HOME

29 Januari, 2022

Muhkam dan Mutasyabih

 BAB I

PENDAHULUAN

AL-Qur’an merupakan kalam Allah yang diturunkan kepada nabi Muhammad melalui malaikat Jibril. Al-qur’an pula diturunkan sebagai mukjizat sekaligus pedoman bagi umat islam. Kalam Allah ini diturunkan dalam bahasa Arab. Bahasa ini mempunyai karakteristik tersendiri yang berbeda dari bahasa lainnya serta memiliki uslub dan kosa kata tertentu. Suatu kosakata tak selalu memiliki makna yang absolut sehingga dapat dimengerti secara jelas. Hal ini menunjukkan bahwa untuk mengetahui makna-makna Al-qur’an memerlukan penguasaan dalam bahasa Arab.

Bahkan, diantara ungkapan Al-Qur’an terdapat lafal yang hampir mustahil diketahui oleh manusia maknanya. Hanya Allah yang mengetahui maksud dan makna lafal tersebut. lafal-lafal ini perlu diketahui agar tidak terjadi pemaksaan makna terhadap kosakatanya. Sebab, hal itu diungkapakan oleh Al-qur’an bukan untuk dipahami manusia, tetapi ada tujuan lain dalam menyampaikan dakwah islam.

Maka dari itu terdapat pemahaman Al-qur’an yang disebut dengan muhkam wa mutasyabih.

 

BAB II

PEMBAHASAN

A.    Muhkam dan Mutasyâbih

Muhkam adalah ayat-ayat yang sudah mempunyai kejelasan didalam maknanya sehingga, tidak terjadi kebingungan dalam memaknai lafalnya. Sedangkan, Mutasyâbihât adalah ayat-ayat Al-qur’an yang belum jelas maknanya, ia mempunyai beberapa kemungkinan makna yang tidak pasti, mana diantara makna-makna itu yang harus digunakan dalam menafsirkan ayat yang bersangkutan.

 

B.      Contoh ayat Muhkam dan Mutasyâbihât

Ayat muhkam, misalnya terdapat dalam  firman Allah Surah Al-baqarah ayat 183

يَأَيُّهَا ٱلَّذِيْنَ ءَامَنُواْ كُتِبَ عَلَيْكُمُ ٱلصِّيَامُ

Hai orang-orang yang beriman diwajibkan kepadamu berpuasa. (QS. Al-Baqarah (2): 183)

Kata ash-shiyâm dan perintah berpuasa dalam ayat ini sangat jelas maksudnya sehingga orang biasa pun dapat memahaminya. Dan yang kedua adalah ayat – ayat yang hanya dapat dipahami oleh para ulama berdasarkan ilmu alat yang mereka kuasai, seperti ushul fiqh dan kaidah-kaidah ilmu balaghah.

Ayat-ayat mutasyâbih mempunyai tiga bentuk, yaitu sebagai berikut.

1.    Mutasyâbih dari aspek lafal saja. Artinya, terdapat lafal tertentu dalam suatu ayat yang tidak pasti maksudnya disebabkan oleh 1) lafal tersebut gharîb (asing) atau jarang digunakan, 2) lafal tersebut musytarak (mempunyai makna ganda), 3) ringkasnya ungkapan, dan 4) susunan lafalnya.

a.                   Mutasyâbih karena asingnya suatu lafal. Misalnya, dalam contoh QS ‘Abasa (80) ayat 27 -31 :

فَأَنْۢبَتْنَا فِيْهَا حَبَّا (٢٧) وَعِنَبًا وَ قَضْبًا (٢٨) وَ زَيْتُونًا وَ نَخْلاً (٢٩) وَ حَدَآئِقَ غُلْبًا (٣٠) وَ فٰكِهَةً وَ أَبًّا (٣١)

Lalu Kami tumbuhkan biji-bijian di bumi itu, anggur dan sayur-sayuran, zaitun dan kurma, kebun-kebun (yang) lebat, dan buah-buahan serta rumput-rumputan. (QS. ‘Abasa (80): 27-31)

Kata أَبًّا jarang digunakan, sehingga maknanya tidak jelas atau tidak begitu populer. Kata tersebut dalam ayat ini diartikan kepada rumput-rumputan. Ash-Shabuni memaknai kata أَبًّا itu dengan ‘segala sesuatu yang tumbuh di bumi yang dimakan oleh binatang, seperti rumput”. Contoh lain dari mutasyâbih lafal adalah  يَزِفُّوْن yang terdapat dalam firman Allah pada Surah Ash-Shaffat (37) ayat 94 :

فَأَقْبَلُوٓاْ إِلَيْهِ يَزِفُّوْنَ (٩٤)

Kemudian kaumnya datang kepadanya dengan bergegas. (QS. Ash-Shaffat (37): 94)

Kata yaziffûn dalam ayat ini berarti “bergegas” atau semakna dengan kata yasra‘ûna fî al-masyyi (mereka bersegera dalam berjalan).

2.     Mutasyâbih disebabkan oleh gandanya makna suatu lafal (musytarak), seperti kata  قُرُوءٍ  dalam firman Allah Surah Al-Baqarah (2) ayat 228:

وَٱلمُطَلَّقٰتُ يَتَرَبَّصْنَ بِأَنْفُسِهِنَّ ثَلٰثَةَ قُرُوٓءٍ

Wanita-wanita yang ditalak hendaklah menahan diri (menunggu) tiga kali quru’. (QS. Al-Baqarah (2) :228)

Qurûsecara harfiah mempunyai dua arti, yaitu suci (ath-thahru) dan haid. Tidak ada kejelasan dan kepastian mana diantara kedua makna itu harus dipakai dalam ayat ini. Maka itulah sebabnya para ulama tidak sepakat memaknainya: ada yang mengartikannya kepada suci dan adapula yang mengartikan kepada haid.

3.    Mutasyâbih dari segi susunan lafalnya adalah seperti yang terlihat dalam firman Allah Surah An-Nisâ’ (4) ayat 3:

وَإِنْ خِفْتُمْ أَلَّا تُقْسِطُوْا فِي ٱليَتٰمٰى فَٱنْكِحُواْ مَا طَابَ لَكُمْ مِّنَ ٱلنِّسَآءِ

Dan jika kamu takut tidak akan dapat berlaku adil terhadap (hak-hak) perempuan yang yatim (bilamana kamu mengawininya), maka kawinilah wanita-wanita (lain) yang kamu senangi. (QS. An-nisâ (4): 3)

Ayat ini diungkapkan dalam bentuk susunan yang sangat ringkas, sehingga jawab syaratnya dibuang. Kata fankiha dala ayat ini bukanlah jawab syarat sebelumnya, sebab hal itu bisa bermakna bahwa suami tidak harus berlaku adil terhadap istrinya, yang bukan anak yatim asuhannya. Maksud ayat itu adalah “jika ada diantara kamu memelihara anak yatim, kemudian ingin menikahinnya, tetapi meraa takut kalau ia enggan memberikan mas kawin kepada anak yatimtersebut, maka janganlah menikahi anak yatim itu. Nikahilah perempuan biasa yang kamu tidak merasa enggan memberikan mas kawin kepadanya”. Hal ini dapat dipahami dari sebab nuzul ayat.

4.   Mutasyabih dari aspek makna saja , seperti ayat-ayat yang menjelaskan sifat-sifat Allah, keadaan hari kiamat, surga, dan neraka.

5.     Mutasyabih dari aspek lafal dan makna. Hal ini mencakup beberapa segi, yaitu sebagai berikut:

a.        dari segi kuantitas, seperti umum dan khusus. Jadi, lafal-lafal umum yang terdapat dalam suatu ayat termasuk ayat mutasyabih, sebab ia mengandung ketidak jelasan makna; apakah ia diberlakukan secara umum atau ditakhsis oleh ayat lain.

b.         Dari segi kualitas, seperti wajib dan sunnah. Pada dasarnya, perintah itu menunjukkan kepada wajib,seperti yang ditunjukkan oleh kaidah ushul الأَصْلُ فِي الأَمْرِ لِلْوُجُوْبِ . Akan tetapi, tidaklah semua amar (kata perintah) itu menunjukkan kepada wajib. Ungkapan amar selain dalam makna wajib, ia juga mempunyai makna irsyâd, sunnah, taswiyah, tahdîd, dan lain sebagainya. maka suatu kata perintah yang terdapat dalam Al-qur’an mempunyai beberapa kemungkinan makna. Oleh sebab itu, ungkapan perintah dalam Al-qur’an termasuk dalam kategori ayat mutasyabih, kecuali perintah tertentu yang telah disepakati maknanya sebagai wajib, seperti perintah shalat dan berwudhu sbeblum shalat. Disebabkan oleh ketidakjelasan makna suatu kata perintah, maka muncul penafsiran yang berbeda antara seorang ulama dengan ulama lainnya seperti perintah menulis dalam transaksi jual beli tidak tunai.

c.                Dari segi masa, seperti nâsikh dan mansûkh.

d.                  Dari segi syarat sah melakukan perintah yang terkandung dalam suatu ayat.Pembagian ayat mutasyâbih di atas didasarkan pada makna yang terkandung didalam ayat. Dan apabila dilihat dari aspek kemungkinan manusia mengetahui maknanya, maka mutasyâbih dapat pula dikategorikan kepada dua macam, yaitu sebagai berikut.

1). Ayat yang tertutup kemungkinan bagi manusia mengetahui maknanya.

2).  Ayat yang dapat diketahui maksud oleh manusia.

 

C.     Perbedaan Para Ulama tentang Ayat Mutasyânih

Perbincangan di atas menunjukkan adanya dua macam konsep mutasyabih, yaitu ayat atau yang lafal yang tidak jelas atau pasti maknanya dan ayat yang tidak mampu ditangkap maknanya oleh manusia. Mengenai yang pertama, para ulama sepakat tentang kebolehan dan kemampuan manusia menangkap maknanya. Akan tetapi, mengenai yang terakhir, para ulama berbeda pendapat.

Pendapat pertama menegaskan tertutup kemungkinan  bagi manusia memahami ayat-ayat yang menggambarkan sifat-sifat Allah dan huruf-huruf potong (al-hurûf al-muqaththa’ah) yang terdapat diawal surah. Manusia cukup mengimaninya saja, bagaimana maksud dan maknanya cukup diserahkan kepada tuhan saja.

Pendapat kedua menegaskan pula bahwa tidak ada ayat Alquran yang tidak mungkin dapat diketahui maknanya oleh manusia. Oleh sebab itu, mereka menakwilkan ayat-ayat mutasyâbihât tersebut, termasuk di antaranya sifat-sifat Allah dan huruf-huruf potong yang terdapat di awal surah. Menurut mereka, AlQuran diturunkan untuk manusia maka manusia tentu harus dapat memahaminya.

Perbedaan pendapat di atas dilatarbelakangi oleh perbedaan mereka dalam memahami Surah Ali-Imran (3) ayat 7, yaitu :

هُوَ ٱلَّذِىٓ أَنْزَلَ عَلَيْكَ الْكِتٰبَ مِنْهُ ءَايٰتٌ مُّحْكَمٰتٌ هُنَّ أُمُّ ٱلْكِتٰبِ وَأُخَرُ مُتَشٰبِهٰتٌ ۖ فَأَمَّا ٱلَّذِينَ فِي قُلُوبِهِمْ زَيْغٌ فَيَتَّبِعُونَ مَا تَشٰبَهَ مِنْهُ ٱبْتِغَآءَ ٱلْفِتْنَةِ وَٱبْتِغَآءَ تَأْوِيلِهِ  ۦ ۗ  وَمَا يَعْلَمُ تَأْوِيلَهُ  ۥٓ إِلَّا ٱللّٰهُ ۗ وَٱلرّٰسِخُونَ فِي ٱلعِلْمِ يَقُولُونَ ءَامَنَّا بِهِ  ۦ كُلٌّ مِّنْ عِنْدِ رَبِّنَا ۗ وَمَا يَذَّكَّرُ إلَّآ أُوْلُواْ ٱاْلأَلْبٰبِ (٧)

Dia-lah yang menurunkan Al-kitab (Alquran) kepada kamu. Di antara (isi) nya ada ayat-ayat yang muhkamât, itulah pokok-pokok isi Alquran dan yang lain (ayat-ayat) mutasyâbihât. Adapun orang-orang yang dalam hatinya condong kepada kesesatan, maka mereka mengikuti sebagian ayat-ayat yang mutasyâbihât daripadanya untuk menimbulkan fitnah untuk mencari-cari takwilnya, padahal tidak ada yang mengetahui takwilnya melainkan Allah. Dan orang-orang yang mendalam ilmunya berkata: “kami beriman kepada ayat-ayat yang mutasyâbihât, semua itu dari sisi tuhan kami.” Dan tidak dapat mengambil pelajaran (daripadanya) melainkan orang-orang yang berakal. (QS. Âli ‘Imrân (3) ayat 7)

Pendapat pertama memahami ayat ini bahwa “hanya Allah yang mengetahui makna ayat mutasyâbihât, orang-orang yang berilmu cukup mengimaninya saja; mereka tidak perlu mencari takwilnya”. Sedangkan pendapat kedua memahami pula bahwa “hanya Allah dan orang-orang yang dalam ilmunya sajalah yang dapat mengetahui takwil ayat-ayat mutasyâbihât itu”.

Berdasarkan pendapat kedua ini, maka banyak mufassir menakwilkan ayat-ayat mutasyâbihât seperti kata istiwâ, yad, dan wajh yang dinisbahkan kepada Tuhan. Hal ini seperti yang dilakukan oleh kaum mu’tazilah dan mufassir lainnya. Termasuk di antara mereka itu kaum sufi, mereka menakwilkan huruf-huruf potong yang terdapat diawal surah, seperti Ibnu Arabi. Ia menakwilkan ayat كهيعص Kepada Kâfi (yang mencukupkan), Al-Hâdi (Yang Memberi Petunjuk), Âmin (Yang Mengamankan), ‘Alîm (Yang Maha Mengetahui), dan Shâdiq (Yang Maha benar), الر ditakwilkan kepada أَنَا اللّٰهُ أَرَى (Saya Allah Melihat) dan طسم diartikan pula kepada tursina musa. Selain Ibnu Arabi, Abi Thahir bin Ya’qub dalam tafsirnya “Tanwirul miqbas min Tafsir Ibnu Abbas” juga menakwilkan huruf-huruf muqaththa’ah yang terdapat di awal surah.

Baca juga artikel yang lain:

  1. Urgensi Pengantar Studi Islam
  2. Etika Politik dan Nilai Pancasila Sebagai Sumber Politik
  3. Qira’atul Qur’an
  4. Perbedaan dan Persamaan Mekanisme Takhsis dan Taqyid
  5. Perkembangan Ilmu Al-Qur’an Abad ke-4 sampai Modern
  6. Kodifikasi Al-Qur'an
  7. Study Al-Qur'an : ‘Aam dan Khas
  8. Muhkam dan Mutasyabih
  9. Mafhum Mukhalafah
  10. Mantuq dan Mafhum
  11. I'jazul Qur'an
  12. Nasikh dan Mansukh 

D.       Hikmah Ayat Mutasyâbih dalam Alquran 

Terdapat tiga hikmah atau manfaat bagi manusia ketika berhadapan dengan ayat-ayat mutasyâbihât, yaitu sebagai berikut.

1.             Memberikan ruang gerak yang luas kepada umat islam dalam persoalan pengamalan isi Alquran. Seorang muslim tidak harus berpegang kepada makna tertentu saja, tetapi ia boleh mengamalkannya berdasarkan makna lainyang masih berhubungan dengan lafal.

2.       Memberikan kesadaran kepada manusia bahwa dirinya hamba yang lemah. Maka tidak semua permasalahan dapat dikaji,  dipahami, dan diketahui olehnya. Maka ketika berhadapan dengan ayat-ayat tersebut, seharusnya keyakinan manusia terhadap kemahabesaran Allah akan semakin bertambah.

3.          Ayat-ayat mutasyâbihât adalah salah satu uslûb yang digunakan Alquran untuk menarik perhatian manusia terhadapnya. Ia menggunakan huruf-huruf potong, misalnya, yang terdengar asing – terutama oleh masyarakat Arab dan tidak pernah terdengar kata itu sebelum turunnya Alquran. Pada mulanya perhatian tertuju kepada lafal asing tersebut, kemudian makna ayat berikutnya dan selanjutnya menimbulkan kesadaran diri atau keimanan. Maka itulah sebabnya, stelah huruf-huruf potong tersebut selalu diiringi oleh penjelasan mengenai Alquran seperti yang terlihat di awal surah Al-Baqarah (2), Âli ‘Imrân (3), Al-A‘râf (7), Yunûs (10), Hûd (11), Yusûf (12), Ar-Ra‘d (13), Ibrâhîm (14), Al-Hijr (15), dan Thâhâ (20).

Study Al-Qur'an : ‘Aam dan Khas

A.   ‘AMM

PENGERTIAN

‘Amm adalah lafal yang menghabiskan atau mencakup segala apa yang pantas baginya tanpa ada pembatasan.[1] Para ulama berbeda pendapat tentang “makna umum”, apakah didalam bahasa ia mempunyai sighah  (bentuk lafaz) khusus untuk menunjukkannya atau tidak?

Setidaknya ada tiga bentuk sighah umum menurut jumhur ulama’.[2]

1.      Sighah ‘am untuk menguatkan ma’na khusus

2.      Sighah ‘am untuk mencakup semua satuan-satuannya sekaligus, dan berfungsi menguatkan ma’na umum.

3.      Sighah yang disandarkan pada sesuatu yang ber ma’na mencakup semua, atau disandarkan pada sesuatu yang berma’na mengumpulkan, atau meringkas sesuatu yang paling sedikit memuat sifat dan bilangan.[3] Hal ini sesuai dengan pernyataan yang dipaparkan oleh al-Ghazali dalam al-Mustasfa Fi Ilm al-Usul.

Sebagian besar ulama berpendapat, didalam bahasa terdapat sighah-sighah tertentu yang secara hakiki dibuat untuk menunjukkan makna umum dan dipergunakan secara majaz pada selainnya. Untuk mendukung pendapat ini mereka mengajukan sejumlah argumen dari dalil-dalil nassiyah, ijma’iyah, dan ma’nawiyah.

1.      Di antara dalil-dalil nassiyah ialah firman Allah :

وَنَا دى رَّبَّهُ فَقَالَ رَبِّ إِنَّ ابْنِى مِنْ أَهْلِى وَاِنَّ وَعْدَكَ الْحَقُّ وَأَنْتَ أَحْكَمُ الْحَاكِمِيْنَ، قَالَ يَانُوْحُ إِنَّهُ لَيْسَ مِنْ أَهْلِكَ

هود:٤٥-٤٦

“Dan Nuh berseru kepada Tuhannya seraya berkataa: “Ya Tuhanku, sesungguhnya anakku termasuk keluargaku, dan sesungguhnya janji Engkau itulah yang benar, dan Engkau adalah hakim yang seadil-adilnya”. Allah berfirman: “Hai Nuh, sesungguhnya dia bukanlah termasuk keluargamu (yang dijanjikan dan diselamatkan)”.

Aspek yang dijadikan dalil dari ayat ini ialah bahwa Nuh menghadap kepada Allah dengan permohonan tersebut karena ia berpegang teguh pada firman-Nya:

إِ نَّا مُنَجُّوْكَ وَأَهْلَكَ إِلَّا امْرَأَتَكَ كَانَتْ مِنَ الْغَبِرِيْنَ

 العنكبوت:٣٣

“Sesungguhnya kami akan menyelamatkan kamu dan pengikut-pengikutmu kecuali isterimu, Dia adalah termasuk orang-orang yang tertinggal (dibinasakan)”.

Allah membenarkan apa yang dikatakan Nuh. Karena itu ia menjawab dengan pernyataan yang menunjukkan bahwa anaknya itu tidak termasuk keluarga. Seandainya idafah (penyandaran) kata “keluarga” kepada “Nuh” keluargaku, keluarga Nuh) tidak menunjukkan makna umum, maka jawaban Allah tersebut tidak benar.

وَلَمَّا جآءَتْ رُسُلُنَآ إِبْرَاهِيْمَ بِالْبُشْرَى قَالُوْآ إِنَّا مُهْلِكُوْا أَهْلِ هَذِهِ الْقَرْيَةِ إِنَّ أَهْلَهَا كَا نُوْا ظَالِمِيْنَ، قَالَ إِنَّ فِيْهَا لُوْطًا قَالُوْا نَحْنُ أَعْلَمُ بِمَنْ فِيْهَا لَنُنَجِّيَنَّهُ وَأَهْلَهُ امْرَأَتَهُ كَا نَتْ مِنَ الْغَابِرِيْنَ.

العنكبوت:٣١-٣٢

“Dan tatkalah utusan kami (para malaikat) datang kepada Ibrahim membawa kabar gembira, mereka mengatakan: “Sesungguhnya kami akan menghancurkan negeri (Sodam) ini. Sungguh penduduknya adalah orang-orang zalim”. Berkata Ibrahim: “sesungguhnya di kota itu ada Lut”. Para malaikat itu berkata: “Kami lebih mengetahui siapa yang ada di kota itu, kami sungguh-sungguh akan menyelamatkan dia dan pengikut-pengikutnya kecuali isterinya, dia adalah termasuk orang-orang yang tertinggal (dibinasakan)”.

Aspek yang dijadikan dalil ialah bahwa Ibrahim memahami ucapan para malaikat, ahlu hadhihil qaryah (penduduk negeri ini), adalah umum, di mana ia menyabutkan Lut. Para malaikat pun mengakui pemahaman demikian dan menjawab bahwa mereka akan memperlakukan dengan khusus Lut dan keluarganya, dengan mengecualikannya dari golongan yang akan dihancurkan dan mengecualikan istri Lut dari orang-orang yang diselamatkan. Semua ini menunjukkan makna umum.

2.      Di antara dalil-dalil ijma’iyah ialah ijma’ sahabat bahwa firman Allah :

الزَّانِيَةُ وَالزَّانِي فَاجْلِدُوْا كُلَّ وَاحِدٍ مِنْهُمَا مِائَةَ جَلْدَةٍ

النور:٢

“Perempuan yang berzina dan laki-laki yang berzina, maka deralah tiap-tiap seorang dari keduanya seratus kali dera”, dan firman-Nya:

وَالسَّارِقُ والسَّارِقَةُ فَاقْطَعُوْآ أَيْدِيَهُمْا جَزَآءَ بِمَا كَسَبَا نَكَلًا مِّنَ اللَّهِ، وَاللَّهُ عَزِيْزٌ حَكِيْمٌ.

المئدة: ٣٨

“Dan laki-laki yang mencuri dan perempuan yang mencuri potonglah tangan keduanya”. Dan lain sebagainya adalah bermakna umum, berlaku dan dapat diterapkan bagi setiap orang yang berzina dan mencuri.

3.        Di antara dalil-dalil ma’nawiyah ialah bahwa makna umum itu dapat dipahami dari penggunaan lafal tertentu yang menunjukkan demikian. Andaikan lafal tersebut tidak dibuat untuk makna umum tentu sulit dalam memahaminya. Misalnya lafaz-lafaz, syarat, istifham (pernyataan) dan mausul.

Kita dapat menangkap adanya perbedaan antara kata kull (seluruh) dengan kata ba’d (sebagian). Seandainya kull tidak menunjukkan arti umum, tentulah perbedaan itu tidak terwujud.

Atas dasar maka makna umum itu mempunyai sighah-sighah tertentu yang menunjukkannya. Di antaranya:

a.         Kull.

b.         Lafaz-lafaz yang di ma’rifatkan dengan al yang bukan al-ahdiyah.

c.         Isim nakirah dalam konteks nafy dan nahi.

d.        Al-Latiy dan al-ladhi serta cabang-cabangnya.

e.         Semua isim syarat.

f.          Ismul-Jins (kata jenis) yang di idafah kan kepada isim ma’rifah.


MACAM-MACAM ‘AMM

Lafadz ‘Amm terbagi menjadi tiga macam:

1.      ‘Amm yang tetap dsalam keumumannya (al-‘amm al baqi ‘ala ‘umumih). Qadi Jalaluddin al-Balqini mengatakan, ‘amm seperti ini jarang ditemukan, sebab tidak ada satupun lafaz ‘am kecuali di dalamnya terdapat takhsis (pengkhususan). Tetapi Zarkasyi dalam al-Burhan mengemukakan, ‘amm demikian banyak terdapat dalam Qur’an.

2.      ‘Amm yang dimaksud khusus (al-‘amm al-murad bihi al-khusus).

3.      ‘Amm yang dikhususkan (al-‘amm al-makhsus). ‘Amm macam ini banyak ditemukan dalam Al-Qur’an sebagaimana akan dikemukakan nanti.


PERBEDAAN ANTARA AL-‘AMM AL-MURAD BIHIL KHUSUS dengan AL-‘AMM AL-MAKHSUS.

Perbedaan ini dapat dilihat dari beberapa segi. Antara lain:

1.    Tidak dimaksudkan untuk mencakup semua satuan atau individu yang dicakupnya sejak semula, baik dari segi cakupan makna lafaz maupun dari hukumnya. Lafaz tersebut memang mempunyai individu-individu namun ia digunakan hanya untuk satu atau lebih individu. Sedang yang kedua dimaksudkan untuk menunjukkan makna umum, meliputi semua individunya, dari segi cakupan makna lafaz, tidak dari segi hukumnya.

2.    Yang pertama adalah majaz secara pasti, karena ia telah beralih makna aslinya dan dipergunakan untuk sebagian satuan-satuannya saja. Sedangkan yang kedua, menurut pendapat yang lebih sahih, adalah hakikat. Inilah pendapat sebagian besar ulama Syafi’i, mayoritas ulama Hanafi dan semua ulama Hanbali. Pendapat ini dinukil pula oleh Imam Haramain dari semua Fuqaha’. Menurut Abu Hamid al-Ghazali, pendapat tersebut adalah pendapat madzhab Syafi’i dan murid-muridnya, dan dinilai sahih oleh as-Subki. Hal ini dikarenakan jangkauan lafaz kepada sebagian maknanya yang tersisa, sesudah di khususkan, sama dengan jangkauannya terhadap sebagian makna tersebut tanpa pengkhususan. Oleh karena jangkauan lafaz seperti ini bersifat hakiki menurut konsensus ulama, mak jangkauan seperti itu pun hendaknya dipandang hakiki pula.

Qarinah bagi yang pertama pada umumnya bersifat ‘aqliyah dan tidak pernah terpisah, sedang qarinah bagi yang kedua bersifat lafziyah dan terkadang terpisah


B. KHAS

Pengertian Khas

Khas ialah lafadh yang menunjukkan arti yang tertentu, khusus, tidak meliputi arti umum, dengan kata lain, khas itu kebalikan dari ‘aam.

هُوَ اللَّفْظُ الْمَوْضُوْعُ لِمَعْنًى وَاحِدٍ مَعْلُوْمٍ عَلَى الإِنْفِرَادِ

“Suatu lafadh yang dipasangkan pada satu arti yang sudah diketahui (ma’lum) dan manunggal.”

Menurut istilah, Al- khas adalah lafadh yang diciptakan untuk menunjukkan pada perseorangan tertentu, seperti Muhammad. Atau menunjukkan satu jenis, seperti lelaki. Atau menunjukkan beberapa satuan terbatas, seperti tiga belas, seratus, sebuah kaum, sebuah masyarakat, sekumpulan, sekelompok, dan lafadh-lafadh lain yang menunjukkan bilangan beberapa satuan, tetapi tidak mencakup semua satuan-satuan itu.

Hukum lafadz khas dan contohnya

Lafadz khas dalam nash syara’ adalah menunjuk pada dalalah qath’iyah (dalil yang pasti) terhadap makna khusus yang dimaksud dan hukum yang ditunjukkan adalah qath’i selama tidak ada dalil  yang memalingkan  pada makna lain.

Contohnya :

فمن لم يجد فصيا م ثلا ثة ايا م فى الحج ( البقرة :۱۹٦ )                           

“Barang siapa tidak menemukan (binatang qurban atau tidak mampu), maka wajib baginya berpuasa tiga hari dalam masa haji.” (QS.al-Baqarah : 196)

Lafadz tsalatsa adalah khas karena tidak mungkin diartikan kurang atau lebih dari tiga hari. Sehingga maknanya bersifat qath’iyah dan hukumnya pun bersifat  qath’i.

Sabda Rasulullah SAW :

فى كل ا ربعين شا ة (رواه ابو داود )                                                               

“Pada setiap empat puluh ekor kambing, wajib zakatnya seekor kambing.” (HR. AbuDawud).

Lafadz arbaina syatan dan syatun adalah lafadz khas karena yang pertama menunjukkan kadar zakat kambing 40 ekor dan kedua menunjukkan kadar wajibnya zakat yaitu seekor kambing.

Dari uraian diatas dapat ditarik suatu perbedaan antara lafadz ‘am dan lafadz khas sebagai berikut :

1)      Lafadz ‘am itu menunjuk kepada seluruh satuan dari satuan-satuan yang ada, sedang lafadz khas yang mutlaq menunjuk kepada satuan-satuan yang tergolong dalam satuan itu saja.

2)      Lafadz ‘am dapat mencakup sekaligus seluruh satuan-satuan yang dapat dimasukkan ke dalamnya, sedang lafadz khas tidak dapat mencakup seluruh satuan, selain hanya satuan yang dapat dimasukkan ke dalamnya.


Dalalah Khas

Dalalah khas menunjuk kepada dalalah qath’iyyah terhadap makna khusus yang dimaksud dan hukum yang ditunjukkannya adalah qath’iy, bukan dzanniy, selama tidak ada dalil yang memalingkannya kepada makna yang lain. Misalnya, firman Allah:

”tetapi jika ia tidak menemukan (binatang korban atau tidak mampu), Maka wajib berpuasa tiga hari dalam masa haji ” (QS. Al Baqarah (2) : 196

Kata tsalatsah (tiga) dalam ayat di atas adalah khas, yang tidak mungkin diartikan kurang atau lebih dari makna yang dikehendaki oleh lafadh itu. Oleh karena itu dalalah maknanya adalah qath’iy dan dalalah hukumnya pun qath’iy.

Akan tetapi, apabila ada qarinah, maka lafadh khas harus ditakwilkan kepada maksud makna yang lain. Sebagai contoh hadis Nabi yang berbunyi:

عَنْ سَالِمِ بْنِ عَبْدِ اللَّهِ عَنْ أَبِيهِ عَنْ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ أَقْرَأَنِي سَالِمٌ كِتَابًا كَتَبَهُ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فِي الصَّدَقَاتِ قَبْلَ أَنْ يَتَوَفَّاهُ اللَّهُ عَزَّ وَجَلَّ فَوَجَدْتُ فِيهِ فِي أَرْبَعِينَ شَاةً شَاةٌ إِلَى عِشْرِينَ وَمِائَةٍ فَإِذَا زَادَتْ وَاحِدَةً

“Salim pernah membacakan kepadaku sebuah kitab tentang sedekah yang ditulis oleh Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam sebelum Allah Azza Wa Jalla mewafatkannya. Lalu aku mendapatkan di dalamnya bahwa pada setiap empat puluh kambing hingga seratus dua puluh ekor kambing, zakatnya adalah satu ekor kambing.” (HR. Ibnu Majah).

Menurut jumhur ulama, arti kata empat puluh ekor kambing dan seekor kambing, keduanya adalah lafadh khas. Karena kedua lafadh tersebut tidak mungkin diartikan lebih atau kurang dari makna yang ditunjuk oleh lafadh itu sendiri. Dengan demikian, dalalah lafadh tersebut adalah qath’iy. Tetapi menurut Ulama Hanafiyah, dalam hadis tersebut terdapat qarinah yang mengalihkan kepada arti yang lain. Yaitu bahwa fungsi zakat adalah untuk menolong fakir miskin. Pertolongan itu dapat dilakukan bukan hanya dengan memberikan seekor kambing, tetapi juga dapat dengan menyerahkan harga seekor kambing yang dizakatkan.


Masalah Takhsis

a.       Pengertian takhsis

Menurut Khudari Bik dalam bukunya Ushul al-Fiqh, takhshish adalah penjelasan sebagian lafadh ‘wm bukan seluruhnya. Atau dengan kata lain, menjelaskan sebagian dari satuan-satuan yang dicakup oleh lafadh ‘wm dengan dalil.


Macam takhsis

1)      Mentakhshish ayat Al Qur’an dengan ayat Al Qur’an

وَالْمُطَلَّقَاتُ يَتَرَبَّصْنَ بِأَنْفُسِهِنَّ ثَلَاثَةَ قُرُوءٍ

“Wanita-wanita yang ditalak hendaklah menahan diri (menunggu) tiga kali quru.” (QS. Al Baqarah (2): 228).

Ketentuan dalam ayat di atas berlaku umum, bagi mereka yang hamil atau tidak. Tapi ketentuan itu dapat ditakhshish dengan QS. At-Thalaq (65) ayat 4 sebagai berikut:

وَأُولَاتُ الْأَحْمَالِ أَجَلُهُنَّ أَنْ يَضَعْنَ حَمْلَهُنَّ

“Dan perempuan-perempuan yang hamil, waktu iddah mereka itu ialah sampai mereka melahirkan kandungannya.”

Dapat pula di takhsis dengan surat Al Ahzab(33):49

“Hai orang-orang yang beriman, apabila kamu menikahi perempuan- perempuan yang beriman, kemudian kamu ceraikan mereka sebelum kamu mencampurinya Maka sekali-sekali tidak wajib atas mereka 'iddah bagimu yang kamu minta menyempurnakannya.”

Dengan demikian keumuman bagi setiap wanita yang dicerai harus beriddah tiga kali suci tidak berlaku bagi wanita yang sedang hamil dan yang dicerai dalam keadaan belum pernah digauli.

2)      Men takhsis Al Qur’an dengan As Sunnah

“laki-laki yang mencuri dan perempuan yang mencuri, potonglah tangan keduanya.”(QS. Al Maidah (5): 38.

Dalam ayat di atas tidak disebutkan batasan nilai barang yang dicuri. Kemudian ayat di atas ditakhshish oleh sabda Nabi SAW:

لاَ قَطْعَ فِي أَقَلَّ مِنْ رُبْعِ دِيْنَارٍ . رواه الجماعة

“Tidak ada hukuman potong tangan di dalam pencurian yang nilai barang yang dicurinya kurang dari seperempat dinar”. (H.R. Al-Jama’ah).

Dari ayat dan hadis di atas, jelaslah bahwa apabila nilai barang yang dicuri kurang dari seperempat dinar, maka si pencuri tidak dijatuhi hukuman potong tangan.

3)      Men takhsis As Sunnah dengan Al Qur’an

لاَ يَقْبَلُ اللهُ صَلاَةَ أَحَدِكُمْ إِذَا أَحْدَثَ خَتىَّ يَتَوَضَّأَ . متفق عليه

“Allah tidak menerima shalat salah seorang dari kamu bila ia berhadats sampai ia berwudhu”. (Muttafaq ‘Alaihi).

Hadis di atas kemudian di takhsrs oleh firman Allah dalam QS. Al Maidah (5): 6.

“dan jika kamu junub Maka mandilah, dan jika kamu sakit  atau dalam perjalanan atau kembali dari tempat buang air (kakus) atau menyentuh perempuan, lalu kamu tidak memperoleh air, Maka bertayammumlah dengan tanah yang baik (bersih)”.

Keumuman hadis di atas tentang keharusan berwudhu bagi setiap orang yang akan melaksanakan shalat, ditakhshish dengan tayammum bagi orang yang tidak mendapatkan air, sebagaimana firman Allah di atas.

4)      Men takhsis As Sunnah dengan As Sunnah

فِيْمَا سَقَتْ السَّمَاءُ الْعُشْرُ . متفق عليه

“Pada tanaman yang disirami oleh air hujan, zakatnya sepersepuluh”. (Muttafaq Alaihi).

Keumuman hadis di atas tidak dibatasi dengan jumlah hasil panennya. Kemudian hadis itu ditaksis oleh hadis lain yang berbunyi:

لَيْسَ فِيْمَا دُوْنَ خَمْسَةِ أَوْسُقٍ صَدَقَةٌ . متفق عليه

“Tidak ada kewajiban zakat pada taanaman yang banyaknya kurang dari 5 watsaq (1000 kilogram)”. (Muttafaq Alaihi).

Dari kedua hadis di atas jelaslah bahwa tidak semua tanaman wajib dizakati, kecuali yang sudah mencapai lima watsaq.

5)      Men takhsis Al Qur’an dengan Ijma’

“apabila diseru untuk menunaikan shalat Jum'at, Maka bersegeralah kamu kepada mengingat Allah dan tinggalkanlah jual beli.” (QS. Al Jumuah (62): 9)

Menurut ayat tersebut, kewajiban shalat Jum’at berlaku bagi semua orang. Tapi para ulama telah sepakat (ijma’) bahwa kaum wanita, budak dan anak-anak tidak wajib shalat Jum’at.

6)      Men takhsis al Qur’an dengan Qiyas

“perempuan yang berzina dan laki-laki yang berzina, Maka deralah tiap-tiap seorang dari keduanya seratus kali dera”.

Keumuman ayat di atas ditakhshish oleh QS. An Nisa’ (4): 25.

“Apabila mereka telah menjaga diri dengan kawin, kemudian mereka mengerjakan perbuatan yang keji (zina), maka atas mereka separo hukuman dari hukuman wanita-wanita merdeka yang bersuam”.

Ayat di atas menerangkan secara khusus, bahwa hukuman dera bagi pezina budak perempuan adalah saparuh dari dera yang berlaku bagi orang merdeka yang berzina. Kemudian hukuman dera bagi budak laki-laki di-qiyaskan dengan hukuman bagi budak perempuan, yaitu lima puluh kali dera.

7)      Men takhsis dengan pendapat sahabat

Jumhur ulama berpendapat bahwa takhsrs hadis dengan pendapat sahabat tidak diterima. Sedangkan menurut Hanafiyah dan Hanbaliyah dapat diterima jika sahabat itu yang meriwayatkan hadis yang di takhsrs nya. Misalnya:

عَنْ أَيُّوبَ عَنْ عِكْرِمَةَ أَنَّ عَلِيًّا رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ حَرَّقَ قَوْمًا فَبَلَغَ ابْنَ عَبَّاسٍ فَقَالَ لَوْ كُنْتُ أَنَا لَمْ أُحَرِّقْهُمْ لِأَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ لَا تُعَذِّبُوا بِعَذَابِ اللَّهِ وَلَقَتَلْتُهُمْ كَمَا قَالَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ مَنْ بَدَّلَ دِينَهُ فَاقْتُلُوهُ مَنْ بَدَّلَ دِيْنَهُ فَاقْتُلُوْهُ . متفق عليه

Dari Ayyub dari Ikrimah bahwa ‘ali r.a membakar suatu kaum lalu berita itu sampai kepada Ibnu Abbas maka dia berkata:” seandainya aku ada, tentu aku tidak akan membakar mereka karena Nabi SAW telah bersabda: Janganlah kalian menyiksa dengan siksaan Allah (dengan api), dan aku hanya akan membunuh sebagaimana Nabi telah bersabda Siapa yang mengganti agamanya maka bunuhlah dia".

Menurut hadis tersebut, baik laki-laki maupun perempuan yang murtad hukumnya dibunuh. Tetapi Ibnu Abbas (perawi hadis tersebut) berpendapat bahwa perempuan yang murtad tidak dibunuh, hanya dipenjarakan saja.

Pendapat di atas ditolak oleh Jumhur Ulama yang mengatakan bahwa perempuan yang murtad juga harus dibunuh sesuai dengan ketentuan umum hadis tersebut. Pendapat sahabat yang mentakhshish keumuman hadis di atas tidak dibenarkan karena yang menjadi pegangan kita, kata Jumhur Ulama, adalah lafadh-lafadh umum yang datang dari Nabi. Di samping itu, dimungkinkan bahwa sahabat tersebut beramal berdasarkan dugaan sendiri.

Baca juga artikel yang lain:

  1. Urgensi Pengantar Studi Islam
  2. Etika Politik dan Nilai Pancasila Sebagai Sumber Politik
  3. Qira’atul Qur’an
  4. Perbedaan dan Persamaan Mekanisme Takhsis dan Taqyid
  5. Perkembangan Ilmu Al-Qur’an Abad ke-4 sampai Modern
  6. Kodifikasi Al-Qur'an
  7. Study Al-Qur'an : ‘Aam dan Khas
  8. Muhkam dan Mutasyabih
  9. Mafhum Mukhalafah
  10. Mantuq dan Mafhum
  11. I'jazul Qur'an
  12. Nasikh dan Mansukh

[1] Manna’ al-Qattan, Mabahith Fi Ulum al-Qur’an, (Surabaya : Hidayah, 1983), 221

[2] Tim Penyusun MKD, Studi al-Qur’an, (Surabaya : UIN Sunan Ampel Press, 2014), 423.

[3] Ibid

MAKALAH HADIST TENTANG HIJAB

  A.   Latar Belakang Telah disepakati oleh seluruh umat Islam bahwa al-Qur’an menjadi pedoman hidup baik tentang syariah maupun dalam keh...