Syirkah, Mudharabah, Musaqah, Muzara’ah dan Mukhabarah
BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang Masalah
Islam
adalah agama yang sempurna, kesempurnaan ini tercerminkan ketentuan-ketentuan
hukum Islam yang mengatur disemua lini kehidupan manusia, mulai dari persoalan
ibadah, munakahat hingga muamalah semuanya tidak lepas dari sentuhan hukum
Islam.
Produk
hukum Islam menjelaskan detil terperinci dari suatu permasalahan yang ada dalam
kehidupan, semua itu bersumber dari dalil yang jelas, yakni Al-Qur’an dan al-Hadits.
B.
Rumusan Masalah
1.
Jelaskan tentang syirkah
dan hal-hal yang berkaitan dengannya!.
2.
Jelaskan tentang mudharabah
dan hal-hal yang berkaitan dengannya!.
3.
Jelaskan tentang Musaqah
dan hal-hal yang berkaitan dengannya!.
4.
Jelaskan tentang Muzara’ah
dan mukhabara serta hal-hal yang berkaitan dengannya!.
5.
Tujuan Penulisan
Yaitu
untuk menambah pengetahuan dan wawasan tentang fiqih muamalah, khususnya
tentang syirkah, mudharabah, Musaqah, Muzara’ah dan Mukhabarah.
BAB II
PEMBAHASAN
A.
Syirkah
1. Definisi
dan Dasar Hukum
Menurut
bahasa, syirkah berarti perhimpunan (serikat / persekutuan), sedangkan
menurut syara’ yaitu Ákad yang menuntut adanya kepastian suatu hak milik
dua orang atau lebih untuk suatu tujuan dengan sistem bagi untung rugi secara
merata.
Dasar
hukum syirkah yaitu firman Allah Ta’ala yang artinya: “...Maka mereka
bersekutu dalam yang sepertiga itu, sesudah dipenuhi wasiat yang dibuat olehnya
atau sesudah dibayar hutangnya dengan tidak memberi mudharat (kepada ahli
waris). (Allah menetapkan yang demikian itu sebagai) syari'at yang benar-benar
dari Allah, dan Allah Maha mengetahui lagi Maha Penyantun.....” (QS. An-Nisaa’:
12)
Dan
Hadits Qudsi Allah berfirman:
َنَا ثَالِثُ
الشَّرِيْكَيْنِ مَالَمْ يَخُنْ اَحَدُهُمَا صَاحِبَهُ فَإِذَا خَانَهُ خَرَجْتُ
مِنْ بَيْنِهِمَا
“Aku
adalah pihak ketiga dari dua orang yang bersekutu selama salah seorang dari
mereka tidak menciderai rekannya. Ketika dia menciderai rakannya, Aku keluar
dari persekutuan di antara mereka berdua”. (HR. Abu Daud dan Al-Hakim).
2. Persyaratan
Akad, Rukun dan Macam-Macam Syirkah
Akad
syirkah atau serikat sah hukumnya apabila di adakan oleh para pihak
telah baligh, berakal dan waras.
Rukun
syirkah ada empat, yaitu sighat, pihak yang berakad, kekayaan dan
pekerjaan. Syirkah terdiri atas empat macam, yaitu:
a.
Serikat yang berkenaan
dengan badan atau pekerjaan
Yaitu
persekutuan dari para pemilik pekerjaan, dengan kesepakatan bahwa hasil dari
pekerjaan yang dilakukan mereka menjadi milik mereka secara merata, baik mereka
melakukan pekerjaan yang sama atau tidak. Misalnya, kerjasama antara kuli
angkut dalam memborong suatu pekerjaan yang upahnya akan dibagi rata.
Menurut
ulama Syafi’iyah hukum serikat semacam ini batal, karena tidak ada modal yang
dihimpun didalamnya, dan ada unsur tindak penipuan. Sebab masing-masing pihak
tidak mengetahui rekanannya menghasilkan keuntungan atau tidak.
b.
Serikat Dagang
Yaitu
serikat dengan ketentuan para pemilik saham memiliki hak dan kewajiban yang
sama, atau persekutuan beberapa orang dengan menerima hasil dan tanggung jawab
secara bersama-sama. Misalnya, barang yang dighashab (rampas). Serikat
semacam ini menurut ulama Syafi’iyah hukumnya juga batal, karena didalamnya ada
kemungkinan terjadinya penipuan.
Sementara
itu, ulama Hanafiyah dan Malikiyah memperbolehkannya, karena serikat semacam
ini hampir sama dengan mudharabah.
c.
Serikat Wujuh
Yaitu
persekutuan yang di adakan oleh beberapa orang dalam hal keuntungan bisnis dari
perniagaan mereka hingga masa tertentu. Serikat semacam ini, menurut ulama
Syafi’iyah dan Malikiyah hukumnya juga batal, karena tidak ada kekayaan yang
terhimpun diddalamnya yang bisa ditarik kembali jika terjadi pembatalan akad.
d.
Serikat ‘Inan
Yaitu
perserikatan beberapa orang dalam pengumpulan harta yang dipergunakan untuk
berdagang, atau masing-masing pihak membawa kekayaan untuk dihimpun dengan
kekayaan milik rekanannya. Menurut ijma’ ulama, serikat semacam ini hukumnya
boleh, hal ini sesuai dengan hadits yang telah disampaikan dimuka.
3. Sistem
Pembagian Keuntungan
Keuntungan
dan kerugian dibagi secara merata sesuai dengan kadar kepemilikan kekayaan
tersebut. Karena keuntungan membuktikan adanya perkembangan kedua kekayaan itu,
sedangkan kerugian menandakan adanya penurunan kekayaan tersebut. Oleh karena
itu, keuntungan dan kerugian harus disesuaikan dengan kadar harta tersebut.
B.
Mudharabah
1.
Definisi dan Dasar Hukum
Kata
mudharabah merupakan istilah yang dipakai oleh penduduk Iraq, karena
masing-masing pihak yang mengadakan akad bergerak mengambil keuntungan yang
diperoleh, dalam hal ini umumnya mengandung unsur safar. Sementara safar
disebut pergerakan (dharb) dimuka bumi. Sedangkan menurut bahasa
penduduk Hijaz disebut qiradh, di ambil dari kata dasar al-qardh
yang artinya membagi, karena pemilik modal menanamkan sebagian kekayaannya
kepada pengusaha untuk mengelolanya dan memberikan sebagian keuntungannya.
Madharabah atau qiradh
menurut syara’ adalah penanaman sejumlah modal oleh pemilik kekayaan
kepada seseorang (pengusaha) untuk kepentingan bisnis dibidang perdagangan, dan
laba yang diperoleh menjadi milik bersama di antara mereka.
Dasar
hukum pensyari’atan mudharabah yaitu firman Allah SWT:
}§øs9 öNà6øn=tã îy$oYã_ br& (#qäótGö;s? WxôÒsù `ÏiB öNà6În/§ 4 !#sÎ*sù OçFôÒsùr& ïÆÏiB ;M»sùttã (#rãà2ø$$sù ©!$# yYÏã Ìyèô±yJø9$# ÏQ#tysø9$# ( çnrãà2ø$#ur $yJx. öNà61yyd bÎ)ur OçFZà2 `ÏiB ¾Ï&Î#ö7s% z`ÏJs9 tû,Îk!!$Ò9$# ÇÊÒÑÈ
Artinya:
“Tidak ada dosa bagimu untuk mencari karunia (rezki hasil perniagaan) dari
Tuhanmu. ......” (QS. Al-Baqarah: 198)
Serta
hadits Nabi SAW.:
قَالَ رَسُوُّلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ ثَلاَثٌ
فِيْهِنَّ الْبَرَكَةُ الْبَيْعُ إِلىَ اَجَلٍ وَاْلمقَارَضَةُ وَاَخْلاَطُ
الْبُرِّ بِاالشَّعِيْرِ لِلْبَيْتِ لاَلِلْبَيْعِ
Artinya:
“Rasulullah saw bersabda: “Tiga hal yang di dalamnya terdapat keberkahan, yaitu
jual beli secara tangguh, muqaradhah (bagi hasil) dan mencampur gandum
putih dengan gandum merah untuk keperluan rumah bukan untuk dijual.” (HR. Ibnu Majjah)
2.
Rukun dan Syarat Mudharabah
Secara
umum rukun dan syarat-syarat sah mudharabah adalah sebagai berikut:
a.
Orang yang berakad,
yaitu investor (pemilik modal) dan pengelola (mudharib). Kedua belah
pihak yang melakukan akad disyaratkan mampu melakukan tasharruf atau
cakap hukum, maka dibatalkan akad anak-anak yang masih kecil, orang gila, dan
orang-orang yang berada di bawah pengampuan.
b.
Modal atau harta pokok (mal),
syarat-syaratnya yakni:
1) Berbentuk
uang
Mayoritas
ulama berpendapat bahwa modal harus berupa uang dan tidak boleh barang. Mudharabah
dengan barang dapat menimbulkan kesamaran, karena barang pada umumnya bersifat
fluktuatif. Apabila barang itu bersifat tidak fluktuatif seperti berbentuk emas
atau perak batangan (tabar), para ulama berbeda pendapat. Imam malik
dalam hal ini tidak tegas melarang atau membolehkan. Namun para ulama mazhab
Hanafi membolehkannya dan nilai barang yang dijadikan setoran modal harus
disepakati pada saat akad oleh mudharib dan shahibul mal.
Contohnya,
seorang memiliki sebuah mobil yang akan diserahkan kepada mudharib (pengelola
modal). Ketika akad kerja sama tersebut disepakati, maka mobal tersebut wajib
ditentukan nilai mata uang saat itu, misalnya Rp 90.000.000, maka modal mudharabah
tersebut adalah Rp 90.000.000.
2) Jelas
jumlah dan jenisnya
Jumlah
modal harus diketahui dengan jelas agar dapat dibedakan antara modal yang diperdagangkan dengan laba atau keuntungan
dari perdagangan tersebut yang akan dibagikan
kepada dua belah pihak sesuai dengan perjanjian yang telah disepakati.
3) Tunai
Hutang
tidak dapat dijadikan modal mudharabah. Tanpa adanya setoran modal,
berarti shahibul mal tidak memberikan kontribusi apapun padahal mudharib
telah bekerja. Para ulama syafi’i dan Maliki melarangnya karena merusak sahnya
akad.
4) Modal
diserahkan sepenuhnya kepada pengelola secara langsung
Apabila
tidak diserahkan kepada mudharib secara langsung dan tidak diserahkan
sepenuhnya (berangsur-angsur) dikhawatirkan akan terjadi kerusakan pada modal,
yaitu penundaan yang dapat mengganggu waktu mulai bekerja dan akibat yang lebih
jauh mengurangi kerjanya secara maksimal. Apabila modal itu tetap dipegang
sebagiannya oleh pemilik modal, dalam artian tidak diserahkan sepenuhnya, maka
menurut ulama Hanafiyah, Malikiyah, dan Syafi’iyah, akad mudharabah
tidak sah. Sedangkan ulama Hanabilah menyatakan boleh saja sebagian modal itu
berada di tangan pemilik modal, asal tidak mengganggu kelancaran usahanya.
5)
Sighat (Ijab Qobul)
Melafazkan
ijab dari pemilik modal, misalnya aku serahkan uang ini kepadamu untuk dagang
jika ada keuntungan akan dibagi dua dan kabul dari pengelola.
3.
Pembagian Keuntungan
a.
Proporsi jelas.
Keuntungan yang akan menjadi milik pengelola dan pemilik modal harus jelas
persentasenya, seperti 60% : 40%, 50% : 50% dan sebagainya menurut kesepakatan
bersama.
b.
Keuntungan harus dibagi
untuk kedua belah pihak, yaitu investor (pemilik modal) dan pengelola (mudharib).
4.
Kewajiban Mudharib
a.
Tidak memberikan modal
ke pihak lain tanpa seizin pemilik modal, karena tugas yang di embannya
berdasarkan izin.
b.
Tidak berdagang kecuali
perdagangan yang di izinkan pemilik modal, karena pengusaha tidak mempunyai
kewenangan untuk melakukan tindakan tanpa lisensi dari pemilik modal.
c.
Tidak membeli barang
melebihi modal dasar, karena izin diberikan sesuai besaran modal dasar.
C.
Musaqah
1.
Definisi dan Dasar Hukum
Musaqah
Menurut
bahasa, Musaqah di ambil dari kata dasar as-saqyu (pengairan). Menurut
syara’, Musaqah adalah kerjasama perawatan tanaman, seperti menyirami
dan lain sebagainya dengan perjanjian bagi hasil atas buah atau manfaat yang
dihasilkan.
Dasar
hukum Musaqah adalah sabda Rasulullah SAW.:
حديث ابْنِ عُمَرَ،
أَنَّ النَّبِيَّ صلى الله عليه وسلم عَامَلَ خَيْبَرَ بِشَطْرِ مَا يَخْرُجُ
مِنْهَا مِنْ ثَمَرٍ أَوْ زَرْعٍ، فَكَانَ يُعْطِي أَزْوَاجَهُ مِائَةَ وَسْقٍ:
ثَمَانُونَ وَ سْقَ تَمْرٍ، وَعِشْرُونَ وَ سْقَ شَعِيرٍ؛ فَقَسَمَ عُمَرُ
خَيْبَرَ فَخَيَّرَ أَزْوَاجَ النَبِيِّ صلى الله عليه وسلم أَنْ يُقْطِعَ لَهُنَّ
مِنَ الْمَاءِ وَالأَرْضِ أَوْ يُمْضِيَ لَهُنَّ، فَمِنْهُنَّ مَنِ اخْتَارَ
الأَرْضَ وَمِنْهُنَّ مَنِ اخْتَارَ الْوَسْقَ، وَكَانَتْ عَائِشَةُ اخْتَارَتِ
الأَرْضَ
Artinya:
Ibn Umar r.a. berkata Nabi SAW. menyerahkan sawah ladang dan tegal di Khaibar
kepada penduduk Khaibar dengan menyerahkan separuh dari penghasilannya berupa
kurma atau buah dan tanaman, maka Nabi SAW. memberi isteri-isterinya seratus wasaq
(I wasaq = 60 sha 1 sha' - 4 mud atau 2 1/2 kg), delapan puluh wasaq
kurma tamar, dan dua puluh wasaq sya'ier (jawawut). Kemudian di masa
Umar r.a. membebaskan kepada isten isteri Nabi SAW. untuk memilih apakah minta
tanahnya atau tetap minta bagian wasaq itu, maka di antara mereka ada yang memilih
tanah dan ada yang minta bagian hasilnya berupa wasaq. A'isyah r.a.
telah memilih tanah. (HR. Bukhari, Muslim).
2.
Rukun dan Persyaratan Musaqah
Rukun-rukun
Musaqah menurut jumhur ulama ada lima :
a.
Sighat,
(ungkapan) ijab dan qabul;
b.
al-Aqidain, dua
orang pihak yang melakukan transaksi;
c.
Obyek Al-Musaqah,
yang terdiri atas pepohonan yang berbuah baik berbuahnya dalam bentuk tahunan
atau juga setahun sekali, seperti padi, jagung, dll;
d.
Ketentuan mengenai pembagian
hasil dari Musaqah tersebut;
e.
Masa kerja, hendaknya
ditentukan lama waktu yang akan dipekerjakan.
Sedangkan
menurut ulama Hanafiyah yang menjadi rukun dalam Musaqah itu hanyalah
ijab dari pemilik tanah perkebunan dan qabul dari petani penggarap, dan
pekerjaan dari pihak petani penggarap. Adapun syarat-syarat yang harus dipenuhi
oleh masing-masing rukun adalah:
a.
Ucapan yang dilakukan
kadang jelas (sharih) dan dengan samaran (kinayah), disyaratkan shigat
itu dengan lafazd dan tidak cukup dengan perbuatan saja;
b.
Kedua belah pihak yang
melakukan transaksi Al-Musaqah harus yang mampu dalam bertindak yaitu
dewasa (akil baligh) dan berakal;
c.
Dalam obyek Al-Musaqah
terdapat perbedaan pendapat ulama fiqh. Menurut Hanafiyah yang menjadi
obyeknya adalah pepohonan yang berbuah, seperti kurma, anggur dan terong atau
pohon yang mempunyai akar ke dasar bumi. Menurut ulama Malikiyah mengatakan
bahwa obyeknya adalah tanaman keras dan palawija, seperti kurma, anggur, terong
dan apel, dengan syarat bahwa: (a) Akad Al-Musaqah itu dilakukan sebelum
buah itu layak panen; (b) Tenggang waktu yang ditentukan harus jelas; (c) Akad
dilakukan setelah tanaman itu tumbuh; (d) Pemilik perkebunan tidak mampu untuk
mengelola dan memelihara tanaman itu. Menurut Hanabilah yang boleh dijadikan
obyek Al-Musaqah adalah tanaman yang yang buahnya boleh dikonsumsi, maka
dari itu Al-Musaqah tidak berlaku terhadap tanaman yang tidak berbuah.
Sedangkan ulama Syafiiyah berpendapat bahwa yang boleh dijadikan obyek itu
adalah kurma dan anggur saja. Sebagaimana terlampir dalam hadist Rasulullah SAW
yang berbunyi :
Artinya
: Rasulullah Saw. menyerahkan perkebunan kurma di Khaibar kepada Yahudi dengan
ketentuan sebagian hasilnya, baik dari buah-buahan maupun dari biji-bijian
menjadi mililk orang Yahudi itu;
d.
Tanah itu diserahkan
sepenuhnya kepada petani penggarap setelah akad berlangsung untuk digarapi,
tanpa campur tangan pemiliknya;
e.
Hasil (buah) yang
dihasilkan dari kebun itu merupakan hak mereka bersama, sesuai dengan
kesepakatan yang mereka buat, baik dibagi menjadi dua, atau tiga, dsb;
f.
Lamanya perjanjian itu
harus jelas, karena transaksi ini hampir sama dengan transaksi ijarah ( sewa
menyewa ).
3.
Perbedaan Al-Musaqah Dengan
Al-Muzara’ah
Ulama
Hanafiyah menyatakan bahwa ada perbedaan antara Al-Musaqah dengan al-Muzara’ah,
yaitu:
a.
Jika salah satu pihak
dalam akad Al-Musaqah tidak mau melaksanakan hal-hal yang telah
disetujui dalam akad, maka yang bersangkutan boleh dipaksa untuk melaksanakan
kesepakatan itu. Berbeda dengan akad al-Muzara’ah, bahwa jika pemilik
benih tidak mau kerjasama dalam menuaikan benih maka ia tidak boleh dipaksa.
Menurut jumhur ulama, akad Al-Musaqah itu bersifat mengikat kedua belah
pihak. Beda dengan al-Muzara’ah yang sifatnya baru mengikat jika benih
sudah disemaikan, apabila benih belum disemaikan, maka pemilik boleh saja untuk
membatalkan perjanjian itu. Berbeda dengan pendapat Hanabilah yang mengatakan
bahwa akad Al-Musaqah dan al-Muzara’ah itu merupakan akad yang
tidak mengikat kedua belah pihak, oleh karena itu boleh saja salah satu pihak
yang melakukan akad membatalkan;
b.
Menurut Hanafiyah
penentuan waktu dalam Al-Musaqah itu bukanlah salah satu syarat,
penentuan lamanya akad itu berlangsung disesuaikan dengan adat kebiasaan
setempat. Sedangkan dalam akad al-muzaraah itu dalam penentuan waktu,
ada dua pendapat. Menurut Hanafi; pertama disyaratkannya tenggang waktu, dan
kedua tidak disyaratkan;
c.
Apabila tenggang waktu
yang disetujui dalam akad Al-Musaqah berakhir, akad dapat terus
dilanjutkan tanpa ada imbalan terhadap petani penggarap. Sedangkan dalam akad al-Muzara’ah
bila tenggang waktu telah habis dan tanaman belum juga panen, maka petani
penggarap melanjutkan pekerjaannya dengan syarat ia berhak menerima upah dari
hasil bumi yang dipetik.
4.
Berakhirnya Akad Al-Musaqah
Menurut
para ulama berakhirnya akad Al-Musaqah itu apabila :
a.
Tenggang waktu yang
disepakati dalam akad telah habis;
b.
Salah satu pihak meninggal
dunia;
c.
Ada udzur yang membuat
salah satu pihak tidak boleh melanjutkan akad. Dalam udzur disini para ulama
berbeda pendapat tentang apakah akad Al-Musaqah itu dapat diwarisi atau
tidak :
1)
Ulama Malikiyah: bahwa Al-Musaqah
adalah akad yang boleh diwarisi, jika salah satunya meninggal dunia dan
tidak boleh dibatalkan hanya karena ada udzur dari pihak petani.
2)
Ulama Syafi’iyah: bahwa
akad Al-Musaqah tidak boleh dibatalkan meskipun ada udzur, dan apabila
petani penggarap mempunyai halangan, maka wajib petani penggarap itu menunjuk
salah seorang untuk melanjutkan pekerjaan itu.
3)
Ulama Hanabilah: akad Musaqah
sama dengan akad Muzara’ah, yaitu akad yang tidak mengikat bagi kedua
belah pihak. Maka dari itu masing-masing pihak boleh membatalkan akad itu. Jika
pembatalan itu dilakukan setelah pohon berbuah, buah itu dibagi dua antara
pemilik dan penggarap sesuai dengan kesepakatan yang telah ada.
D. Muzara’ah dan Mukhabarah
1.
Definisi, Perbedaan dan
Ketentuan Hukum Muzara’ah dan Mukharabah
Muzara’ah adalah
akad penggarapan tanah kosong produktif dengan sistem bagi hasil yang
disepakati bersama, yang benih tanamannya ditanggung oleh pemilik tanah.
Sebaliknya, jika benih tanaman ditanggung oleh penggarap ia disebut Mukhabarah.
Menurut
pengikut Mazhab Syafi’i, hukum Muzara’ah dan Mukhabarah adalah
batal, karena keduanya dilarang untuk dilakukan. Hal ini berdasarkan sabda
Rasulullah SAW.:
رَافِعَ
بْنَ خَدِيجٍ يَقُولُ إِنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ
نَهَى عَنْهَا فَذَكَرْتُهُ
Artinya:
...Rafi' bin Khudaij berkata, "Sesungguhnya Rasulullah SAW melarangmu zara'ah....”
(HR. Abu Dawud dan Ibnu Majjah)
2.
Dasar Hukum Muzara’ah
yang di Ikutsertakan dengan Masaqah
Para
pengikut Mazhab Syafi’i secara bulat memperbolehkan akad muazara’ah yang
di ikutsertakan dengan akad Musaqah. Misalnya disekitar tanaman kurma
atau anggur ada tanah kosong, lalu akad mazara’ah atas lahan kosong
dilakukan bersamaan dengan akad atas pohon kurma atau anggur tersebut hukumnya
sah. Sementara itu akad Mukhabarah hukumnya batal secara mutlak.
Muzara’ah yang
di ikutsertakan dengan Musaqah harus memenuhi lima persyaratan berikut:
a.
Pelaksana tugas dalam
akad kedua akad tersebut harus orang atau sekelompok orang yang sama. Sehingga
apabila pemilik mengadakan akad Musaqah dengan satu pihak dan akad Muzara’ah
dengan pihak lain lagi, maka hukumnya tidak sah.
b.
Kesulitan memisahkan
perawatan pohon kurma atau anggur, dan mengolah lahan kosng (Muzara’ah)
karena adanya saluran air dalam tanah dan pengolahan tanah sangat bermanfaat
buat pohon kurma. Namun apabila keduanya dapat dipisah, Muzara’ah tidak
diperbolehkan karena tidak diperlukan lagi.
c.
Kedua pihak yang berakad
tidak memisahkan pelaksanaan kedua akad tersebut, bahkan kedua akad itu harus
dilakukan berkelanjutan agar sifat keikutsertaan dapat terpenuhi.
d.
Pemilik tidak mengadakan
akad muzar’ah lebih dahulu dai akad Musaqah, karena status Muzara’ah
adalah mengikuti. Sesuatu yang mengikuti tidak boleh mendahului sesuatu yang di
ikuti.
e. Harus menjelaskan jenis tanaman yang akan ditanam.
Baca juga artikel yang lain:
- Ulumul Hadist (Ilmu-ilmu Hadist)
- Pengertian Bid'ah
- Konsep Manusia Menurut Aliran Humanisme dan Islam
- Konsep Manusia dalam Prespektif Aliran Psikoanalisa dan Behaviorisme
- Psikologi Perkembangan Pada Masa Anak-Anak
- Keterkaitan Ilmu Pengetahuan dan Agama
- Studi Al-Qur'an
- Studi Fikih (Hukum Islam)
- Urgensi Pengantar Studi Islam
- Etika Politik dan Nilai Pancasila Sebagai Sumber Politik
BAB III
PENUTUP
A.
Kesimpulan
Dari
semua uraian di atas, dapat kita peroleh gambaran bahwa agama Islam benar-benar
merupakan tuntunan hidup yang sempurna, tiddak ada satu pun sendi kehidupan
yang lepas dari pengaturan Islam. Hal ini semakin menegaskan Islam sebagai
rahmatan lil ‘alamin, karena ia benar-benar merupakan rahmat bagi semesta.
Semua
hukum dalam Islam hanya mencerminkan satu hal, yakni kemaslahatan umat,
walaupun terkadang di ingkari oleh orang-orang dungu engikut hawa nafsu, namun
itu tidak menutup atau menyembunyikan fakta yang sebenarnya.
B.
Saran
Sesungguhnya kesempurnaan hanyalah milik Allah ta’ala, kami sebagai manusia biasa tentulah tak lepas dari kekurangan, termasuk pula makalah yang kami tulis ini. Oleh karena itu kami mengharapkan saran dari semua pihak demi perbaikan pada penulisan makalah kami di masa yang akan datang.