Berikut bebrapa adab ketika sedang berbicara;
·
Hendaknya setiap muslim menjaga lidahnya sebagaimana
hadits yang diriwayatkan Imam Ahmad rahimahullah sesungguhnya Rasulullah shallallahu
alaihi wa sallam bersabda:
إِِنَّ
الرَّجلَ لَيَتَكَلَّمُ بِالْكَلِمَةِ يَضْحَكُ بِهَا جلَسَاءُهُ يَهْوِي بِهَا
مِنْ أَبْعَدَ مِنَ الثُّرَيَّا
"
·
Berbicaralah dengan hal yang baik atau diam sebagaimana
hadits yang diriwayatkan Abu Hurairah radhiallahu anhu beliau berkata:
Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam bersabda:
مَنْ
كَانَ يُؤْمِنُ بِاللهِ وَاْليَوْمِ اْلآخِرِ فَلْيَقُلْ خَيْرًا أَوْلِيَصْمُتْ
"Barang siapa yang beriman kepada Allah dan hari Akhir maka
berbicaralah dengan baik atau diam".[2]
·
Berkata baik merupakan salah satu pintu dari
pintu-pintu shodakoh, hal ini sebagaimana tersirat dalam hadits yang diriwayatkan
Abu Hurairah bahwasanya Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam
bersabda:
كُلُّ
سُلاَمَى مِنَ النَّاسِ صَدَقَةٌ,كُلَّ يَوْمٍ تَطْلُعُ فِيْهِ الشَّمْسُ:يَعْدِلُ
بَيْنَ اثْنَيْنِ صََدَقَةٌ,وَيُعِيْنُ الرَّجُلَ عَلىَ دَابَّتِهِ فَيَحْمِلُ
عَلَيْهَا أَوْيَرْفَعُ مَتَاعَهُ صَدَقَةٌ وَاْلكَلِمَةُ الطَّيِّبَةُ صَدَقَةٌ
...
"Setiap
persendian tubuh manusia (membutuhkan) sodaqoh setiap hari tatkala terbit
matahari, berbuat adil di antara dua orang adalah sodaqoh, menolong orang
menunggangi hewan tunggangannya juga mengangkat barang bawaannya adalah sodaqoh
dan berbicara dengan kalimat yang baik adalah sodaqoh".[3]
Bahkan orang
yang berkata baik akan dijauhkan dari api neraka sebagaimana hadits yang
diriwayatkan oleh Adi' bin Hatim radhiallahu anhu bahwa Nabi shallallahu
alaihi wa sallam bercerita
tentang api neraka kemudian beliau memalingkan wajahnya sambil minta
perlindungan darinya, lalu bercerita
tentang api neraka kemudian beliau memalingkan wajahnya sambil minta perlindungan
darinya, kemudian bersabda: ِاتَّقُوْا النَّارَ وَلَوْ بِشِقِّ تَمْرٍ فَمَنْ لَمْ يَجِدْ
فَبِكَلِمَةٍ طَيِّبَةٍ
"Jagalah diri kalian dari api neraka walau dengan sebelah
kurma barang siapa yang tidak mendapatkannya maka dengan ucapan yang
baik". [4]
·
Mendorong diri sedikit berbicara, sebab banyaknya
berbicara akan menyebabkan seseorang terjerumus
kedalam perbuatan dosa, hal ini sebagaimana sabda Rasulullah shallallahu
alaihi wa sallam:
وَإِنَّ
أَبْغَضَكُمْ إِلَّي وَأَبْعَدَكُمْ مِنِّي مِجْلِسًا يَوْمَ الْقِيَامَةِ
الثَّرْثَارُوْنَ
"Dan
sesungguhnya orang yang paling aku dibenci dari kalian dan paling jauh dariku
di hari kiamat adalah orang yang banyak bicara".[5]
·
Menjauhi perbuatan ghibah, sebagaimana firman Allah
Subhanahu Wa Ta'ala: وَلاَيَغْتَبْ
بَعْضُكُمْ بَعْضًا "Janganlah
diantara kalian saling berbuat ghibah".[6]
Point
Penting. Ghibah diperbolehkan pada enam tempat:
1. Diperbolehkan
bagi orang yang terzalimi menceritakan kezaliman orang lain kepada pemerintah
dan hakim.
2. Bertujuan untuk
merubah kemungkaran.
3. Meminta fatwa
(Seperti halnya ia berkata Fulan menzalimiku dengan ini dan itu).
4. Untuk
mengingatkan dan menasehati kaum muslimin dari keburukan. (dengan maksud
menasehati).
5. Orang yang
digibahi adalah seorang yang benar-benar menampakkan kefasikan dan
kebid'ahannya.[7]
6. Untuk
memberikan keterangan kepada orang-orang (yang bertanya), bilamana orang
tersebut terkenal dengan sebutan seperti bermata kabur, pincang dan buta, dan
diharamkan memberikan keterangan itu dengan tujuan menghinakannya.[8]
Ada
beberapa hal yang mesti diperhatikan dalam ghibah yang diperbolehkan,
diantaranya adalah:
1.
Niat ikhlas hanya untuk mencari keridho’an Allah
semata.
2.
Berusaha untuk tidak menyebutkan nama orang tertentu
semaksimal mungkin.
3.
Mengingatkan seseorang dengan apa yang diperbolehkan
baginya.
4.
Berkeyakinan bahwa tidak akan ada kerusakan lebih besar
yang diakibatkan oleh point-point penting yang disebutkan di atas.
Sebab-sebab
yang mendorong seseorang berbuat ghibah:
1.
Menyalurkan kemarahan, hendaknya ia ingat akan sabda
Nabi shallallahu alaihi wa sallam:
مَنْ كَظَمَ غَيْظًا
وَهُوَ قَادِرٌ عَلَى أَنْ يُنَفِّذَهُ دَعَاهُ اللهُ عَزَّوَجَلَّ عَلَى رُؤُوْسِ
الْخَلاَئِقِ يَوْمَ الْقِيَامَةِ حَتَّى يُخَيِّرَهُ مِنَ اْلحُوْرِ مَاشَاءَ
"Barang siapa yang menahan kemarahan, padahal dia mampu
untuk melakukannya maka Allah Subhanahu Wa Ta'ala akan menyerunya atas di
hadapan seluruh manusia pada hari kiamat, untuk memilih bidadari yang
dikehendakinya".[9]
2. Menyesuaikan
diri dalam pergaulan dan sengaja mengada-adakan sikap baik kepada teman. Hendaklah
dia mengingat akan sabda Nabi shallallahu alaihi wa sallam:
وَمَنِ اْلتَمَسَ رِضَا النَّاسِ بِسَخَطِ
اللهِ وَكََلَهُ اللهُ إِلَى النَّاسِ
"Barangsiapa mencari kerelaan manusia dengan (berbuat
sesuatu yang) dibenci oleh Allah maka Allah pasti menyerahkan urusannya kepada
manusia".[10]
3.
Hendak meninggikan derajat dirinya dengan cara mengejek
orang lain. Obat bagi orang yang memiliki sifat tersebut adalah mengetahui
bahwasannya apa-apa yang dimiliki oleh Allah adalah lebih baik dan lebih kekal.
4.
Bersenda gurau dan bercanda. Rasulullah shallallahu
alaihi wa sallam bersabda:
وَيْلٌ
لِلَّذِي يُحَدِّثُ فَيَكْذِبَ لِيَضْحَكَ بِهِ اْلقَوْمُ وَيْلٌ لَهُ وَيْلٌ لَهُ
"Celaka bagi orang yang berkata kemudian berbohong supaya
orang-orang tertawa, maka celaka baginya, maka celaka baginya".[11]
5.
Iri dengki, Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam bersabda:
لاَ
يَجْتَمِعَانِ فِي قَلْبِ عَبْدٍ:اَْلإِيْمَانُ وَاْلحَسَدُ
"Tidaklah berkumpul
dalam hati seorang hamba: iman dan sifat dengki.[12]
6.
Menisbatkan sesuatu pada orang lain dengan maksud
membersihkan diri darinya.
7.
Banyak waktu yang kosong.
8.
Untuk mendekatkan diri kepada pemimpin dan penguasa.
Beberapa
perkara yang tidak dikategorikan sebagai ghibah padahal ia adalah bukan ghibah
1.
Seseorang terkadang berbuat ghibah tetapi apabila
dibantah dia berkata: (Saya siap mempertegas ucapan tersebut di hadapannya).
2.
Perkataan orang di depan halayak ramai tatkala
menceritakan seseorang (Kita berlindung pada Allah dari kurangnya rasa malu)
atau (Fulan demi Allah melewati batas).
3.
Perkataan seseorang, orang itu terkena musibah dengan
ini (lalu menceritakan kejelekannya).
4.
Menganggap enteng membicarakan kejelekan orang yang
berbuat maksiat.
·
Menjauhi perbuatan mengadu domba sebagaimana sabda
Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam:
لاَ يَدْخُلُ اْلجَنَّةَ قَتَّاتٌ
"Tidak akan masuk surga orang yang mengadu domba".[13]
Point
Penting. Enam perkara yang harus diperhatikan oleh orang yang menerima namimah:
1.
Tidak membenarkannya.
2.
Melarang dan menasehati (pelaku namimah) agar dia
menjauhi perbuatan tersebut
3.
Membencinya karena Allah sebab hal tersebut dibenci
oleh Allah Subhanahu Wa Ta’ala.
4.
Tidak berprasangka buruk pada saudaranya yang tidak ada
di hadapannya.
5.
Tidak memata-matai dan mencari kesalahan orang lain.
6.
Dia tidak merelakan bagi dirinya apa-apa yang telah
dilarangnya (dari perbuatan namimah) tentang pribadinya, maka janganlah
menceritakan perbuatan namimah orang tentang dirinya ia berkata: Fulan
mengisahkan padaku seperti itu kemudian jadilah ia seorang pengadu domba.
·
Dilarang menceritakan setiap pembicaraan yang didengar,
sebagaimana sabda Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam:
كَفَى
بِالْمَرْءِ إِثْمًا أَنْ يُحَدِّثَ بِكُلِّ مَاسَمِعَ
"Cukuplah bagi seseorang berbuat dosa dengan menceritakan
setiap apa yang didengarnya".[14]
·
Jauhilah berbuat bohong, sebagaimana firman Allah
Subhanahu Wa Ta'ala: يَاأَيُّهَا
الَّذِيْنَ آَمَنُوْا اتْقُوْا اللهَ وَكُوْنُوْا مَعَ الصّدِقِيْن
"Wahai orang-orang yang beriman bertaqwalah kamu kepada
Allah dan jadilah kalian bersama-sama orang yang benar .[15]
Selain
itu, terdapat hadits riwayat Samurah bin Jundab radhiallahu anhu tentang mimpi
Nabi shallallahu alaihi wa sallam
beliau bersabda:
"… Akan tetapi malam itu aku bermimpi melihat dua orang
laki-laki datang kepadaku kemudian mereka berdua memegang kedua tanganku dan
membawaku keluar pergi ke tanah suci, tatkala itu ada seseorang yang sedang
duduk dan yang lain berdiri, sementara ditangannya terdapat besi yang ujungnya
bengkok. Sebagian teman-teman kami meriwayatkan dari Musa hadits riwayat musa
dengan lafaz "bahwa dia memasukkan besi tersebut ke bagian mulutnya
sehingga menembus kepalanya yang bagian belakang, kemudian melakukannya kembali
ke bagian mulut yang lain seperti apa yang dilakukan sebelumnya, akhirnya
bagian mulutnya menjadi menyatu, namun tatkala mulutnya kembali seperti
sediakala, dia kembali mengulangi perbuatannya. Aku berkata: "Apa
ini?" Mereka berdua menjawab pergilah …) Diakhir hadits ini Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam berkata pada kedua
orang tersebut:" Pada malam ini kalian telah membawaku berkeliling, maka
beritahukanlah kepadaku tentang apa yang telah aku lihat. Mereka berdua
berkata: Adapun orang yang engkau lihat merobek mulutnya, maka orang itu adalah
pembohong, ia mengada-adakan kebohongan kemudian menanggung akibatnya hingga ke
ujung dunia sampai hari kiamat….)[16]
Diperbolehkan
berbohong dalam tiga tempat:
1.
Mendamaikan manusia.
2.
Berbohong dalam peperangan.
3.
Perkataan suami terhadap Istrinya dan perkataan istri
terhadap suaminya.
Adapun dalil diperbolehkannya hal
tersebut adalah sabda Rasulullah shallallahu alaihi wa
sallam:
لاَ
أَعُدُّهُ كَاذِبًا الرَّجُلُ يُصْلِحُ بَيْنَ النَّاسِ, يَقُوْلُ اْلقَوْلَ وَلاَ
يُرِيْدُ بِهِ إِلاَّ اْلإْصْلاَحَ, وَالرَّجُلُ يَقُوْلُ فِي اْلحَرْبِ,
وَالرَّجُلُ يُحَدِّثُ اْمرَأَتَهُ وَالْمَرْأَةُ تُحَدِّثُ زَوْجَهَا
"Aku
tidak menganggap berbohong seorang yang (berbohong) untuk mendamaikan
perselisihan antara manusia, yaitu dengan mengatakan satu perkataan yang bohong
di mana dia tidak menghendaki dengannya kecuali perdamaian, juga seorang
laki-laki yang berkata bohong dalam peperangan dan seorang suami yang berkata
bohong kepada Istrinya, dan seorang istri yang berbohong kepada suaminya
".[17]
·
Dilarang berkata kotor dan berbuat kotor, serta setiap
perkataan yang keji. Sebagaimana disebutkan di dalam hadits:
لَمْ يَكُنِ النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ
عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَاحِشًا وَلاَ مُتَفحِّشًا
"Nabi shallallahu alaihi wa sallam bukanlah seorang yang
berkata kotor dan berbuat kotor".[18]
·
Keutamaan orang yang meninggalkan berdebat walaupun dia
benar. sebagaimana sabda Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam:
أَنَا زَعِيْمٌ بِبَيْتٍ فَي رَبََضِ
اْلجَنَّةِ لِمَنْ تَرَكَ الْمِرَاءَ وَإِنْ كَانَ مُحِقًّا
"Aku
adalah pemimpin pada sebuah tempat di surga bagi orang yang meninggalkan
perdebatan walaupun dia benar". [19]
Al
Miro' adalah jidal/berdebat.
·
Dilarang membuat orang tertawa dengan cara berbohong.
sebagaimana sabda Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam
:
وَيْلٌ ِللَّذِي يُحَدِّثُ فَيَكْذِبَ
لِيَضْحَكَ بِهِ الْقَوْمِ وَيْلٌ لَهٌ وَيْلٌ لَهُ
"Celaka orang yang berbicara kemudian berbohong supaya
orang-orang menertawakannya celaka baginya, celaka baginya".[20]
Semestinya
seseorang meninggalkan banyak tertawa, sebagaimana sabda Rasulullah shallallahu
alaihi wa sallam:
لاَ
تُكْثِرُوْا مِنَ الضَّحِكِ فَإِنَّ كَثْرَةَ الضَّحِكِ تُمِيْتُ الْقَلْبَ
"Janganlah kalian banyak tertawa sebab
banyak tertawa menyebabkan matinya hati".[21]
· Apabila
seseorang berbicara dengan saudaranya kemudian dia menoleh kepadanya maka itu
adalah amanah sebagaimana sabda Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam:
إِذَا حَدَّثَ الَّرجُلُ بِاْلحَدِيْثِ ثُمَّ اْلتَفَتَ فَهِيَ
أَمَانَةٌ
"Bilamana seorang membicarakan sesuatu
kemudian dia menoleh kepadanya maka itu adalah amanah".[22]
·
Mendahulukan orang yang lebih tua dalam berbicara, dan
berbicara harus dengan suara yang terang dan tidak rendah serta harus dengan
kalimat yang jelas yang dapat dipahami oleh semua orang dengan tidak
mengada-ada dan berlebih-lebihan.
·
Tidak memotong pembicaraan orang lain, sebagaimana yang
diceritakan tentang Nabi shallallahu alaihi wa sallam yang berbicara dengan kaumnya lalu
masuk kepadanya seorang badui, kemudian bertanya kepadanya tentang hari kiamat,
namun Rasulullah tetap meneruskan pembicaraannya bersama para shahabat, setelah
selesai beliau berkata: “Manakah orang yang sebelumnya bertanya tentang hati
kiamat?, maka barulah beliau menjawab pertanyaan orang tersebut.[23]
·
Berbicara dengan pelan-pelan dan tidak pula
tergesa-gesa, sebagaimana diceritakan tentang Nabi shallallahu alaihi
wa sallam bahwa apabila
beliau bicara dengan tentang sesuatu, seandainya ada orang yang menghitung
ucapannya nya niscaya dia bisa terhitung).[24]
Dan Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam tidak berbicara secara terus
menerus, beliau bicara dengan suatu kalimat yang dan dan terperinci sehingga
orang yang mendengarnya menjadi hafal.[25]
·
Berbicara dengan suara,
pelan Allah Subhanahu Wa Ta’ala berfirman: وَاغْضُضْ
مِنْ َصوِْتكَ "Pelankanlah
suaramu". [26]
·
Menjauhi kata-kata yang haram, seperti mengkafiran
orang lain, bersumpah dengan selain nama Allah, perkataan seseorang: “Celaka
manusia”, bersumpah dengan thalak serta mencaci maki masa.
·
Meninggalkan mementingkan diri sendiri dalam berbicara.
·
Tidak menceritakan tentang pribadi untuk membanggakan
diri sendiri sebagaimana firman Allah Subhanahu Wa Ta’ala:
فَلاَ
تُزَكُّـوا أَْنفُسَكُمْ
"Maka Janganlah kamu mengatakan dirimu
suci". "[27].
juga tidak mengagungkan diri sendiri dengan mengatakan aku,
kami berpendapat dan sebagainya.
·
Menjaga perasaan orang lain, Ibnu Qoyyim
rahimahullah berkata: “Di antara mereka ada orang yang dirasuki oleh dorongan
semangatnya (ruh) ini adalah keadaan yang berat lagi dibenci, dia adalah wujud
akal yang tidak pantas berbicara untuk memberikan manfaat bagimu, atau tidak
bisa berdiam dengan baik sehingga bisa mengambil pelajaran darimu, serta tidak mengetahui dirinya sendiri
sehingga bisa menempatkan dirinya pada tempatnya.
·
Tidak mengungkapkan cacian kepada khalayak.
·
Hendaknya ia meninggalkan beberapa hal di bawah ini:
q Banyak bertanya
dan sengaja mengada-ada pertanyaan tersebut sebagaimana sabda Nabi shallallahu
alaihi wa sallam:
وَيَكْرَهُ
لَكُمْ ثَلاَثًاوَمِنْهَا َكثْرَةُ السُّؤَالِ
"Dan membenci tiga hal dari kalian salah satunya adalah
cerewet dalam bertanya".[28]
q Tergesa-gesa
memberikan jawaban.
q Tergesa-gesa memberikan
pendapat, baik dalam hal yang kecil atau yang besar.
q Sibuk
mengahadapi orang-orang randah dan hina.
q Berbicara tidak
sesuai dengan keadaan.
q Berbicara yang
tidak keruan sebagaimana hadits Rasulullah shallallahu alaihi wa
sallam: منْ حُسْنِ إِسْلاَمِ
اْلمَرْءِ َترْكُهُ مَالاَ يَعْنِيْهِ
"Dari kesempurnaan Islam seseorang adalah meninggalkan
sesuatu yang tidak ada manfaatnya".[29]
q Berbicara
disamping orang yang tidak menyukainya.
q Mengulang-ulangi
omongan.
q Meninggikan
diri terhadap orang yang mendengarkan omongan.
q Tidak
mendengarkan orang lain yang berbicara dengan baik.
q Menganggap
remeh terhadap pembicaraan orang lain.
q Meminta orang
lain untuk mempercepat menyelesaikan perkataannya.
q Meninggalkan
orang padahal seseorang belum menyelesaikan perkataannya.
q Tergesa-gesa memvonis
orang yang berbicara sebagai pembohong.
q Menyepelekan
perkataan orang yang masih muda belia.
q Tergesa-gesa
menyebarkan suatu berita sebelum nampak fakta yang kongkrit (tentang kebenaran
berita tersebut) dan belum jelas manfaat menyebarkannya.
q Mendengarkan
dan menerima perkataan orang secara langsung tanpa menyaring dan menseleksi
kebenaran berita tersebut.
q Kasar dalam
memanggil orang. Allah Subhanahu Wa Ta’al berfirman:
وَقُلْ لِعِبَادِي
يَقُوْلُ الَّتيِ هِيَ أَحْسَن,إِنَّ الشَّيْطَانَ يَنْزِغُ بَيْنَهُمْ وَإِنَّ
الشَّيْطَانَ كَانَ ِلِْلإِنْسَانِ عَُدًّوا مُبِيًْا
"Katakanlah
kepada hamba-hambaku: "Hendaklah mereka mengucapkan perkataan yang baik
(benar), sesungguhnya syaitan menimbulkan perselisihan diantara mereka,
sesungguhnya syaitan merupakan musuh yang nyata bagi manusia".[30]
Pada
ayat yang lain Allah Subhanahu Wa Ta’ala berfirman:
وَقُوْلُوْا
ِللنَّاسِ حُسْنًا"Dan ucapkanlah
kata-kata yang baik kepada manusia".".[31]
q Kasar dalam
mencela.
q Tidak
mengetahui adab berdiskusi.
q Tidak
menghiraukan perasaan orang lain.
q Bersikap
apriori terhadap teman bicara.
q Bergaya bahasa
menantang dan menyerang.
q Masa bodoh dengan nama teman bicara.
q Mengabaikan
prinsif-prinsif yang benar.
q Ngotot dengan
kesalahan dan enggan kembali kepada yang hak.
q Tidak menguasai
materi diskusi.
q Memvonis saat
diskusi berlangsung.
q Bercabang dalam
judul pembicaraan dan keluar dari fokus semula.
q Senang
membantah dan bertentangan.
q Tenggelam dalam
membicarakan sesuatu yang tidak bermanfaat.
q Banyak saling
mencela.
q Banyak mengeluh
kepada orang-orang.
q Banyak
membicarakan tentang perempuan.
q Banyak
bermain-main/senda gurau.
q Banyak
bercanda.
q Banyak
bersumpah, Allah Subhanahu Wa Ta’ala berfirman:
وَاحْفَظُوْا أَيْمَانَكُمْ "Jagalah sumpah-sumpah kalian".[32]
q
Mencri-cari kesalahan teman duduk.
q Menampakkan
kebosanan terhadap teman duduk.
q Membebankan
teman duduknya untuk melayaninya.
q Melakukan suatu
hal yang bertentangan dengan rasa di dalam majlis seperti membersihkan gigi
dengan tusuk gigi, meludah di hadapan orang banyak, terbahak-bahak, dan memain-mainkan
kumis serta jenggot.
q Melakukan kemungkaran
di dalam majlis.
q Menghadiri
majlis yang di dalamnya terdapat kemungkaran dan menemani mereka melakukan hal
tersebut.
q Duduk dengan
posisi yang tidak mencerminkan sopan santun.
q Duduk di
tengah-tengah lingkaran orang banyak.
q Memaksakan diri
berbicara secara fasih sebagaimana Rasulullah shallallahu alaihi wa
sallam bersabda:
سَيَكُوْنُ
قَوْمٌ يَأْكُلُوْنَ بِأَلْسِنَتِهِمْ كَمَا تَأْكُلُ الْبَقَرَةُ مِنَ اْلأَرْضِ
"Akan ada suatu kaum dimana mereka makan dari hasil
lisan-lisan mereka sebagaimana sapi memakan makanan dari bumi".[33]
q Janganlah
membawa suatu perkataan apabila engkau tidak bisa membawakannya seperti yang
sebenarnya".
q Senantiasa
berusaha semaksimal mungkin untuk menutup aib saudara semuslim, hal ini sebagaimana
di beritakan oleh Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam:
لاَ يَسْتُرُ عَبْدٌ
عَبْدًا فِي الدُّنْيَا إِلاَّ سَتَرَهُ اللهُ يَوْمَ الْقِيَامَةِ
"Tidaklah seorang hamba menutupi aib hamba yang lainnya di
dunia melainkan Allah akan menutupi aibnya di hari kiamat nanti".[34]
q Menjaga agar
tidak menamai dengan gelar-gelar yang jelek sebagaimana Allah berfirman: وَلاَ
تَنَابَزُوْا بِاْلأَلْقَابِ
"Janganlah kamu panggil-memanggil dengan memakai gelar-gelar yang buruk".[35]
dan
firman Allah Subhanahu Wa Ta’ala pula: وَيْلٌ ِلكُلِّ هُمَزَةٍ
لُمَزَةٍ
"Celaka
bagi pengumpat lagi pencela"[36]
Rasulullah
shallallahu alaihi wa sallam
bersabda:
بِحَِسَبٍ
اْمرِئٍ مِنَ الشَّـرِّ أَنْ َيحْقِـرَ أَخَاهُ اْلمُسْلِمَ
"Cukuplah seseorang berbuat dosa yaitu mengejek saudaranya
yang muslim".[37]
o Apabila seseorang berbicara dengan suatu kaum, maka tidak boleh baginya mengarahkan pandangannnya kepada orang tertentu tanpa yang lainnya.
o Apabila
seseorang salah dalam mengatakan suatu perkataan walaupun perkataan itu
mengandung kekufuran dimana lisannya ceroboh dengan ucapan tersebut, maka
janganlah perkataan tersebut dijadikan sebagai modal untuk menjelekannya. Dalil
yang menjelaskan hal ini adalah hadits yang diriwayatkan oleh imam Muslim
bahwasannya Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam bersabda:
ِللهِ أَشَدُّ فَرَحًا بَتَوْبَةِ عَبْدِهِ
حِيْنَ يَتُوْبُ إِلَيْهِ مِنْ أَحَدِكُمْ كَانَ عَلىَ رَاحِلَتِهِ بِأَرْضٍ
فَلاَةٍ, فَانْفَلَتَتْ مِنْهُ وَعَلَيْهَا َطعَامُهُ وَشَرَابُهُ فَأَيِسَ
مِنْهَا فَأَتَى شَجَرَةً فَاضْطَجَعَ فِي ظِلِّهَا, وَقَدْ أَيِسَ مِنْ
رَاحِلَتِهِ فَبَيْنَمَا هُوَ كَذَاِلكَ إِذَا هُوَبِهَا قَاِئمَةً عِنْدَهُ
فَأَخَذَ بِخِطَامِهَا ُثمَّ قَالَ مِنْ شِدَّةِ اْلفَرْحِ: اَللَّهُمَّ أَنْتَ
عَبْدِي وَأَنَا رَبُّكَ أَخْطَأَ مِنْ شِدَّةِ اْلفَرَحِ
"Sesungguhnya
Allah lebih gembira dengan taubat seorang hambaNya tatkala ia bertaubat
kepadaNya dari seseorang yang bersama hewan tunggangannya di suatu
[1] HR. Ahmad dalam kitab Al
Musnad no:8967
[2] HR Bukhari no:6018
[3] HR Bukhari no:2989 Muslim no:1009
[4] HR Bukhari no:6563 Muslim no:1016
[5] HR.At Tirmidzi no: 2018 dari hadits Jabir r.a dengan memakai lafadz dari beliau
[6] QS. Al Hujurat:12
[7] Imam Bukhari mengemukakan dalil diperbolehkannya menceritakan orang yang berbuat kerusakan dan kesyirikan dengan sabda Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam ketika menceritakan Ainah bin Hisan tatkala ia meminta izin kepada Nabi shallallahu alaihi wa sallam untuk bertemu dengan beliau saat itu beliau berkata :Sejelek-jeleknya saudara keluarga.
[8] Pengarang kitab Al Mukhtar dari golongan Hanafiyah berkata: ولا غيبة لأهل القرية (Tidak ada ghibah pada penduduk kampung) . Adab As Syariyyah Ibnu Muflih Juz 1 Hal 274
[9] HR.Abu Daud no: 3997 dan dihasankan oleh Al Albani
[10] HR.At-Tirmidzi no: 1967 dihasankan oleh Al Albani
[11] HR.Abu Daud no:4990 dan dihasankan oleh Al Albani
[12] HR.Shohih Al jami' 7620
[13] HR. Bukhari no: 6056 Muslim no:105
[14] HR.Muslim no:5 dan lafadz hadits darinya
[15] QS.At-Taubah(10):119
[16] HR Bukhari no:1386 dan Ahmad no:19652
[17] HR. Abu Daud no: 4921dan dishohehkan oleh Al Albani
[18] HR.Bukhari no:3559
[19] HR.Abu daud no:4800 dan dihasankan oleh Al Albani
[20] HR.Abu daud no: 4990 dan dihasankan oleh Al Albani
[21] HR.Ibnu Majah no:4193 dan di shohehkan oleh Al Albani
[22] HR. Abu daud no:4878 dan dihasankan oleh Al Albani
[23] HR. Bukhari no:59
[24] HR. Bukhari no:3568
[25] HR. Ahmad no:25677
[26] QS. Lukman:19
[27] QS. An Najm:32
[28] HR.Muslim no:1715 Ahmad juz 2 hal 27
[29] HR.At-Turmudzi no:1887dan dihasankan Al Albani
[30] QS. Al Isra:53
[31] QS. Al Baqoroh:83
[32] QS.. Al Maidah( 4):89)
[33] HR.Shohih Al Jami'
[34] HR.Shohih Al Jami'
[35] QS.Al Hujurat:11
[36] QS Al Humazah:1
[37] HR.Shohih Al Jami'
[38] HR. Muslim no:2747 kitab At Taubah