HOME

12 Desember, 2021

Qurban dalam Islam

 I.                        Pengertian

Qurban bersal dari Bahasa Arab al-adhiyah dari kata adh-ha yang maknanya adalah permulaan siang setelah terbitnya matahari dan dhuha yang selama ini sering kita gunakan untuk sebuah nama sholat, yaitu Sholat Dhuha disaat terbitnya matahari hingga menjadi putih cemerlang.

Adapun menurut syari’at adalah sesuatu yang disembelih dari binatang ternak yang berupa unta, sapi, dan kambing untuk mendekatkan diri kepada Allah yang disembelih pada Hari Raya Idul Adha dan Hari Tasyrik. Hari Tasyrik tersebut adalah tanggal 11, 12, 13 pada Dzulhijjah.

II.                        Hukum Qurban

Hukum menyembelih Qurban menurut Madzhab Imam Syafi’i dan Jumhur Ulama’ adalah Sunnah yang sangat diharap dan dikukuhkan. Ibadah Qurban adalah termasuk syiar agama dan memupuk makna kasih sayang dan peduli kepada sesama yang harus digalakkan.

Hukum Qurban menurut Imam Abu Hanifah adalah wajib bagi yang mampu. Perintah qurban datang pada tahun ke-2 Hijriyah. Adapun Qurban bagi Nabi Muhammad SAW adalah wajib, dan ini adalah hukum khusus bagi beliau.

III.                        Waktu Menyembelih Qurban

Waktu menyembelih Qurban itu diperkirakan dimulai dari : Setelah terbitnya matahari di Hari Raya Qurban dan setelah selesai 2 rokaat sholat hari Raya Idul Adha dan 2 khutbah, maka tibalah waktu untuk menyembelih Qurban.

Bagi yang tidak sholat hari Raya Idul Adha ia hari harus memperkirakan dengan perkiraan tersebut atau menunggu selesainya. Dan waktu menyembelih Qurban berakhir saat terbenamnya matahari di hari tasyrik pada tanggal 13 Dzulhijjah.

Sebaik-baik waktu menyembelih hewan Qurban adalah setelah sholat dan khutbah Idul Adha. Ada sebuah hadits yang mengatakan :

Dari Barra’ bin Malik ra berkata : Nabi Shallahu ‘Alaihi Wasallam bersabda : “ Barangsiapa menyembelih hewan Qurban setelah Sholat Idul Adha, maka sembelihannya telah sempurna dan ia sesuai dengan sunnah kaum muslimin. “ ( HR. Bukhori no. 5545 )

IV.                        Syarat Orang Yang Berqurban

1.              Seorang muslim / muslimah

2.              Usia baligh

Baligh ada 3 tanda, yaitu :

a.              Keluar mani ( bagi anak laki-laki dan perempuan ) pada usia 9 tahun Hijriah.

b.             Keluar darah haid usia 9 tahun Hijriah  ( bagi anak perempuan )

c.              Jika tidak keluar mani dan tidak keluar darah haid, maka ditunggu usia hinga umur 15 tahun. Dan jika sudah genap 15 tahun, maka ia telah baligh dengan usia yaitu 15 tahun dan jika ada anak yang belum baligh  maka tidak diminta untuk berqurban, akan tetapi sunnah bagi walinya untuk berqurban atas nama anak tersebut.

V.                        Macam-Macam Binatang Yang Boleh Dijadikan Berqurban

1.              Unta, diperkirakan umurnya 5-6 tahun.

2.              Sapi, atau kerbau diperkirakan umurnya  2 tahun keatas.

3.              Kambing, atau domba dengan bermacam-macam jenisnya, diperkirakan umurnya 1-2 tahun.

VI.                        Himbauan Pemilihan Binatang Qurban

Dihimbau ( tapi tidak wajib ): Gemuk dan sehat, dengan warna apapun

VII.                        Sifat-sifat Binatang Yang Tidak Boleh Dijadikan Qurban

1.              Bermata sebelah atau buta

2.              Pincang yang sangat

3.              Yang amat kurus, karena penyakit.

4.              Berpenyakit yang parah

Dari Al-Bara’ bin ‘Azib ra, ia berkata, “ Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam pernah berdiri di tengah-tengah kami dan berkata, “ Ada empat cacat yang tidak dibolehkan pada hewan Qurban : (1) buta sebelah dan jelas sekali kebutaannya, (2) sakit dan tampak jelas sakitnya, (3) pincang dan tampak jelas pincangnya, (4) sangat kurus sampai-sampai seolah tidak berdaging dan bersum-sum. “

VIII.                        Kesunahan Dalam Menyembelih Qurban

1.              Dalam keadaan bersuci

2.              Menghadap kiblat

3.              Membaca

Dan setelah itu berdo’a : Allahumma Hadzihi minka wa ilaika, fataqobbal minni ya karim. Kalau untuk mewakili nama orang : menyebut nama orang yang akan menjadi tujuan hewan Qurban tersebut

4.              Kesunnahan lain saat menyembelih qurban, hendaknya : Mulai awal bulan Dzulhijjah tanggal 1 hingga saat menyembelih qurban agar tidak memotong / mencabut rambut atau kukunya, seperti yang disabdakan Nabi Muhammad SAW :

“ Jika masuk Bulan Dzulhijjah dan salah seorang dari kalian ingin menyembelih qurban, maka hendaklah ia tidak memotong sedikitpun dari rambut dan kukunya. ” ( H. R. Muslim )

5.              Jika bisa, menyembelih sendiri bagi yang mampu

6.              Mempertajam kembali pisaunya

7.              Mempercepat cara penyembelihan

8.              Membaca Bismillah dan Takbir ( seperti yang telah disebutkan ) sebelum membaca do’a

9.              Didepan warga, agar semakin banyak yang mendo’akannya.

10.          Untuk Qurban yang sunnah (bukan nadzar) disunnahkan bagi yang nadzar untuk mengambil bagian dari daging qurban biarpun hanya sedikit.

IX.                        Cara Membagi Daging Qurban

1.              Jika Qurban wajib karena nadzar: Maka semua dari daging Qurban harus dibagikan kepada fakir miskin. Dan jika orang yang berqurban atau orang yang wajib dinafkahinya ikut makan, maka wajib baginya untuk menggantinya sesuai dengan yang dimakannya.

2.              Adapun jika Qurban sunnah: Maka tidak disyaratkan  sesuatu apapun dalam pembagiannya, asalkan ada bagian untuk orang fakir miskin, seberapapun bagian tersebut. Dan dianjurkan untuk bisa membagi menjadi 3 bagian. 1/3 untuk keluarga, 1/3 untuk dihidangkan tamu, 1/3 untuk dibagikan kepada fakir miskin. Dan semakin banyak yang dikeluarkan tentu semakin besar pahalanya.

X.                        Hukum Menjual Daging Qurban

Hukum menjual daging qurban adalah Haram sebelum dibagikan. Adapun daging Qurban sudah dibagi dan diterima, maka bagi si fakir yang menerima daging tersebut boleh menjualnya dan boleh juga menyimpannya. Begitu juga kulitnya, tidak diperkenankan untuk dijual atau dijadikan upah bagi yang menyembelih, akan tetapi bagi seorang tukang sembelih boleh menerima kulit serta daging qurban sebagai bagian haknya akan tetapi tidak boleh daging dan kulit tersebut dijadikan upah.

    Baca juga artikel yang terkait:


Hakim, Mahkum Bihi, Mahkum Fihi dan Mahkum Alaihi

 

BAB I

PENDAHULUAN

A.        Latar Belakang

Dalam kajian ushul al-fiqh, terdapat istilah al-hakim, mahkum bihi, mahkum fihi dan mahkum alaihi. Dalam perkembanganya istilah-istilah tersebut mempunyai pengertian yang berbeda-beda menurut para ulama’, sehingga perlulah kita mengetahui serta memahami apa itu al-hakim, mahkum bihi, mahkum fihi dan mahkum alaihi. Karena semua pengertian pemahaman mempunyai dasar ataupun latar belakang sendiri. Ushul al-fiqh merupakan alat dalam penetapan hukum, perlu pemahaman lebih dalam penggunaanya.

Konsep dasar tentang al-hakim, mahkum bihi, mahkum fihi dan mahkum alaihi penuh perbedaan pendapat para ulama dalam pengertian serta penggunaanya dalam hukum Islam. Sebagai mukallaf konsep ini perlu diketahui serta dipahami semua umat Islam dalam kehidupan sehari-hari.

B.        Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang di atas, maka rumusan masalahnya adalah:

1.      Bagaimana konsep dasar tentang Al-hakim?

2.      Bagaimana konsep dasar tentang mahkum bihi ?

3.      Bagaimana konsep dasar tentang mahkum fihi ?

4.      Bagaimana konsep dasar tentang mahkum alaihi ?

C.        Tujuan

1.      Mengetahui apa pengertian tentang Al-Hakim

2.      Mengetahui pengertian tentang Mahkum bihi, fihi dan alaihi

 

BAB II

PEMBAHASAN

A.        HAKIM (Al-Hakim)

1.         Pengertian Al-Hakim

Kata “hakim” yang berasal dari bahasa Arab telah menjadi bahasa Indonesia, yang maknanya sama dengan salah satu dari makna etimologinya dalam bahasa Arab, yaitu; orang yang memutuskan dan menetapkan hukum, yang menetapkan segala sesuatu, dan yang mengetahui hakikat seluk beluk segala sesuatu. Kata hakim juga digunakan untuk menunjuk pengertian hakim di pengadilan. Untuk pengertian yang terakhir ini, dalam bahasa Arab, kata hakim sepadan dengan kata qhadi. Dari segi etimologi fiqh, kata hakim atau qhadi juga menunjuk pengertian hakim yang memutus perkara di pengadilan.

Adapun menurut terminologi ushul fiqh, kata hakim menunjuk pihak yang menciptakan dan menetapkan hukum syariat secara hakiki. Dalam hal ini, semua ulama sepakat, hanya Allah yang mencipta dan menetapkan hukum syariat bagi seluruh hamba-nya (Al-Hakim Huwa Allah; al-Hakim adalah Allah). Allah berfirman pada surah al-An’am : 57

                     •       

Katakanlah: "Sesungguhnya aku berada di atas hujjah yang nyata (Al Quran) dari Tuhanku, sedang kamu mendustakannya. tidak ada padaku apa (azab) yang kamu minta supaya disegerakan kedatangannya. menetapkan hukum itu hanyalah hak Allah. Dia menerangkan yang sebenarnya dan Dia pemberi keputusan yang paling baik".

Semua ulama sepakat menyatakan, hanya Allah SWT yang berhak mencipta dan mentapkan perintah dan larangan, dan sejalan dengan itu, hamba-hamba-Nya wajib tunduk dan mematuhi perintah dan larangan-Nya. Dalam konteks penetapan hukum, di lingkungan ulama ushul fiqh dikenal dua istilah yaitu Al-mutsbit li al hukm (yang menetapkan hukum) dan Al-muzhir li al hukm (yang membuat hukum menjadi nyata). Yang dimaksud dengan Al-mutsbit li al-hukm ialah, yang berhak membuat dan menetapkan hukum. Yang berhak membuat dan menetapkan hukum itu hanyalah Allah SWT, Tidak siapapun yang berhak menetapkan hukum kecuali Allah. Akan tetapi, perlu ditegaskan kembali, selain digunakan istilah al-hakim dan asy-Syari (pembuat syariat).

Dalam istilah al-hakim dan asy-syari selain bermakna Allah SWT pencipta dan pembuat hukum, harus pula ditambahkan Rasulullah SAW bukan karena beliau memiliki wewenang otonom membuat hukum dan syariat, tetapi karena beliau diberi tugas, antara lain, menjelaskan aturan-aturan hukum syariat yang juga bersumber dari wahyu Allah SWT. Dalam konteks inilah dikenal dua macam bentuk wahyu yang disampaikan kepada Rasulullah SAW yaitu yang biasa disebut dengan istilah wahyu matluw (wahyu yang dibacakan/Al-Qur’an) dan wahyu ghairu matluw (wahyu yang tidak dibacakan/Al-Hadits/As-Sunnah).

Dari definisi hukum dan penjelasan satu persatu dari rangkaiannya, dapat diambil pengertian bahwa hakim adalah;

الحاكم هو واضح الاحكام ومثبتها ومنشئها ومصدرها

Hakim adalah pembuat hukum, yang menetapkan hukum, yang memunculkan hukum dan yang membuat sumber hukum.

الحاكم الذى يدرك الاحكام ويظهرها ويعرفها ويكشفها

Hakim adalah yang menemukan hukum, yang menjelaskan hukum, yang memperkenalkan hukum dan yang menyingkap hukum.

Dari uraian diatas dapat disimpulkan bahwa Jumhur-Fuqaha berpendapat bahwa Al-Hakim adalah Allah SWT Dialah pembuat hukum dan menjadi satu-satunya sumber hukum yang wajib ditaati dan diikuti oleh semua mukallaf. Dan dari pemahaman seperti ini pulalah, para ahli ushul bersepakat untuk membuat sebuah teori bahwa

 " لا حكم الا الله "

“ Tidak ada hukum kecuali yang bersumber dari Allah.

Adapun yang menjadi dasar munculnya teori tersebut adalah firman Allah SWT pada surah;

a.         Al-An’am: 57

      •       

Menetapkan hukum itu hanyalah Allah.  Dia menerangkan yang sebenarnya dan Dia pemberi keputusan yang paling baik.

b.        Al- Maidah; 49, 44 dan 45

        

Dan hendaklah kamu memutuskan perkara di antara mereka menurut apa yang diturunkan Allah.

            

Barangsiapa yang tidak memutuskan menurut apa yang diturunkan Allah, Maka mereka itu adalah orang-orang yang kafir.

             

Barangsiapa tidak memutuskan perkara menurut apa yang diturunkan Allah, Maka mereka itu adalah orang-orang yang zalim.

2.         Status Hakim Dalam Hukum Islam

Dari pengertian hakim yang berbeda diatas, dapat diambil pemahaman bahwa diantara para ahli ushul, terjadi perbedaan tentang status hakim. Hali ini disebabkan dari adanya dua keadaan yaitu;

a.         Hakim sebelum Nabi Muhammad SAW terutus sebagai Rasul

Yang menjadi persoalan dikalangan para ahli ushul dalam kaitannya dengan masalah ini adalah;

Ø  Siapa yang menemukan dan memperkenalkan serta yang memperjelas hukum?

Persoalan ini ditanggapi oleh para ahli berbeda-beda, yaitu;

1)       Menurut Ahli al-Sunnah wa Al-Jama’ah berpendapat bahwa pada masa sebelum nabi Muhammad SAW terutus sebagai rasul itu tidak ada hakim dan tidak ada syara’, sementara akal pikiran manusia tidak memiliki kemampuan untuk menemukannya, sebab akal hanya mampu menetapkan baik-buruk melalui perantara Al-Qur’an dan rasul, sebab Allah berfirman dalam Surat Al-Isra’;15

 •       

Kami tidak akan meng'azab sebelum Kami mengutus seorang rasul.

Oleh karena itu Allah-lah yang menjadi hakim, sedang yang menjelaskan hukum-hukum yang berasal dari hakim adalah syara’, padahal syara’ saat ini belum ada. Karena itu, Allah mengutus Rasul-Nya untuk menyampaikan ketetapan hukum-hukum-Nya sebab Allah berfirman pada surat An-Nisa’;165

  ••        

Agar tidak ada alasan bagi manusia membantah Allah sesudah diutusnya Rasul-rasul itu. dan adalah Allah Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana.

2)       Menurut kelompok Mu’taliziyyin, berpendapat bahwa yang menjadi hakim saat itu adalah Allah SWT, hanya saja akal sudah memiliki kemampuan untuk menentukan hukum-hukum Allah, bahkan akal mampu menjelaskannya.

Dari persoalan ini para Ushul menyebutnya dengan menggunakan istilah “At-Tahsin wa At-Taqbih”. Tahsin yaitu semua perilaku yang dianggap sesuai dengan watak kemanusiaan, seperti rasa manis, menolong orang yang sedang celaka dan sebagainya. Sedangkan Taqbih adalah semua perilaku perbuatan yang tidak sesuai dengan watak kemanusiaan, seperti menyakiti orang lain, mencuri dan sebagainya.

b.        Hakim setelah Nabi Muhammad SAW menjadi Rasul.

Dalam menanggapi masalah ini, para ahli ushul bersepakat untuk menyatakan bahwa Hakim adalah syari’ah yang diturunkan dari Allah melalui rasul-Nya, Muhammad SAW. Oleh karena itu segala sesuatu yang hukumnya telah dihalalkan oleh Allah adalah halal dan segala sesuatu yang hukumnya telah diharamkan oleh Allah adalah haram.

Dengan demikian, at-tahsin adalah segala sesuatu yang telah dihalalkan oleh Allah dan didalamnya terdapat kemaslahatan bagi kelangsungan hidup manusia. Sedang at-taqbih adalah segala sesuatu yang telah diharamkan oleh Allah dan di dalamnya terdapat kemadlaratan bagi kelangsungan hidup manusia.

B.        Mahkum Bihi

محكوم به هو فعل المكلف الذي تعلق به حكم الشارع اقتضاء او تخييرا او وضعا

Adalah perbuatan manusia yang hukum syara’ ditemukan didalam perbuatan tersebut, baik berupa tuntutan, pilihan atau wadl’iy.

Sebagian ulama ushul fiqh menggunakan istilah mahkum bih untuk menunjuk pengertian objek hukum. Adapun yang menjadi objek hukum (mahkum bih) adalah perbuatan mukallaf, yaitu gerak atau diamnya mukallaf. Dalam hal ini, yang dapat diberi ketentuan, wajib atau makruh, atau haram, atau mubah adalah perbuatan mukallaf.

Ø  Syarat-syarat Objek Hukum (Mahkum Bihi).

Agar suatu perbuatan mukallaf pantas diberi predikat salah satu dari hukum taklifi yang lima, maka perbuatan tersebut mestilah memenuhi beberapa kriteria persayaratan. Kriteria perbuatan seorang mukallaf yang dapat diberi predikat hukum taklifi ialah sebagai berikut;

Ø  Seorang mukallaf mestilah mengetahui dengan jelas bahwa yang memerintahkan atau melarang, atau memberi pilihan untuk melakukan atau meninggalkan suatu perbuatan itu adalah Asy’Syari’. Karena itu, suatu perintah atau larangan yang tidak memiliki landasan yang jelas, baik langsung maupun tidak langsung, berasal dari Al-Qur’an atau hadist, tidak dapat diberi predikat hukum taklifi.

Ø  Suatu perbuatan yang diperintahkan untuk dilakukan mukallaf atau ditinggalkannya, atau diberi kebebasan kepadanya untuk melakukan atau meninggalkannya, mestilah diketahui dan dipahami dengan jelas oleh mukallaf tersebut. Hukum taklifi tidak dapat diterapkan kepada perintah atau larangan yang tidak jelas. Misalnya, pada surah al-Baqarah; 43, yakni perintah melaksanakan shalat dan membayar zakat pada ayat tersebut masih bersifat umum, dan belum ada perincian tatacara, waktu, jumlah rakaat dan rukun serta persyaratannya. Semata-mata berdasarkan ayat diatas saja, seorang mukallaf belum dikenai hukum wajib melaksanakan shalat. Karena itulah Rasulullah SAW kemudian memberi contoh dan penjelasan tentang shalat yang diperintahkan Allah, sehingga setelah jelas perinciannya, barulah kepada perbuatan mukallaf dapat diberi predikat hukum taklifi, yakni wajib melaksanakan shalat.

Ø  Suatu perbuatan yang diperintahkan kepada mukallaf atau dilarang melakukannya atau ia bebas memilihnya, haruslah dalam batas kemaampuan manusia untuk melakukan atau meninggalkannya. Sebab perintah dan larangan Allah SWT adalah untuk dipatuhi dan demi kemaslahatan mukallaf. Oleh karena itu, Allah SWT tidak pernah dan tidak akan memrintahkan atau melarang suatu perbuatan yang manusia tidak mampu mematuhinya. Hal ini ditegaskan Allah SWT dalam surah Al-Baqarah; 286.

C.        Mahkum Fihi

Mahkum Fih berarti ‘perbuatan orang mukallaf sebagai tempat menghubungkan hukum syara’. Misalnya dalam surat al-Maidah; 1

                    •       

Hai orang-orang yang beriman, penuhilah aqad-aqad itu. Dihalalkan bagimu binatang ternak, kecuali yang akan dibacakan kepadamu. (yang demikian itu) dengan tidak menghalalkan berburu ketika kamu sedang mengerjakan haji. Sesungguhnya Allah menetapkan hukum-hukum menurut yang dikehendaki-Nya.

Yang menjadi objek perintah dalam ayat tersebut adalah perbuatan orang mukallaf yaitu perbuatan menyempurnakan janji yang diwajibkan dengan ayat tersebut.

Ø  Syarat-syarat Mahkum Fih

Ø  Perbuatan itu diketahui secara sempurna dan rinci oleh orang mukallaf sehingga dengan demikian suatu perintah, mislanya, dapat dilaksanakan secara lengkap seperti yang dikehendaki oleh Allah atau Rasul-Nya.

Ø  Diketahui secara pasti oleh orang mukallaf bahwa perintah itu datang dari pihak yang berwenang membuat perintah yang dalam hal ini adalah Allah dan Rasul-Nya

Ø  Perbuatan yang diperintahkan atau dilarang haruslah berupa perbuatan yang dalam batas kemampuan manusia untuk melakukan atau meninggalkannya.

D.       Mahkum Alaih

محكوم عليه هو شخص الذى تعلق خطاب و يسمى با لمكلف

Adalah seseorang yang perbuatannya dikenai titah Allah, yaitu mukallaf atau manusia yang menjadi obyek tuntutan hukum syara’.

Mahkum ‘Alaih berarti ‘orang mukallaf (orang yang layak dibebani hukum taklifi). Seseorang baru dianggap layak dibebani hukum taklifi bilamana pada dirinya terdapat beberapa persyaratan;

Ø  Mampu memahami dalil-dalil hukum baik secara mandiri atau dengan bantuan orang lain minimal sebatas memungkinkannya untuk mengamalkan isi dari ayat atau hadis Rasulullah. Adanya kemampuan memahami hukum taklifi itu disebabkan seseorang itu mempunyai akal yang sempurna. Hal ini sesuai dengan isi khutbah Rasulullah pada saat haji wada’, beliau bersabda sebagai berikut;

نضره الله سمع منى مقالتى فحفظها ووعاها فأذها كما سمعها فرب مبلغ اوعى من سامع. وفى حديث اخر الا ليبلغ الشاهد منكم الغائب.

Semoga Allah membaguskan orang yang telah mendengar perkataanku, lalu mengahafal, menjaga dan menyampaikannya sebagaimana ia mendengarkannya. Banyak orang yang telah menrima penjelasan lebih memahami dari yang mendengarkan sendiri. Dalam hadist lain dijelaskan bahwa “Hendaklah orang yang menyaksikan (hadis) mau menyampaikan kepada mereka yang tidak hadir.

Ø  Mukallaf harus bisa menanggung beban taklif. Beban taklif ini dalam pandangan ahli ushul terbagi menjadi dua;

·           Ahliyatul Wujub, kemampuan untuk mempunyai dan menanggung hak.

·           Ahliyatul Ada’, kemampuan untuk melahirkan kewajiban atas dirinya dan hak untuk orang lain.

Ø  Halangan atas kemampuan

Halangan kemampuan ini terbagi menjadi dua :

·           Halangan alami (áwaridh samawiyah), halangan yang terjadi di luar kemampuan manusia.

·           Halangan tidak alami (áwaridh ghair samawiyah), halangan yang terjadi karena perbuatan manusia dari diri sendiri maupun orang lain.

Ø  Usianya sudah dewasa atau Baligh.

    Baca juga artikel yang terkait:

BAB III

PENUTUP

Ø  Kesimpulan

Al-Hakim adalah pembuat hukum, yang menetapkan hukum, yang memunculkan hukum, dan yang membuat sumber hukum atau yang menemukan hukum, yang menjelaskan hukum, yang memperkenalkan hukum dan yang menyingkap hukum.

Mahkum bih adalah perbuatan manusia yang hukum syara’ ditemukan didalam perbuatan tersebut, baik berupa tuntutan, pilihan atau wadl’iy.

Mahkum fihi adalah perbuatan seorang mukallaf yang berhubungan dengan perintah syara’ baik itu tuntutan untuk mengerjakan atau meninggalkan, maupun memilih pekerjaan yang bersifat syarat, sebab, halangan, azimahrukhshah, sah dan batal.

 

DAFTAR PUSTAKA

Drs. Zainy al-Hasyimiy,Muhammad Ma’shum, M.A, 2008, Ilmu Ushul-Fiqh, Jombang, Darul Hikmah Jombang.

Dr. H. Abd. Dahlan, Rahman, M.A, 2011, Ushul Fiqh, Jakarta, AMZAH.

Prof. Dr. Effendi, Satria dan M. Zein, M.A, 2008, Ushul Fiqh, Jakarta, Kencana Predana Media Group.

MAKALAH HADIST TENTANG HIJAB

  A.   Latar Belakang Telah disepakati oleh seluruh umat Islam bahwa al-Qur’an menjadi pedoman hidup baik tentang syariah maupun dalam keh...