HOME

06 Agustus, 2023

ADAB MEMBERIKAN HADIAH

 


Berikut beberapa adab memberikan hadiah dalam islam;

·         Hadiah, Pemberian, Shadaqah adalah aqad memberikan kepemilikan suatu barang kepada seseorang tanpa ganti.

·         Terdapat perintah untuk menerima hadiah apabila tidak terdapat padanya sesuatu yang syubhat dan haram. Disebutkan dalam sebuah hadits yang shahih bahwa Nabi shallallahu alaihi wasallam bersabda:              

                 أِجِيْبُوْا الدَّاعِيَ وَلاَ تَرُدُّوْاالْهَدِيَّةَ وَلاَ تَضْرِبُوْا اْلمُسْلِمِيْنَ

“Penuhilah panggilan orang yang mengundangmu, janganlah engkau menolak hadiah dan jangan pula memukul orang Islam”.[1] Rasulullah shallallahu alaihi wasallam bersabda:

مـَنْ أَتَاهُ اللهُ شَيْئًا مِنْ هذَا الْمَالِ مِنْ غَيْرِ أَنْ يَسْأَلَهُ فَلْيَقْـبََْلْ فَإِنَّمَا هُـوَ رِزْقٌ سَاَقـَهُ اللهُ إِلَيْهِ

“Barangsiapa yang diberikan oleh Allah harta tanpa mengemisnya dari orang lain maka hendaklah dia menerimanya sebab hal itu adalah rizki yang diberikan oleh Allah kepadanya”.[2]

·         Dan di antara kemuliaan akhlaq Nabi shallallahu alaihi wasallam bahwa pada saat hadiah datang kepada Nabi shallallahu alaihi wasallam maka beliau mengikutkan orang lain menikmati hadiah tersebut, ketika Nabi shallallahu alaihi wasallam diberikan semangkuk susu maka beliau memanggil ahlus suhffah dan mengikut sertakan mereka menikmati hadiah tersebut bersama beliau.[3]

·         Apabila dihadiahkan kepada beliau sekeranjang buah-buahan, maka beliau membaginya kepada orang tua yang shaleh dan kepada anak-anak yang hadir bersama beliau. Dari Abi Hurairah radhiallahu anhu bahwa diberikan kepada Nabi shallallahu alaihi wasallam buah pertama (untuk awal musim buah-buahan) lalu beliau berdo’a:

اَللّهُـمَّ بَارِكْ لَنَا فَِي مَدِيْنََتِنَا وَفيِ مُدِّنَا وَفِي صَاعِنَا وَفِي ثِمَارِنَا بَرَكَةً مَعَ بَرَكَةٍ

"Ya Allah berikanlah keberkahan bagi kami pada kota kami, pada ukuran mud kami, sha’ kami dan pada buah-buahan kami, curhakanlah keberkahan bersama keberkahan.”, Kemudian beliau memberikan anak yang paling kecil yang ikut hadir bersama beliau.[4]

·         Rasulullah shallallahu alaihi wasallam menjinakkan hati suatu kaum dengan hadiah yang beliau berikan, terkadang seseorang baru masuk Islam atau di dalam hatinya ada ganjalan terhadap Islam atau umatnya, maka Nabi shallallahu alaihi wasallam tetap memberikannya sampai orang tersebut rela.

·         Rasulullah shallallahu alaihi wasallam selalu mengirim hadiah kepada keluarganya, beliau shallallahu alaihi wasallam selalu setia terhadap istrinya, Khadijah radhiallahu anha dan menjadikan hadiah sebagai sarananya, ketika beliau menyembelih seekor kambing, beliau berkata: “Kirimlah daging ini kepada teman-teman Khadijah”.[5]

·         Nabi shallallahu alaihi wasallam selalu membalas hadiah, dalam sebuah hadits disebutkan bahwa Nabi shallallahu alaihi wasallam menerima hadiah dan memberikan balasan atasnya”.[6]

·         Memberikan hadiah kepada orang yang memberikan hadiah adalah bentuk rasa berterima kasih kepada manusia, sebagaimana disebutkan dalam sebuah hadits: “Tidak bersyukur kepada Allah orang yang tidak berterima kasih kepada manusia”.[7]

·         Barangsiapa yang tidak mempunyai sesuatu untuk membalas hadiah maka hendaklah berdo’a atas hadiah tersbut, sebagaimana yang dijelaskan oleh Nabi shallallahu alaihi wasallam:

مَنْ صَنَعَ إِلَيْهِ مَعْرُوْفًا فَقَالَ لِفَاعِلِهِ: جَـزَاكَ اللهُ خَيْرًا فَقَـدْ أَبْلَغَ فِي الثَّنَاءِ

“Barangsiapa yang berbuat kebaikan kepada seseorang, kemudian dia berkata kepada orang yang berbuat tersebut: جَـزَاكَ اللهُ خَيْرًا (semoga Allah membalasmu dengan yang lebih baik) maka sungguh dia telah cukup memadai dalam memuji”.[8]

·         Memberikan hadiah kepada tetangganya yang terdekat, seperti yang jelaskan dalam hadits A’isyah radhiallahu anha, dia berkata: Wahai Rasulullah! Saya mempunyai dua orang tetangga kepada siapakah aku memberikan hadiah?, “Kepada orang yang pintunya paling dekat denganmu”.[9] Jawab beliau.

·         Memberikan hadiah menjadi suatu keharusan pada saat manusia membutuhkannya, seperti yang terjadi pada peristiwa khandak.

·         Di antara hadiah yang mesti tidak boleh ditolak adalah hadiah yang tidak terlalu mahal dan tidak pula membebankan, sebab Nabi shallallahu alaihi wasallam tidak pernah menolak yang baik, dan beliau bersabda:

مَـنْ عَـرَضَ عَلَيْهِ رَيْحَانٌ فَلاَ يَـرُدُّهُ فَإِنَّهُ خَفِيْفُ اْلمَحْمَلِ طَيِّبُ الرَّائِحَةِ

“Barangsiapa yang diberikan kepadanya raihan (semacam tumbu-tumbuhan yang berbau harum) maka janganlah dia menolaknya, sebab raihan tersebut sangat ringan dan harum baunya”.[10]

·         Apabila hadiah tersebut berupa barang yang haram wajib menolaknya, dan jika barang tersebut berasal dari barang yang syubhat maka dianjurkan menolaknya.

·         Apabila hadiah tersebut berasal dari seorang yang jahat, fasiq atau kafir agar hadiahnya tetap ada padamu maka janganlah kau menerimanya.

·         Seseorang dianjurkan untuk menerima hadiah seklaipun hadiah tersebut tidak berkesan di dalam dirinya, sebagaimana Ummu Hafid, bibi Ibnu Abbas radhiallahu anha memberikan hadiah kepada Nabi shallallahu alaihi wasallam berupa keju, samin dan daging biawak, maka Nabi shallallahu alaihi wasallam memakan samin dan keju serta meninggalkan daging biawak.[11]

·         Apabila seseorang ingin memberikan hadiah maka hendaklah berusaha untuk memilih waktu yang paling baik, bahkan para shahabat apabila ingin memberikan hadiah kepada Nabi shallallahu alaihi wasallam, mereka menunggu hari giliran Aisyah.

·         Jika seseorang menolak suatu hadiah maka hendaklah dia menjelaskan sebab penolakan tersebut.

·         Apabila orang yang akan diberikan hadiah telah meninggal dunia sebelum hadiahnya sampai, maka kepada siapakah diserahkan? Imam Ahmad berkata: Jika yang membawa hadiah tersebut adalah utusan pemberi hadiah maka hadiah tersebut kembali kepada pemiliknya, dan jika yang membawa hadiah tersebut adalah utusan orang yang diberikan hadiah maka hadiah tersebut untuk ahli warisnya.

·         Memberikan hadiah kepada kedua orang tua adalah hadiah yang paling besar nilainya.

·         Orang tua boleh memberikan hadiah kepada anak-anaknya sambil menjaga sikap adil yang diwajibkan.

·         Di antara hadiah yang terbesar adalah hadiah ilmu dan nasehat, seperti yang dijelaskan dalam sebuah hadits yang shahih dari Abdullah bin Isa bahwa dia mendengar Abdurrahman bin Abi Laila berkata: Ka’ab bin Ajroh menemuiku, lalu dia berkata kepadaku: Tidakkah aku memberikan kepadamu sebuah hadiah yang aku dengar dari Rasulullah shallallahu alaihi wasallam?. Maka aku mejawabnya: “Ya, berikanlah hadiah tersebut kepadaku”, lalu dia berkata: Kami bertanya kepada Rasulullah, Ya Rasulullah bagaimanakah cara bershalawat kepadamu dan kepada keluargamu sebab Allah telah mengajarkan kami cara mengucapkan salam kepadamu? Beliau menjawab: Bacalah:

اَلّلهُمَّ صَلِّ عَلىَ مُحَمَّدٍ وَعَلىَ آلِ مُحَمَّدٍ كَمَا صَلَّيْتَ عَلىَ إِبْرَاهِيْمَ وَعَلىَ آلِ إِبْرَاهِيْمَ ...حَمِيْدٌ مَجِيْدٌ

“Ya Allah berikanlah rahmat kepada Muhammad dan keluarganya, sebagaimana Engaku telah memberi rahmat kepada Ibrahim dan keluarganya…sesungguhnya Engaku Tuhan Yang Maha Terpuji dan Mulia”.

·         Hadiah seorang peminang dikembalikan kepada orang yang meminang selama bukan bagian dari mahar.

·         Tidak memberikan hadiah dengan tujuan mendapat balasan.

·         Adapun hadiah untuk memenuhi hajat tertentu, maka para ulama berbeda pendapat tentang hukumnya, sebagian mereka mengatakan halal dikerjakan, dan sebagian yang lain mengatakan makruh dilakukan, seperti yang katakan oleh imam Ahmad rahimahullah kecuali jika orang tersebut memberikan balasan yang setimpal.

·         Hadiah karena telah memberikan syafa’at[12] (pertolongan dan bantuan) tidak diperbolehkan, berdasarkan sabda Nabi shallallahu alaihi wasallam:

مَنْ شَفَّعَ ِلأَخِيْهِ شَفَاعَةً فَأُهْدِيَ لَهُ هَدِيَّةً عَلَيْهَا فَقَبِلَهَا مِنْهُ فَقَدْ أَتَى بَابًا مِنْ أَبْوَابِ الرِّبَا

“Barangsiapa yang memberikan sebuah pertolongan bagi saudaranya lalu saudaranya tersebut memberikan hadiah bagi jasanya lalu menerimanya, maka sungguh dia telah membuka satu pintu dari pintu-pintu riba”.[13] Dan Syaikhul Islam rahimahullah ta’ala menegaskan kebolehan menerima hadiah tersebut, dan keharaman yang dimaksudkan adalah meminta pertolonganmu dalam kezaliman lalu dia memberikan hadiah kepadamu.

·         Seorang hakim tidak diperbolehkan sama sekali menerima hadiah; sebab Umar bin Abdul Aziz-rahimhullah-berkata: Pada zaman Nabi shallallahu alaihi wasallam hadiah adalah hadiah, sementara pada zaman kita hadiah adalah bentuk sogokan.

·         Bagi pegawai negeri tidak diperbolehkan menerima hadiah, sebab hadiah bagi pegawai adalah pengkhianatan jika pemberian hadiah untuk mendapat jabatan.

·         Hadiah dari orang-orang musyrik, imam Bukhari rahimhullah berkata dalam kitabnya yang shahih (Bab Qobulul Hadiah Minal Musyrikin/Bab kebolehan menerima hadiah dari orang-orang musyrik). Kemudian dia menyebutkan setelah menulis bab di atas beberapa hadits yang membolehkannya.

Al-Hafiz Ibnu Hajar-rahimhullah- dalam syarahnya mengatakan: Dalam bab ini (dalam pembahsan ini) terdapat hadits Iyadh Ibnu Himar, yang dikeluarkan oleh Abu Dawud, Turmudzi dari Iyadh, dia berkata: Aku telah memberikan bagi Nabi shallallahu alaihi wasallam seekor onta, maka beliau bertanya: Apakah engkau telah masuk Islam? Aku menjawab: “Tidak” lalu beliau melanjutkan: Aku dilarang menerima hadiah dan pemberian orang-orang musyrik,[14]…kemudian Al-Hafizh Ibnu Hajar menuqil perkataan sebagian ulama tentang cara mengkompromikan antara hadits yang melarang dan kebolehan menerima hadiah dari orang-orang musyrik, yaitu larangan tersebut berkalu bagi orang musyrik yang ingin menggadaikan loyalitas seorang muslim kepadanya dengan hadiah yang diberikannya (seperti simpati kepadanya), dan kebolehan menerima hadiah (dari non muslim) berlaku bagi orang musyrik yang diharapkan bisa dijinakkan hatinya untuk Islam.

 BACA ARTIKEL LAINNYA YANG BERKAITAN:


[1] Shahihul Adab: 117.

[2] HR. Bukahri dan Muslim, Silsilatus Shahihahno: 1187.

[3] Shahihu t Targib no: 3303.

[4] HR. Muslim no: 1373, 474. Al-Adabus Syar’iyah, Ibnu Muflih 1/315.

[5] Shahihul Jami’ no: 3331

[6] Shahihul Jami’ no: 4999.

[7] Al-Silsilatus Shahihah no:416

[8] Shahihul Jami’ no: 6368

[9] Shahihul Adab: 79.

[10] Shahihul Jami’ no:2392

[11] Shahihun Nasa’I no: 4029.

[12] Seperti membantu seseorang agar urusannya dipermudah dalam sebuah instansi atau lembaga. Pen.

[13] Al-Silasilatus Shahihah: 3465.

[14] Shahih Abu Dawud no: 2630

ADAB MEMBERI KABAR GEMBIRA (AL-BISYAROH)

 


Berikut beberapa adab memberi kabar gembira dalam islma;

·         Al-Bisyaroh adalah sesuatu yang dapat melegakan hati seseorang, berupa urusan yang bisa menggembirakan.

·          Al-Bisyaroh secara mutlak bermakna kabar gembira dengan kebaikan, dan terkadang secara bahasa Al-Bisyaroh digunakan secara terbatas pada hal yang berhubungan dengan kejelekan sebagaimana firman Allah Subhanhu Wa Ta'ala:    فَبَشِّرْهُـمْ بِعَذَابٍ أَلِيْمٍ      "Maka gembirakanlah bahwa meraka akan menerima siksa yang pedih".[1]

·         Apabila seseorang mendapatkan sesuatu yang menggembirakan maka disunnahkan mengucapkan selamat dengan apa yang membuatnya gembira baik kebaikan dalam urusan agama atau dunia, bahkan para Malaikat telah memberi kabar gembira kepada Ibrahim Alaihissalam dengan anak yang penyantun lagi pintar.

·         Termasuk sunnah menceritakan berita kebaikan yang dapat melegakan dan menggembirakan.

·         Di antara waktu yang pantas untuk membangkitkan kegembiraan adalah pada waktu sakit, sebagaimana Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam memberi kabar kepada Umu Ala radhiallhu anhu beliau berkata:

عَادَنِي النَّبِيُّ صَلىَّ الله عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَأَنَا مَرِيْضَةٌ فَقَالَ:أَبِْشِرِي يَا أُمَّ اْلعَلاَءِ فَإِنَّ مَرَضَ اْلمُسْلِمِ يُذْهِبُ اللهُ بِهِ خَطَايَاهُ كَمَا تُذْهِبُ النَّارَخَبَثَ الْذَّهَبِ وَاْلفِضَّةِ 

"Nabi shallallahu alaihi wa sallam menjengukku dikala aku sakit maka Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam bersabda: Gembiralah! Umu Ala' bahwasanya sakitnya seorang muslim sebagai penghapus kesalahan seperti halnya api menghilangkan kotoran emas dan perak".[2]

·         Diantara orang-orang yang juga diberi kabar adalah para pelajar sebagaimana hadits yang diriwayatkan oleh Ad-Darimi rahimahullah dari Asim bin zurrin bin Hubais berkata kepadaku Sofwan bin Asal Al Muradi sedangkan aku hendak bertanya kepadanya tentang mengusap dua sepatu kemudian ia bertanya: Apa yang membuatmu datang kepadaku? Aku menjawab ingin mendapatkan ilmu, kemudian ia berkata: Bolehkah aku memberi kabar gembira untukmu?". Aku menjawab: "Tentu", kemudian ia berkata: Nabi shallallahu alaihi wa sallam bersabda:

  إِنَّ الْمَلاَئِكَةَ لَتَضَعُ أَجْنِحَتَهَا ِلطَاِلبِ الْعِلْمِ رِضًا بِمَا يَطْلُبُ

"Bahwasannya malaikat meletakkan sayapnya bagi pencari ilmu pertanda ridlo terhadap apa yang ia dicari".[3] 

·         Dari pemberitaan kabar baik juga adalah memberi kabar gembira dengan kemenangan sebagaimana terdapat dalam sunnah, oleh karena itulah Imam Bukhari rahimahullah menulis satu bab dalam kitabnya: Kiatabul Jihad Was Siyar/ kitab jihad dan sirah, bab memberi kabar gembira dengan kemenangan.

·         Di antara moment yang baik untuk memberi kabar gembira adalah pada seseorang yang akan meninggal dunia, sebagaimana saat Umar radhiallahu anhu ditikam maka datanglah kepadanya seorang pemuda dari Ansor kemudian ia berkata: Bergembiralah wahai Amirul mu'minin dengan kabar gembira dari Allah untukmu, engkau telah berbuat bagi Islam ini sebagaimana yang telah engkau ketahui.

·         Begitu juga memberi kabar gembira dengan kematian orang jahat sebagaimana kisah seorang sahabat yang telah membunuh Abu Rafi', sebab ia menghina Nabi shallallahu alaihi wa sallam, setelah dia berhasil membunuhnya, maka dia memberi kabar gembira kepada Nabi shallallahu alaihi wa sallam tentang kematiannya.

·         Disunnahkan bagi orang yang menerima berita gembira memberikan sesuatu bagi orang yang membawa berita gembira tersebut, sebagaimana kisah Ka'ab bin Malik[4] radiallahuanhu bahwasannya ia telah memerdekakan hamba sahayanya Al Abbas, tatkala Hajjaj bin Allat mengabarkannya dari Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam tentang sesuatu membuatnya bergembira.

·         Perkataan sebagian orang (Datanglah dengan membawa kabar gembira) terdapat suatu pendapat dari ulama maka dia harus beritakan kepadanya kabar gembira.

·         Sebuah berita gembira (yang disampaikan) baik dalam urusan agama atau dunia, akan mendatangkan pahala bagi orang yang membawa berita gembira tersebut,  hal itu sebagaimana  kisah Umar radhiallahu anhu tatkala dia mengutus anaknya kepada Aisyah radhallahu anha untuk meminta izin supaya dikuburkan bersama dua temannya, maka tatkala Abdullah radhiallahu anhu menemuinya Umar berkata radhillahu anhu bertanya: "Apa yang engkau bawa?"  Dia menjawab: "Aku membawa apa yang engkau inginkan wahai amirul mu'minin, dia (Aisyah) mengizinkanmu, kemudian Umar berkata: Segala puji bagi Allah tidak ada urusan yang lebih penting bagiku selain ini.

·         Termasuk moment yang tepat untuk mengucapkan kegembiraan adalah saat seseorang datang meminta sesuatu dan ia mampu melaksanakannya, dianjurkan berkata: Bergembiralah. Hal ini sebagaimana terdapat di dalam sunnah tatkala orang-orang mendengar bahwasannya Abu Ubaidah radhiallahu anhu datang dari Bahrain dengan membawa harta benda maka para shahabat berdatangan untuk melaksanakan shalat fajar bersama Rasulullah Subhanahu Wa Ta'ala lalu Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam bersabda: Aku mengira bahwasanya kalian mendengar Abu Ubaidah datang dari Bahrain dengan membawa sesuatu, mereka menjawab: Benar, ya Rasulallah, kemudian beliau bersabda: bergembiralah dan berangan-anganlah.[5]

·         Di antara adab syara' dalam memberikan kabar gembira adalah bilamana seseorang menerima berita yang membuatnya gembira maka dia bersujud syukur kepada Allah Subhanahu Wa Ta'ala pertanda terima kasih kepadaNya hal ini sebagaimana datang dari Nabi shallallahu alaihi wa sallam Bilamana datang kepada beliau suatu urusan yang menggembirakan atau menerima berita gembira maka beliau bersujud syukur sebagai tanda terima kasih kepada Allah Subhanahu Wa Ta'ala.[6]

·         Apabila datang kepada seorang perempuan lelaki shaleh yang akan melamarnya, maka dikatakan kepadanya: Bergembiralah!. Sebagaimana hadits yang diriwayatkan Abu Daud dari Zainab dan haditsnya shahih, yaitu tatkala dia selesai dari  masa iddahnya maka Rasulullah Subhanahu mengutus Zaid untuk mengatakan keinginan beliau kepadanya, Zaid berkata: "Aku pergi menemuinya dan berkata: Wahai Zainab bergembiralah bahwasannya Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam mengutusku kepadamu dan beliau menyebutmu (melamarmu).[7]

 BACA ARTIKEL LAINNYA YANG BERKAITAN:


[1]  QS.Ali Imran: 21

[2]  HR.Silsilah hadits shohihah

[3] Shoheh Al Jami'

[4]  HR.Bukhari Muslim

[5] HR Ibnu Majah no:3231

[6]  HR Shahih Abu Daud no:2412

[7] HR. An Nasa'I no:3050

ADAB MEMBERIKAN UCAPAN SELAMAT

 


Berikut beberapa adab memberikan ucapan selamat menurut islam, diantaranya;

·         Termasuk ucapan selamat adalah mendo'akan seseorang agar mendapat keberkahan, sebagaimana Nabi shallallahu alaihi wa sallam mendo'akan orang yang mengunjunginya supaya mendapatkan berkah.

·         Apabila seseorang meminta sesuatu maka hendaknya dia berkata: "Berikan kepadaku barang tersebut, semoga Allah memberkahimu!". Dalilnya adalah bahwa Nabi shallallahu alaihi wa sallam tatkala meminta kepada dua orang Malaikat untuk masuk ke rumahnya di surga, beliau mendo'akan mereka dengan keberkahan.

·         Al-Tarfi'ah adalah salah satu bentuk ucapan selamat yang diperuntukkan bagi orang yang menikah dan dahulu orang arab mengatakan:   بِالرَّفَاءِ وَالْبَنِيِنِ

Yang bermakna: Selamat atas pernikahan yang dipenuhi oleh rukun dan damai serta dan semoga mendapat anak keturunan lelaki"[1]

·         Mengucapkan selamat kepada seseorang karena dia berilmu, atau karena dia berada di dalam kebenaran, Nabi shallallahu alaihi wa sallam pernah mengucapkan selamat kepada Ubay bin Ka'ab radhiallahu anhu tatkala ia ditanya tentang ayat yang paling agung dalam Al Qur'an.[2]

·         Ucapan selamat dalam pernikahan " َبارَكَ اللهُ عَلَيْكَ)  ) Semoga Allah memberikan keberkahan kepadamu, dan ucapan   وَبَارَكَ الله لَكَ Semoga Allah memberi keberkahan bagimu, dan  mengucapkan seperti di bawah ini: بَارَكَ اللهُ لَكَ وَبَارَكَ عَلَيْكَ وَجَمَعَ بَيْنَكُمَا فِي خَيْر))

"Semoga Allah memberkahimu dan memberi berkah kepadamu serta mengumpulkan kalian berdua dalam kebaikan"[3] Dan ucapan selamat ini oleh orang yang hadir dalam acara pernikahan, setelah terjadinya akad, dan jika ucapan selamat dilakukan setelah jima' dinamakan tarfi'ah.

·         Didatangkan kepada Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam dua anak kecil kemudian beliau mendo'akan mereka agar mendapat keberkahan kemudian mentahniknya[4].

·         Disunnahkan mengucapkan selamat kepada orang yang selamat dari bencana, atau bagi orang yang mendapatkan kenikmatan, begitu juga bagi orang yang mendapatkan pekerjaan atau harta benda sambil mendo'akannya agar mendapat keberkahan padanya.

·         Disunnahkan pula mengucapkan selamat kepada orang yang mendapatkan ni'mat di dalam agama sebagaimana kisah Ka'ab bin Malik yang terdapat dalam kitab Bukhari-Muslim bahwasannya tatkala turun ayat:     إِنَّا فَتَحْنَا َلكَ فَتَحًا مُبِيْنًا

"Sesungguhnya aku menangkan engkau dengan kemengan yang nyata".[5]

·          Maka para sahabat Nabi shallallahu alaihi wa sallam berkata: Semoga selamat dan sukses.[6]

·         Imam As Suyuti dalam kitabnya "Bulughul Ma'ani Liusul At Tahani" meriwayatkan dari Umu Khalid binti Khalid bahwasannya Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam memakaikan baju kepadanya, memakaikannya dengan kedua tangannya sambil berkata: "Abli wakhluki" sepertinya dia mendo'akannya.[7]

·         Ucapan selamat untuk hari raya hal ini sebagaimana ditunjukkan oleh para sahabat radhiallahu anhum tentang kebolehannya, dan disebukan di dalam sebuah atsar dari Muhamad bin Ziyad beliau berkata: "Aku bersama Abi Umamah Al Bahili dan shahabat Nabi shallallahu alaihi wa sallam lainnya, apabila pulang mereka dari hari raya Ied mereka saling mengucapkan:    تَقَبَّلَ اللهُ مِنَّا وَمِنْكُمْ  

  ((Semoga Allah menerima amal kita dan kalian semua)).[8]

·         Mengucapkan selamat pada saat datang tahun atau bulan baru. Berkata Al-Hafidz Al Mundziri, ia menukil dari Al-Hafidz Al Maqdisi bahwasanya dia menjelaskan hal tersebut: Bahwasannya orang-orang masih berbeda pendapat tentang hal tersebut, adapun pendapatku bahwa itu adalah diperbolehkan bukan sunnah dan bukan pula bid'ah. Begitu juga Al Qolyubi menukil dari Ibnu Hajar radhiallahu anhu Bahwasanya secara umum mengucapkan ucapan selamat dengan datangnya bulan yang baru, hari raya dan tahun baru disunnahkan, pendapat ini juga adalah ringkasan dari apa yang dikatakan Ibnu Baz rahimhullah tatkala ia ditanya tentang masalah ini.[9]

 

BACA ARTIKEL LAINNYA YANG BERKAITAN:


[1]  بِالرَّفَاءِ وَالْبَنِيِنِ (Al-Rafa') adalah keurunan dan kedamaian, bararti: Semoga engkau menikah dengan pernikahan yang mendatangkan kerukunan dan kedamaian. Al Banin adalah memberikan ucapan selamat agar diberikan anak,. Dilarang mengucapkan selamat jika untuk kelahiran anak laki-laki semata dan mengesampingkan anak perempuan, sebab itu prilaku jahiliyah dan itu pula rahasia larangan mengucapkan ucapan ini. Mu'jam al manahi  al lafzhiyyah: 178 

[2]  Silsilah As Shahihah no:4310

[3]  Hasan shahih Al Kalam At tayyib 207

[4] mengoleskan buah kurma ke dalam mulut bayi yang baru lahir setelah buah kurma tersebut dikunyah oleh orang yang mau mentahniknya

[5] QS Al Fath:1

[6]  Al Adab As Syar'iyyah juz 2 hal 220

[7]  Hadits shahih

[8] Untuk tambahan maraji' Al Adab As Syar'iyyah juz 3 hal 219

[9] Syekh Abdul kariem Al Khudair telah ditanya tentang hukum mengucapkan selamat hari tahun baru hijriyah dengan mengatakan كل عام وأنتم بخير   semoga sukses atau dengan mendoakan keberkahan seperti mengirim surat yang berisi mendo'akan orang yang di kirimi surat tersebut dengan kebaikan dan keberkahan  ditahun baru?Beliau menjawab:Mendo'akan seorang muslim dengan do'a yang mutlak dan orang itu tidak beribadah dengan lafaz yang diucapkan itu seperti menyambut hari raya, maka hal itu diperbolehkan bilamana yang dimaksud adalah mengucapkan selamat karena kebahagiaan yang diterimanya  serta menampakkan kebahagiaan dan kegembiraan di wajah orang-orang Islam. Imam Ahmad berkata:Aku tidak mendahului dengan mengucapkan selamat, bilamana seseorang mendahului-ku maka aku menjawabnya sebab menjawab selamat adalah wajib  dan mendahului mengucapkan selamat bukanlah sunnah yang diperintahkan dan tidak pula dilarang ( Emeil  Al Islam Tanya – Jawab/ 2129.  

05 Agustus, 2023

ADAB MEMBERIKAN NASEHAT

 


Beberapa adab ketika memberikan nasihat;

·         Ikhlas dalam menasehati orang, yaitu hanya untuk mencari keridhoan Allah, melepaskan tanggung jawab dan agar dilihat oleh orang, didengar, serta terkenal atau untuk menghina dan menyakiti orang yang dinasehati.

·         Menasehati orang hendaknya dilakukan dengan cara yang baik dan lemah lembut, sehingga orang yang dinasehati terpengaruh dan menerima nasehatnya. Sebagaimana di firmankan Allah Subahanhu Wa Ta'ala:

اُدْعُ إِلَى سَبِيْلِ رَبِّكَ بِالْحِكْمَةِ وَالْمَوْعِظَةِ الْحَسَنَةِ وَجَادِلْهُمِْ بِالَّتِي هِيِ أَحْسَنَ

"Ajaklah manusia kejalan tuhanMu dengan hikmah dan pelajaran yang baik dan bantahlah mereka dengan cara yang baik".[1]

·         Orang yang dinasehati hendaknya dalam keadaan menyendiri, sebab keadaan tersebut lebih kondusif untuk lebih diterima nasehat, maka barang siapa yang menasehati saudaranya dalam keadaan terbuka maka sesungguhnya ia telah memperburuk citranya dan barang siapa yang mensehatinya dalam keadaan menyendiri maka ia telah memperbaikinya.

·         Orang yang menasehati harus mengetahui tentang apa yang akan dinasehatkan, dan mempertegas berita yang sampai kepadanya (tentang orang yang dinasehati) sehingga dia mengingkari dan memerintahkan sesuatu berdasarkan ilmu dan ini lebih kondusif bagi diterimanya nasehat.

·         Hendaknya orang yang menasehati memperhatikan keadaan orang yang akan dinasehati, maka jangan menasehati orang pada saat  dia sendiri sibuk dengan suatu urusan, atau dia berada di tengah teman-teman dan kerabatnya, dan hendaklah mempertimbangkan perasaannya, kedudukaanya, pekerjaannya, dan problematika yang sedang dihadapinya .

·         Hendaknya orang yang memberikan nasehat melaksanakan nasehat tersebut sebelum memberikan nasehat kepada orang lain sehingga ia tidak termasuk golongan orang-orang yang memberikan nasehat sedangkan mereka melupakan dirinya, hal ini sebagaimana firman Allah melalui lisannya Nabi Syuaib Alaihisalam:     

      مَا أًُرِيْدُ أَنْ أُخَاِلفَكُمْ إِلَى مَا أَنْهكُـمْ عَنْهُ

"Aku tidak berkehendak menyalahi kamu dengan mengerjakan apa yang aku larang"[2]

  Orang yang memberikan nasehat hendaknya bersabar terhadap bahaya yang terkadang mendatanginya, hal ini sebagaimana nasehat Lukmanul Hakim kepada anaknya:

يبُنَيَّ أَقِـمِ الصَّلاَةَ وَاْمُرْ بِالْمَعْرُوْفِ وَاْنهَ عَنِ اْلمُنْكَرِ وَاصْبِرْ عَلىَ مَا أَصَابَكَ

"Wahai anakku dirikanlah shalat dan perintahlah manusia mengerjakan yang baik dan cegahlah mereka dari perbuatan yang munkar dan bersabarlah terhadap apa yang menimpamu"[3] 

BACA ARTIKEL LAINNYA YANG BERKAITAN:


[1]  QS.An Nahl:125

[2]  QS  Hud:88

[3]  QS. Lukman:17

MAKALAH HADIST TENTANG HIJAB

  A.   Latar Belakang Telah disepakati oleh seluruh umat Islam bahwa al-Qur’an menjadi pedoman hidup baik tentang syariah maupun dalam keh...