HOME

29 Januari, 2022

Study Al-Qur'an : ‘Aam dan Khas

A.   ‘AMM

PENGERTIAN

‘Amm adalah lafal yang menghabiskan atau mencakup segala apa yang pantas baginya tanpa ada pembatasan.[1] Para ulama berbeda pendapat tentang “makna umum”, apakah didalam bahasa ia mempunyai sighah  (bentuk lafaz) khusus untuk menunjukkannya atau tidak?

Setidaknya ada tiga bentuk sighah umum menurut jumhur ulama’.[2]

1.      Sighah ‘am untuk menguatkan ma’na khusus

2.      Sighah ‘am untuk mencakup semua satuan-satuannya sekaligus, dan berfungsi menguatkan ma’na umum.

3.      Sighah yang disandarkan pada sesuatu yang ber ma’na mencakup semua, atau disandarkan pada sesuatu yang berma’na mengumpulkan, atau meringkas sesuatu yang paling sedikit memuat sifat dan bilangan.[3] Hal ini sesuai dengan pernyataan yang dipaparkan oleh al-Ghazali dalam al-Mustasfa Fi Ilm al-Usul.

Sebagian besar ulama berpendapat, didalam bahasa terdapat sighah-sighah tertentu yang secara hakiki dibuat untuk menunjukkan makna umum dan dipergunakan secara majaz pada selainnya. Untuk mendukung pendapat ini mereka mengajukan sejumlah argumen dari dalil-dalil nassiyah, ijma’iyah, dan ma’nawiyah.

1.      Di antara dalil-dalil nassiyah ialah firman Allah :

وَنَا دى رَّبَّهُ فَقَالَ رَبِّ إِنَّ ابْنِى مِنْ أَهْلِى وَاِنَّ وَعْدَكَ الْحَقُّ وَأَنْتَ أَحْكَمُ الْحَاكِمِيْنَ، قَالَ يَانُوْحُ إِنَّهُ لَيْسَ مِنْ أَهْلِكَ

هود:٤٥-٤٦

“Dan Nuh berseru kepada Tuhannya seraya berkataa: “Ya Tuhanku, sesungguhnya anakku termasuk keluargaku, dan sesungguhnya janji Engkau itulah yang benar, dan Engkau adalah hakim yang seadil-adilnya”. Allah berfirman: “Hai Nuh, sesungguhnya dia bukanlah termasuk keluargamu (yang dijanjikan dan diselamatkan)”.

Aspek yang dijadikan dalil dari ayat ini ialah bahwa Nuh menghadap kepada Allah dengan permohonan tersebut karena ia berpegang teguh pada firman-Nya:

إِ نَّا مُنَجُّوْكَ وَأَهْلَكَ إِلَّا امْرَأَتَكَ كَانَتْ مِنَ الْغَبِرِيْنَ

 العنكبوت:٣٣

“Sesungguhnya kami akan menyelamatkan kamu dan pengikut-pengikutmu kecuali isterimu, Dia adalah termasuk orang-orang yang tertinggal (dibinasakan)”.

Allah membenarkan apa yang dikatakan Nuh. Karena itu ia menjawab dengan pernyataan yang menunjukkan bahwa anaknya itu tidak termasuk keluarga. Seandainya idafah (penyandaran) kata “keluarga” kepada “Nuh” keluargaku, keluarga Nuh) tidak menunjukkan makna umum, maka jawaban Allah tersebut tidak benar.

وَلَمَّا جآءَتْ رُسُلُنَآ إِبْرَاهِيْمَ بِالْبُشْرَى قَالُوْآ إِنَّا مُهْلِكُوْا أَهْلِ هَذِهِ الْقَرْيَةِ إِنَّ أَهْلَهَا كَا نُوْا ظَالِمِيْنَ، قَالَ إِنَّ فِيْهَا لُوْطًا قَالُوْا نَحْنُ أَعْلَمُ بِمَنْ فِيْهَا لَنُنَجِّيَنَّهُ وَأَهْلَهُ امْرَأَتَهُ كَا نَتْ مِنَ الْغَابِرِيْنَ.

العنكبوت:٣١-٣٢

“Dan tatkalah utusan kami (para malaikat) datang kepada Ibrahim membawa kabar gembira, mereka mengatakan: “Sesungguhnya kami akan menghancurkan negeri (Sodam) ini. Sungguh penduduknya adalah orang-orang zalim”. Berkata Ibrahim: “sesungguhnya di kota itu ada Lut”. Para malaikat itu berkata: “Kami lebih mengetahui siapa yang ada di kota itu, kami sungguh-sungguh akan menyelamatkan dia dan pengikut-pengikutnya kecuali isterinya, dia adalah termasuk orang-orang yang tertinggal (dibinasakan)”.

Aspek yang dijadikan dalil ialah bahwa Ibrahim memahami ucapan para malaikat, ahlu hadhihil qaryah (penduduk negeri ini), adalah umum, di mana ia menyabutkan Lut. Para malaikat pun mengakui pemahaman demikian dan menjawab bahwa mereka akan memperlakukan dengan khusus Lut dan keluarganya, dengan mengecualikannya dari golongan yang akan dihancurkan dan mengecualikan istri Lut dari orang-orang yang diselamatkan. Semua ini menunjukkan makna umum.

2.      Di antara dalil-dalil ijma’iyah ialah ijma’ sahabat bahwa firman Allah :

الزَّانِيَةُ وَالزَّانِي فَاجْلِدُوْا كُلَّ وَاحِدٍ مِنْهُمَا مِائَةَ جَلْدَةٍ

النور:٢

“Perempuan yang berzina dan laki-laki yang berzina, maka deralah tiap-tiap seorang dari keduanya seratus kali dera”, dan firman-Nya:

وَالسَّارِقُ والسَّارِقَةُ فَاقْطَعُوْآ أَيْدِيَهُمْا جَزَآءَ بِمَا كَسَبَا نَكَلًا مِّنَ اللَّهِ، وَاللَّهُ عَزِيْزٌ حَكِيْمٌ.

المئدة: ٣٨

“Dan laki-laki yang mencuri dan perempuan yang mencuri potonglah tangan keduanya”. Dan lain sebagainya adalah bermakna umum, berlaku dan dapat diterapkan bagi setiap orang yang berzina dan mencuri.

3.        Di antara dalil-dalil ma’nawiyah ialah bahwa makna umum itu dapat dipahami dari penggunaan lafal tertentu yang menunjukkan demikian. Andaikan lafal tersebut tidak dibuat untuk makna umum tentu sulit dalam memahaminya. Misalnya lafaz-lafaz, syarat, istifham (pernyataan) dan mausul.

Kita dapat menangkap adanya perbedaan antara kata kull (seluruh) dengan kata ba’d (sebagian). Seandainya kull tidak menunjukkan arti umum, tentulah perbedaan itu tidak terwujud.

Atas dasar maka makna umum itu mempunyai sighah-sighah tertentu yang menunjukkannya. Di antaranya:

a.         Kull.

b.         Lafaz-lafaz yang di ma’rifatkan dengan al yang bukan al-ahdiyah.

c.         Isim nakirah dalam konteks nafy dan nahi.

d.        Al-Latiy dan al-ladhi serta cabang-cabangnya.

e.         Semua isim syarat.

f.          Ismul-Jins (kata jenis) yang di idafah kan kepada isim ma’rifah.


MACAM-MACAM ‘AMM

Lafadz ‘Amm terbagi menjadi tiga macam:

1.      ‘Amm yang tetap dsalam keumumannya (al-‘amm al baqi ‘ala ‘umumih). Qadi Jalaluddin al-Balqini mengatakan, ‘amm seperti ini jarang ditemukan, sebab tidak ada satupun lafaz ‘am kecuali di dalamnya terdapat takhsis (pengkhususan). Tetapi Zarkasyi dalam al-Burhan mengemukakan, ‘amm demikian banyak terdapat dalam Qur’an.

2.      ‘Amm yang dimaksud khusus (al-‘amm al-murad bihi al-khusus).

3.      ‘Amm yang dikhususkan (al-‘amm al-makhsus). ‘Amm macam ini banyak ditemukan dalam Al-Qur’an sebagaimana akan dikemukakan nanti.


PERBEDAAN ANTARA AL-‘AMM AL-MURAD BIHIL KHUSUS dengan AL-‘AMM AL-MAKHSUS.

Perbedaan ini dapat dilihat dari beberapa segi. Antara lain:

1.    Tidak dimaksudkan untuk mencakup semua satuan atau individu yang dicakupnya sejak semula, baik dari segi cakupan makna lafaz maupun dari hukumnya. Lafaz tersebut memang mempunyai individu-individu namun ia digunakan hanya untuk satu atau lebih individu. Sedang yang kedua dimaksudkan untuk menunjukkan makna umum, meliputi semua individunya, dari segi cakupan makna lafaz, tidak dari segi hukumnya.

2.    Yang pertama adalah majaz secara pasti, karena ia telah beralih makna aslinya dan dipergunakan untuk sebagian satuan-satuannya saja. Sedangkan yang kedua, menurut pendapat yang lebih sahih, adalah hakikat. Inilah pendapat sebagian besar ulama Syafi’i, mayoritas ulama Hanafi dan semua ulama Hanbali. Pendapat ini dinukil pula oleh Imam Haramain dari semua Fuqaha’. Menurut Abu Hamid al-Ghazali, pendapat tersebut adalah pendapat madzhab Syafi’i dan murid-muridnya, dan dinilai sahih oleh as-Subki. Hal ini dikarenakan jangkauan lafaz kepada sebagian maknanya yang tersisa, sesudah di khususkan, sama dengan jangkauannya terhadap sebagian makna tersebut tanpa pengkhususan. Oleh karena jangkauan lafaz seperti ini bersifat hakiki menurut konsensus ulama, mak jangkauan seperti itu pun hendaknya dipandang hakiki pula.

Qarinah bagi yang pertama pada umumnya bersifat ‘aqliyah dan tidak pernah terpisah, sedang qarinah bagi yang kedua bersifat lafziyah dan terkadang terpisah


B. KHAS

Pengertian Khas

Khas ialah lafadh yang menunjukkan arti yang tertentu, khusus, tidak meliputi arti umum, dengan kata lain, khas itu kebalikan dari ‘aam.

هُوَ اللَّفْظُ الْمَوْضُوْعُ لِمَعْنًى وَاحِدٍ مَعْلُوْمٍ عَلَى الإِنْفِرَادِ

“Suatu lafadh yang dipasangkan pada satu arti yang sudah diketahui (ma’lum) dan manunggal.”

Menurut istilah, Al- khas adalah lafadh yang diciptakan untuk menunjukkan pada perseorangan tertentu, seperti Muhammad. Atau menunjukkan satu jenis, seperti lelaki. Atau menunjukkan beberapa satuan terbatas, seperti tiga belas, seratus, sebuah kaum, sebuah masyarakat, sekumpulan, sekelompok, dan lafadh-lafadh lain yang menunjukkan bilangan beberapa satuan, tetapi tidak mencakup semua satuan-satuan itu.

Hukum lafadz khas dan contohnya

Lafadz khas dalam nash syara’ adalah menunjuk pada dalalah qath’iyah (dalil yang pasti) terhadap makna khusus yang dimaksud dan hukum yang ditunjukkan adalah qath’i selama tidak ada dalil  yang memalingkan  pada makna lain.

Contohnya :

فمن لم يجد فصيا م ثلا ثة ايا م فى الحج ( البقرة :۱۹٦ )                           

“Barang siapa tidak menemukan (binatang qurban atau tidak mampu), maka wajib baginya berpuasa tiga hari dalam masa haji.” (QS.al-Baqarah : 196)

Lafadz tsalatsa adalah khas karena tidak mungkin diartikan kurang atau lebih dari tiga hari. Sehingga maknanya bersifat qath’iyah dan hukumnya pun bersifat  qath’i.

Sabda Rasulullah SAW :

فى كل ا ربعين شا ة (رواه ابو داود )                                                               

“Pada setiap empat puluh ekor kambing, wajib zakatnya seekor kambing.” (HR. AbuDawud).

Lafadz arbaina syatan dan syatun adalah lafadz khas karena yang pertama menunjukkan kadar zakat kambing 40 ekor dan kedua menunjukkan kadar wajibnya zakat yaitu seekor kambing.

Dari uraian diatas dapat ditarik suatu perbedaan antara lafadz ‘am dan lafadz khas sebagai berikut :

1)      Lafadz ‘am itu menunjuk kepada seluruh satuan dari satuan-satuan yang ada, sedang lafadz khas yang mutlaq menunjuk kepada satuan-satuan yang tergolong dalam satuan itu saja.

2)      Lafadz ‘am dapat mencakup sekaligus seluruh satuan-satuan yang dapat dimasukkan ke dalamnya, sedang lafadz khas tidak dapat mencakup seluruh satuan, selain hanya satuan yang dapat dimasukkan ke dalamnya.


Dalalah Khas

Dalalah khas menunjuk kepada dalalah qath’iyyah terhadap makna khusus yang dimaksud dan hukum yang ditunjukkannya adalah qath’iy, bukan dzanniy, selama tidak ada dalil yang memalingkannya kepada makna yang lain. Misalnya, firman Allah:

”tetapi jika ia tidak menemukan (binatang korban atau tidak mampu), Maka wajib berpuasa tiga hari dalam masa haji ” (QS. Al Baqarah (2) : 196

Kata tsalatsah (tiga) dalam ayat di atas adalah khas, yang tidak mungkin diartikan kurang atau lebih dari makna yang dikehendaki oleh lafadh itu. Oleh karena itu dalalah maknanya adalah qath’iy dan dalalah hukumnya pun qath’iy.

Akan tetapi, apabila ada qarinah, maka lafadh khas harus ditakwilkan kepada maksud makna yang lain. Sebagai contoh hadis Nabi yang berbunyi:

عَنْ سَالِمِ بْنِ عَبْدِ اللَّهِ عَنْ أَبِيهِ عَنْ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ أَقْرَأَنِي سَالِمٌ كِتَابًا كَتَبَهُ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فِي الصَّدَقَاتِ قَبْلَ أَنْ يَتَوَفَّاهُ اللَّهُ عَزَّ وَجَلَّ فَوَجَدْتُ فِيهِ فِي أَرْبَعِينَ شَاةً شَاةٌ إِلَى عِشْرِينَ وَمِائَةٍ فَإِذَا زَادَتْ وَاحِدَةً

“Salim pernah membacakan kepadaku sebuah kitab tentang sedekah yang ditulis oleh Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam sebelum Allah Azza Wa Jalla mewafatkannya. Lalu aku mendapatkan di dalamnya bahwa pada setiap empat puluh kambing hingga seratus dua puluh ekor kambing, zakatnya adalah satu ekor kambing.” (HR. Ibnu Majah).

Menurut jumhur ulama, arti kata empat puluh ekor kambing dan seekor kambing, keduanya adalah lafadh khas. Karena kedua lafadh tersebut tidak mungkin diartikan lebih atau kurang dari makna yang ditunjuk oleh lafadh itu sendiri. Dengan demikian, dalalah lafadh tersebut adalah qath’iy. Tetapi menurut Ulama Hanafiyah, dalam hadis tersebut terdapat qarinah yang mengalihkan kepada arti yang lain. Yaitu bahwa fungsi zakat adalah untuk menolong fakir miskin. Pertolongan itu dapat dilakukan bukan hanya dengan memberikan seekor kambing, tetapi juga dapat dengan menyerahkan harga seekor kambing yang dizakatkan.


Masalah Takhsis

a.       Pengertian takhsis

Menurut Khudari Bik dalam bukunya Ushul al-Fiqh, takhshish adalah penjelasan sebagian lafadh ‘wm bukan seluruhnya. Atau dengan kata lain, menjelaskan sebagian dari satuan-satuan yang dicakup oleh lafadh ‘wm dengan dalil.


Macam takhsis

1)      Mentakhshish ayat Al Qur’an dengan ayat Al Qur’an

وَالْمُطَلَّقَاتُ يَتَرَبَّصْنَ بِأَنْفُسِهِنَّ ثَلَاثَةَ قُرُوءٍ

“Wanita-wanita yang ditalak hendaklah menahan diri (menunggu) tiga kali quru.” (QS. Al Baqarah (2): 228).

Ketentuan dalam ayat di atas berlaku umum, bagi mereka yang hamil atau tidak. Tapi ketentuan itu dapat ditakhshish dengan QS. At-Thalaq (65) ayat 4 sebagai berikut:

وَأُولَاتُ الْأَحْمَالِ أَجَلُهُنَّ أَنْ يَضَعْنَ حَمْلَهُنَّ

“Dan perempuan-perempuan yang hamil, waktu iddah mereka itu ialah sampai mereka melahirkan kandungannya.”

Dapat pula di takhsis dengan surat Al Ahzab(33):49

“Hai orang-orang yang beriman, apabila kamu menikahi perempuan- perempuan yang beriman, kemudian kamu ceraikan mereka sebelum kamu mencampurinya Maka sekali-sekali tidak wajib atas mereka 'iddah bagimu yang kamu minta menyempurnakannya.”

Dengan demikian keumuman bagi setiap wanita yang dicerai harus beriddah tiga kali suci tidak berlaku bagi wanita yang sedang hamil dan yang dicerai dalam keadaan belum pernah digauli.

2)      Men takhsis Al Qur’an dengan As Sunnah

“laki-laki yang mencuri dan perempuan yang mencuri, potonglah tangan keduanya.”(QS. Al Maidah (5): 38.

Dalam ayat di atas tidak disebutkan batasan nilai barang yang dicuri. Kemudian ayat di atas ditakhshish oleh sabda Nabi SAW:

لاَ قَطْعَ فِي أَقَلَّ مِنْ رُبْعِ دِيْنَارٍ . رواه الجماعة

“Tidak ada hukuman potong tangan di dalam pencurian yang nilai barang yang dicurinya kurang dari seperempat dinar”. (H.R. Al-Jama’ah).

Dari ayat dan hadis di atas, jelaslah bahwa apabila nilai barang yang dicuri kurang dari seperempat dinar, maka si pencuri tidak dijatuhi hukuman potong tangan.

3)      Men takhsis As Sunnah dengan Al Qur’an

لاَ يَقْبَلُ اللهُ صَلاَةَ أَحَدِكُمْ إِذَا أَحْدَثَ خَتىَّ يَتَوَضَّأَ . متفق عليه

“Allah tidak menerima shalat salah seorang dari kamu bila ia berhadats sampai ia berwudhu”. (Muttafaq ‘Alaihi).

Hadis di atas kemudian di takhsrs oleh firman Allah dalam QS. Al Maidah (5): 6.

“dan jika kamu junub Maka mandilah, dan jika kamu sakit  atau dalam perjalanan atau kembali dari tempat buang air (kakus) atau menyentuh perempuan, lalu kamu tidak memperoleh air, Maka bertayammumlah dengan tanah yang baik (bersih)”.

Keumuman hadis di atas tentang keharusan berwudhu bagi setiap orang yang akan melaksanakan shalat, ditakhshish dengan tayammum bagi orang yang tidak mendapatkan air, sebagaimana firman Allah di atas.

4)      Men takhsis As Sunnah dengan As Sunnah

فِيْمَا سَقَتْ السَّمَاءُ الْعُشْرُ . متفق عليه

“Pada tanaman yang disirami oleh air hujan, zakatnya sepersepuluh”. (Muttafaq Alaihi).

Keumuman hadis di atas tidak dibatasi dengan jumlah hasil panennya. Kemudian hadis itu ditaksis oleh hadis lain yang berbunyi:

لَيْسَ فِيْمَا دُوْنَ خَمْسَةِ أَوْسُقٍ صَدَقَةٌ . متفق عليه

“Tidak ada kewajiban zakat pada taanaman yang banyaknya kurang dari 5 watsaq (1000 kilogram)”. (Muttafaq Alaihi).

Dari kedua hadis di atas jelaslah bahwa tidak semua tanaman wajib dizakati, kecuali yang sudah mencapai lima watsaq.

5)      Men takhsis Al Qur’an dengan Ijma’

“apabila diseru untuk menunaikan shalat Jum'at, Maka bersegeralah kamu kepada mengingat Allah dan tinggalkanlah jual beli.” (QS. Al Jumuah (62): 9)

Menurut ayat tersebut, kewajiban shalat Jum’at berlaku bagi semua orang. Tapi para ulama telah sepakat (ijma’) bahwa kaum wanita, budak dan anak-anak tidak wajib shalat Jum’at.

6)      Men takhsis al Qur’an dengan Qiyas

“perempuan yang berzina dan laki-laki yang berzina, Maka deralah tiap-tiap seorang dari keduanya seratus kali dera”.

Keumuman ayat di atas ditakhshish oleh QS. An Nisa’ (4): 25.

“Apabila mereka telah menjaga diri dengan kawin, kemudian mereka mengerjakan perbuatan yang keji (zina), maka atas mereka separo hukuman dari hukuman wanita-wanita merdeka yang bersuam”.

Ayat di atas menerangkan secara khusus, bahwa hukuman dera bagi pezina budak perempuan adalah saparuh dari dera yang berlaku bagi orang merdeka yang berzina. Kemudian hukuman dera bagi budak laki-laki di-qiyaskan dengan hukuman bagi budak perempuan, yaitu lima puluh kali dera.

7)      Men takhsis dengan pendapat sahabat

Jumhur ulama berpendapat bahwa takhsrs hadis dengan pendapat sahabat tidak diterima. Sedangkan menurut Hanafiyah dan Hanbaliyah dapat diterima jika sahabat itu yang meriwayatkan hadis yang di takhsrs nya. Misalnya:

عَنْ أَيُّوبَ عَنْ عِكْرِمَةَ أَنَّ عَلِيًّا رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ حَرَّقَ قَوْمًا فَبَلَغَ ابْنَ عَبَّاسٍ فَقَالَ لَوْ كُنْتُ أَنَا لَمْ أُحَرِّقْهُمْ لِأَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ لَا تُعَذِّبُوا بِعَذَابِ اللَّهِ وَلَقَتَلْتُهُمْ كَمَا قَالَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ مَنْ بَدَّلَ دِينَهُ فَاقْتُلُوهُ مَنْ بَدَّلَ دِيْنَهُ فَاقْتُلُوْهُ . متفق عليه

Dari Ayyub dari Ikrimah bahwa ‘ali r.a membakar suatu kaum lalu berita itu sampai kepada Ibnu Abbas maka dia berkata:” seandainya aku ada, tentu aku tidak akan membakar mereka karena Nabi SAW telah bersabda: Janganlah kalian menyiksa dengan siksaan Allah (dengan api), dan aku hanya akan membunuh sebagaimana Nabi telah bersabda Siapa yang mengganti agamanya maka bunuhlah dia".

Menurut hadis tersebut, baik laki-laki maupun perempuan yang murtad hukumnya dibunuh. Tetapi Ibnu Abbas (perawi hadis tersebut) berpendapat bahwa perempuan yang murtad tidak dibunuh, hanya dipenjarakan saja.

Pendapat di atas ditolak oleh Jumhur Ulama yang mengatakan bahwa perempuan yang murtad juga harus dibunuh sesuai dengan ketentuan umum hadis tersebut. Pendapat sahabat yang mentakhshish keumuman hadis di atas tidak dibenarkan karena yang menjadi pegangan kita, kata Jumhur Ulama, adalah lafadh-lafadh umum yang datang dari Nabi. Di samping itu, dimungkinkan bahwa sahabat tersebut beramal berdasarkan dugaan sendiri.

Baca juga artikel yang lain:

  1. Urgensi Pengantar Studi Islam
  2. Etika Politik dan Nilai Pancasila Sebagai Sumber Politik
  3. Qira’atul Qur’an
  4. Perbedaan dan Persamaan Mekanisme Takhsis dan Taqyid
  5. Perkembangan Ilmu Al-Qur’an Abad ke-4 sampai Modern
  6. Kodifikasi Al-Qur'an
  7. Study Al-Qur'an : ‘Aam dan Khas
  8. Muhkam dan Mutasyabih
  9. Mafhum Mukhalafah
  10. Mantuq dan Mafhum
  11. I'jazul Qur'an
  12. Nasikh dan Mansukh

[1] Manna’ al-Qattan, Mabahith Fi Ulum al-Qur’an, (Surabaya : Hidayah, 1983), 221

[2] Tim Penyusun MKD, Studi al-Qur’an, (Surabaya : UIN Sunan Ampel Press, 2014), 423.

[3] Ibid

Kodifikasi Al-Qur'an

BAB I

PENDAHULUAN

A.    LATAR BELAKANG

Secara etimologi Alquran berasal dari kata qara’a, yaqra’u, qiraa’atan, atau qur’anan yang berarti mengumpulkan (al-jam’u) dan menghimpun (al-dlammu). Sedangkan secara terminologi (syariat), Alquran adalah Kalam Allah ta’ala yang diturunkan kepada Rasul Muhammad. Dan menurut para ulama klasik, Alquran sumber agama (juga ajaran) Islam pertama dan utama yang memuat firman-firman (wahyu) Allah, sama benar dengan yang disampaikan oleh Malaikat Jibril kepada Nabi Muhammad sebagai Rasul Allah sedikit demi sediki selama 22 tahun 2 bulan 22 hari, dari Mekah ke Medinah.

Alquran adalah pedoman hidup, petunjuk, pembawa kabar gembira, ancaman, dan segala aturan- aturan hidup manusia yang harus kita baca, pahami, dan kita amalkan.

Seiring dengan perkembangan zaman dan banyaknya fenomena yang perlu kita ketahui yang   tersirat dalam Alquran dengan tujuan untuk kemaslahatan umat, maka kami mengambil tema tentang Sejarah Penyempurnaan Alquran setelah masa Nabi Muhammad SAW.

Ad-Dair’aquli di dalam kitab Fawaidnya mengatakan: telah menceritakan kepada kami Ibrahim bin Bisyar, (ia berkata): telah menceritakan kepada kami Sufyan Ibn ‘Uyainah, dari Az-Zuhri, dari ‘Ubaid, dari Zaid bin Tsabit, ia berkata, “Qubidha annabiyyu saw walam yakun Al-Qur’an jumi’afisyai” (Nabi saw telah diambil (Allah), sedangkan Al-Qur’an belum dikumpulkan pada sesuatu).

Imam Al-Khathabi mengatakan, “Adanya Al-Qur’an yang belum dihimpun oleh Nabi saw di dalam mushaf dikarenakan adanya ayat yang dinantikan, yaitu (ayat-ayat) yang me-nasikh sebagai hukum-hukumnya atau tilawahnya. Tetapi ketika telah selesai (sempurna) turunnya dengan wafatnya Nabi saw maka Allah memberikan ilham kepada Khulafaurrasyidin untuk melakukan itu, sebagai bukti terhadap janji Allah untuk memelihara kitab-Nya pada umat ini. Maka sebagai permulaannya adalah ada ditangan Abu Bakar ash-Shiddiq atas usulan Umar bin Khattab.

Adapun riwayat yang dikeluarkan oleh Imam Muslim dari Hadits Abu Sa’id Al-Khudri yang berkata: Rasulullah saw bersabda, “Laa taktubuu ‘annii syai’an ghairal Qur’an...,” ini tidak bertentangan dengan hal di atas, karena perintah untuk menulis memiliki penulisan secara khusus dengan cara yang khusus pula. Al-Qur’an telah ditulis semuanya pada masa Rasulullah saw, tetapi belum dihimpin dalam satu mushaf dan belum terangkai surat-suratnya secara berurutan.

Imam Al-Hakim di dalam kitabnya, Al-Mustadrak, mengatakan, “Al-Qur’an telah dihimpun (ditulis) dalam tiga tahapan sebagai berikut: Penulisan Al-Qur’an pada masa Rasulullah, penulisan Al-Qur’an pada masa Abu Bakar, dan penulisan Al-Qur’an pada masa Utsman bin Affan yang akan dibahas pada pembahasan berikut[1].


BAB II

PEMBAHASAN

A.  Kodifikasi Al-Qur’an Zaman Rasulullah

Al-Qur’an diturunkan secara berangsur-angsur berupa beberapa ayat dari sebuah atau berupa sebuah surat yang pendek secara lengkap. Dan penyampaian Al-Qur’an secara keseluruhan memakan waktu kurang lebih 23 tahun, yakni 13 tahun waktu Nabi masih tinggal di Mekkah sebelum hijriyah dan 10 tahun waktu Nabi sesudah hijrah ke Madinah.

Wahyu ilahi yang diturunkan sebelum hijrah tersebut disebut ayat Makiyah merupakan 19/30 dari Al-Qur’an, surat dan ayat-ayatnya pendek-pendek dan gaya bahasanya singkat padat (ijaz), karena sasaran yang pertama-tama dan utama pada periode Mekkah ini adalah orang-orang Arab asli (suku Quraisy dan suku-suku Arab lainnya) yang sudah tentu mereka paham benar akan bahasa Arab. Mengenai isi surat ayat Makkiyah pada pada umumnya berupa ajakan/seruan untuk bertauhid yang murni atau Ketuhanan Yang Maha Esa secara murni dan juga pembinaan mental dan akhlak.

Adapun wahyu ilahi yang diturunkan sesudah hijrah disebut surat/ayat Madaniyah dan merupakan 11/30 dari Al-Qur’an. Surat dan ayat-ayatnya panjang-panjang dan gaya bahasaya panjang lebar dan lebih jelas, karena sasarannya bukan hanya orang-orang Arab asli, melainkan juga non Arab dari berbagai bangsa yang telah mulai banyak masuk Islam dan sudah tentu mereka kurang/belum menguasai bahasa Arab. Mengenai isi surat-surat/ayat-ayat Madaniyah pada umumnya berupa norma-norma hukum untuk pembentukan dan pembinaan suatu masyarakat/umat Islam dan negara yang adil dan makmur yang diridhai Allah SWT.[2]

Al-Qur’an mulai diturunkan kepada Nabi Muhammad pada malam Qadar tanggal 17 Ramadhan pada waktu Nabi telah berusia 41 tahun bertepatan dengan tanggal 6 Agustus 610 M. Wahyu yang pertama-tama diterima oleh Nabi adalah ayat 1-5 surat Al-‘Alaq, pada waktu Nabi sedang berada di gua Hira, sedang wahyu yang terakhir adalah surat Al-Maidah: 3, pada waktu Nabi sedang berwukuf di Arafah melakukan Haji Wada’ pada tanggal 9 Djulhijjah tahun kesepuluh Hijriyah 7 Maret 632 M. Antara wahyu pertama dan wahyu terakhir yang diterima Nabi berselang kurang lebih 23 tahun.[3]

Pada masa Nabi, setiap wahyu yang turun, satu ayat atau lebih, terlebih dahulu Nabi Muhammad memahami dan menghafalkannya, kemudian disampaikan dan diajarkan kepada para sahabatnya pesis seperti apa yang diterimanya, tanpa ada perubahan dan penggantian sedikitpun. Selanjutnya Rasulullah menganjurkan kepada para sahabat yang telah menerima ayat-ayat itu untuk menghafalkannya dan meneruskannya pula kepada para pengikutnya.

Selain itu wahyu tersebut ditulis dan dicatat oleh dewan penulis wahyu yang disebut Khuttab al-Wahy yang telah dibentuk oleh Rasulullah.Mereka ini terdiri dari para sahabat yang telah dapat menulis dan membaca, baik dari golongan Muhajirin ataupun Anshar, baik ketika masih berada di Mekkah maupun di Madinah. Para penulis wahyu tersebut tersebut ialah Abu Bakar Ash-Shiddiq, Umar bin Khattab, Usman bin Affan, Ali bin Abi Thalib, Amir bin Fuhairah, Amer bin Al-‘Ash, Muawiyah bin Abi Sufyan, Yazid bin Abi Sufyan, Al-Mughirah bin Syu’bah, Zubair bin Al-‘Awwam, Khalid bin Walid, Al-‘Ala Al-Hadhramiy, Muhammad bin Salamah, Ubay bin Ka’ab, Zaid bin Tsabit dan Tsabit bin Qais ibn Syammas. Para penulis wahyu ini menurut orientalis Blacherc dalam kutipannya Masyfuk Zuhdi berjumlah 40 oarang, demikian pula Maulana Muhammad Ali menurut kutipan Rif’at Syauqi dan Muhammad Ali Hasan menyebutkan sejumlah itu.[4]

Alat-alat yang mereka gunakan kalau tidak dikatakan primitif masih sangat sederhana.Para sahabat menulis Al-Qur’an pada ‘usub (pelapah kurma), likhaf (batu halus berwarna putih), riqa’ (kulit), aktaf (tulang unta), dan aqtab (bantalan dari kayu yang biasa dipasang di atas punggung unta). Salah seorang “jurnalis” wahyu yang mendapat kepercayaan dari Rasulullah, yaitu Zaid bin Tsabit menuturkan pengalamannya dalam riwayat Al-Bukhari sebagai berikut: “Dahulu kami di sisi Rasulullah menyusun Al-Qur’an dari riqa’. Aku mengumpulkannya dari riqa’, aktaf  (tulang unta) dan hafalan-hafalan orang”.

Untuk menghindari kerancuan akibat bercampuraduknya ayat-ayat Al-Qur’an dengan lainnya, misalnya hadis Rasulullah, maka beliau tidak membenarkan seorang sahabat menulis apapun selain Al-Qur’an. Hal ini bisa dilihat dari hadis riwayat Muslim dari Abi Sa’id Al-Khudriy yang berbunyi:

لاتكتبوا عني غير القران ومن كتب عني غير القران فليمحه (رواه مسلم)  

Janganlah kalian tulis dariku sesuatu kecuali Al-Qur’an.Barangsiapa yang telah menulis dari (sumberku) selain Al-Qur’an supaya menghapusnya.

Larangan Rasulullah untuk tidak menuliskan selain Al-Qur’an ini, oleh Dr. Adnan Muhammad Zarzur dipahami sebagai suatu usaha yang sungguh-sungguh untuk menjamin nilai-nilai akurasi AL-Qur’an. (Ulumul Qur’an, Madkhul ila Tafsir Al-Qur’an wa Bayan I’jazihi, hal 86). Setiap kali turun ayat Al-Qur’an Rasulullah memanggil “jurnalis” wahyu. Hal ini bisa disimak pada hadis riwayat Imam Ahmad yang dinyatakan shahih oleh Ibn Hibban dan Al-Hakim, dari Abdullahbin Abbas, dari Utsman bin Affan.[5]

Kepada para penulis wahyu ini Rasul menunjuk letak masing-masing ayat yang akan mereka tuliskan, yaitu di dalam surat mana, sebelum atau sesudah ayat mana. Hal ini disebabkan susunan ayat itu tidak kronologis, sebab kebanyakan surat tidaklah diturunkan sekaligus komplit. Seringkali suatu surat belum selesai diturunkan semua ayat-ayatnya telah disusuli pula oleh surat-surat lainnya, sehingga apabila turun, Rasulullah lalu menunjukkan letak ayat itu. Apabila suatu surah telah lengkap diturunkan semua ayat-ayatnya Rasulullah lalu memberikan nama untuk surat itu, dan untuk memisahkan antara suatu surat dengan surat sebelumnya atau sesudahnya, Rasulullah menyuruh letakkan lafazh basmalah pada awal masing-masing surat itu. Tertib urut ayat-ayat dalam masing-masing surat itu dikokohkan pula oleh Nabi sendiri dengan bacaan-bacaannya dalam waktu shalat ataupun di luar shalat.[6]

Diriwayatkan dari Zaid bin Tsabit ra, ia berkata:

كنا عند رسول الله نؤلف القران من الرقاع

Kami di sisi Rasulullah saw mengumpulkan Al-Qur’an dari kulit.

Maksudnya mengumpulkan Al-Qur’an dengan mengurutkan ayat-ayatnya, sesuai dengan petunjuk Rasululllah saw dan perintah (wahyu) dari Allah swt. Oleh sebab itu, para ulama bersepakat bahwa pengumpulan AL-Qur’an adalah bersifat “tauqifi”.Yaitu bahwa urutannya sedemikian rupa seperti yang kita lihat saat ini, adalah berdasarkan perintah dari wahyu Allah swt.

Telah diceritakan bahwa Jibril as turun membawa satu atau beberapa ayat kepada Nabi saw. Ia berkata kepada beliau: “Hai Muhammad! Allah swt memerintahkan kepadamu supaya kamu meletakkan ayat ini pada permulaan ini dari sudut ini.” Demikian pula Rasulullah saw berkata kepada para sahabat: “Letakkan ayat itu pada tempat ini.”[7]

Untuk memperhebat dan memperlancar penulisan Al-Qur’an Rasulullah menggerakkan kaum muslimin untuk memberantas buta huruf. Berbagai cara dan usaha telah dilakukan Rasulullah dalam hal ini, antara lain sebagai berikut:

1. Memberikan penghormatan dan penghargaan yang tinggi kepada orang-orang yang telah pandai menulis dan membaca.

Rasulullah saw bersabda:

يوزن يوم القيامة مداد العلماء بدم الشهداء

Pada hari kiamat tinta para ulama ditimbang dengan darah para syuhada.

Berdasarkan hadis ini berarti orang-orang yang pandai tulis baca ditempatkan sederajat dengan para pahlawan yang mati syahid di medan pertempuran.

2. Rasulullah menggunakan tenaga para tawanan perang dalam usaha pemberantasan buta huruf.

3. Setiap kali ayat-ayat turun, Rasulullah menyampaikannya kepada para sahabat dan menyuruh mereka menghafalkannya.[8]

Mengenai penulisan Al-qur’an di masa Rasulullah, dapat disimpulkan hal-hal sebagai berikut:

1. Tadwin Al-Qur’an, telah terjadi pada masa Rasulullah, yaitu bahwa semua Al-Qur’an itu telah dituliskan dan telah tersusun berdasarkan petunjuk Rasul, walaupun sutat-suratnya belum tersusun seperti apa yang dilihat sekarang ini dan tulisan-tulisannya belum terhimpun dalam satu kesatuan yang terdiri dari benda-benda yang seragam, baik bahannya maupun ukurannya.

Al-Suyuti mengatakan:

وقد كان القران كتب كله في عهد رسول الله صلي الله عليه وسلم لكن غير مجموع في موضع واحد ولا مرتب السور

Al-Qur’an betul-betul talah ditulis seluruhnya (dengan lengkap) pada masa Rasulullah saw, hanya saja belum terhimpun dalam satu bahan yang seragam dan surat-suratnya pun belum tersusun urut (seperti yang dapat dilihat sekarang ini).

2. Kegiatan-kegiatan dalam mentadwinkan Al-Qur’an di masa Rasulullah itu menurut yang diterangkan oleh riwayat-riwayat adalah terjadi dalam periode yang kedua, yaitu periode Madaniy, sedang dalam periode pertama belumlah begitu tampak, walaupun telah ada juga lembaran-lembaran yang bertuliskan ayat-ayat Al-Qur’an itu.[9]

Jadi setiap kali menerima wahyu Al-Qur’an, kata Ibnu Katsir ketika menjelaskan pengertian ayat 16-20 surah Al-Qiyamah, ada tiga tahap penting yang dilalui Rasulullah, yaitu:

Pertama, tahap penghimpunan Al-Qur’an dibentuk Rasulullah yakni penghafalan.

Kedua, tahap pembacaan ayat-ayat Al-Qur’an. Artinya Jibril membacakan ayat-ayat yang baru saja ia sampaikan di hadapan Raulullah.

Ketiga, tahap penjelasan atau tahap bayan.Pada tahap yang terakhir ini Rasulullah diberitahukan pengertian atau maksud ayat yang beliau terima.[10]

Suhuf Al-Qur’an yang disimpan di rumah Nabi dan diperkuat  dengan nasakh-nasakh Qur’an yang dibuat oleh para penulis wahyu untuk pribadi masing-masing serta ditunjang oleh hafalan para sahabat yang hafidz Al-Qur’an yang tidak sedikit jumlahnya, maka semuanya itu dapat menjamin Al-Qur’an tetap terpelihara secara lengkap dan murni, sesuai dengan janji Allah swt dalam surat Al-Hijr: 9, yang artinya: “Sesungguhnya Aku telah menurunkan peringatan (Al-Qur’an) dan sesungguhnya Aku telah memeliharanya/mengamankannya”.[11]


B.  Kodifikasi Al-Qur’an Zaman Khalifah Abu Bakar Al-Siddiq

Al-Qur’an telah selesai diturunkan semuanya pada tanggal 19 Dzulhijjah tahun ke-10 H, yaitu dengan turunnya ayat yang terakhir di Arafah ketika Rasulullah mengerjakan Haji Wada’, kira-kira 81 malam sebelum wafatnya.

Setelah Rasul wafat, timbullah kekacauan di Jazirah Arab, karena beberapa orang dari pemimpin qibalah mengadakan pemberontakan.Mereka berusaha mempengaruhi rakyat supaya turut pula dalam pemberontakan itu. Tujuannya pemberontakan ini bermacam-macam, antara lain:

1.  Karena ingin membebaskan diri mereka dari tuntutan-tuntutan agama Islam.

2. Di antara mereka ada yang ingin mendapatkan kekuasaan dan pengaruh. Mereka ini adalah Musailamah Al-Kadzdzab dari suku Bani Hanifah di Yamamah, Sajah dari suku Bani Taghlab dan Tamim, Thulaihah ibn Khuwailid dari suku Bani As’ad, dan Al-Aswad Al-Anasi di Yamah.

3. Orang-orang yang hanya ke luar dari agama Islam tapi tidak mengadakan tindakan-tindakan lain yang bersifat memusuhi Islam dan kaum Muslimin.[12]

Untuk memadamkan pemberontakan ini, maka khalifah Abu Bakar yang baru saja terpilih sesudah wafat Rasulullah, membentuk 11 pasukan tentara yang masing-masing dipimpin oleh seorang amir (panglima), antara lain Khalid ibn Walid. Tapi walaupun demikian tidaklah sedikit korban yang jatuh.360 orang dari golongan Anshar dan 300 orang dari golongan Muhajirin, termasuk di dalamnya 70 para qurra.Pertempuran di Yamamah ini mencemaskan pemimpin Islam di Madinah, terutama Umar ibn Khattab.Ia khawatir kalau-kalau pertempuran semacam itu terjadi lagi ditempat lain yang mengakibatkan pula gugurnya para qurra. Hal ini akan mengakibatkan habisnya secara berangsur-angsur orang yang hafal Qur’an. Kalau ini benar-benar terjadi demikian, niscaya Al-Qur’an tidak akan lagi terpelihara dengan semestinya. Ini disebabkan karena yang menjadi faktor pertama di masa itu dalam memelihara Al-Qur’an ialah hafalan mereka.Umar lalu mengusulkan kepada Abu Bakar supaya mengeluarkan perintah untuk mengumpulkan Al-Qur’an itu. Pada mulanya terjadi perbedaan pendapat, Umar di satu pihak dan Abu Bakar dan Zaid di pihak lain. Akhirnya setelah diadakan musyawarah dan menugaskan kepada Zaid untuk melaksanakan pengumpulan Al-Qur’an itu.Tugas ini dilaksanakan oleh Zaid dengan sangat teliti.[13]

Zaid sangat hati-hati dalam menjalankan tugas ini, sekalipun ia seorang penulis wahyu yang utama dan hafal Al-Qur’an. Ia dalam menjalankan tugasnya berpegangan dengan dua hal, yaitu:

1.      Ayat-ayat Al-Qur’an yang ditulis di hadapan Nabi dan disimpan di rumah Nabi.

2.      Ayat-ayat yang dihafal oleh para sahabat yang hafidz Al-Qur’an.

Zaid tidak mau menerima tulisan ayat-ayat Al-Qur’an, kecuali kalau disaksikan dengan dua orang saksi yang adil bahwa ayat itu benar-benar ditulis di hadapan Nabi atas perintah/petunjuknya.

Tugas menghimpun Al-Qur’an itu dapat dilaksanakan oleh Zaid dalam waktu kurang lebih 1 tahun, yakni antara sesudah terjadi perang Yamamah dan sebelum wafatnya Abu Bakar.[14]

Al-Qur’an itu bukan saja dari tulisan-tulisan yang telah ada pada lembaran-lembaran yang telah disebutkan di atas, bahkan juga didengarkan pula dari mulut orang-orang yang hafal Al-Qur’an, kemudian dituliskan kembali pada lembaran-lembaran yang baru, dengan susunan ayat-ayatnya tetapi seperti yang ditunjukkan Rasulullah. Lembaran-lembaran ini kemudian diikat menjadi satu, lalu diberi namaMushhaf, dan disimpan sendiri oleh khalifah Abu Bakar, kemudian oleh khalifah Umar.

Maka faedah yang nyata dalam pengumpulan Al-Qur’an di masa Abu Bakar ini ialah bahwa Al-Qur’an itu terkumpul di dalam satu mushhaf yang terbuat dari lembaran-lembaran yang seragam, baik bahannya maupun ukurannya, dan ayat-ayatnya tetap tersusun sesuai yang telah ditunjukkan Rasulullah. Adanya mushhasf ini telah dapat menentramkan hati kaum muslimin, bahwa Al-Qur’an itu akan lebih terpelihara, dapat dihindarkan dari bahaya penambahan, pengurangan atau pemalsuan atau kehilangan sebagian ayat-ayatnya. Mushhaf ini disimpan oleh khalifah Abu Bakar sendiri.[15]

Lembaran-lembaran AlQur’an yang dikumpulakn menjadi satu mushhaf pada zaman Abu Bakar mempunyai beberapa segi kelebihan yang amat penting:

1.      Penelitian yang sangat berhati-hati, detail, cermat dan sempurna.

2.      Yang ditulis pada mushhaf hanya ayat yang sudah jelas tidak di nasakh bacaannya.

3.      Telah menjadi ilma’ umat secara mutawatir bahwa yang tercatat itu adalah ayat-ayat Al-Qur’an.

4.      Mushhaf itu memiliki Qira-ah Sab’ah yang dinuqil secara shahih.[16]

Tidak syak, ketiga tokohyang disebut di atas berperan penting dalam pengumpulan Al-Qur’an.Umar yang terkenal dengan terobosan-terobosan jitunya menjadi pencetus ide.Ini tentu punya arti tersendiri. Dan Zaid sudah barang tentu mendapat kehormatan besar, karena ia dipercaya menghimpun Kitab Suci Al-Qur’an yang memerlukan kejujuran, kecermatan dan ketelitian juga kerja keras. Tak bisa disangkal dalam hal ini khalifah Abu Bakar sebagai decision maker menduduki posisi tersendiri. Tak berlebihan bial Ali bin Abi Thalib memujinya dengan mengatakan: ”Orang yang paling besar pahalanya di dalam masalah mushhaf adalah Abu Bakar. Dialah orang yang pertama yang (mengambil keputusan) mengumpulkan kitab Allah”.[17]


C.    Kodifikasi Al-Qur’an Zaman Khalifah Usman bin Affan

Latar belakang pengumpulan Al-Qur’an pada masa Usman tidak sebagaimana mestinya, sebab yang melatarbelakangi pengumpulan Al-Qur’an pada masa Abu Bakar.Pada masa Usman ini Islam telah tersebar luas. Kaum muslimin hidup berpencar diberbagai penjuru kota maupun pelosok. Di setiap kampung terkenal qira’ah sahabat yang mengajarkan Al-Qur’an kepada penduduk kampung itu. Penduduk Syam memakai qira’ah Ubai bin Kaab. Penduduk Kufah memakai qira’ah Abdullah bin Mas’ud, yang lainnya lagi memakai qira’ah Abu Musa Al-Asy’ari. Maka tidak diragukan lagi timbul perbedaan bentuk qira’ah dikalangan mereka, sehingga membawa kepada pertentangan dan perpecahan di antara mereka sendiri. Bahkan terjadi sebagian mereka mengkafirkan sebagian yang lain, disebabkan perbedaan qira’ah tersebut.[18]

Perbedaan tersebut ialah:

1.   Perbedaan mengenai susunan surat. Naskah-naskah yang mereka miliki itu tidak sama susunan atau tertib urut surat-suratnya. Hal ini disebabkan karena Rasulullah sendiri memang tidak memerintahkan supaya surat-surat Al-Qur’an itu disusun menurut tertib umat tertentu, karena masing-masing surat itu pada hakikatnya adalah berdiri sendiri, seingga seolah-olah Al-Qur’an itu terdiri dari 114 kitab. Rasulullah hanya menetapkan tertib urut ayat dalam masing-masing surat itu.

2.  Perbedaan mengenai bacaan. Asal mula pertikaian bacaan ini adalah karena Rasulullah sendiri memang memberikan kelonggaran kepada qabilah-qabilah Islam di Jazirah Arab untuk membaca dan melafadzkan ayat-ayat Al-Qur’an itu menurut dealek mereka masing-masing. Kelonggaran ini diberikan oleh Rasulullah agar mudah bagi mereka untuk membaca dan menghafalkan Al-Qur’an itu, tetapi kemudian kelihatanlah tanda-tanda bahwa pertikaian tentang qiraat itu, kalau dibiarkan berlangsung terus, tentu akan mendatangkan perpecahan yang lebih luas dikalangan kaum kuslimin, terutama karena masing-masing qabilah menganggap bahwa bacaan merekalah yang paling baik dan ejaan merekalah yang paling betul. Lebih berbahaya lagi apabila mereka menuliskan ayat-ayat itu dengan ejaan yang sesuai dengan dealek mereka masing-masing.[19]

Orang yang mula-mula mensinyalir dan menumpahkan perhatian kepada keadaan ini ialah seorang sahabat bernama Hudzaifah Al-Yamani.Ia ikut dalam pertempuran, ketika kaum muslimin menaklukkan Armenia dan Azarbaijan. Di dalam perjalanan ia pernah mendengar perbedaan qiraat kaum muslimin, bahkan ia pernah menyaksikan dua orang muslim sedang bertengkar mengenai bacaan tersebut, di mana yang seorang berkata kepada yang lain:قراءتي أحسن من قراءتك ”Bacaanku lebih baik dari pada bacaanmu”. Hudzaifah merasa khawatir melihat kenyataan ini, sebab itu ketika ia kembali ke Madinah, ia menghadap khalifah Usman dan melaporkan apa-apa yang telah dilihat dan didengarnya. Mengenai perbedaan qiraat itu Hudzaifah berkata (Al-Suyuti, I, 1979:61):

أدرك  الآ مة قبل أن يختلفوا إختلاف اليهود و النصاري

Tertibkanlah umat, sebelum mereka berselisih seperti perselisihannya orang-orang Yahudi dan Nasrani.

Usul Hudzaifah ini diterima khalifah Usman.[20] Itulah sebabnya, Usman kemudian berpikir dan merencanakan untuk membendung sebelum kegilaan itu meluas. Beliau akan mengusir penyakit sebelum kesulitan mencari obat. Kemudian beliau mengumpulkan para sahabat yang alim dan jenius serta mereka yang terkenal pandai memadamkan dan meredakan fitnah dan persengketaan itu.

Usman ra telah melaksanakan ketetapan yang bijaksana ini.Beliau memilih empat orang tokoh handal dari sahabat pilihan. Mereka adalah Zaid bin Tsabit, Abdullah bin Zubair, Sa’ad bin ‘Ash dan Abdurrahman bin Hisyam. Mereka dari suku Quraisy golongan Muhajirin, kecuali Zaid, ia dari golongan Anshar. Usaha yang amat mulia ini berlangsung pada tahun 24 H.[21]

Tugas panitia ini ialah membukukan Al-Qur’an, yaitu menuliskan atau menyalin kembali ayat-ayat Al-Qur’an itu dari lembaran-lembaran yang telah ditulis pada masa Abu Bakar, sehingga menjadi mushhaf yang lebih sempurna yang akan dijadikan standar bagi seluruh kaum muslimin sebagai sumber bacaan dan hafalan mereka.

Kepada panitia ini khalifah Usman memberikan patokan-patokan sebagai berikut:

1.  Supaya panita itu berpedoman kepada bacaan orang-orang yang hafal Al-Qur’an, di samping tulisan-tulisan yang ada pada mushhaf Abu Bakar.

2.  Jika terjadi pertikaian, antara panitia itu sendiri tentang bacaan Al-Qur’an, maka panitia hendaklah menuliskannya menurut dealek suku Quraisy, karena Al-Qur’an itu diturunkan menurut dealek mereka.

Setelah panitia itu selesai mengerjakan tugasnya, maka naskah yang dipinjam dari Hafsah dikembalikan kepadanya.Kemudian Usman memerintahkan untuk mengumpulkan dan membakar semua lembaran-lembaran yang bertuliskan ayat-ayat Al-Qur’an, selain dari lembaran-lembaran yang ada pada mushhaf, dan naskah-naskah yang baru ditulis oleh panitia.Panitia tersebut menulis sebanyak 5 buah mushhaf.4 buah di antaranya dikirimkan ke daerah-daerah, yaitu Mekkah, Syiria, Basrah, Kufah, dan yang satu lagi tetap di Madinah untuk khalifah Usman.Inilah yang dinamakan mushhaf Usman atau mushhaf Al-Imam.[22]

Kini tinggal satu lagi usaha, yaitu membakar mushhaf lainnya.Ia khawatir, kalau-kalau mushhaf yang bukan salinan “Panitia Empat” itu tetap beredar. Padahal pada mushhaf-mushaf yang peredarannya dikhawatirkan itu terdapat kalimat yang bukan Al-Qur’an.Karena merupakan catatan khusus sahabat-sahabat tertentu.Di situ terdapat juga beberapa kalimat yang merupakan tafsiran dan bukan Kalam Allah.

Usman memutuskan agar mushhaf-mushhaf yang beredar adalah mushhaf yang memenuhi persyaratan berikut:

1.   Harus terbukti mutawatir, tidak ditulis berdasarkan riwayat ahad.

2.  Mengabaikan ayat yang bacaannya dinasakh dan ayat tersebut tidak diyakini dibaca kembali di hadapan Nabi pada saat-saat terakhir.

3.  Kronologi surah dan ayat seperti yang dikenal sekarang ini, berbeda dengan mushhaf Abu Bakar yang susunan surahnya berbeda dengan mushhaf Usman.

4.  Sistem penulisan yang digunakan  mushhaf mampu mencakupi qiraat yang berbeda sesuai dengan lafadz-lafadz Al-Qur’an ketika turun.

5.  Semua yang bukan termasuk Al-Qur’an dihilangkan. Misalnya yang ditulis dimushhaf sebagian sahabat, di mana mereka juga menulis makna ayat di dalam mushhaf, atau penjelasan Nasikh-Mansukh.[23]

Adapun manfaat dari usaha penulisan kembali Al-Qur’an di masa khalifah Usman ini, di antaranya:

1.   Kaum muslimin telah dapat disatukan dalam mushhaf-mushhaf yang seragam ejaan tulisannya.

2.  Mereka juga dapat disatukan pada qiraat yang sama yang tidak menyalahi ejaan tulisan pada mushhaf itu,  walaupun setelah wafatnya khalifah Usman sampai sekarang ini masih tetap ada bermacam-macam qiraat, namun qiraat-qiraat itu adalah yang telah diakui kebenarannya dan diriwayatkan dengan mutawatir dari Rasulullah, dan tidak pula berlawanan dengan ejaan tulisan pada mushhaf Usman itu. Adapun qiraat-qiraat yang tidak sesuai dengan ejaan tulisan itu telah dapat dilenyapkan.

3.  Kaum muslimin dapat pula disatukan mengenai susunan surat pada mushhaf-mushhaf mereka. Dengan demikian dapatlah dihindarkan bahaya yang lebih besar, sebab kalau susunan mushhaf itu tidak seragam di mana-mana tentulah akan timbul keragu-raguan pada generasi yang akan datang kemudian tentang kebenaran Al-Qur’an itu.

4.   Dengan adanya 5 buah nushhaf yang resmi itu, maka kaum muslimin telah mempunyai standar yang akan menjadi pedoman mereka dalam membaca, menghafal dan memperbanyak mushhaf-mushhaf Al-Qur’an itu, sehingga penyiaran dan pemeliharaan Al-Quran itu lebih baik dan lebih terjamin keasliannya.[24]


D.    Persamaan dan Perbedaan Proses Kodifikasi

Pengumpulan Al-Qur’an oleh Abu Bakar berbeda dengan yang dilakukan oleh Usman.Dari uraian di atas kita dapat membedakan yang dilakukan oleh kedua khalifah itu.

Pengumpulan Al-Qur’an pada masa Abu Bakar adalah memindahkan ayat-ayat Al-Qur’an dari pelapah kurma, kulit, dan daun ke dalam satu mushhaf.Sementara sebab pengumpulannya adalah karena gugurnya para huffadzh.Sedang pengumpulan Al-Qur’an pada masa Usman adalah sekedar memperbanyak salinan mushhaf yang telah dikumpulkan pada masa Abu Bakar untuk dikirimkan ke berbagai wilayah Islam.Adapun sebab pengumpulan Al-Qur’an adalah terjadinya perbedaan qiraah dalam membaca Al-Qur’an.Wallahu A’lam Bishshawab.[25]

Baca juga artikel yang lain:

  1. Urgensi Pengantar Studi Islam
  2. Etika Politik dan Nilai Pancasila Sebagai Sumber Politik
  3. Qira’atul Qur’an
  4. Perbedaan dan Persamaan Mekanisme Takhsis dan Taqyid
  5. Perkembangan Ilmu Al-Qur’an Abad ke-4 sampai Modern
  6. Kodifikasi Al-Qur'an
  7. Study Al-Qur'an : ‘Aam dan Khas
  8. Muhkam dan Mutasyabih
  9. Mafhum Mukhalafah
  10. Mantuq dan Mafhum
  11. I'jazul Qur'an
  12. Nasikh dan Mansukh

BAB III

PENUTUP

Kesimpulan

Adapun kesimpulan yang dapat kita ambil dari penjelasan di atas yaitu:

1.  Pengumpulan Al-Qur’an pada masa Rasulullah, yaitu bahwa semua Al-Qur’an itu telah dituliskan dan telah tersusun berdasarkan petunjuk Rasul, walaupun sutat-suratnya belum tersusun seperti apa yang dilihat sekarang ini dan tulisan-tulisannya belum terhimpun dalam satu kesatuan yang terdiri dari benda-benda yang seragam, baik bahannya maupun ukurannya.

2.  Pengumpulan Al-Qur’an di masa Abu Bakar ini ialah bahwa Al-Qur’an itu terkumpul di dalam satu mushhaf yang terbuat dari lembaran-lembaran yang seragam, baik bahannya maupun ukurannya, dan ayat-ayatnya tetap tersusun sesuai yang telah ditunjukkan Rasulullah.

3.  Pengumpulan AL-Qur’an pada masa Usman bin Affan adalah menyeragamkan bacaan Al-Qur’an dengan jalan menyeragamkan penulisannya kemudian membukukannya dengan menyalinkan kembali ayat-ayat Al-Qur’an yang sudah  ditulis pada masa Abu Bakar, sehingga menjadi mushhaf yang lebih sempurna yang akan dijadikan standar bagi seluruh kaum muslimin sebagai sumber bacaan dan hafalan lalu diperbanyak dan dikirimkan ke daerah-daerah.


http://nurulhusnayusuf-makalahku.blogspot.co.id/2011/04/sejarah-kodifikasi

[1] Imam Suyuthi. Studi Al-Qur’an Komprehensif.(Surakarta: Indiva Pustaka, 2008) hlm 243-244 YGQ

[2]Masjfuk Zuhdi. Pengantar Ulumul Qur’an.(Surabaya: PT Bina Ilmu, 1980) hlm 13-14

[3]Ibid.

[4]A. Chairudji Abd. Chalik.Ulumul Qur’an. (Jakarta: Diadit Media, 2007) hlm 47-48

[5]Kamaluddin Marzuki. Ulum Al-Qur’an (Bandung: Remaja Rosdakarya, 1994) hlm 67-68

[6]A. Chairudji Abd. Chalik.Op.cit. hlm 49

[7]M. Qodirun Nur. Ikhtisar Ulumul Qur’an Praktis.(Jakarta: Pustaka Amani, 2001) hlm 80

[8]Chairudji Abd.Chalik.Op.cit. hlm 50-51

[9]Ibid. hlm 53-54

[10]Kamaluddin Marzuki. Loc.cit. hlm 62-63

[11]Masjfuk Zuhdi. Loc.cit. hlm 16

[12]Chairudji Abd.Chalik.Loc.cit. hlm 54-56

[13]Ibid.

[14]Masjfuk Zuhdi. Op.cit. hlm 16-17

[15]Chairudji Abd.Chalik.Op.cit. hlm 56-58

[16]M. Qodirun Nur. Loc.cit. hlm 86

[17]Kamaluddin Marzuki. Loc.cit. hlm 69-70

[18]M. Qodirun Nur. Op.cit. hlm 89

[19]Chairudji Abd.Chalik. Loc.cit. hlm 60-62

[20]Ibid.

[21]M. Qodirun Nur. Op.cit. hlm 90

[22]Chairudji Abd.Chalik. Op.cit. hlm 62-63

[23]Kamaluddin Marzuki. Loc.cit. hlm 76

[24]Chairudji Abd.Chalik. Op.cit. hlm 64-65

[25]M. Qodirun Nur. Loc.cit. hlm 91-92

Perkembangan Ilmu Al-Qur’an Abad ke-4 sampai Modern

DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR .....................................................................

DAFTAR ISI ..................................................................................

BAB I PENDAHULUAN

A.  Latar Belakang ..........................................................................

B.  Rumusan Masalah  ....................................................................

C.  Tujuan Pembahasan ..................................................................

BAB II PEMBAHASAN

A. Perkembangan Ilmu Al-Qur’an Abad ke-4 ..............................

B. Perkembangan Ilmu Al-Qur’an Abad ke-5

C. Perkembangan Ilmu Al-Qur’an Abad ke-6 dan Seterusnya ..

D. Perkembangan Ilmu Al-Qur’an Zaman Modern ....................

BAB III PENUTUP

A. Kesimpulan .................................................................................

DAFTAR PUSTAKA

 

BAB I PENDAHULUAN

A. LATAR BELAKANG

Al-Qur‟an  adalah  kalam   dan  wahyu  Allah (QS. Asy-Syu‟Ara;2), kitab  suic  bagi umat islam, tidak ada keraguan di  dalamnya  (QS.  Al-Baqarah;2). Diturunkan  kepada nabi Muhammad melalui malaikat Jibril. Al-Qur;an  merupakan  sumber utama ajaran Islam dan pedoman hidup bagi setiap muslim.


B. RUMUSAN MASALAH

1. Bagaiamana perkembangan Al-Qur‟an pada abad ke-4?

2. Siapa saja ulama Ulumul Qur‟an?

3. Bagaimana perkembangan ilmu Al-Qur‟an pada zaman modern?



C. TUJUAN PEMBAHASAN

1. Mengetahui  sejarah   perkembangan  Al-Qur‟an.

2. Mengetahui ulama-ulama Ulumul Qur‟an.

3. Mengetahui kandungan ayat-ayat Al-Qur‟an  yang  berhubungan  dengan ilmu pengetahuan.

 

BAB II PEMBAHASAN

A. PERKEMBANGAN ILMU AL-QUR‟AN PADA ABAD KE-4

Di abad ke-4 lahir ilmu gharib al-Qur‟an dan beberapa kitab Ulumul Qur‟an. Adapun Ulama ulumul Qur‟an pada masa ini adalah:

1. Abu Bakar Muhammad Ibn al-Qasim al-Anbari, kitabnya ‘Ajaib Ulumul Qur’an.

2. Isi kitab ini tetang keutamaa Al-Qur‟an, turunnya atas tujuh huruf, penulisan mushaf-mushaf, jumkah surah, ayat dan kata-kata Al-Qur‟an.

3. Abu al-Hasan al-„Asy‟ari , kitabnya Al-Mukhtazan fi Ulumul Qur‟an.

4. Abu  Bakar  al-Sijistani, kitabnya  Gharib  al-Qur‟an.

5. Muhammad Ibn Ali al-Afdawi, kitabnya Al-Istighma fi Ulumul Qur‟an.


B. PERKEMBANAGAN  ILMU  AL-QUR‟AN  PADA  ABAD  KE-5

Di abad ke-5 muncul pula tokoh dalam ilmu qiraat. Adapun para tokoh serta karyanya adalah :

1. Ali Ibn Ibrahim Sa‟id al-Hufi, kitabnya Al- Burhan fi Ulumul Qur‟an dan I‟rab Al-Qur‟an.

2. Abu Amr al-Dani, kitabnya Al-Tafsir fi al-Qiraat al-Sab‟I dan Al- Muhkam fi al-Nuqath

3. Al-Mawardi,  kitabnya  tentang  amstal  Qur‟an.[1]


C. PERKEMBNAGAN ILMU AL-QUR‟AN PADA ABAD KE-6 SAMPAI ABAD KE-15

Pada abad ke-6 lahir  pula  ilmu  Mubhamat  al-Qur‟an. Abu  Qasim  Abdur Rahman Al-Suahaili mengarang Mubhamat al-Qur‟an yang menerangkan lafadz-lafadz al-Qur‟an  yang  maksudnya  apa  dan   siapa  tidak  jelas. Ibn  al-Jauzi  menulis  kitab  Funun al-Afnan  Fi „Aja‟ib  al-Qur‟an  dan  kitab  Al-Mujtaba  fi  Ulum  Tata‟allaq  bi  al-Qur‟an.

Pada abad ke-7 Ibn Abd al-Salam yang terkenal dengan sebutan Al‟Izz mengarang  kitab  M ajaz  al-Qur‟an. „Alam  al-Din  al-Sakhawi  mengarang  tentang  Qiraat.

Pada abad ke-8 H muncul beberapa ulama yang menyusun ilmu-ilmu baru tentang  Al-Qur‟an , seperti  Abu  Hasan  al-Mawardi  menyusun  ilmu  amstal  al-Qur‟an. Badruddin al-Zarkasyi, kitabnya Al-Burhan fi Ulum Al-Qur‟an.

Pada abad ke-9 muncul beberapa ulama melanjutkan perkembangan ilmu-ilmu Qur‟an seperti Jalaluddin al-Suyuthi, kitabnya Al-Tahbir fi Ulum al-Tafsir(873 H ). Kitab ini  memuat  102  macam  ilmu-ilmu  al-Qur‟an.

Sejak penghujung abad ke-13 H hingga abad ke-15, perhatian ulama terhadap penyusunan kitab-kitab Ulumul Qur‟an kembali bangkit. Kebangkitan ini sejalan dengan kebangkitan modern perkembangan ilmu-ilmu agama lainnya.Di anatara Ulama yang

menulis tentang Ulumul Qur‟an ialah:

1. Syeikh Thahir Al-Jazairi Al-Qasimi, kitabnya Al-Tibyan li Ba‟dh al- Mabahits Al-Muta‟alliqah bi Al-Qur‟an.

2. Muhammad Jamaluddin Al-Qasimi (1332 H) kitabnya, Mahassin Al- Takwil.

3. Musthafa Shadiq Al-Rafi‟, kitabnya I‟jaz Al-Qur‟an.

4. Muhammad Rasyid, kitabnya Tafsir al-Mannar.

5. T.M. Hasbi Ash-Shiddieqi, kitabnya ilmu-ilmu al-Qur‟an.

6. M.Quraish Shihab, kitabnya membumikan Al-Qur‟an.[2]


D. PERKEMBANGAN ILMU AL-QUR‟AN PADA ZAMAN  MODERN Salah satu hal yang menakjubkan Al-Qur‟an adalah isinya yang sesuai dengan ilmu pengetahuan modern. Saat diturunkan Al-Qur‟an kepada nabi Muhammad saw pada abad ke-7.M. Tidak terbayangkan oleh masyarakat saat  itu  bahwa  Al-Qur‟an  mengandung  ilmu  pengetahuan  modern, setelah terungkapnkannya fakta-fakta ilmiah yang  ditemukan  pada  abad  modern saat ini,bahkan tidak jarang para ilmuwan terkesima dan  seringkali tercengang ketika ditunjukkan kepada mereka betapa terperinci dan akuratnya  uraian  beberapa  ayat suci  Al-Qur‟an.

Albert Einstein mengatakan bahwa “pengetahuan tanpa agama dalah pincang dan agama tanpa pengetahuan adalah buta”.

Sains dan ilmu pengetahuan merupakansalah satu isi pokok kandungan kitab  suci  Al-Qur‟an. Bahkan  kata  „ilm  itu sendiri  disebut  dalam  Al-Qur‟an sebanyak 105 kali,tetapi dengan kata jadiannya, kata „ilm disebut lebih dari   744 kali.

Ilmu pengetahuan atau sains , secara singkat dapat dirumuskan sebagai himpuna pengetahuan manusia yang dikumpulkan melalui suatu proses pengajian dan dapat diterima oleh easio, artinya dapat dinalar.[3]

Pandangan Al-Qur‟an tentang ilmu dan teknologi dapat diketahui prinsip- prinsipnya dari analisi wahyu pertama yang diterima oleh nabi Muhammad saw, yakno Al-Qur‟an surah al-„Alaq ayat 1-5.

Saat ini  ilmu  pengetahuan  justru  menjerumuskan  martabat  kemanusiaan  ke  dalam  jurang kehancuran.Lingkungan ilmu pengetahuan dalam ayat 2 Q.S. al-„Alaq tersebut adalagh manusia dan alam smesta yang mengitarinya, karena keberadaan keduanya saling   bergantung.Turunnya   ayat   Al-Qur‟an   yang   pertama   kali   menunjukkan   betapa besar perhatian Islam terhadap ilmu pengetahuan, sekaligus meruoakab perintah untuk menuntut ilmu pengetahuan dan menekankan pebtibgnya arti proses  pengetahuan,  penelitian, dan uji laborat dalam kehiduoan manusia.

Di dalam Al-Qur‟an terdapat banyak yang membicarakan tentabg ilmu pengetahuan alam. Maurice Buccaille[4] menyebutkan bahwa ada 40 ayat Al-Qur‟an yang membicarakan secara khusus tentang astronomi. Terdapat beberapa fenomena astronomi yang dijelaskan dalam Al-Qur‟an. Seperti teori Big Bang, Langit yang Mengembang, Matahari dan Bulan memiliki Orbit, dan lain sebagainya.

Baca juga artikel yang lain:

  1. Urgensi Pengantar Studi Islam
  2. Etika Politik dan Nilai Pancasila Sebagai Sumber Politik
  3. Qira’atul Qur’an
  4. Perbedaan dan Persamaan Mekanisme Takhsis dan Taqyid
  5. Perkembangan Ilmu Al-Qur’an Abad ke-4 sampai Modern
  6. Kodifikasi Al-Qur'an
  7. Study Al-Qur'an : ‘Aam dan Khas
  8. Muhkam dan Mutasyabih
  9. Mafhum Mukhalafah
  10. Mantuq dan Mafhum
  11. I'jazul Qur'an
  12. Nasikh dan Mansukh

BAB III KESIMPULAN

Di dalam Al-Qur‟an banyak menjelaskan ilmu-ilmu yang berhubungan dengan zaman modern. Dari  tahun  ketahun  perkembangan  ilmu Al-Qur‟an  berkembang  sangat  cepat .

Dan dari uraian di atas dapat dipahami bahwa Ulumul Qur‟an adalah ilmu yang membahas tentang hal yang berhubungan dengan Al-Qur‟an. Pertumbvuhan dan perkembangan ilmu Al-Qur‟an berkembang pesat dalam jangka waktu yang lama.


DAFTAR  PUSTAKA

T.M. Hasbi Ash-Shiddieqi, Sejarah dan pengantar ilmu Al-Qur’an/ Tafsir,(Jakarta: Bulan Bintang, 1980).

A.Baiquni, Islam dan Ilmu Pengetahuan Modern, (Jakarta: Pustaka ITB,1983), 1 Ramli Abdul Wahid,op.cit.,


[1] T.M. Hasbi Ash-Shiddieqi,ilmu-ilmi Al-Qur’an, (Jakarta:Bulan Bintang, 1973.H.14
[2] Ramli Abdul Wahid,op.cit.,
[3] A.Baiquni, Islam dan Ilmu Pengetahuan Modern, (Jakarta: Pustaka ITB,1983), 1
[4] Dalam bukunya Al-Qur’an,Bible dan Sains Moderm

Perbedaan dan Persamaan Mekanisme Takhsis dan Taqyid

A. Pengertian Takhsis

Takhsis adalah mengecualikan sebagian kelompok yang sebenarnya tercakup dalam lafadz ‘amm.  Contoh pada QS Al-Maidah ayat 3:

 وَحُرِمَتْ عَلَيْكُمُ الْمَيْتَةُ وَالدَّمُ وَلَحْمُ الْخِنْزِيْرِ وَمَآ أُهِلَّ لِغَيْرِ اللَّهِ بِهِ وَالْمُنْخَنِقَةُ وَالْمَوْقُوْدَةُ وَالْمُتَرَدِّيَةُ وَالنَّطِيْحَةُ وَمَآ أَكَلَ السَّبُعُ إِلَّا مَا ذَكَّيْتُمْ وَمَا ذُبِحَ عَلَي النُّصُبِ .......... (3)

Artinya: “Diharamkan bagimu (memakan) bangkai, darah, daging babi, (daging hewan) yang disembelih atas nama selain Allah, yang tercekik, yang terpukul, yang jatuh, yang ditanduk, yang diterkam binatang buas, kecuali yang sempat kamu menyembelihnya dan (diharamkan bagimu) yang disembelih untuk berhala”.

Kemudian ayat tersebut ditakhsis dengan hadits nabi yang berbunyi

 أُحِلَّتْ لَنَا مَيْتَتَانِ وَدَمَانِ فَأَمَّا المَيتَتَانِ فَالْحُوثُ وَالجَرَادُ وَأَمَّا الدَّمَانِ فَالْكَبِدُ وَالطِّحَالُ

Artinya: “ Kami dihalalkan dua bangkai dan darah. Adapun dua bangkai tersebut adalah ikan dan belalang. Sedangkan dua darah tersebut adalah hati dan limpa”.(HR. Ibnu Majah no. 3218. Syaikh Al Albani mengatakan bahwa hadits ini shahih). 


B. Macam-Macam Takhsis

1. Takhsis Muttashil

Yaitu mukhasis (dalil yang digunakan untuk mentakhsis) yang tidak berdiri sendiri akan tetapi lafadnya disebutkan bersamaan dengan dalil yang memberikan pengertian umum. Takhsis muttashil ini dibagi menjadi:

a. Istisna’

Contoh QS Al-Ashr ayat 2-3

إِنَّ الإِنْسَانَ لَفِى خُسْرٍ (2) إلاَّالَّذِيْنَ آَمَنُوْا وَعَمِلُوْا الصَّالِحَاتِ (3)

Artinya: “Sesungguhnya manusia itu benar-benar dalam kerugian. Kecuali orang-orang yang beriman dan mengerjakan amal shalih”.

b. Syarat

Contoh QS Al Baqarah ayat 228

.......... وَبُعُوْلَتُهُنَّ أَحَقَّ بِرَدَّهِنَّ فِى ذَلِكَ إِنْ أَرَادُوا إِصْلَاحًا ............ (228)

Artinya: “Dan suami-suami mereka berhak merujuknya dalam masa iddah jika mereka (para suami) menghendaki ishlah (persatuan)”.

c. Sifat

Contoh QS An Nisa’ ayat 23

........... وَرَبَائِبُكُمُ الَّتِى فِى حُجُوْرِكُمُ مِنْ نِسَائِكُمُ الَّتِى دَخَلْتُمْ بِهِنَّ ........... (23)

Artinya: “Maka boleh mengawini budak perempuan yang mu’min”.

d. Badal badllu (menunjukkan arti sebagian)

Contoh QS Ali Imran ayat 97

............. وَلِلَّهِ عَلى النَّاسِ حِجٌّ الْبَيْتِ مَنِ اسْتَطَاعَ إِلَيْهِ سَبِيْلًا ............. (97)

Artinya: “Mengerjakan haji adalah kewajiban manusia terhadap Allah, yaitu bagi orang-orang yang mampu mengadakan perjalanan ke Baitullah”.

e. Ghayah (batasan)

Lafad ghayah ini dibagi menjadi dua yaitu hatta artinya sehingga dan ilaa artinya sampai.

Contoh penggunaan kata hatta dalam QS Al Baqarah ayat 222

........ وَلَا تَقْرَبُوْهُنَّ حَتَّى يَطْهُرْنَ .......... (222)

Artinya: “Janganlah mendekati mereka (istri-istri yang sedang haid) sehingga mereka suci”.

Contoh penggunaan kata ilaa dalam QS Al Baqarah ayat 187

......... ثُمَّ أَتِمُّوْا الصِّيَمَ إلَى اللَّيْلِ ........ (187)

Artinya: “Kemudian sempurnakanlah puasa sampai malam”.


2. Takhsis Munfashil

Yaitu mukhasis (dalil yang digunakan untuk mentakhsis) yang berdiri sendiri maksudnya

terpisah dari dalil yang memberikan pengertian umum. Jadi, lafad ‘amm (umum) merupakan

dalil tersendiri dan mukhasisnya merupakan dalil tersendiri juga.[1]


[1] Moh Riva’I, Ushul Fiqih (Bandung: PT Al Ma’arif, 1970) h.66

a. Ayat Al-Qur’an ditakhsis oleh ayat Al-Qur’an

Contoh QS Al-Baqarah ayat 228

وَالْمُطَلَّقّاتُ يَتَرَبَّصْنَ بِأَنْفُسِهِنَّ ثَلَاثَةَ قُرٌوءٍ ........ (228)

Artinya: “Wanita-wanita yang ditalak hendaklah menahan diri (menunggu) tiga kali quru’”.

Kemudian ayat tersebut ditakhsis dengan QS Ath Thalaq ayat 4

........ وَأُوْلَاتُ الأحْمَالِ أَجَلُهُنَّ أَنْ يَضَعْنَ حَمْلَهُنَّ ....... (4)

Artinya: “Dan perempuan-perempuan yang hamil, waktu iddah mereka itu ialah sampai mereka melahirkan kandungannya”.

b. Ayat Al-Qur’an ditakhsis dengan hadis

Contoh QS An-NIsa’ ayat 11

يٌوْصِيْكُمُاللَّهُ فِى أَوْلَادِكُمْ لِلذَّكَرِ مِثْلُ حَظِّ الأُنْثَيَيْنِ ......... (11)

Artinya: “Allah mensyari’atkan bagimu tentang (pembagian pusaka untuk) anak-anakmu. Yaitu: bagian seorang anak lelaki sama dengan bagian dua orang anak perempuan”.

Kemudian ditakhsis dengan hadis berikut

قَلَ صلى الله عليه وسلم: "لَا يَرِثُ الْمُسْلِمُ الْكَافِرَ وَلَا الْكَافِرُ الْمُسْلِمَ"

Artinya: “Muslim tidak bisa menjadi pewaris harta orang kafir dan orang kafir tidak bisa menjadi pewaris muslim”. (HR. Bukhari)

c. Hadis ditakhsis dengan ayat Al-Qur’an

Contoh hadis berikut

لَا يَقْبَلُ اللهُ صَلَاةَ أَحَدِكُمْ إِذَا أَحْدَثَ حَتَّى يَتَوَضَّأَ 

Artinya: “Allah tidak akan menerima shalat salah seorang diantara kalian yang berhadas sehingga berwudhu”.

Kemudian ditakhsis dengan QS An-Nisa’ ayat 43

....... وَإِنْ كُنْتُمْ مَرضَى أَوْ عَلَى سَفَرٍ أَوْ جَاءَ أَحَدٌ مِنْكُمْ مِنَ الْغَائِطِ أَوْ لَا مَسْتُمُ النِّسَاءَ فَلَمْ تَجِدُوا مَاءً فَتَيَمَّمُوا صَعِيْدًا طَيِّبًا .......... (43)

Artinya: “Jika kamu sakit atau sedang dalam musafir atau datang dari tempat buang air atau kamu telah menyentuh perempuan, kemudian mendapat air maka bertayamumlah kamu dengan tanah yang baik (suci)”.

d. Hadis ditakhsis dengan hadis

Contoh hadis berikut

فِيْمَا سَقَتِ السَّمَاءش العُشُرُ

Artinya: “Segala hasil tanaman yang disirami dengan air hujan maka zakatnya adalah sepersepuluh”.

Kemudian ditakhsis dengan hadis berikut

لَيْسَ فِيْمَا دُونَ خَمْسَةِ أَوْسُقٍ صَدَقَةٌ

Artinya: “Hasil tanaman yang kurang dari wasaq (tidak mencapai nisab) tidak wajib dikeluarkan zakatnya”.

e. Al-Qur’an ditakhsis  dengan ijma’

Contoh QS An-Nur ayat 4

وَالَّذيْنَ يَرْمُوْنَ الْمْصَنَاتِ ثُمَّ لَمْ يَأْتُوا بِأَرْبَعَةِ شُهَدَاءَ فَاجْلِدٌوْهُمْ ثَمَانِيْنَ جَلْدَة ......... (4)

Artinya: “Dan orang-orang yang menuduh wanita-wanita yang baik-baik (berbuat zina) dan mereka tidak mendatangkan empat orang saksi, maka deralah mereka (yang menuduh itu) delapan puluh kali dera”.

Kemudian ditakhsis dengan ijma’ bahwa budak yang melakukan qadzaf didera 40 kali (separuh dari hukuman orang merdeka).


C. Pengertian Taqyid

Taqyid adalah suatu upaya memahami makna ungkapan mutlaq dalam suatu nash dengan menghubungkannya kepada ungkapan muqayyad pada nash lain.[1]


[1] Asmawi, Perbandingan Ushul Fiqih (Jakarta: Amzah, 2011) h.212

Contoh pada QS Al-Mujadalah ayat 4

فَمَنْ لَمْ يَجِدْ فَصِيَامُ شَهْرَيْنِمُتَتَابِعَيْنِ مِنْ قَبْل أَنْ يَتَمَاسَّا ........ (4)

Artinya: “Barangsiapa yang tidak mendapatkan (budak), maka (wajib atasnya) berpuasa dua bulan berturut-turut sebelum keduanya bercampur”.

Baca juga artikel yang lain:

  1. Urgensi Pengantar Studi Islam
  2. Etika Politik dan Nilai Pancasila Sebagai Sumber Politik
  3. Qira’atul Qur’an
  4. Perbedaan dan Persamaan Mekanisme Takhsis dan Taqyid
  5. Perkembangan Ilmu Al-Qur’an Abad ke-4 sampai Modern
  6. Kodifikasi Al-Qur'an
  7. Study Al-Qur'an : ‘Aam dan Khas
  8. Muhkam dan Mutasyabih
  9. Mafhum Mukhalafah
  10. Mantuq dan Mafhum
  11. I'jazul Qur'an
  12. Nasikh dan Mansukh

E. Kesimpulan

Takhsis adalah mengkhususkan sebagian kelompok yang sebenarnya tercakup pada lafadh ‘aam, dan Taqyid adalah suatu upaya memahami makna ungkapan mutlaq dalam suatu nash dengan menghubungkannya kepada ungkapan muqayyad pada nash lain. Dan yang dimaksud ungkapan mutlaq adalah lafadh yang menunjukkan arti sebenarnya dengan tidak batasi oleh sesuatu yang lain, sedangkan muqoyyad adalah lafadh khas yang menunjukkan arti yang sebenarnya dibatasi oleh batasan tertentu. Jadi taqyid merupakan penggabungan ungkapan mutlaq dan muqoyyad pada nash lain yang menghasilkan batasan suatu hukum.

Qira’atul Qur’an

BAB II

PEMBAHASAN

A.  Pengertian Qiraa’atul Qur’an

Bahwa sesungguhnya qiraat adalah jamak dari qira’ah yang berarti ‘bacaan’ dan ia adalah masdar dari qara’ah. Sedangkan Menurut istilah ilmiah qiraat adalah  berbeda dengan mazhab salah satu mazhab (aliran) pengucapan Qur’an yang dipilih oleh salah seorang imam qurra’ sebagai suatu mazhab yang berbeda dengan mazhab lainnya.

Qira’at adalah salah satu madhhab pembacaan al-qur’an yang dipakai oleh salah seorang imam qurra’ sebagai suatu madhhab yang berbeda dengan madhhab lainnya.[1]

Secara istilah ilmu qira’at berarti suatu imam atau pengetahuan yang membahas tentang cara membaca al-qur’an. Sedangkan menurut Muhasyin, qira’at adalah suatu ilmu yang mengkaji tentang cara menuturkan atau menyampaikan kata-kata (kalimat) al-qur’an, baik yang disepakati maupun yang diperbedakan sesuai dengan jalan orang yang menukilkannya.[2]

Qira’at ini ditetapkan berdasarkan sanad-sanadnya sampai kpada rasulullah. Periode qurra’ (ahli atau imam qira’at) yang mengrjakan bacaan al-qur’an kepada orang-orang menurut cara mereka masing-masing adalah dengan berpedoman kepada masa para sahabat. Di antara para sahabat yang terkenal mengajarkan qiraa’at adalah Ubai , Ali, Zaid bin Tsabit, Ibn Mas’ud, Abu Musa al-Asy’ari dan lain-lain. Dari mereka itulah sebagian besar para sahabat dan tabi’in di berbagai negeri belajar qiro’at. Mereka semua bersaandar kepada Rasulullah SAW.

Pada permulaan abad pertama Hijrah dimasa tabi’in, tampillah para ulama yang membulatkan tega dan prhatiannya terhadap masalah qiraa’at secara semprna karena keadaan menuntut demikian, dan menjadikannya sebagai suatu displin ilmu yang berdiri sendiri sebagaimana mereka lakukan terhadap ilmu-ilmu syari’at lainnya, sehingga mereka menjadi imam dan ahli qira’at yang diikuti dan dipercaya. Bahkan dari generasi ini dan generasi sesudahnya terdapat tujuh orang ter kenal sebaga imam yang kepada mereka dihubungkanlah (dnisbatkan) qira’at hingga sekarang ini. Adapun ketujuh imam yang terkenal sebagai ahli qira’at diseluruh dunia di antara nama-nama tersebut adalah Abu Amir, Nafi’, Asim, Hamzah al-Kisa’i, ibn Amir dan Ibn Katsir. Qira’at-qira’at itu bukanlah tujuh huruf  sebagaimana yang dimaksudkan dalam hadits pada bab sebelumnya menurut pendapat yang paling kuat, sebab Qira’at-qira’at hanya merupakan madhhab bacaan al-Qur’an para imam, yang secara ijma’ masih tetap eksis dan digunakan hingga kini, dan sumbernya adalah perbedaan langgam, cara mengucapkan dan sifatnya, seperti tafkhim ,tarqiq, imalah, idghom, idzhar, isyba’, madd,  qasr, tasydid, takhfif dan lain sebagaiya. Namun semuanya itu hanya berkisar dalam satu huruf, yaitu huruf Quraisy.[3]


B.  Macam-macam Qira’at, Hukum dan kaidahnya

Sebagian ulama menyebutkan bahwa qiraa’at itu ada yang mutawatir, ahad, dan syaz. Menurut mereka, qiraat mutawattir ialah qiraat yang tujuh, sedang qira’at ahad ialah tiga qiraat yang menggenapkannya menjadi sepuluh qira’at ditambah qiraat para sahabat, dan selain itu adalah qiraat syaz. Dikatakan qiraat yang sepuluh adalah mutawatir . kemudian dikatakan pula bahwa yang menjadi pegangan dalam hal ini baik dalam qiraat yang termasuk qiraat tujuh, qiraat sepuluh maupun lainnya adalah dabit atau kaidah tentang qira’at yang shahih.

Menurut mereka, dabit atau kaidah qiraat yang shahih adalah sebagai berikut:

1.  Kesesuaian qiraat tersebut sesuai dengan kaidah b.arab sekalipun dalam satu segi, baik segi itu fasih maupun lebih fasih, sebab qiraat adalah sunnah yang harus di ikuti, diterima apa adanya dan menjadi rujukan dengan berdasarkan pada isnad, bukan ra’yu (penalaran).

2. Qiraat ssesuai dengan salah satu mushaf Usmani, meskipunhanya mendekati saja. Sebab, dalam penulisan mushaf-mushaf itu para sahabat telah bersungguh-sungguh dalam membuat rasm (cara penulisan mushaf) sesuai dengan brmacam-macam dialek qiaat yang mereka ketahui.

3.  Qiraat itu harus sahih isnadnya, sebab qiraat merupakan sunnah yang diikuti yang didasarkan pada kselamatan penukilan dan kesahihan riwayat.

Kalimat diatas telah menjelaskan  syarat-syarat yng ditentukan dalam dabit bagi qiraat yang sahih. Apabila ketiga syarat itu bisa terpenuhi, yitu a) sesuai dengan bahasa arab, b) sesuai dengan rasam mushaf dan 3) shahih sanadnya. Maka qiraat tersebut adalah qiraat yang shahih. Apabila dari salah satu syarat atau lebih tidak terpenuhi maka qiraat itu dinamakan qiraat yang lemah, syaz atau batil.

Sebagian ulama’ menyimpulkan macam-macam qiraat menjadi enam macam:

Pertama: Mutawattir yaitu qiraat yang dinukil oleh sejumlah besar priwayatan yang tidak mungkin bersepakat untuk berdusta.

Kedua: Masyhur yaitu qiraat yang sahih sanadnya tetapi tidak mencapai derajat mutawatir, sesuai dengan kaidah bahasa arab dan rasam usmani serta terkenal pula dikalangan para ahli qiraat sehingga karnanya tidak dikategorikan qiraat yang salah atau syaz.

Ketiga: Ahad, yaitu qiraat yag shahih sanadnya tetapi menyalahi rasam usmani, menyalahi kaidah bahasa arab atau tidak tekenal seperti halnya qiraat masyhur yang telah disebutkan, qiraat macam ini tidak termasuk qiraat yang diamalkan bacaannya.

Keempat: Syaz, yaitu qiraat yang tidak shohih sanadnya.

Kelima: Maudu’, yaitu qiraat yang tidak ada asalnya.

Keenam: Mudraj, yaitu yang ditambahkan kedalam qiraat sebagai penafsiran, seperti qiraat Ibn Abbas.


C.    Faedah Beraneka ragamnya Qiraat yang Sahih

Dengan bervariasinya qiraat yang shahih ini mengandung banyak faedah dan fungsi di antaranya:

1.  Menunjukkan betapa terjaga terpeliharanya  kitab Allah dari perubahan dan penyampingan padahal  kitab ini mempunyai sekian banyak segi bacaan yang berbeda-beda.

2.  Meringankan umat islam dan memudahkan mereka untuk membaca Qur’an.

3.  Bukti kemukjizatan Qur’an dari segi kepadatan makna (ijaz)nya karena setiap qiraat meunjukkan sesuatu hukum syara’ tertentu tanpa perlu pengulangan lafadz.

4.      Penjelasan terhadap apa yang mungkin masih global dalam qiraat lain.

Ketujuh imam qiraat yang masyhur dan disebutkan secara khusus oleh Abu Bakar bin Mujahid karena menurutnya, mereka adalah ulama’ yang terkena hafalan, ketelitian dan cukup lama menekuni dunia qiraat serta telah disepakati untuk diambil dan dikembangkan qiraatnya, adalah:

a.  Abu ‘Amr bin Ala’. Seorang guru besar para perawi. Nama lengkapnya adalah Zabban bin Ala’ bin Amr al-Mazini al-Basri. Ada yag mengatakan bahwa namanya adalah Yahya. Juga dikatakan bahwa nama aslinya adalah kunyah-nya itu. Ia wafat di Kufah pada 154  H dan dua orang perawinya adalah ad-Dauri dan as-Susi. Ad-dauri dalah Abu Umar Hafs bin Umar bin Abdul Aziz ad-Dauri an-Nahwi. Ad-Daur nama tempat di Bagdad. Ia wafat pada 246 H as-Susi adalah abu Syu’aib Salih bin Ziyad bin Abdullah as-Susi ia wafat pada 261 H.

b.  Ibnu Kasir nama lengkapnya Abdullah bin Kasir al-Makki. Ia termasuk seorang tabi’in dan wafat di Mekah pada 120 H. dua orang perawinya adalah al-Bazi dan Qunbul. Al-Bazi adalah Ahmad bin Muhammad bin Abdullah bin Abu Bazah. Muazzin di mekkah. Ia diberi kunya Abu Hasan. Dan wafat di mekkah pada 250 H. sedangkan Qunbul adalah Muhammad bin Abdurrahman bin Muhammad bin Khalid bin Sa’id al-Makki al-Mahzumi. Ia diberi kunyah Abu Amr dan diberi julukan (panggilan) Qunbul. Dikatakan bahwa ahlul bait di mekah ada yang dikenal dengan nama Qanabillah . ia wafat di mekah pada 291 H.

c.  Nafi’ al-Madani. Nama lengkapnya adalah Abu Ruawim Nafi’ bin Abdurrahman bin Abu Nu’aim al-Laisi , berasal dari Isfahan, dan wafat di Medinah pada 169 H.

d.  Ibn amir asy-Syami. Nama lengkapnya adalah Abdullah bin amir  al-Yahsubi, seorang qadi (hakim) di Damaskus pada masa pemerintahan Walid bin Abdul Malik. Nama panggilanya adalah Abu Imran, ia termasuk seorang tabi’in . wafat di damaskus pada 118 H.

e.  Asim al-Kufi. Ia adalah Asim bin Abun Najud , dan dinamakan pula Ibn Bahdala, Abu bakar. Ia termasuk seorang tabi’in, dan wafat di Kufah pada 128 H.

f.  Hamzah al-Kufi. Ia adalah Hamzah bin Habib bin ‘Imarah az-zayyat al-fardi at-Taimi. Ia diberi kunyah abu Imarah, dan wafat di Halwan pada masa pemeintahan abu Ja’far al-mansur tahun 156 H.

g.  Al- Kisa’i al-Kufi. Ia adalah Ali bin Hamzah, seorang imam ilmu Nahwu di kufah.


D.  Al-Waqf dan al-ibtida’  

Waqaf artinya berhenti di suatu kata ketika membaca al-Qur’an baik di akhir ayat maupun di tengah ayat.[4]

Kata al- waqaf  biasa dipakai untuk dua makna, makna yang pertama adalah titik atau dua makna, makna yang pertama adalah titik atau tanda dimana seseorang yang membaca al-qur’an diam (menghentikan bacaannya) pada tanda tersebut. Makna yang kedua adalah tempat-tempat (posisi) yang ditunjukkan oleh para imam ahli qira’at. Dengan demikian setiap tempat (posisi) dari tempat-tempat tersebut dinamakan waqaf, sekalipun seorang pembaca al-Qur’an tidak berhenti di tempat (posisi) tersebut.

Pengetahuan tentang al-waqf  dan al-btida’ mempuyai peranan penting dalam cara pengucapan al-Qur’an untuk menjaga keselamatan makna ayat, menjauhkan kekaburan dan menghindari kesalahan. Pengetahuan ini memerlukan pemahaman mendalam tentang berbagai ilmu kebahasan, qiraat dan tafsir al-qur’an , sehingga arti sesuatu ayat tidak menjadi rusak. Tentang waqaf dan ibtida’ sagat berfaedah dalam memahami makna dan menganalisis hukum-hukum yang terkandung dalam al-Qur’an.  

Para ulama’ berbeda pendapat tentang pembagian waqaf. Menurut pendapat yang masyhur, waqaf terbagi empat macam yaitu : tam-mukhtar, kafin-jaiz, hasan-mafhum dan qabih-matruk.

a). Tam: adalah waqaf pada lafal yang tidak berhubungan sedikitpun dengan lafal sesudahnya. Waqaf tam banyak terdapat pada ra’s al-ayat (penghujung ayat).

b). Kafin-jaiz : yaitu waqaf pada suatu lafal yang dri segi lafal telah terputus dari lafal sesudahnya, tetapi maknanya masih tetap bersambung.

c). Hasan : yaitu waqaf pada lafal yang dipandang baik pada lafal itu tetapi tidak baik memulai dengan lafal yang sesudahnya karena masih berhubungan dengannya dalam lafal dan maknanya.

d). Qabih : yaitu waqaf pada lafal yang tidak dipahami maksud sebenarnya, seperti waqaf pada firman : Iaqad kafar al-ladhina qalu.


E.   Tajwid dan Adab Tilawah

Para ulama, dahulu dan sekarang, menaruh perhatian besar terhadap tilawah (cara membaca) al-qur’an  sehingga megucapkan lafal-lafal al-qur’an mejadi baik dan benar. Cara membaca ini, dikalangan mereka dikenal dengan Tajwid al-Qur’an. Tajwid sebagai suatu disiplin ilmu mempunyai kaidah-kaidah tertentu yang harus dipedomi dalam pengucapan huruf huruf dari makhrajnya di samping harus pula diperhatikan hubungan setiap huruf dengan sebelum dan yang sesudahnya dalam cara pengucapanya.

Para ulama memanganggap qiraat al-qur’an tanpa tajwid  sebagai suatu lahn, yakni kerusakan atau kesalahan yang menimpa lafal, baik secara jaili maupun secara khafi. Lhan jaili adalah kerusakan pada lafal, secara nyata sehingga dapat diketahui oleh ulama qira’at maupun lainnya, misalnya kesalahan I’rab atau saraf. Lhan jail adalah kerusakan pada lafal yang hanya dapat diketahui oleh ulama qira’at dan para pengajar al-qur’an yang cara bcaannya diterima langsung dari mulut para ulama qiraat dan kemudian lafalnya dengan teliti .

Qiraat itu sebenarnya ada yang bersifat tahqiq yaitu dengan cara memberikan kpada setiap huruf akan haknya dan disesuai dengan Tartil yaitu dengan bacaan yang pelan pelan dan tenang serta suara lembut, ada juga yang bersifat hadar yaitu membaca cepat dengan tetap memprhatikan syarat syarat pengucapan yang benar, da nada pula yang bersifat tadwir yaitu pertengahan antara kedua sifat dan cara tadi.


F.     Adab Membaca Al-qur’an

Disunahkan bagi orang yang membaca al-Qur’an :

1.      Membaca al-qur’an sesudah wudhuh karena termasuk dzikir yg palig utama meskipun boleh membacanya bagi orang yg berhadast

2.      Membaca ditempat yang suci dan bersih untuk mejaga keagungan al-qur’an

3.      Membacanya dengan khusyu’ tenang dan penuh hormat

4.      Bersiwak(membersihkan mulut)

5.      Membaca ta’awudh pada permulaannya

6.      Membaca basmallah ketika diawal surah kecuali di surah at-taubah

7.      Membaca dengan tartil

8.      Memikirkan ayat-ayat yang dibacanya

9.      Meresapi ayat ayat al-qur’an yang berhubungan dengan janji maupun ancaman

10.  Membaguskan suara dengan membaca al-qur’an

11.  Mengeraskan bacaan al-qur’an karna jahar lebih utama.   

Baca juga artikel yang lain:

  1. Urgensi Pengantar Studi Islam
  2. Etika Politik dan Nilai Pancasila Sebagai Sumber Politik
  3. Qira’atul Qur’an
  4. Perbedaan dan Persamaan Mekanisme Takhsis dan Taqyid
  5. Perkembangan Ilmu Al-Qur’an Abad ke-4 sampai Modern
  6. Kodifikasi Al-Qur'an
  7. Study Al-Qur'an : ‘Aam dan Khas
  8. Muhkam dan Mutasyabih
  9. Mafhum Mukhalafah
  10. Mantuq dan Mafhum
  11. I'jazul Qur'an
  12. Nasikh dan Mansukh

[1] Manna Khalil al-qattan, Studi Ilmu-ilmuQur’an…, hlm.247

[2] Kadar M. Yusuf, Studi Al-Quran(Jakarta: Amzah, 2010), hlm.46.

[3] Manna Khalil al-qattan, Studi Ilmu-IlmuQur’an…, hlm. 248-249.

[4] Abdul Aziz Abdur Ra’uf al-Hafiz, Pedoman Dauroh Al-Qur’an (Jakarta: Dzilal Press, 1995), hlm. 94

DALIL PUASA RAMADHAN DALAM AL-QUR'AN DAN HADIST

  Dalil Puasa Ramadhan dalam Al-Qur'an Berikut empat dalil tentang puasa Ramadhan yang ada dalam Al-Qur'an: 1. Surah Al-Baqarah ...