Berikut beberapa adab-adab bertamu;
·
Memuliakan tamu hukumnya wajid, sebagaimana sabda
Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam:
مَنْ كَانَ يُؤْمِنُ بِاللهِ وَاْليَوْمِ اْلأخِرِ فَلْيُكْرِمْ ضَيْفَهُ
"Barang siapa yang beriman pada Allah dan hari akhir maka
hendaklah dia memuliakan tamunya".
Adapun
masa penjamuannya ialah sebagaimana
dijelaskan dalam hadits Nabi shallallahu alaihi wa sallam :
الضِّيَافَةُ
ثَلاَثَةُ أَيَّامٍ وَجَائِزَتُهُ يَوْمٌ وَلَيَْلَةٌ وَلاَيَحِلُّ لِرَجُلٍ
مُسْلِمٍ أَنْ يُقيْمَ عِنْدَ أَخِيْهِ حَتَّى يُؤْثِمَهُ قاَلُوْا يَارَسُوْلَ
اللهِ وَكَيْفَ
يُؤْثِمَهُ؟ قَالَ :يُقِيْمُ عِنْدَهُ وَلاَ شَيْئَ لَهُ يقْرِيْهِ بِهِ
"Menjamu tamu itu tiga hari adapun memuliakannya sehari
semalam dan tidak halal bagi seorang muslim tinggal di saudaranya sehingga ia
menyakitinya, para sahabat berkata: ya Rasulallah bagaimana menyakitinya?
Bersabda Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam: Tinggal bersamanya
sedangkan ia tidak mempunyai apa-apa untuk menjamu tamunya".
·
Disunahkan mengucapkan selamat datang kepada para tamu
sebagaimana hadits yang diriwayatkan dari Ibnu Abbas radhiallahu anhu ia
berkata:
لَمَّا قَـدِمَ وَفْدُ أَبِي اْلقَيْسِ
عَلىَ النَّبِيِّ صَلىَّ اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ: مَرْحَبًا بِاْلوَفْدِ
الَّذِيْنَ جَاءُوْا غَيْرَ خَزَابَا وَلاَ نَدَامَى
"Tatkala utusan Abi Qois datang kepada Nabi shallallahu
alaihi wa sallam, Beliau bersabda: Selamat datang kepada para utusan yang
datang tanpa merasa terhina dan menyesal".
·
Wajib memenuhi undangan sebagaimana sabda Rasulullah shallallahu
alaihi wa sallam: وَمَنْ تَرَكَ الدَّعْـوَةَ فَقَدْ عَصَى
اللهَ وَرَسُوْلَهُ
"Barang siapa yang tidak memenuhi undangan maka ia telah
bermaksiat kepada Allah dan Rasul-Nya."
Beliau
juga bersabda:
حَقُّ اْلمُسْلِمِ عَلىَ
اْلمُسْلِمِ خَمسْ ٌ- وَذَكَرَ مِنْهَا – وَإِجَابَةُ الدَّعْـوَةِ
"Kewajiban seorang muslim kepada muslim yang lainnya ada
lima-diantaranya disebutkan-Memenuhi undangan".
Sebagian
para ulama menyebutkan untuk menghadiri undangan maka harus memenuhi syarat
sebagai berikut:
o Orang yang
mengundang bukan orang yang harus dihindari dan dijauhi.
o Tidak ada kemungkaran
pada tempat undangan tersebut.
o Orang yang
mengundang adalah muslim.
o Penghasilan orang yang mengundang bukan dari
penghasilan yang diharamkan, sementara ulama yang lain mengatakan dosanya bagi
orang yang mengundang, berbeda dengan jika sesuatu yang diharamkan itu zatnya,
seperti minuman keras.
o Tidak
menggugurkan suatu kewajiban tertentu ketika menghadiri undangan tersebut.
o Tidak ada
madharat bagi orang yang menghadiri undangan.
·
Sebagian ahli fiqh berkata: Wajib bagi tamu memenuhi
empat syarat: Pertama: Duduk di mana dia ditempatkan.
Kedua: Ridho dengan apa-apa yang
dihidangkan.
Ketiga: Tidak beranjak meninggalkan tempat
duduk melainkan setelah meminta izin dari tuan rumah.
Keempat: Berdo'a bagi tuan rumah bila hendak
pamitan pulang.
·
Ibnul Jauzi rahimahullah berkata: "Dan di antara
adab orang yang bertamu adalah tidak melirik-lirik makanan dengan matanya, bila
diberi pilihan di antara dua makanan, maka hendaklah dia memilih yang lebih
kiri (darinya) kecuali ia mengetahui bahwa orang yang menghidangkan itu senang
jika dia mengambil makanan yang ada di sebelah kanan".
·
Puasa tidak menghalangi seseorang untuk menghadiri
undangan, sebagaimana sabda Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam:
إذَا دُعِىَ أَحَدُكُمْ فَلْيُجِبْ
فَإِنْ كَانَ صَاِئمًا فَلْيُصَِلِّ وِإِنْ كَانَ مُفْـطِرًا فَلْيُطْعِمْ
"Bilamana salah seorang di antara kalian di undang, maka
hadirilah, bilamana ia puasa maka berdo'alah dan bilamana tidak maka
makanlah".
·
Nabi shallallahu alaihi wa sallam bertamu kepada
Abdullah bin Amr,' kemudian ia mengambil karpet untuk beliau yang terbuat dari
kulit di mana ujung-ujungnya lembut sekali, lalu beliau duduk di atas tanah dan
karpet tersebut berada diantara Nabi dan Abdullah bin Amr'.
·
Bilamana seorang tamu datang bersama orang yang tidak
diundang, maka ia harus meminta izin kepada tuan rumah sebagaimana hadits
riwayat Ibnu Mas'ud radhiallahu anhu:
كَانَ مِنَ اْلأَنْصَارِ رَجـُلٌ يُقَالُ
لُهُ أَبُوْ شُعَيْبُ وَكَانَ لَهُ غُلاَمٌ لِحَامٌ فَقَالَ اِصْنَعْ لِي طَعَامًا
اُدْعُ رَسُوْلَ اللهِ صَلىَّ اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ خَامِسَ خَمْسَةٍ فَدَعَا
رَسُوْلَ اللهِ صَلىَّ اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ خَامِسَ خَمْسَةٍ فَتَبِعَهُمْ
رَجُلٌ فَقَالَ رَسُوْلَ اللهِ صَلىَّ اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِنَّكَ
دَعَوْتَنَا خَامِسَ خَمْسَةٍ وَهذَا رَجُلٌ قَدْ تَبِعَنَا فَإِنْ شِئْتَ اْذَنْ
لَهُ وَإِنْ شِئْتَ تَرَكْتُهُ قَالَ بَلْ أَذْنْتُ لَهُ.
"Ada seorang laki-laki di kalangan
Ansor yang biasa di panggil Abu Syuaib, Ia mempunyai seorang anak tukang daging kemudian ia
berkata kepadanya: Buatkan aku makanan di mana aku bisa mengundang lima orang bersama
Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam. Kemudian Rasulullah shallallahu
alaihi wa sallam mengundang empat orang di mana orang yang kelimanya adalah
beliau, kemudian ada seseorang yang mengikutinya, maka Rasulullah shallallahu
alaihi wa sallam berkata: Engkau mengundang kami lima orang dan orang ini mengikuti kami,
bilamana engkau ridho izinkanlah ia, dan bilamana tidak maka aku akan
meninggalkannya, Kemudian Abu Suaib berkata: Aku telah mengizinkannya".
·
Pelayan orang besar (terpandang) hendaknya mengikuti
undangan tersebut sesuai dengan perkataan Anas radhiallahu anhu. Seseorang
mengundang Nabi shallallahu alaihi wa sallam kemudian aku berangkat
bersamanya, orang itu menghidangkan kuah yang didalamnya ada dhuba (Semacam
mentimun besar), Rasulullah menyukai dan memakan kuah tersebut, tatkala aku
melihat hal itu, aku tidak mengambil makanan tersebut dan tidak pula
memakannya, Anas berkata: Aku senantiasa
senang dengan makanan dhuba.
·
Tidak selayaknya berlebih-lebihan dalam menjamu tamu,
sehingga keluar dari kewajaran dan standar berlebih-lebihan itu dilihat dari
kebiasaan. Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam bersabda:"Janganlah memaksakan diri
berlebih-lebihan menjamu tamu".
·
Masuk dengan seizin tuan rumah, begitu juga berpaling
setelah beres memakan hidangan, kecuali tuan rumah menghendaki tinggal bersama
mereka, hal ini sebagaimana di jelaskan Allah Subhanahu Wa Ta’ala dalam
firman-Nya:
يَاأََيُّهَا الَّذِيْنَ آمَنُوْا لاَ
تَدْخُـلُوْا بُيُـوْتَ النَّبِي ِّإِلاَّ أَنْ يُؤْذَنَ لَكُمْ إِلَى طَـعَامٍ
غَيْرَ نَاظِـرِيْنَ إِنهُ وَلِكنْ إِذَا دُعِيْتُمْ فَادْخُلُوْا فَإِذَا طَعِمْتُمْ
فَانْتَشِـرُوْا وَلاَ مُسْتَئْنِسِيْنَ لِحَدِيْثٍ إَنَّ ذلِكُمْ كَانَ يُؤْذِى
النَّبِيَّ فَيَسْتَحِي مِنْكُمْ وَاللهُ لاَ يَسْتَحِي مِنَ اْلحَقِّ
"Wahai orang-orang yang beriman janganlah kamu memasuki
rumah-rumah Nabi kecuali bila kamu diizikan untuk makan dengan tidak
menunggu-nunggu waktu masak maknannya, tetapi jika kamu diundang maka masuklah
dan bila kamu selesai makan maka
keluarlah kamu tanpa asyik memperpanjang percakapan. Sesungguhnya yang demikian
itu akan mengganggu Nabi. Lalu Nabi malu kepadamu untuk menyuruh kamu keluar.
Dan Allah tidak malu menerangkan yang benar"
Oleh
karena itu berusahalah untuk tidak memberatkan tuan rumah.
·
Mendahulukan yang lebih tua dari yang muda serta
mendahulukan yang lebih kanan dari yang kiri, sebagaimana Rasulullah shallallahu
alaihi wa sallam tatkala beliau memberikan minuman pada suatu kaum beliau
berkata: اِبْدَؤُوْا بِاْلَكبِيْرِ "Mulailah dari yang tua".
Beliau
juga berkata : مَنْ
لَمْ يَرْحَمْ صَغِيْرَنَا وَيُجِلَّ كَبِيْرَنَا فَلَيْسَ مِنَّا
"Barang siapa yang
tidak mengasihi yang lebih kecil dari kami serta tidak menghormati yang lebih
tua dari kami bukanlah golongan kami".
Hadits
ini merupakan penghormatan kepada orang tua.
Al-Albani
rahimahullah berkomentar setelah membawakan hadits Ibnu Umar radhiallahu anhu
dia berkata: shallallahu alaihi wa sallam bersabda: أَمَرَنِي
جِبْرِيْلُ أَنْ أُقَدِّمَ اْلأَكَابِرَ
"Jibril
memerintahkanku untuk mendahulukan yang lebih tua". Dan hadits Rofi' bin
Khudaij serta hadits Suhail bin Abi Hasmah keduanya berkata (dalam hadits al
Qosamah) Berangkatlah Abdul Rahman bin Suhail sedangkan ia orang yang paling
muda yang ada di kelompok tersebut. Dia mendahului berbicara sebelum kedua
temannya, maka Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam menegurnya: "Dahulukan
orang tua, orang tua adalah orang yang lebih tua usianya".
Juga hadits Aisyah radhiallahu anha, ia berkata: "Rasulullah
shallallahu alaihi wa sallam bersiwak sedangkan disampingnya ada
dua orang laki-laki maka turunlah wahyu kepadanya, supaya memberikan siwak
kepada orang yang lebih tua".
Al
Muhallibi berkata: Hal ini apabila kaum tersebut tidak duduk secara tertib,
namun bilamana duduknya tertib maka disunahkan mendahulukan yang kanan.
Kemudian
Al-Albani rahimahullah menyebutkan sebuah hadits dari Abdullah bin Abi Habibah
radhiallahu anhu dia ditanya apakah engkau mendapatkan sesuatu dari Rasulullah shallallahu
alaihi wa sallam? Abdullah bin Abi Habibah radhialllahu anhu
menjawab: "Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam mendatangi
masjid kami (masjid Quba), kemudian aku datang, waktu itu aku masih kecil dan
aku duduk di samping kanannya (Rasulullah) dan Abu Bakr duduk di sebelah
kirinya. Beliau meminta minuman lalu minum dari air tersebut, kemudian beliau
memberikan minuman tersebut kepada-ku, di mana aku berada di samping kanannya,
kemudian aku meminumnya lalu berdiri melaksanakan sholat dan beliau sholat
dengan memakai kedua sendalnya". Al-Albani rahimahullah berkata:
"Hadits ini merupakan dalil bahwasannya yang memberi minum itu dimulai
dari sebelah kanan dan bukan orang yang paling tua dari kaum tersebut atau
orang yang paling alim atau paling mulia".
Diriwayatkan
dalam sebuah hadits bahwasannya Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam
tatkala minum, di samping kanannya terdapat orang badui dan di samping kirinya
Abu Bakr, dan Umar berada di hadapannya. Umar radhiallahu anhu berkata:
Wahai Rasulallah! Berikan kepada Abu Bakr dan Ia takut kalau Rasulullah shallallahu
alaihi wa sallam memberikan minuman tersebut kepada orang baduy tersebut,
akan tetapi Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam enggan memberikannya
kepada Abu Bakr kemudian beliau memberikannya kepada orang baduy sambil berkata:
اَْلأَيْمَنُوْن
َاَْلأَيْمَنُوْنَ, اَْلأَيْمَنُوَْن
"Dahulukan
yang sebelah kanan, dahulukan yang sebelah kanan, dahulukan sebelah
kanan".
·
Seorang tamu hendaknya mendo'akan orang yang memberi
hidangan kepadanya setelah selesai mencicipi makanan tersebut dengan do'a:
أَفْطَرَ عِنْدَكُمُ الصَّائِمُوْنَ, وَأَكَلَ
طَعَامَكُمُ اْلأَبْرَارَ,وَصَلَّتْ عَلَيْكُمُ اْلمَلاَئِكَةُ. "Telah berbuka di samping kalian orang-orang yang
puasa dan memakan makanan kalian yang paling bagus semoga malaikat mendo'akan
kalian semuanya".
اَللّهُـمَّ أَطْعِمْ مَنْ
أَطْعَمَنِي,وَاْسقِ مَنْ سَقَانِي
:"Ya Allah berilah makanan kepada orang telah yang
memberikan makanan kepadaku dan berilah minum kepada orang yang telah
memberikan kepadaku minuman".
اَللّهُـمَّ اغْـفِرْ لَهُمْ
وَارْحَمْهُمْ وَبَارِكْ لَهُمْ فِيْمَا رَزَقْتَهُمْ
:"Ya Allah ampuni dosa mereka dan kasihanilah mereka serta
berkahilah rizki mereka".
·
Disunahkan tidak mengarahkankan pandangan kepada teman
duduknya dan mengutamakan orang yang lebih butuh dari pada dirinya, bilamana di
belakangnya ada orang yang berdiri, perintahkan dia supaya duduk dan bilamana
menolak maka biarkanlah. Ataupun orang yang berdiri itu seorang hamba sahaya
dan pelayannya, karena ingin sesuatu maka berilah dia minum dan ambilkan dari
makanan yang terbaik kemudian menyuapkannya, bilamana dia makan bersama orang
buta beri tahukan tentang makanan yang ada dihadapannya.
·
Tidak mengapa saling memberi makanan satu sama lainnya,
akan tidak boleh berpindah-pindah dalam menyantap satu hidangan ke hidangan
yang lain. Bagi orang yang menyediakan makanan atau salah seorang keluarganya
diperbolehkan menyediakan makanan yang khusus bagi tamu tertentu yaitu makanan
yang baik bagi sebagian tamu selama hal tersebut tidak menyakiti yang lainnya,
sebab hal itu diperbolehkan bagi orang-orang khusus atau di sunahkan memberikan
(ke-khususan) kepadanya.
·
Menghidangkan apa yang ada tanpa berlebih-lebihan dan
tidak meminta izin mereka ketika mau menghidangkan makanan tersebut.
·
Dari adab orang yang memberikan hidangan ialah melayani
para tamunya dan menampakkan kepada mereka kebahagiaan serta menghadapi mereka
dengan wajah yang ceria dan berseri-seri.
·
Di antara adab orang yang memberikan hidangan ialah
mengajak mereka berbincang-bincang dengan pembicaraan yang menyenangkan, tidak
tidur sebelum mereka tidur, tidak mengeluhkan dengan kehadiran mereka, bermuka
manis ketika mereka datang, merasa kehilangan tatkala pamitan pulang, tidak
berbicara dengan suatu masalah yang dapat mengagetkan mereka, tidak marah pada
seseorang di hadapan mereka bahkan berusaha memberikan kegembiraan pada
hati-hati mereka semaksimal mungkin dan menanyakan ketidakhadiran anak-anak
mereka secukupnya.
·
Tidak menunggu kehadiran sahabat karibnya bilamana
jamuan telah dihidangkan.
·
Mengundang mereka untuk menyantap makanan dengan bahasa
yang paling indah. Allah Subhanahu Wa Ta’ala telah berfirman yang
mengisahkan tamunya Nabi Ibrahim Alaihissalam:
فَرَاغَ
إِلىَ أَهْلِهِ فَجَاءَ بِعِجْلٍ سَمِيْنٍ (26) فَقَرَّبَهُ إِلَيْهِمْ قَالَ آلاَ
تَأْكُلُوْنَ
"Dan Ibrahim datang pada keluarganya dengan membawa daging
sapi (26) kemudian ia mendekatkan makanan
tersebut pada mereka sambil berkata: Tidakkah kalian makan".
·
Mendekatkan makanan kepada tamu tatkala menghidangkan
makanan tersebut sebagaimana Allah ceritakan tentang Ibrahim Alaihissalam: فَقَرَّبَهُ
إِلَيْهِم ْ"Kemudian Ibrahim mendekatkan
hidangan tersebut pada mereka".
·
Tamu meminta persetujuan pelayan untuk menyantap
makanan dan tidak menanyakan kepada tuan rumah tentang keadaan rumah kecuali
kiblat dan WC. Tamu juga tidak melihat-lihat ke arah tempat keluarnya
perempuan, tidak menolak tempat duduk yang telah disediakan untuk
menghormatinya, dan tidak menahan diri untuk mencuci ke dua tangan. Bilamana
dia melihat tuan rumah bertindak dengan sautu tindakan maka dia tidak
menghalanginya untuk melakukan hal seperti itu.
·
Diperbolehkan memakan makanan yang ada di rumah kerabat
dan teman karib bilamana makanan itu berada pada tempat yang tidak terjaga, apabila dia mengetahui atau menduga
kerelaan orang yang memiliki memakan tersebut menurut adat kebiasaan yang ada.
·
Tidak banyak melihat pada arah datangnya makanan.
·
Mempercepat untuk menghidangkan makanan bagi tamu sebab
hal tersebut merupakan penghormatan bagi mereka.
·
Imam Ibnu Jauzi rahimahullah berkata: Dan janganlah dia
memberatkan temannya untuk mengatakan kepada tamu “makanlah”
bahkan berusaha untuk selalu bermuka manis dan tidak bermuka masam. Tidak membuat
hal yang menjijikan orang lain, tidak mengibaskan tangannya di atas piringnya,
juga tidak mendekatkan wajahnya ke piring makanan tatkala dia menyuap
makanan ke dalam mulutnya, bilamana ia mengeluarkan sesuatu dari mulutnya untuk
dibuang maka hendaklah dia memalingkan wajahnya dari makanan dan memegang
wajahnya dengan tangan kirinya, tidak memasukan sisa
suapan ke dalam kuah, dan tidak memasukan makanan yang berlemak ke dalam cuka,
serta tidak mencelupkan cuka ke dalam makanan yang berlemak sebab hal tersebut
membuat tamu yang lain tidak senang.
·
Termasuk adab (bertamu), tidak banyak melirik-lirik
kepada wajah orang-orang yang sedang makan.
·
Seyogyanya tuan rumah tidak mengangkat tangan dari
hidangan sampai mereka selesai menyantap hidangan kecuali dia mengetahui
kerelaan mereka dengan hal tersebut.
·
Makan diatas sufroh (seperai makan) lebih
diutamakan daripada makan diatas meja makan. Imam Bukhari telah meriwayatkan
dari Anas r.a beliau berkata: "Bahwasannya Rasulullah shallallahu
alaihi wa sallam tidak makan di atas meja makan juga tidak makan roti yang
lembut hingga akhir hayatnya".
·
Di sunnahkan mengiringi tamu hingga pintu rumah.
Tatkala Abu Abdul Qosim bin Abdus Salam berkunjung kepada Imam Ahmad bin Hambal
semoga Allah merahmati mereka berdua. Abu Ubaid berkata: Tatkala aku hendak
berdiri diapun berdiri, aku berkata kepadanya: “Jangan engkau lakukan itu wahai
Abu Abdallah, As Sya'bi berkata: “Dari
kesempurnaan sikap berkunjung adalah berjalan bersamanya ke pintu rumah hingga
mengambilkan tali kendaraannya.
·
Hendaknya orang yang berkunjung mendo'akan tuan rumah
yang bertaqwa dan tidak fasik dengan do'a dibawah ini sesuai dengan sabda
Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam:
لاَ
تُصَاحِبْ إِلاَّ مُؤْمِنًا,وَلاَ يَأْكُلُ طَعَامَك َإِلاَّ تَقِيٌّ
"Janganlah
engkau berteman melainkan dengan orang mu'min, dan jangan memakan makanan
kalian melainkan orang yang bertaqwa".
·
Tidak mengkhususkan jamuan hanya untuk orang kaya saja
dan menghiraukan orang miskin sebagaimana Abu hurairah berkata radhiallahu
anhu: "Sejelek-jeleknya makanan adalah makanan orang hajatan, di
mana yang di undang hanya orang-orang kaya sedangkan orang-orang miskin di
biarkan saja, barang siapa yang tidak menghadiri undangan maka ia telah berbuat
dosa kepada Allah dan Rasul-Nya".
·
Seorang tamu hendaknya pulang dengan memperlihatkan
budi pekerti yang mulia dan meminta maaf pada tuan rumah atas segala
kekurangannya.
·
Dari Abu Abdur Rahman bin Abu Bakr As
Siddiq semoga Allah merido'i mereka berdua beliau berkata: Datang kepada kami
sekelompok tamu, sementara ayahku ingin menghadap Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam dari sejak malam. Abu Abdurrahman bercerita: Maka ayahku pergi (menuju
Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam), kemudian berpesan:
Wahai Abdur Rahman selesaikanlah urusan tamumu. Abdur Rahman bercerita: Tatkala
malam tiba aku menjamu mereka. Abdul Rahman berkata: “Mereka menolak sambil
berkata: (Kami tidak menyantap hidangan ini) sampai datang tuan rumah kami dan
makan bersama kami". Abdul Rahman berkata: Aku berkata pada mereka: Dia
(Abu Bakr) adalah orang yang keras, bilamana kalian tidak makan aku takut
terkena amarahnya. Abdul Rahman berkata: "Mereka tetap menolak", Maka
tatkala dia datang, dia tidak memulai menyantap makanan mendahului mereka. Abu
Bakr bertanya: “Apakah kalian telah selesai menyantap hidangan kalian?”, Mereka
menjawab: “Demi Allah belum”, Abu Bakr berkata: “Tidakkah aku perintahkan Abdur
Rahman?” Abdul Rahman berkata: “Kemudian aku berpaling darinya” lalu dia berkata: “Hai Abdul Rahman!” Aku tetap
berpaling darinya. Maka ia berkata: “Hai bodoh aku bersumpah padamu bilamana
engkau mendengar suaraku kemarilah!”. Abdul Rahman berkata: “Kemudian aku
menghadap kepadanya, dan berkata: Demi Allah, aku tidak berdosa, mereka itu
tamu-tamumu, tanyakan kepada mereka!, aku telah membawakan kepada mereka
hidangan dan mereka menolak untuk menyantapnya hingga engkau datang”. Abdul
Rahman berkata: “Abu Bakr bertanya: "Mengapa kalian menolak hidangan dari
kami?" Abdul Rahman berkata: Berkata Abu Bakr: Aku tidak akan memberi
makan padanya malam ini. Mereka menjawab: "Demi Allah kami tidak akan
makan hingga engkau memberikan makanan kepadanya". Abdul Rahman berkata:
"Aku tidak pernah mengalami keburukan seperti apa yang menimpaku pada
malam ini, celaka kalian mengapa kalian menolak hidangan bagi kalian",
kemudian Abu Bakr berkata: "Adapun yang pertama adalah dari setan,
makanlah hidangan kalian. Kemudian mereka membaca basmalah dan memulai
menyantap makanan. Abdur Rahman berkata: Tatkala hari sudah siang dia pergi kepada
Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam, kemudian berkata:
Wahai Rasulullah mereka berbuat baik sedangkan aku menyia-nyiakannya, maka dia
menceritakan peristiwanya, kemudian Rasulullah mengabarkannya dan bersabda:
(Engkau orang yang paling baik dan terpilih diantara mereka) Abu Bakr berkata:
Engkau tidak mengabarkan padaku untuk menebus dosanya".
Kesimpulan hadits ini adalah
·
Tidak menghiraukan tamu karena sibuk dengan suatu
pekerjaan dan kemaslahatan, hal itu boleh dilakukan apabila ada orang yang bisa
melayaninya.
·
Bagi tamu tidak dianjurkan menahan dirinya untuk
memenuhi keinginan tuan rumah dalam masalah yang berhubungan dengan hidangan,
dan tidak pula menghalanginya untuk menyediakan hidangan tersebut baginya.
Namun, bilamana ia mengetahui bahwa tuan rumah memaksakan diri menyediakan
hidangan tersebut dengan susah payah karena malu darinya, maka hendaklah dia
menolaknya dengan lembut, sebab bisa jadi tuan rumah bermaksud lain di mana dia
merasa berat baginya menampakkan maksud tersebut dan merasa berat pula menolak
kehendak tamunya.
·
Bercakap-cakap dengan tamu dan keluarga, sebagaimana
Imam Bukhari menulis sebuah bab dalam kitabnya (Bab Fi Qaulid Dhaif Li
Shahibihi Laa Akulu Hatta Ta'kulu/ Bab perkataan tamu pada temannya
saya tidak akan makan hingga engkau makan) sebab para tamu menolak hidangan itu
karena ada kemaslahatan yaitu mungkin Abu Bakr tidak mendapatkan makan malam.
·
Bersembunyi karena khawatir akan sesuatu yang
menyakitkan, perbuatan tersebut boleh dilakukan oleh seorang anak terhadap
ayahnya.
·
Hendaknya seseorang berusaha semaksimal mungkin agar
tidak memberatkan tuan rumah, sebagaimana firman Allah Swt:
فَإِذَا طَعِمْتُمْ
فَانْتَشِرُوْا"Bila kamu selesai makan maka keluarlah".
·
Abu Bakr bin Abi Dunya meriwayatkan, beliau berkata:
Berkata Abu Abdul Qosim bin Salam: Suatu ketika aku berkunjung kepada Ahmad bin
Hanbal, saat aku memasuki rumahnya ia berdiri dan memelukku, kemudian
mendudukkanku di tempat duduknya, aku berkata: "Wahai Abu Abdallah!
bukankah di katakan bahwasanya tuan rumah lebih berhak untuk duduk di depan
rumahnya atau di tempat duduknya". Beliau berkata: "Benar, dia boleh duduk dan mendudukkan siapa saja
yang diinginkannya". Aku berkata dalam hatiku: "Wahai Abu Ubaid!
Ambillah hal ini sebagai pelajaran untukmu", kemudian aku berkata:
"Wahai Abu Abdallah!, seandainya aku mendatangimu sebatas keberhakanmu,
maka aku akan mendatangimu setiap hari", ia berkata: "Janganlah
berkata seperti itu, sesungguhnya aku mempunyai beberapa saudara yang tidak
pernah aku temui di selama satu tahun
melainkan setahun sekali saja, dan aku percaya akan kecintaan mereka dari pada
orang yang temui setiap hari", Aku berkata dalam hati: "Ini sebuah
pelajaran yang lain wahai Abu Ubaid", Lalu tatkala aku hendak berdiri ia
berdiri bersamaku. Aku berkata: "Wahai Abu Abdallah! janganlah engkau
lakukan hal itu", Kemudian ia berkata: Berkata As Sya'bi: Dari
kesempurnaan pelayanan bagi orang yang sedang berkunjung adalah berjalan
bersamanya sampai pintu rumah dan mengambil (tali) kendaraannya", Aku
berkata: "Wahai Abu Abdallah! dari siapa As Sya'bi meriwayatkan adab
seperti ini? beliau berkata: Ibnu Abi Za'idah dari Mujalid dari As Sya'bi. Aku
berkata dalam hatiku: Wahai Abu Ubaid ini adalah pelajaran yang ketiga bagimu.
BACA MATERI KHUTBAH LAINNYA YANG BERKAITAN: