HOME

15 Mei, 2023

ADAB DUDUK DI DALAM MAJLIS


Berikut beberapa adab-adab duduk di dalam masjid;

·         Di anjurkan untuk memperbanyak dzikir pada majlis-majlis pertemuan, serta dilarang duduk ditempat yang tidak disebut Nama Allah Subhanahu Wa Ta'ala padanya, hal itu sebagaimana sabda Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam:

مَامِنْ قَـوْمٍ يَقُوْمُوْنَ مِنْ مَجْلِسٍ لاَ يَذْكُرُوْنَ اللهَ فِيْهِ إِلاَّ قَامُوْا عَنْ مِثْلِ جِيْفَةِ حِمَارٍ َوكَانَ لَهُمْ حَسْرَةٌ

"Tidaklah sekelompok kaum beranjak dari tempat duduknya yang tidak disebutkan di dalamnya nama Allah, melainkan seakan mereka beranjak dari bangkai keledai dan mereka berada dalam kerugian".[1]

·         Ada jeda waktu dalam memberikan nasehat dalam majlis sebab dikhawatirkan akan membosankan. Imam Bukhari dan Muslim meriwayatkan dari Ibnu Mas'ud radhiallahu anhu sesungguhnya ia menyampaikan ceramah setiap hari kamis, kemudian seseorang berkata kepadanya: "Wahai Abu Abdur Rahman kami sangat menyukai dan menyenangi mendengarkan ceramahmu. Kami berharap seandainya engkau menyampaikan ceramahmu setiap hari, kemudian ia berkata: "Tidak ada halangan bagiku untuk berceramah setiap hari kepada kalian, akan tetapi aku takut kalian bosan, sesungguhnya Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam memberikan jeda waktu dalam memberikan nasehat kepada kami karena takut membosankan kami.

·         Memilih teman yang baik untuk duduk bersamanya, sebagaimana sabda Nabi shallallahu alaihi wa sallam:

  اَْلمَرْءُ عَلىَ دِيْنِ خَلِيْلِهِ فَلْيَنْظُرْ أَحَدُكُمْ مَنْ يُخَاِللْ

"Kebaikan agama seseorang sangat tergantung pada agama temannya, maka hendaklah salah seorang di antara kalian melihat siapakah yang menjadi sahabat karibnya".[2]

·         Mengucapkan salam kepada orang yang ada dalam majlis tatkala masuk dan keluar darinya, sebagaimana sabda Nabi shallallahu alaihi wa sallam :

إِذِا اْنتَهَى أَحَدُكُمْ إِلَى مَجْلِسٍ فَلْيُسَلِّمْ فَإِنْ بَدَا لَهُ أَنْ يَجْلِسَ فَلْيَجْلِسْ ثُمَّ إِنْ قَامَ فَلْيُسَلِّمْ فَلَيْسَتِ اْلأُوْلَى بِأَحَقَّ مِنَ اِلآخِر

"Bilamana kalian telah sampai pada sebuah majlis hendaklah mengucapkan salam, dan apabila ingin duduk maka duduklah, kemudian apabila ingin pergi maka ucapkanlah salam, sebab bukanlah yang pertama itu lebih berhak daripada yang terakhir".[3]

·         Di makruhkan membangunkan seseorang dari tempat duduknya kemudian dia menempati tempat duduk tersebut, karena ada hadits Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam:"Melarang seseorang membangunkan orang lain yang sedang duduk (dari tempatnya yang semula) kemudian dia duduk padanya, akan tetapi bergeserlah dan berlapanglah".[4]

Ibnu Umar radhiallahu anhu membenci orang yang  membangunkan orang yang sedang duduk kemudian ia menempati tempat itu.

·         Berlapang-lapang dalam majlis sesuai dengan keumuman  firman Allah Subhanahu Wa Ta'ala:

يَاأَيُّهَاالَّذِيْنَ آمَنُوْا إِذَا قِيْلَ لَكُمْ تَفَسَّحُوْا فِي اْلمَجَالِسِ فَافْـسَحُوْا يَفْسَحِ اللهُ لَكُمْ

"Wahai orang-orang yang beriman bilamana dikatakan kepadamu: "Berlapang-lapanglah dalam majlis" maka lapangkanlah niscaya Allah memberikan kelapangan untukmu".[5]

·         Tidak diperbolehkan memisahkan dua orang melainkan atas seizin mereka berdua sebagaimana sabda Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam:                               لاَ يَحِلُّ ِلرَجُلٍ أَنْ يُفَـرِّقَ بَيْنَ اْثنَيْنِ إِلاَّ بِإِذْنِهِمَا

 "Tidak halal bagi seseorang memisahkan dua orang melainkan atas izin mereka berdua".[6]

·         Duduk pada tempat di mana dia sampai padanya, sebagaimana perkataan Jabir bin Abdullah semoga Allah meridhai mereka berdua:

"Bilamana kami mendatangi Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam maka salah seorang diantara kami duduk pada tempat dia sampai padanya".[7] Dan Ibnu Umar radhiallahu anhu bilamana seseorang berdiri untuknya dari majlisnya maka ia tidak mau duduk pada tempat tersebut.

·         Sebaik-baik tempat duduk adalah tempat yang paling luas, sebagaimana hadits yang diriwayatkan Abdur Rahman bin Abi Amrah Al Ansori beliau berkata: Abu Said Al Khudriy mengantar jenazah, dia telah datang terlambat di mana oang-orang telah menempati tempat duduknya masing-masing, ketika  orang-orang melihat kedatangannya mereka segera menyingkir dari tempat tersebut sehingga sebagian orang berdiri untuk memberikan tempat duduk baginya, lalu ia berkata: Janganlah (engkau hal lakukan hal ini) sesungguhnya aku mendengar Rasaulullah shallallahu alaihi wa sallam bersabda:    خَيْرُ الْمَجَاِلسِ أَوْسَعُهَا ثُمَّ تَنَحَّى فَجَلَسَ فَي مَجْلِسٍ وَاسِعٍ

((Sebaik-baik tempat duduk adalah tempat yang paling luas)) kemudian dia menjauh dan duduk di tempat yang luas".[8]

·         Dilarang mendengarkan pembicaraan orang lain tanpa seizin orang yang bersangkutan, sebagaimana sabda Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam bersabda:

وَمَنِِِ اسْتَمَعَ إِلَى قَوْمٍ وَهُمْ لَهُ كَارِهُوْنَ أَوْ يَفِرُّوْنَ مِنْهُ صُبَّ فِي أُذُنِهِ اْلآنُكَ يَوْمَ اْلقِيَامَةِ

"Barang siapa yang mendengarkan pembicaraan suatu kaum sedangkan mereka membencinya atau beranjak darinya niscaya dituangkan pada kedua telinganya timah mendidih di hari kiamat"[9]

·         Ada beberapa posisi duduk yang dilarang seperti:

seseorang meletakkan tangan kirinya dibelakang punggungnya, lalu bersandar pada daging tangan kanannya, yaitu pangkal ibu jari;  Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam menyebutnya sebagai duduknya orang-orang yang dimurkai (Yahudi)[10] juga dilarang duduk di bawah bayang-bayang matahari, sebab tempat tersebut adalah tempat duduknya setan.[11]

·         Dilarang banyak tertawa, sebagaimana hadits yang diriwayatkan dari Abu Hurairah ia berkata: Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam bersabda:                 لاَ تُكْثِرُوْا مِنَ الضَّحِكِ فَإِنَّ كَثْرَةَ الضَّحِكِ تُمِيْتُ الْقَلْبَ

 "Janganlah banyak tertawa sebab banyak tertawa dapat mematikan hati".[12]

·         Dilarang berbisik-bisik dengan dua orang dengan menghiraukan orang ke tiga sebagaimana sabda Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam:                                         لاَ َيتَنَاجَ اْثَنَانِ دُوْنَ الثَّالِثِ فَإِنَّ ذلِكَ يُخْزِنُهُ

"Janganlah dua orang berbisik-bisik dengan meninggalkan orang ketiga sebab hal itu dapat membuatnya sedih".[13] 

التناجي adalah dua orang berbicara dengan bisik-bisik dengan menghiraukan orang ketiga.

·         Dimakruhkan bersendawa di depan orang lain, sebagaimana dalam hadits bahwasanya seseorang bersendawa di samping Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam kemudian beliau bersabda:

كُفَّ عَنَّا جَشَاءَكَ فَإِنَّ أَكْثَرَهُمْ شَبْعًا فِي الدُّنْيَا أَطْوَلُهُمْ جُوْعًا يَوْمَ اْلِقَياَمَةِ

"Tahanlah bersendawamu dari kami, sebab sesungguhnya mereka yang paling banyak kenyang di dunia dan akan paling lama lapar  di akhirat".[14]

·         Tidak banyak menoleh ke segenap penjuru majlis sehingga menjadi perhatian orang lain.

·         Termasuk adab dalam duduk adalah tidak menjulurkan kaki dihadapan orang banyak kecuali ada uzur atau halangan.

·         Imam Bukhari rahimahullah berkata: (Babu Ma Yukarohu Minas Samri Ba'dal Isya'/Bab dimakruhkan bercakap-cakap setelah shalat Isya) kemudian beliau membawakan hadits Abi Barzah Al Aslami radhiallahu anhu bahwasannya Nabi shallallahu alaihi wa sallam membenci tidur sebelumnya dan bercakap-cakap setelahnya. (yaitu setelah sholat Isya.Yang dimaksud dengan bercakap-cakap dalam terjemahan diatas adalah bercakap-cakap dalam perkara yang diperbolehkan, sebab perkara yang haram tidak dikhususkan dengan setelah sholat Isya bagi larangan perbuatan tersebut, bahkan haram membicarakannya di setiap saat. Umar bin khottob radhiallahu anhu pernah memukul seorang yang melakukan hal itu sambil berkata: Apakah pantas kau bercakap-cakap pada permulaan malam kemudian tertidur pada akhir malam".[15]

·         Disunnahkan menutup majlis dengan do'a kafarotul majlis sebagaimana sabda Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam:

مَنْ جَلَسَ فَي مَجْلِسٍ فَكَثُرَ فِيْهِ لَغَطُهُ فَقَالَ قَبْلَ أَنْ يَقُوْمَ سُبْحَانَكَ اللّهُمَّ وَبِحَمْدِكَ أَشْهَدُ أَنْ لاَ إِلهَ إِلاَّ أَنْتَ أَسْتَغْفِرُكَ وَأَتُوْبُ  إِلَيْكَ إِلاَّ كَفَّرَ اللهُ لَهُ مَاكَانَ فِي مَجْلِسِهِ ذلِكَ.

"Barang siapa yang duduk disuatu majlis yang didalamnya terdapat banyak senda guraunya kemudian berdo'a sebelum beranjak:

يَقُوْمَ سُبْحَانَكَ اللّهُمَّ وَبِحَمْدِكَ أَشْهَدُ أَنْ لاَ إِلهَ إِلاَّ أَنْتَ أَسْتَغْفِرُكَ وَأَتُوْبُ  إِلَيْكَ

((Maha suci Engkau ya Allah dengan segala puji bagimu aku bersaksi tiada tuhan yang berhak disembah selain Engkau aku meminta ampun dan bertaubat kepada-Mu)) melainkan Allah akan menghapus segala kesalahan yang ada di majlis tersebut"[16]               

 

BACA MATERI KHUTBAH LAINNYA YANG BERKAITAN:


[1]  HR Abu Daud no: 4855 berkata Al Albani Hadits ini hadits shahih

[2] HR Abu Daud no:4833 dan dihasankan oleh Al Albani

[3]  HR At Tirmidzi no:2706 ia berkata hadits ini hadits hasan. Berkata Al Albani hadits ini  hasan shahih

[4]  HR Bukhari no:6270 dengan memakai lafadz darinya.

[5]  QS Al Mujadalah : 11

[6]  HR Abu Daud no: 4845 dan Al Albani berkata:Hadits ini Hasan shahih

[7]  HR Abu Daud no: 4825 dan dishahihkan oleh Al Albani

[8]  Al Albani menshahihkan hadits ini dalam kitab silsilah hadits shahih

[9]  HR Bukhari no: 7042 dengan memakai lafadz darinya

[10]  HR Ahmad no:18960 dan Abu Daud 4848 serta di shahihkan oleh Al Albani

[11]  Silsilah hadits shahihah no:838

[12]  HR Ibnu Majah no:4193 dan dishahihkan oleh Al Albani no:3400

[13]  HR.Bukhari no:6288 Muslim no:2183

[14]  HR. At-Tirmidzi no: 2478 dan di hasankan oleh Al-Albani no:3413

[15] Fathul Bari Ibnu Hajr Juz 2 hal 73

[16]  Shohih kalim tayyib karangan Syekh Islam Ibnu Taimiyyah rahimahullah yang di petik oleh Muhamad Nasirudin Al Albani

ADAB BERTAMU


Berikut beberapa adab-adab bertamu;

·         Memuliakan tamu hukumnya wajid, sebagaimana sabda Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam:    

  مَنْ كَانَ يُؤْمِنُ بِاللهِ وَاْليَوْمِ اْلأخِرِ فَلْيُكْرِمْ ضَيْفَهُ

"Barang siapa yang beriman pada Allah dan hari akhir maka hendaklah dia memuliakan tamunya".[1]

Adapun masa penjamuannya  ialah sebagaimana dijelaskan dalam hadits Nabi shallallahu alaihi wa sallam :

الضِّيَافَةُ ثَلاَثَةُ أَيَّامٍ وَجَائِزَتُهُ يَوْمٌ وَلَيَْلَةٌ وَلاَيَحِلُّ لِرَجُلٍ مُسْلِمٍ أَنْ يُقيْمَ عِنْدَ أَخِيْهِ حَتَّى يُؤْثِمَهُ قاَلُوْا يَارَسُوْلَ اللهِ وَكَيْفَ يُؤْثِمَهُ؟ قَالَ :يُقِيْمُ عِنْدَهُ وَلاَ شَيْئَ لَهُ يقْرِيْهِ بِهِ

"Menjamu tamu itu tiga hari adapun memuliakannya sehari semalam dan tidak halal bagi seorang muslim tinggal di saudaranya sehingga ia menyakitinya, para sahabat berkata: ya Rasulallah bagaimana menyakitinya? Bersabda Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam: Tinggal bersamanya sedangkan ia tidak mempunyai apa-apa untuk menjamu tamunya". [2]

·         Disunahkan mengucapkan selamat datang kepada para tamu sebagaimana hadits yang diriwayatkan dari Ibnu Abbas radhiallahu anhu ia berkata:

لَمَّا قَـدِمَ وَفْدُ أَبِي اْلقَيْسِ عَلىَ النَّبِيِّ صَلىَّ اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ: مَرْحَبًا بِاْلوَفْدِ الَّذِيْنَ جَاءُوْا غَيْرَ خَزَابَا وَلاَ نَدَامَى

"Tatkala utusan Abi Qois datang kepada Nabi shallallahu alaihi wa sallam, Beliau bersabda: Selamat datang kepada para utusan yang datang tanpa merasa terhina dan menyesal".[3]

·       Wajib memenuhi undangan sebagaimana sabda Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam:       وَمَنْ تَرَكَ الدَّعْـوَةَ فَقَدْ عَصَى اللهَ وَرَسُوْلَهُ

"Barang siapa yang tidak memenuhi undangan maka ia telah bermaksiat kepada Allah dan Rasul-Nya."[4]

Beliau juga bersabda: 

    حَقُّ اْلمُسْلِمِ عَلىَ اْلمُسْلِمِ خَمسْ ٌ- وَذَكَرَ مِنْهَا – وَإِجَابَةُ الدَّعْـوَةِ

"Kewajiban seorang muslim kepada muslim yang lainnya ada lima-diantaranya disebutkan-Memenuhi undangan".[5]

Sebagian para ulama menyebutkan untuk menghadiri undangan maka harus memenuhi syarat sebagai berikut:

o   Orang yang mengundang bukan orang yang harus dihindari dan dijauhi.

o   Tidak ada kemungkaran pada tempat undangan tersebut.

o   Orang yang mengundang adalah muslim.

o    Penghasilan orang yang mengundang bukan dari penghasilan yang diharamkan, sementara ulama yang lain mengatakan dosanya bagi orang yang mengundang, berbeda dengan jika sesuatu yang diharamkan itu zatnya, seperti minuman keras.

o   Tidak menggugurkan suatu kewajiban tertentu ketika menghadiri undangan tersebut.

o   Tidak ada madharat bagi orang yang menghadiri undangan.

·         Sebagian ahli fiqh berkata: Wajib bagi tamu memenuhi empat syarat: Pertama: Duduk di mana dia ditempatkan.

Kedua: Ridho dengan apa-apa yang dihidangkan.

Ketiga: Tidak beranjak meninggalkan tempat duduk melainkan setelah meminta izin dari tuan rumah.

Keempat: Berdo'a bagi tuan rumah bila hendak pamitan pulang.

·         Ibnul Jauzi rahimahullah berkata: "Dan di antara adab orang yang bertamu adalah tidak melirik-lirik makanan dengan matanya, bila diberi pilihan di antara dua makanan, maka hendaklah dia memilih yang lebih kiri (darinya) kecuali ia mengetahui bahwa orang yang menghidangkan itu senang jika dia mengambil makanan yang ada di sebelah kanan".[6]

·         Puasa tidak menghalangi seseorang untuk menghadiri undangan, sebagaimana sabda Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam:

إذَا دُعِىَ أَحَدُكُمْ فَلْيُجِبْ فَإِنْ كَانَ صَاِئمًا فَلْيُصَِلِّ وِإِنْ كَانَ مُفْـطِرًا فَلْيُطْعِمْ

"Bilamana salah seorang di antara kalian di undang, maka hadirilah, bilamana ia puasa maka berdo'alah dan bilamana tidak maka makanlah".[7]

·         Nabi shallallahu alaihi wa sallam bertamu kepada Abdullah bin Amr,' kemudian ia mengambil karpet untuk beliau yang terbuat dari kulit di mana ujung-ujungnya lembut sekali, lalu beliau duduk di atas tanah dan karpet tersebut berada diantara Nabi dan Abdullah bin Amr'.[8]

·         Bilamana seorang tamu datang bersama orang yang tidak diundang, maka ia harus meminta izin kepada tuan rumah sebagaimana hadits riwayat Ibnu Mas'ud radhiallahu anhu:

كَانَ مِنَ اْلأَنْصَارِ رَجـُلٌ يُقَالُ لُهُ أَبُوْ شُعَيْبُ وَكَانَ لَهُ غُلاَمٌ لِحَامٌ فَقَالَ اِصْنَعْ لِي طَعَامًا اُدْعُ رَسُوْلَ اللهِ صَلىَّ اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ خَامِسَ خَمْسَةٍ فَدَعَا رَسُوْلَ اللهِ صَلىَّ اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ خَامِسَ خَمْسَةٍ فَتَبِعَهُمْ رَجُلٌ فَقَالَ رَسُوْلَ اللهِ صَلىَّ اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِنَّكَ دَعَوْتَنَا خَامِسَ خَمْسَةٍ وَهذَا رَجُلٌ قَدْ تَبِعَنَا فَإِنْ شِئْتَ اْذَنْ لَهُ وَإِنْ شِئْتَ تَرَكْتُهُ قَالَ بَلْ أَذْنْتُ لَهُ.  

"Ada seorang laki-laki di kalangan Ansor yang biasa di panggil Abu Syuaib, Ia mempunyai seorang anak tukang daging kemudian ia berkata kepadanya: Buatkan aku makanan di mana aku bisa mengundang lima orang bersama Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam. Kemudian Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam mengundang empat orang di mana orang yang kelimanya adalah beliau, kemudian ada seseorang yang mengikutinya, maka Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam berkata: Engkau mengundang kami lima orang dan orang ini mengikuti kami, bilamana engkau ridho izinkanlah ia, dan bilamana tidak maka aku akan meninggalkannya, Kemudian Abu Suaib berkata: Aku telah mengizinkannya".[9]

·         Pelayan orang besar (terpandang) hendaknya mengikuti undangan tersebut sesuai dengan perkataan Anas radhiallahu anhu. Seseorang mengundang Nabi shallallahu alaihi wa sallam kemudian aku berangkat bersamanya, orang itu menghidangkan kuah yang didalamnya ada dhuba (Semacam mentimun besar), Rasulullah menyukai dan memakan kuah tersebut, tatkala aku melihat hal itu, aku tidak mengambil makanan tersebut dan tidak pula memakannya, Anas berkata:  Aku senantiasa senang dengan makanan dhuba.[10]

·         Tidak selayaknya berlebih-lebihan dalam menjamu tamu, sehingga keluar dari kewajaran dan standar berlebih-lebihan itu dilihat dari kebiasaan. Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam bersabda:"Janganlah memaksakan diri berlebih-lebihan menjamu tamu".[11]

·         Masuk dengan seizin tuan rumah, begitu juga berpaling setelah beres memakan hidangan, kecuali tuan rumah menghendaki tinggal bersama mereka, hal ini sebagaimana di jelaskan Allah Subhanahu Wa Ta’ala dalam firman-Nya:

يَاأََيُّهَا الَّذِيْنَ آمَنُوْا لاَ تَدْخُـلُوْا بُيُـوْتَ النَّبِي ِّإِلاَّ أَنْ يُؤْذَنَ لَكُمْ إِلَى طَـعَامٍ غَيْرَ نَاظِـرِيْنَ إِنهُ وَلِكنْ إِذَا دُعِيْتُمْ فَادْخُلُوْا فَإِذَا طَعِمْتُمْ فَانْتَشِـرُوْا وَلاَ مُسْتَئْنِسِيْنَ لِحَدِيْثٍ إَنَّ ذلِكُمْ كَانَ يُؤْذِى النَّبِيَّ فَيَسْتَحِي مِنْكُمْ وَاللهُ لاَ يَسْتَحِي مِنَ اْلحَقِّ

"Wahai orang-orang yang beriman janganlah kamu memasuki rumah-rumah Nabi kecuali bila kamu diizikan untuk makan dengan tidak menunggu-nunggu waktu masak maknannya, tetapi jika kamu diundang maka masuklah dan bila kamu selesai makan  maka keluarlah kamu tanpa asyik memperpanjang percakapan. Sesungguhnya yang demikian itu akan mengganggu Nabi. Lalu Nabi malu kepadamu untuk menyuruh kamu keluar. Dan Allah tidak malu menerangkan yang benar"[12]

Oleh karena itu berusahalah untuk tidak memberatkan tuan rumah.

·         Mendahulukan yang lebih tua dari yang muda serta mendahulukan yang lebih kanan dari yang kiri, sebagaimana Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam tatkala beliau memberikan minuman pada suatu kaum beliau berkata:  اِبْدَؤُوْا بِاْلَكبِيْرِ   "Mulailah dari yang tua".[13]

Beliau juga berkata :           مَنْ لَمْ يَرْحَمْ صَغِيْرَنَا وَيُجِلَّ كَبِيْرَنَا فَلَيْسَ مِنَّا  

 "Barang siapa yang tidak mengasihi yang lebih kecil dari kami serta tidak menghormati yang lebih tua dari kami bukanlah golongan kami".[14]

Hadits ini merupakan penghormatan kepada orang tua.

Al-Albani rahimahullah berkomentar setelah membawakan hadits Ibnu Umar radhiallahu anhu dia berkata: shallallahu alaihi wa sallam bersabda:                                       أَمَرَنِي جِبْرِيْلُ أَنْ أُقَدِّمَ اْلأَكَابِرَ

"Jibril memerintahkanku untuk mendahulukan yang lebih tua". Dan hadits Rofi' bin Khudaij serta hadits Suhail bin Abi Hasmah keduanya berkata (dalam hadits al Qosamah) Berangkatlah Abdul Rahman bin Suhail sedangkan ia orang yang paling muda yang ada di kelompok tersebut. Dia mendahului berbicara sebelum kedua temannya, maka Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam menegurnya: "Dahulukan orang tua, orang tua adalah orang yang lebih tua usianya". Juga hadits Aisyah radhiallahu anha, ia berkata: "Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam bersiwak sedangkan disampingnya ada dua orang laki-laki maka turunlah wahyu kepadanya, supaya memberikan siwak kepada orang yang lebih tua".

Al Muhallibi berkata: Hal ini apabila kaum tersebut tidak duduk secara tertib, namun bilamana duduknya tertib maka disunahkan mendahulukan yang kanan.[15]

Kemudian Al-Albani rahimahullah menyebutkan sebuah hadits dari Abdullah bin Abi Habibah radhiallahu anhu dia ditanya apakah engkau mendapatkan sesuatu dari Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam? Abdullah bin Abi Habibah radhialllahu anhu menjawab: "Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam mendatangi masjid kami (masjid Quba), kemudian aku datang, waktu itu aku masih kecil dan aku duduk di samping kanannya (Rasulullah) dan Abu Bakr duduk di sebelah kirinya. Beliau meminta minuman lalu minum dari air tersebut, kemudian beliau memberikan minuman tersebut kepada-ku, di mana aku berada di samping kanannya, kemudian aku meminumnya lalu berdiri melaksanakan sholat dan beliau sholat dengan memakai kedua sendalnya". Al-Albani rahimahullah berkata: "Hadits ini merupakan dalil bahwasannya yang memberi minum itu dimulai dari sebelah kanan dan bukan orang yang paling tua dari kaum tersebut atau orang yang paling alim atau paling mulia".

Diriwayatkan dalam sebuah hadits bahwasannya Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam tatkala minum, di samping kanannya terdapat orang badui dan di samping kirinya Abu Bakr, dan Umar berada di hadapannya. Umar radhiallahu anhu berkata: Wahai Rasulallah! Berikan kepada Abu Bakr dan Ia takut kalau Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam memberikan minuman tersebut kepada orang baduy tersebut, akan tetapi Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam enggan memberikannya kepada Abu Bakr kemudian beliau memberikannya kepada orang baduy sambil berkata:

اَْلأَيْمَنُوْن َاَْلأَيْمَنُوْنَ, اَْلأَيْمَنُوَْن                                      

"Dahulukan yang sebelah kanan, dahulukan yang sebelah kanan, dahulukan sebelah kanan".[16]

·         Seorang tamu hendaknya mendo'akan orang yang memberi hidangan kepadanya setelah selesai mencicipi makanan tersebut dengan do'a:

أَفْطَرَ عِنْدَكُمُ الصَّائِمُوْنَ, وَأَكَلَ طَعَامَكُمُ اْلأَبْرَارَ,وَصَلَّتْ عَلَيْكُمُ اْلمَلاَئِكَةُ.            "Telah berbuka di samping kalian orang-orang yang puasa dan memakan makanan kalian yang paling bagus semoga malaikat mendo'akan kalian semuanya".[17]

اَللّهُـمَّ أَطْعِمْ مَنْ أَطْعَمَنِي,وَاْسقِ مَنْ سَقَانِي

:"Ya Allah berilah makanan kepada orang telah yang memberikan makanan kepadaku dan berilah minum kepada orang yang telah memberikan kepadaku minuman".[18]

اَللّهُـمَّ اغْـفِرْ لَهُمْ وَارْحَمْهُمْ وَبَارِكْ لَهُمْ فِيْمَا رَزَقْتَهُمْ

:"Ya Allah ampuni dosa mereka dan kasihanilah mereka serta berkahilah rizki mereka".[19]

·         Disunahkan tidak mengarahkankan pandangan kepada teman duduknya dan mengutamakan orang yang lebih butuh dari pada dirinya, bilamana di belakangnya ada orang yang berdiri, perintahkan dia supaya duduk dan bilamana menolak maka biarkanlah. Ataupun orang yang berdiri itu seorang hamba sahaya dan pelayannya, karena ingin sesuatu maka berilah dia minum dan ambilkan dari makanan yang terbaik kemudian menyuapkannya, bilamana dia makan bersama orang buta beri tahukan tentang makanan yang ada dihadapannya.

·         Tidak mengapa saling memberi makanan satu sama lainnya, akan tidak boleh berpindah-pindah dalam menyantap satu hidangan ke hidangan yang lain. Bagi orang yang menyediakan makanan atau salah seorang keluarganya diperbolehkan menyediakan makanan yang khusus bagi tamu tertentu yaitu makanan yang baik bagi sebagian tamu selama hal tersebut tidak menyakiti yang lainnya, sebab hal itu diperbolehkan bagi orang-orang khusus atau di sunahkan memberikan (ke-khususan) kepadanya.

·         Menghidangkan apa yang ada tanpa berlebih-lebihan dan tidak meminta izin mereka ketika mau menghidangkan makanan tersebut.

·         Dari adab orang yang memberikan hidangan ialah melayani para tamunya dan menampakkan kepada mereka kebahagiaan serta menghadapi mereka dengan wajah yang ceria dan berseri-seri.

·         Di antara adab orang yang memberikan hidangan ialah mengajak mereka berbincang-bincang dengan pembicaraan yang menyenangkan, tidak tidur sebelum mereka tidur, tidak mengeluhkan dengan kehadiran mereka, bermuka manis ketika mereka datang, merasa kehilangan tatkala pamitan pulang, tidak berbicara dengan suatu masalah yang dapat mengagetkan mereka, tidak marah pada seseorang di hadapan mereka bahkan berusaha memberikan kegembiraan pada hati-hati mereka semaksimal mungkin dan menanyakan ketidakhadiran anak-anak mereka secukupnya.

·         Tidak menunggu kehadiran sahabat karibnya bilamana jamuan telah dihidangkan.

·         Mengundang mereka untuk menyantap makanan dengan bahasa yang paling indah. Allah Subhanahu Wa Ta’ala telah berfirman yang mengisahkan tamunya Nabi Ibrahim Alaihissalam:

فَرَاغَ إِلىَ أَهْلِهِ فَجَاءَ بِعِجْلٍ سَمِيْنٍ (26) فَقَرَّبَهُ إِلَيْهِمْ قَالَ آلاَ تَأْكُلُوْنَ

"Dan Ibrahim datang pada keluarganya dengan membawa daging sapi (26) kemudian ia mendekatkan makanan tersebut pada mereka sambil berkata: Tidakkah kalian makan".[20]

·         Mendekatkan makanan kepada tamu tatkala menghidangkan makanan tersebut sebagaimana Allah ceritakan tentang Ibrahim Alaihissalam: فَقَرَّبَهُ إِلَيْهِم ْ"Kemudian Ibrahim mendekatkan hidangan tersebut pada mereka".[21]

·         Tamu meminta persetujuan pelayan untuk menyantap makanan dan tidak menanyakan kepada tuan rumah tentang keadaan rumah kecuali kiblat dan WC. Tamu juga tidak melihat-lihat ke arah tempat keluarnya perempuan, tidak menolak tempat duduk yang telah disediakan untuk menghormatinya, dan tidak menahan diri untuk mencuci ke dua tangan. Bilamana dia melihat tuan rumah bertindak dengan sautu tindakan maka dia tidak menghalanginya untuk melakukan hal seperti itu.

·         Diperbolehkan memakan makanan yang ada di rumah kerabat dan teman karib bilamana makanan itu berada pada tempat yang tidak  terjaga, apabila dia mengetahui atau menduga kerelaan orang yang memiliki memakan tersebut menurut adat kebiasaan yang ada.

·         Tidak banyak melihat pada arah datangnya makanan.

·         Mempercepat untuk menghidangkan makanan bagi tamu sebab hal tersebut merupakan penghormatan bagi mereka.

·         Imam Ibnu Jauzi rahimahullah berkata: Dan janganlah dia memberatkan temannya untuk mengatakan kepada tamu “makanlah” bahkan berusaha untuk selalu bermuka manis dan tidak bermuka masam. Tidak membuat hal yang menjijikan orang lain, tidak mengibaskan tangannya di atas piringnya, juga tidak mendekatkan wajahnya ke piring makanan tatkala dia menyuap makanan ke dalam mulutnya, bilamana ia mengeluarkan sesuatu dari mulutnya untuk dibuang maka hendaklah dia memalingkan wajahnya dari makanan dan memegang wajahnya dengan tangan kirinya, tidak memasukan sisa suapan ke dalam kuah, dan tidak memasukan makanan yang berlemak ke dalam cuka, serta tidak mencelupkan cuka ke dalam makanan yang berlemak sebab hal tersebut membuat tamu yang lain tidak senang.

·         Termasuk adab (bertamu), tidak banyak melirik-lirik kepada wajah orang-orang yang sedang makan.

·         Seyogyanya tuan rumah tidak mengangkat tangan dari hidangan sampai mereka selesai menyantap hidangan kecuali dia mengetahui kerelaan mereka dengan hal tersebut.

·         Makan diatas sufroh (seperai makan) lebih diutamakan daripada makan diatas meja makan. Imam Bukhari telah meriwayatkan dari Anas r.a beliau berkata: "Bahwasannya Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam tidak makan di atas meja makan juga tidak makan roti yang lembut hingga akhir hayatnya".[22]

·         Di sunnahkan mengiringi tamu hingga pintu rumah. Tatkala Abu Abdul Qosim bin Abdus Salam berkunjung kepada Imam Ahmad bin Hambal semoga Allah merahmati mereka berdua. Abu Ubaid berkata: Tatkala aku hendak berdiri diapun berdiri, aku berkata kepadanya: “Jangan engkau lakukan itu wahai Abu Abdallah, As Sya'bi berkata:  “Dari kesempurnaan sikap berkunjung adalah berjalan bersamanya ke pintu rumah hingga mengambilkan tali kendaraannya.[23]

·       Hendaknya orang yang berkunjung mendo'akan tuan rumah yang bertaqwa dan tidak fasik dengan do'a dibawah ini sesuai dengan sabda Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam:   

        لاَ تُصَاحِبْ إِلاَّ مُؤْمِنًا,وَلاَ يَأْكُلُ طَعَامَك َإِلاَّ تَقِيٌّ

"Janganlah engkau berteman melainkan dengan orang mu'min, dan jangan memakan makanan kalian melainkan orang yang bertaqwa".[24]

·         Tidak mengkhususkan jamuan hanya untuk orang kaya saja dan menghiraukan orang miskin sebagaimana Abu hurairah berkata radhiallahu anhu: "Sejelek-jeleknya makanan adalah makanan orang hajatan, di mana yang di undang hanya orang-orang kaya sedangkan orang-orang miskin di biarkan saja, barang siapa yang tidak menghadiri undangan maka ia telah berbuat dosa kepada Allah dan Rasul-Nya".[25]

·         Seorang tamu hendaknya pulang dengan memperlihatkan budi pekerti yang mulia dan meminta maaf pada tuan rumah atas segala kekurangannya.

·         Dari Abu Abdur Rahman bin Abu Bakr As Siddiq semoga Allah merido'i mereka berdua beliau berkata: Datang kepada kami sekelompok tamu, sementara ayahku ingin menghadap Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam dari sejak malam. Abu Abdurrahman bercerita: Maka ayahku pergi (menuju Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam), kemudian berpesan: Wahai Abdur Rahman selesaikanlah urusan tamumu. Abdur Rahman bercerita: Tatkala malam tiba aku menjamu mereka. Abdul Rahman berkata: “Mereka menolak sambil berkata: (Kami tidak menyantap hidangan ini) sampai datang tuan rumah kami dan makan bersama kami". Abdul Rahman berkata: Aku berkata pada mereka: Dia (Abu Bakr) adalah orang yang keras, bilamana kalian tidak makan aku takut terkena amarahnya. Abdul Rahman berkata: "Mereka tetap menolak", Maka tatkala dia datang, dia tidak memulai menyantap makanan mendahului mereka. Abu Bakr bertanya: “Apakah kalian telah selesai menyantap hidangan kalian?”, Mereka menjawab: “Demi Allah belum”, Abu Bakr berkata: “Tidakkah aku perintahkan Abdur Rahman?” Abdul Rahman berkata: “Kemudian aku berpaling darinya” lalu dia berkata: “Hai Abdul Rahman!” Aku tetap berpaling darinya. Maka ia berkata: “Hai bodoh aku bersumpah padamu bilamana engkau mendengar suaraku kemarilah!”. Abdul Rahman berkata: “Kemudian aku menghadap kepadanya, dan berkata: Demi Allah, aku tidak berdosa, mereka itu tamu-tamumu, tanyakan kepada mereka!, aku telah membawakan kepada mereka hidangan dan mereka menolak untuk menyantapnya hingga engkau datang”. Abdul Rahman berkata: “Abu Bakr bertanya: "Mengapa kalian menolak hidangan dari kami?" Abdul Rahman berkata: Berkata Abu Bakr: Aku tidak akan memberi makan padanya malam ini. Mereka menjawab: "Demi Allah kami tidak akan makan hingga engkau memberikan makanan kepadanya". Abdul Rahman berkata: "Aku tidak pernah mengalami keburukan seperti apa yang menimpaku pada malam ini, celaka kalian mengapa kalian menolak hidangan bagi kalian", kemudian Abu Bakr berkata: "Adapun yang pertama adalah dari setan, makanlah hidangan kalian. Kemudian mereka membaca basmalah dan memulai menyantap makanan. Abdur Rahman berkata: Tatkala hari sudah siang dia pergi kepada Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam, kemudian berkata: Wahai Rasulullah mereka berbuat baik sedangkan aku menyia-nyiakannya, maka dia menceritakan peristiwanya, kemudian Rasulullah mengabarkannya dan bersabda: (Engkau orang yang paling baik dan terpilih diantara mereka) Abu Bakr berkata: Engkau tidak mengabarkan padaku untuk menebus dosanya".[26]

 

  Kesimpulan hadits ini adalah

·         Tidak menghiraukan tamu karena sibuk dengan suatu pekerjaan dan kemaslahatan, hal itu boleh dilakukan apabila ada orang yang bisa melayaninya.

·         Bagi tamu tidak dianjurkan menahan dirinya untuk memenuhi keinginan tuan rumah dalam masalah yang berhubungan dengan hidangan, dan tidak pula menghalanginya untuk menyediakan hidangan tersebut baginya. Namun, bilamana ia mengetahui bahwa tuan rumah memaksakan diri menyediakan hidangan tersebut dengan susah payah karena malu darinya, maka hendaklah dia menolaknya dengan lembut, sebab bisa jadi tuan rumah bermaksud lain di mana dia merasa berat baginya menampakkan maksud tersebut dan merasa berat pula menolak kehendak tamunya.

·         Bercakap-cakap dengan tamu dan keluarga, sebagaimana Imam Bukhari menulis sebuah bab dalam kitabnya (Bab Fi Qaulid Dhaif Li Shahibihi Laa Akulu Hatta Ta'kulu/ Bab perkataan tamu pada temannya saya tidak akan makan hingga engkau makan) sebab para tamu menolak hidangan itu karena ada kemaslahatan yaitu mungkin Abu Bakr tidak mendapatkan makan malam.

·         Bersembunyi karena khawatir akan sesuatu yang menyakitkan, perbuatan tersebut boleh dilakukan oleh seorang anak terhadap ayahnya.

·         Hendaknya seseorang berusaha semaksimal mungkin agar tidak memberatkan tuan rumah, sebagaimana firman Allah Swt:

     فَإِذَا طَعِمْتُمْ فَانْتَشِرُوْا"Bila kamu selesai makan maka keluarlah".[27]

·         Abu Bakr bin Abi Dunya meriwayatkan, beliau berkata: Berkata Abu Abdul Qosim bin Salam: Suatu ketika aku berkunjung kepada Ahmad bin Hanbal, saat aku memasuki rumahnya ia berdiri dan memelukku, kemudian mendudukkanku di tempat duduknya, aku berkata: "Wahai Abu Abdallah! bukankah di katakan bahwasanya tuan rumah lebih berhak untuk duduk di depan rumahnya atau di tempat duduknya". Beliau berkata: "Benar,  dia boleh duduk dan mendudukkan siapa saja yang diinginkannya". Aku berkata dalam hatiku: "Wahai Abu Ubaid! Ambillah hal ini sebagai pelajaran untukmu", kemudian aku berkata: "Wahai Abu Abdallah!, seandainya aku mendatangimu sebatas keberhakanmu, maka aku akan mendatangimu setiap hari", ia berkata: "Janganlah berkata seperti itu, sesungguhnya aku mempunyai beberapa saudara yang tidak pernah aku temui di selama satu  tahun melainkan setahun sekali saja, dan aku percaya akan kecintaan mereka dari pada orang yang temui setiap hari", Aku berkata dalam hati: "Ini sebuah pelajaran yang lain wahai Abu Ubaid", Lalu tatkala aku hendak berdiri ia berdiri bersamaku. Aku berkata: "Wahai Abu Abdallah! janganlah engkau lakukan hal itu", Kemudian ia berkata: Berkata As Sya'bi: Dari kesempurnaan pelayanan bagi orang yang sedang berkunjung adalah berjalan bersamanya sampai pintu rumah dan mengambil (tali) kendaraannya", Aku berkata: "Wahai Abu Abdallah! dari siapa As Sya'bi meriwayatkan adab seperti ini? beliau berkata: Ibnu Abi Za'idah dari Mujalid dari As Sya'bi. Aku berkata dalam hatiku: Wahai Abu Ubaid ini adalah pelajaran yang ketiga bagimu.[28] 

BACA MATERI KHUTBAH LAINNYA YANG BERKAITAN:


[1] HR.Bukhari no: 6018

[2] HR. Muslim no: 6135

[3] HR. Bukhari no: 6176

[4] HR.Bukhari no:5177

[5] HR.Bukhari no: 1240 Muslim no:2162

[6] Adad As Syar'iyyah Juz 3 Hal 197

[7] HR Muslim no:1431

[8] HR Bukhari-Muslim

[9] HR Bukhari no:5434

[10] HR Bukhari no:5420 Muslim no:2041/145  didalamnya terdapat adab Anas r.a menghidangkan dhubba pada Rasulullah Saw dan beliau tidak memakannya.

[11]  Shahih Al jami' no:7441

[12]  QS. Al Ahzab ayat 53

[13]  HR Abu Ya'la Juz 4 no:315/ 2425 Berkata Al hafidz: Sanadnya kuat "Fathul Bari Juz 10 no:89

[14] HR Bukhari dalam kitab Adab Mufrad no:353

[15] Silsilah hadits shahih bab mendahulukan orang tua dalam berbicara dan bersiwak bukan dalam hal minum.

[16] Silsilah hadits shahih no: 2941

[17] HR Abu Daud no: 3854 dan dishahihkan oleh Al Albani

[18] HR Muslim no:2055

[19]HR Muslim no:2042

[20] QS Az-Dzariyat ayat 26-27

[21]  QS Az-Dzariyat ayat 27

[22]  HR Bukhari no:6450

[23]  Adab As Syariyyah Juz 3 Hal 227

[24]  HR Abu Daud no: 4045 At Tirmidzi no:1992 dan dihasankan oleh Al Albani

[25]  HR Bukhari ( Hadits mauquf dan di shahihkan oleh Al Albani )

[26]  HR Bukhari-Muslim tidak terdapat didalamnya: Aku bersumpah Kalian telah berbuat baik sampai akhirnya.

[27]  QS-Al Ahzab ayat 53

[28]  Al Adab As Syariyyah juz 3 hal 227

MAKALAH HADIST TENTANG HIJAB

  A.   Latar Belakang Telah disepakati oleh seluruh umat Islam bahwa al-Qur’an menjadi pedoman hidup baik tentang syariah maupun dalam keh...