan bentuk badan hukum
perum pegadaian menjadi perusahaan persero; keputusan Menteri koperasi dan
usaha kecil dan menengah nomor 01/per/M.KUKMII/2010; fatwa dewan Syariah
nasional nomor 25/DSN-MUI/III/2002 tentang Rahn (gadai Syariah); dan fatwa
dewan Syariah nasional nomor 68/DSN-MUI/III/2002 tentang Rahn Tasjily.
2.
Bahan hukum sekunder berupa tulisan-tulisan para ahli di
bidang hukum baik nasional maupun internasional, jurnal dan majalah hukum
bisnis yang didapatkan melalui studi kepustakaan yang berkaitan dengan
pegadaian, dan
3.
Bahan hukum tersier berupa kamus hukum, kamus ekonomi,
ensiklopedia, artikel pada surat kabar, majalah dan internet.
Analisis data yang digunakan di dalam penelitian ini adalah analisis
data yuridis kuantitatif dengan menggunakan daya abstraksi dan penafsiran hukum
(interpretasi) untuk selanjutnya di tuangkan dalam bentuk uraian-uraian
(deskripsi). Hasil studi kepustakaan kemudian dianalisis dengan menggunakan
metode analisis data secara kualitatif. Kesimpulan tidak didasarkan pada
angka-angka statistik melainkan pada keterkaitan antara asas-asas hukum,
kaidah-kaidah hukum dan teori hukum dengan fenomena yang terjadi dalam
masyarakat melalui interpretasi yuridis.
Pembahasan
A.
Pengertian dan Dasar Hukum Rahn
Dalam bahasa Arab, gadai disebut dengan Rahn yang secara istilah mengandung
pengertian menggadaikan, menangguhkan.[1]
Sedangkan menurut bahasa berarti tetap, kekal dan jaminan.[2]
Dalam pengertian lain, rahn atau
gadai menurut bahasa disebut al-tsubut dan
al-habs yaitu penetapan dan
penahanan. Ada pula yang menjelaskan rahn
adalah terkurung atau terjerat.[3]
Menurut istilah syara’, yang dimaksud dengan rahn adalah:
1.
Akad yang objeknya menahan harga terhadap sesuatu hak
yang mungkin diperoleh bayaran dengan sempurna darinya.[4]
2.
Menjadikan suatu benda berharga dalam pandangan syara’
sebagai jaminan atas hutang selama ada dua kemungkinan, untuk mengembalikan
uang atau untuk mengambil sebagian uang itu.[5]
3.
Akad perjanjian pinjam-meminjam dengan menyerahkan barang
sebagai tanggungan hutang.[6]
4.
Sesuatu yang diletakkan pada seseorang yaitu sesuatu
barang yang diganti dengan barang yang lain.[7]
5.
Menjadikan zat suatu benda sebagai jaminan hutang.
6.
Menjadikan harta benda sebagai jaminan hutang.
7.
Suatu barang yang dijadikan peneguhan atau penguat
kepercayaan dalam hutang-piutang.[8]
8.
Menjadikan suatu benda bernilai menurut pandangan syara’
sebagai tanggungan hutang, dengan adanya benda yang menjadi tanggungan itu
seluruh atau sebagian hutang dapat diterima.[9]
Dalam islam, rahn merupakan sarana saling tolong-menolong bagi umat islam, tanpa
adanya imbalan jasa. Rahn hukumnya jaiz (boleh) menurut Al-Qur’an,
as-sunnah dan ijma’[10]
Adapun dasar hukum pegadaian syari’ah ini
adalah:
1.
Dasar hukum Al-Qur’an surah Al-Baqarah: 283
“Jika
kamu dalam perjalanan (dan bermuamalah tidak secara tunai) sedang kamu tidak
memperoleh seorang penulis, maka hendaklah ada barang tanggungan yang dipegang
(oleh yang menghutang). Akan tetapi jika sebagian kamu mempercayai sebagian
yang lain, maka hendaklah yang dipercayai itu menunaikan amanat (hutang) ia dan
hendaklah dia bertakwa kepada Allah Tuhannya, dan janganlah kamu (para saksi)
menyembunyikan persaksian. Dan barang siapa yang menyembunyikannya, maka
sesungguhnya ia adalah orang-orang yang berdosa hatinya, dan Allah Maha
Mengetahui apa yang kamu kerjakan.” (QS. Al-Baqarah: 283)
Dalam
ayat tersebut dijelaskan, bahwa apabila seseorang berada dalam keadaan
bepergian dan hendak melakukan suatu tindakan bermuamalah ataupun suatu
transaksi hutang-piutang, kemudian ia tidak mendapatkan seseorang yang adil dan
pandai dalam hal penulisan transaksi hutang, maka hendaklah meminta kepadanya
suatu bukti lain sebagai bukti kepercayaan atau penguat, yaitu dengan
menyerahkan sesuatu berupa benda atau barang yang berharga sebagai jaminan yang
dapat dipegang atau hutang. Hal ini dipandang perlu karena untuk menjaga agar
kedua belah pihak yang melakukan perjanjian gadai itu timbul rasa saling
mempercayai antara satu sama lainnya, sehingga dalam transaksi gadai tersebut
tidak menimbulkan kecurigaan yang kemungkinan akan terjadi suatu perselisihan
antara para pihak yang bersangkutan.
Jaminan
yang ada di tangan pihak piutang adalah amanah dan si piutang tidak memiliki
hak untuk memanfaatkan atau menggunakannya di jalan yang tidak benar, melainkan
ia harus berupaya memelihara dan menjaganya agar ketika orang yang berhutang
membayar pinjamannya, maka jaminannya itu dikembalikan kepadanya secara utuh.
Orang yang berhutang pada hakikatnya dianggap sebagai orang yang amanah
sehingga diberikan pinjaman, makaa ia harus membayar hutangnya itu tepat pada
waktunya, agar orang yang memberikan pinjaman tidak memperoleh kerugian.
Khususnya di tempat di mana orang yang berpiutang kepercayaannya kepada yang
berhutang sedemikian besanya sehingga tidak meminta jaminan, maka dalam kondisi
seperti ini, pihak yang berhutang harus ingat kembali kepada ketentuan dasar
yang diatur dalam hukum islam dan tidak menzalimi orang lain dengan memakan
hartanya secara batil.[11]
2.
Dasar Hukum Hadist
Aisyah
berkata bahwa Rosul bersabda: Rasulullah pernah membeli makanan dari seorang
yahudi dan meminjamkan kepadanya baju besi. (HR. Bukhori)[12]
3.
Ijma’
Para
ulama’ telah bersepakat bahwa rahn
atau gadai itu boleh dan mereka tidak pernah mempermasalahkan kebolehannya,
demikian pula dengan landasan hukumnya. Di samping itu, berdasarkan fatwa Dewan
Syari’ah Nasional No. 25/DSN-MUI/III/2002, tanggal 26 Juni 2002 dinyatakan
bahwa, pinjaman dengan menggadaikan barang sebagai jaminan hutang dalam bentuk rahn dibolehkan. Jumhur ulama
berpendapat bahwa rahn disyariatkan
pada waktu tidak bepergian maupn pad waktu bepergian.[13]
B.
Rukun dan Syarat-Syarat Rahn
1.
Rukun Rahn
Sebelum
melakukan transaksi gadai atau rahn,
maka harus mengetahui terlebih dahulu apa saja yang termasuk dalam rukun rahn. Menurut jumhur ulama, rukun rah nada empat, yaitu:
a.
Shigat (lafal ijab dan
qobul)
b.
Orang yang berakad (al-rahin dan al-murtahin)
c.
Harta yang dijadikan agunan (al-marhun)
d.
Hutang (ar-marhun
bih)[14]
2.
Syarat-syarat Rahn
Menurut
jumhur ulama, ada beberapa syarat sahnya akad rahn, yaitu: berakal, baligh (dewasa),
wujudnya marhun yang dipegang sebagai
jaminan oleh murtahin.[15]
Di samping syarat-syarat sah rahn,
juga terdapat syarat-syarat lain dari rahn
atau gadai yang harus dipenuhi secara hukum fiqh, yaitu:
a.
Cakap bertindak hukum. Kecakapan bertindak hukum
diwajibkan kepada orang yang telah baligh
dan berakal.
b.
Syarat sighat
(lafal), yaitu ucapan atau lafal yang dibarengi dengan syarat tertentu. Misal,
orang yang berhutang mensyaratkan apabila tenggang waktu hutang telah habis dan
hutang belum terbayar, maka rahn itu
diperpanjang selama satu bulan atau memberi hutang serta mensyaratkan harta agunan
itu boleh ia manfaatkan. Untuk sahnya rahn,
pihak pemberi hutang harus disaksikan oleh dua ornag saksi. Apabila agunan
dijual ketika rahn jatuh tempo dan
orang yang berhutang tidak mampu membayar hutangnya, maka syarat tersebut
batal.
c.
Syarat marhun bih
(hutang), yaitu: pertama, merupakan
hak yang wajib dikembalikan kepada orang
tempat berhutang. Kedua, hutang itu
boleh dilunasi dengan agunan dan ketiga,
hutang itu jelas dan tertentu.
d.
Beberapa hal yang menjadi syarat marhun (barang yang dijadikan agunan), yaitu:
§
Barang jaminan (agunan) itu boleh boleh dijual dan
nilainya seimbang dengan hutang.
§
Barang jaminan itu dinilai harta dan boleh dimanfaatkan.
§
Barang jaminan itu jelas.
§
Agunan itu milik sah orang yang berhutang.
§
Barang jaminan itu tidak terkait dengan orang lain.
§
Barang jaminan itu merupakan harta yang utuh, tidak
bertebaran dalam beberapa tempat.
§
Brang jaminan itu boleh diserahkan, baik materinya maupun
manfaatnya.
Syarat terakhir merupakan kesempatan rahn yang disebut sebagai qabdhal-marhum (barang jaminan dikuasai
secara hukum oleh pemberi hutang). Syarat ini menjadi sangat penting
sebagaimana dinyatakan oleh Allah SWT dalam suratAl-Baqarah ayat 283 yang telah
disebutkan dalam pembahasan sebelumnya.
Apabila barang jaminan itu telah dikuasai oleh
pemberi hutang, maka akad rahn
bersifat mengikat bagi kedua belah pihak. Oleh sebab itu, hutang tersebut
terkait dengan barang jaminan, sehingga apabila hutang tidak dapat dilunasi,
maka barang jaminan dapat dijual dan uang itu dibayar. Apabila dalam penjualan
barang jaminan ada kelebihan uang, maka wajib dikembalikan kepada pemiliknya (rahn).[16]
Dalam pemahaman madzhab Syafi’I, ketetapan
mengenai syarat-syarat sah gadai adalah:
Syarat luzum
(tetap), yaitu syarat serah terima barang gadaian. Jadi bila barang gadaian itu
belum diterima oleh penerima gadai, maka bagi pemberi gadai masih berhak
menarik kembali perjanjiannya.
Syarat sah gadai, yaitu:
a.
Syarat yang berhubungan dengan akad . Hal ini hendaknya
jangan dikaitkan dengan syarat yang tidak sesuai dengan akad itu sendiri,
karena yang demikian itu akan membatalkan akad gadai.
b.
Syarat yang berhubungan dengan para pihak, misal kedua
belah pihak sudah cakap dalam bertindak, sampai umur, berakal sehat dan tidak
dalam pengampunan,
Syarat yang berhubungan dengan barang gadai
adalah:
1)
Barang gadaian itu harus hak milik sempurna.
2)
Barang gadaian itu harus benda yang tahan lama.
3)
Barang gadaian itu harus benda yang suci
4)
Barang gadaian itu harus bermanfaat dan bernilai menurut
pandangan syara’.
Syarat yang berhubungan marhun bih, yaitu:
1)
Gadai itu harus disebabkan hutang yang pasti.
2)
Hutangnya sudah tetap seketika atau masa yang akan
datang.
3)
Hutang itu sudah diketahui benda, jumlah dan
sifat-sifatnya.[17]
Berdasarkan dari beberapa uraian yang telah
disebutkan tentang syarat sahnya gadai, maka dapatlah dipahami bahwa syarat
merupakan suatu yang harus dipenuhi sebelum melaksanakan perjanjian gadai,
sehingga perjanjian gadai tersebut sah menurut ketentuan syara’.
C.
Jenis-Jenis Rahn
Dalam
prinsip syariah, gadai dikenal dengan istilah rahn. Rahn yang diatur
menurut prinsip syariah, dibedakan menjadi dua, yaitu:
1.
Rahn ‘Iqrar atau Rasmi
(Rahn Takmini atau Rahn Tasjily)
Merupakan
bentuk gadai, dimana barang yang digadaikan hanya dipindahkan kepemilikannya,
namun barangnya sendiri masih dikuasai dan dipergunakan oleh pemberi gadai.
Konsep
ini dalam hukum positif lebih mirip kepada konsep pemberian jaminan secara
fidusia atau penyerahan hak milik scara kepercayaan atas suatu benda. Dalam konsep
fidusia tersebut, dimana yang diserahkan hanyalah kepemilikan atas benda
tersebut, sedangkan fisiknya masih tetap dikuasai oleh pemberi fidusia dan
masih dapat dipergunakan untuk keperluan sehari-hari.
2.
Rahn Hiyazi
Bentuk
Rahn Hiyazi inilah yang sangat mirip
dengan konsep gadai baik dalam hukum adat maupun dalam hukum positif. Jadi
berbeda dengan rahn ‘iqar yang hanya
menyerahkan hak kepemilikan atas barang, maka pada rahn hiyazi tersebut barangnya pun dikuasai oleh kreditur.
Sebagaimana
halnya dengan gadai berdasarkan hukum positif, barang yang digadaikan bisa
berbagai macam jenisnya, baik bergerak maupun tidak bergerak.
Dalam
hal yang digadaikan berupa benda yang dapat diambil manfaatnya, maka penerima
gadai dapat mengambil manfaat tersebut dengan menanggung biaya perawatan dan
pemeliharaannya.
Dalam
praktik, yang biasanya diserahkan secara rahn
adalah benda-benda bergerak, khususnya emas dan kendaraan bermotor. Rahn dalam bank syariah juga biasanya
diberikan sebagai jaminan atas qardh atau
pembiayaan yang diberikan oleh bank syariah kepada nasabah. Rahn juga dapat diperuntukkan bagi
pembiayaan yang bersifat konsumtif, seperti pembayaran uang sekolah, modal
usaha dalam jangka pendek, untuk biaya pulang kampong pada waku lebaran dan
lain sebagainya. Jangka waktu yang pendek (biasanya 2 bulan) dan dapat
diperpanjang atas permintaan nasabah.
Jadi,
prinsip pokok dari rahn adalah:
§
Kepemilikan atas barang yang digadaikan tidak beralih
selama masa gadai
§
Kepemilikan baru beralih pada saat terjadinya wanprestasi
pengembalian dana yang diterima oleh pemilik barang. Pada saat itu, penerima
gadai berhak untuk menjual barang yang digadaikan berdasarkan kuasa yang
sebelumnya perah diberikan oleh pemilik barang.
§
Penerima gadai tidak boleh mengambil manfaat dari barang yang
digadaikan, kecuali atas seijin dari pemilik barang. Dalam hal demikian, maka
penerima gadai berkewajiban menanggung biaya penitipan atau penyimpanan dan
biaya pemeliharaan atas barang yang digadaikan tersebut.
D.
Pemeliharaan Objek Gadai dan Biayanya Menurut
para Fuqaha
Selama
barang gadai ada di tangan pemegang gadai, maka kedudukannya hannya merupakan
suatu amanat yang dipercayakan kepadanya oleh pihak penggadai. Sebagai pemegang
amanat, murtahin berkewajiban untuk
memelihara kemaslahatan barang gadai yang diterimanya sesuai dengan keadaan
barang. Untuk menjaga keselamatan barang gadai tersebut dapat diadakan
persetujuan penyimpanan. Kemudian barulah persetujuan diadakan setelah
perjanjiangadai teerjadi.[18]
Mengenai
biaya perawatan atau pemeliharaan barang gadai, pada prinsipnya fuqaha sepakat
bahwasanya segala resiko atau biaya yang timbul untuk pemeliharaan menjadi
tanggung jawab pemilik barang, yaitu rahn.[19]
Karnanya setiap manfaat atau keuntungan yang ditimbulkannya menjadi hak pemilik
barang. Hal ini berdasarkan sabda Nabi SAW: “Gadaian itu tidak menutup akan
yang punya dari manfaat barang itu, faedahnya kepunyaan dia, dan dia wajib
mempertanggungjawabkan segalanya (kerusakan dan biaya)”. (HR. Asy-Syafi’i dan
Daruquthny)
Bagaimanapun
mereka tidak sependapat mengenai jenis perbelanjaan yang mesti ditanggung oleh rahn. Ulama Hanafiah berpendapat bahwa
tagihan pembelanjaan yang mesti ditanggung oleh rahn, sebagai pemilik barang gadai dan oleh murtahin sebagai orang yang bertanggungjawab menjaganya adalah
sebagai berikut: segala perbelanjaan yang diperlukan untuk kepentingan barang
gadai hendaklah ditanggung oleh rahin,
karena barang tersebut hak miliknya dan segala perbelanjaan untuk memelihara
barang gadaian hendaklah ditanggung oleh pegadai (murtahin), karena ia yang berhak memegangnya maka ia terikat dengan
perkara-perkara yang berkaitan.
Dalam
hal ini penggadai bertanggungjawab untuk menyediakan atau membayar biaya
makanan, minuman dan penggembala jika barang jaminannya berupa binatang ternak
dan juga bertanggungjawab atau membayar biaya penyiraman, pembersihan,
perparitan dan cukai jika barang jaminan berupa tanah karena semua itu
merupakan biaya dan perbelanjaan harta yang mesti ditanggung oleh pemilik barang.
Pegadai
juga bertanggungjawab menyediakan atau membayarkan biaya upah menjaga dan
tempat pemeliharaan, seperti sewa kandang, sewa tempat simpanan karena sewa
pemeliharaan barang gadaian adalah tanggungjawabnya. Berdasarkan tanggungjawab
tersebut, pegadai tidak ada hak untuk mengenakan syarat dalam akad gadaian
bayaran upah mesti kepadanya untuk memelihara barang gadaian, karena
tanggungjawab tersebut adalah kewajibannya. Tidak ada bayaran upah dikenakan
pada perkara yang diwajibkan. Ulama Maliki, Syafi’i dan Hanbali, (jumhur)
berpendapat bahwa semua perbelanjaan dan bayaran perkara-perkara yang berkaitan
barang gadaian mestilah ditanggung oleh penggadai (rahn).[20]
E.
Pemanfaatan Objek Gadai menurut para Fuqaha
Pada
dasarnya barang gadai tidak boleh diambil manfaatnya, baik oleh pemiliknya
maupun oleh penerima gadai. Hal ini disebabkan status barang tersebut hanya
sebagai jaminan hutang dan sebagai amanat bagi penerimanya. Namun apabila
mendapat izin dari masing-masing pihak yang bersangkutan, maka menurut para
fuqaha barang gadai atau jaminan boleh dimanfaatkan. Murtahin hanya berhak menahan barang gadai, tetapi tidak berhak
menggunakan atau memanfaatkan hasilnya, sebagaimana pemilik barang gadai tidak
berhak mengguakan barang itu. Tetapi sebagai pemilik marhun (rahn), apabila
barang gadainya itu mengeluarkan hasil, maka hasil itu menjadi milik rahin.[21]
Para
ulama fiqh juga sepakat bahwa barang yang dijadikan jaminan itu tidak boleh
dibiarkan begitu saja tanpa menghasilkan sama sekali. Sebab tindakan tersebut
termasuk menyia-nyiakan harta yang dilarang oleh Rosul SAW. Tetapi mengenai
boleh tidaknya pihak pemegang barang jaminan memanfaatkan barang jaminan
meskipun mendapat izin dari pemilik barang jaminan, dalam hal ini terjadi
perbedaan pendapat para ulama fiqh.
Jumhur
ulama fiqh selain ulama Hanabilah berpendapat bahwa pemegang barang jaminan
tidak boleh memanfaatkan barang jaminan karena barang itu bukan miliknya secara
penuh. Hak pemegang barang jaminan terhadap barang itu hanyalah sebagai jaminan
piutang yang ia berikan. Apabila orang yang berhutang tidak mampu melunasi
hutangnya, maka barulah ia boleh menjual atau menghargai barang tersebut untuk
melunasi piutangnya.[22]
Jika
pemilik barang mengizinkan pemegang barang jaminan menanfaatkan barang tersebut
selama berada di tangannya, maka sebagian ulama Hanafiah membolehkan. Karena
dengan adanya izin, maka tidak ada halangan bagi pemegang barang jaminan untuk
memanfaatkannya. Namun sebagian ulama Hanafiah lainnya, ulama Malikiyah dan
ulama Syafi’iyah berpendapat bahwa meskipun pemilik barang mengizinkannya,
pemegang barang jaminan tidak boleh memanfaatkan barang jaminan itu. Apabila
barang jaminan itu dimanfaatkan, maka hasil pemanfaatan tersebut merupakan riba
yang dilarang syara’ sekalipun diizinkan dan diridhoi pemilik barang. Bahkan
menurut mereka, ridho dan izin dalam hal ini lebih cenderung dalam keadaan
terpaksa, karena khawatir tidak akan mendapatkan uang yang akan dipinjam.
Selain itu dalam masalah riba, izin dan ridho tidak berlaku.[23]
Berkaitan dengan hal di atas, Rasul SAW bersabda: “Dari Abu Hurairah r.a.,
Rasul SAW bersabda: binatang tunggangan boleh ditunggangi sebagai imbalan atas
nafkahnya (makanannya) bila sedang digadaikan, dan susu binatang yang diperah
boleh diminum sebagai imbalan atas makanannya bila sedang digadaikan. Orang
yang menunggangi dan meminum susu berkewajiban untuk memberikan makanan. (HR.
Bukhari)[24]
Oleh
karena itu, diusahakan agar dalam perjanjian gadai itu dicantumkan ketentuan
jika penggadai atau penerima gadai meminta izin untuk memanfaatkan barang
gadai, maka hasilnya menjadi milik bersama.[25]
Ketentuan itu dimaksudkan untuk menghindari tidak berfungsinya harta benda atau
mubazir.
F.
Lahirnya Pegadaian Syariah
Terbitnya
PP/10 tanggal 1April 1990 dapat dikatakan menjadi tonggak awal kebangkitan
pegadaian, satu hal yang perlu dicermati bahwa PP10 menegaskan misi yang harus
diemban oleh pegadaian untuk mencegah praktik riba, misi ini tidak berubah
hingga terbitnya PP103/2000 yang dijadikan sebagai landasan kegiatan usaha
Perum Pegadaian sampai sekarang. Banyak pihak berpendapat bahwa
operasionalisasi Pegadaian pra Fatwa MUI tanggal 16 Desember 2003 tentang Bunga
Bank, telah sesuai dengan konsep syariah meskipun harus diakui belakangan bahwa
terdapat eberapa aspek yang menepis anggapan itu. Berkat Rahmat Allah SWT dan
setelah melalui kajian panjang, akhirnya disusun suatu konsep pendirian unit
layanan gadai syariah sebagai langkah awal pembentukan devisi khusus yang
menangani kegiatan usaha syariah.
Konsep
operasi pegadaian syariah mengacu pada sistem administrasi modern yaitu azaz
rasionalitas, efisiensi dan efektifitas yang diselaraskan dengan nilai islam.
Fungsi operasi pegadaian syariah itu sendiri dijalankan oleh kantor-kantor
cabang pegadaian syariah/unit layanan gadai syariah (ULGS) sebagai satu unit
organisasi dibawah binaan devisi usaha lain perum pegadaian. ULGS merupakan
unit bisnis mandiri yang secara structural terpisah pengelolaannya dari usaha
gadai konvensional. Pegadaian syariah pertama kali berdiri di Jakarta dengan
nama unit layanan gadai syariah (ULGS) cabang dewi sartika di bulan Januari
2003. Kemudian pendirian ULGS di Surabaya, Makasar, Semarang, Surakarta dan
Yogyakarta di tahun yang sama hingga September 2003 dan 4 kantor cababg
pegadaian di Aceh dikonversi menjadi Pegadaian Syariah.
G.
Operasionalisasi Pegadaian Syariah
Implementasi
operasi pegadaian syariah hampir bermiripan dengan pegadaian konvensional.
Seperti halnya pegadaian konvensional, pegadaian syariah juga menyalurkan uang
pinjaman dengan jaminan barang bergerak. Prosedur untuk memperoleh kredit gadai
syariah sangat sederhana, masyarakat hanya menunjukkan bukti identitas diri dan
barang bergerak sebagai jaminan, uang pinjaman dapat diperoleh dalam waktu yang
relative tidak lama (kurang lebih 15 menit). Begitupun untuk melunasi pinjaman,
nasabah cukup dengan menyerahkan sejumlah uang dan surat bukti rahn saja denan proses yang singkat.
Di
samping beberapa kemiripan dari beberapa segi, ditinjau dari aspek landasan
konsep, teknik transaksi dan pendanaan, pegadaian syariah memiliki ciri
tersendiri yang impementasinya sangat berbeda dengan pegadaian konvensional.
1.
Landasan Konsep (Al-Qur’an, hadist dan ijma’)
“Jika
kamu dalam perjalanan (dan bermuamalah tidak secara tunai) sedang kamu tidak
memperoleh seorang penulis, maka hendaklah ada barang tanggungan yang dipegang
(oleh yang menghutang). Akan tetapi jika sebagian kamu mempercayai sebagian
yang lain, maka hendaklah yang dipercayai itu menunaikan amanat (hutang) ia dan
hendaklah dia bertakwa kepada Allah Tuhannya, dan janganlah kamu (para saksi)
menyembunyikan persaksian. Dan barang siapa yang menyembunyikannya, maka
sesungguhnya ia adalah orang-orang yang berdosa hatinya, dan Allah Maha
Mengetahui apa yang kamu kerjakan.” (QS. Al-Baqarah: 283)
Aisyah
berkata bahwa Rosul bersabda: Rasulullah pernah membeli makanan dari seorang
yahudi dan meminjamkan kepadanya baju besi. (HR. Bukhori)[26]
Dari
Abu Hurairah r.a. Nabi SAW bersabda: Tidak terlepas kepemilikan barang gadai
dari pemilik yang menggadaikannya. Ia memperoleh manfaat dan menanggung
resikonya. (HR. Asy-Syafi’I, al-Daraquthni dan Ibnu Majah)
Nabi
bersabda: Tunganggan (kendaraan) yang digadaikan boleh dinaiki dengan
menanggung biayanya dan binatang ternak yang digadaikan dapat diperah susunya
dengan menanggung biayanya. Bagi yang menggunakan kendaraan dan memerah susu
wajib menyediakan biaya perawatan dan pemeliharaannya. (HR. Jamaah, kecuali
Muslim dan An-Nasa’i)
Dari
Abu Hurairah r.a. Rasulullah bersabda: Apabila ada ternak digadaikan, maka
punggungnya boleh dinaiki (menjaga) nya. Apabila ternak itu digadaikan, maka
air susunya yang deras boleh diminum (oleh orang yang menerima gadai) karena ia
ttelah mengeluarkan biaya (mnjaga) nya. Kepada orang yang naik dan minum, maka
ia harus menngeluarkan biaya (perawatan) nya. (HR. Jemaah kecuali Muslim dan
Nasai-Bukhari)
Para
ulama sepakat membolehkan akad rahn
(al-Zuhaili, al-Fiqh al-Islami wa Adilatuhu, 1985, V: 181). Landasan ini
kemudian diperkuat dengan fatwa dewan syariah nasional no. 25DSN-MUI/III/2002
tanggal 26 Juni 2002 yang menyatakan bahwa pinjaman dengan menggadaikan barang
sebagai jaminan utang dalan bentuk rahn diperbolehkan.
2.
Teknik Transaksi
Teknik
Transaksi dibagi menjadi dua, yaitu:
a.
Akad rahn, adalah menahan harta milik si peminjam sebagai
jaminan atas pinjaman yang diterimanya, pihak yang menahan memperoleh jaminan
untuk mengambil kembali seluruh atau sebagian piutangnya. Dengan akad ini
pegadaian menahan barang bergerak sebagai jaminan atas utang nasabah.
b.
Akad ijarah, adalah akad pemindahan hak guna atas barang
dan atau jasa melalui pembayaran upah sewa, tanpa diikuti dengan pemindahan
kepemilikan atas barangnya sendiri. Melalui akad ini dimungkinkan bagi
pegadaian untuk menarik sewa atas penyimpanan barang bergerak milik nasabah
yang telah melakukan akad.
Mekanisme operasional pegadaian syariah dapat digambarkan sebagai
berikut: melalui akad rahn, nasabah menyerahkan barang bergerak dan kemudian
pegadaian menyimpan dan merawatnya di tempat yang telah disediakan oleh
pegadaian. Akibat yang timbul dari proses penyimpanan adalah timbulnya
biaya-biaya yang meliputi nilai investasi tempat penyimpanan, biaya perawatan
dan keseluruhan proses kegiatannya. Atas dasar ini dibenarkan bagi pegadaian
mengenakan biaya sewa kepada nasabah sesuai jumlah yang disepakati ileh kedua belah
pihak.
Pegadaian syariah akan memperoleh keuntungan hanya dari bea sewa tmpat
yang dipungut bukan tambahan berupa bunga atau sewa modal yang diperhitungkan
dari uang pinjaman. Sehingga dapat dikatakan proses pinjam-meminjam uang hanya
sebagai “lipstick” yang akan menarik minat konsumen untuk menyimpan barangnya
di pegadaian.
Adapun
ketentuan atau persyaratan yag menyertai akad tersebut, yaitu:
a.
Akad, akad tidak mengandung syarat fasik atau bathil
seperti murtahin mensyaratkan barang jaminan dapat dimanfaatkan tanpa batas.
b.
Marhun bih (pinjaman), adalah hak yang wajib dikembalikan
kepada murtahin dan bisa dilunasi dengan barang yang dirahnkan tersebut serta
pinjaman itu jelas dan tertentu.
c.
Marhun (barang yang dirahnkan), ini bisa dijual dan
nilainya seimbang dengan pinjaman, memiliki nilai, jelas ukurannya, milik sah
penuh dari rahin, tidak terkait dengan hak orang lain dan bisa diserahkan baik
materi maupun manfaatnya.
d.
Jumlah maksimum dana rahn dan nilai likuidasi barang yang
dirahnkan serta jangka waktu rahn ditetapkan dalam prosedur.
e.
Rahin dibebani jasa manajemen atas barang berupa: biaya
asuransi, biaya penyimpanan, biaya keamanan, biaya pengelolaan serta
administrasi.
Untuk
dapat memperoleh layanan dari pegadaian
syariah, masyarakat cukup menyerahkan harta geraknya untuk dititipkan disertai
dengan copy tanda pengenal. Kemudian staf penaksir akan menentukan nilai
taksiran barang bergerak tersebuut yang dijadikan sebagai patokan perhitungan pengenaan sewa simpanan dan
plafon uang pinjaman yang dapat diberikan. Taksiran barang ditentukan
berdasarkan nilai intrinsic dan harga pasar yang telah ditetapkan oleh perum
pegadaian. Maksimum uang pinjaman yang dapat diberikan sebesar 90% dari
taksiran barang.
Setelah
melalui tahapan ini, pegadaian syariah dan nasabah melakukan akad dengan
kesepakatan:
a.
Jangka waktu penyimpanan barang dan pinjaman ditetapkan
selama maksimum empat bulan.
b.
Nasabah bersedia membayar jasa simpanan sebesar Rp 90,-
(Sembilan puluh rupiah) dari kelipatan taksiran Rp 10.000,- per 10 hari yang dibayar
bersamaan pada saat pencairan uang pinjaman.
c.
Membayar biata administrasi yang besarnya ditetapkan oleh pegadaian pada
saat pencairan uang pinjaman.
Nasabah
dalam hal ini diberikan kelonggaran untuk:
§
Melakukan penebusan barang atau pelunasan pinjaman
kapanpun sebelum jangka waktu empat bulan.
§
Mengangsur uang pinjaman dengan membayar terlebih dahulu
jasa simpan yang sudah berjalan ditambah bea administrasi.
§
Atau hanya membayar jasa simpannya terlebih dahulu jika
pada saat jatuh tempo nasabah belum mampu melunasi pinjamannya.
Jika nasabah sudah tidak mampu melunasi
hutang atau hanya membayar jasa simpn, maka pegadaian syariah melakukan
eksekusi barang jaminan dengan cara dijual, selisih antara nilai penjualan
denan pokok pinjaman, jasa simpan dan pajak merupakan uang kelebihan yang
menjadi hak nasabah. Nasabah diberi kesempatan selama satu tahun untuk mengambil uang kelebihan, dan jika dalam
satu tahun nasabah tidak mengambil uang tersebut maka pegadaian syarian akan
menyerahkan uang kelebihan kepada badan amil zakat sebagai ZIS.
3.
Pendanaan
Aspek
syariah tidak hanya menyentuh bagian operasionalnya saja, pembiayaan kegiatan
dan pendanaan bagi nasabah harus diperoleh dari sumber yang benar-benar
terbebas dari unsur riba. Dalam hal ini, seluruh kegiatan pegadaian syariah
termasuk dana yang kemudian disalurkan kepada nasabah, murni berasal dari modal
sendiri ditambah dana pihak ketiga dari sumber yang dapat
dipertanggungjawabkan. Pegadaian telah melakukan kerja sama dengan bank
muamalat sebagai fundernya dan akan melakukan kerjasama dengan lembaga keuangan
syariah lainnya untuk memback up modal kerja.
Jadi
dapat dilihat perbedaan pegadaian syariah dengan pegadaian konvensional, yaitu:
a.
Di pegadaian konvensional, tambahan yang harus dibayar
oleh nasabah yang disebut sebagai sewa modal, dihitung dari nilai pinjaman.
b.
Pegadaian konvensional hanya melakukan satu akad
perjanjian, yaitu: hutang-piutang dengan jaminan barang bergerak yang jika
ditinjau dari aspek hukm konvensional, keberadaan baran jaminan dalambgadai
bersifat accesoir, sehingga pegadaian konvensional bisa tidak melakukan
penahanan barang jaminan atau dengan kata lain melakukan praktek fidusia.
Berbeda dengan pegadaian syariah yang mensyaratkan secara mutlak keberadaan
barang jaminan untuk membenarkan penarikan bea jasa simpan.
Hasil Penelitian
1.
Praktik Pergadaian di Indonesia saat ini
Tidak dapat dipungkiri, Lembaga penyedia dana
yang ada di Indonesia masih di dominasi oleh perbankan sebagai Lembaga
intermediary yang mempertemukan pemilik dana dengan pengguna. Mengacu pada
prinsip kehati hatian perbankan (prudential banking principle).[27]
Dalam pemberian kredit, dapat diperkirakan bahwa dana perbankan sebagai
sebagian besar diserap oleh debitor yang mampu memenuhi syarat-syarat dalam
pemberian kredit, termasuk didalamnya syarat ketersediaan jaminan (collateral)
yang sebetulnya tidak wajib, kecuali jaminan pokok berupa objek yang dibiayai
oleh kredit itu sendiri.
Pegadaian berfungsi sebagai komplemen atau
pelengkap bagi lembaga penyedia dana
lainnya seperti perbankan, pasar modal dan lembaga pembiayaan seperti leasing, modal ventura dan anjak
piutang. Pegadaian menawarkan jasa pemberian pinjaman dengan jaminan benda bergerak yang tunduk pada hukum gadai sebagai pilihan bagi
masyarakat untuk memenuhi kebutuhan baik bersifat konsumtif maupun produktif.
Dalam perkembangannya saat ini, perum Pegadaian
tidak hanya melayani gadai konven- sional.[28]
melainkan juga jasa di luar sistem gadai konvensional
yakni layanan gadai syariah (rahn),
layanan jual beli logam mulia (mulia dan galeri
24), layanan fidusia
(Kreasi, Krasida dan Krista),[29] serta layanan jasa
lainnya berupa jasa titipan, jasa taksiran, Kresna,[30]
Kucica, Langen Palikrama,
Investa, Kremada, Kagum, dan G Lab (jasa pengujian logam mulia).
Praktik gadai saat ini tidak diikuti oleh
landasan hukum yang kokoh untuk mengantisi pasi perkembangan gadai di
Indonesia. Selama ini, aktivitas pergadaian lebih banyak berlandaskan pada perjanjian para pihak yang bentuknya sangat sederhana dan baku.
Selain perjanjian para pihak, praktik gadai mengacu pada ketentuan gadai dalam
Pasal 1150 sampai 1160 KUHPerdata yang belum mampu
menjangkau dan mengakomodasikan perkembangan gadai saat ini, antara lain
perkembangan objek gadai seperti saham tanpa warkat yang diperdagangkan di
Bursa Efek Indonesia dan hak kekayaan
intelektual.
2.
Jasa pegadaian di masa datang
Di masa datang, pergadaian tidak dapat dilepaskan dari fungsinya sebagai
alternatif pembiayaan bagi masyarakat, khususnya perorangan dan UMKM.
Diperlukan kecermatan dalam menata kembali aturan tentang pergadaian, mengingat misi pelayanan
publik yang semula diemban oleh Perum Pegadaian diperkirakan akan berakhir dengan terbitnya kebijakan
pemerintah melalui PP No. 51 Tahun 2011.
Beberapa hal yang menjadi dasar pemikiran peneliti terkait hilangnya fungsi
pelayanan public dapat dijelaskan sebagai berikut:
1.
Perubahan status badan hukum pegadaian dari perum menjadi
persero atau pt persero, mengubah motif dari pelayanan publik menjadi
berorientasi profit (keuntungan).
2.
Usaha pegadaian ditujukan bagi masyarakat berpenghasilan
menengah. Ini berarti usaha mikro kecil dan rakyat kecil tidak lagi
terakomodasikan dalam tatanan regulasi.
3.
Kegiatan utama pt pegadaian yakni menyalurkan pinjaman
berdasarkan hukum gadai termasuk gadai efek, menyalurkan pinjaman berdasarkan
fidusia, dan melayani jaja titipan, pelayanan jasa taksiran, sertifikasi dan
perdagangan logam mulia serta batu adi, memperjelas wangsa pasar pegadaian
bergeser dari menengah bawah kea rah menengah atas.
Mengacu
pada perubahan status dan kegiatan usaha pegadaian dan draf Rancangan
Undang- Undang tentang Pergadaian, dapat dikatakan
bahwa PT Pergadaian di masa datang tidak
diposisikan sebagai alternatif pembiayaan masyarakat perorangan dan UMKM dan
menjadi komplemen bagi dunia perbankan, namun
menjadi kompetitor bagi perbankan dan lembaga pembiayaan dalam menarik dana masyarakat.
3.
Urgensi rancangan undang-undang pergadaian
Naskah akademik RUU Pegadaian menggunakan
pendekatan economic analysis of law dari Steven Shavel untuk
meletakkan asas-asas bagi RUU pergadaian.
Peneliti mencoba mencari dan menambahkan
alternatif pendekatan yang hidup dalam masyarakat
Indonesia, yakni hukum adat dan hukum
Islam.[31]
Jasa pegadaian sebagai alternatif pembiayaan
dengan mekanisme pinjaman uang dengan jaminan gadai (benda bergerak) dikenal
dalam hukum perdata Indonesia, baik KUH Perdata
(BW) yang konkordan dengan Burgerlijk Wetboek yang berlaku di Belanda, hukum
adat, maupun hukum islam.
Pasal 1150 KUHPerdata mengatur :
“Suatu hak yang diperoleh seseorang berpiutang
atas suatu barang bergerak, yang diserahkan kepadanya oleh seorang berutang
atau oleh seorang lainnya atas namanya, dan yang memberikan kekuasaan kepada si
berpiutang itu untuk mengambil pelunasan dari barang tersebut secara
didahulukan dari pada orang-orang berpiutang lainnya, dengan kekecualian biaya
untuk melelang barang tersebut dan biaya yang telah dikeluarkan untuk
menyelamatkannya setelah barang itu digadaikan, biaya-biaya mana harus didahulukan.”
Istilah gadai dalam hukum
adat digunakan sebagai salah satu jenis transaksi tanah, yaitu jual gadai atau
peralihan kepemilikan atas tanah untuk sementara
waktu yang ditentukan saat penjual gadai menebus harga tanah sesuai
kesepakatan. Adapun pinjam meminjam uang dengan jaminan benda bergerak dikenal
dengan istilah nyekelake, boreh, dan sebagainya. Dalam hukum Islam
digunakan istilah rahn untuk “penyerahan
barang sebagai jaminan utang”.[32] Berikut
ini akan dijabarkan esensi dari
pranata gadai dalam jasa pegadaian
berdasarkan ketentuan gadai yang ada dalam
hukum perdata Indonesia.
a)
Gadai adalah pranata jaminan kebendaan
Gadai
sebagai jaminan kebendaan berfungsi memberi kepastian bagi kreditor bahwa debitor akan melakukan kewajibannya.
Gadai berfungsi sebagai lembaga jaminan yang sifatnya accesoir dari perjanjian pokoknya, yaitu perjanjian pinjam-meminjam uang. Sifat accesoir ini secara yuridis diartikan
bahwa lahir dan hapusnya perjanjian gadai bergantung pada lahir dan hapusnya perjanjian pokoknya, dan tidak
berlaku sebaliknya. Selanjutnya, gadai harus dipandang dari sudut kepentingan pemberi
pinjaman, yakni sebagai jaminan kepastian hukum bagi pihak
yang meminjamkan (kreditor) atas pengembalian uang dari peminjam.
b)
Gadai dan jasa pegadaian
Sebagaimana
dijelaskan sebelumnya, gadai merupakan salah satu jaminan kebendaan, yang
objeknya adalah benda bergerak dan merupakan hak kebendaan[33]
yang bersifat memberikan jaminan,
sedangkan pegadaian adalah pelaku ekonomi yang memberikan jasa peminjaman uang dengan
jaminan benda bergerak (gadai). Dengan demikian, pelaku ekonomi yang memberikan
jasa pegadaian tidak dapat
dipisahkan dari pranata gadai.
c)
Jasa pegadaian sebagai alternatif pembiayaan
Penegasan
bahwa pegadaian adalah alternatif pembiayaan perlu ditegaskan dalam ketentuan
perundang-undangan, karena pranata gadai dapat digunakan dalam konteks bukan
pembiayaan. Dalam hukum pembiayaan, dikenal beberapa alternatif pembiayaan baik
bagi dunia usaha (pelaku usaha) maupun individu. Selain perbankan, melalui
pemberian kredit atau pembiayaan berbasis Syariah. dikenal pasar modal dan
lembaga pembiayaan seperti sewa guna usaha
atau leasing, modal ventura, anjak
piutang atau factoring, dan pembiayaan konsumen.
Berdasarkan regulasi yang ada, masing-
masing lembaga keuangan dan lembaga pembiayaan
tersebut memiliki aturan dan otoritas sendiri, serta ciri dan pasar yang
berbeda. Zonasi pangsa pasar antara lembaga pembiayaan, perbankan, dan pasar modal harus dijaga konsistensinya agar daya serap dan fasilitas pendanaan berjalan
dengan optimal, dan tidak tumpang tindih. Perbankan dan pasar modal memiliki
aturan yang sangat ketat dan rigid.
Perbankan misalnya, hanya diperuntukkan bagi pelaku usaha yang
bankable dan sehat. Aturan di pasar
modal mewajibkan bahwa pelaku usaha yang dapat menarik dana masyarakat harus berbentuk PT,
dan mampu membuktikan bahwa
PT tersebut untung minimal dalam 2 tahun berturut-turut.
4. Materi Muatan dalam RUU pergadaian
Mengacu pada rancangan undang-undang yang dibuat oleh
BPHN, peneliti mencoba mengusulkan beberapa tanggapan dan pemikiran terkait
dengan konsepsi gadai sebagai alternatif pembiayaan yang pro masyarakat dan
usaha mikro kecil.
a)
Perluasan objek gadai
Dalam perkembangan aktivitas ekonomi saat
ini, pengertian benda bergerak meliputi baik benda bergerak berwujud dan tidak berwujud. Berkaitan dengan benda bergerak tidak berwujud, surat berharga,
khususnya efek yang diperdagangkan
di pasar modal menjadi instrumen
pasar modal yang bernilai ekonomi. Selama ini, bank ataupun lembaga pembiayaan
belum menerima jaminan saham sebagai jaminan utama. Bahkan perbankan
mensyaratkan saham sebagai jaminan
tambahan dan pemberian kredit tidak melebihi 50% dari harga pasar saham. Oleh karena
itu, regulasi gadai yang akan datang tentu
perlu memperhatikan perkembangan benda seperti
halnya saham tanpa warkat. Berkenaan dengan pengertian barang jaminan yang diusulkan dalam Naskah Akademik adalah
setiap “barang bergerak”, peneliti menyarankan perlu dipertimbangkan fleksibilitas dan antisipasi ter- hadap
perkembangan objek dengan menambahkan “barang bergerak
baik yang berwujud
maupun tidak berwujud”.
b)
Kegiatan usaha dan sumber pendanaan
Kegiatan
Usaha Perusahaan Gadai yang memperluas ruang lingkup Gadai dengan
menerima jaminan Fidusia. Fidusia menurut peneliti perlu
dipertimbangkan kembali dengan memperhatikan
dasar pemikiran bahwa Jaminan Fidusia terkait dengan barang modal merupakan objek
dari lembaga pembiayaan dan
lembaga keuangan lain
seperti BPR. Hal ini untuk
menjaga konsistensi dan sinergitas antara lembaga-lembaga pembiayaan, dan perbankan.
Di samping itu, perluasan jasa pegadaian yang diperluas meliputi jasa penitipan
barang menurut hemat peneliti akan membuat perusahaan jasa pergadaian ini menjadi tidak fokus dan berpotensi bahwa feebased income yang diperoleh dari jasa penitipan akan lebih besar
dari fungsi pembiayaan, yang pada gilirannya akan
mengurangi fungsi pelayanan publik,
khususnya masyarakat menengah bawah. Peluang menyediakan jasa penitipan bagi
perusahaan pegadaian secara implisit menunjukan bahwa pangsa pasar dan tujuan perusahaan pegadaian bukan menengah
ke bawah atau individu yang memerlukan pendanaan segera, melainkan bagi mereka
yang memiliki aset menganggur (idle).
c)
Bentuk badan hukum, kepemilikan, dan perizinan
RUU Pergadaian yang akan diajukan perlu mempertimbangkan bahwa Pegadaian
tidak hanya mempunyai fungsi bisnis, tetapi lebih
ditekankan adanya fungsi pembiayaan bagi
pelaku usaha dan individu yang tidak memiliki akses pada sumber
pembiayaan yang lain. Hal ini berarti
perusahaan gadai memerlukan regulasi yang sangat ketat agar tujuan ini
tercapai. Perusahaan pegadaian yang berbentuk perseroan terbatas tentu berbeda
dengan perusahaan umum, yang
mengemban fungsi sosial. Optimalisasi profit oleh perseroan terbatas inheren dengan sifat perseroan terbatas yang
semata-mata mencari keuntungan. Mengingat bentuk badan hukum Perum Pegadaian
telah berubah status menjadi PT. Persero
mendahului terbitnya UU Pergadaian, maka pembebanan kewajiban pelayanan publik
bagi PT. Pegadaian Persero menjadi
relevan.
Badan
hukum perusahaan pegadaian secara tegas ditujukan bagi badan hukum Indonesia
yang sahamnya dimiliki oleh WNI. Sudah saatnya politik hukum Indonesia,
khususnya regulasi, bertujuan mendorong peran serta masyarakat dalam
menggerakkan perekonomian, terutama pembiayaan bagi masyarakat menengah bawah dan individu dan melakukan zonasi
atau pem- batasan wilayah partisipasi
modal asing.
Kesimpulan
Berkenaan dengan gagasan
penataan kembali regulasi pergadaian dan permasalahan yang telah dikemukakan, maka
berdasarkan kajian yang dilakukan dapat
disimpulkan sebagai berikut.
Regulasi pegadaian yang
ada memang tidak mampu lagi
mengatasi perkembangan jasa pergadaian
yang berkembang dalam praktik, khususnya kemampuan menjamin terciptanya
pelayanan masyarakat dan kebutuhan masyarakat akan lembaga pembiayaan yang mudah, murah
dan cepat. Praktik pergadaian,
khususnya gadai emas syariah yang
semula berfungsi sebagai alternatif pembiayaan yang cepat dan murah berbasis
kekuatan sendiri bergeser menjadi saran investasi yang spekulatif. Praktik pegadaian,
khususnya perbankan belum diregulasi secara baik, sehingga menimbulkan
kekhawatiran akan melemahkan fungsi intermediary.
Konsepsi regulasi
pergadaian dimasa datang, semata mata di tujukan untuk menciptakan Lembaga
pembiayaan yang mampu menjadi penggerak perekonomian, khususnya bagi pelaku usaha menengah bawah dan individu dengan memperhatikan prinsip
cepat, wajar dan efisien. Di samping itu, regulasi
pergadaian ditujukan untuk menggerakkan sektor riil, dan menjadi unsur penggerak ekonomi nasional. Dualisme
hukum dalam jasa pegadaian, yakni konvensional dan Syariah[34]
tetap memperhatikan tujuan terciptanya kesejahteraan dan keadilan sosial,
dan menghindari praktik rentenir
yang menyengsarakan masyarakat serta penyaluran modal yang
tidak tepat pada sasaran.
Badan usaha milik negara
untuk jasa Pergadaian seharusnya diperkokoh dengan pengelolaan secara
profesional, agar misi bisnis dan sosial berjalan beriringan. Perubahan dari
Perum menjadi PT Persero tetap harus memperhatikan fungsi dan tujuan pegadaian
sebagai alternatif pembiayaan dengan kewajiban melayani kepentingan publik.
Undang-undang pergadaian yang akan dibentuk harus mampu memberikan rambu dan menentukan area agar jasa pegadaian sebagai alternatif pembiayaan tidak bergeser semata mata menjadi alternatif investasi yang spekulatif.
Daftar Pustaka
Mahmud Yunus, Kamus
Arab-Indonesia, Cet. I, (Jakarta: Yayasan Penyelengara Al-Qur’an, 1983),
hlm. 148.
Sayyid Sabiq, Fikih
Sunnah, Jilid 12, Cet VIII, (Terj. Kamaruddin A. Marzuki dkk.), (Bandung:
Al-Ma’arif, 1987), hlm. 139.
Hendi Suhendi, Fiqh
Muamalah, (Jakarta: Raja Grafindo Persada, Cet. I, 2002), hlm. 105.
T.M. Hasbi Ash-Shiddieqy, Pengantar Muamalah, (Jakarta: Bulan Bintang, 1984), hlm. 86-87.
Sayyid Sabiq, Fikih
Sunnah, hlm. 188.
Masyfuk Zuhdi,
Masail Fiqhhiyah, (Jakarta: Haji Masagung, 1998), hlm. 153.
Jamaluddin Muhammad Ibnu Mandhur, Lisan al-Araby, jilid XIII, (Beirut: Dar al=Shadri, t.t.), hlm.
188.
Sayyid Sabiq, Fiqih
Sunnah, hlm. 106.
Ahmad Azhar Basyir, Riba
Utang Piutang dan Gadai, (Bandung: Al-Ma’arif, 1983), hlm. 50.
Sayyid Sabiq, Fikih
Sunnah, hlm 139.
Ahmad Mustafa al-Mraghi, Tafsir al-Maraghi, Jilid III, (Terj. Bahrun Abu Bakar dan Hoer
Aly), (Semarang: Toha Putra, 1993), hlm. 98-99.
Imam Bukhori,
Shahih Bukhori, (Beirut: Dar al-Sha’bi, t.t.), hlm. 132.
M. Sholekul Hadi,
Pegadaian Syariah, Cet. I, (Jakarta:Selemba Diniyah, 2003), hlm. 52
Nasrun Haroen, Fiqh
Muamalah, (Jakarta: Gaya Media Pratama, 2000), hlm. 254.
M. Sholekul Hadi, Pegadaian
Syariah, hlm 53.
Nasrun Haroen, Fiqh
Muamalah, hlm. 254-255.
Muslim Ibrahim Abdurrauf, Nadhariyah al-‘Iqalah fi al-Fiqh al-Mukarran, (Mesir: Jamia’ah
al-Azhar, 1983), hlm. 328-329.
Ahmad Azhar Basyir, Riba
Utang Piutang dan Gadai, hlm. 53.
Ghufron A. Mas’adi, Fiqh
Muamalah Kontekstual, (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2002), hlm. 178.
Wahbah az-Zuhaily,
Al-Fiqh al-Islami wa Adillatuh, Jilid V, (Beirut: Dar al-Fikr, 1984), hlm.
182, 221-222.
Nasrun Haroen, Fiqh
Muamalah, hlm. 55.
Ibnu Rusyd,
Bidayatul Mujtahid, Jilid III, (Semarang: Asy-Syifa, 1996), hlm. 272.
Nasrun Haroen, Fiqh
Muamalah, hlm. 257.
Imam Bukhari,
Shahih Bukhori, Juz II, hlm. 78.
Khalil Umam, Agama
Menjawab tentang Berbagai Masalah Abad Modern, (Surabaya: Ampel Suci,
1994), hlm. 19.
Sebagai bagian dari 3 pilar ekonomi Islam selain Aqidah dan Akhlaq.
Lihat: Mehmet Asutay, 2009, An
Introduction to Islamic Moral Economy, Durham University, Durham.
[1] Mahmud Yunus, Kamus Arab-Indonesia, Cet. I, (Jakarta: Yayasan Penyelengara Al-Qur’an, 1983), hlm. 148.
[2] Sayyid Sabiq, Fikih Sunnah, Jilid 12, Cet VIII, (Terj. Kamaruddin A. Marzuki dkk.), (Bandung: Al-Ma’arif, 1987), hlm. 139.
[3] Hendi Suhendi, Fiqh Muamalah, (Jakarta: Raja Grafindo Persada, Cet. I, 2002), hlm. 105.
[4] T.M. Hasbi Ash-Shiddieqy, Pengantar Muamalah, (Jakarta: Bulan Bintang, 1984), hlm. 86-87.
[5] Sayyid Sabiq, Fikih Sunnah, hlm. 188.
[6] Masyfuk Zuhdi, Masail Fiqhhiyah, (Jakarta: Haji Masagung, 1998), hlm. 153.
[7] Jamaluddin Muhammad Ibnu Mandhur, Lisan al-Araby, jilid XIII, (Beirut: Dar al=Shadri, t.t.), hlm. 188.
[8] Sayyid Sabiq, Fiqih Sunnah, hlm. 106.
[9] Ahmad Azhar Basyir, Riba Utang Piutang dan Gadai, (Bandung: Al-Ma’arif, 1983), hlm. 50.
[10] Sayyid Sabiq, Fikih Sunnah, hlm 139.
[11] Ahmad Mustafa al-Mraghi, Tafsir al-Maraghi, Jilid III, (Terj. Bahrun Abu Bakar dan Hoer Aly), (Semarang: Toha Putra, 1993), hlm. 98-99.
[12] Imam Bukhori, Shahih Bukhori, (Beirut: Dar al-Sha’bi, t.t.), hlm. 132.
[13] M. Sholekul Hadi, Pegadaian Syariah, Cet. I, (Jakarta:Selemba Diniyah, 2003), hlm. 52
[14] Nasrun Haroen, Fiqh Muamalah, (Jakarta: Gaya Media Pratama, 2000), hlm. 254.
[15] M. Sholekul Hadi, Pegadaian Syariah, hlm 53.
[16] Nasrun Haroen, Fiqh Muamalah, hlm. 254-255.
[17] Muslim Ibrahim Abdurrauf, Nadhariyah al-‘Iqalah fi al-Fiqh al-Mukarran, (Mesir: Jamia’ah al-Azhar, 1983), hlm. 328-329.
[18] Ahmad Azhar Basyir, Riba Utang Piutang dan Gadai, hlm. 53.
[19] Ghufron A. Mas’adi, Fiqh Muamalah Kontekstual, (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2002), hlm. 178.
[20] Wahbah az-Zuhaily, Al-Fiqh al-Islami wa Adillatuh, Jilid V, (Beirut: Dar al-Fikr, 1984), hlm. 182, 221-222.
[21]
Nasrun Haroen, Fiqh Muamalah, hlm. 55.
[22] Ibnu Rusyd, Bidayatul Mujtahid, Jilid III, (Semarang: Asy-Syifa, 1996), hlm. 272.
[23] Nasrun Haroen, Fiqh Muamalah, hlm. 257.
[24] Imam Bukhari, Shahih Bukhori, Juz II, hlm. 78.
[25] Khalil Umam, Agama Menjawab tentang Berbagai Masalah Abad Modern, (Surabaya: Ampel Suci, 1994), hlm. 19.
[26] Imam Bukhori, Shahih Bukhori, (Beirut: Dar al-Sha’bi, t.t.), hlm. 132.
[27] Lihat penjelasan dan pasal 8 undang-undang nomor 10 tahun 1998 tentang perubahan atas undang-undang nomor 7 tahun 1992 tentang perbankan
[28] Gadai konvensional atau produk KCA (Kredit Cepat Aman) berbasis sistem gadai dengan objek jaminan perhiasan emas dan barang ber- harga lainnya, dengan pinjaman mulai dari Rp20.000 hingga Rp200.000.000 atau lebih dengan jangka waktu pinjaman maksimum 4 bulan atau 120 hari
[29] Kreasi (Kredit Angsuran Sistem Fidusia): pinjaman angsuran bulanan yang diberikan kepada UMKM untuk pengembangan usaha dengan system Fidusia dengan objek kendaraan bermotor, sedangkan Krasida adalah kredit (pinjaman) angsuran bulanan yang diberikan kepada UMKM untuk pengembangan usaha dengan gadai, sedangkan Krista adalah kredit yang diberikan kepada wanita wirausaha yang ter- gabung dalam kelompok untuk pengembangan usaha dengan system tanggung renteng
[30] Kresna adalah kredit (pinjaman) angsuran bulanan yang diperuntukkan bagi karyawan Pegadaian yang telah memiliki penghasilan tetap dengan menyerahkan SK Pengangkatan dan SK pangkat (jabatan)
[31] Cepat: prosedur administrasi yang sederhana tanpa melupakan prinsip kehati-hatian; wajar: penilaian oleh professional dengan semangat membantu tanpa meniadakan profit; efisien: berdaya guna bagi masyarakat, terlepas dari kesulitan secara ekonomi.
[32] Lihat bank Indonesia, 2006, Kamus Istilah Keuangan dan Perbankan Syariah, Direktorat Perbankan Syariah, Jakarta, hlm. 62.
[33] Gadai sebagai hak kebendaan memiliki sifat absolut (mutlak), memiliki droit de suite dan droit de preference.
[34] Sebagai bagian dari 3 pilar ekonomi Islam selain Aqidah dan Akhlaq. Lihat: Mehmet Asutay, 2009, An Introduction to Islamic Moral Economy, Durham University, Durham.