HOME

27 Februari, 2023

MAKALAH TAFSIR AYAT TENTANG PENJUALAN JASA (IJARAH)

 

BAB 1 

PENDAHULUAN

B.     Latar Belakang

Al-Qur`an adalah sumber dari segala sumber ajaran Islam. Kitab suci menempati posisi sentral bukan saja dalam perkembangan dan pengembangan ilmu-ilmu ke Islaman tetapi juga merupakan inspirator dan pemandu gerakan-gerakan umat Islam sepanjang empat belas abad lebih sejarah pergerakan umat ini.Al-Qur`an ibarat lautan yang amat luas, dalam dan tidak bertepi, penuh dengan keajaiban dan keunikan tidak akan pernah sirna dan lekang di telan masa dan waktu. Maka untuk mengetahui dan memahami betapa dalam isi kandungan al-Qur`an diperlukan tafsir.

Dalam makalah ini, akan dipaparkan mengenai ayat-ayat yang membahas mengenai penjualan jasa

 

C.    Rumusan Masalah

  1. Bagaimana hukum penjualan jasa?
  2. Bagaimana penjelasan dalil dalam Alquran tentang penjualan jasa?
  3. Bagaimana tafsiran ayat Alquran tentang penjualan jasa? 
  4. Bagaimana Nuzulul quran/ munasabah antara Ayat tersebut? 

 

C.    Tujuan

  1. Mengetahui hukum penjualan jasa
  2. Mengetahui dalil dalam Al-Quran tentang penjualan jasa
  3. Mengetahui tafsiran ayat Al-Quran tentang penjualan jasa
  4. Mengetahui Nuzulul quran/munasabah ayat tersebut




BAB II

PEMBAHASAN

A.                Surat Al-Zukhruf ayat ayat 32


اَهُمْ يَقْسِمُوْنَ رَحْمَتَ رَبِّكَۗ نَحْنُ قَسَمْنَا بَيْنَهُمْ مَّعِيْشَتَهُمْ فِى الْحَيٰوةِ الدُّنْيَاۙ وَرَفَعْنَا بَعْضَهُمْ فَوْقَ بَعْضٍ دَرَجٰتٍ لِّيَتَّخِذَ بَعْضُهُمْ بَعْضًا سُخْرِيًّا ۗوَرَحْمَتُ رَبِّكَ خَيْرٌ مِّمَّا يَجْمَعُوْنَ

“Apakah mereka yang membagi-bagi rahmat Rabb-mu? Kami telah menentukan antara mereka penghidupan mereka dalam penghidupan dunia, dan Kami telah meninggikan mereka atas sebagian yang lain beberapa derajat, agar sebagian mereka dapat mempergunakan sebagian yang lain. Dan rahmat Rabb-mu lebih baik dari apa yang mereka kumpulkan.” (Q.S Al-Zukhruf:32)

 

Mufrodat

أَهُمْ        ( mengapa mereka )

يَقْسِمُوْنَ  ( mereka membagi-bagi )

رَحْمَتَ    ( rahmat )

رَبِّكَ       ( tuhanmu )

نَحْنُ       ( kami )

قَسَمْنَا     ( kami membagi-bagi )

بَيْنَهُمْ      ( diantara mereka )

مّعِيْشَتَهُمْ ( penghidupan mereka )

فِى         ( dalam )

الْحَيَوَةِ    ( kehidupan )

الدُّنْيَا      ( dunia )

وَرَفَعْنَا    ( dan kami tinggikan )

بَعْضَهُمْ   ( sebagian mereka )

فَوْقَ       ( diatas )

بَعْضٍ     ( sebagian )

دَرَزَتٍ     ( derajat )

لّيَتَّخِذَ      ( agar mengambil )

بَعْضُهُمْ   ( sebagian mereka )

بَعْضًا      ( sebagian )

سُحْرِيًّا    ( pekerjaan )

وَرَحْمَتُ  ( dan rahmat )

رَبِّكَ       ( tuhanmu )

خَيْرٌ       ( lebih baik )

مّمَّا        ( dari apa )

يَجْمَعُونَ  ( mereka kumpulkan )

 

Asbabun Nuzul

Pada suatu waktu Walid bin Maghirah berkata: “Sekiranya apa yang dikatakan Muhammad itu benar (bahwa Al-Quran dai Allah), pasti Al-Quran itu diturunkan kepadaku atau kepada Mas'ud Atas Tsaqafi”. Maka turunlah ayat 31-32 sebagai ketegasan bahwa Allah-lah yang berhak mengutus nabi-Nya sesuai dengan kekuasaan-Nya. 

(HR. Ibnu mundzir dari Qatadah)

 

Tafsir Ayat:

Allah Tabaaraka  wa Ta'ala berfirman menolak pertentangan mereka ini: “Apakah mereka yang membagi-bagi rahmat Rabb-mu?” Yaitu, perkaranya bukanlah dikembalikan kepada mereka, tetapi kepada Allah SWT. Dan Allah lebih mengetahui kepada siapa Dia dijadikan risalah-Nya, karena Dia tidak menurunkannya kecuali kepada makhluk-Nya yang hati dan jiwanya paling bersih, serta keluarganya paling terhormat dan asal-usulnya paling suci. Kemudian, Allah SWT berfirman memberikan penjelasan bahwa Dia memberikan tingkatan kepada makhluk-Nya tentang harta, akal dan pemahaman yang diberikan kepada mereka serta diberikan kekuatan, lahir, dan bathin. Maka dia berfirman: “Kami telah menentukan antara mereka penghidupan mereka dalam kehidupan dunia.”

Firman Allah Yang Maha Agung Kebesaran-Nya: “Agar sebagian dari mereka dapat mempergunakan sebagian yang lain.” Satu pendapat mengatakan bahwa maknanya adalah agar sebagian dari mereka mempergunakan sebagian yang lain dalam berbagai amal, karena sebagian membutuhkan sebagian yang lain. Itulah yang dikatakan oleh as-Suddi dan lain-lain. Sedangkan Qatadah dan adh-adh-Dhahhak berkata: “Agar sebagian mereka memiliki sebagian yang lain.” Dan makna ini kembali kepada yang pertama. 

Kemudian Allah SWT berfirman: “Dan rahmat Rabb-mu lebih baik dari apa yang mereka kumpulkan.” Yaitu, rahmat Allah kepada para makhluk-Nya lebih baik dari mereka daripada apa yang mereka miliki berupa harta benda dan kesenangan kehidupan dunia. Kemudian, Allah berfirman: Dan sekiranya karena bukan hendak menghindari manusia menjadi umat yang satu.” Yaitu, sekiranya bukan karena kebanyakan manusia yang bodoh berkeyakinan bahwa harta yang Kami berikan merupakan bukti kecintaan Kami kepada orang yang Kami beri itu, lalu mereka bersatu dalam kekufuran karena harta. Inilah makna perkataan Ibnu ‘Abbas, al-Hasan, Qatadah, as-Suddi, dan lain-lain.

 

B.     Surat Al-Baqarah ayat 233

وَالْوَالِدٰتُ يُرْضِعْنَ اَوْلَادَهُنَّ حَوْلَيْنِ كَامِلَيْنِ لِمَنْ اَرَادَ اَنْ يُّتِمَّ الرَّضَاعَةَ ۗ وَعَلَى الْمَوْلُوْدِ لَهٗ رِزْقُهُنَّ وَكِسْوَتُهُنَّ بِالْمَعْرُوْفِۗ لَا تُكَلَّفُ نَفْسٌ اِلَّا وُسْعَهَا ۚ لَا تُضَاۤرَّ وَالِدَةٌ ۢبِوَلَدِهَا وَلَا مَوْلُوْدٌ لَّهٗ بِوَلَدِهٖ وَعَلَى الْوَارِثِ مِثْلُ ذٰلِكَ ۚ فَاِنْ اَرَادَا فِصَالًا عَنْ تَرَاضٍ مِّنْهُمَا وَتَشَاوُرٍ فَلَا جُنَاحَ عَلَيْهِمَا ۗوَاِنْ اَرَدْتُّمْ اَنْ تَسْتَرْضِعُوْٓا اَوْلَادَكُمْ فَلَا جُنَاحَ عَلَيْكُمْ اِذَا سَلَّمْتُمْ مَّآ اٰتَيْتُمْ بِالْمَعْرُوْفِۗ وَاتَّقُوا اللّٰهَ وَاعْلَمُوْٓا اَنَّ اللّٰهَ بِمَا تَعْمَلُوْنَ بَصِيْرٌ

 “Para ibu bendaklah menyusukan anak-anaknya selama dua tahun penuh, yaitu bagi yang ingin menyempurnakan penyusuannya. Dan kewajiban ayah memberi makan dan pakaian kepada para ibu dengan cara yang ma’ruf. Seseorang tidak dibebani melainkan  menurut kadar  kesanggupannya. Janganlah seorang ibu menderita kesengsaraan karena anaknya dan juga seorang ayah karena anaknya, dan warispun berkewajiban demikian. Apabila keduanya ingin menyapih (sebelum dua tabun) dengan kerelaan keduanya dan permusyawaratan, maka tidak ada dosa atas keduanya. Dan jika kamu ingin anakmu disusukan oleh orang lain, maka tidak ada dosa bagimu bila kamu memberikan pembayaran menurut yang patut. Bertakwalah kamu kepada Allah dan ketahuilah bahwa Allah Maha melihat apa yang kamu  kerjakan.” (QS. Al-Baqarah: 233)

 

Tafsir Mufrodat

 

وَالْوِدَتُ ( dan para ibu )                                    

يُرْضِعْنَ ( hendaklah menyusui )

أَوْلَدَهُمْ   ( anak anak mereka )

حَوْلَىْنِ   ( dua tahun )

كَامِلَيْنِ  ( sempurna/penuh )

لِمَنْ     ( bagi orang )

أَرَادَ     ( ingin )

أَنَ         ( untuk )

يُتِمَّ         ( menyempurnakan )

الرَّضَاعَةَ ( penyusuan “nya” )

وَعَلَى     ( dan atas )

المَوْلُودِ    ( anak yang dilahirkan )

لَهُ          ( baginya “ayah” )

رِزْقُهُمْ    ( memberi rizki/makan mereka )

وَكِسْوَتُهُمُنَّ( dan pakaian mereka )          

بِالْمَعْرُوْفِ( dengan cara yang baik )

لَا          ( tidak )

تُكَلَّفُ      ( dibebani )

نَفْسٌ       ( seseorang )

أِلَّا         (mmelainkan )

وُسْعَهَا    ( kesanggupannya )

لَا          ( jangan )

تُضَآرَّ     ( menderita/sengsara )

وَلِدَةٌ       ( seseorang ibu )

بِوَلَدِهَا     ( dengan/karena )

وَلَا        ( dan tidak )

مَوْلُوْدٌ     ( anak yang dilahirkan )

لَّهُ          ( baginya “ayah” )

 

بِوَلَدِهِ      ( dengan/karena anaknya )

وَعَلَى     ( dan atas )

 

Munasabah

 

Dalam ayat-ayat yang lalu telah diterangkan hukum-hukum yang berhubungan dengan talak, maka dalam ayat ini diterangkan pula hukum-hukum Allah yang berhubungan dengan penyusuan anak dan cara yang harus ditempuh oleh kedua ibu bapak dalam pemeliharaan bayi mereka.

 

Tafsir ayat

Ini adalah bimbingan dari Allah Ta’ala bagi para ibu supaya mereka menyusui anak-anaknya dengan sempuma, yaitu dua tahun penuh. Dan setelah itu tidak ada lagi penyusuan. Oleh karena itu, Allah Ta’ala berfirman: liman araada ay yutimmar radlaa-‘ata (“Yaitu bagi yang ingin menyempurnakan penyusuan.”) Kebanyakan para imam berpendapat bahwa tidak diharamkan penyusuan yang kurang dari dua tahun. Jadi, apabila ada bayi yang berusia lebih dari dua tahun masih menyusui, maka yang demikian itu tidak diharamkan.

Hal itu diperkuat dengan apa yang diriwayatkan ad-Daruquthni, dari Ibnu Abbas, Rasulullah saw. bersabda: “Tidak menjadikan mahram karena penyusuan, kecuali yang dilakukan kurang dari dua tahun.”

Kemudian ad-Daruquthni mengatakan: “Hadits tersebut tidak disandarkan pada Ibnu Uyainah kecuali oleh al-Haitsam bin Jamil, dan ia adalah seorang yang dapat dipercaya dan seorang hafizh.”

Berkenaan dengan hal ini, penulis (Ibnu Katsir) katakan: “Hadits ini terdapat dalam kitab al-Muwattha’, Imam Malik meriwayatkan dari Tsaur bin Yazid, dari Ibnu Abbas, secara marfu’. Juga diriwayatkan oleh ad-Darawardi dari Tsaur, dari Ikrimah, dari Ibnu Abbas, dan ia menambahkan: “Dan penyusuan setelah dua tahun itu tidak mempunyai pengaruh apa pun.”

Makna yang terkandung dalam hadits ini menjadi lebih sempurna dengan adanya firman Allah yang artinya: “Dan menyapihnya dalam dua tahun. Bersyukurlah kepada-Ku. “(QS. Luqman: 14). Dia juga berfirman yang artinya: “Mengandungnya sampai menyapihnya adalah tiga puluh bulan.” (QS. Al-Ahqaaf: 15).

Pendapat yang menyatakan bahwa penyusuan setelah dua tahun tidak menjadikan mahram diriwayatkan dari Ali bin Abi Thalib, Ibnu Abbas, Ibnu Masud, Jabir, Abu Hurairah, Ibnu Umar, Ummu Salamah, Sa’id Musayyab, Atha’ dan jumhur ulama. Ini juga merupakan pendapat Imam Syafi’i, Imam Ahmad, Ishaq, ats-Tsauri, Abu Yusuf, Muhammad, dan Malik. Sedangkan Abu Hanifah mengatakan, “Yaitu dua tahun enarn bulan.”

Imam Malik berpendapat, jika seorang bayi disapih kurang dari dua tahun, lalu ada wanita lain menyusuinya, maka yang demikian itu tidak menjadikan mahram, karena penyusuan itu berkedudukan sama dengan makanan. Hal ini diriwayatkan dari al-Auza’i. Dan diriwayatkan pula dari Umar bin Khaththab dan Ali bin Abi Thalib, keduanya mengatakan: “Tidak ada penyusuan setelah penyapihan.” Kemungkinan yang dimaksudkan oleh keduanya adalah setelah dua tahun. Hal itu sama seperti pendapat jumhur ulama, baik bagi anak yang disapih ataupun tidak. Dan mungkin yang dimaksud oleh Umar bin Khaththab dan Ali bin Abi Thalib radiallahu anhuma adalah pe-buatannya, seperti yang menjadi pendapat Imam Malik. Wallahu aalam

Dalam kitab Shahihain (al-Bukhari dan Muslim) juga telah diriwayatkan sebuah hadits, dari Aisyah radiallahu’anha, ia berpendapat bahwasanya penyusuan anak yang sudah besar berpengaruh dalam kemahraman. Yang demikian itu juga merupakan pendapat Atha’ bin Abi Ribah, al-Laits Dan Aisyah radiallahu’anha memerintahkan beberapa wanita untuk menyusui laki-laki. Dalam hal itu Aisyah berlandaskan pada hadits Salim, budak Abu Hudzaifah, di mana Rasulullah memerintahkan isteri Abu Hudzaifah untuk menyusui Salim, padahal ia sudah besar. Salim masuk rumah istri Abu Hudzaifah untuk menetek. Namun para istri Nabi menolak hal itu, dan mereka berpendapat bahwa hal itu termasuk pengecualian. Yang demikian itu merupakan pendapat jumhur ulama. Dan yang menjadi landasan jumhur ulama, yaitu empat imam madzhab, tujuh orang ahli fiqih, para sahabat utama dan seluruh istri Rasulullah kecuali Aisyah radiallahu anHaa, adalah hadits yang telah ditegaskan dalam kitab Shahihain, dari Aisyah radiallahu’anha, bahwa Rasulullah bersabda: “Perhatikanlah oleh kalian (kaum wanita) saudara-saudara kalian itu! Sesungguhnya penyusuan itu karena kelaparan (pada masa bayi).” (HR. Al-Bukhari dan Muslim).

Mengenai masalah penyusuan dan hal-hal yang berkenaan dengan penyusuan orang besar akan diuraikan lebih lanjut pada pembahasan surat an-Nisaa’ yang berbunyi: wa ummaHaatukumul latii ardla’nakum (“Dan ibu-ibu kalian yang menyusui kalian.”) (QS. An-Nisaa: 23)

Dan firman Allah: wa ‘alal mauluudi laHuu rizquHunna wa kiswatuHunna bilma’ruufi (“Dan ke-wajiban ayah memberi makan dan pakaian kepada Para ibu dengan cara yang ma’ruf.”) Maksudnya, seorang bapak berkewajiban memberikan nafkah dan pakaian kepada ibu bayi yang menyusui dengan cara yang ma’ruf, yaitu yang sesuai dengan kebiasaan yang berlaku bagi mereka di negeri mereka masing-masing dengan tidak berlebih-lebihan atau juga terlampau kurang, sesuai dengan kemampuan dan kemudahan yang dimiliki oleh bapak si bayi.

Sebagai-mana firman Allah swt. yang artinya: “Hendaklah orang yang mampu memberi nafkah menurut kemampuannya. Dan orang yang disempitkan rizkinya hendaklah memberi nafkah dari harta yang diberikan Allah kepadanya. Allah tidak memikulkan beban kepada seseorang melainkan sekedar apa yang telah Allah berikan kepadanya. Allah kelak akan memberikan kelapangan sesudah kesempitan.” (QS. Ath-Thalaaq: 7).

Adh-Dhahhak mengatakan: “Jika seseorang menceraikan isterinya, dan ia memperoleh anak dari isterinya tersebut, lalu mantan isterinya itu menyusui anaknya, maka sebagai bapak ia berkewajiban memberikan nafkah dan pakaian kepada mantan isterinya tersebut dengan cara yang ma’ruf.”

Dan firman-Nya lebih lanjut: laa tudlaarra waalidatum biwaladiHaa (“Janganlah seorang ibu menderita kesengsaraan karena anaknya.”) Yaitu si ibu memberikan anaknya kepada bapaknya dengan maksud untuk menyusahkan bapaknya dalam mengasuhnya. Tetapi si ibu tadi tidak boleh menyerahkan bayinya itu ketika baru melahirkannya hingga ia menyusuinya karena seringkali bayi yang tidak dapat bertahan hidup bila tidak menyusunya. Kemudian setelah masa penyusuan itu, ia boleh menyerahkan bayi tersebut, jika ia menghendaki. Tetapi jika hal itu menyusahkan bapaknya, maka ia tidak boleh menyerahkan bayi itu kepadanya, sebagaimana si bapak tidak boleh merebut bayi tersebut dari ibunya dengan tujuan untuk membuatnya sengsara. Oleh karena itu, Allah berfirman: wa laa mauluudul laHuu biwaladiHi (“Dan jangan pula seorang ayah [menderita ke-sengsaraan] karena anaknya.”) Yakni si bapak berkeinginan untuk merebut anaknya dari istrinya dengan tujuan untuk menyakitinya.

Demikianlah yang dikatakan oleh Mujahid, Qatadah, adh-Dahhak, az-Zuhri, as-Suddi, ats-Tsauri, serta Ibnu Zaid, dan yang lainnya.

Firman Allah Ta’ala berikutnya: wa ‘alal waaritsi mitslu dzaalika (“Dan waris pun berkewajiban demikian.”) Ada yang mengatakan, tidak boleh menimpakan mudlarat kepada kerabatnya. Demikian dikatakan oleh Mujahid, asy-Sya’bi dan adh-Dhahhak. Ada juga yang mengatakan, kepada ahli waris diwajibkan pula seperti yang diwajibkan kepada bapak anak itu. Yaitu memberi nafkah kepada ibu si bayi serta memenuhi semua hak-haknya serta tidak mencelakakannya. Demikan pendapat jumhur ulama. Yang demikian itu telah dibahas panjang lebar oleh Ibnu Jarir dalam tafsirnya. Ayat itu juga dijadikan dalil oleh para pengikut madzhab Hanafi dan Hambali yang mewajibkan pemberian nafkah kepada kaum kerabat, sebagian atas sebagian yang lain. Dan pendapat ini juga diriwayatkan, dari Umar bin Khaththab dan jumhur ulama salaf.

Dan disebutkan pula bahwa penyusuan setelah dua tahun mungkinkan membahayakan si anak, baik terhadap badan maupun otaknya.

Dan firman-Nya selanjutnya: fa in araadaaa fishaalan ‘an taraadlim minHumaa wa tasyaawurin falaa junaaha ‘alaiHimaa (“Apabila keduanya ingin meyapih [sebelum dua tahun] dengan kerelaan keduanya dan permusyawaratan, maka tidak ada dosa bagi keduanya.”) Maksudnya, jika kedua orang tua itu, baik bapak maupun ibu telah sepakat untuk menyapihnya sebelum masa dua tahun dan keduanya melihat adanya kebaikan dalam hal itu bagi si bayi lalu keduanya bermusyawarah dan mengambil kesepakatan, maka tidak ada dosa bagi keduanya. Tetapi keputusan itu tidak cukup jika hanya berasal salah satu pihak saja (bapak ataupun ibu), dan salah satu pihak tidak boleh memaksakan hal itu tanpa adanya musyawarah dengan pihak lainnya. Demikian dikatakan oleh ats-Tsauri dan ulama lainnya.

Hal ini merupakan tindakan kehati-hatian terhadap anak dan keharusan memperhatikan masalah anak. Anak merupakan rahmat dari Allah bagi hamba-hamba-Nya, di mana Dia mengingatkan kedua orang tua untuk senantiasa memperhatikan pemeliharaan anak-anak mereka serta membimbing keduanya kepada kebaikan mereka berdua dan juga anak-anaknya. Sebagaimana yang difirmankan Allah Ta’ala dalam surat ath-Thalaq berikut ini yang artinya: “Dan jika nereka menyusui (anak-anakmu untukmu, maka berikanlah kepada mereka upahnya; dan musyawarahkanlah di antara kamu (segala sesuatu), dengan baik.Dan jika kamu menemui kesulitan, maka perempuan lain boleh menyusukan (anak itu) untuknya.” (QS. Ath-Thalaaq: 6).

Dan firman-Nya: wa in aradtum an tastardli-‘uu aulaadakum falaa junaaha ‘alaikum idzaa sallamtum maa aataitum bil ma’ruuf (“Dan jika kamu ingin anakmu disusukan oleh orang lain, maka tidak ada dosa bagimu jika kamu memberikan pembayaran menurut apa yang patut.”) Maksudnya bapak dan ibu si bayi itu telah sepakat untuk menyusukan anaknya kepada orang lain karena suatu alasan, baik dari pihak si bapak maupun si ibu, maka tidak ada dosa bagi keduanya atas penyerahan bayi mereka. Dan bukan suatu kewajiban bagi pihak bapak untuk memenuhi permintan penyerahan itu (untuk disusui wanita lain) apabila ia telah menyerahkan upahnya yang terdahulu dengan cara yang paling baik, lalu si bayi disusukan wanita dengan upah tersebut dengan cara yang ma’ruf. Demikian yang dikatakan oleh banyak ulama.

Dan firman Allah: wattaqullaaHa (“Bertakwalah kepada Allah,”) dalam segala hal dan keadaan kalian. Wa’lamuu annallaaHa bimaa ta’maluuna bashiir (“Dan ketahuilah bahwa Allah Mahamelihat apa yang kamu kerjakan.”) Artinya, tidak ada sesuatupun yang tersembunyi dari-Nya, baik yang berupa keadaan maupun ucapan kalian.



C.      Surat Al-Qashas ayat 26-27

قَالَتْ اِحْدٰىهُمَا يٰٓاَبَتِ اسْتَأْجِرْهُ ۖاِنَّ خَيْرَ مَنِ اسْتَأْجَرْتَ الْقَوِيُّ الْاَمِيْنُ

قَالَ اِنِّيْٓ اُرِيْدُ اَنْ اُنْكِحَكَ اِحْدَى ابْنَتَيَّ هٰتَيْنِ عَلٰٓى اَنْ تَأْجُرَنِيْ ثَمٰنِيَ حِجَجٍۚ فَاِنْ اَتْمَمْتَ عَشْرًا فَمِنْ عِنْدِكَۚ وَمَآ اُرِيْدُ اَنْ اَشُقَّ عَلَيْكَۗ سَتَجِدُنِيْٓ اِنْ شَاۤءَ اللّٰهُ مِنَ الصّٰلِحِيْنَ

26. “Salah seorang dari kedua wanita itu berkata: “Ya bapakku ambillah ia sebagai orang yang bekerja (pada kita), Karena Sesungguhnya orang yang paling baik yang kamu ambil untuk bekerja (pada kita) ialah orang yang Kuat lagi dapat dipercaya”.

27. Berkatalah dia (Syu’aib): “Sesungguhnya aku bermaksud menikahkan kamu dengan salah seorang dari kedua anakku ini, atas dasar bahwa kamu bekerja denganku delapan tahun dan jika kamu cukupkan sepuluh tahun maka itu adalah (suatu kebaikan) dari kamu, maka aku tidak hendak memberati kamu. Dan kamu Insya Allah akan mendapatiku termasuk orang-orang yang baik”.

 

Mufrodat

قَالَتْ       ( berkata )

أِحْدَىهُمَا  ( salah seseorang dari keduanya )

يَأَبَتَ        ( wahai ayahku )

اسْتَجِرْهُ   ( ambillah upahan dia “sebagai buruh” )

أِنَّ            ( sesungguhnya )

خَيْرَ         ( lebih baik )

مَنِ           ( orang )

اسْتَجَرْتَ ( engkau ambil upahan “sebagai buruh” )

الْقَوِىُّ      ( yang kuat )

الْأَمِيْنٌ      ( dapat dipercaya )

 

قَالَ          ( “syu’aib” berkata )

أِنِّ            ( sesungguhnya aku )

أُرِيْدُ          ( aku bermaksud )

أَنَ            ( untuk )

أنِكحَكَ    ( aku menikahkan kamu )

اِحْدَى      ( salah seorang )

ابْنَتَىَّ         ( kedua anak perempuan ku )

هَتَيْنِ        ( ini )

عَلَى          ( atas )

أَن            ( bahwa )

تَأْجُرَنِى     ( kamu mengambil upah/bekerja padaku )

ثَمَنِى         ( delapan )

حِجَجٍ       ( tahun )

فَأِنْ          ( maka jika )

أَتْمَمْتَ     ( kamu sempurnakan )

عَشْرًا        ( sepuluh )

فَمِنْ         ( maka itu dari )

عِنْدِكَ       ( sisimu/kemauanmu )

وَمَا           ( dan aku tidak )

أُرِيْدُ          ( bermaksud )

أَنَ            ( bahwa )

اَشُقَّ         ( aku memberatkan )

 

عَلَيْكَ       ( atasmu )

سَتَجِدُنِى   ( kamu akan mendapatiku )

أِن            ( jika )

شِاءَ          ( menghendaki )

اللّهُ           ( ALLAH )

مِنَ           ( dari/termasuk)

الصَلِحِيْنَ ( orang-orang yang soleh/baik )

Munasabah

Pada ayat-ayat yang lalu, Allah menerangkan bahwa Musa telah dibunuh seorang penduduk asli Mesir, kaum Fir'aun, karena mereka ingin menolong seorang Bani Israil. Berita mengenai pembunuhan yang pernah dilakukannya itu tersiar luas ke pelosok negeri Mesir dan akhirnya sampai ke telinga Fir'aun. Oleh karena itu, Fir’aun bermusyawarah dengan para pembesarnya, apakah tindakan yang akan diambil terhadap Musa karena perbuatannya itu. Semua yang hadir mengusulkan supaya Musa dibunuh saja dan usul itu diterima oleh Fir’aun dan akan dilaksanakan secepat mungkin. 

Kebetulan  di antara yang hadir dalam pertemuan itu ada seseorang yang beriman dan bersimpati kepada Musa. Pada ayat-ayat berikut ini, Allah menerangkan bahwa orang yang mengetahui rencana pembunuhan Musa itu menyampaikan kesepakatan itu kepada Musa dan menasihatinya agar segera meninggalkan Mesir. Oleh sebab itu, berangkatlah Musa meninggalkan Mesir menuju ke Negeri Madyan yang terletak di sebelah Timur Mesir. 

قَالَ اِنِّيْٓ اُرِيْدُ اَنْ اُنْكِحَكَ اِحْدَى ابْنَتَيَّ هٰتَيْنِ عَلٰٓى اَنْ تَأْجُرَنِيْ ثَمٰنِيَ حِجَجٍۚ فَاِنْ اَتْمَمْتَ عَشْرًا فَمِنْ عِنْدِكَۚ وَمَآ اُرِيْدُ اَنْ اَشُقَّ عَلَيْكَۗ سَتَجِدُنِيْٓ اِنْ شَاۤءَ اللّٰهُ مِنَ الصّٰلِحِيْنَ

Tafsir Ayat

(26) Rupanya orang tua itu tidak mempunyai anak laki-laki dan tidak pula mempunyai pembantu. Oleh sebab itu, yang mengurus semua urusan keluarga itu hanya kedua putrinya saja, sampai keduanya terpaksa menggembala kambing mereka, disamping mengurus rumah tangga. Terpikir oleh salah seorang putri untuk meminta tolong kepada Musa yang tampaknya amat baik sikap dan budi pekertinya dan kuat tenaganya menjadi pembantu dirumah ini. Putri itu mengusulkan kepada bapaknya agar mengangkat Musa menjadi pembantu mereka untuk menggembala kambing, mengambil air, dan sebagainya karena dia seorang yang jujur,dapat dipercaya, dan kuat tenaganya. Usul itu berkenan dihati bapaknya, bahwa bukan hanya mengangkatnya sebagai pembantu, malah ia hendak mengawinkan salah satu putrinya dengan Musa. 

(27) Dengan segera orang tua itu mengajak Musa berbincang. Dengan terus terang dia mengatakan keinginannya untuk mengawinkan Musa dengan salah seorang putrinya. Sebagai mahar perkawinan ini, Musa harus bekerja menggembalakan kambing selama delapan tahun, kalau Musa menyanggupi bekerja sepuluh tahun maka itu lebih baik. Ini adalah tawaran yang amat simpatik dan meletakkan hati Musa, sebagai seorang pelarian yang ingin menghindarkan diri dari maut, seorang yang belum yakin akan masa depannya.

 

D.    Surat Ath-Thalaaq ayat 6

قَالَتْ اِحْدٰىهُمَا يٰٓاَبَتِ اسْتَأْجِرْهُ ۖاِنَّ خَيْرَ مَنِ اسْتَأْجَرْتَ الْقَوِيُّ الْاَمِيْنُأَسْكِنُوهُنَّ مِنْ حَيْثُ سَكَنتُم مِّن وُجْدِكُمْ وَلَا تُضَآرُّوهُنَّ لِتُضَيِّقُوا۟ عَلَيْهِنَّ ۚ وَإِن كُنَّ أُو۟لَٰتِ حَمْلٍ فَأَنفِقُوا۟ عَلَيْهِنَّ حَتَّىٰ يَضَعْنَ حَمْلَهُنَّ ۚ فَإِنْ أَرْضَعْنَ لَكُمْ فَـَٔاتُوهُنَّ أُجُورَهُنَّ ۖ وَأْتَمِرُوا۟ بَيْنَكُم بِمَعْرُوفٍ ۖ وَإِن تَعَاسَرْتُمْ فَسَتُرْضِعُ لَهُۥٓ أُخْرَىٰ

Tempatkanlah mereka (para istri) dimana kamu bertempat tinggal menurut kemampuanmu dan janganlah kamu menyusahkan mereka untuk menyempitkan (hati) mereka. Dan jika mereka (para istri-istri yang sudah ditalak) itu sedang hamil, maka berikanlah kepada mereka nafkahnya hingga mereka bersalin, kemudian jika mereka menyusukan (Anak-anak) mu untukmu, maka berikanlah mereka upahnya; dan musyawarahkanlah di antara kamu (segala sesuatu) dengan baik; dan jika kamu menemui kesulitan, maka perempuan yang lain boleh menyusukan anak itu untuknya. (QS. Ath-Thalaaq: 6)

 

Mufrodat

 

أَسْكِنُوهُنَّ ( tempatkanlah mereka )

مِنْ         ( dari )

حَيْسُ      ( mana )

سَكَنْتُمْ     ( kamu bertempat tinggal )

مّن         ( dari )

وُجْدِكُمْ    ( yang kamu dapati/menurut kemampuan )

وَلَا        ( dan jangan )

تُضَارُّوهُنَّ ( kamu menyusahkan mereka )

لِتُضَايِّقوا ( untuk kamu menyempitkan )

عَلَيْهِنَّ     ( atas mereka )

وَأِن        ( dan jika )

كُنَّ         ( mereka )

أُولَتِ      ( mempunyai )

حَمْلٍ      ( kandungan )

فَأَنفِقُوا     ( maka berilah nafkah )

عَلَيْهِنَّ     ( atas mereka )

حَتَّى       ( sehingga )

يَضَعْنَ    ( mereka melahirkan )

حَمْلَهُنَّ    ( kandungan mereka )

فَأِنْ        ( maka jika )

أَرْضَعْنَ  ( mereka menyusukan )

لَكُمْ         ( bagi kalian )

فاتُهُنَّ      ( maka berilah mereka )

اُجُورَهُنَّ  ( upah mereka )

وَأْتُمِرُوا   ( dan musyawarahkanlah )

بَيْنَكُمْ      ( diantara kamu )

بِمَعْرُوفٍ ( dengan baik )

وَاِنَّ        ( dan jika )

تَعَاسَرْتُمْ  ( kamu menemui kesulitan )

فَسَتُرْضِعُ ( maka akan menyusahkan )

 

Munsabah

Ayat ini bila dikaji dari sisi munasabah ayat, maka ayat tersebut memuat aturan yang terkait dengan konsekuensi hubungan perceraian antara suami isteri. Ketika anak masih menyusui dan masih membutuhkan pengasuhan ibu, maka ibu (mantan isteri) berhak atas ujrahnya. 

 

Tafsir

(Tempatkanlah mereka) yakni istri-istri yang ditalak itu (pada tempat kalian tinggal) pada sebagian tempat-tempat tinggal kalian (menurut kemampuan kalian) sesuai dengan kemampuan kalian, lafal ayat ini menjadi athaf bayan atau badal dari lafal yang sebelumnya dengan mengulangi penyebutan huruf jarr-nya/kata depan dan memperkirakan adanya mudhaf. Yakni pada tempat-tempat tinggal yang kalian mampui, bukannya pada tempat-tempat tinggal yang di bawah itu (dan janganlah kalian menyusahkan mereka untuk menyempitkan hati mereka) dengan memberikan kepada mereka tempat-tempat tinggal yang tidak layak, sehingga mereka terpaksa butuh untuk keluar atau membutuhkan nafkah, lalu karena itu maka mereka mengeluarkan biaya sendiri. (Dan jika mereka itu sedang hamil, maka berikanlah kepada mereka nafkahnya hingga mereka bersalin, kemudian jika mereka menyusukan bayi kalian) maksudnya menyusukan anak-anak kalian hasil hubungan dengan mereka (maka berikanlah kepada mereka upahnya) sebagai upah menyusukan (dan bermusyawarahlah di antara kalian) antara kalian dan mereka (dengan baik) dengan cara yang baik menyangkut hak anak-anak kalian, yaitu melalui permusyawaratan sehingga tercapailah kesepakatan mengenai upah menyusukan (dan jika kalian menemui kesulitan) artinya kalian enggan untuk menyusukannya; yaitu dari pihak ayah menyangkut masalah upah, sedangkan dari pihak ibu, siapakah yang akan menyusukannya (maka boleh menyusukan bayinya) maksudnya menyusukan si anak itu semata-mata demi ayahnya (wanita yang lain) dan ibu si anak itu tidak boleh dipaksa untuk menyusukannya.



BAB III

PENUTUPAN

 

Kesimpulan

Dalam fiqh Islam disebut sewa menyewa disebut ijarah.  Al-ijarah menurut bahasa berarti “al-ajru” yang berarti al-iwadu (ganti) oleh sebab itu as-sawab (pahala) dinamai ajru (upah). Menurut istilah, al-ijarah ialah menyerahkan (memberikan) manfaat benda kepada orang lain dengan suatu ganti pembayaran. Sehingga sewa menyewa atau ijarah bermakna akad pemindahan hak guna/manfaat atas suatu barang/jasa, dalam waktu tertentu dengan pembayaran upah sewa (ujrah), tanpa diikuti pemindahan kepemilikan atas barang itu sendiri

Sewa menyewa menurut ayat-ayat tersebut adalah merupakan kegiatan ekonomi dan bisnis yang bertujuan saling memenuhi kebutuhan dalam menunjang kehidupan dan pengabdian kepada Allah, karena itu harus ditegakkan di atas dasar hukum, asas etika ekonomi dan bisnis yang telah dijelaskan oleh Al-quran dan tidak memuat unsur riba. 

DAFTAR PUSTAKA

Buku:

Mahali, Mundjab. 2017. Asbabun Nuzul Studi Pemahaman Al-Quran. Yogyakarta

 

Syaikh, Abdullah bin Muhammad Alur. 2008. Tafsir Ibnu Katsir Jilid 10.Jakarta: Pustaka Imam Asy-Syafi’i.

 az-Zuhaili, Wahbah. 2016.At-Tafsir Al-Wasith. Depok: Gema Insani. 

Syaikh, Abdullah bin Muhammad Alur. 2008.Tafsir Ibnu Katsir Jilid 10. Jakarta: Pustaka Imam Asy-Syafi’i.

Ghofar, M. Abdul. 2004. Tafsir Ibnu Katsir Jilid 8. Bogor: Pustaka Imam Asy-Syafi’i.

Kemenag RI. 2010. Al Qurānul Karīm wa tafsīr. Jakarta: Kementerian Agama RI. 

Ghoffar, M Abdul. 2004. Tafsir Ibnu Katsir-Jilid 1. Bogor:Pustaka Imam Syafii

 

Internet:

  https://risalahmuslim.id/quran/al-baqarah2-233/(diakses pada 16 Februari 2020, pukul 11:54) 

https://tafsirweb.com/7077-quran-surat-al-qashash-ayat-27.html(Diakses tgl 23 Februari 2020, pukul 19.23) 

https://risalahmuslim.id/quran/ath-thalaaq/65-6/, diakses pada 17 februari 2020, pukul 17:58

 

https://tafsirq.com/65-at-talaq/ayat-6, diakses pada 18 februari 2020, pukul 15:01

MAKALAH HADIST TENTANG HIJAB

  A.   Latar Belakang Telah disepakati oleh seluruh umat Islam bahwa al-Qur’an menjadi pedoman hidup baik tentang syariah maupun dalam keh...