BAB I
LATAR
BELAKANG
Sebagai
salah satu sumber referensi ajaran Islam, hadis menempati posisi penting dalam
wacana keilmuan Islam. Oleh karena itu perhatian para cendekiawan (ulama) Islam
khususnya ulama hadis terhadap dokumentasi dan pengkajian hadis demikian intensif
dari masa ke masa.
Sejak
awal abad kedua Hijriyah, saat era kodifikasi (tadwin) dimulai,[1] bermunculanlah beragam tipe penulisan
kitab-kitab hadis. Gerakan intelektual
yang massif di bidang penulisan kitab-kitab hadis di era ini membuahkan produk
berupa puluhan bahkan ratusan kitab-kitab sunnah berupa sunan, al-musannafat, al-jawami’, al-masanid,
kitab-kitab tafsir, kitab al-Maghazi, siyar, dll.[2] Selanjutnya, Abab ke-3 H (200-300 H)
adalah kurun yang paling cemerlang dalam sejarah kodifikasi al-sunnah serta penelitian dan kritik hadis.[3]
Pada era berikutnya, kreatifitas dan inovasi ulama hadis dalam metodologi
penulisan kitab terus berlanjut. Hal
ini ditandai dengan semakin beragamnya corak
pendokumentasian hadis-hadis Nabi dalam kitab yang muncul dengan spesifikasi
penulisan berupa kutubmustakhrajat,
mustadrakat, ma’ajim, al-marasil, al-ahadith al-mashhurah, ahadith al-ahkam, atraf
al-hadith, termasuk pula kutub
al-ahadith al-qudsiyyah.
Dalam makalah ini akan dibahas
tentang tipologi penulisan kitab hadis qudsi (al-ahadith al-qudsiyyah)
yang dimulai dengan pembahasan pengertian hadis qudsi dan perbedaannya dengan Al-Qur’an
dan hadis yang lain, karakteristiknya serta contoh kitab-kitab yang ditulis
oleh para ulama yang secara khusus menghimpun dan mendokumentasikan hadis-hadis
qudsi tersebut. Wallahu
al-musta‘an wa a‘lam bi al-sawwab.
BAB II
PEMBAHASAN
A.
Definisi Hadis Qudsi
Hadis Qudsy disebut pula dengan al-hadith al-ilahy dan al-hadith
al-rabbany.[4]Namun,
yang istilah popular digunakan dalam wacana keilmuan Islam adalah hadis Qudsi.Al-hadith al-Qudsy(الحَدِيْثُ القُدْسِيُّ) tersusun atas dua kata yaitu al-hadith dan al-Qudsy.[5]
Dengan demikian definisi hadis qudsi secara etimologis
(lughatan) dapat ditelusuri dari pengertian kedua kata
tersebut
Kata hadis
secara bahasa (etimologis), setidaknya memiliki tiga macam arti,[6]
yaitu;
- Hadis bermakna al-jadid
(baru) sebagai lawan dari al-qadim (lama). Makna ini merupakan arti dasar dari kata
al-hadis, yang kemudian digunakan untuk al-khabar (berita). Hal ini karena munculnya berita
bersifat up to date dan
berlangsung secara kontinu sebagian demi sebagian sehingga terasa sebagai
sesuatu yang baru.[7]
- Hadis bersinonim dengan al-kalam, hal ini dapat dirujuk dari firman Allah SWT (QS.
Az-Zumar: 23) ahsanal-hadith dalam ayat ini artinya ahsan
al-kalam (sebaik-baik perkataan). Lihat pula QS. Al-Mursalat: 50
- Hadis berarti khabar dan berita (al-Khabar wa al-naba’), seperti tersebut dalam QS. An-Nazi’at: 15 dan
al-Ghasyiyah: 52.
Adapun dalam perspektif terminologi ahli hadis, hadis
adalah perkataan Nabi SAW—selain Al-Quran—,perbuatan, persetujuan
Nabi atas sesuatu hal (taqrir), sifat
fisik (khalqiyah) dan akhlak (khuluqiyah) serta seluruh informasi yang
terkait dengan Nabi SAW baik sebelum diutus sebagai Nabi (qabl al-bi’thah)
atau sesudahnya (ba’d al-bi’thah), demikian pula mencakup perkataan
dan perbuatan sahabat Nabi SAW dan tabi’in.
Dengan demikian hadis meliputi riwayat yang marfu’, mauqufdan maqthu’.
[8]
Sementara itu, term al-qudsy merupakan atribut yang disandarkan kepada al-quds (suci) yang menunjukkan
pengagungan dan pemuliaan. Karena substansi makna kalimat ini secara etimologis
menunjuk pada makna tanzih wa tathir (penyucian).[9]Sejalan dengan pendapat Nur al-Din ‘Itr, pemberian
atribut quds pada hadis semacam itu
sebagai bentuk pemuliaan (takrim)
karena adanya penisbatan kepada Allah Ta’ala.[10]
Dari perspektif etimologis pun,termal-quds berporos pada makna kesucian (al-tuhr).
Suatu hadis dilekatkan dengan sifat
al-qudskarena substansi makna hadis tersebut melekat sikap pengkultusan Zat
Allah dan penyucian sifat-sifat-Nya dari kekurangan dan hal-hal yang tidak
sesuai dengan keagungan-Nya.[11]
Secara terminologis (istilahan) definisi hadis qudsiterdapat
beberapa
versi yang diungkapkan oleh para ulama, namun substansinya sama, di antaranya:
1.
Muhammad
bin Ja’far al-Kattani memberikan definisi hadis qudsi sebagai berikut:
الأحاديث
القدسية هي المسندة إلى الله تعالى بأن جعلت من كلامه سبحانه وتعالى, ولم يقصد إلى
الإعجاز بها
“Hadis Qudsi
adalah hadis yang disanadkan kepada Allah Ta’ala karena menjadi kalam-Nya swt,
akan tetapi tidak dimaksudkan sebagai mukjizat”[12]
2.
Al-Khushu’I al-khushu’I Muhammad
mendefinisikan hadis qudsi:
هو
ما أضافه الرسول صلى الله عليه وسلم إلى الله تعالى من غير القران الكريم
“Apa yang disandarkan oleh Rasulullah saw kepada
Allah Ta’ala selain Al-Qur’an yang mulia.”[13]
3.
Manna al-Qattan mendefinisikan hadis qudsi:
هو ما يضيفه النبي -صلى الله عليه
وسلم- إلى الله تعالى، أي إن النبي -صلى الله عليه وسلم- يرويه على أنه من كلام
الله، فالرسول راوٍ لكلام الله بلفظ من عنده، وإذا رواه أحد رواه عن رسول الله
مُسْنَدًا إلى الله عز وجل، فيقول: "قال رسول الله -صلى الله عليه وسلم- فيما
يرويه عن ربه عز وجل....".أو يقول: "قال رسول الله, صلى الله عليه وسلم:
قال الله تعالى ... ".
“Apa yang disadarkan periwayatannya oleh Nabi SAW
kepada Allah SWT yaitu Nabi SAW meriwayatkan hal tersebut sebagai kalam Allah dan memposisikan dirinya
sebagai perawi kalam Allah tersebut dengan redaksi teks (lafal) dari Beliau
pribadi. Dan jika seorang meriwayatkannya dari Nabi SAW dengan men-sanad-kannya kepada Allah Azza wa Jalla
dengan berkata : “Rasulullah SAWbersabda dari apa yang diriwayatkannya dari
Tuhannya…” atau berkata: “Rasulullah SAW bersabda: Allah Ta’ala berfirman:…”. [14]
4.
Adapun
menurut Abu Zahwu, ahadith Qudsiyah adalah
طائفة من
الأحاديث نقلت إلينا آحادا عنه صلى الله عليه وسلم، مع إسنادها إلى الرب عز اسمه
“Sejumlah hadis yang transfer periwayatannya kepada
kita secara ahad dari Nabi SAW dengan
sanad yang disandarkan kepada Allah SWT.”[15]
5.
Sementara menurut
‘Abd Allah bin Yusuf al-Judai’bahwa definisi yang tepat untuk hadis qudsi
adalah
الحديث المرفوع القولي المسند من
النبي صلى الله عليه وسلم إلى الله.
“Hadis yang
sampai kepada Rasulullah SAW (marfu’)
berupa hadis verbal (qauly) dengan
penyandaran sanadnya dari Nabi SAW kepada Allah.”.[16]
Definisi
yang serupa disebutkan oleh Nur al-Din ‘Itr[17] dan Mahmud T{ahhan.[18] Menurut al-Juda’I, definisi tersebut telah membedakannya
dengan definisi Al-Quran dari aspek Al-Quran tidaklah disebut hadis marfu’. Adapun al-qawly untuk membedakannya dengan
seluruh jenis hadis marfu’.Sementara,
“dengan penyandaran sanadnya dari Nabi SAW kepada Allah” untuk mengkhususkan
dari keumuman berbagai jenis hadis marfu’
yang qawly dimana Rasulullah SAW
menjadi narasumber secara redaksional.[19]
B.
Hadis Qudsi dalam Konteks Konsep Wahyu
Wahyu memiliki sejumlah karakteristik antara lain yaitu;
(1) bersumber dari kemampuan (power) eksternal bukan kemampuan internal yang
muncul begitu saja dari dalam diri Nabi sendiri sebagai orang yang menerima
wahyu. (2) bersifat kemampuan/kekuatan
kebaikan yang istimewa, terpilih dan terjaga dari kekeliruan (ma’sumah).
Fungsinya adalah sebagai petunjuk kepada kebaikan dan penjaga dari kekeliruan
dan kesalahan dalam arahan perintah dan larangan serta etika perilaku privat (khassah) maupun publik (‘ammah). (3) merupakan kekuatan ilmiah (the power of knowledge) yang membekali
seorang nabi dengan ilmu “rahasia” yang belum pernah diketahui sebelumnya. (4)
muncul dalam keadaan jiwa dan pikiran yang ikhtiyariyah
(bersifat sadar), (5) bersifat luar biasa (extra
ordinary) dan bukan hal yang biasa terjadi pada orang biasa.[20]
Adapun produk pewahyuan dalam bentuk kalam
yang dinisbatkan kepada Allah SWT ada tiga macam, yaitu yang pertama dan paling mulia adalah Al-Quran.
Kedua, Kitab-kitab para nabi sebelum Muhammad SAW yang belum mengalami
perubahan (taghyir wa tabdil).
Ketiga, hadis-hadis Qudsi.[21]
Ulama sepakat bahwa makna hadis qudsi berasal dari Allah SWT,
namun dalam menentukan apakah lafal hadis qudsi dari Allah atau dari
Nabi, ulama berbeda pendapat menjadi dua kelompok:[22]
1.
Kelompok pertama menyatakan bahwa lafal hadis qudsi
berasal dari kalam al-Rasul, dan maknanya dari Allah ta’ala.Pendapat
ini didukung oleh Imam al-Haramain al-Juwainy (w. 478),[23]Sharf al-Din al-Husain bin Muhammad al-T{iby (w. 743
H), Mulla ‘Aly al-Qary, Abu al-Baqa’ Ayyub bin Musa al-Husainy (w. 1094 H),
Muhammad ‘Abd Allah Darraz, Mahmud Lutfi al-Sabbagh.[24]
Mereka
mengklasifikasikanbahwa wahyu ada dua macam, yaitu wahyu yang bersifat
eksplisit (wahyun jaliyyun) yaitu
al-Quran al-Karim yang merupakan kalam Allah
secara verbatim atau tekstual (lafal dan makna), atau disebut pula wahyun mastur atau wahyun musajjal (wahyu yang telah tercatat) di al-lawh al-mahfuz yang Jibril ditugaskan secara khusus untuk
menurunkannya kepada Rasulullah. Kedua, wahyu
yang bersifat implisit (wahyun khafiyyun)
yang merupakan sunnah Nabi SAW yang berasal dari kalam Allah secara makna (substansial) dan merupakan ungkapan
Rasulullah SAW secara redaksional (lafzun),
serta merupakan perbuatan Nabi secara realitas faktual. Posisinya adalah
sebagai penjelas (bayan) dan
perincian dari Al-Qur’an, sebagaimana hal tersebut dalam QS. Al-Nahl : 44.
Termasuk dalam konteks ini adalah hadis qudsy.Titik temu antara dua jenis wahyu
tersebut adalah karena keduanya secara substansial bersumber dari Allah SWT,
sama-sama diturunkan secara khusus kepada Nabi Muhammad SAW dan bisa
difungsikan dalam konteks pensyariatan hukum (perintah,larangan, kebolehan dan
pengharaman).[25]
2. Sedangkan
kelompok kedua mengatakan bahwa lafal hadis qudsi berasal dari kalamullah
ta’ala, tidak ada campur tangan Nabi kecuali hanya meriwayatkannya saja
dari Allah SWT. Pendapat ini didukung oleh Imam al-Bukhari, Ibn Taimiyah, Ibn
Kathir, Al-Kirmany, Ibn Hajar al-Haithamy (w. 973 H), Isma’il Mufid Ibn ‘Aly al-Attar
al-Rumy al-Hanafy (w. 1217 H), Shu’ban Muhammad Isma’il, Abdullah al-Ghunaiman,
Sholeh bin Fauzan al-Fauzan, ‘Abd al-Ghafur al-Balushy, dll.[26]Di antara yang men-tarjih pendapat bahwa hadis
qudsi lafaz dan maknanya dari Allah swt adalah Shaikh Isma’il
Mufid Ibn ‘Aly al-Attar al-Rumy al-Hanafy. Adapun argumennya adalah sebagai
berikut:
a. Adanya penyandaran secara
khusus dan eksplisit kepada Allah swt. Kalau lafaz-nya dari Nabi
sendiri, maka tidak keistimewaan dan perlakukan khusus semacam itu, sebagaimana
halnya hadis-hadis nabawy yang lainnya (yang maknanya juga dari pengajaran
Allah swt kepada Rasul-Nya).
b. Hadis-hadis qudsi tersebut
mengandung damir mutakallim (kata ganti orang pertama) yang khusus
menunjukkan Allah sebagai subjeknya. Seperti tersebut dalam hadis “Ya ‘Ibady
inni harramtu al-z{ulm ‘ala nafsy… “Wahai hamba-hamba-Ku, sesungguhnya Aku
haramkan kedzaliman atas diri-Ku…”[27]
c. Adanya penegasan sanad riwayat
yang melampaui diri Rasulullah SAW. Seandainya lafaz hadis tersebut hanya
bersumber dari Nabi saw, maka penyandaran sanad berhenti sampai kepada
Rasulullah SAW sudah mencukupi sebagaimana hadis-hadis yang lainnya.[28]
C.
Perbedaan dan persamaan antara Hadis Qudsi dengan Al-Quran dan Hadis Nabawi
Pembahasan
mengenai perbedaan antara hadis qudsi dengan Al-Qur’an ataupun hadis
Nabi tidak terlepas dari pembahasan mengenai macam-macam wahyu. Hal ini karenalandasan argumennya dianggap sangat
penting untuk menunjang pemahaman mengenai posisi Al-Qur’an, hadis qudsi
dan hadis Nabi. Dilihat
dari sudut pembagiannya wahyu dalam konteks bahasan ini, maka ada dua, yaitu:
1.
Al-wahyu al-jaliy, yaitu wahyu yang jelas. Gambarannya seperti
Malaikat Jibril langsung berhadapan dengan Nabi dalam keadaan sadar dan
menyampaikan wahyu tersebut. Al-Quran dari awal hingga akhirnya turun dalam
keadaan ini.
2.
Al-wahyu ghairul-jaliy (wahyu yang tidak jelas). Ada tiga gambaran
pada wahyu ghayr jaliy
ini, yaitu:
a.
Allah memberikan wahyu berupa makna kepada Nabi, kemudian Nabi menta'bir
atau membuat ungkapan sendiri. Hadis qudsi termasuk kategori ini.
b.
Nabi bermimpi, kemudian Nabi membuat kata-kata atau ungkapan dari mimpi tersebut.
c.
Tidak ada keputusan (taqrir) dari Allah
terhadap suatu perkara atau permasalahan, kemudian Nabi melakukan ijtihad.
Dalam kondisi ini terdapat dua kemungkinan:
1)
Allah membenarkan ijtihad Nabi dengan
membiarkan hal tersebut karena menganggap ijtihad Nabi benar sehingga
hal ini merupakan bentuk taqrir dari Allah.
2)
Allah memberikan teguran jika terdapat
kekeliruan pada ijtihad Nabi dan memberikan keputusan yang benar dalam perkara
tersebut.[29]
Hal senada dijelaskan oleh Imam al-Juwainy dengan
mendetailkan dua macam mekanisme proses pewahyuan ini. Yang pertama, firman Allah kepada
Malaikat Jibril; “Katakanlah kepada Nabi yang engkau diutus kepadanya bahwa
Allah berfirman: “Kerjakanlah begini dan begitu, perintahkanlah ini dan itu”,
Jibril memahami apa yang firmankan Tuhannya kemudian turun kepada Nabi SAW dan
memberitakan apa yang diperintahkan Allah tersebut dengan menggunakan ungkapan
yang tidak persis sama. Ada pula yang berupa
firman Allah kepada Jibril: “Bacakanlah kepada Nabi SAW kitab ini”, maka
turunlah Jibril dengan kalimat dari Allah tersebut tanpa mengubahnya,
sebagaimana seorang utusan membawakan dan menyampaikan tulisan seorang raja apa
adanya. Imam al-Suyuty menjelaskan bahwa
model pewahyuan pertama adalah al-Sunnah,
sementara model kedua adalah Al-Quran.[30]
Walaupun Al-Quran, hadis qudsi dan hadis nabawy keluar dari kedua
bibir Rasulullah SAW, namun Sayyid Ahmad al-Mubarak membedakan “cahaya” yang
melekat pada ketiganya dengan menguraikan bahwa Al-Quran bersumber dari nur al-Qadim, hadis qudsy bersumber dari
nur al-ruh Rasulullah SAW, dan hadis
nabawy bersumber dari nur al-zat
Rasululllah SAW.[31]
1)
Perbedaan
Antara Hadis Qudsi Dengan Al-Qur’an
Dilihat
dari segi definisi antara Al-Qur’an dan hadis qudsi, terdapat perbedaan
antara keduanya, karena jika didefinisikan, Al-Qur’an adalah:
القران الكريم هو كلام الله تعالى المعجز, المنزل على نبينا
محمد صلى الله عليه وسلم, المكتوب في المصاحف, المنقول إلينا نقلا متواترا,
المتعبد بتلاوته, المتحدى بأقصر سورة منه[32]
“Al-Qu’an adalah Kalamullah ta’ala yang merupakan mukjizat, diturunkan
kepada Nabi Muhammad Saw, ditulis dim ushaf-mushaf, dipindahkan kepada kita
secara mutawatir, bernilai ibadah dengan membacanya, bisa menantang meskipun
dengan surah yang paling pendek.”
Dari definisi ini, Al-Qur’an memiliki kelebihan
dibanding hadis qudsi dari beberapa sisi berikut:
a. Al-Qur’an
merupakan mukjizat yang kekal sepanjang masa dan sepanjang zaman, akan selalu
terjaga dari segala bentuk perubahan sesuai janji Allah:
إنا نحن نزلنا الذكر و إنا له
لحافظون[33]
Sedangkan
hadis qudsi, tidak mendapat jaminan penjagaan khusus dari Allah.
Sehingga kemungkinan terdapat kesalahan, penambahan ataupun pengurangan dalam
hadis qudsi bisa saja terjadi.
b. Al-Qur’an dari
awal hingga akhirnya dinukil hingga sampai kepada kita dengan huruf, kalimat
dan susunannya secara mutawatir. Berbeda dengan hadis qudsi yang
kebanyakan dinukil atau diriwayatkan dengan cara ahad, hanya sebagian
kecil yang diriwayatkan dengan mutawatir.
c. Al-Qur’an tidak
diriwayatkan dengan sanad karena sudah mutawatir dan perawinya
tidak perlu dipertanyakan dan diragukan lagi. Sedangkan hadis qudsi
diriwayatkan menggunakan sanad-sanad seperti halnya hadis Nabi, sehingga
memungkinkan luputnya syarat diterimanya sebuah hadis dan menurunkan validitas
hadis qudsi tersebut.
d. Al-Qur’an lafal
dan maknanya berasal dari Allah SWT, yang disampaikan kepada Nabi memalui
perantara Malaikat Jibril dalam keadaan sadar, dan Jibril mengajarkannya secara
lisan (shafahiyan) langsung dengan wahyu yang jaliy (jelas).
Sedangkan hadis qudsi tidak disyaratkan harus dengan wahyu jaliy,
bisa saja dengan ilham ataupun mimpi.
e. Tidak boleh
meriwayatkan Al-Qur’an dengan maknanya saja, sebagaimana tidak boleh pula
mengganti atau mengubah hurufnya dengan huruf yang lain. Adapun hadis qudsi,
tidak mengapa jika meriwayatkannya secara maknawi.
f. Membaca (tilawah)
Al-Qur’an memiliki nilai ibadah dan mendapatkan balasan berupa pahala dari
Allah, setiap huruf dalam Al-Qur’an bernilai sepuluh kebaikan.
g. Melaksanakan salat
tidak sah kecuali dengan membaca sebagian dari Al-Qur’an. Adapun jika melakukan
salat dengan membaca hadis qudsi, hal tersebut merupakan bid’ah
dalam agama dan salatnya tidak sah.
h. Al-Qur’an
memiliki kekhususan dengan penamaan Al-Qur’an itu sendiri dan mempunyai nama
pada tiap komponennya, seperti kalimat (jumlah) dalam Al-Qur’an disebut ayat,
bilangan tertentu dari ayat dinamai surah. Sedangkan hadis qudsi
tidak disebut sebagai Al-Qur’an, tetapi dinamai hadis qudsi, hadis Ilahi,
atau hadis rabbani.
i.
Dalam menyebutkan Al-Qur’an tidak menggunakan sighah
idafah seperti pada periwayatan hadis qudsi. Berbeda dengan hadis qudsi
yang menggunakan sighah idafah dengan menyandarkan kepada Allah sebagai
yang mengungkapkan hadis qudsi, kemudian menyandarkan kepada Nabi
sebagai penyampai hadis qudsi tersebut.
j.
Penentang Al-Qur’an dianggap kafir meskipun menentang
sebagian atau keseluruhannya. Sedangkan penentang hadis qudsi tidak
dianggap kafir selama bukan yang mutawatir.
k. Bagi Muslim
yang sedang junub, wanita yang sedang haid atau nifas haram menyentuh mushaf
Al-Qur’an dan membawanya. Namun, menurut Dawud dan Ibn H{azam dari madzhab
al-Z{ahiriyah, boleh menyentuh dan membawa mushaf meskipun dalam keadaan
junub atau tidak berwudu. berbeda dengan kitab yang memuat hadis qudsi,
tidaklah ada larangan khusus bagi orang yang junub untuk menyentuh atau
membawanya.
l.
Tidak boleh bagi seorang yang berhadath kecil
untuk menyentuh mushaf. Sedangkan menurut Ibn Abbas, al-Sha’bi,
al-D{ahhak, Zayd bin Ali, H{ammad bin Sulayman, Daud dan Ibn H{azm membolehkan
menyentuh mushaf bagi orang yang berhadath kecil. Adapun jika
membaca tanpa menyentuhnya, semua sepakat membolehkannya.
2)
Perbedaan
Antara Hadis Qudsi Dengan Hadis Nabi
Dari definisi,
terlihat ada perbedaan antara hadis qudsi dengan hadis Nabi, karena
definisi hadis Nabi adalah:
ما
أضيف إلى النبي صلى الله عليه وسلم قولاً أو فعلاً أو تقريراً أو صفةً خِلْقِية أو
خُلُقِية حقيقَةَ أو حكماً حتى الحركات و السكنات في اليقظة و المنام
“Apa yang disandarkan kepada Nabi
saw baik berupa perkataan, perbuatan, atau kesepakatan atau berupa karakter
fisik Nabi atau karakter kepribadiannya, baik secara hakiki atau dari penetapan
hukum, sampai kondisi gerak dan diam dalam sadar (bangun) ataupun tidurnya
Beliau saw.[34]
Ada pula perbedaan lain antara hadis qudsi dengan hadis Nabi dari
sisi berikut:
a. Perbedaan dari
sisi lafal
Seperti
yang sudah diungkapkan di atas bahwa para Ulama menyepakati makna hadis qudsi
berasal dari Allah SWT berupa wahyu. Terkadang berbentuk makna yang kemudian
diungkapkan oleh Nabi, terkadang dengan
ilham atau mimpi, dan terkadang dengan perantara Malaikat Jibril.
Sedangkan
hadis Nabi, terkadang berbentuk wahyu yang Allah berikan kepada Nabi berupa
makna-makna, kemudian Nabi mengungkapkan makna ini dengan ungkapan dari Nabi
sendiri. Dan terkadang pula berbentuk ijtihad Nabi terhadap suatu
permasalahan. Dan Allah tidak memberikan teguran terhadap ijtihad Nabi
tersebut. sehingga sukut al-wahyi terhadap ijtihad Nabi ini
merupakan taqrir dari Allah SWT, karena jika Nabi melakukan kesalahan pasti
akan mendapat teguran langsung dari Allah SWT.
b. Perbedaan dari
sisi topik pembahasan atau kandungannya (mawdu’)
Adapun
dari segi topik pembahasan antara hadis qudsi dengan hadis Nabi terlihat
ada sedikit perbedaan. Hadis qudsi mayoritas berbicara mengenai Allah SWT,
yang berkaitan dengan keagungan-Nya, menampakkan rahmat-Nya, menjelaskan
luasnya kekuasaan dan pemberian kepada makhluk-Nya dan lainnya. Hadis qudsi
memberikan pendekatan spiritual antara Tuhan dengan hamba-Nya juga membuka
pintu harapan. Selain itu, hadis qudsi memberikan banyak motivasi
terhadap pembenahan diri serta pemurnian jiwa. Hal ini memberikan banyak
pengaruh untuk berbuat kebajikan dan meninggalkan kemunkaran.Sedangkan hadis
Nabi, tidak hanya membahas mengenai pendekatan diri terhadap Allah, tetapi juga
membahas mengenai tata cara beribadah dan bermu’amalah, sejarah dan
lainnya.
3)
Persamaan Antara Al-Qur’an, Hadis Qudsi dan Hadis Nabi
Meskipun memiliki perbedaan, terdapat persamaan antara
hadis qudsi dengan Al-Qur’an. Ahmad bin Mubarak di Ibriz memberikan pernyataan
mengenai persamaan antara Al-Qur’an, hadis qudsi dan hadis Nabi, seperti:
a. Al-Qur’an, hadis qudsi dan hadis Nabi sama-sama keluar
dari dua bibir (mulut) Rasulullah Saw.
b. Semuanya mengandung anwar (cahaya-cahaya) dari
cahaya Nabi Muhammad
c. Semuanya bersumber dari wahyu Ilahi, baik secara jaliy
atau ghayr jaliy.
d. Antara hadis qudsi dan hadis Nabi sama melalui jalur A<had
sehingga perlu dilakukan penelitian mengenai kualitasnya, sedangkan Al-Qur’an
dinukil melalui jalur mutawatir yang tidak perlu dilakukan penelitian terlebih
dahulu.[35]
D.
Bentuk
(S{ighah) Hadis Qudsi
Dalam
periwayatan hadis qudsi, terdapat beberapa bentuk ungkapan redaksional atau
sighah yang menbedakan antara periwayatan hadis qudsi dengan hadis
yang lainnya, bentuk tersebut secara umum dibagi dua jenis:
1.
Siyagh
al-hadis al-sarih (bentuk-bentuk ungkapan yang ekspilisit), yaitu yang
penisbatan kepada Allah menggunakan lafaz yang jelas dan tegas.
a.
Rasululah
SAW menisbatkan matan hadisnya kepada Allah dengan ungkapan قال الله تبارك و
تعالى,يقول الله تبارك و
تعالى,
قال ربكم, يقول ربكمdan
semacamnya. Contohnya hadis Abu Hurairah berikut;
4779 -
حَدَّثَنَا عَلِيُّ بْنُ عَبْدِ اللَّهِ، حَدَّثَنَا سُفْيَانُ، عَنْ أَبِي
الزِّنَادِ، عَنِ الأَعْرَجِ، عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ، عَنْ
رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ: " قَالَ اللَّهُ
تَبَارَكَ وَتَعَالَى: أَعْدَدْتُ لِعِبَادِي الصَّالِحِينَ، مَا لاَ عَيْنٌ
رَأَتْ، وَلاَ أُذُنٌ سَمِعَتْ، وَلاَ خَطَرَ عَلَى قَلْبِ بَشَرٍ "…[36]
119-
"قال الله للنفس: اخرجي، قالت: لا أخرج إلا وأنا كارهة. قال: اخرجي وإن
كرهت". رواه البزار، والديلمي عن أبي هريرة.
b.
Perawi berkata فيما
روى عن الله تبارك وتعالى atau فيما يروي atau يحكي عن ربه تبارك وتعالى atau أَوْحَى اللهُ إِلَيَّ atau أَمَرَنِي رَبِّيseperti hadis Abi Darr:
63- عَنْ ابْنِ
عُمَرَ -رضي الله عنهما- عَنْ النَّبِيِّ صلى الله عليه وسلم فِيمَا يَحْكِي
عَنْ رَبِّهِ تَبَارَكَ وَتَعَالَى قَالَ: ((أَيُّمَا عَبْدٍ مِنْ عِبَادِي
خَرَجَ مُجَاهِدًا فِي سَبِيلِي؛ ابْتِغَاءَ مَرْضَاتِي ضَمِنْتُ لَهُ أَنْ
أُرْجِعَهُ بِمَا أَصَابَ مِنْ أَجْرٍ وَغَنِيمَةٍ وَإِنْ قَبَضْتُهُ أَنْ
أَغْفِرَ لَهُ وَأَرْحَمَهُ وَأُدْخِلَهُ الْجَنَّة)).[37]
6491 -
حَدَّثَنَا أَبُو مَعْمَرٍ، حَدَّثَنَا عَبْدُ الوَارِثِ، حَدَّثَنَا جَعْدُ بْنُ
دِينَارٍ أَبُو عُثْمَانَ، حَدَّثَنَا أَبُو رَجَاءٍ العُطَارِدِيُّ، عَنِ ابْنِ
عَبَّاسٍ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمَا، عَنِ النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ
وَسَلَّمَ، فِيمَا يَرْوِي عَنْ رَبِّهِ عَزَّ وَجَلَّ قَالَ: قَالَ:
«إِنَّ اللَّهَ كَتَبَ الحَسَنَاتِ وَالسَّيِّئَاتِ ثُمَّ بَيَّنَ ذَلِكَ، فَمَنْ
هَمَّ بِحَسَنَةٍ فَلَمْ يَعْمَلْهَا كَتَبَهَا اللَّهُ لَهُ عِنْدَهُ حَسَنَةً
كَامِلَةً، فَإِنْ هُوَ هَمَّ بِهَا فَعَمِلَهَا كَتَبَهَا اللَّهُ لَهُ عِنْدَهُ
عَشْرَ حَسَنَاتٍ إِلَى سَبْعِ مِائَةِ ضِعْفٍ إِلَى أَضْعَافٍ كَثِيرَةٍ، وَمَنْ
هَمَّ بِسَيِّئَةٍ فَلَمْ يَعْمَلْهَا كَتَبَهَا اللَّهُ لَهُ عِنْدَهُ حَسَنَةً
كَامِلَةً، فَإِنْ هُوَ هَمَّ بِهَا فَعَمِلَهَا كَتَبَهَا اللَّهُ لَهُ سَيِّئَةً
وَاحِدَةً»[38]
c.
Cerita sebagian peristiwa pada hari
kiamat yang di dalamnya disebutkan kalam Allah swt. Seperti hadis sahabat Anas:
7 - عَنْ عَبْدِ اللَّهِ بْن عمرِو بن الْعَاصِ - رَضِيَ اللَّهُ
عَنْهُمَا - قَالَ: قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صلى الله عليه وسلّم: «إنَّ اللَّهَ
سَيُخَلِّصُ رَجُلاً مِنْ أُمَّتِي عَلَى رُوُوسِ الْخَلاَئِقِ يَوْمَ
الْقِيَامَةِ، فَيَنْشُرُ لَهُ تِسْعَةً وَتِسْعِينَ سِجِلاًّ، كُلُّ سِجلٍّ
مِثْلُ مَدِّ الْبَصَرِ، ثُمَّ يَقُولُ: أَتُنْكِرُ مِنْ هَذَا شَيْئا؟
أَظَلَمَكَ كَتَبَتي الْحَافِظُونَ؟ فَيَقُولُ: لاَ، يَا رَبِّ، فَيَقُولُ:
أَفَلَكَ عُذْرٌ؟ فَيَقُولُ: لاَ، يَا رَبِّ، فَيَقُولُ: بَلَى، إنَّ لَكَ
حَسَنَةً، فَإنَّهُ لاَ ظُلْمَ عَلَيْكَ الْيَوْمَ فَتُخْرَجُ بِطَاقَةٌ، فِيهَا
أَشْهَدُ أَنْ لاَ إلهَ إلاَّ اللَّهُ، وَأَشْهَدُ أَنَّ مُحَمَّدا عَبْدُهُ
وَرَسُولُهُ، فَيَقُولُ: احْضُرْ وَزْنَكَ، فَيَقُولُ: يَا رَبِّ، مَا هَذِهِ
الْبِطَاقَةُ مَعَ هَذِهِ السِّجِلاَّتِ؟ فقَالَ: إنَّكَ لاَ تُظْلَمُ، قَالَ:
فَتُوضَعُ السِّجِلاَّتُ في كِفَّةٍ، وَالبِطَاقَةُ في كِفَّةٍ، فَطَاشَتِ
السِّجِلاَّتُ، وَثَقُلَتِ الْبِطَاقَةُ، فَلاَ يَثْقُلُ مَعَ اسْمِ اللَّهِ
أَحَدٌ»..[39]
6557 - حَدَّثَنِي مُحَمَّدُ بْنُ بَشَّارٍ، حَدَّثَنَا غُنْدَرٌ،
حَدَّثَنَا شُعْبَةُ، عَنْ أَبِي عِمْرَانَ، قَالَ: سَمِعْتُ أَنَسَ بْنَ مَالِكٍ
رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ، عَنِ النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ:
" يَقُولُ اللَّهُ تَعَالَى لِأَهْوَنِ أَهْلِ النَّارِ عَذَابًا
يَوْمَ القِيَامَةِ: لَوْ أَنَّ لَكَ مَا فِي الأَرْضِ مِنْ شَيْءٍ أَكُنْتَ
تَفْتَدِي بِهِ؟ فَيَقُولُ: نَعَمْ، فَيَقُولُ: أَرَدْتُ مِنْكَ أَهْوَنَ مِنْ
هَذَا، وَأَنْتَ فِي صُلْبِ آدَمَ: أَنْ لاَ تُشْرِكَ بِي شَيْئًا، فَأَبَيْتَ
إِلَّا أَنْ تُشْرِكَ بِي"[40]
2.
Siyagh
al-hadis ghair al-sarih (bentuk-bentuk ungkapan hadis yang implisit).
Maksudnya samar, tidak secara jelas dan tegas penyandarannya kepada Allah swt.
291 - والرواية
الثانية: عَنْ أَبي سَعْد بْنِ أَبي فَضَالَةَ (وكان من الصحابة) رَضِيَ اللَّهُ
عَنْهُ - قَالَ: قالَ رَسُولُ اللَّهِ صلى الله عليه وسلّم: «إذَا جَمَعَ اللَّهُ
الأَوَّلِينَ والآخَرِينَ يَوْمَ الْقِيَامَةِ لِيَوْمٍ لاَ رَيْبَ فِيهِ نَادَى
مُنَادٍ: مَنْ كانَ أَشْرَكَ في عَمَلٍ عَمِلَهُ للَّهِ، فَلْيَطْلُبْ
ثَوَابَهُ مِنْ عِنْدِ غَيْرِ اللَّهِ، فَإنَّ اللَّهَ أَغْنى الشُّرَكَاءِ عَنِ
الشِّرْكِ».[41]`
5927 -
حَدَّثَنِي عَبْدُ اللَّهِ بْنُ مُحَمَّدٍ، حَدَّثَنَا هِشَامٌ، أَخْبَرَنَا
مَعْمَرٌ، عَنِ الزُّهْرِيِّ، عَنِ ابْنِ المُسَيِّبِ، عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ
رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ، عَنِ النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ:
«كُلُّ عَمَلِ ابْنِ آدَمَ لَهُ إِلَّا الصَّوْمَ، فَإِنَّهُ لِي وَأَنَا
أَجْزِي بِهِ، وَلَخُلُوفُ فَمِ الصَّائِمِ أَطْيَبُ عِنْدَ اللَّهِ مِنْ
رِيحِ المِسْكِ»[42]
Contoh lain:
3- عَنْ عَائِشَةَ -رضى الله عنها- قالت: سَمِعْتُ رَسُولَ اللَّهِ
صلى الله عليه وسلم يَقُولُ وَهُوَ بَيْنَ ظَهْرَانَيْ أَصْحَابِهِ: ((إِنِّي
عَلَى الْحَوْضِ أَنْتَظِرُ مَنْ يَرِدُ عَلَيَّ مِنْكُمْ فَوَاللَّهِ
لَيُقْتَطَعَنَّ دُونِي رِجَالٌ فَلَأَقُولَنَّ: أَيْ رَبِّ مِنِّي وَمِنْ
أُمَّتِي. فَيَقُولُ: إِنَّكَ لَا تَدْرِي مَا عَمِلُوا بَعْدَكَ مَا زَالُوا
يَرْجِعُونَ عَلَى أَعْقَابِهِمْ)) .[43]
5144 - حَدَّثَنَا مُحَمَّدُ بْنُ عَلِيِّ بْنِ شُعَيْبٍ قَالَ:
نَا خَالِدُ بْنُ خِدَاشٍ قَالَ: نَا أَبُو عَوْنٍ، صَاحِبُ الْقِرَبِ قَالَ: نَا
سَدُوسٌ، صَاحِبُ السَّابِرِيِّ، عَنْ أَنَسِ بْنِ مَالِكٍ قَالَ: قَالَ رَسُولُ
اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: «إِذَا الْتَقَى الْخَلَائِقُ يَوْمَ
الْقِيَامَةِ، فَأُدْخِلَ أَهْلُ الْجَنَّةِ الْجَنَّةَ، وَأَهْلُ النَّارِ
النَّارَ نَادَى مُنَادٍ يَوْمَ الْقِيَامَةِ: يَا أَهْلَ الْجَمْعِ، تَتَارَكُوا
الْمَظَالِمَ بَيْنَكُمْ وَثَوَابُكُمْ عَلَيَّ»[44]
Hadis di atas merupakan jenis hadis qudsi yang ghair
al-sarih, maka penetapannya dengan
memperhatikan indikasi maknanya (dalalah). Indikasi yang menunjukkan
hadis qudsi pada matan hadis di atas terdapat pada kalimat yang digarisbawahi.
Demikian karakteristik khusus yang dimiliki hadis
qudsi yang membedakannya dari hadis-hadis Nabi pada umumnya. Pengetahuan
tentang bentuk ungkapan hadis qudsi tersebut di atas menjadi metode utama dalam
identifikasi.
E.
Tema (mawd{u’) Bahasan Hadis Qudsi
Pada umumnya hadis-hadis qudsi terdapat dalam bab-bab
tentang keimanan, kehidupan zuhud dan asketis (al-zuhd wa al-riqaq),
tentang doa (al-Du’a) dan permohonan ampunan (al-Istighfar),
motivasi berakhlak mulia dan larangan dari akhlak buruk dan tercela, tentang
keajaiban ciptaan Allah, tentang peristiwa hari kebangkitan dan berkumpulnya
manusia di padang masyhar (al-Ba’th wa al-Nushur), pertimbangan amal (al-mizan),
telaga surga (al-haud), syafa’at, tentang surga dan neraka, dll.
menjelaskan tentang etika akhlak dan keutamaan amal (al-fada’il), dasar-dasar pembinaan, pendidikan pribadi dan
penyucian jiwa sebagai bentuk arahan menuju keridhoan Allah SWT.[45]
Hadis qudsi tidak menjelaskan tentang perincian syari’at
dan hukum-hukumnya.Jika pun ada menyebut tentang kewajiban, halal dan haram
maka penyebutannya dalam konteks motivasi targhib wa tarhib, seperti
dalam hadis “Kullu ‘amal Ibn A<dam lahu Illa al-Shiyam fa innahu li wa
ana Ajziy bih”.[46]
F.
Kualitas
Hadis Qudsi dan Hukum mengamalkan Hadis Qudsi
Walaupun ada unsur “taqdis”
yang melekat pada hadis qudsi, akan tetapi dari aspek kekuatan validitas
sanadnya, bisa jadi selain ada hadis qudsi yang sahih dan hasan, ada juga yang
berkualitas dho’if sebagaimana hadis lainnya. Penyebutan
khusus jenis hadis ini biasanya merujuk kepada pembagian hadis ditinjuau dari
aspek narasumber pertamanya (taqsim
al-hadith min haith nisbatih ila qa’ilih).[47]Menurut Nur al-Din ‘Itr, kajian ilmu hadis dari aspek
matan di antaranya mencakup pembahasan tentang nara sumber matan hadis (min haith qailih). Hal ini terbagi empat
macam, yaitu: hadis al-qudsy,
al-marfu’, al-mawquf, dan al-maqtu’.
[48]
Disebabkan karena hadis qudsi
tidak seperti Al-Qur’an yang mutawatir, maka perlu adanya penyeleksian
dan penelitian terhadap hadis qudsi, melihat periwayatan hadis qudsi
tidaklah seluruhnya mutawatir dan dikhawatirkan terdapat kesalahan dan
penyelewengan yang mengakibatkan hadis qudsi tidak sahih.
Dalam
menilai kualitas hadis qudsi dari sisi kesahihannya, perlu diterapkan
penilaian seperti yang diterapkan kepada hadis-hadis Nabi yang lainnya. Yaitu
melihat unsur-unsur penilaian kualitas hadis seperti ittisal al-sanad, ‘adalah al-ruwat, dabt
al-ruwat dan lainnya.[49]
Hadis
qudsi yang sahih bisa dijadikan hujjah dan diamalkan oleh
umat Muslim, dan hadis qudsi yang tidak sahih perlu dilakukan
penelitian lebih lanjut jika ingin menjadikannya hujjah atau
mengamalkannya, supaya tidak terjerumus terhadap pendustaan yang
mengatasnamakan Nabi, lebih-lebih mengatasnamakan Allah.[50]Bahkan
menurut penelitian Umar’ Aly ‘Abd Allah Muhammad
pada umumnya banyak hadis qudsi yang dho’if bahkan palsu ada di dalam sebagian
kitab masanid dan ma’ajim,[51]
sehingga harus lebih diwaspadai.
G.
Perkembangan penulisan kitab hadis Qudsi
Berdasarkan data yang kami peroleh, model penyusunan
kitab hadis qudsi diperkirakan dimulai pada abad ke-6 Hijriyah oleh Imam
al-Ghazali(w. 505 H) dengan
Kitabnya Al-Mawa’iz fi al-Ahadith al-Qudsiyyah. Tidak lama sesudah itu, muncul Kitab al-Ahadith
al-Ilahiyyah yang ditulis oleh Zahir bin Tahir bin Muhammad al-Naysabury (w.
533 H) yang terdiri dari sepuluh juz dengan jumlah hadis 449 termasuk
pengulangan atau 213 hadis jika tanpa pengulangan.
Kemudian pada Abad ke-7 H, muncul Kitab Al-Arba’un
al-Ilahiyyah karya Ibn al-Mufaddal al-Maqdisi (w. 611 H). Selanjutnya terdapat Muhy al-Din
Ibn ‘Araby yang lahir pada tahun 560 H dan wafat pada tahun 638 H yang berdasarkan
catatan biografinya menyebutkan bahwa Ibn ‘Araby mengumpulkan hadis-hadis qudsi
sebanyak 101 hadis, yang dinamakannya Mishkah
al-Anwar fima ruwiya ‘an Allah Subhanahu wa Ta’ala min al-Akbar.[52]
Pada Abad
ke-8 H, para ulama hadis juga melanjutkan tradisi kodifikasi khusus hadis
qudsi, sehingga muncul kitab-kitab di antaranya; Al-Maqasid
al-Saniyyah fi al-Ahadith al-Ilahiyyah karya Ibn Balbab al-Farisi (w. 739 H) dan Al-Arba’un
al-Ilahiyyah min Riwayah Khayr al-Bariyyah karya S{alah{uddin al-‘Ala’I (w. 761
H)
Selanjutnya pada Abad ke-10 Hijriyah juga terdapat kitab
hadis qudsi, diantaranya; Kitab Al-Ahadith
al-Qudsiyyah karya Ibn al-Diba’ al-Shaybani (w. 944 H) dan Abad ke-11, Shaikh
al-Imam Mula ‘Ali al-Qary’ yang wafat di tahun 1014 H menulis Kitab Al-Ahadith
al-Qudsiyyah yang menurut al-Zarkaly kitab hadis qudsi tersebut terdiri dari
empat puluh hadis qudsi.[53]
Juga pada masa itu, Syaikh ‘Abd Ra’uf al-Munawy yang wafat tahun 1031 H
menyusun sebuah kitab yang menghimpun hadis-hadis qudsi dengan judul al-Ittihaf al-Saniyyah. Beliau
mengumpulkan sejumlah hadis qudsi yang mampu dihimpunnya dan menyusunnya
berdasar huruf mu’jam (alfabetis)
dalam satu jilid.Namun, penulisan hadisnya tanpa disertakan sanad.
Kemudian pada abad-abad sesudahnya, ada Syaikh ‘Abd
al-Ghany al-Nablisy yang wafat di tahun 1143 H yang mengumpulkan hadis-hadis
qudsi dalam sebuah kitab. Namun, catatan sejarah biografinya tidak menyebutkan
jumlah hadisnya dan nama kitabnya. Juga ada seorang ‘alim bernama Syaikh
Muhammad al-Madany, salah seorang ahli fiqih madzhab hanafi yang wafat tahun
1200 H. Beliau menulis sebuah kitab yang diberi judul sama dengan karya al-Munawy
yaitu al-Ittihaf al-Saniyyah.Di dalamnya
terkumpul 864 hadis qudsi. Di penutup kitabnya beliau menyebutkan bahwa
hadis-hadis tersebut diperoleh dengan penelusuran (tatabbu) dan penelitian yang sebagian besarnya diambil dari Kitab
Jami’ al-Jawami’ karya Imam al-Suyuti.[54]
Selanjutnya di era kontemporer juga bermunculan
kitab-kitab hadis qudsi antara lain; Al-Ahadith
al-Qudsiyyah karya Lajnah
al-Qur’an al-Karim wa al-H{adith yang
disusun oleh Majelis al-A’la li al-Shu’un
al-Islamiyyah, Al-Ahadith al-Qudsiyyah: Jam’an wa Dirasatan karya ‘Umar ‘Aly ‘Abd Allah
Muhammad yang pertama kali diterbitkan di Madinah tahun 1425 H dan memuat 482
hadis qudsi, Jami’ al-Ahadith al-Qudsiyyah: Mawsu’ah
Jami’ah Mashruhah wa Muhaqqaqahyang terdiri dari 3 jilid yang
ditulis oleh Abu ‘Abd al-Rahman ‘Isham al-Din al-D{ababaty dan diterbitkan oleh
Dar al-Rayyan.
H.
Kitab-kitab
yang Memuat Hadis Qudsi
Di antara
kitab-kitab yang secara khusus ditulis oleh para ulama untuk mengoleksi
hadis-hadis qudsi, antara lain:
1.
Al-Mawa’iz
fi al-Ahadith al-Qudsiyyah karya Imam al-Ghazali (w. 505 H)
2.
Al-Arba’un
al-Ilahiyyah karya Ibn al-Mufaddal al-Maqdisi (w. 611 H)
3.
Mishkat
al-Anwar fima ruwiya ‘an Allah Subhanahu min al-Akhbar karya Abu ‘Abdillah
Muhammad bin ‘Ali bin al-‘Arabi al-T{a’I (w. 638 H)
4.
Al-Ahadith
al-Qudsiyyah karya Imam al-Nawawi (w. 676 H)
5.
Al-Maqasid
al-Saniyyah fi al-Ahadith al-Ilahiyyah karya Ibn Balbab al-Farisi (w. 739 H)
6.
Al-Arba’un
al-Ilahiyyah min Riwayah Khayr al-Bariyyah karya S{alah{uddin al-‘Ala’I (w. 761
H)
7.
Arba’un
Hadithan Qudsiyyah ‘ala T{ariqah al-Tasawwuf karya Jamaluddin al-Aqsara’I (w.
776 H)
8.
Al-Ahadith
al-Qudsiyyah karya Ibn al-Diba’ al-Shaybani (w. 944 H)
9.
Al-Ahadith
al-Qudsiyyah wa al-Kalimat al-Insiyyah karya al-Mulla ‘Ali al-Qari (w. 1014 H)
10. Al-Ittihafat al-Saniyyah fi al-Ahadith
al-Qudsiyyah karya Muhammad bin Mahmud bi S{alih al-T{irbizuni yang lebih
dikenal dengan al-Madani (w. 1200 H)
11. Al-Ittihafat al-Saniyyah bi al-Ahadith
al-Qudsiyyah karya Zaynuddin al-Munawi (w. 1031 H)
12. Al-Ahadith al-Qudsiyyah karya lajnah
al-Qur’an al-Karim wa al-H{adith Majelis al-A’la li al-Shu’un al-Islamiyyah.
13. Al-Ahadith al-Qudsiyyah: Jam’an wa Dirasatan karya ‘Umar ‘Aly ‘Abd Allah
Muhammad.
I.
Pembahasan Sebagian Contoh Kitab Hadis Qudsi
1.
Al-Arba’un
al-Qudsiyah.[55]
Kitab ini ditulis oleh seorang Syaikh, al-Imam, Abu
al-Hasan Nur al-Din ‘Ali bin Sultan
al-Qary al-Harawy al-Hanafy yang popular dengan nama Mulla ‘Aly al-Qary.
Kata “Mulla” adalah Bahasa Persia yang berarti seorang ulama besar. Adapun
“al-Qary” adalah gelar yang disematkan kepadanya karena dia membaca Al-Quran di
Makkah dan mencapai level yang tinggi dalam hafalan dan itqan bacaan, sehingga
Beliau dikenal dengan sebutan itu.[56]
Beliau dilahirkan di Kota Herat sekitar Tahun 930 H.
Sekitar 11 tahun dari kelahirannya, sejumlah ulama hijrah dari Herat ke Kota
Makkah saat muncul dan menguatnya mazhab Syi’ah Rafidah. Di antara para ulama
tersebut terdapat keluarga Mulla ‘Ali al-Qary.[57]
Beliau belajar kepada sejumlah orang guru terkenal di
Kota Makkah di antaranya Ibn Hajar al-Haitamy al-faqih (w. 973 H).Beliau bermukim di Makkah beberapa waktu
lamanya untuk mempelajari Qira’at, tafsir dan lain-lain serta menulis sejumlah
kitab. Di antara karyanya adalah Sharh
al-Mishkah, Sharh al-Shama’il, Sharh al-Jazriyah, Sharh al-Shatibiyah, Sharh
al-Nukhbah, dll.Beliau bermazhab Maliki awalnya, kemudian berpindah ke
mazhab Hanafy.Beliau banyak sekali menulis sehingga karya tulisnya mencapai
seratus buah.Beliau meninggal pada Bulan Syawal tahun 1014 H di Kota Makkah al-Musharrafah kemudian dimakamkan di
Pekuburan Ma’lah.[58]
Adapun beberapa keterangan terkait tentang kitab
Al-Arba’un al-Qudsiyah adalah sebagai berikut:
a.
Kitab
tersebut terdiri dari empat puluh (40) hadis. Penulis tidak menyebutkan sanad
secara lengkap. Namun, hanya menyebutkan nama sahabat yang meriwayatkan dari
Rasulullah SAW dan di bagian akhir setiap hadis disebutkan siapa penulis kitab
induk hadis yang disebutkan periwayatan hadisnya. Contohnya :“rawahu Ahmad wa Ashab al-Sitti ma ‘ada
al-Bukhary. Berikut nukilan
langsung dari kitab Al-Arba’un al-Qudsiyah:
b.
Hadis
pertama adalah hadis yang matannya berbunyi: “Qasamtu al-S{alah bainy wa baina ‘abdy nisfain..dan ditutup dengan
hadis ke-40 yang berbunyi “Aina
al-Mutahabbun li jalaly…”. Keseluruhan hadis bertemakan targhib (motivasi) dan tarhib (peringatan dan ancaman).
c.
Dari empat
puluh hadis tersebut terdapat 11 hadis yang menurut penelitian Abu Ishaq
al-Huwainy berstatus dho’if. Menurut Abu Ishaq al_Huwainy, hal ini patut
disayangkan karena hadis-hadis Qudsi yang shahih cukup banyak, namun empat
puluh yang terpilih oleh al-Qary justru banyak yang da’if.
d.
Pada bagian
pengantar (muqaddimah), Mulla ‘Aly al-Qary menjelaskan secara singkat tentang
perbedaan antara hadis qudsi dengan Al-Quran. Juga menjelaskan motivasi
menyusun kitab berisi hanya 40 hadis qudsi, yaitu untuk mendapatkan keutamaan berupa
syafat dan persaksian Rasulullah SAWyang disebutkan dalam hadis:
مَنْ حَفِظَ عَلَى أُمَّتِي
أَرْبَعِينَ حَدِيثًا مِنْ أَمْرِ دِينِهَ بَعَثَهُ اللهُ فَقِيهًا، وَكُنْتُ لَهُ
يَوْمَ الْقِيَامَةِ شَافِعًا وَشَهِيدًا
“Barang siapa yang menjaga 40
hadis untuk umatku yang terkait dengan permasalahan agamanya, maka Allah akan
membangkitkannya sebagai seorang yang faqih dan aku akan menjadi pemberi
syafa’at dan saksi untuknya pada hari kiamat”.[59]
2.
Al-Ittihafat al-Saniyyah bi al-Ahadith al-Qudsiyyah
Kitab ini ditulis oleh SyaikhMuhammad Ibn ‘Abd
al-Ra’uf bin Taj al-‘A<rifin Ibn‘Aly Ibn Zain al-‘A<bidin al-H{addady al-Munawy
al-Qahiry yang lahir pada tahun 952 H atau 1545 M dan wafat pada tahun 1031 H
atau 1622 M. Beliau adalah salah seorang tokoh senior (kibar) ulama di Mesir. Banyak meneliti dan menulis kitab.Dalam
kehidupan sehari-hari, beliau sedikit makan dan sering tidak tidur malam (untuk
belajar dan ibadah).Akhirnya Beliau sakit dan lemah anggota badannya.Beliau
menyerahkan karya tulisnya kepada putranya Taj al-Din Muhammad sekitar 80 buah,
baik karya yang tebal atau tipis, telah sempurna maupun belum.Beliau hidup di
Kairo. Di antara karya tulisnya adalah Kunuz
al-Haqa’iqfi al-hadith, al-Taisir fi Sharh al-Jami’ al-S{aghir (2 jilid)
yang diringkas dari Sharh al-Kabir yaitu
Faid al-Qadir,Sharh al-Shama’il li
al-Tirmidhi, al-Kawakib al-Dariyyah fi Tarajum al-Sadah al-S{ufiyyah (2
Juz), dll.[60] Termasuk Kitab “Al-Ittihafat
al-Saniyyah bi al-Ahadith al-Qudsiyyah”. Sebagian kitab-kitabnya yang lain
ada yang sudah dicetak sebagian lagi belum. Adapun dalam penilaian hadis,
beliau termasuk mutasahil (longgar
dan toleran) dalam mensahihkan dan meng-hasan-kan hadis. Hal ini dapat
diketahui oleh mereka yang mengkaji Kitabnya
Faid al-Qadir Sharh al-Jami’
al-Saghir.[61]
Adapun beberapa keterangan terkait tentang Kitab Al-Ittihafat al-Saniyyah bi al-Ahadith
al-Qudsiyyah adalah sebagai berikut:
a.
Kitab hanya
satu jilid yang terdiri dari 194 halaman dan menghimpun sebanyak 141 hadis.
Hadis-hadis tersebut tersusun berdasarkan huruf mu’jam (alfabetis) merujuk pada awal matan hadis yaitu dimulai
dengan hadis ابن آدم!
أنزلت عليك سبع آيات Dan ditutup dengan hadis من عادى لي ولياً فقد ناصبني بالمحاربة
b.
Penulisan
hadisnya tanpa disertakan sanad. Hanya di bagian akhir penyebutan setiap hadis
disebutkan sumber hadis rujukan hadisnya. Contohnya, setelah menyebutkan matan
hadis pertama kemudian dicantumkan: “rawahu al-Tabrani fi Mu’jamihi al-Awsat
‘an Ubay bin Ka’ab. Berikut nukilan langsung dari kitab Al-Ittihafat al-Saniyyah bi al-Ahadith al-Qudsiyyah:
Imam perawi dan penulis kitab induk yang menjadi
sumber pengambilan hadis antara lain karya Al-Bukhari, Muslim Imam al-T{abrany
dalam Mu’jam Al-Ausat, Sunan al-Tirmidhi, Al-Baihaqy, Abu Nu’aim, Ahmad, Abu
Ya’la, Ibn ‘Ady, Al-Hakim, Malik, An-Nasa’I, dll.
c.
Hadis qudsi
yang terkumpul berkisar pada tema (maudu’)
tentang al-targhib wa tarhib
(motivasi beramal dan peringatan serta ancaman bagi yang meninggalkannya).
Contohnya: hadis ke-3 adalah motivasi
(targhib) untuk berdzikir setelah sholat subuh dan ashar. Sementara hadis ke-27
adalah tarhib kemurkaan Allah SWT
atas orang berbuat zalim kepada seseorang yang tidak memiliki penolong selain
Allah.
d. Menurut pen-tahqiq kitab tersebut, pengumpulan hadis-hadis qudsi oleh al-hafiz al-Munawy tidak hanya membatasi pada hadis qudsi yang sahih saja. Namun, pengumpulannya diorientasikan bersifat menyeluruh, sehingga asal terindentifikasi sebagai hadis qudsi, tanpa melihat status validitasnya apakah sebagai hadis sahih, hasan ataukah dho’if. Demikian pula pen-syarah kitab tersebut yaitu Syaikh Muhammad Munir bin ‘Abduh A<gha al-Dimashqy[62] tidak menyinggung hadis-hadis tersebut dari aspek kesahihan dan kedho’ifannya.Namun, hanya menjelaskan lafal dan makna yang terkandung di dalamnya, dan menjelaskan (tarjamah) sebagian perawi, serta menjelaskan tentang pengertian hadis qudsi dan perbedaannya dengan Al-Quran.[63] Menurut hasil penelitian validitas hadis oleh muhaqqiq-nya yaitu ‘Abd al-Qadir al-Arnauwt dan T{alib ‘Awwad, dari sekitar 141 hadis yang terdapat dalam kitab tersebut sekitar 80 hadis di antaranya berstatus da’if.
J. Faktor
Yang Memotivasi Kodifikasi Hadis-Hadis Secara Khusus
Faktor yang memotivasi sebagian para
penulis untuk menyusun kitab hadis qudsi secara khusus adalah karena “nilai istimewa”
yang dimiliki jenis hadis ini dalam penisbatan Rasulullahsaw kepada Allah swt. Hal
ini membuat jiwa yang beriman lebih terdorong untuk menerimanya dengan baik,
membangkitkan perasaan spiritual yang baik sehingga termotivasi untuk
mengamalkannya. Karena secara umum hadis-hadis
jenis ini bercorak targhib wa tarhib
dalam keutamaan amal (fada’il al-a’mal).[64]
Faktor lain adalah karena kebutuhan praktis dari para aktivis dakwah dan penceramah agama terhadap bahan-bahan referensi hadis-hadis qudsi dan kebutuhan kaum muslimin pada umumnya.[65]
BACA ARTIKEL LAINNYA YANG BERKAITAN:
- TIPOLOGI KODIFIKASI HADIS MASHHUR
- TIPOLOGI KITAB HADIS MAJAMI’
- TIPOLOGI KITAB HADIS QUDSI
- TIPOLOGI KITAB HADIS AL MUSTAKHRAJ
- TIPOLOGI KITAB HADIS AL-ATRAF
- TIPOLOGI KODIFIKASI KITAB HADIS AL-MUSTADRAKAT
BAB III
KESIMPULAN
1.
Hadis Qudsi
merupakan hadis yang sampai kepada Rasulullah SAW (marfu’) berupa hadis verbal (qauly)
dengan penyandaran sanadnya dari Nabi SAW kepada Allah.Hadis qudsi
walaupun disanadkan kepada Allah Ta’ala karena menjadi kalam-Nya, akan tetapi
tidak dimaksudkan sebagai mukjizat.
2.
Dalam
beberapa aspek, hadis Qudsi berbeda dengan Al-Quran maupun hadis Nabawy yang
lainnya.
3.
Identifikasi dan penentuan suatu hadis dinilai sebagai hadis qudsi
adalah dari aspek Siyagh al-hadis. Siyagh ini ada yang ekspilisit(sarih), ada juga yang implisit (ghayr al-sarih).
4.
Dilihat dari
aspek topik atau tema bahasannya, hadis-hadis qudsi berkaitan dengan motivasi beramal
(fadail a’mal) atau targhib wa tarhib, dan tidakmembahas perincian
hukum-hukumsyari’at.
5.
Dari aspek
kualitas kesahihannya, hadis qudsi sama dengan jenis hadis yang lain. Ada yang
berstatus sahih dan hasan, ada juga yang berkualitas lemah (da’if) bahkan palsu (mawdu’).
6.
Perhatian
para ahli hadis terhadap penulisan kitab hadis qudsi (al-ahadith al-qudsiyyah)
cukup intensif sejak abad ke-6 Hijriyah hingga era kontemporer.
7. Faktor yang memotivasi sebagian para penulis untuk menyusun kitab hadis qudsi secara khusus adalah karena “nilai istimewa” yang dimiliki jenis hadis ini dalam penisbatan Rasulullah SAW kepada Allah SWT. Juga karena adanya kebutuhan praktis dalam dakwah.
DAFTAR PUSTAKA
Baihaqy
(al). Shu’ab al-I<man. Riyad: Maktabah al-Rushd, cet. 1, 1423 H/2003
M.
Bukhary (al), Muhammad bin
Isma’il. Al-Jami’ al-Musnad al-S{ahih al-Mukhtasar min Umur Rasul Allah
S{alla Allah ‘alaih wa Sallam Wa Sunanih wa Ayyamih. Vol. 6, ed. Muhammad
Zuhair bin Nasir al-Nasir. t.t. : Dar T{uruq al-Najah, cet. 1, 1422 H.
Busty (al), Muhammad Ibn Hibban. S{ahih Ibn Hibban, vol. 16, ed. Shu’aib
al-Arnauwt. Beirut: Mu’assasah al-Risalah, cet. 2, 1414 H/1993 M.
Dimashqy (al), Khair al-Din bin
Mahmud al-Zarkaly. Al-A’lam. ttp: Dar al-‘Ilm li al-Malayin, cet. 15,
2002 M.
Din (al), Muhammad bin Shakir
S{alah. Fawat al-Wafiyyat. Vol. 3, ed. Ihsan Abbas. Beirut: Dar S{adir,
cet.1, 1974 M.
Ghibriny (al), Ahmad bin Ahmad Abu
al-‘Abbas. ‘Unwan al-Dirayah fiman ‘Urifa min al-‘Ulama’ fi al-Mi’ah
al-Sabi’ah bi Bajayah.ed. ‘A<dil Nuwaihid. Beirut: Manshurat Dar al-A<faq al-Jadidah, cet. 2, 1979 M.
‘Itr, Nuruddin. Manhaj al-Naqd fi ‘Ulum al-hadith. Damaskus : Dar al-Fikr, Cet. 3, 1418
H/1997 M.
Jawwad (al), ‘Abd al-Jawwad Khalf
Muhammad ‘Abd al-, Madkhal Ila al-Tafsir wa ‘Ulum al-Qur’an. Kairo: Dar
al-Bayan al-‘Araby, t.th.
Judai’ (al),
‘Abd Allah bin Yusuf. Tahrir ‘Ulum al-Hadith. Beirut: Muassasah
al-Rayyan, cet.1, 1424 H/2003 M.
Kattani (al), Muhammad bin Ja’far. Al-Risalah
al-Mustatrafah li Bayan Mashhur Kutub al-Sunnah al-Musharrafah. Beirut: Dar
al-Basha’ir al-Islamiyyah, t.th.
Khalifah, Muhammad Rashad. Madrasah al-Hadith fi Misr.
Kairo: al-Hai’ah al-‘A<mmah li
Shu’un al-Matabi’ al-Amiriyah, t.th.
Khan (al),
Mustafa. al-Manhal al-Rawy min Taqrib al-Nawawy (tp: Dar al-Malah li al-Taba’ah wa al-Nashr,
ttt), 18, Nur al-Din ‘Itr, Manhaj al-Naqd
fi ‘Ulum al-Hadith. Damaskus: Dar al-Fikr, Cet. 3, 1418 H/1998 M.
Khushu’I (al), al-Khushu’I Muhammad al-Khushu’I, Mawsu’ah
‘Ulum al-Hadith al-Sharif. Kairo: Wizarah al-Awqaf al-Majlis al-A’la li
al-Shu’un al-Islamiyyah, 2009.
-----------------. Tarikh al-Sunnah
al-Nabawiyah. Kairo: Universitas al-Azhar, 2010.
Ma’bad, Muhammad Ahmad Muhammad. Nafahat
min ‘Ulum al-Qur’an. Kairo: Dar al-Salam, cet. 2, 1426 H/2005 M.
Majma’ al-Lughah al-‘Arabiyah
al-Idarah al-‘A<mmah li al-Mu’jamat wa ihya’ al-Turoth, al-Mu’jam
al-Wasit. Mesir:
Maktabah al-Shuruq al-Dauliyah, cet. 4, 1425
H/2004 M.
Manawy (al), ‘Abd al-Ra’uf bin
Taj al-‘A<rifin. Al-Ittihafat al-Saniyyah bi al-Ahadith al-Qudsiyyah. ed.
‘Abd al-Qadir al-Arnauwt dan T{alib ‘Awwad. Beirut: Dar Ibn Kathir Damaskus,
t.th.
Mandhur, Ibn.
Lisan al-‘Arab, vol.2(Mesir: Maktabah al-Shuruq al-Dauliyah, cet. 4,
1425 H/2004 M)
Muhammad,
‘Umar ‘Aly ‘Abd Allah. Al-Ahadith al-Qudsiyyah: Jam’an wa Dirasatan. Madinah:
Maktabah al-‘Ulum wa al-Hikam, cet. 1, 1425H.
Naisabury (al), Muslim bin
al-Hajjaj. al-Musnad al-S{ah{ih atau dikenal denganSahih Muslim, Vol.
4, ed. Muhammad Fu’ad ‘Abdal-Baqy. Beirut: Dar Ih{ya’ al-Turath al-‘Araby,
t.th.
Nasr, ‘Atiyyah Qabil. Ghayah al-Murid fi ‘Ilm
al-Tajwid. Kairo: Maktabah Madinah, t.th.
Qattan (al), Manna bin Khalil. Mabahith
fi ‘Ulum al-Qur’an. ttp: Maktabah al-Ma’arif li al-Nashr wa al-Tawzi’, cet.
3, 1421 H/2000 M.
Qary (al), Mulla ‘Ali. Kitab
Al-Ahadith al-Qudsiyah al-Arba’iniyyat, takhrij Abu Ishaq al-Huwainy
al-Athary. Jeddah: Maktabah al-S{ahabah, t.th.
Qasimy (al), Muhammad Jamal
al-Din. Qawa’id al-Tahdith min Funun Mustalah al-Hadith. Beirut: Dar
al-Kutub al-‘Ilmiyyah, t.th.
S{alah
(al), ‘Uthman bin ‘Abd al-Rahman Ibn. Ma’rifah Anwa’
‘Ulum al-Hadith, ed. ‘Abd al-Latif al-Hamim dan Mahir Yasin al-Fahl.
Beirut: Dar al-Kutub al-‘Ilmiyah, cet. 1, 1423 H.
Shahbah, Muhammad bin Muhammad
Abu. Al-Wasit fi ‘Ulum wa Mustalah al-H{adith. Beirut: Dar al-Fikr
al-‘Araby.
-------------. Difa’ ‘an al-Sunnah wa Radd Syubh al-Musytariqin wa
al-Kitab al-Mu’as{irin- wa yalihi al-Radd ‘ala Man Yunkir Hujjiyyah al-Sunnah. Kairo: Maktabah al-Sunnah, cet. 1, 1989 M.
Siba’i (al), Mustafa. al-Sunnah wa
Makanatuha fi al-Tasyri’ al-Islamy. Beirut:
al-Maktab al-Islamy, Cet. 3, 1420 H/1982 M.
Suharto, Ugi. Peranan Tulisan
Dalam Periwayatan Hadith. Majalah
Islamia, Thn. I No. 2/Juni-Agustus, 2004.
Suyuthi (al), Jalaluddin. Tadrib al-Rawy fi Sharh Taqrib al-Nawawy, Vol. 1, ed. Abu Mu’adz T{ariq Ibn ‘Aud Allah Ibn
Muhammad. Riyadh: Dar al-‘A<simah, 1423 H.
-----------------. Al-Itqan fi
‘Ulum al-Qur’an, ed. Muhammad Abu al-Fadl Ibrahim. Mesir: al-Hai’ah al-Misriyyah
al-‘A<mmah li al-Kutub, 1394 H/1974 M.
T{abrany (al), Abu al-Qasim
Sulaiman Ibn Ahmad. al-Mu’jam al-Awsat, vol.
5, ed. T{ariq ibn ‘Awd Allah Ibn Muhammad al-Husainy. Kairo: Dar al-Haramayn,
t.th.
T{ahhan (al),
Mahmud. Taisir Mustalah al-Hadith. Riyad: Maktabah al-Ma’arif, cet. 10,
1425 H.
Yamany (al), Muhammad bin ‘Aly
al-Shaukany. al-Badr al-T{ali’ bi Mahasin min Ba’d al-Qarn al-Sabi’. Beirut:
Dar al-Ma’rifah, t.th.
Zahwu, Abu Muhammad Muhammad. Al-H{adith wa al-Muh{addithun. Riyadh: Al-Ri’asah al-‘Ammah li Idarat al-Buhuts al-‘Ilmiyah wal Ifta’ wa al-Da’wah wa al-Iryad, 1404 H/1984 M.
[1] Mustafa\ al-Siba’i, Al-Sunnah wa Makanatuha fi al-Tashri’ al-Islamy (Beirut: al-Maktab al-Islamy, Cet.
3, 1420 H/1982 M), 104, Abu Zahwu, Muhammad Muhammad, Al-Hadith wa
al-Muhaddithun (Riyadh: Al-Ri’asah al-‘Ammah li Idarat al-Buhuts
al-‘Ilmiyah wal Ifta’ wa al-Da’wah wa al-Iryad, 1404 H/1984 M), 244
[2]UgiSuharto, Peranan Tulisan Dalam
Periwayatan Hadith (Majalah Islamia, Thn. I No. 2/Juni-Agustus, 2004), 83
[3]Muhammad Muhammad Abu Shuhbah dan
Abd al-Ghany, Difa’ ‘an al-Sunnah wa Radd Shubh al-Mushtariqin wa al-Kitab
al-Mu’asirin- wayalihi al-Radd ‘ala Man Yunkir Hujjiyyah al-Sunnah (Kairo:
Maktabah al-Sunnah, cet. 1, 1989 M), 26
[4]Muhammad Jamal al-Din al-Qasimy, Qawa’id
al-Tahdith min Funun Mustalah al-Hadith (Beirut: Dar al-Kutub al-‘Ilmiyyah,
t.th), 66
[5]Muhammad bin Muhammad Abu
Shuhbah. Al-Wasit fi ‘Ulum wa Mustalah al-Hadith. (Beirut: Dar al-Fikr
al-‘Araby, 214
[6]Lihat Ibnu
Mandhur, Lisan al-‘Arab, vol.2(Mesir:
Maktabah al-Shuruq al-Dauliyah, cet. 4, 1425 H/2004 M), 507. Majma’
al-Lughah al-‘Arabiyah al-Idarah al-‘A<mmah li al-Mu’jamat wa ihya’ al-Turath, al-Mu’jam al-Wasit (Mesir: Maktabah al-Shuruq al-Dauliyah, cet. 4, 1425 H/2004 M), 190
[7]lihat As-Suyuthi. Tadrib
al-Rawy fi Sharh Taqrib al-Nawawy, Vol. 1, ed. Abu Mu’adz Tariq
Ibn ‘Aud Allah Ibn Muhammad (Riyadh: Dar al-‘A<simah, 1423 H), 42
[8]Muhammad bin Muhammad Abu Syuhbah. Al-Wasith…, 16, Nuruddin
‘itr, Manhaj al-Naqd fi ‘Ulum al-hadith (Damaskus : Dar al-Fikr, Cet. 3,
1418 H/1997 M), 26.
[9]Muhammad Ahmad Muhammad Ma’bad, Nafahat
min ‘Ulum al-Qur’an (Kairo: Dar al-Salam, cet. 2, 1426 H/2005 M), 13
[10]Nur al-Din ‘Itr, Manhaj al-….,
323
[11]Abu Shuhbah, Al-Wasith…., 215
[12] Muhammad bin Ja’far al-Kattani, Al-Risalah
al-Mustatrafah li Bayan Mashhur Kutub al-Sunnah al-Musharrafah. (Beirut:
Dar al-Basha’ir al-Islamiyyah, t.th), 81.
[13] Al-Khushu’I al-Khushu’I Muhammad al-Khushu’I,
Mawsu’ah ‘Ulum al-Hadith al-Sharif. (Kairo: Wizarah al-Awqaf al-Majlis
al-A’la li al-Shu’un al-Islamiyyah, 2009), 358.
[14]Manna bin Khalil al-Qattan, Mabahith
fi ‘Ulum al-Qur’an (ttp: Maktabah al-Ma’arif li al-Nashr wa al-Tawzi’, cet.
3, 1421 H/2000 M), 21
[15]Muhammad Muhammad Abu Zahwu, Al-Hadith
wa al-Muhaddithun (Kairo: Dar al-Fikr al-‘Araby, 1378 H), 16
[16]‘Abd Allah bin Yusuf al-Judai’, Tahrir
‘Ulum al-Hadith, vol. 1(Beirut: Muassasah al-Rayyan, cet.1, 1424 H/2003 M),
37
[17]Nur al-Din ‘Itr, Manhaj
al-Naqd fi ‘Ulum al-Hadith (Damaskus: Dar al-Fikr, cet. 3, 1418 H/1997 M),
323
[18]Mahmud Tahhan, Taisir Mustalah
al-Hadith (Riyad: Maktabah al-Ma’arif, cet. 10, 1425 H), 158
[19]‘Abd Allah bin Yusuf al-Judai’, Tahrir
‘…, 37
[20]‘Abd al-Jawwad Khalf Muhammad
‘Abd al-Jawwad, Madkhal Ila al-Tafsir wa ‘Ulum al-Qur’an, (Kairo: Dar
al-Bayan al-‘Araby, tth), 33
[21]Muhammad Jamal al-Din al-Qasimy, Qawa’id
al-Tahdith .., 65
[22]Al-Khushu’I
al-Khushu’I Muhammad al-Khushu’I, Mawsu’ah …, 358.
[23]Jalal al-Din al-Suyuty, Al-Itqan
fi ‘Ulum al-Qur’an, ed. Muhammad Abu al-Fadl Ibrahim, vol. 1 (Mesir:
al-Hai’ah al-Misriyyah al-‘A<mmah li al-Kutub, 1394 H/1974 M), 159
[24]‘Umar
‘Aly ‘Abd Allah Muhammad, Al-Ahadith al-Qudsiyyah: Jam’an wa Dirasatan, vol.
1 (Madinah: Maktabah al-‘Ulum wa al-Hikam, cet. 1, 1425 H), 14-20
[25]‘Abd al-Jawwad Khalf Muhammad
‘Abd al-Jawwad, Madkhal Ila al-Tafsir, 34-35
[26]Ibid,.
[27]Muslim bin al-Hajjaj
al-Naisabury, al-Musnad al-Sahih atau dikenal denganSahih Muslim, Vol.
4, ed. Muhammad Fu’ad ‘Abdal-Baqy (Beirut: Dar Ihya’ al-Turath al-‘Araby,
t.th.), 119
[28]‘Umar
‘Aly ‘Abd Allah Muhammad, Al-Ahadith al-Qudsiyyah…, 18-19
[29]khusyu'I (al), al-khusyu'i al-khusyu'i
muhammad, Tarikh al-Sunnah al-Nabawiyah. (Kairo: Universitas al-Azhar,
2010), 23.
[30]Jalal al-Din al-Suyuty, Al-Itqan
fi ‘Ulum al-Qur’an, ed. Muhammad Abu al-Fadl Ibrahim, vol. 1 (Mesir:
al-Hai’ah al-Misriyyah al-‘A<mmah li al-Kutub, 1394 H/1974 M), 159
[31]Al-Qasimy, Qawa’id, 66
[32] ‘Atiyyah Qabil Nasr, Ghayah al-Murid fi
‘Ilm al-Tajwid. (Kairo: Maktabah Madinah, t.th), 9.
[33] Al-Qur’an, Surah al-Hijr: 9.
[34] Al-Khushu’I al-Khushu’I Muhammad al-Khushu’I,
Mawsu’ah ‘Ulum al-Hadith al-Sharif. 366.
[35] Muhammad Jamaluddin al-Qasimi, Qawa’id
al-Tahdith min Furu’ Mustalah al-Hadith. (Beirut: Dar al-Nafis, t.th),
66-69.
[36]Muhammad bin Isma’il al-Bukhary, Al-Jami’
al-Musnad al-Sahih al-Mukhtasar min Umur Rasul Allah Salla Allah ‘alaih wa
Sallam Wa Sunanih wa Ayyamih. Vol. 6, ed. Muhammad Zuhair bin Nasir
al-Nasir (t.t. : Dar Turuq al-Najah, cet. 1, 1422 H), 115. Hadis nomor 4779 kitab bad’u al-wahy,bab qaulihi فَلاَ
تَعْلَمُ نَفْسٌ مَا أُخْفِىَ لَهُمْ
[37]Abu ‘Abd Allah Mustafa bin al-‘Adawy
al-Misry, al-Sahih al-Musnad min al-Ahadith al-Qudsiyyah (ttp: Dar
al-Sahabah li al-Turath), 108
[38]Muhammad bin Isma’il al-Bukhary, Al-Jami’… Vol. 8, 103.
[39]Jamal Muhammad ‘Ali al-Shuqayri, Al-Ahadith
al-Qudsiyah, vol. 1 (Amman: maktabah Dar al-Thaqafah, tth), 24
[40]Muhammad bin Isma’il al-Bukhary, Al-Jami’… Vol. 8, 115
[41]Ibid., 291
[42]Muhammad bin Isma’il al-Bukhary, Al-Jami’…
Vol. 7, 164
[43]Abu ‘Abd Allah Mustafa bin
al-‘Adawy al-Misry, al-Sahih al-Musnad.., 141
[44]Abu al-Qasim Sulaiman Ibn Ahmad
al-Tabrany, al-Mu’jam al-Awsat, vol.
5, ed. Tariq ibn ‘Awd Allah Ibn Muhammad al-Husainy (Kairo: Dar al-Haramayn,
t.th), 222
[45]‘Umar
‘Aly ‘Abd Allah Muhammad, Al-Ahadith al-Qudsiyyah…, 29
[46]‘Umar
‘Aly ‘Abd Allah Muhammad, Al-Ahadith al-Qudsiyyah…, 29
[47]Abu Shuhbah, Al-Wasith.., 215
[48]Nur al-Din ‘Itr, Manhaj al-Naqd…, 321
[49]Lihat syarat-syarat hadis Sahih dalam ‘Uthman bin ‘Abd al-Rahman Ibn
Salah, Ma’rifah Anwa’ ‘Ulum al-Hadith, ed. ‘Abd al-Latif al-Hamim dan
Mahir Yasin al-Fahl (Beirut: Dar al-Kutub al-‘Ilmiyah, cet. 1, 1423 H), 79
[50]Mustafa al-Khan,al-Manhal al-Rawy min Taqrib
al-Nawawy (tp: Dar al-Malah li al-Taba’ah wa al-Nashr,
ttt), 18, Nur al-Din ‘Itr, Manhaj al-Naqd fi ‘Ulum al-Hadith (Damaskus: Dar al-Fikr, Cet. 3, 1418 H/1998 M),
29-30
[51]Umar’Aly ‘Abd Allah Muhammad,
Al-A<hadith al-Qudsiyyah…, 33
[52]Di antara catatan sejarah yang
menyebutkan informasi ini adalah Muhammad bin Shakir Salah al-Din, Fawat
al-Wafiyyat. Vol. 3, ed. Ihsan Abbas (Beirut: Dar Sadir, cet.1, 1974 M),
435-438, Ahmad bin Ahmad Abu al-‘Abbas al-Ghibriny. ‘Unwan al-Dirayah fiman
‘Urifa min al-‘Ulama’ fi al-Mi’ah al-Sabi’ah bi Bajayah.ed. ‘A<dil
Nuwaihid (Beirut: Manshurat Dar al-A<faq al-Jadidah, cet. 2, 1979 M),
156-166
[53]Muhammad Rashad Khalifah, Madrasah
al-Hadith fi Misr (Kairo: al-Hai’ah al-‘A<mmah li Shu’un al-Matabi’
al-Amiriyah, t.th), 237.
[54]ibid
[55]Di cetak dengan nama Kitab
Al-Ahadith al-Qudsiyah al-Arba’iniyyat, takhrij Abu Ishaq al-Huwainy
al-Athary (Jeddah: Maktabah al-Sahabah, t.th). Sebelumnya dicetak di Istanbul
oleh percetakan ‘A<rif Afandy tahun 1324 H, dan dipublikasikan ulang oleh
Syaikh Muhammad Raghib al-Tabbakh tahun 1345 H.
[56]Biografi singkat ditulis oleh Abu
Ishaq al-Huwainy al-Athary dalam Kitab
karya Mulla ‘Ali al-Qary, Kitab Al-Ahadith al-Qudsiyah al-Arba’iniyyat, takhrij
Abu Ishaq al-Huwainy al-Athary (Jeddah: Maktabah al-Sahabah, t.th), 8-9.
[57]Muhammad bin ‘Aly al-Shaukany
al-Yamany, al-Badr al-Tali’ bi Mahasin min Ba’d al-Qarn al-Sabi’, vol.
1(Beirut: Dar al-Ma’rifah, t.th), 445
[58]Ibid.
[59]Al-Baihaqy, Shu’ab
al-I<man, vol. 3 (Riyad: Maktabah al-Rushd, cet. 1, 1423 H/2003 M), 240.
Menurut penelitian Abu Ishaq al-Huwainy, hadis ini dan semacamnya, walaupun
memliki banyak jalur sanad, namun semuanya dho’if. Lihat catatan kaki Mulla
‘Ali al-Qary, Kitab Al-Ahadith al-Qudsiyah al-Arba’iniyyat, takhrij Abu
Ishaq al-Huwainy al-Athary (Jeddah: Maktabah al-Sahabah, t.th), 10
[60]Khair al-Din bin Mahmud
al-Zarkaly al-Dimashqy, Al-A’lam, vol. 6 (ttp: Dar al-‘Ilm li al-Malayin,
cet. 15, 2002 M), 203-204
[61]Komentar pen-tahqiq yaitu
‘Abd al-Qadir al-Arnauwt. Lihat ‘Abd al-Ra’uf bin Taj al-‘A<rifin al-Manawy,
Al-Ittihafat al-Saniyyah bi al-Ahadith al-Qudsiyyah. ed. ‘Abd al-Qadir
al-Arnauwt dan Talib ‘Awwad (Beirut: Dar Ibn Kathir Damaskus, t.th), 3
[62]Pen-syarah-nya adalah Muhammad
Munir bin ‘Abduh A<gha al-Dimashqy al-Azhary (w. 1367 H) dengan nama Kitab Al-Nafahat
al-Salafiyyah bi Sharh al-Ahadith al-Qudsiyyah. Kitab ini dicetak bersama Al-Ittihafat
al-Saniyyah oleh Dar Ibn Kathir Damaskus.
[63]‘Abd al-Ra’uf bin Taj
al-‘A<rifin al-Manawy, Al-Ittihafat al-Saniyyah bi al-Ahadith
al-Qudsiyyah. ed. ‘Abd al-Qadir al-Arnauwt dan Talib ‘Awwad (Beirut: Dar Ibn
Kathir Damaskus, t.th), 1-2
[64]Muhammad Rashad Khalifah, Madrasah
al-Hadith fi Misr (Kairo: al-Hai’ah al-‘A<mmah li Shu’un al-Matabi’
al-Amiriyah, t.th), 235
[65]Umar’Aly ‘Abd Allah Muhammad,
Al-A<hadith al-Qudsiyyah…, 30