BAB I
PENDAHULUAN
AL-Qur’an merupakan kalam Allah yang
diturunkan kepada nabi Muhammad melalui malaikat Jibril. Al-qur’an pula
diturunkan sebagai mukjizat sekaligus pedoman bagi umat islam. Kalam Allah ini
diturunkan dalam bahasa Arab. Bahasa ini mempunyai karakteristik tersendiri
yang berbeda dari bahasa lainnya serta memiliki uslub dan kosa kata
tertentu. Suatu kosakata tak selalu memiliki makna yang absolut sehingga dapat
dimengerti secara jelas. Hal ini menunjukkan bahwa untuk mengetahui makna-makna
Al-qur’an memerlukan penguasaan dalam bahasa Arab.
Bahkan, diantara ungkapan Al-Qur’an
terdapat lafal yang hampir mustahil diketahui oleh manusia maknanya. Hanya
Allah yang mengetahui maksud dan makna lafal tersebut. lafal-lafal ini perlu
diketahui agar tidak terjadi pemaksaan makna terhadap kosakatanya. Sebab, hal
itu diungkapakan oleh Al-qur’an bukan untuk dipahami manusia, tetapi ada tujuan
lain dalam menyampaikan dakwah islam.
Maka dari itu terdapat pemahaman
Al-qur’an yang disebut dengan muhkam wa mutasyabih.
BAB II
PEMBAHASAN
A. Muhkam dan Mutasyâbih
Muhkam adalah ayat-ayat yang sudah mempunyai kejelasan didalam maknanya
sehingga, tidak terjadi kebingungan dalam memaknai lafalnya. Sedangkan, Mutasyâbihât
adalah ayat-ayat Al-qur’an yang belum jelas maknanya, ia mempunyai beberapa
kemungkinan makna yang tidak pasti, mana diantara makna-makna itu yang harus
digunakan dalam menafsirkan ayat yang bersangkutan.
B. Contoh ayat Muhkam dan Mutasyâbihât
Ayat
muhkam, misalnya terdapat dalam
firman Allah Surah Al-baqarah ayat 183
يَأَيُّهَا ٱلَّذِيْنَ ءَامَنُواْ كُتِبَ عَلَيْكُمُ ٱلصِّيَامُ
Hai orang-orang yang beriman diwajibkan kepadamu berpuasa. (QS. Al-Baqarah (2): 183)
Kata ash-shiyâm dan perintah berpuasa dalam ayat ini sangat jelas maksudnya sehingga orang biasa pun dapat memahaminya. Dan yang kedua adalah ayat – ayat yang hanya dapat dipahami oleh para ulama berdasarkan ilmu alat yang mereka kuasai, seperti ushul fiqh dan kaidah-kaidah ilmu balaghah.
Ayat-ayat
mutasyâbih
mempunyai tiga bentuk, yaitu sebagai berikut.
1. Mutasyâbih dari aspek lafal saja. Artinya, terdapat lafal tertentu dalam suatu ayat yang tidak pasti maksudnya disebabkan oleh 1) lafal tersebut gharîb (asing) atau jarang digunakan, 2) lafal tersebut musytarak (mempunyai makna ganda), 3) ringkasnya ungkapan, dan 4) susunan lafalnya.
a.
Mutasyâbih
karena asingnya suatu lafal. Misalnya, dalam contoh QS ‘Abasa (80) ayat 27 -31
:
فَأَنْۢبَتْنَا فِيْهَا حَبَّا (٢٧) وَعِنَبًا وَ قَضْبًا (٢٨) وَ
زَيْتُونًا وَ نَخْلاً (٢٩) وَ حَدَآئِقَ غُلْبًا (٣٠) وَ فٰكِهَةً وَ أَبًّا (٣١)
Lalu Kami tumbuhkan biji-bijian di bumi itu, anggur
dan sayur-sayuran, zaitun dan kurma, kebun-kebun (yang) lebat, dan buah-buahan
serta rumput-rumputan. (QS. ‘Abasa (80): 27-31)
Kata أَبًّا jarang
digunakan, sehingga maknanya tidak jelas atau tidak begitu populer. Kata
tersebut dalam ayat ini diartikan kepada rumput-rumputan. Ash-Shabuni memaknai
kata أَبًّا
itu dengan ‘segala sesuatu yang tumbuh di bumi yang dimakan oleh binatang,
seperti rumput”. Contoh lain dari mutasyâbih lafal adalah يَزِفُّوْن yang
terdapat dalam firman Allah pada Surah Ash-Shaffat (37) ayat 94 :
فَأَقْبَلُوٓاْ إِلَيْهِ يَزِفُّوْنَ (٩٤)
Kemudian
kaumnya datang kepadanya dengan bergegas. (QS. Ash-Shaffat (37): 94)
Kata yaziffûn dalam ayat ini berarti “bergegas” atau semakna dengan kata yasra‘ûna fî al-masyyi (mereka bersegera dalam berjalan).
2. Mutasyâbih disebabkan oleh gandanya makna suatu lafal (musytarak), seperti
kata قُرُوءٍ dalam firman Allah Surah
Al-Baqarah (2) ayat 228:
وَٱلمُطَلَّقٰتُ يَتَرَبَّصْنَ بِأَنْفُسِهِنَّ ثَلٰثَةَ قُرُوٓءٍ
Wanita-wanita
yang ditalak hendaklah menahan diri (menunggu) tiga kali quru’. (QS. Al-Baqarah (2) :228)
Qurû’ secara harfiah
mempunyai dua arti, yaitu suci (ath-thahru)
dan haid. Tidak ada kejelasan dan kepastian mana diantara kedua makna itu harus
dipakai dalam ayat ini. Maka itulah sebabnya para ulama tidak sepakat
memaknainya: ada yang mengartikannya kepada suci dan adapula yang mengartikan
kepada haid.
3. Mutasyâbih dari segi susunan lafalnya adalah seperti yang terlihat dalam
firman Allah Surah An-Nisâ’ (4) ayat 3:
وَإِنْ خِفْتُمْ أَلَّا تُقْسِطُوْا فِي ٱليَتٰمٰى فَٱنْكِحُواْ مَا طَابَ لَكُمْ مِّنَ ٱلنِّسَآءِ
Dan jika kamu takut tidak akan dapat berlaku adil terhadap
(hak-hak) perempuan yang yatim (bilamana kamu mengawininya), maka kawinilah
wanita-wanita (lain) yang kamu senangi. (QS. An-nisâ (4): 3)
Ayat
ini diungkapkan dalam bentuk susunan yang sangat ringkas, sehingga jawab
syaratnya dibuang. Kata fankiha dala ayat ini bukanlah jawab syarat
sebelumnya, sebab hal itu bisa bermakna bahwa suami tidak harus berlaku adil
terhadap istrinya, yang bukan anak yatim asuhannya. Maksud ayat itu adalah
“jika ada diantara kamu memelihara anak yatim, kemudian ingin menikahinnya,
tetapi meraa takut kalau ia enggan memberikan mas kawin kepada anak
yatimtersebut, maka janganlah menikahi anak yatim itu. Nikahilah perempuan
biasa yang kamu tidak merasa enggan memberikan mas kawin kepadanya”. Hal ini
dapat dipahami dari sebab nuzul ayat.
4. Mutasyabih
dari aspek makna saja , seperti ayat-ayat yang menjelaskan sifat-sifat Allah,
keadaan hari kiamat, surga, dan neraka.
5. Mutasyabih dari
aspek lafal dan makna. Hal ini mencakup beberapa segi, yaitu sebagai berikut:
a. dari segi kuantitas, seperti umum dan khusus. Jadi, lafal-lafal
umum yang terdapat dalam suatu ayat termasuk ayat mutasyabih, sebab ia
mengandung ketidak jelasan makna; apakah ia diberlakukan secara umum atau
ditakhsis oleh ayat lain.
b. Dari segi kualitas, seperti wajib dan sunnah. Pada dasarnya,
perintah itu menunjukkan kepada wajib,seperti yang ditunjukkan oleh kaidah
ushul الأَصْلُ فِي
الأَمْرِ لِلْوُجُوْبِ . Akan tetapi, tidaklah semua amar (kata
perintah) itu menunjukkan kepada wajib. Ungkapan amar selain dalam makna
wajib, ia juga mempunyai makna irsyâd, sunnah, taswiyah, tahdîd, dan lain
sebagainya. maka suatu kata perintah yang terdapat dalam Al-qur’an mempunyai
beberapa kemungkinan makna. Oleh sebab itu, ungkapan perintah dalam Al-qur’an
termasuk dalam kategori ayat mutasyabih, kecuali perintah tertentu yang
telah disepakati maknanya sebagai wajib, seperti perintah shalat dan berwudhu
sbeblum shalat. Disebabkan oleh ketidakjelasan makna suatu kata perintah, maka
muncul penafsiran yang berbeda antara seorang ulama dengan ulama lainnya
seperti perintah menulis dalam transaksi jual beli tidak tunai.
c. Dari segi masa, seperti nâsikh dan mansûkh.
d. Dari segi syarat sah melakukan perintah yang terkandung dalam suatu ayat.Pembagian ayat mutasyâbih di atas didasarkan pada makna yang terkandung didalam ayat. Dan apabila dilihat dari aspek kemungkinan manusia mengetahui maknanya, maka mutasyâbih dapat pula dikategorikan kepada dua macam, yaitu sebagai berikut.
1). Ayat yang tertutup kemungkinan bagi manusia mengetahui maknanya.
2). Ayat yang dapat
diketahui maksud oleh manusia.
C. Perbedaan Para Ulama tentang Ayat Mutasyânih
Perbincangan
di atas menunjukkan adanya dua macam konsep mutasyabih, yaitu ayat atau yang
lafal yang tidak jelas atau pasti maknanya dan ayat yang tidak mampu ditangkap
maknanya oleh manusia. Mengenai yang pertama, para ulama sepakat tentang
kebolehan dan kemampuan manusia menangkap maknanya. Akan tetapi, mengenai yang
terakhir, para ulama berbeda pendapat.
Pendapat pertama menegaskan tertutup
kemungkinan bagi manusia memahami
ayat-ayat yang menggambarkan sifat-sifat Allah dan huruf-huruf potong (al-hurûf al-muqaththa’ah)
yang terdapat diawal surah. Manusia cukup mengimaninya saja, bagaimana maksud
dan maknanya cukup diserahkan kepada tuhan saja.
Pendapat kedua menegaskan pula bahwa
tidak ada ayat Alquran yang tidak mungkin dapat diketahui maknanya oleh
manusia. Oleh sebab itu, mereka menakwilkan ayat-ayat mutasyâbihât tersebut,
termasuk di antaranya sifat-sifat Allah dan huruf-huruf potong yang terdapat di
awal surah. Menurut mereka, AlQuran diturunkan untuk manusia maka manusia tentu
harus dapat memahaminya.
Perbedaan pendapat di atas
dilatarbelakangi oleh perbedaan mereka dalam memahami Surah Ali-Imran (3) ayat
7, yaitu :
هُوَ ٱلَّذِىٓ أَنْزَلَ عَلَيْكَ الْكِتٰبَ مِنْهُ ءَايٰتٌ مُّحْكَمٰتٌ هُنَّ أُمُّ ٱلْكِتٰبِ وَأُخَرُ مُتَشٰبِهٰتٌ ۖ فَأَمَّا ٱلَّذِينَ فِي قُلُوبِهِمْ
زَيْغٌ فَيَتَّبِعُونَ مَا تَشٰبَهَ مِنْهُ ٱبْتِغَآءَ ٱلْفِتْنَةِ وَٱبْتِغَآءَ
تَأْوِيلِهِ ۦ ۗ وَمَا يَعْلَمُ تَأْوِيلَهُ ۥٓ إِلَّا ٱللّٰهُ ۗ وَٱلرّٰسِخُونَ
فِي ٱلعِلْمِ يَقُولُونَ ءَامَنَّا بِهِ ۦ
كُلٌّ مِّنْ عِنْدِ رَبِّنَا ۗ وَمَا يَذَّكَّرُ إلَّآ أُوْلُواْ ٱاْلأَلْبٰبِ (٧)
Dia-lah yang menurunkan Al-kitab (Alquran)
kepada kamu. Di antara (isi) nya ada ayat-ayat yang muhkamât, itulah pokok-pokok isi Alquran dan yang lain
(ayat-ayat) mutasyâbihât. Adapun orang-orang yang dalam hatinya condong
kepada kesesatan, maka mereka mengikuti sebagian ayat-ayat yang mutasyâbihât daripadanya untuk menimbulkan fitnah
untuk mencari-cari takwilnya, padahal tidak ada yang mengetahui takwilnya
melainkan Allah. Dan orang-orang yang mendalam ilmunya berkata: “kami beriman
kepada ayat-ayat yang mutasyâbihât, semua itu dari sisi tuhan kami.” Dan tidak dapat
mengambil pelajaran (daripadanya) melainkan orang-orang yang berakal. (QS. Âli ‘Imrân (3) ayat 7)
Pendapat pertama memahami ayat ini
bahwa “hanya Allah yang mengetahui makna ayat mutasyâbihât,
orang-orang yang berilmu cukup mengimaninya saja; mereka tidak perlu mencari
takwilnya”. Sedangkan pendapat kedua memahami pula bahwa “hanya Allah dan
orang-orang yang dalam ilmunya sajalah yang dapat mengetahui takwil ayat-ayat mutasyâbihât
itu”.
Berdasarkan pendapat kedua ini, maka
banyak mufassir menakwilkan ayat-ayat mutasyâbihât seperti kata istiwâ,
yad, dan wajh yang dinisbahkan kepada Tuhan. Hal ini
seperti yang dilakukan oleh kaum mu’tazilah dan mufassir lainnya. Termasuk di
antara mereka itu kaum sufi, mereka menakwilkan huruf-huruf potong yang
terdapat diawal surah, seperti Ibnu Arabi. Ia menakwilkan ayat كهيعص Kepada
Kâfi (yang mencukupkan), Al-Hâdi (Yang Memberi Petunjuk), Âmin
(Yang Mengamankan), ‘Alîm (Yang Maha Mengetahui), dan Shâdiq
(Yang Maha benar), الر
ditakwilkan kepada أَنَا
اللّٰهُ أَرَى (Saya Allah Melihat) dan طسم diartikan
pula kepada tursina musa. Selain Ibnu Arabi, Abi Thahir bin Ya’qub dalam
tafsirnya “Tanwirul miqbas min Tafsir Ibnu Abbas” juga menakwilkan
huruf-huruf muqaththa’ah yang terdapat di awal surah.
Baca juga artikel yang lain:
- Urgensi Pengantar Studi Islam
- Etika Politik dan Nilai Pancasila Sebagai Sumber Politik
- Qira’atul Qur’an
- Perbedaan dan Persamaan Mekanisme Takhsis dan Taqyid
- Perkembangan Ilmu Al-Qur’an Abad ke-4 sampai Modern
- Kodifikasi Al-Qur'an
- Study Al-Qur'an : ‘Aam dan Khas
- Muhkam dan Mutasyabih
- Mafhum Mukhalafah
- Mantuq dan Mafhum
- I'jazul Qur'an
- Nasikh dan Mansukh
D. Hikmah Ayat Mutasyâbih dalam Alquran
Terdapat
tiga hikmah atau manfaat bagi manusia ketika berhadapan dengan ayat-ayat mutasyâbihât,
yaitu sebagai berikut.
1. Memberikan ruang gerak yang luas kepada
umat islam dalam persoalan pengamalan isi Alquran. Seorang muslim tidak harus
berpegang kepada makna tertentu saja, tetapi ia boleh mengamalkannya
berdasarkan makna lainyang masih berhubungan dengan lafal.
2. Memberikan kesadaran kepada manusia
bahwa dirinya hamba yang lemah. Maka tidak semua permasalahan dapat
dikaji, dipahami, dan diketahui olehnya.
Maka ketika berhadapan dengan ayat-ayat tersebut, seharusnya keyakinan manusia
terhadap kemahabesaran Allah akan semakin bertambah.
3. Ayat-ayat mutasyâbihât adalah salah satu uslûb yang digunakan Alquran untuk menarik
perhatian manusia terhadapnya. Ia menggunakan huruf-huruf potong, misalnya,
yang terdengar asing – terutama oleh masyarakat Arab dan tidak pernah terdengar
kata itu sebelum turunnya Alquran. Pada mulanya perhatian tertuju kepada lafal
asing tersebut, kemudian makna ayat berikutnya dan selanjutnya menimbulkan
kesadaran diri atau keimanan. Maka itulah sebabnya, stelah huruf-huruf potong
tersebut selalu diiringi oleh penjelasan mengenai Alquran seperti yang terlihat
di awal surah Al-Baqarah (2), Âli ‘Imrân (3), Al-A‘râf (7), Yunûs (10), Hûd
(11), Yusûf (12), Ar-Ra‘d (13), Ibrâhîm (14), Al-Hijr (15), dan Thâhâ (20).