HOME

20 Januari, 2024

TIPOLOGI KITAB HADIS QUDSI

 


BAB I

LATAR BELAKANG

Sebagai salah satu sumber referensi ajaran Islam, hadis menempati posisi penting dalam wacana keilmuan Islam. Oleh karena itu perhatian para cendekiawan (ulama) Islam khususnya ulama hadis terhadap dokumentasi dan pengkajian hadis demikian intensif dari masa ke masa.

Sejak awal abad kedua Hijriyah, saat era kodifikasi (tadwin) dimulai,[1] bermunculanlah beragam tipe penulisan kitab-kitab hadis. Gerakan intelektual yang massif di bidang penulisan kitab-kitab hadis di era ini membuahkan produk berupa puluhan bahkan ratusan kitab-kitab sunnah berupa sunan, al-musannafat, al-jawami’, al-masanid, kitab-kitab tafsir, kitab al-Maghazi, siyar, dll.[2] Selanjutnya, Abab ke-3 H (200-300 H) adalah kurun yang paling cemerlang dalam sejarah kodifikasi al-sunnah serta penelitian dan kritik hadis.[3] Pada era berikutnya, kreatifitas dan inovasi ulama hadis dalam metodologi penulisan kitab terus berlanjut. Hal ini ditandai dengan semakin beragamnya corak pendokumentasian hadis-hadis Nabi dalam kitab yang muncul dengan spesifikasi penulisan berupa kutubmustakhrajat, mustadrakat, ma’ajim, al-marasil, al-ahadith al-mashhurah, ahadith al-ahkam, atraf al-hadith, termasuk pula kutub al-ahadith al-qudsiyyah.

Dalam makalah ini akan dibahas tentang tipologi penulisan kitab hadis qudsi (al-ahadith al-qudsiyyah) yang dimulai dengan pembahasan pengertian hadis qudsi dan perbedaannya dengan Al-Qur’an dan hadis yang lain, karakteristiknya serta contoh kitab-kitab yang ditulis oleh para ulama yang secara khusus menghimpun dan mendokumentasikan hadis-hadis qudsi tersebut. Wallahu al-musta‘an wa a‘lam bi al-sawwab.  


BAB II

PEMBAHASAN

A.    Definisi Hadis Qudsi

Hadis Qudsy disebut pula dengan al-hadith al-ilahy dan al-hadith al-rabbany.[4]Namun, yang istilah popular digunakan dalam wacana keilmuan Islam adalah hadis Qudsi.Al-hadith al-Qudsy(الحَدِيْثُ القُدْسِيُّ) tersusun atas dua kata yaitu al-hadith dan al-Qudsy.[5] Dengan demikian definisi hadis qudsi secara etimologis (lughatan)  dapat ditelusuri dari pengertian kedua kata tersebut

Kata hadis secara bahasa (etimologis), setidaknya memiliki tiga macam arti,[6] yaitu;

  1. Hadis bermakna al-jadid (baru) sebagai lawan dari al-qadim (lama). Makna ini merupakan arti dasar dari kata al-hadis, yang kemudian digunakan untuk al-khabar (berita). Hal ini karena munculnya berita bersifat up to date dan berlangsung secara kontinu sebagian demi sebagian sehingga terasa sebagai sesuatu yang baru.[7]
  2. Hadis bersinonim dengan al-kalam, hal ini dapat dirujuk dari firman Allah SWT (QS. Az-Zumar: 23) ahsanal-hadith dalam ayat ini artinya ahsan al-kalam (sebaik-baik perkataan). Lihat pula QS. Al-Mursalat: 50
  3. Hadis berarti khabar dan berita (al-Khabar wa al-naba’), seperti tersebut dalam QS. An-Nazi’at: 15 dan al-Ghasyiyah: 52.

Adapun dalam perspektif terminologi ahli hadis, hadis adalah perkataan Nabi SAW—selain Al-Quran—,perbuatan, persetujuan Nabi atas sesuatu hal (taqrir), sifat fisik (khalqiyah) dan akhlak (khuluqiyah) serta seluruh informasi yang terkait dengan Nabi SAW baik sebelum diutus sebagai Nabi (qabl al-bi’thah) atau sesudahnya (ba’d al-bi’thah), demikian pula mencakup perkataan dan perbuatan sahabat Nabi SAW dan tabi’in.  Dengan demikian hadis meliputi riwayat yang marfu’, mauqufdan maqthu’. [8]

Sementara itu, term al-qudsy merupakan atribut yang disandarkan kepada al-quds (suci) yang menunjukkan pengagungan dan pemuliaan. Karena substansi makna kalimat ini secara etimologis menunjuk pada makna tanzih wa tathir (penyucian).[9]Sejalan dengan pendapat Nur al-Din ‘Itr, pemberian atribut quds pada hadis semacam itu sebagai bentuk pemuliaan (takrim) karena adanya penisbatan kepada Allah Ta’ala.[10]

Dari perspektif etimologis pun,termal-quds berporos pada makna kesucian (al-tuhr). Suatu hadis dilekatkan dengan sifat al-qudskarena substansi makna hadis tersebut melekat sikap pengkultusan Zat Allah dan penyucian sifat-sifat-Nya dari kekurangan dan hal-hal yang tidak sesuai dengan keagungan-Nya.[11]

Secara terminologis (istilahan) definisi hadis qudsiterdapat beberapa versi yang diungkapkan oleh para ulama, namun substansinya sama, di antaranya:

1.      Muhammad bin Ja’far al-Kattani memberikan definisi hadis qudsi sebagai berikut:

الأحاديث القدسية هي المسندة إلى الله تعالى بأن جعلت من كلامه سبحانه وتعالى, ولم يقصد إلى الإعجاز بها

“Hadis Qudsi adalah hadis yang disanadkan kepada Allah Ta’ala karena menjadi kalam-Nya swt, akan tetapi tidak dimaksudkan sebagai mukjizat”[12]

2.      Al-Khushu’I al-khushu’I Muhammad mendefinisikan hadis qudsi:

هو ما أضافه الرسول صلى الله عليه وسلم إلى الله تعالى من غير القران الكريم

Apa yang disandarkan oleh Rasulullah saw kepada Allah Ta’ala selain Al-Qur’an yang mulia.”[13]

3.         Manna al-Qattan mendefinisikan hadis qudsi:

هو ما يضيفه النبي -صلى الله عليه وسلم- إلى الله تعالى، أي إن النبي -صلى الله عليه وسلم- يرويه على أنه من كلام الله، فالرسول راوٍ لكلام الله بلفظ من عنده، وإذا رواه أحد رواه عن رسول الله مُسْنَدًا إلى الله عز وجل، فيقول: "قال رسول الله -صلى الله عليه وسلم- فيما يرويه عن ربه عز وجل....".أو يقول: "قال رسول الله, صلى الله عليه وسلم: قال الله تعالى ... ".

“Apa yang disadarkan periwayatannya oleh Nabi SAW kepada Allah SWT yaitu Nabi SAW meriwayatkan hal tersebut sebagai kalam Allah dan memposisikan dirinya sebagai perawi kalam Allah tersebut dengan redaksi teks (lafal) dari Beliau pribadi. Dan jika seorang meriwayatkannya dari Nabi SAW dengan men-sanad-kannya kepada Allah Azza wa Jalla dengan berkata : “Rasulullah SAWbersabda dari apa yang diriwayatkannya dari Tuhannya…” atau berkata: “Rasulullah SAW bersabda: Allah Ta’ala berfirman:…”. [14]

4.             Adapun menurut Abu Zahwu, ahadith Qudsiyah adalah

طائفة من الأحاديث نقلت إلينا آحادا عنه صلى الله عليه وسلم، مع إسنادها إلى الرب عز اسمه

“Sejumlah hadis yang transfer periwayatannya kepada kita secara ahad dari Nabi SAW dengan sanad yang disandarkan kepada Allah SWT.”[15]     

5.             Sementara menurut ‘Abd Allah bin Yusuf al-Judai’bahwa definisi yang tepat untuk hadis qudsi adalah

الحديث المرفوع القولي المسند من النبي صلى الله عليه وسلم إلى الله.

“Hadis yang sampai kepada Rasulullah SAW (marfu’) berupa hadis verbal (qauly) dengan penyandaran sanadnya dari Nabi SAW kepada Allah.”.[16]

            Definisi yang serupa disebutkan oleh Nur al-Din ‘Itr[17] dan Mahmud T{ahhan.[18] Menurut al-Juda’I, definisi tersebut telah membedakannya dengan definisi Al-Quran dari aspek Al-Quran tidaklah disebut hadis marfu’. Adapun al-qawly untuk membedakannya dengan seluruh jenis hadis marfu’.Sementara, “dengan penyandaran sanadnya dari Nabi SAW kepada Allah” untuk mengkhususkan dari keumuman berbagai jenis hadis marfu’ yang qawly dimana Rasulullah SAW menjadi narasumber secara redaksional.[19]

 

B.     Hadis Qudsi dalam Konteks Konsep Wahyu

Wahyu memiliki sejumlah karakteristik antara lain yaitu; (1) bersumber dari kemampuan (power) eksternal bukan kemampuan internal yang muncul begitu saja dari dalam diri Nabi sendiri sebagai orang yang menerima wahyu. (2) bersifat kemampuan/kekuatan kebaikan yang istimewa, terpilih dan terjaga dari kekeliruan (ma’sumah). Fungsinya adalah sebagai petunjuk kepada kebaikan dan penjaga dari kekeliruan dan kesalahan dalam arahan perintah dan larangan serta etika perilaku privat (khassah) maupun publik (‘ammah). (3) merupakan kekuatan ilmiah (the power of knowledge) yang membekali seorang nabi dengan ilmu “rahasia” yang belum pernah diketahui sebelumnya. (4) muncul dalam keadaan jiwa dan pikiran yang ikhtiyariyah (bersifat sadar), (5) bersifat luar biasa (extra ordinary) dan bukan hal yang biasa terjadi pada orang biasa.[20]

Adapun produk pewahyuan dalam bentuk kalam yang dinisbatkan kepada Allah SWT ada tiga macam, yaitu yang pertama dan paling mulia adalah Al-Quran. Kedua, Kitab-kitab para nabi sebelum Muhammad SAW yang belum mengalami perubahan (taghyir wa tabdil). Ketiga, hadis-hadis Qudsi.[21]

Ulama sepakat bahwa makna hadis qudsi berasal dari Allah SWT, namun dalam menentukan apakah lafal hadis qudsi dari Allah atau dari Nabi, ulama berbeda pendapat menjadi dua kelompok:[22]

1.      Kelompok pertama menyatakan bahwa lafal hadis qudsi berasal dari kalam al-Rasul, dan maknanya dari Allah ta’ala.Pendapat ini didukung oleh Imam al-Haramain al-Juwainy (w. 478),[23]Sharf al-Din al-Husain bin Muhammad al-T{iby (w. 743 H), Mulla ‘Aly al-Qary, Abu al-Baqa’ Ayyub bin Musa al-Husainy (w. 1094 H), Muhammad ‘Abd Allah Darraz, Mahmud Lutfi al-Sabbagh.[24]

Mereka mengklasifikasikanbahwa wahyu ada dua macam, yaitu wahyu yang bersifat eksplisit (wahyun jaliyyun) yaitu al-Quran al-Karim yang merupakan kalam Allah secara verbatim atau tekstual (lafal dan makna), atau disebut pula wahyun mastur atau wahyun musajjal (wahyu yang telah tercatat) di al-lawh al-mahfuz yang Jibril ditugaskan secara khusus untuk menurunkannya kepada Rasulullah. Kedua, wahyu yang bersifat implisit (wahyun khafiyyun) yang merupakan sunnah Nabi SAW yang berasal dari kalam Allah secara makna (substansial) dan merupakan ungkapan Rasulullah SAW secara redaksional (lafzun), serta merupakan perbuatan Nabi secara realitas faktual. Posisinya adalah sebagai penjelas (bayan) dan perincian dari Al-Qur’an, sebagaimana hal tersebut dalam QS. Al-Nahl : 44. Termasuk dalam konteks ini adalah hadis qudsy.Titik temu antara dua jenis wahyu tersebut adalah karena keduanya secara substansial bersumber dari Allah SWT, sama-sama diturunkan secara khusus kepada Nabi Muhammad SAW dan bisa difungsikan dalam konteks pensyariatan hukum (perintah,larangan, kebolehan dan pengharaman).[25]

2.      Sedangkan kelompok kedua mengatakan bahwa lafal hadis qudsi berasal dari kalamullah ta’ala, tidak ada campur tangan Nabi kecuali hanya meriwayatkannya saja dari Allah SWT. Pendapat ini didukung oleh Imam al-Bukhari, Ibn Taimiyah, Ibn Kathir, Al-Kirmany, Ibn Hajar al-Haithamy (w. 973 H), Isma’il Mufid Ibn ‘Aly al-Attar al-Rumy al-Hanafy (w. 1217 H), Shu’ban Muhammad Isma’il, Abdullah al-Ghunaiman, Sholeh bin Fauzan al-Fauzan, ‘Abd al-Ghafur al-Balushy, dll.[26]Di antara yang men-tarjih pendapat bahwa hadis qudsi lafaz dan maknanya dari Allah swt adalah Shaikh Isma’il Mufid Ibn ‘Aly al-Attar al-Rumy al-Hanafy. Adapun argumennya adalah sebagai berikut:

a.       Adanya penyandaran secara khusus dan eksplisit kepada Allah swt. Kalau lafaz-nya dari Nabi sendiri, maka tidak keistimewaan dan perlakukan khusus semacam itu, sebagaimana halnya hadis-hadis nabawy yang lainnya (yang maknanya juga dari pengajaran Allah swt kepada Rasul-Nya).

b.      Hadis-hadis qudsi tersebut mengandung damir mutakallim (kata ganti orang pertama) yang khusus menunjukkan Allah sebagai subjeknya. Seperti tersebut dalam hadis “Ya ‘Ibady inni harramtu al-z{ulm ‘ala nafsy… “Wahai hamba-hamba-Ku, sesungguhnya Aku haramkan kedzaliman atas diri-Ku…”[27]

c.       Adanya penegasan sanad riwayat yang melampaui diri Rasulullah SAW. Seandainya lafaz hadis tersebut hanya bersumber dari Nabi saw, maka penyandaran sanad berhenti sampai kepada Rasulullah SAW sudah mencukupi sebagaimana hadis-hadis yang lainnya.[28]

 

C.    Perbedaan dan persamaan antara Hadis Qudsi dengan Al-Quran dan Hadis Nabawi

Pembahasan mengenai perbedaan antara hadis qudsi dengan Al-Qur’an ataupun hadis Nabi tidak terlepas dari pembahasan mengenai macam-macam wahyu. Hal ini karenalandasan argumennya dianggap sangat penting untuk menunjang pemahaman mengenai posisi Al-Qur’an, hadis qudsi dan hadis Nabi. Dilihat dari sudut pembagiannya wahyu dalam konteks bahasan ini, maka ada dua, yaitu:

1.      Al-wahyu al-jaliy, yaitu wahyu yang jelas. Gambarannya seperti Malaikat Jibril langsung berhadapan dengan Nabi dalam keadaan sadar dan menyampaikan wahyu tersebut. Al-Quran dari awal hingga akhirnya turun dalam keadaan ini.

2.      Al-wahyu ghairul-jaliy (wahyu yang tidak jelas). Ada tiga gambaran pada wahyu ghayr jaliy ini, yaitu:

a.       Allah memberikan wahyu berupa makna kepada Nabi, kemudian Nabi menta'bir atau membuat ungkapan sendiri. Hadis qudsi termasuk kategori ini.

b.      Nabi bermimpi, kemudian Nabi membuat kata-kata atau ungkapan dari mimpi tersebut.

c.       Tidak ada keputusan (taqrir) dari Allah terhadap suatu perkara atau permasalahan, kemudian Nabi melakukan ijtihad. Dalam kondisi ini terdapat dua kemungkinan:

1)      Allah membenarkan ijtihad Nabi dengan membiarkan hal tersebut karena menganggap ijtihad Nabi benar sehingga hal ini merupakan bentuk taqrir dari Allah.

2)      Allah memberikan teguran jika terdapat kekeliruan pada ijtihad Nabi dan memberikan keputusan yang benar dalam perkara tersebut.[29]

Hal senada dijelaskan oleh Imam al-Juwainy dengan mendetailkan dua macam mekanisme proses pewahyuan ini. Yang pertama, firman Allah kepada Malaikat Jibril; “Katakanlah kepada Nabi yang engkau diutus kepadanya bahwa Allah berfirman: “Kerjakanlah begini dan begitu, perintahkanlah ini dan itu”, Jibril memahami apa yang firmankan Tuhannya kemudian turun kepada Nabi SAW dan memberitakan apa yang diperintahkan Allah tersebut dengan menggunakan ungkapan yang tidak persis sama. Ada pula yang berupa  firman Allah kepada Jibril: “Bacakanlah kepada Nabi SAW kitab ini”, maka turunlah Jibril dengan kalimat dari Allah tersebut tanpa mengubahnya, sebagaimana seorang utusan membawakan dan menyampaikan tulisan seorang raja apa adanya. Imam al-Suyuty menjelaskan bahwa model pewahyuan pertama adalah al-Sunnah, sementara model kedua adalah Al-Quran.[30]

Walaupun Al-Quran, hadis qudsi dan hadis nabawy keluar dari kedua bibir Rasulullah SAW, namun Sayyid Ahmad al-Mubarak membedakan “cahaya” yang melekat pada ketiganya dengan menguraikan bahwa Al-Quran bersumber dari nur al-Qadim, hadis qudsy bersumber dari nur al-ruh Rasulullah SAW, dan hadis nabawy bersumber dari nur al-zat Rasululllah SAW.[31]

 

1)      Perbedaan Antara Hadis Qudsi Dengan Al-Qur’an

Dilihat dari segi definisi antara Al-Qur’an dan hadis qudsi, terdapat perbedaan antara keduanya, karena jika didefinisikan, Al-Qur’an adalah:

القران الكريم هو كلام الله تعالى المعجز, المنزل على نبينا محمد صلى الله عليه وسلم, المكتوب في المصاحف, المنقول إلينا نقلا متواترا, المتعبد بتلاوته, المتحدى بأقصر سورة منه[32]

“Al-Qu’an adalah Kalamullah ta’ala yang merupakan mukjizat, diturunkan kepada Nabi Muhammad Saw, ditulis dim ushaf-mushaf, dipindahkan kepada kita secara mutawatir, bernilai ibadah dengan membacanya, bisa menantang meskipun dengan surah yang paling pendek.”

 

Dari definisi ini, Al-Qur’an memiliki kelebihan dibanding hadis qudsi dari beberapa sisi berikut:

a.       Al-Qur’an merupakan mukjizat yang kekal sepanjang masa dan sepanjang zaman, akan selalu terjaga dari segala bentuk perubahan sesuai janji Allah:

إنا نحن نزلنا الذكر و إنا له لحافظون[33]

Sedangkan hadis qudsi, tidak mendapat jaminan penjagaan khusus dari Allah. Sehingga kemungkinan terdapat kesalahan, penambahan ataupun pengurangan dalam hadis qudsi bisa saja terjadi.

b.      Al-Qur’an dari awal hingga akhirnya dinukil hingga sampai kepada kita dengan huruf, kalimat dan susunannya secara mutawatir. Berbeda dengan hadis qudsi yang kebanyakan dinukil atau diriwayatkan dengan cara ahad, hanya sebagian kecil yang diriwayatkan dengan mutawatir.

c.       Al-Qur’an tidak diriwayatkan dengan sanad karena sudah mutawatir dan perawinya tidak perlu dipertanyakan dan diragukan lagi. Sedangkan hadis qudsi diriwayatkan menggunakan sanad-sanad seperti halnya hadis Nabi, sehingga memungkinkan luputnya syarat diterimanya sebuah hadis dan menurunkan validitas hadis qudsi tersebut.

d.      Al-Qur’an lafal dan maknanya berasal dari Allah SWT, yang disampaikan kepada Nabi memalui perantara Malaikat Jibril dalam keadaan sadar, dan Jibril mengajarkannya secara lisan (shafahiyan) langsung dengan wahyu yang jaliy (jelas). Sedangkan hadis qudsi tidak disyaratkan harus dengan wahyu jaliy, bisa saja dengan ilham ataupun mimpi.

e.       Tidak boleh meriwayatkan Al-Qur’an dengan maknanya saja, sebagaimana tidak boleh pula mengganti atau mengubah hurufnya dengan huruf yang lain. Adapun hadis qudsi, tidak mengapa jika meriwayatkannya secara maknawi.

f.       Membaca (tilawah) Al-Qur’an memiliki nilai ibadah dan mendapatkan balasan berupa pahala dari Allah, setiap huruf dalam Al-Qur’an bernilai sepuluh kebaikan.

g.      Melaksanakan salat tidak sah kecuali dengan membaca sebagian dari Al-Qur’an. Adapun jika melakukan salat dengan membaca hadis qudsi, hal tersebut merupakan bid’ah dalam agama dan salatnya tidak sah.

h.      Al-Qur’an memiliki kekhususan dengan penamaan Al-Qur’an itu sendiri dan mempunyai nama pada tiap komponennya, seperti kalimat (jumlah) dalam Al-Qur’an disebut ayat, bilangan tertentu dari ayat dinamai surah. Sedangkan hadis qudsi tidak disebut sebagai Al-Qur’an, tetapi dinamai hadis qudsi, hadis Ilahi, atau hadis rabbani.

i.        Dalam menyebutkan Al-Qur’an tidak menggunakan sighah idafah seperti pada periwayatan hadis qudsi. Berbeda dengan hadis qudsi yang menggunakan sighah idafah dengan menyandarkan kepada Allah sebagai yang mengungkapkan hadis qudsi, kemudian menyandarkan kepada Nabi sebagai penyampai hadis qudsi tersebut.

j.        Penentang Al-Qur’an dianggap kafir meskipun menentang sebagian atau keseluruhannya. Sedangkan penentang hadis qudsi tidak dianggap kafir selama bukan yang mutawatir.

k.      Bagi Muslim yang sedang junub, wanita yang sedang haid atau nifas haram menyentuh mushaf Al-Qur’an dan membawanya. Namun, menurut Dawud dan Ibn H{azam dari madzhab al-Z{ahiriyah, boleh menyentuh dan membawa mushaf meskipun dalam keadaan junub atau tidak berwudu. berbeda dengan kitab yang memuat hadis qudsi, tidaklah ada larangan khusus bagi orang yang junub untuk menyentuh atau membawanya.

l.        Tidak boleh bagi seorang yang berhadath kecil untuk menyentuh mushaf. Sedangkan menurut Ibn Abbas, al-Sha’bi, al-D{ahhak, Zayd bin Ali, H{ammad bin Sulayman, Daud dan Ibn H{azm membolehkan menyentuh mushaf bagi orang yang berhadath kecil. Adapun jika membaca tanpa menyentuhnya, semua sepakat membolehkannya.

 

2)      Perbedaan Antara Hadis Qudsi Dengan Hadis Nabi

Dari definisi, terlihat ada perbedaan antara hadis qudsi dengan hadis Nabi, karena definisi hadis Nabi adalah:

ما أضيف إلى النبي صلى الله عليه وسلم قولاً أو فعلاً أو تقريراً أو صفةً خِلْقِية أو خُلُقِية حقيقَةَ أو حكماً حتى الحركات و السكنات في اليقظة و المنام

“Apa yang disandarkan kepada Nabi saw baik berupa perkataan, perbuatan, atau kesepakatan atau berupa karakter fisik Nabi atau karakter kepribadiannya, baik secara hakiki atau dari penetapan hukum, sampai kondisi gerak dan diam dalam sadar (bangun) ataupun tidurnya Beliau saw.[34]

 

Ada pula perbedaan lain antara hadis qudsi dengan hadis Nabi dari sisi berikut:

a.       Perbedaan dari sisi lafal

Seperti yang sudah diungkapkan di atas bahwa para Ulama menyepakati makna hadis qudsi berasal dari Allah SWT berupa wahyu. Terkadang berbentuk makna yang kemudian diungkapkan oleh Nabi, terkadang  dengan ilham atau mimpi, dan terkadang dengan perantara Malaikat Jibril.

Sedangkan hadis Nabi, terkadang berbentuk wahyu yang Allah berikan kepada Nabi berupa makna-makna, kemudian Nabi mengungkapkan makna ini dengan ungkapan dari Nabi sendiri. Dan terkadang pula berbentuk ijtihad Nabi terhadap suatu permasalahan. Dan Allah tidak memberikan teguran terhadap ijtihad Nabi tersebut. sehingga sukut al-wahyi terhadap ijtihad Nabi ini merupakan taqrir dari Allah SWT, karena jika Nabi melakukan kesalahan pasti akan mendapat teguran langsung dari Allah SWT.

b.      Perbedaan dari sisi topik pembahasan atau kandungannya (mawdu’)

Adapun dari segi topik pembahasan antara hadis qudsi dengan hadis Nabi terlihat ada sedikit perbedaan. Hadis qudsi mayoritas berbicara mengenai Allah SWT, yang berkaitan dengan keagungan-Nya, menampakkan rahmat-Nya, menjelaskan luasnya kekuasaan dan pemberian kepada makhluk-Nya dan lainnya. Hadis qudsi memberikan pendekatan spiritual antara Tuhan dengan hamba-Nya juga membuka pintu harapan. Selain itu, hadis qudsi memberikan banyak motivasi terhadap pembenahan diri serta pemurnian jiwa. Hal ini memberikan banyak pengaruh untuk berbuat kebajikan dan meninggalkan kemunkaran.Sedangkan hadis Nabi, tidak hanya membahas mengenai pendekatan diri terhadap Allah, tetapi juga membahas mengenai tata cara beribadah dan bermu’amalah, sejarah dan lainnya. 

 

3)      Persamaan Antara Al-Qur’an, Hadis Qudsi dan Hadis Nabi

Meskipun memiliki perbedaan, terdapat persamaan antara hadis qudsi dengan Al-Qur’an. Ahmad bin Mubarak di Ibriz memberikan pernyataan mengenai persamaan antara Al-Qur’an, hadis qudsi dan hadis Nabi, seperti:

a.       Al-Qur’an, hadis qudsi dan hadis Nabi sama-sama keluar dari dua bibir (mulut) Rasulullah Saw.

b.      Semuanya mengandung anwar (cahaya-cahaya) dari cahaya Nabi Muhammad

c.       Semuanya bersumber dari wahyu Ilahi, baik secara jaliy atau ghayr jaliy.

d.      Antara hadis qudsi dan hadis Nabi sama melalui jalur A<had sehingga perlu dilakukan penelitian mengenai kualitasnya, sedangkan Al-Qur’an dinukil melalui jalur mutawatir yang tidak perlu dilakukan penelitian terlebih dahulu.[35]

 

D.    Bentuk (S{ighah) Hadis Qudsi

Dalam periwayatan hadis qudsi, terdapat beberapa bentuk ungkapan redaksional atau sighah yang menbedakan antara periwayatan hadis qudsi dengan hadis yang lainnya, bentuk tersebut secara umum dibagi dua jenis:

1.      Siyagh al-hadis al-sarih (bentuk-bentuk ungkapan yang ekspilisit), yaitu yang penisbatan kepada Allah menggunakan lafaz yang jelas dan tegas.

a.       Rasululah SAW menisbatkan matan hadisnya kepada Allah dengan ungkapan قال الله تبارك و تعالى,يقول الله تبارك و تعالى, قال ربكم, يقول ربكمdan semacamnya. Contohnya hadis Abu Hurairah berikut;

4779 - حَدَّثَنَا عَلِيُّ بْنُ عَبْدِ اللَّهِ، حَدَّثَنَا سُفْيَانُ، عَنْ أَبِي الزِّنَادِ، عَنِ الأَعْرَجِ، عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ، عَنْ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ: " قَالَ اللَّهُ تَبَارَكَ وَتَعَالَى: أَعْدَدْتُ لِعِبَادِي الصَّالِحِينَ، مَا لاَ عَيْنٌ رَأَتْ، وَلاَ أُذُنٌ سَمِعَتْ، وَلاَ خَطَرَ عَلَى قَلْبِ بَشَرٍ "[36]

119- "قال الله للنفس: اخرجي، قالت: لا أخرج إلا وأنا كارهة. قال: اخرجي وإن كرهت". رواه البزار، والديلمي عن أبي هريرة.

b.      Perawi berkata فيما روى عن الله تبارك وتعالى  atau  فيما يروي  atau  يحكي عن ربه تبارك وتعالى atau أَوْحَى اللهُ إِلَيَّ atau أَمَرَنِي رَبِّيseperti hadis Abi Darr:

63- عَنْ ابْنِ عُمَرَ -رضي الله عنهما- عَنْ النَّبِيِّ صلى الله عليه وسلم فِيمَا يَحْكِي عَنْ رَبِّهِ تَبَارَكَ وَتَعَالَى قَالَ: ((أَيُّمَا عَبْدٍ مِنْ عِبَادِي خَرَجَ مُجَاهِدًا فِي سَبِيلِي؛ ابْتِغَاءَ مَرْضَاتِي ضَمِنْتُ لَهُ أَنْ أُرْجِعَهُ بِمَا أَصَابَ مِنْ أَجْرٍ وَغَنِيمَةٍ وَإِنْ قَبَضْتُهُ أَنْ أَغْفِرَ لَهُ وَأَرْحَمَهُ وَأُدْخِلَهُ الْجَنَّة)).[37]

6491 - حَدَّثَنَا أَبُو مَعْمَرٍ، حَدَّثَنَا عَبْدُ الوَارِثِ، حَدَّثَنَا جَعْدُ بْنُ دِينَارٍ أَبُو عُثْمَانَ، حَدَّثَنَا أَبُو رَجَاءٍ العُطَارِدِيُّ، عَنِ ابْنِ عَبَّاسٍ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمَا، عَنِ النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ، فِيمَا يَرْوِي عَنْ رَبِّهِ عَزَّ وَجَلَّ قَالَ: قَالَ: «إِنَّ اللَّهَ كَتَبَ الحَسَنَاتِ وَالسَّيِّئَاتِ ثُمَّ بَيَّنَ ذَلِكَ، فَمَنْ هَمَّ بِحَسَنَةٍ فَلَمْ يَعْمَلْهَا كَتَبَهَا اللَّهُ لَهُ عِنْدَهُ حَسَنَةً كَامِلَةً، فَإِنْ هُوَ هَمَّ بِهَا فَعَمِلَهَا كَتَبَهَا اللَّهُ لَهُ عِنْدَهُ عَشْرَ حَسَنَاتٍ إِلَى سَبْعِ مِائَةِ ضِعْفٍ إِلَى أَضْعَافٍ كَثِيرَةٍ، وَمَنْ هَمَّ بِسَيِّئَةٍ فَلَمْ يَعْمَلْهَا كَتَبَهَا اللَّهُ لَهُ عِنْدَهُ حَسَنَةً كَامِلَةً، فَإِنْ هُوَ هَمَّ بِهَا فَعَمِلَهَا كَتَبَهَا اللَّهُ لَهُ سَيِّئَةً وَاحِدَةً»[38]

c.       Cerita sebagian peristiwa pada hari kiamat yang di dalamnya disebutkan kalam Allah swt. Seperti hadis sahabat Anas:

7 - عَنْ عَبْدِ اللَّهِ بْن عمرِو بن الْعَاصِ - رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمَا - قَالَ: قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صلى الله عليه وسلّم: «إنَّ اللَّهَ سَيُخَلِّصُ رَجُلاً مِنْ أُمَّتِي عَلَى رُوُوسِ الْخَلاَئِقِ يَوْمَ الْقِيَامَةِ، فَيَنْشُرُ لَهُ تِسْعَةً وَتِسْعِينَ سِجِلاًّ، كُلُّ سِجلٍّ مِثْلُ مَدِّ الْبَصَرِ، ثُمَّ يَقُولُ: أَتُنْكِرُ مِنْ هَذَا شَيْئا؟ أَظَلَمَكَ كَتَبَتي الْحَافِظُونَ؟ فَيَقُولُ: لاَ، يَا رَبِّ، فَيَقُولُ: أَفَلَكَ عُذْرٌ؟ فَيَقُولُ: لاَ، يَا رَبِّ، فَيَقُولُ: بَلَى، إنَّ لَكَ حَسَنَةً، فَإنَّهُ لاَ ظُلْمَ عَلَيْكَ الْيَوْمَ فَتُخْرَجُ بِطَاقَةٌ، فِيهَا أَشْهَدُ أَنْ لاَ إلهَ إلاَّ اللَّهُ، وَأَشْهَدُ أَنَّ مُحَمَّدا عَبْدُهُ وَرَسُولُهُ، فَيَقُولُ: احْضُرْ وَزْنَكَ، فَيَقُولُ: يَا رَبِّ، مَا هَذِهِ الْبِطَاقَةُ مَعَ هَذِهِ السِّجِلاَّتِ؟ فقَالَ: إنَّكَ لاَ تُظْلَمُ، قَالَ: فَتُوضَعُ السِّجِلاَّتُ في كِفَّةٍ، وَالبِطَاقَةُ في كِفَّةٍ، فَطَاشَتِ السِّجِلاَّتُ، وَثَقُلَتِ الْبِطَاقَةُ، فَلاَ يَثْقُلُ مَعَ اسْمِ اللَّهِ أَحَدٌ»..[39]

6557 - حَدَّثَنِي مُحَمَّدُ بْنُ بَشَّارٍ، حَدَّثَنَا غُنْدَرٌ، حَدَّثَنَا شُعْبَةُ، عَنْ أَبِي عِمْرَانَ، قَالَ: سَمِعْتُ أَنَسَ بْنَ مَالِكٍ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ، عَنِ النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ: " يَقُولُ اللَّهُ تَعَالَى لِأَهْوَنِ أَهْلِ النَّارِ عَذَابًا يَوْمَ القِيَامَةِ: لَوْ أَنَّ لَكَ مَا فِي الأَرْضِ مِنْ شَيْءٍ أَكُنْتَ تَفْتَدِي بِهِ؟ فَيَقُولُ: نَعَمْ، فَيَقُولُ: أَرَدْتُ مِنْكَ أَهْوَنَ مِنْ هَذَا، وَأَنْتَ فِي صُلْبِ آدَمَ: أَنْ لاَ تُشْرِكَ بِي شَيْئًا، فَأَبَيْتَ إِلَّا أَنْ تُشْرِكَ بِي"[40]

 

2.      Siyagh al-hadis ghair al-sarih (bentuk-bentuk ungkapan hadis yang implisit). Maksudnya samar, tidak secara jelas dan tegas penyandarannya kepada Allah swt.

291 - والرواية الثانية: عَنْ أَبي سَعْد بْنِ أَبي فَضَالَةَ (وكان من الصحابة) رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ - قَالَ: قالَ رَسُولُ اللَّهِ صلى الله عليه وسلّم: «إذَا جَمَعَ اللَّهُ الأَوَّلِينَ والآخَرِينَ يَوْمَ الْقِيَامَةِ لِيَوْمٍ لاَ رَيْبَ فِيهِ نَادَى مُنَادٍ: مَنْ كانَ أَشْرَكَ في عَمَلٍ عَمِلَهُ للَّهِ، فَلْيَطْلُبْ ثَوَابَهُ مِنْ عِنْدِ غَيْرِ اللَّهِ، فَإنَّ اللَّهَ أَغْنى الشُّرَكَاءِ عَنِ الشِّرْكِ».[41]`

5927 - حَدَّثَنِي عَبْدُ اللَّهِ بْنُ مُحَمَّدٍ، حَدَّثَنَا هِشَامٌ، أَخْبَرَنَا مَعْمَرٌ، عَنِ الزُّهْرِيِّ، عَنِ ابْنِ المُسَيِّبِ، عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ، عَنِ النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ: «كُلُّ عَمَلِ ابْنِ آدَمَ لَهُ إِلَّا الصَّوْمَ، فَإِنَّهُ لِي وَأَنَا أَجْزِي بِهِ، وَلَخُلُوفُ فَمِ الصَّائِمِ أَطْيَبُ عِنْدَ اللَّهِ مِنْ رِيحِ المِسْكِ»[42]

Contoh lain:

 

3- عَنْ عَائِشَةَ -رضى الله عنها- قالت: سَمِعْتُ رَسُولَ اللَّهِ صلى الله عليه وسلم يَقُولُ وَهُوَ بَيْنَ ظَهْرَانَيْ أَصْحَابِهِ: ((إِنِّي عَلَى الْحَوْضِ أَنْتَظِرُ مَنْ يَرِدُ عَلَيَّ مِنْكُمْ فَوَاللَّهِ لَيُقْتَطَعَنَّ دُونِي رِجَالٌ فَلَأَقُولَنَّ: أَيْ رَبِّ مِنِّي وَمِنْ أُمَّتِي. فَيَقُولُ: إِنَّكَ لَا تَدْرِي مَا عَمِلُوا بَعْدَكَ مَا زَالُوا يَرْجِعُونَ عَلَى أَعْقَابِهِمْ)) .[43]

5144 - حَدَّثَنَا مُحَمَّدُ بْنُ عَلِيِّ بْنِ شُعَيْبٍ قَالَ: نَا خَالِدُ بْنُ خِدَاشٍ قَالَ: نَا أَبُو عَوْنٍ، صَاحِبُ الْقِرَبِ قَالَ: نَا سَدُوسٌ، صَاحِبُ السَّابِرِيِّ، عَنْ أَنَسِ بْنِ مَالِكٍ قَالَ: قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: «إِذَا الْتَقَى الْخَلَائِقُ يَوْمَ الْقِيَامَةِ، فَأُدْخِلَ أَهْلُ الْجَنَّةِ الْجَنَّةَ، وَأَهْلُ النَّارِ النَّارَ نَادَى مُنَادٍ يَوْمَ الْقِيَامَةِ: يَا أَهْلَ الْجَمْعِ، تَتَارَكُوا الْمَظَالِمَ بَيْنَكُمْ وَثَوَابُكُمْ عَلَيَّ»[44]

Hadis di atas  merupakan jenis hadis qudsi yang ghair al-sarih, maka penetapannya dengan memperhatikan indikasi maknanya (dalalah). Indikasi yang menunjukkan hadis qudsi pada matan hadis di atas terdapat pada kalimat yang digarisbawahi.

Demikian karakteristik khusus yang dimiliki hadis qudsi yang membedakannya dari hadis-hadis Nabi pada umumnya. Pengetahuan tentang bentuk ungkapan hadis qudsi tersebut di atas menjadi metode utama dalam identifikasi.

 

E.     Tema (mawd{u’) Bahasan Hadis Qudsi

Pada umumnya hadis-hadis qudsi terdapat dalam bab-bab tentang keimanan, kehidupan zuhud dan asketis (al-zuhd wa al-riqaq), tentang doa (al-Du’a) dan permohonan ampunan (al-Istighfar), motivasi berakhlak mulia dan larangan dari akhlak buruk dan tercela, tentang keajaiban ciptaan Allah, tentang peristiwa hari kebangkitan dan berkumpulnya manusia di padang masyhar (al-Ba’th wa al-Nushur), pertimbangan amal (al-mizan), telaga surga (al-haud), syafa’at, tentang surga dan neraka, dll. menjelaskan tentang etika akhlak dan keutamaan amal (al-fada’il), dasar-dasar pembinaan, pendidikan pribadi dan penyucian jiwa sebagai bentuk arahan menuju keridhoan Allah SWT.[45]

Hadis qudsi tidak menjelaskan tentang perincian syari’at dan hukum-hukumnya.Jika pun ada menyebut tentang kewajiban, halal dan haram maka penyebutannya dalam konteks motivasi targhib wa tarhib, seperti dalam hadis “Kullu ‘amal Ibn A<dam lahu Illa al-Shiyam fa innahu li wa ana Ajziy bih”.[46]

 

F.     Kualitas Hadis Qudsi dan Hukum mengamalkan Hadis Qudsi

Walaupun ada unsur “taqdis” yang melekat pada hadis qudsi, akan tetapi dari aspek kekuatan validitas sanadnya, bisa jadi selain ada hadis qudsi yang sahih dan hasan, ada juga yang berkualitas dho’if sebagaimana hadis lainnya. Penyebutan khusus jenis hadis ini biasanya merujuk kepada pembagian hadis ditinjuau dari aspek narasumber pertamanya (taqsim al-hadith min haith nisbatih ila qa’ilih).[47]Menurut Nur al-Din ‘Itr, kajian ilmu hadis dari aspek matan di antaranya mencakup pembahasan tentang nara sumber matan hadis (min haith qailih). Hal ini terbagi empat macam, yaitu: hadis al-qudsy, al-marfu’, al-mawquf, dan al-maqtu’. [48]

Disebabkan karena hadis qudsi tidak seperti Al-Qur’an yang mutawatir, maka perlu adanya penyeleksian dan penelitian terhadap hadis qudsi, melihat periwayatan hadis qudsi tidaklah seluruhnya mutawatir dan dikhawatirkan terdapat kesalahan dan penyelewengan yang mengakibatkan hadis qudsi tidak sahih.

Dalam menilai kualitas hadis qudsi dari sisi kesahihannya, perlu diterapkan penilaian seperti yang diterapkan kepada hadis-hadis Nabi yang lainnya. Yaitu melihat unsur-unsur penilaian kualitas hadis seperti ittisal al-sanad, ‘adalah al-ruwat, dabt al-ruwat dan lainnya.[49]

Hadis qudsi yang sahih bisa dijadikan hujjah dan diamalkan oleh umat Muslim, dan hadis qudsi yang tidak sahih perlu dilakukan penelitian lebih lanjut jika ingin menjadikannya hujjah atau mengamalkannya, supaya tidak terjerumus terhadap pendustaan yang mengatasnamakan Nabi, lebih-lebih mengatasnamakan Allah.[50]Bahkan menurut penelitian Umar’ Aly ‘Abd Allah Muhammad pada umumnya banyak hadis qudsi yang dho’if bahkan palsu ada di dalam sebagian kitab masanid dan ma’ajim,[51] sehingga harus lebih diwaspadai.

 

G.    Perkembangan penulisan kitab hadis Qudsi

Berdasarkan data yang kami peroleh, model penyusunan kitab hadis qudsi diperkirakan dimulai pada abad ke-6 Hijriyah oleh Imam al-Ghazali(w. 505 H) dengan Kitabnya Al-Mawa’iz fi al-Ahadith al-Qudsiyyah. Tidak lama sesudah itu, muncul Kitab al-Ahadith al-Ilahiyyah yang ditulis oleh Zahir bin Tahir bin Muhammad al-Naysabury (w. 533 H) yang terdiri dari sepuluh juz dengan jumlah hadis 449 termasuk pengulangan atau 213 hadis jika tanpa pengulangan.

Kemudian pada Abad ke-7 H, muncul Kitab Al-Arba’un al-Ilahiyyah karya Ibn al-Mufaddal al-Maqdisi (w. 611 H). Selanjutnya terdapat Muhy al-Din Ibn ‘Araby yang lahir pada tahun 560 H dan wafat pada tahun 638 H yang berdasarkan catatan biografinya menyebutkan bahwa Ibn ‘Araby mengumpulkan hadis-hadis qudsi sebanyak 101 hadis, yang dinamakannya Mishkah al-Anwar fima ruwiya ‘an Allah Subhanahu wa Ta’ala min al-Akbar.[52]

Pada Abad ke-8 H, para ulama hadis juga melanjutkan tradisi kodifikasi khusus hadis qudsi, sehingga muncul kitab-kitab di antaranya; Al-Maqasid al-Saniyyah fi al-Ahadith al-Ilahiyyah karya Ibn Balbab al-Farisi (w. 739 H) dan Al-Arba’un al-Ilahiyyah min Riwayah Khayr al-Bariyyah karya S{alah{uddin al-‘Ala’I (w. 761 H)

Selanjutnya pada Abad ke-10 Hijriyah juga terdapat kitab hadis qudsi, diantaranya; Kitab Al-Ahadith al-Qudsiyyah karya Ibn al-Diba’ al-Shaybani (w. 944 H) dan Abad ke-11, Shaikh al-Imam Mula ‘Ali al-Qary’ yang wafat di tahun 1014 H menulis Kitab Al-Ahadith al-Qudsiyyah yang menurut al-Zarkaly kitab hadis qudsi tersebut terdiri dari empat puluh hadis qudsi.[53] Juga pada masa itu, Syaikh ‘Abd Ra’uf al-Munawy yang wafat tahun 1031 H menyusun sebuah kitab yang menghimpun hadis-hadis qudsi dengan judul al-Ittihaf al-Saniyyah. Beliau mengumpulkan sejumlah hadis qudsi yang mampu dihimpunnya dan menyusunnya berdasar huruf mu’jam (alfabetis) dalam satu jilid.Namun, penulisan hadisnya tanpa disertakan sanad.

Kemudian pada abad-abad sesudahnya, ada Syaikh ‘Abd al-Ghany al-Nablisy yang wafat di tahun 1143 H yang mengumpulkan hadis-hadis qudsi dalam sebuah kitab. Namun, catatan sejarah biografinya tidak menyebutkan jumlah hadisnya dan nama kitabnya. Juga ada seorang ‘alim bernama Syaikh Muhammad al-Madany, salah seorang ahli fiqih madzhab hanafi yang wafat tahun 1200 H. Beliau menulis sebuah kitab yang diberi judul sama dengan karya al-Munawy yaitu al-Ittihaf al-Saniyyah.Di dalamnya terkumpul 864 hadis qudsi. Di penutup kitabnya beliau menyebutkan bahwa hadis-hadis tersebut diperoleh dengan penelusuran (tatabbu) dan penelitian yang sebagian besarnya diambil dari Kitab Jami’ al-Jawami’ karya Imam al-Suyuti.[54]

Selanjutnya di era kontemporer juga bermunculan kitab-kitab hadis qudsi antara lain; Al-Ahadith al-Qudsiyyah karya Lajnah al-Qur’an al-Karim wa al-H{adith yang disusun oleh Majelis al-A’la li al-Shu’un al-Islamiyyah, Al-Ahadith al-Qudsiyyah: Jam’an wa Dirasatan karya ‘Umar ‘Aly ‘Abd Allah Muhammad yang pertama kali diterbitkan di Madinah tahun 1425 H dan memuat 482 hadis qudsi, Jami’ al-Ahadith al-Qudsiyyah: Mawsu’ah Jami’ah Mashruhah wa Muhaqqaqahyang terdiri dari 3 jilid yang ditulis oleh Abu ‘Abd al-Rahman ‘Isham al-Din al-D{ababaty dan diterbitkan oleh Dar al-Rayyan.

H.    Kitab-kitab yang Memuat Hadis Qudsi

Di antara kitab-kitab yang secara khusus ditulis oleh para ulama untuk mengoleksi hadis-hadis qudsi, antara lain:

1.      Al-Mawa’iz fi al-Ahadith al-Qudsiyyah karya Imam al-Ghazali (w. 505 H)

2.      Al-Arba’un al-Ilahiyyah karya Ibn al-Mufaddal al-Maqdisi (w. 611 H)

3.      Mishkat al-Anwar fima ruwiya ‘an Allah Subhanahu min al-Akhbar karya Abu ‘Abdillah Muhammad bin ‘Ali bin al-‘Arabi al-T{a’I (w. 638 H)

4.      Al-Ahadith al-Qudsiyyah karya Imam al-Nawawi (w. 676 H)

5.      Al-Maqasid al-Saniyyah fi al-Ahadith al-Ilahiyyah karya Ibn Balbab al-Farisi (w. 739 H)

6.      Al-Arba’un al-Ilahiyyah min Riwayah Khayr al-Bariyyah karya S{alah{uddin al-‘Ala’I (w. 761 H)

7.      Arba’un Hadithan Qudsiyyah ‘ala T{ariqah al-Tasawwuf karya Jamaluddin al-Aqsara’I (w. 776 H)

8.      Al-Ahadith al-Qudsiyyah karya Ibn al-Diba’ al-Shaybani (w. 944 H)

9.      Al-Ahadith al-Qudsiyyah wa al-Kalimat al-Insiyyah karya al-Mulla ‘Ali al-Qari (w. 1014 H)

10.  Al-Ittihafat al-Saniyyah fi al-Ahadith al-Qudsiyyah karya Muhammad bin Mahmud bi S{alih al-T{irbizuni yang lebih dikenal dengan al-Madani (w. 1200 H)

11.  Al-Ittihafat al-Saniyyah bi al-Ahadith al-Qudsiyyah karya Zaynuddin al-Munawi (w. 1031 H)

12.  Al-Ahadith al-Qudsiyyah karya lajnah al-Qur’an al-Karim wa al-H{adith Majelis al-A’la li al-Shu’un al-Islamiyyah.

13.  Al-Ahadith al-Qudsiyyah: Jam’an wa Dirasatan karya ‘Umar ‘Aly ‘Abd Allah Muhammad.

 

I.       Pembahasan Sebagian Contoh Kitab Hadis Qudsi

1.      Al-Arba’un al-Qudsiyah.[55]

Kitab ini ditulis oleh seorang Syaikh, al-Imam, Abu al-Hasan Nur al-Din ‘Ali bin Sultan  al-Qary al-Harawy al-Hanafy yang popular dengan nama Mulla ‘Aly al-Qary. Kata “Mulla” adalah Bahasa Persia yang berarti seorang ulama besar. Adapun “al-Qary” adalah gelar yang disematkan kepadanya karena dia membaca Al-Quran di Makkah dan mencapai level yang tinggi dalam hafalan dan itqan bacaan, sehingga Beliau dikenal dengan sebutan itu.[56]

Beliau dilahirkan di Kota Herat sekitar Tahun 930 H. Sekitar 11 tahun dari kelahirannya, sejumlah ulama hijrah dari Herat ke Kota Makkah saat muncul dan menguatnya mazhab Syi’ah Rafidah. Di antara para ulama tersebut terdapat keluarga Mulla ‘Ali al-Qary.[57]

Beliau belajar kepada sejumlah orang guru terkenal di Kota Makkah di antaranya Ibn Hajar al-Haitamy al-faqih (w. 973 H).Beliau bermukim di Makkah beberapa waktu lamanya untuk mempelajari Qira’at, tafsir dan lain-lain serta menulis sejumlah kitab. Di antara karyanya adalah Sharh al-Mishkah, Sharh al-Shama’il, Sharh al-Jazriyah, Sharh al-Shatibiyah, Sharh al-Nukhbah, dll.Beliau bermazhab Maliki awalnya, kemudian berpindah ke mazhab Hanafy.Beliau banyak sekali menulis sehingga karya tulisnya mencapai seratus buah.Beliau meninggal pada Bulan Syawal tahun 1014 H di Kota Makkah al-Musharrafah kemudian dimakamkan di Pekuburan Ma’lah.[58]

Adapun beberapa keterangan terkait tentang kitab Al-Arba’un al-Qudsiyah adalah sebagai berikut:

a.       Kitab tersebut terdiri dari empat puluh (40) hadis. Penulis tidak menyebutkan sanad secara lengkap. Namun, hanya menyebutkan nama sahabat yang meriwayatkan dari Rasulullah SAW dan di bagian akhir setiap hadis disebutkan siapa penulis kitab induk hadis yang disebutkan periwayatan hadisnya. Contohnya :“rawahu Ahmad wa Ashab al-Sitti ma ‘ada al-Bukhary. Berikut nukilan langsung dari kitab Al-Arba’un al-Qudsiyah:

b.      Hadis pertama adalah hadis yang matannya berbunyi: “Qasamtu al-S{alah bainy wa baina ‘abdy nisfain..dan ditutup dengan hadis ke-40 yang berbunyi “Aina al-Mutahabbun li jalaly…”. Keseluruhan hadis bertemakan targhib (motivasi) dan tarhib (peringatan dan ancaman).

c.       Dari empat puluh hadis tersebut terdapat 11 hadis yang menurut penelitian Abu Ishaq al-Huwainy berstatus dho’if. Menurut Abu Ishaq al_Huwainy, hal ini patut disayangkan karena hadis-hadis Qudsi yang shahih cukup banyak, namun empat puluh yang terpilih oleh al-Qary justru banyak yang da’if.

d.      Pada bagian pengantar (muqaddimah), Mulla ‘Aly al-Qary menjelaskan secara singkat tentang perbedaan antara hadis qudsi dengan Al-Quran. Juga menjelaskan motivasi menyusun kitab berisi hanya 40 hadis qudsi, yaitu untuk mendapatkan keutamaan berupa syafat dan persaksian Rasulullah SAWyang disebutkan dalam hadis:

مَنْ حَفِظَ عَلَى أُمَّتِي أَرْبَعِينَ حَدِيثًا مِنْ أَمْرِ دِينِهَ بَعَثَهُ اللهُ فَقِيهًا، وَكُنْتُ لَهُ يَوْمَ الْقِيَامَةِ شَافِعًا وَشَهِيدًا

“Barang siapa yang menjaga 40 hadis untuk umatku yang terkait dengan permasalahan agamanya, maka Allah akan membangkitkannya sebagai seorang yang faqih dan aku akan menjadi pemberi syafa’at dan saksi untuknya pada hari kiamat”.[59]

 

2.      Al-Ittihafat al-Saniyyah bi al-Ahadith al-Qudsiyyah

Kitab ini ditulis oleh SyaikhMuhammad Ibn ‘Abd al-Ra’uf bin Taj al-‘A<rifin Ibn‘Aly Ibn Zain al-‘A<bidin al-H{addady al-Munawy al-Qahiry yang lahir pada tahun 952 H atau 1545 M dan wafat pada tahun 1031 H atau 1622 M. Beliau adalah salah seorang tokoh senior (kibar) ulama di Mesir. Banyak meneliti dan menulis kitab.Dalam kehidupan sehari-hari, beliau sedikit makan dan sering tidak tidur malam (untuk belajar dan ibadah).Akhirnya Beliau sakit dan lemah anggota badannya.Beliau menyerahkan karya tulisnya kepada putranya Taj al-Din Muhammad sekitar 80 buah, baik karya yang tebal atau tipis, telah sempurna maupun belum.Beliau hidup di Kairo. Di antara karya tulisnya adalah Kunuz al-Haqa’iqfi al-hadith, al-Taisir fi Sharh al-Jami’ al-S{aghir (2 jilid) yang diringkas dari Sharh al-Kabir yaitu Faid al-Qadir,Sharh al-Shama’il li al-Tirmidhi, al-Kawakib al-Dariyyah fi Tarajum al-Sadah al-S{ufiyyah (2 Juz), dll.[60] Termasuk Kitab “Al-Ittihafat al-Saniyyah bi al-Ahadith al-Qudsiyyah”. Sebagian kitab-kitabnya yang lain ada yang sudah dicetak sebagian lagi belum. Adapun dalam penilaian hadis, beliau termasuk mutasahil (longgar dan toleran) dalam mensahihkan dan meng-hasan-kan hadis. Hal ini dapat diketahui oleh mereka yang mengkaji Kitabnya  Faid al-Qadir Sharh al-Jami’ al-Saghir.[61]

Adapun beberapa keterangan terkait tentang Kitab Al-Ittihafat al-Saniyyah bi al-Ahadith al-Qudsiyyah adalah sebagai berikut:

a.       Kitab hanya satu jilid yang terdiri dari 194 halaman dan menghimpun sebanyak 141 hadis. Hadis-hadis tersebut tersusun berdasarkan huruf mu’jam (alfabetis) merujuk pada awal matan hadis yaitu dimulai dengan hadis ابن آدم! أنزلت عليك سبع آيات Dan ditutup dengan hadis من عادى لي ولياً فقد ناصبني بالمحاربة

b.      Penulisan hadisnya tanpa disertakan sanad. Hanya di bagian akhir penyebutan setiap hadis disebutkan sumber hadis rujukan hadisnya. Contohnya, setelah menyebutkan matan hadis pertama kemudian dicantumkan: “rawahu al-Tabrani fi Mu’jamihi al-Awsat ‘an Ubay bin Ka’ab. Berikut nukilan langsung dari kitab Al-Ittihafat al-Saniyyah bi al-Ahadith al-Qudsiyyah:

Imam perawi dan penulis kitab induk yang menjadi sumber pengambilan hadis antara lain karya Al-Bukhari, Muslim Imam al-T{abrany dalam Mu’jam Al-Ausat, Sunan al-Tirmidhi, Al-Baihaqy, Abu Nu’aim, Ahmad, Abu Ya’la, Ibn ‘Ady, Al-Hakim, Malik, An-Nasa’I, dll.

c.       Hadis qudsi yang terkumpul berkisar pada tema (maudu’) tentang al-targhib wa tarhib (motivasi beramal dan peringatan serta ancaman bagi yang meninggalkannya). Contohnya:  hadis ke-3 adalah motivasi (targhib) untuk berdzikir setelah sholat subuh dan ashar. Sementara hadis ke-27 adalah tarhib kemurkaan Allah SWT atas orang berbuat zalim kepada seseorang yang tidak memiliki penolong selain Allah.

d.      Menurut pen-tahqiq kitab tersebut, pengumpulan hadis-hadis qudsi oleh al-hafiz al-Munawy tidak hanya membatasi pada hadis qudsi yang sahih saja. Namun, pengumpulannya diorientasikan bersifat menyeluruh, sehingga asal terindentifikasi sebagai hadis qudsi, tanpa melihat status validitasnya apakah sebagai hadis sahih, hasan ataukah dho’if. Demikian pula pen-syarah kitab tersebut yaitu Syaikh Muhammad Munir bin ‘Abduh A<gha al-Dimashqy[62] tidak menyinggung hadis-hadis tersebut dari aspek kesahihan dan kedho’ifannya.Namun, hanya menjelaskan lafal dan makna yang terkandung di dalamnya, dan menjelaskan (tarjamah) sebagian perawi, serta menjelaskan tentang pengertian hadis qudsi dan perbedaannya dengan Al-Quran.[63] Menurut hasil penelitian validitas hadis oleh muhaqqiq-nya yaitu ‘Abd al-Qadir al-Arnauwt dan T{alib ‘Awwad, dari sekitar 141 hadis yang terdapat dalam kitab tersebut sekitar 80 hadis di antaranya  berstatus da’if.

J.      Faktor Yang Memotivasi Kodifikasi Hadis-Hadis Secara Khusus    

            Faktor yang memotivasi sebagian para penulis untuk menyusun kitab hadis qudsi secara khusus adalah karena “nilai istimewa” yang dimiliki jenis hadis ini dalam penisbatan Rasulullahsaw kepada Allah swt. Hal ini membuat jiwa yang beriman lebih terdorong untuk menerimanya dengan baik, membangkitkan perasaan spiritual yang baik sehingga termotivasi untuk mengamalkannya. Karena secara umum hadis-hadis jenis ini bercorak targhib wa tarhib dalam keutamaan amal (fada’il al-a’mal).[64]

            Faktor lain adalah karena kebutuhan praktis dari para aktivis dakwah dan penceramah agama terhadap bahan-bahan referensi hadis-hadis qudsi dan kebutuhan kaum muslimin pada umumnya.[65]


BACA ARTIKEL LAINNYA YANG BERKAITAN:

 

BAB III

KESIMPULAN

1.      Hadis Qudsi merupakan hadis yang sampai kepada Rasulullah SAW (marfu’) berupa hadis verbal (qauly) dengan penyandaran sanadnya dari Nabi SAW kepada Allah.Hadis qudsi walaupun disanadkan kepada Allah Ta’ala karena menjadi kalam-Nya, akan tetapi tidak dimaksudkan sebagai mukjizat.

2.      Dalam beberapa aspek, hadis Qudsi berbeda dengan Al-Quran maupun hadis Nabawy yang lainnya.

3.      Identifikasi dan penentuan suatu hadis dinilai sebagai hadis qudsi adalah dari aspek Siyagh al-hadis. Siyagh ini ada yang ekspilisit(sarih), ada juga yang implisit (ghayr al-sarih).

4.      Dilihat dari aspek topik atau tema bahasannya, hadis-hadis qudsi berkaitan dengan motivasi beramal (fadail a’mal) atau targhib wa tarhib, dan tidakmembahas perincian hukum-hukumsyari’at.

5.      Dari aspek kualitas kesahihannya, hadis qudsi sama dengan jenis hadis yang lain. Ada yang berstatus sahih dan hasan, ada juga yang berkualitas lemah (da’if) bahkan palsu (mawdu’).

6.      Perhatian para ahli hadis terhadap penulisan kitab hadis qudsi (al-ahadith al-qudsiyyah) cukup intensif sejak abad ke-6 Hijriyah hingga era kontemporer.

7.      Faktor yang memotivasi sebagian para penulis untuk menyusun kitab hadis qudsi secara khusus adalah karena “nilai istimewa” yang dimiliki jenis hadis ini dalam penisbatan Rasulullah SAW kepada Allah SWT. Juga karena adanya kebutuhan praktis dalam dakwah.

 

DAFTAR PUSTAKA

Baihaqy (al). Shu’ab al-I<man. Riyad: Maktabah al-Rushd, cet. 1, 1423 H/2003 M.

Bukhary (al), Muhammad bin Isma’il. Al-Jami’ al-Musnad al-S{ahih al-Mukhtasar min Umur Rasul Allah S{alla Allah ‘alaih wa Sallam Wa Sunanih wa Ayyamih. Vol. 6, ed. Muhammad Zuhair bin Nasir al-Nasir. t.t. : Dar T{uruq al-Najah, cet. 1, 1422 H.

Busty (al), Muhammad Ibn Hibban. S{ahih Ibn Hibban, vol. 16, ed. Shu’aib al-Arnauwt. Beirut: Mu’assasah al-Risalah, cet. 2, 1414 H/1993 M.

Dimashqy (al), Khair al-Din bin Mahmud al-Zarkaly. Al-A’lam. ttp: Dar al-‘Ilm li al-Malayin, cet. 15, 2002 M.

Din (al), Muhammad bin Shakir S{alah. Fawat al-Wafiyyat. Vol. 3, ed. Ihsan Abbas. Beirut: Dar S{adir, cet.1, 1974 M.

Ghibriny (al), Ahmad bin Ahmad Abu al-‘Abbas. ‘Unwan al-Dirayah fiman ‘Urifa min al-‘Ulama’ fi al-Mi’ah al-Sabi’ah bi Bajayah.ed. ‘A<dil Nuwaihid. Beirut: Manshurat Dar al-A<faq al-Jadidah, cet. 2, 1979 M.

Itr, Nuruddin. Manhaj al-Naqd fi ‘Ulum al-hadith. Damaskus : Dar al-Fikr, Cet. 3, 1418 H/1997 M.

Jawwad (al), ‘Abd al-Jawwad Khalf Muhammad ‘Abd al-, Madkhal Ila al-Tafsir wa ‘Ulum al-Qur’an. Kairo: Dar al-Bayan al-‘Araby, t.th.

Judai’ (al), ‘Abd Allah bin Yusuf. Tahrir ‘Ulum al-Hadith. Beirut: Muassasah al-Rayyan, cet.1, 1424 H/2003 M.

Kattani (al), Muhammad bin Ja’far. Al-Risalah al-Mustatrafah li Bayan Mashhur Kutub al-Sunnah al-Musharrafah. Beirut: Dar al-Basha’ir al-Islamiyyah, t.th.

Khalifah, Muhammad Rashad. Madrasah al-Hadith fi Misr. Kairo: al-Hai’ah al-‘A<mmah li Shu’un al-Matabi’ al-Amiriyah, t.th.

Khan (al), Mustafa. al-Manhal al-Rawy min Taqrib al-Nawawy  (tp: Dar al-Malah li al-Taba’ah wa al-Nashr, ttt), 18, Nur al-Din ‘Itr, Manhaj al-Naqd fi ‘Ulum al-Hadith. Damaskus: Dar al-Fikr, Cet. 3, 1418 H/1998 M.

Khushu’I (al), al-Khushu’I Muhammad al-Khushu’I, Mawsu’ah ‘Ulum al-Hadith al-Sharif. Kairo: Wizarah al-Awqaf al-Majlis al-A’la li al-Shu’un al-Islamiyyah, 2009.

-----------------. Tarikh al-Sunnah al-Nabawiyah. Kairo: Universitas al-Azhar, 2010.

Ma’bad, Muhammad Ahmad Muhammad. Nafahat min ‘Ulum al-Qur’an. Kairo: Dar al-Salam, cet. 2, 1426 H/2005 M.

Majma’ al-Lughah al-‘Arabiyah al-Idarah al-‘A<mmah li al-Mu’jamat wa ihya’ al-Turoth, al-Mu’jam al-Wasit. Mesir: Maktabah al-Shuruq al-Dauliyah, cet. 4, 1425 H/2004 M.

Manawy (al), ‘Abd al-Ra’uf bin Taj al-‘A<rifin. Al-Ittihafat al-Saniyyah bi al-Ahadith al-Qudsiyyah. ed. ‘Abd al-Qadir al-Arnauwt dan T{alib ‘Awwad. Beirut: Dar Ibn Kathir Damaskus, t.th.

Mandhur, Ibn. Lisan al-‘Arab, vol.2(Mesir: Maktabah al-Shuruq al-Dauliyah, cet. 4, 1425 H/2004 M)

Muhammad, ‘Umar ‘Aly ‘Abd Allah. Al-Ahadith al-Qudsiyyah: Jam’an wa Dirasatan. Madinah: Maktabah al-‘Ulum wa al-Hikam, cet. 1, 1425H.

Naisabury (al), Muslim bin al-Hajjaj. al-Musnad al-S{ah{ih atau dikenal denganSahih Muslim, Vol. 4, ed. Muhammad Fu’ad ‘Abdal-Baqy. Beirut: Dar Ih{ya’ al-Turath al-‘Araby, t.th.

Nasr, ‘Atiyyah Qabil. Ghayah al-Murid fi ‘Ilm al-Tajwid. Kairo: Maktabah Madinah, t.th.

Qattan (al), Manna bin Khalil. Mabahith fi ‘Ulum al-Qur’an. ttp: Maktabah al-Ma’arif li al-Nashr wa al-Tawzi’, cet. 3, 1421 H/2000 M.

Qary (al), Mulla ‘Ali. Kitab Al-Ahadith al-Qudsiyah al-Arba’iniyyat, takhrij Abu Ishaq al-Huwainy al-Athary. Jeddah: Maktabah al-S{ahabah, t.th.

Qasimy (al), Muhammad Jamal al-Din. Qawa’id al-Tahdith min Funun Mustalah al-Hadith. Beirut: Dar al-Kutub al-‘Ilmiyyah, t.th.

S{alah (al), ‘Uthman bin ‘Abd al-Rahman Ibn. Ma’rifah Anwa’ ‘Ulum al-Hadith, ed. ‘Abd al-Latif al-Hamim dan Mahir Yasin al-Fahl. Beirut: Dar al-Kutub al-‘Ilmiyah, cet. 1, 1423 H.

Shahbah, Muhammad bin Muhammad Abu. Al-Wasit fi ‘Ulum wa Mustalah al-H{adith. Beirut: Dar al-Fikr al-‘Araby.

-------------. Difa’ ‘an al-Sunnah wa Radd Syubh al-Musytariqin wa al-Kitab al-Mu’as{irin- wa yalihi al-Radd ‘ala Man Yunkir Hujjiyyah al-Sunnah. Kairo: Maktabah al-Sunnah, cet. 1, 1989 M.

Siba’i (al), Mustafa. al-Sunnah wa Makanatuha fi al-Tasyri’ al-Islamy. Beirut: al-Maktab al-Islamy, Cet. 3, 1420 H/1982 M.

Suharto, Ugi. Peranan Tulisan Dalam Periwayatan Hadith. Majalah Islamia, Thn. I No. 2/Juni-Agustus, 2004.

Suyuthi (al), Jalaluddin. Tadrib al-Rawy fi Sharh Taqrib al-Nawawy, Vol. 1, ed. Abu Mu’adz T{ariq Ibn ‘Aud Allah Ibn Muhammad. Riyadh: Dar al-‘A<simah, 1423 H.

-----------------. Al-Itqan fi ‘Ulum al-Qur’an, ed. Muhammad Abu al-Fadl Ibrahim. Mesir: al-Hai’ah al-Misriyyah al-‘A<mmah li al-Kutub, 1394 H/1974 M.

T{abrany (al), Abu al-Qasim Sulaiman Ibn Ahmad. al-Mu’jam al-Awsat, vol. 5, ed. T{ariq ibn ‘Awd Allah Ibn Muhammad al-Husainy. Kairo: Dar al-Haramayn, t.th.

T{ahhan (al), Mahmud. Taisir Mustalah al-Hadith. Riyad: Maktabah al-Ma’arif, cet. 10, 1425 H.

Yamany (al), Muhammad bin ‘Aly al-Shaukany. al-Badr al-T{ali’ bi Mahasin min Ba’d al-Qarn al-Sabi’. Beirut: Dar al-Ma’rifah, t.th.

Zahwu, Abu Muhammad Muhammad. Al-H{adith wa al-Muh{addithun. Riyadh: Al-Ri’asah al-‘Ammah li Idarat al-Buhuts al-‘Ilmiyah wal Ifta’ wa al-Da’wah wa al-Iryad, 1404 H/1984 M.



[1] Mustafa\ al-Siba’i, Al-Sunnah wa Makanatuha fi al-Tashri’ al-Islamy (Beirut: al-Maktab al-Islamy, Cet. 3, 1420 H/1982 M), 104, Abu Zahwu, Muhammad Muhammad, Al-Hadith wa al-Muhaddithun (Riyadh: Al-Ri’asah al-‘Ammah li Idarat al-Buhuts al-‘Ilmiyah wal Ifta’ wa al-Da’wah wa al-Iryad, 1404 H/1984 M), 244

[2]UgiSuharto, Peranan Tulisan Dalam Periwayatan Hadith (Majalah Islamia, Thn. I No. 2/Juni-Agustus, 2004), 83

[3]Muhammad Muhammad Abu Shuhbah dan Abd al-Ghany, Difa’ ‘an al-Sunnah wa Radd Shubh al-Mushtariqin wa al-Kitab al-Mu’asirin- wayalihi al-Radd ‘ala Man Yunkir Hujjiyyah al-Sunnah (Kairo: Maktabah al-Sunnah, cet. 1, 1989 M), 26

[4]Muhammad Jamal al-Din al-Qasimy, Qawa’id al-Tahdith min Funun Mustalah al-Hadith (Beirut: Dar al-Kutub al-‘Ilmiyyah, t.th), 66

[5]Muhammad bin Muhammad Abu Shuhbah. Al-Wasit fi ‘Ulum wa Mustalah al-Hadith. (Beirut: Dar al-Fikr al-‘Araby, 214

[6]Lihat Ibnu Mandhur,  Lisan al-‘Arab, vol.2(Mesir: Maktabah al-Shuruq al-Dauliyah, cet. 4, 1425 H/2004 M), 507.  Majma’ al-Lughah al-‘Arabiyah al-Idarah al-‘A<mmah li al-Mu’jamat wa ihya’ al-Turath, al-Mu’jam al-Wasit (Mesir: Maktabah al-Shuruq al-Dauliyah, cet. 4, 1425 H/2004 M),  190

[7]lihat As-Suyuthi. Tadrib al-Rawy fi Sharh Taqrib al-Nawawy, Vol. 1, ed. Abu Mu’adz Tariq Ibn ‘Aud Allah Ibn Muhammad (Riyadh: Dar al-‘A<simah, 1423 H), 42

[8]Muhammad bin Muhammad Abu Syuhbah. Al-Wasith, 16,  Nuruddin ‘itr, Manhaj al-Naqd fi ‘Ulum al-hadith (Damaskus : Dar al-Fikr, Cet. 3, 1418 H/1997 M), 26. 

[9]Muhammad Ahmad Muhammad Ma’bad, Nafahat min ‘Ulum al-Qur’an (Kairo: Dar al-Salam, cet. 2, 1426 H/2005 M), 13

[10]Nur al-Din ‘Itr, Manhaj al-…., 323

[11]Abu Shuhbah, Al-Wasith…., 215

 

[12]  Muhammad bin Ja’far al-Kattani, Al-Risalah al-Mustatrafah li Bayan Mashhur Kutub al-Sunnah al-Musharrafah. (Beirut: Dar al-Basha’ir al-Islamiyyah, t.th), 81.

[13]  Al-Khushu’I al-Khushu’I Muhammad al-Khushu’I, Mawsu’ah ‘Ulum al-Hadith al-Sharif. (Kairo: Wizarah al-Awqaf al-Majlis al-A’la li al-Shu’un al-Islamiyyah, 2009), 358.

[14]Manna bin Khalil al-Qattan, Mabahith fi ‘Ulum al-Qur’an (ttp: Maktabah al-Ma’arif li al-Nashr wa al-Tawzi’, cet. 3, 1421 H/2000 M), 21

[15]Muhammad Muhammad Abu Zahwu, Al-Hadith wa al-Muhaddithun (Kairo: Dar al-Fikr al-‘Araby, 1378 H), 16

[16]‘Abd Allah bin Yusuf al-Judai’, Tahrir ‘Ulum al-Hadith, vol. 1(Beirut: Muassasah al-Rayyan, cet.1, 1424 H/2003 M), 37

[17]Nur al-Din ‘Itr, Manhaj al-Naqd fi ‘Ulum al-Hadith (Damaskus: Dar al-Fikr, cet. 3, 1418 H/1997 M), 323

[18]Mahmud Tahhan, Taisir Mustalah al-Hadith (Riyad: Maktabah al-Ma’arif, cet. 10, 1425 H), 158

[19]‘Abd Allah bin Yusuf al-Judai’, Tahrir ‘…, 37

[20]‘Abd al-Jawwad Khalf Muhammad ‘Abd al-Jawwad, Madkhal Ila al-Tafsir wa ‘Ulum al-Qur’an, (Kairo: Dar al-Bayan al-‘Araby, tth), 33

[21]Muhammad Jamal al-Din al-Qasimy, Qawa’id al-Tahdith .., 65

[22]Al-Khushu’I al-Khushu’I Muhammad al-Khushu’I, Mawsu’ah …, 358.

[23]Jalal al-Din al-Suyuty, Al-Itqan fi ‘Ulum al-Qur’an, ed. Muhammad Abu al-Fadl Ibrahim, vol. 1 (Mesir: al-Hai’ah al-Misriyyah al-‘A<mmah li al-Kutub, 1394 H/1974 M), 159

[24]‘Umar ‘Aly ‘Abd Allah Muhammad, Al-Ahadith al-Qudsiyyah: Jam’an wa Dirasatan, vol. 1 (Madinah: Maktabah al-‘Ulum wa al-Hikam, cet. 1, 1425 H), 14-20

[25]‘Abd al-Jawwad Khalf Muhammad ‘Abd al-Jawwad, Madkhal Ila al-Tafsir, 34-35

[26]Ibid,.

[27]Muslim bin al-Hajjaj al-Naisabury, al-Musnad al-Sahih atau dikenal denganSahih Muslim, Vol. 4, ed. Muhammad Fu’ad ‘Abdal-Baqy (Beirut: Dar Ihya’ al-Turath al-‘Araby, t.th.), 119

[28]‘Umar ‘Aly ‘Abd Allah Muhammad, Al-Ahadith al-Qudsiyyah…, 18-19

[29]khusyu'I (al), al-khusyu'i al-khusyu'i muhammad, Tarikh al-Sunnah al-Nabawiyah. (Kairo: Universitas al-Azhar, 2010), 23.

[30]Jalal al-Din al-Suyuty, Al-Itqan fi ‘Ulum al-Qur’an, ed. Muhammad Abu al-Fadl Ibrahim, vol. 1 (Mesir: al-Hai’ah al-Misriyyah al-‘A<mmah li al-Kutub, 1394 H/1974 M), 159

[31]Al-Qasimy, Qawa’id, 66

[32]  ‘Atiyyah Qabil Nasr, Ghayah al-Murid fi ‘Ilm al-Tajwid. (Kairo: Maktabah Madinah, t.th), 9.

[33]  Al-Qur’an, Surah al-Hijr: 9.

[34]  Al-Khushu’I al-Khushu’I Muhammad al-Khushu’I, Mawsu’ah ‘Ulum al-Hadith al-Sharif. 366.

[35] Muhammad Jamaluddin al-Qasimi, Qawa’id al-Tahdith min Furu’ Mustalah al-Hadith. (Beirut: Dar al-Nafis, t.th), 66-69.

[36]Muhammad bin Isma’il al-Bukhary, Al-Jami’ al-Musnad al-Sahih al-Mukhtasar min Umur Rasul Allah Salla Allah ‘alaih wa Sallam Wa Sunanih wa Ayyamih. Vol. 6, ed. Muhammad Zuhair bin Nasir al-Nasir (t.t. : Dar Turuq al-Najah, cet. 1, 1422 H), 115. Hadis nomor 4779 kitab bad’u al-wahy,bab qaulihi  فَلاَ تَعْلَمُ نَفْسٌ مَا أُخْفِىَ لَهُمْ

[37]Abu ‘Abd Allah Mustafa bin al-‘Adawy al-Misry, al-Sahih al-Musnad min al-Ahadith al-Qudsiyyah (ttp: Dar al-Sahabah li al-Turath), 108

 

[38]Muhammad bin Isma’il al-Bukhary, Al-Jami’ Vol. 8, 103.

[39]Jamal Muhammad ‘Ali al-Shuqayri, Al-Ahadith al-Qudsiyah, vol. 1 (Amman: maktabah Dar al-Thaqafah, tth), 24

[40]Muhammad bin Isma’il al-Bukhary, Al-Jami’ Vol. 8, 115

[41]Ibid., 291

[42]Muhammad bin Isma’il al-Bukhary, Al-Jami’ Vol. 7, 164

[43]Abu ‘Abd Allah Mustafa bin al-‘Adawy al-Misry, al-Sahih al-Musnad.., 141

[44]Abu al-Qasim Sulaiman Ibn Ahmad al-Tabrany, al-Mu’jam al-Awsat, vol. 5, ed. Tariq ibn ‘Awd Allah Ibn Muhammad al-Husainy (Kairo: Dar al-Haramayn, t.th), 222

[45]‘Umar ‘Aly ‘Abd Allah Muhammad, Al-Ahadith al-Qudsiyyah…, 29

[46]‘Umar ‘Aly ‘Abd Allah Muhammad, Al-Ahadith al-Qudsiyyah…, 29

[47]Abu Shuhbah, Al-Wasith.., 215

[48]Nur al-Din ‘Itr, Manhaj al-Naqd…, 321

[49]Lihat syarat-syarat hadis Sahih dalam ‘Uthman bin ‘Abd al-Rahman Ibn Salah, Ma’rifah Anwa’ ‘Ulum al-Hadith, ed. ‘Abd al-Latif al-Hamim dan Mahir Yasin al-Fahl (Beirut: Dar al-Kutub al-‘Ilmiyah, cet. 1, 1423 H), 79

[50]Mustafa al-Khan,al-Manhal al-Rawy min Taqrib al-Nawawy  (tp: Dar al-Malah li al-Taba’ah wa al-Nashr, ttt), 18, Nur al-Din ‘Itr, Manhaj al-Naqd fi ‘Ulum al-Hadith  (Damaskus: Dar al-Fikr, Cet. 3, 1418 H/1998 M), 29-30

[51]Umar’Aly ‘Abd Allah Muhammad, Al-A<hadith al-Qudsiyyah…, 33

[52]Di antara catatan sejarah yang menyebutkan informasi ini adalah Muhammad bin Shakir Salah al-Din, Fawat al-Wafiyyat. Vol. 3, ed. Ihsan Abbas (Beirut: Dar Sadir, cet.1, 1974 M), 435-438, Ahmad bin Ahmad Abu al-‘Abbas al-Ghibriny. ‘Unwan al-Dirayah fiman ‘Urifa min al-‘Ulama’ fi al-Mi’ah al-Sabi’ah bi Bajayah.ed. ‘A<dil Nuwaihid (Beirut: Manshurat Dar al-A<faq al-Jadidah, cet. 2, 1979 M), 156-166

[53]Muhammad Rashad Khalifah, Madrasah al-Hadith fi Misr (Kairo: al-Hai’ah al-‘A<mmah li Shu’un al-Matabi’ al-Amiriyah, t.th), 237.

[54]ibid

[55]Di cetak dengan nama Kitab Al-Ahadith al-Qudsiyah al-Arba’iniyyat, takhrij Abu Ishaq al-Huwainy al-Athary (Jeddah: Maktabah al-Sahabah, t.th). Sebelumnya dicetak di Istanbul oleh percetakan ‘A<rif Afandy tahun 1324 H, dan dipublikasikan ulang oleh Syaikh Muhammad Raghib al-Tabbakh tahun 1345 H.

[56]Biografi singkat ditulis oleh Abu Ishaq al-Huwainy al-Athary  dalam Kitab karya Mulla ‘Ali al-Qary, Kitab Al-Ahadith al-Qudsiyah al-Arba’iniyyat, takhrij Abu Ishaq al-Huwainy al-Athary (Jeddah: Maktabah al-Sahabah, t.th), 8-9.

[57]Muhammad bin ‘Aly al-Shaukany al-Yamany, al-Badr al-Tali’ bi Mahasin min Ba’d al-Qarn al-Sabi’, vol. 1(Beirut: Dar al-Ma’rifah, t.th), 445

[58]Ibid.

[59]Al-Baihaqy, Shu’ab al-I<man, vol. 3 (Riyad: Maktabah al-Rushd, cet. 1, 1423 H/2003 M), 240. Menurut penelitian Abu Ishaq al-Huwainy, hadis ini dan semacamnya, walaupun memliki banyak jalur sanad, namun semuanya dho’if. Lihat catatan kaki Mulla ‘Ali al-Qary, Kitab Al-Ahadith al-Qudsiyah al-Arba’iniyyat, takhrij Abu Ishaq al-Huwainy al-Athary (Jeddah: Maktabah al-Sahabah, t.th), 10

[60]Khair al-Din bin Mahmud al-Zarkaly al-Dimashqy, Al-A’lam, vol. 6 (ttp: Dar al-‘Ilm li al-Malayin, cet. 15, 2002 M), 203-204

[61]Komentar pen-tahqiq yaitu ‘Abd al-Qadir al-Arnauwt. Lihat ‘Abd al-Ra’uf bin Taj al-‘A<rifin al-Manawy, Al-Ittihafat al-Saniyyah bi al-Ahadith al-Qudsiyyah. ed. ‘Abd al-Qadir al-Arnauwt dan Talib ‘Awwad (Beirut: Dar Ibn Kathir Damaskus, t.th), 3

[62]Pen-syarah-nya adalah Muhammad Munir bin ‘Abduh A<gha al-Dimashqy al-Azhary (w. 1367 H) dengan nama Kitab Al-Nafahat al-Salafiyyah bi Sharh al-Ahadith al-Qudsiyyah. Kitab ini dicetak bersama Al-Ittihafat al-Saniyyah oleh Dar Ibn Kathir Damaskus.

[63]‘Abd al-Ra’uf bin Taj al-‘A<rifin al-Manawy, Al-Ittihafat al-Saniyyah bi al-Ahadith al-Qudsiyyah. ed. ‘Abd al-Qadir al-Arnauwt dan Talib ‘Awwad (Beirut: Dar Ibn Kathir Damaskus, t.th), 1-2

[64]Muhammad Rashad Khalifah, Madrasah al-Hadith fi Misr (Kairo: al-Hai’ah al-‘A<mmah li Shu’un al-Matabi’ al-Amiriyah, t.th), 235

[65]Umar’Aly ‘Abd Allah Muhammad, Al-A<hadith al-Qudsiyyah…, 30

15 Januari, 2024

مهارة الكتابة



مهارة الكتابة (Writing)

1)     مفهوم مهارة الكتابة

تعتبر الكتابة مهارة مهمة من مهارات اللغة، كما تعتبر القدرة على الكتابة هدفا أساسيا من أهداف تعليم اللغة العربية. والكتابة وإن كانت مهمة كوسيلة من وسائل الاتصال والتعبير عن النفس والفكر، فإنها مهمة أيضا في حجرة الدراسة حيث يتطلع الدارس للغة العربية إلى القدرة على أن يكتب بها كما يتحدث ويقرأ.[1]

الكتابة عملية ضرورية للحياة العصرية سواء بالنسبة للفرد أم بالنسبة للمجتمع، ومن ثم تعتبر الكتابة الصحيحة عملية مهمة في تعليم اللغة باعتبارها عنصرا أساسيا من عناصر الثقافة وضرورة اجتماعية لنقل الأفكار والتعبير عنها للوقوف على أفكار الآخرين والإلمام بها، وفي إطار النظرة التكاملية للغة نرى أن تدريب التلاميذ على الكتابة يتركز في العناية بثلاثة أنواع من القدرات، قدرة في الخط، وقدرة في الهجاء، وقدر في التعبير الكتابى الجيد.[2]


2)     أهمية مهارة الكتابة

لا شك أن الاتصال اللغوي في حياتنا إلىومية أمر جوهرى، لأنه يمثل كل شيىء بالنسبة لنا اجتماعيا واقتصاديا وسياسيا، وتنمية قدرات الاطفال على الاتصال اللغوى وظيفة أساسية للمدرسة الابتدائية. والاتصال اللغوي له جانبان : جانب استقبال ويمثله الاستماع والقراءة، وجانب إرسال ويمثله الكلام والكتابة.[3] لذا، مكانة خصة وأساسية من أهداف تعليم اللغة العربية.

التعبير من أهم أنماط النشط اللغوى مثل التعبير الكتابى، وبدونه قد لا يستطيع الجماعات أن تبقى في بقاء ثقافتها وتراثها، ولا أن تستفيد وتفيد من نتاج العقل الإنسانى الذى لابديل  عن الكلمة المكتوفة أداة لحفظه ونقله وتطويره. إن التعبير الكتابى ذو أهمية قصوى في الحياة، فهو قناة الاتصال الإنسانى من أهم أدواته، أن للغة وظيفتين أساسيتين هنا الاتصال وتسهيل عملية التفكير، والتعبير عن النفس، ومن ثم لإإن التعبير الكتابى وسيلة من وسائل الاتصال وتسهيل عملية التفكير والتعبير عن النفس، ومن كونه كذلك استمد أهميته القصوى في حياة الفرد والجماعات.[4]


3)     أهداف مهارة الكتابة

تهدف عملية تعليم الكتابة باللغة العربية إلى تمكين الدرارس من :[5]

‌أ.         كتابة الحروف العربية وإدراك العلاقة بين شكل الحرف وصوته.

‌ب.   كتابة الكلمات العربية بحروف منفصلة وبحروف متصلة مع تمييز شكل الحرف في أول الكلمة ووسطها وآخرها.

‌ج.     إتقان طريقة كتابة اللغة العربية بخط واضح وسليم.

‌د.       إتقان الكتابة بالخط النسخ أو الرقعة أيهما أسهل على الدارس.

‌ه.        إتقان الكتابة من إلىمين إلى إلىسر.

‌و.      معرفة علامة الترقيم ودلالاتها وكيفية استخدامها.

‌ز.      معرفة مبادىء الإملاء وإدراك ما في اللغة العربية من بعض الاختلافات بين النطق والكتابة والعكس، ومن خصائص ينبغي العناية بها في الكتابة كالتنوين مثلا والتاء المفتوحة والمربوطة، والهمزات وغير ذلك.

‌ح.     ترجمة أفكاره كتابة من جمال مستخدما الترتيب العربي المناسب للكلمات.

‌ط.     ترجمة أفكاره كتابة من جمال مستخدما الكلمات صحيحة في سياقها من حيث تغيير شكل الكلمات وبنائها بتغيير المعنى (الإفراد والتثنية والجمع، التذكير والتأنيث، إضافة الضمائر وغير ذلك).

‌ي.    ترجمة أفكاره كتابة مستخدما الصيغ النحوية المناسبة.

‌ك.    استخدام الأسلوب المناسب للموضوع أو الفكرة المعبر عنها.

‌ل.     سرعة الكتابة معبرا عن نفسه في لغة صحيحة سليمة واضحة معبرة.


4)     الكتابة التى سنعلها

في ضوء العرض السابق يمكننا أن نمييز بين أنشطة الكتابة التي سنعلمها، وأن نحدد أربعة مجالات رئيسية في تعلم الكتابة باللغة العربية وهي:

‌أ.         كتابة الحروف العربية.

‌ب.   كتابة الكلمات بهجاء سليم.

‌ج.     تكوين تراكيب وجمل عربية يفهمها القارىء.

استخدام التراكيب والجمل العربية في فقرات تعبر عن أفكار الكاتب بوضوح. معنى هذا أننا سنعلم الكتابة في اللغة العربية من خلال المجلات التإلىة :[6]

1.     الإملاء (الهجاء) وينقسم إلى :

1)    إملاء منقول

2)    إملاء منظور

3)    إملاء اختباري

2.     الخط

3.     التعبير والإنشاء وينقسم إلى :

1)    التعبير البسيط

2)    التعبير الموجه

3)    التعبير الحر


5)     اختبار مهارة الكتابة

ومن اختبارات مهارة الكتابة :[7]

‌أ.         اختبار كتابة الحروف، أدنى مستويات الكتابة هو كتابة الحروف وكتابة المحاكاة. هنا يافظ المعلم بعض حوف الألفباء وعلى الطالب أن يكتب ما يستمع.

‌ب.   اختبار كتابة المقاطع، هنا ينطق المعلم مقاطع  ويطلب  من التلميذ أن يكتبها.

‌ج.     اختبار المحاكاة، يكتب المعلم على السبورة كلمات أو جملا، ثم ينسخها الطالب مهتما بالخط.

‌د.       اختبار الإملاء : الاستكتاب، هنا يقرأ المعلم والطلاب يكتبون ما يسمعون. وقد يقرأ المعلم كلمات مختارة أو جملا مختارة أو نصا متصلا.

‌ه.        اختبار الإملاء : دمج الوحدات، الإملاء بالدمج يطلب سؤالا كتابيا وجوابا كتابيا بالطبع.

‌و.      اختبار الإملاء : الأحكام، من الممكن أن يتناول الاختبار أحكام الإملاء مباشرة.

‌ز.      اختبار الإملاء : الاختيار من متعدد، هنا تظهر مجموعة من الكلمات، عادة أربع، ثلاث منها خطأ إملائيا.

‌ح.     اختبار الإملاء : الاشتقاق، هنا يطلب من الطالب أن يشتق كلمة من كلمة معطاة له كتابة.

‌ط.     اختبار الإملاء : الإضافة، هنا تعطى الكلمة ويطلب إعادة كتابتها بعد إضافة حرف أو حرف أو تنوين إلىها.

‌ي.    اختبار الإملاء : كشف الخطأ، هذا يقرأ الطالب جملا أو فقرات متصلة ويضع خطأ تحت كل خطأ إملائى ويصححه. وبالطبع، يكون المعلم قد قرر مسبقا الأخطاء الإملائية في النص من حيث ما هيتها وعددها. ويحسب لكل خطأ يصوب درجة واحدة أو اكثر.

‌ك.    اختبار الإملاء : الكلمات المخذوفة، يعطى الطالب نصا مكتوبا فيه بعض الكلمات المخذوفة (مثلا عشرون كلمة مخذوفة ). المعلم يقرأ النص كاملا دون حذف أية كلمات وعلى الطالب أن يكتب الكلمات المخذوفة التي يسمعها.

‌ل.     اختبار الترقيم، يقصد باختبار الترقيم قياس قدرة الطالب على إضافة علامة الترقيم إلى نص مكتوب، من مثل الفاصلة ( ، ) والنقطة ( .) وعلامة الاستفهام ( ؟ ) والتعجب ( ! ) والنقطتين ( : ) والفواصل المزدوجة ( " " ).

‌م.       اختبارات الكتابة المقيدة، يمكن قياس القدرة الكتابية عن طريق حصر الطالب في مهمات كتابية ضيقة. ويمكن أن يتخذ هذا عدة أشكال منها : اختبار الاستبدال بكلمة مرادفة، اختبار الاستبدال بكلمة مضادة، اختبار تحويل الأفعال، اختبار تحويل الفاعل، اختبار دمج الجمل، اختبار الإضافة وغير ذلك.

‌ن.     اختبارات تصحيح الفقرة، هذا تعطي للطالب فقرة مكتوبة وعليه أن يصحح ما فيها من أخطاء.

‌س.  اختبارات تحليل الفقرة، تعطي للطالب فقرة سليمة أو فيها بعض الأخطاء المقصودة ويطلب من الطالب الإجابة عن أسئلة معينة.

‌ع.     اختبارات اللإنشاء الموجه، هنا يكتب الطالب فقرة أو مقالة  ( حسب التعليمات ) استجابة لحافز معين. وهي تختلف عن اختبارات الإنشاء الحر التى سنتحدث عنها لاحقا في هذا الفصل. مثل، اختبار التعليق على فلم شاهد الفلم الآتي واكتب فقرة (أو مقالة) عما شاهدت.

‌ف.  اختبارات الإنشاء الحر، يطلب من الطالب في الإنشاء الحر أن يكتب عن موضوع محدد، ويجوز أن يعطى الطالب حرية اختيار موضوع من بين ثلاثة أو أربعة موضوعات.

‌ص.    اختبارات التلخيص، يعتبر التلخيص من إحدى مهارات  الكتابة. وهو في الواقع يعتبر من الإنشاء الموجه، وليس الإنشاء الحر، لأن النص يتحكم في محتوى التلخيص. والتلخيص ليس مهارة كتابية خالصة، إذ يتعمد أولا على استيعاب المقروء متبوعا بالتعبير الكتابي عما تمّ استيعابه. ويمكن أن تتخذ تعليمات اختبار التلخيص عدة أشكال منها:

1.     اقرأ المقالة الآتية ولخصها في فقرة واحدة.

2.     لخص النص التإلى في فقرة لا تزيد عن عشرة سطور.

3.     لخص ما يلي في فقرة لا تزيد عن مئة كلمة.

4.     لخص ما يلي إلى الثلث (أو الربع أو الخمس) من حيث عدد الكلمات.


قراءة المقالات الأخرى ذات الصلة:

المواد التعليمة

الوسيلة التعليمية

مهارة الاستماع

مهارة الكلام

مهارة القراءة

مهارة الكتابة

 


[1] محمود كامل الناقة، تعليم اللغة العربية للناطقين بلغات أخرى (المملكة العربية : جامعة أم القري، 1985) 229-230.

[2] رشدي أحمد طعيمة ومحمد سيد مناع، تدريس العربية في التعليم العام نظريات وتجارب (دار الفكر العربى، 1421 م / 2001 ه) 161.

[3] نفس المرجع.، 161.

[4] نفس المرجع.، 176.

[5] محمود كامل الناقة، تعليم اللغة العربية للناطقين بلغات أخرى (المملكة العربية : جامعة أم القري، 1985) 236-237.

[6] نفس المرجع.، 234-235.

[7] محمد على الخولي، الاختبارات اللغوية (أردن: دار الفلاح للنشر والتوزيع، 2000) 134-166.

MAKALAH HADIST TENTANG HIJAB

  A.   Latar Belakang Telah disepakati oleh seluruh umat Islam bahwa al-Qur’an menjadi pedoman hidup baik tentang syariah maupun dalam keh...