Kritik dan Esai: Pengertian, Sistematika, Kaidah &
Contoh
Pengertian Kritik dan Esai
Kritik
dan esai adalah dua jenis tulisan yang hampir sama karena keduanya sama-sama
mengungkapkan pendapat atau argumen (Kemdikbud, 2017, hlm. 183). Namun, menulis
kritik dan esai haruslah berdasarkan analisis dan penilaian secara objektif,
agar dapat menjadi karya terpercaya dan bukan opini semata. Meskipun hampir
sama, keduanya tetap memiliki beberapa perbedaan. Berikut adalah pemapran
lengkap mengenai kritik dan esai.
Pengertian Kritik
Kritik
terdengar seperti celaan atau pernyataan yang mengungkap kekurangan karya
seseorang. Namun, kritik yang sebenarnya tidak seperti itu. Kritik tanpa dasar
tidak dapat dianggap sebagai tulisan kritik, karena kritik haruslah didasarkan
pada konsep, data, dan analisis yang mendalam. Alasan yang disampaikan juga
harus melalui kajian teori yang sudah mapan dan terbukti efektif serta objektif
untuk menilai suatu karya. Kritik adalah tulisan yang berfokus pada penilaian
karya yang berarti akan mengungkap kebaikannya juga, bukan hanya celaan tidak
berdasar.
Pengertian Esai
Sementara
itu, esai lebih mengarah pada cara pandang seseorang terhadap suatu persoalan,
objek, atau peristiwa. Hal ini tentunya berbeda dengan kritik yang fokusnya
adalah menilai karya. Esai adalah tulisan yang menilai suatu fenomena atau
terkadang karya berdasarkan sudut pandang penulisnya sendiri.
Perbedaan Kritik dan Esai
Pemahaman
terhadap kritik dan esai sering kali rancu karena keduanya merupakan teks yang
didasarkan pada suatu objek untuk dinilai. Oleh karena itu, mengetahui
perbedaan kritik dan esai akan membantu menjernihkan keburaman tersebut.
Berikut adalah perbedaan kritik dan esai menurut Tim Kemdikbud (2017, hlm. 192)
berdasarkan pengetahuan yang disajikan, dan pandangan penulisnya.
Berdasarkan Pengetahuan yang Disajikan
Jika
kita membandingkan kritik sastra dan esai berdasarkan pengetahuan yang
disajikan, maka perbedaannya adalah sebagai berikut.
No. |
Kritik |
Esai |
1. |
Objek kajian adalah berupa karya, misalnya: cerpen, puisi,
seni musik, drama, tari, film, lukisan. |
Objek kajian dapat berupa karya namun kebanyakan berupa
fenomena (politik, kebijakan baru, fenomena sosial, dsb). |
2. |
Terdapat deskripsi karya, misalnya jika karya berwujud buku,
maka deskripsinya adalah sinopsis. |
Tidak memuat deskripsi atau ringkasan karya |
3. |
Menyajikan data objektif yang didapatkan dari hasil penelitian
atau penulis ahli terdahulu. |
Tidak selalu membutuhkan data, meskipun melengkapinya adalah
hal yang baik. |
Berdasarkan Pandangan Penulis
Dilihat
dari pandangan penulisnya, perbandingan kritik dan esai adalah sebagai berikut.
No. |
Kritik |
Esai |
1. |
Penilaian terhadap karya dilakukan secara objektif disertai
data empiris dan alasan yang logis. |
Kajian dilakukan secara subjektif, kebanyakan opini atau
pendapat pribadi penulis esai. |
2. |
Dalam melakukan penilaian, sering kali menggunakan metode dan
kajian teori yang sudah mapan untuk menilai jenis karya tertentu. |
Jarang bahkan hampir mencantumkan kajian teori yang digunakan. |
3. |
Pembahasan karya secara utuh dan menyeluruh; melakukan
perbandingan baik dan buruk. |
Seringkali tidak menyeluruh, hanya fokus terhadap bagian yang
menurut penulisnya paling menarik. Meskipun begitu, pembahasannya tetap
dilakukan secara utuh. |
Sistematika Kritik dan Esai
Pada
akhirnya, opini atau pendapat seseorang terhadap suatu hal lain merupakan
bentuk atau genre teks eksposisi juga. Oleh karena itu, ketika mengidentifikasi
unsur kritik dan esai, akan ditemukan struktur dan sistematika penulisan teks
eksposisi pula. Berikut adalah sistematika kritik dan esai yang masih
berlandaskan struktur teks eksposisi.
1.
Tesis
Adalah pendapat atau opini umum yang biasanya berupa pengenalan dan deskripsi
karya pada kritik atau pengenalan dan definisi umum isu pada esai.
2.
Rangkaian
argumen
Merupakan argumen atau pendapat-pendapat penulis sebagai penjelasan khusus dari
tesis umum yang telah dipaparkan. Pada teks kritik, bagian ini akan banyak
memuat data, fakta, atau teori yang teruji untuk mendukung argumennya. Esai
biasanya tidak terlalu banyak menggunakan fakta atau data karena sifatnya
biasanya masih memiliki hipotesis baru.
3.
Penegasan
ulang
Merupakan perumusan kembali secara ringkas mengenai tesis dan berbagai argumen
yang telah disampaikan. Hal ini untuk menyilangkan kembali antara tesis awal
dan rangkaian argumen menjadi kesatuan ide utuh yang dapat diserap dengan baik
oleh pembaca. Bagian ini dapat berisi penilaian akhir dan saran konkret dalam
teks kritik. Esai juga sebaiknya memuat solusi alternatif untuk menyelesaikan
permasalahan yang dibahas.
Kaidah Kebahasaan Kritik dan Esai
Sebagai
salah satu turunan teks eksposisi, teks kritik dan esai secara umum juga
memiliki kaidah kebahasaan yang hampir sama dengan teks eksposisi. Menurut Tim
Kemdikbud (2017, hlm. 208) berikut adalah kaidah kebahasaan kritik dan esai.
1.
Menggunakan
pernyataan-pernyataan persuasif. Contoh dalam kritik: Mengapa terlalu buru-buru dalam
mengungkap konfliknya? bukankah banyak pula novel sukses yang dibangun melalui
narasi yang lambat? Dalam esai: Menjaga kesehatan itu tidaklah
sulit, salah satu caranya hanya dengan rutin mencuci tangan saja.
2.
Banyak menyisipkan
pernyataan yang menyatakan fakta untuk mendukung dan membuktikan kebenaran
argumentasi penulisnya. Salah satu caranya bisa dengan mengutip pendapat ahli.
Selain itu, bisa juga dengan mencantumkan data resmi dari penelitian terkait,
misalnya kutipan data yang dihimpun WHO untuk situasi pandemi.
3.
Menggunakan ungkapan
dan pernyataan yang mengomentari atau menilai. Contoh dalam kritik: Narasi antarperistiwa dirangkai
dengan sangat apik oleh penulisnya. Contoh dalam esai: Tampaknya kebijakan tersebut memang
berniat untuk mensejahterakan rakyat, hanya saja fakta lapangan berkata lain.
4.
Banyak menggunakan
istilah teknis yang berkaitan dengan topik yang dibahasnya. Contohnya dalam
kritik yang membahas novel, maka akan banyak menggunakan istilah: diksi, konflik, majas.
Jika membahas kesehatan maka akan menggunakan istilah: virus, bakteri,
COVID-19.
5.
Menggunakan kata
kerja mental. Karena kritik dan esai sejatinya adalah teks eksposisi yang
bersifat argumentatif. Contohnya: menegaskan,
menentukan, memendam, mengandalkan, mengidentifikasi, mengingatkan.
Selain
mengikuti kaidah kebahasaan teks eksposisi secara umum, teks esai juga memiliki
karakter khas. Karakter khas yang dimaksud adalah gaya bahasa berupa pilihan
kata, struktur kalimat, dan gaya penulisan unik berkaitan erat dengan penulis
esai secara pribadi.
Menyusun Kritik dan Esai
Membuat
kritik dan esai yang baik akan melibatkan beberapa langkah sederhana.
Langkah-langkah tersebut berdasarkan berbagai aspek dari kritik dan esai yang
telah dijabarkan sebelumnya, meliputi: struktur, kaidah kebahasaan, dsb.
Mengonstruksi Kritik Sastra
Dalam
menulis kritik, hal pertama yang harus dilakukan adalah dengan membaca dan
menikmati sepenuhnya karya yang akan dikritik terlebih dahulu. Selanjutnya,
dapat dilanjutkan dengan beberapa langkah di bawah ini.
1.
Datalah identitas
karya, catat judulnya, penulis, penerbit, tahun terbit, jumlah halaman, dsb.
2.
Buatlah deskripsi
singkat mengenai karya tersebut, terutama pada bagian yang paling banyak
dinilai. Dalam karya sastra, wujud deskripsinya adalah sinopsis yang tidak
boleh terlalu banyak membeberkan isi utama dari kisahnya (jangan menjadi spoiler).
3.
Catat berbagai kelebihan
dan kekurangan yang ditemukan.
4.
Berdasarkan data
kelebihan dan kekurangan yang telah ditemukan, buatlah paragraf sederhana untuk
mengungkapkannya secara jelas.
5.
Buat semua unsur
struktur kritik, yakni: tesis, rangkaian argumentasi, dan penegasan ulang. Ubah
paragraf sederhana di atas menjadi salah satu rangkaian argumentasi. Lengkapi
argumentasi dengan paragraf lain yang menyokong atau menguatkannya, termasuk
kutipan ahli atau data dari penelitian dan lembaga yang relevan. Dalam proses
ini, setidaknya buat satu kalimat untuk mengisi unsur tesis dan penegasan
ulang.
6.
Lengkapi semua
struktur kritik yang dibutuhkan, termasuk tesis, argumentasi, dan penegasan
ulang.
7.
Lakukan proses edit
untuk memperbaiki berbagai kesalahan penulisan, tata bahasa, dan ganti berbagai
kata, dan kalimat yang kurang sesuai dengan kaidah penulisan teks kritik.
Mengonstruksi Esai
Berbeda
dengan kritik, esai kebanyakan tidak mengulas atau mengkritik karya. Biasanya
hal yang diulas adalah fenomena tertentu seperti fenomena bahasa, situasi
politik, keadaan sosial, dsb. Berikut adalah langkah-langkah dalam menulis
esai.
1.
Amatilah fenomena
yang terjadi di lingkungan tempat tinggalmu, koran, internet, majalah, atau
televisi, mengenai masalah yang sedang hangat dibicarakan (aktual)
2.
Tentukanlah satu
bagian saja dari fenomena tersebut yang paling menarik perhatian. Pastikan kita
memiliki bekal pengetahuan yang cukup tentang hal tersebut. Artinya, lakukanlah
riset, observasi, hingga memperkaya literasi dalam masalah yang akan dibahas
tersebut.
3.
Buatlah pandangan
pribadimu mengenai topik yang telah tersebut.
4.
Siapkan argumen untuk
mendukung pernyataan pribadimu, boleh juga dilengkapi dengan pendapat ahli atau
data yang cukup memadai.
5.
Tulislah sebuah esai
berdasarkan hal telah disiapkan sebelumnya. Jangan ragu untuk menggunakan gaya
bahasa kita sendiri. Karena pada akhirnya, cara yang sama seperti menulis esai
akan kita lakukan: proses melengkapi struktur dan edit.
Contoh Teks Kritik dan Esai beserta Strukturnya
Contoh Esai
Berikut
adalah contoh esai menurut Tim Kemdikbud (2017, hlm. 193) dilengkapi
strukturnya di setiap sub judul.
Gerr (oleh Gunawan Muhamad)
Tesis
Di
depan kita pentas yang berkecamuk. Juga satu suku kata yang meledak: ”Grrr”,
”Dor”, ”Blong”, ”Los”. Atau dua suku kata yang mengejutkan dan membingungkan:
”Aduh”, ”Anu”. Di depan kita: panggung Teater Mandiri.
Teater
Mandiri pekan ini berumur 40 tahun—sebuah riwayat yang tak mudah, seperti
hampir semua grup teater di Indonesia. Ia bagian dari sejarah Indonesia yang
sebenarnya penting sebagai bagian dari cerita pembangunan ”bangun” dalam arti
jiwa yang tak lelap tertidur. Putu Wijaya, pendiri dan tiang utama teater ini,
melihat peran pembangunan ini sebagai ”teror”—dengan cara yang sederhana. Putu
tak berseru, tak berpesan. Ia punya pendekatan tersendiri kepada kata.
Rangkaian Argumen
Pada
Putu Wijaya, kata adalah benda. Kata adalah materi yang punya volume di sebuah
ruang, sebuah kombinasi bunyi dan imaji, sesuatu yang fisik yang menggebrak
persepsi kita. Ia tak mengklaim satu makna. Ia tak berarti: tak punya isi
kognitif atau tak punya manfaat yang besar.
Ini
terutama hadir dalam teaternya—yang membuat Teater Mandiri akan dikenang
sebagai contoh terbaik teater sebagai peristiwa, di mana sosok dan benda yang
tak berarti dihadirkan. Mungkin sosok itu (umumnya tak bernama) si sakit yang
tak jelas sakitnya. Mungkin benda itu sekaleng kecil balsem. Atau
selimut—hal-hal yang dalam kisah-kisah besar dianggap sepele. Dalam teater Putu
Wijaya, justru itu bisa jadi fokus.
Bagi
saya, teater ini adalah ”teater miskin” dalam pengertian yang berbeda dengan
rumusan Jerzy Grotowski. Bukan karena ia hanya bercerita tentang kalangan
miskin. Putu Wijaya tak tertarik untuk berbicara tentang lapisanlapisan sosial.
Teater Mandiri adalah ”teater miskin” karena ia, sebagaimana yang kemudian
dijadikan semboyan kreatif Putu Wijaya, ”bertolak dari yang ada”.
Saya
ingat bagaimana pada tahun 1971, Putu Wijaya memulainya. Ia bekerja sebagai
salah satu redaktur majalah Tempo, yang berkantor di sebuah gedung tua
bertingkat dua dengan lantai yang goyang di Jalan Senen Raya 83, Jakarta. Siang
hari ia akan bertugas sebagai wartawan. Malam hari, ketika kantor sepi, ia akan
menggunakan ruangan yang terbatas dan sudah aus itu untuk latihan teater. Dan
ia akan mengajak siapa saja: seorang tukang kayu muda yang di waktu siang
memperbaiki bangunan kantor, seorang gelandangan tua yang tiap malam istirahat
di pojok jalan itu, seorang calon fotograf yang gagap. Ia tak menuntut mereka
untuk berakting dan mengucapkan dialog yang cakap. Ia membuat mereka jadi
bagian teater sebagai peristiwa, bukan hanya cerita.
Dari
sini memang kemudian berkembang gaya Putu Wijaya: sebuah teater yang dibangun
dari dialektik antara ”peristiwa” dan ”cerita”, antara kehadiran aktor dan
orang-orang yang hanya bagian komposisi panggung, antara kata sebagai alat
komunikasi dan kata sebagai benda tersendiri. Juga teater yang hidup dari
tarik-menarik antara patos dan humor, antara suasana yang terbangun utuh dan
disintegrasi yang segera mengubah keutuhan itu.
Orang
memang bisa ragu, apa sebenarnya yang dibangun (dan dibangunkan) oleh teater
Putu Wijaya. Keraguan ini bisa dimengerti. Indonesia didirikan dan diatur oleh
sebuah lapisan elite yang berpandangan bahwa yang dibangun haruslah sebuah
”bangunan”, sebuah tata, bahkan tata yang permanen. Elite itu juga menganggap
bahwa kebangunan adalah kebangkitan dari ketidaksadaran. Ketika Putu Wijaya
memilih kata ”teror” dalam hubungan dengan karya kreatifnya, bagi saya ia
menampik pandangan seperti itu. Pentasnya menunjukkan bahwa pada tiap tata
selalu tersembunyi chaos, dan pada tiap ucapan yang transparan selalu
tersembunyi ketidaksadaran.
Penegasan Ulang
Sartre
pernah mengatakan, salah satu motif menciptakan seni adalah ”memperkenalkan
tata di mana ia semula tak ada, memasangkan kesatuan pikiran dalam keragaman
hal-ihwal”. Saya kira ia salah. Ia mungkin berpikir tentang keindahan dalam
pengertian klasik, di mana tata amat penting. Bagi saya Teater Mandiri justru
menunjukkan bahwa di sebuah negeri di mana tradisi dan antitradisi berbenturan
(tapi juga sering berkelindan), bukan pengertian klasik itu yang berlaku.
Pernah
pula Sartre mengatakan, seraya meremehkan puisi, bahwa ”kata adalah aksi”.
Prosa, menurut Sartre, ”terlibat” dalam pembebasan manusia karena memakai kata
sebagai alat mengomunikasikan ide, sedangkan puisi tidak. Namun, di sini pun
Sartre salah. Ia tak melihat, prosa dan puisi bisa bertaut—dan itu bertaut
dengan hidup dalam teater Putu Wijaya. Puisi dalam teater ini muncul ketika
keharusan berkomunikasi dipatahkan. Sebagaimana dalam puisi, dalam sajak
Chairil Anwar apalagi dalam sajak Sutardji Calzoum Bachri, yang hadir dalam
pentas Teater Mandiri adalah imaji-imaji, bayangan dan bunyi, bukan pesan,
apalagi khotbah. Hal ini penting, di zaman ketika komunikasi hanya dibangun
oleh pesan verbal yang itu-itu saja, yang tak lagi akrab dengan diri, hanya
hasil kesepakatan orang lain yang kian asing.
Sartre
kemudian menyadari ia salah. Sejak 1960-an, ia mengakui bahwa bahasa bukan alat
yang siap. Bahasa tak bisa mengungkapkan apa yang ada di bawah sadar, tak bisa
mengartikulasikan hidup yang dijalani, le vecu. Ia tentu belum pernah
menyaksikan pentas Teater Mandiri, tapi ia pasti melihat bahwa pelbagai
ekspresi teater dan kesusastraan punya daya ”teror” ketika, seperti Teater Mandiri,
menunjukkan hal-hal yang tak terkomunikasikan dalam hidup.
Sebab
yang tak terkatakan juga bagian dari ”yang ada”. Dari sana kreativitas yang
sejati bertolak.
Contoh Teks Kritik
Berikut
adalah teks kritik sastra menurut Tim Kemdikbud (2017, hlm. 196) dilengkapi
struktur pada setiap sup judul.
Menimbang Ayat-Ayat Cinta
Tesis (Penyampaian pendapat)
Karya
sastra yang baik juga bisa menggambarkan hubungan antarmanusia, manusia dengan
lingkungan dan manusia dengan Tuhan. Ini karena dalam karya sastra seharusnya
terdapat ajaran moral, sosial sekaligus ketepatan dalam pengungkapan karya
sastra.
Begitu
pula yang ingin disampaikan oleh Habiburrachman El Shirazy dalam novelnya yang
berjudul Ayat-ayat Cinta. Novel yang kemudian menjadi fenomena tersendiri dalam
perjalanan karya sastra Indonesia, terutama yang beraliran islami, karena
penjualannya mampu mengalahkan buku-buku yang digandrungi, seperti Harry Potter
ini mengusung tema cinta islami yang dihiasi dengan konflik-konflik yang
disusun dengan apik oleh penulisnya.
Novel
ini mengisahkan perjalanan cinta antara 2 anak manusia, Fahri sebagai pelajar
Indonesia yang belajar di Mesir, dan Aisha, seorang gadis Turki. Meskipun
mengusung tema cinta tidak lantas membuat novel ini membahas cinta erotis
antara laki-laki dan wanita. Banyak cinta lain yang masih bisa digambarkan,
seperti cinta pada sahabat, kekasih hidup, dan tentu saja pada cinta sejati,
Allah Swt. Perjalanan cinta yang tidak biasa digambarkan oleh Habiburrachman.
Rangkaian Argumen
Nilai
dan budaya Islam sangat kental dirasakan oleh pembaca pada setiap bagiannya.
Bahkan, hampir di tiap paragraf kita akan menemukan pesan dan amanah. Ya,
katakan saja paragraf yang sarat dengan amanah. Namun, dengan bentuk yang
seperti itu tidak kemudian membuat novel ini menjadi membosankan untuk dibaca
karena penulis tetap menggunakan kata-kata sederhana yang mudah dipahami dan
tidak terkesan menggurui. Gaya penulis untuk mengungkapkan setiap pesan justru
menyadarkan kita bahwa sedikit sekali yang baru kita ketahui tentang Islam.
Latar yang Dilukis Sempurna
Hal
lain yang pantas untuk diunggulkan dalam novel ini adalah kemampuan
Habiburrachman untuk melukiskan latar dari tiap peristiwa, baik itu tempat
kejadian, waktu, maupun suasananya. Ia dapat begitu fasih untuk menggambarkan
tiap lekuk bagian tempat yang ia jadikan latar dalam novel tersebut ditambah
dengan gambaran suasana yang mendukung sehingga seakan-akan mengajak pembaca
untuk berwisata dan menikmati suasana Mesir di Timur Tengah lewat karya
tulisannya.
Bukan
hal yang aneh kemudian ketika memang ’Kang Abik’, begitu penulis sering
dipanggil, mampu untuk menggambarkan latar yang bisa dikatakan sempurna itu. Ia
memang beberapa tahun hidup di Mesir karena tuntutan belajar. Akan tetapi,
tidak menjadi mudah juga untuk mengungkapkan setiap tempat yang dijadikan
latar. Bahkan oleh orang Mesir sendiri memang tidak memiliki sarana bahasa yang
tepat untuk mengungkapkan apa yang ingin ia sampaikan.
Alur
cerita juga dirangkai dengan begitu baik. Meskipun banyak menggunakan alur
maju, cerita berjalan tidak monoton. Banyak peristiwa yang tidak terduga
menjadi kejutan. Konfl ik yang dibangun juga membuat novel ini layak menjadi
novel kebangkitan bagi sastra islami setelah merebaknya novelnovel teenlit.
Banyak kejutan, banyak inspirasi yang kemudian bisa hadir dalam benak pembaca.
Bahkan bisa menjadi semacam media perenungan atas berbagai masalah kehidupan.
Karakter Tokoh yang Terlalu Sempurna
Satu
hal yang ditemukan terlihat janggal dalam novel ini adalah karakter tokoh,
yaitu Fahri yang digambarkan begitu sempurna dalam novel tersebut. Maksud
penulis di sini, mungkin ia ingin menggambarkan sosok manusia yang benar-benar
mencitrakan Islam dengan segala kebaikan dan kelembutan hatinya. Hanya saja,
hal tersebut justru malah menjadi janggal karena sosok yang digambarkan terlalu
sempurna sehingga sulit atau bahkan tidak ditemukan kesalahan sedikit pun
padanya. Padahal, bisa jadi karakter akan menjadi lebih kuat dan manusia karena
memiliki kekurangna, karena sejatinya manusia itu tidak luput dari kesalahan
bukan?
Jika
dibandingkan dengan karya sastra lama milik Tulis Sutan Sati, mungkin akan
ditemukan kesamaan dengan karakter tokoh Midun dalam Roman Sengsara Membawa
Nikmat yang berpasangan dengan Halimah sebagai tokoh wanitanya. Dalam roman
tersebut, Midun juga digambarkan sebagai sosok pemuda yang sempurna dengan
segala bentuk fi sik dan kebaikan hatinya. Hanya saja, di sini penggambarannya
tidak menggunakan bahasa-bahasa yang langsung menunjukkan kesempurnaan tersebut
sehingga tidak terlalu kentara. Ini di luar bahasa karya sastra lama yang
cenderung suka melebih-lebihkan (hiperbola). Perbedaan yang lain adalah tidak
banyak digunakannya istilahistilah islami dalam roman tersebut daripada novel
Ayat-ayat Cinta.
Penegasan Ulang
Pembaca
yang merasakan hal ini pasti akan bertanya-tanya, adakah sosok yang memang bisa
sesempurna tokoh Fahri tersebut. Meskipun penggambaran karakter tokoh
diserahkan sepenuhnya pada diri penulis, tetapi akan lebih baik jika karakter
tokoh yang dimunculkan tetap memiliki keseimbangan. Dalam arti, jika tokoh yang
dimunculkan memang berkarakter baik, maka paling tidak ada sisi lain yang
dimunculkan. Akan tetapi, tentu saja dengan porsi yang lebih kecil atau bisa
diminimalisasikan. Jangan sampai karakter ini dihilangkan karena pada
kenyataannya tidak ada sosok yang sempurna, selain Rasulullah.
Referensi
1.
Kementerian
Pendidikan dan Kebudayaan. (2017). Buku Siswa Bahasa Indonesia SMA/MA/SMK/MAN
Kelas XII. Jakarta: Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar