Metode filsafat
adalah cara bertindak menurut sistem aturan tertentu berdasarkan objek formal
yang ditentukan menurut suatu pendapat dan pemikiran khas untuk berfilsafat.
Mudahnya, metode filsafat adalah panduan, dan cara berpikir untuk berfilsafat.
Metode filsafat
ini terus berubah dan berkembang seiring dengan perkembangan filsafat sendiri.
Meskipun disebut perkembangan, bukan berarti penemuan terbaru adalah metode
yang terbaik. Dalam dunia filsafat yang spekulatif tidak ada metode terbaik,
yang ada adalah metode tepat guna. Tepat digunakan untuk suatu kebutuhan
filsafat tertentu atau kembali kepada efektivitas filosofnya sendiri dalam
menggunakan metode tersebut.
Metode filsafat
amatlah penting untuk dipilih sebelum kita berfilsafat. Kesalahan memilih metode
akan menghasilkan kebenaran atau kebijaksanaan yang tidak pas. Misalnya, jika
kita menggunakan metode yang lebih cocok untuk ilmu pengetahuan dalam
berfalsafah mengenai suatu kepercayaan, maka kita akan terbentur dengan bukti
objektif yang kemungkinan besar tidak dimiliki oleh suatu kepercayaan. Terdapat
metode khusus untuk menyelami suatu kepercayaan melalui filsafat.
Oleh karena
itu, mempelajari metode filsafat merupakan langkah awal pula dalam mempelajari
filsafat secara menyeluruh. Berikut ini adalah beberapa metode filsafat
berdasarkan urutan kronologi sejarah zamannya.
Metode Filsafat
Berikut adalah
10 contoh metode filsafat yang dapat digunakan sebagai pijakan dalam
berfilsafat.
Metode Kritis
Plato dan
Sokrates adalah filosof (filsuf/philosopher) yang menggunakan dan mengembangkan
metode ini. Metode kritis bersifat analisa istilah dan pendapat, kemudian
disistematiskan dalam hermeneutika (interpretasi asas-asas metodologis) yang
menjelaskan keyakinan dan berbagai pertentangannya.
Caranya adalah
dengan bertanya, membedakan, membersihkan, menyisihkan dan menolak suatu
keyakinan. Dengan begitu, akhirnya akan ditemukan keyakinan yang terbaik di
antaranya. Keyakinan atau filsafat terbaik inilah yang dikatakan hakikat
sesuatu yang lebih baik.
Metode Filsafat
Intuitif
Metode yang
dikembangkan oleh Bergson dan Plotinus ini sering dikatakan tidak bertumpu pada
intelek dan rasionalisasi manusia, tetapi tidak bersifat anti-intelektual.
Manusia terkadang harus mengambil jarak dan berjauhan dengan logika, serta menyerahkan
diri pada kemurnian kenyataan dan keaslian fitrah manusia.
Bukan berarti
pula bahwa logika harus dibungkam dan rasio ditinggalkan. Tetapi metode ini
mengajak kita berpikir dalam semangat untuk bisa menganalisis suatu keyakinan
tanpa terjerat oleh rasio dan logika. Agak sulit untuk dibayangkan namun akan
mengalir ketika dicoba untuk dilakukan.
Metode ini
dapat membongkar sesuatu yang selama ini tidak tampak di permukaan. Analoginya,
saat kita memikirkan mengenai esensi yang didapat dari suatu permainan judi,
maka kita akan melihat objek dari permainan tersebut bukan? yakni hadiahnya
yang begitu besar. Padahal, sejatinya yang menyebabkan permainan itu adiktif
adalah rasa penasaran ketika kalah dan rasa puas ketika menang.
Jika kita hanya
melihatnya secara objektif, maka kita tidak akan mampu melihat bahwa “objek”
sebenarnya dari judi adalah perasaan manusia. Menang atau kalah, subjektivitas
kitalah yang dipermainkan dan selalu berujung dalam kekalahan.
Metode
Skolastik
Metode ini
berkembang pada Abad Pertengahan. Thomas Aquinas (1225-1247) merupakan salah
satu penganjurnya. Pada masa Klasik, Aristoteles juga dikatakan sebagai
pengguna metode ini. Sesuai dengan
namanya, metode skolastik menunjukkan kaitan yang erat dengan metode mengajar.
Seseorang (biasanya
seorang guru/senior) akan membacakan atau mengutarakan suatu pokok bahasan
filsafat. Kemudian pokok bahasan tersebut akan diberi penafsiran dan komentar
oleh filsuf lain. Agar topik dipahami, semua istilah, ide dan kenyataan
dirumuskan, dibedakan dan diuji dari segala sisi.
Segala pro dan
kontra kemudian dihimpun dan dibandingkan. Melalui proses ini, yang disebut
“lectio” diharapkan tercapai suatu pemahaman baru yang lebih baik. Namun, jika
tidak berhasil, maka akan dilanjutkan ke tahap “disputatio” atau perdebatan.
Metode Filsafat
Matematis
Descartes
menyebut metode ini dengan sebutan “metode analistis”. Menurut Descartes ada
keteraturan dan ketersusunan alami dalam kenyataan yang berhubungan dengan
pengertian manusia. Ketersusunan alam ini dapat diungkapkan dengan cara
penemuan (via inventionis).
Penemuan itu
ditemukan dengan cara melakukan empiris rasional, atau mencari hal nyata yang
telah dialami oleh seseorang. Metode ini mengintegrasikan segala kelebihan
logika, analisa geometris dan aljabar serta menghindari kelemahannya.
Metode
Empiris-Eksperimental
Para penganut
empiris sangat dipengaruhi oleh sistem dan metode Descartes, terutama dalam
menekankan data kesadaran dan pengalaman individual yang tidak dapat diragukan
lagi. Bagi mereka, pengalaman (empeiria) adalah sumber pengetahuan yang lebih
dipercaya ketimbang rasio.
David Hume
(1711-1776) adalah penyusun filsafat Empirisme ini dan menjadi antitesa
terhadap Rasionalisme. Perbedaan utama metode ini dari metode dekrates adalah
metode ini juga membutuhkan eksperimen yang ketat guna mendapatkan bukti
kebenaran empiris yang sejati.
Metode ini
adalah metode yang hingga kini banyak dilakukan untuk mendalami ilmu
pengetahuan. Hal tersebut karena ilmu pengetahuan tidak cukup untuk digeluti
oleh logika dan rasio saja. Kita harus melakukan eksperimen sehingga mampu
membuktikannya secara empiris yang berarti teralami, terlihat, nyata,
tervalidasi oleh data, bukan asumsi atau spekulasi.
Metode
Transendental
Metode ini juga
sering disebut dengan metode neo-skolastik. Immanuel Kant (1724-1804) merupakan
pelopor metode ini. Pemikiran Kant merupakan titik-tolak periode baru bagi
filsafat Barat. Ia mendamaikan dua aliran yang berseberangan: rasionalisme dan
empirisme.
Dari satu sisi,
ia mempertahankan objektivitas, univesalitas dan keniscayaan suatu pengertian.
Di sisi lain, ia juga menerima pendapat bahwa pengertian berasal dari fenomena
yang tidak dapat melampaui batas-batasnya.
Kant
menempatkan kebenaran bukan pada konsep tunggal, tetapi dalam pernyataan dan
kesimpulan lengkap. Ia membedakan dua jenis pengertian:
1.
Pengertian
analistis, yakni pengertian yang selalu
bersifat apriori, misalnya dalam ilmu pasti;
2.
Pengertian
sintesis, pengertian ini dibagi menjadi dua yakni: aposteriori singular yang
dasar kebenarannya pengalaman subjektif seperti ungkapan “Saya merasa panas”,
dan apriori yang merupakan pengertian universal dan pasti seperti ungkapan
“Suhu udara hari ini panasnya mencapai 34 derajat celcius”.
Intinya, metode
ini menerima nilai objektif ilmu-ilmu positif, sebab terbukti telah
menghasilkan kemajuan hidup sehari-hari. Ia juga menerima nilai subjektif agama
dan moral sebab memberikan kemajuan dan kebahagiaan.
Dengan catatan
syarat paling minimal yang mutlak harus dipenuhi dalam subjek supaya
objektifitasnya memungkinan. Seperti efek placebo obat yang sebetulnya tidak
dapat menyembuhkan, namun membuat seseorang percaya ia akan sembuh karena telah
meminumnya.
Di dalam
pengertian dan penilaian metode ini terjadi kesatuan antara subjek dan objek,
kesatuan antara semua bentuk. Hal ini menuntut adanya kesatuan kesadaran yang
disebut “transcendental unity of apperception”.
Metode
Dialektis
Tokoh terkenal
metode ini adalah Hegel, hingga terkadang metode ini disebut dengan ‘Hegelian
Method’. Nama lengkapnya adalah George Willhelm Friedrich Hegel (1770-1831).
Langkah awal metode ini ialah pengiyaan dengan mengambil konsep atau pengertian
yang lazim diterima dan jelas.
Kemudian
membuat suatu anti tesis atau bantahan dari konsep atau pengertian yang lazim
tersebut. Setelah itu diambil kesimpulan dari keduanya dan dibentuklah suatu
sintesis dari keduanya. Pada akhirnya sintesis tersebut akan menemui anti tesis
lainnya, untuk kemudian disintesiskan kembali untuk mendapatkan hakikat yang
lebih baik lagi.
Metode
Fenomenologis
Fenomena yang
dimaksud disini bukanlah fenomena alamiah yang dapat dicerap dengan observasi
empiris seperti fenomena alam. Fenomena disini merupakan makna aslinya yang
berasal dari bahasa Yunani: phainomai, artinya adalah “yang terlihat”. Jadi
fenomena adalah data sejauh disadari dan sejauh masuk dalam pemahaman. Metode
fenomenologi dilakukan dengan melakukan tiga reduksi (ephoc) terhadap objek,
yaitu:
1.
Mereduksi
suatu objek formal dari berbagai hal tambahan yang tidak substansial.
2.
Mereduksi
objek dengan menyisihkan unsur-unsur subjektif seperti perasaan, keinginan dan
pandangan. Pencarian objek murni tersebut disebut dengan reduksi eidetis.
3.
Reduksi
ketiga bukan lagi mengenai objek atau fenomena, tetapi merupakan wende zum
subjekt (mengarah ke subjek), dan mengenai terjadinya penampakan diri sendiri.
Dasar-dasar dalam kesadaran yang membentuk suatu subjek disisihkan.
Intinya metode
ini melihat sesuatu dengan objektif tanpa melihat sisi subjektifnya seperti
kepentingan, perasaan, atau tekanan sosial. Bayangkan bagaimana rasa penasaran
seorang anak kecil yang belum mengerti apa-apa ketika menemukan hal baru. Ia
akan mengobservasinya dan melakukan apapun untuk secara tidak sadar mempelajari
dan mengenalnya, termasuk meremas dan menendang kucing liar yang ia temukan di
halaman belakang rumah. Metode ini dipopulerkan oleh Edmund Husserl
(1859-1938).
Metode Filsafat
Eksistensialisme
Tokoh-tokoh
terkemuka Eksistensialisme adalah Heidegger, Sartre, Jaspers, Marcel dan
Merleau-Point. Para tokoh eksistensialis tidak menyetujui tekanan Husserl pada
sikap objektif. Bagi kalangan eksistensialis, subjektifitas manusialah yang
pertama-tama dianalisa.
Karena bisa
jadi sebetulnya sesuatu yang dianggap “ada” (exist) itu tidak dapat “mengada”
tanpa ada konteks pembentuk disekitarnya: perasaan manusia, interaktivitas
individu dalam suatu kelompok dan kepentingan tertentu. Beberapa sifat
eksistensialis ialah:
1.
Subjektivitas
individualis yang unik, bukan objek dan bukan umum.
2.
Keterbukaan
terhadap manusia dan dunia lain: internasionalitas dan praksis bukan teori
saja.
3.
Pengalaman
afektif dalam hubungan dengan dunia, bukan observasi.
4.
Kesejarahan
dan kebebasan, bukan essensi yang tetap.
5.
Segi
tragis dan kegagalan.
Pada dasarnya
dalam analisa eksistensi itu, de facto mereka memakai fenomenologi yang
otentik, dengan observasi dan analisa teliti.
Setiap
ungkapan, baik awam maupun ilmiah, berakar pada suatu pengalaman langsung yang
bersifat pra-reflektif dan pra-ilmiah. Melalui analisa ungkapan pengalaman
terbatas itulah, justru dapat ditemukan kembali pengalaman yang lebih
fundamental.
Metode
Analitika Bahasa
Wittgenstein
adalah tokoh dominan dalam metode ini. Ia mempelajari filsafat dengan alasan
yang kemungkinan sama dengan kebanyakan orang. Ia penasaran dengan filsafat
yang begitu membingungkan. Setelah melakukan penelitian, ia menemukan bahwa
kebingungan ini banyak disebabkan oleh bahasa filosofis yang rancu dan kacau.
Bagaimana
seseorang bisa mengetahui benar salahnya suatu pendapat, sebelum ia mampu
memastikan bahwa bahasa yang dipakai untuk menyampaikan pertanyaan, pernyataan
dan perbincangan itu adalah benar?
“Arti” bukanlah
sesuatu yang berada “di belakang” bahasa; tidak ada arti “pokok”. Arti kata
tergantung dari pemakaiannya, makna timbul dari penggunaan. Arti kata itu
seluruhnya tergantung dari permainan bahasa (language games) yang sedang
dimainkan.
Metode ini
meneliti dan membedakan permainan-permainan bahasa itu untuk mendapatkan
keyakinan yang lebih baik. Juga menetapkan peraturan masing-masing bahasa agar
tidak terjadi kekeliruan logis dan kesalahpahaman yang disebabkan oleh
kerancuan makna kata.
Referensi
Lubis, Nur A.
Fadhil. (2015). Pengantar Filsafat Umum. Medan: Perdana Publishing. Tautan
Informasi Buku
- Pengertian Budaya, Unsur, Wujud, Dan Fungsi Menurut Para Ahli
- Ekonomi : Pengertian, Jenis: Produksi, Distribusi, Dan Konsumsi
- Filsafat: Pengertian, Ciri, Contoh, Dan Fungsi Menurut Para Ahli
- Pengertian Logika, Objek Kajian, Jenis, Manfaat & Penalaran
- Filsafat Pendidikan: Pengertian, Sistematika, Tujuan & Aliran
- Filsafat Ilmu: Pengertian, Ruang Lingkup, Pengetahuan, Dan Ilmu
- Metode Filsafat – 10 Contoh, Dan Penjelasan Lengkap
- Filsafat Seni dan Estetika dilengkapi Uraian Pokok Bahasannya
Tidak ada komentar:
Posting Komentar