BAB 1
PENDAHULUAN
B. Latar
Belakang
Al-Qur`an adalah sumber dari segala sumber
ajaran Islam. Kitab suci menempati posisi sentral bukan saja dalam perkembangan
dan pengembangan ilmu-ilmu ke Islaman tetapi juga merupakan inspirator dan
pemandu gerakan-gerakan umat Islam sepanjang empat belas abad lebih sejarah
pergerakan umat ini.Al-Qur`an ibarat lautan yang amat luas, dalam dan tidak
bertepi, penuh dengan keajaiban dan keunikan tidak akan pernah sirna dan lekang
di telan masa dan waktu. Maka untuk mengetahui dan memahami betapa dalam isi
kandungan al-Qur`an diperlukan tafsir.
Dalam makalah ini, akan dipaparkan mengenai
ayat-ayat yang membahas mengenai penjualan jasa
C. Rumusan
Masalah
- Bagaimana hukum penjualan jasa?
- Bagaimana penjelasan dalil
dalam Alquran tentang penjualan jasa?
- Bagaimana tafsiran ayat Alquran
tentang penjualan jasa?
- Bagaimana Nuzulul quran/
munasabah antara Ayat tersebut?
C. Tujuan
- Mengetahui hukum penjualan jasa
- Mengetahui dalil dalam Al-Quran
tentang penjualan jasa
- Mengetahui tafsiran ayat
Al-Quran tentang penjualan jasa
- Mengetahui Nuzulul
quran/munasabah ayat tersebut
BAB II
PEMBAHASAN
A.
Surat Al-Zukhruf ayat
ayat 32
اَهُمْ
يَقْسِمُوْنَ رَحْمَتَ رَبِّكَۗ نَحْنُ قَسَمْنَا بَيْنَهُمْ مَّعِيْشَتَهُمْ فِى
الْحَيٰوةِ الدُّنْيَاۙ وَرَفَعْنَا بَعْضَهُمْ فَوْقَ بَعْضٍ دَرَجٰتٍ
لِّيَتَّخِذَ بَعْضُهُمْ بَعْضًا سُخْرِيًّا ۗوَرَحْمَتُ رَبِّكَ خَيْرٌ مِّمَّا
يَجْمَعُوْنَ
“Apakah mereka yang membagi-bagi rahmat Rabb-mu? Kami telah
menentukan antara mereka penghidupan mereka dalam penghidupan dunia, dan Kami
telah meninggikan mereka atas sebagian yang lain beberapa derajat, agar sebagian
mereka dapat mempergunakan sebagian yang lain. Dan rahmat Rabb-mu lebih baik
dari apa yang mereka kumpulkan.” (Q.S Al-Zukhruf:32)
Mufrodat
أَهُمْ ( mengapa mereka )
يَقْسِمُوْنَ ( mereka membagi-bagi )
رَحْمَتَ ( rahmat )
رَبِّكَ ( tuhanmu )
نَحْنُ ( kami )
قَسَمْنَا ( kami membagi-bagi )
بَيْنَهُمْ ( diantara mereka )
مّعِيْشَتَهُمْ ( penghidupan mereka )
فِى ( dalam )
الْحَيَوَةِ ( kehidupan )
الدُّنْيَا ( dunia )
وَرَفَعْنَا ( dan kami tinggikan )
بَعْضَهُمْ ( sebagian mereka )
فَوْقَ ( diatas )
بَعْضٍ ( sebagian )
دَرَزَتٍ ( derajat )
لّيَتَّخِذَ ( agar mengambil )
بَعْضُهُمْ ( sebagian mereka )
بَعْضًا ( sebagian )
سُحْرِيًّا ( pekerjaan )
وَرَحْمَتُ ( dan rahmat )
رَبِّكَ ( tuhanmu )
خَيْرٌ ( lebih baik )
مّمَّا ( dari apa )
يَجْمَعُونَ ( mereka kumpulkan )
Asbabun Nuzul
Pada suatu waktu Walid bin Maghirah berkata:
“Sekiranya apa yang dikatakan Muhammad itu benar (bahwa Al-Quran dai Allah),
pasti Al-Quran itu diturunkan kepadaku atau kepada Mas'ud Atas Tsaqafi”. Maka
turunlah ayat 31-32 sebagai ketegasan bahwa Allah-lah yang berhak mengutus
nabi-Nya sesuai dengan kekuasaan-Nya.
(HR. Ibnu mundzir dari Qatadah)
Tafsir Ayat:
Allah Tabaaraka wa Ta'ala berfirman
menolak pertentangan mereka ini: “Apakah mereka yang membagi-bagi rahmat Rabb-mu?”
Yaitu, perkaranya bukanlah dikembalikan kepada mereka, tetapi kepada Allah
SWT. Dan Allah lebih mengetahui kepada siapa Dia dijadikan risalah-Nya, karena
Dia tidak menurunkannya kecuali kepada makhluk-Nya yang hati dan jiwanya paling
bersih, serta keluarganya paling terhormat dan asal-usulnya paling suci.
Kemudian, Allah SWT berfirman memberikan penjelasan bahwa Dia memberikan
tingkatan kepada makhluk-Nya tentang harta, akal dan pemahaman yang diberikan
kepada mereka serta diberikan kekuatan, lahir, dan bathin. Maka dia berfirman: “Kami
telah menentukan antara mereka penghidupan mereka dalam kehidupan dunia.”
Firman Allah Yang Maha Agung Kebesaran-Nya: “Agar
sebagian dari mereka dapat mempergunakan sebagian yang lain.” Satu pendapat
mengatakan bahwa maknanya adalah agar sebagian dari mereka mempergunakan
sebagian yang lain dalam berbagai amal, karena sebagian membutuhkan sebagian
yang lain. Itulah yang dikatakan oleh as-Suddi dan lain-lain. Sedangkan Qatadah
dan adh-adh-Dhahhak berkata: “Agar sebagian mereka memiliki sebagian yang
lain.” Dan makna ini kembali kepada yang pertama.
Kemudian Allah SWT berfirman: “Dan rahmat
Rabb-mu lebih baik dari apa yang mereka kumpulkan.” Yaitu, rahmat Allah
kepada para makhluk-Nya lebih baik dari mereka daripada apa yang mereka miliki
berupa harta benda dan kesenangan kehidupan dunia. Kemudian, Allah berfirman: Dan
sekiranya karena bukan hendak menghindari manusia menjadi umat yang satu.” Yaitu,
sekiranya bukan karena kebanyakan manusia yang bodoh berkeyakinan bahwa harta
yang Kami berikan merupakan bukti kecintaan Kami kepada orang yang Kami beri
itu, lalu mereka bersatu dalam kekufuran karena harta. Inilah makna perkataan
Ibnu ‘Abbas, al-Hasan, Qatadah, as-Suddi, dan lain-lain.
B. Surat
Al-Baqarah ayat 233
وَالْوَالِدٰتُ
يُرْضِعْنَ اَوْلَادَهُنَّ حَوْلَيْنِ كَامِلَيْنِ لِمَنْ اَرَادَ اَنْ يُّتِمَّ
الرَّضَاعَةَ ۗ وَعَلَى الْمَوْلُوْدِ لَهٗ رِزْقُهُنَّ وَكِسْوَتُهُنَّ
بِالْمَعْرُوْفِۗ لَا تُكَلَّفُ نَفْسٌ اِلَّا وُسْعَهَا ۚ لَا تُضَاۤرَّ
وَالِدَةٌ ۢبِوَلَدِهَا وَلَا مَوْلُوْدٌ لَّهٗ بِوَلَدِهٖ وَعَلَى الْوَارِثِ
مِثْلُ ذٰلِكَ ۚ فَاِنْ اَرَادَا فِصَالًا عَنْ تَرَاضٍ مِّنْهُمَا وَتَشَاوُرٍ
فَلَا جُنَاحَ عَلَيْهِمَا ۗوَاِنْ اَرَدْتُّمْ اَنْ تَسْتَرْضِعُوْٓا
اَوْلَادَكُمْ فَلَا جُنَاحَ عَلَيْكُمْ اِذَا سَلَّمْتُمْ مَّآ اٰتَيْتُمْ
بِالْمَعْرُوْفِۗ وَاتَّقُوا اللّٰهَ وَاعْلَمُوْٓا اَنَّ اللّٰهَ بِمَا
تَعْمَلُوْنَ بَصِيْرٌ
“Para ibu bendaklah menyusukan anak-anaknya selama dua tahun
penuh, yaitu bagi yang ingin menyempurnakan penyusuannya. Dan kewajiban ayah
memberi makan dan pakaian kepada para ibu dengan cara yang ma’ruf. Seseorang
tidak dibebani melainkan menurut kadar kesanggupannya. Janganlah
seorang ibu menderita kesengsaraan karena anaknya dan juga seorang ayah karena
anaknya, dan warispun berkewajiban demikian. Apabila keduanya ingin menyapih
(sebelum dua tabun) dengan kerelaan keduanya dan permusyawaratan, maka tidak
ada dosa atas keduanya. Dan jika kamu ingin anakmu disusukan oleh orang lain,
maka tidak ada dosa bagimu bila kamu memberikan pembayaran menurut yang patut.
Bertakwalah kamu kepada Allah dan ketahuilah bahwa Allah Maha melihat apa yang
kamu kerjakan.” (QS. Al-Baqarah: 233)
Tafsir Mufrodat
وَالْوِدَتُ ( dan para ibu )
يُرْضِعْنَ (
hendaklah menyusui )
أَوْلَدَهُمْ
( anak anak mereka )
حَوْلَىْنِ
( dua tahun )
كَامِلَيْنِ
( sempurna/penuh )
لِمَنْ
( bagi orang )
أَرَادَ
( ingin )
أَنَ (
untuk )
يُتِمَّ (
menyempurnakan )
الرَّضَاعَةَ (
penyusuan “nya” )
وَعَلَى ( dan
atas )
المَوْلُودِ ( anak
yang dilahirkan )
لَهُ (
baginya “ayah” )
رِزْقُهُمْ (
memberi rizki/makan mereka )
وَكِسْوَتُهُمُنَّ(
dan pakaian mereka )
بِالْمَعْرُوْفِ(
dengan cara yang baik )
لَا (
tidak )
تُكَلَّفُ (
dibebani )
نَفْسٌ (
seseorang )
أِلَّا (mmelainkan
)
وُسْعَهَا (
kesanggupannya )
لَا (
jangan )
تُضَآرَّ (
menderita/sengsara )
وَلِدَةٌ (
seseorang ibu )
بِوَلَدِهَا (
dengan/karena )
وَلَا (
dan tidak )
مَوْلُوْدٌ ( anak
yang dilahirkan )
لَّهُ (
baginya “ayah” )
بِوَلَدِهِ (
dengan/karena anaknya )
وَعَلَى ( dan
atas )
Munasabah
Dalam ayat-ayat yang lalu telah diterangkan hukum-hukum yang
berhubungan dengan talak, maka dalam ayat ini diterangkan pula hukum-hukum
Allah yang berhubungan dengan penyusuan anak dan cara yang harus ditempuh oleh
kedua ibu bapak dalam pemeliharaan bayi mereka.
Tafsir ayat
Ini adalah bimbingan
dari Allah Ta’ala bagi para ibu supaya mereka menyusui anak-anaknya dengan
sempuma, yaitu dua tahun penuh. Dan setelah itu tidak ada lagi penyusuan. Oleh
karena itu, Allah Ta’ala berfirman: liman araada ay yutimmar radlaa-‘ata
(“Yaitu bagi yang ingin menyempurnakan penyusuan.”) Kebanyakan para imam
berpendapat bahwa tidak diharamkan penyusuan yang kurang dari dua tahun. Jadi,
apabila ada bayi yang berusia lebih dari dua tahun masih menyusui, maka yang
demikian itu tidak diharamkan.
Hal itu diperkuat dengan
apa yang diriwayatkan ad-Daruquthni, dari Ibnu Abbas, Rasulullah saw. bersabda:
“Tidak menjadikan mahram karena penyusuan, kecuali yang dilakukan kurang dari
dua tahun.”
Kemudian ad-Daruquthni
mengatakan: “Hadits tersebut tidak disandarkan pada Ibnu Uyainah kecuali oleh
al-Haitsam bin Jamil, dan ia adalah seorang yang dapat dipercaya dan seorang
hafizh.”
Berkenaan dengan hal
ini, penulis (Ibnu Katsir) katakan: “Hadits ini terdapat dalam kitab
al-Muwattha’, Imam Malik meriwayatkan dari Tsaur bin Yazid, dari Ibnu Abbas,
secara marfu’. Juga diriwayatkan oleh ad-Darawardi dari Tsaur, dari Ikrimah,
dari Ibnu Abbas, dan ia menambahkan: “Dan penyusuan setelah dua tahun itu tidak
mempunyai pengaruh apa pun.”
Makna yang terkandung
dalam hadits ini menjadi lebih sempurna dengan adanya firman Allah yang
artinya: “Dan menyapihnya dalam dua tahun. Bersyukurlah kepada-Ku. “(QS.
Luqman: 14). Dia juga berfirman yang artinya: “Mengandungnya sampai menyapihnya
adalah tiga puluh bulan.” (QS. Al-Ahqaaf: 15).
Pendapat yang menyatakan
bahwa penyusuan setelah dua tahun tidak menjadikan mahram diriwayatkan dari Ali
bin Abi Thalib, Ibnu Abbas, Ibnu Masud, Jabir, Abu Hurairah, Ibnu Umar, Ummu
Salamah, Sa’id Musayyab, Atha’ dan jumhur ulama. Ini juga merupakan pendapat
Imam Syafi’i, Imam Ahmad, Ishaq, ats-Tsauri, Abu Yusuf, Muhammad, dan Malik.
Sedangkan Abu Hanifah mengatakan, “Yaitu dua tahun enarn bulan.”
Imam Malik berpendapat,
jika seorang bayi disapih kurang dari dua tahun, lalu ada wanita lain
menyusuinya, maka yang demikian itu tidak menjadikan mahram, karena penyusuan
itu berkedudukan sama dengan makanan. Hal ini diriwayatkan dari al-Auza’i. Dan
diriwayatkan pula dari Umar bin Khaththab dan Ali bin Abi Thalib, keduanya
mengatakan: “Tidak ada penyusuan setelah penyapihan.” Kemungkinan yang
dimaksudkan oleh keduanya adalah setelah dua tahun. Hal itu sama seperti
pendapat jumhur ulama, baik bagi anak yang disapih ataupun tidak. Dan mungkin
yang dimaksud oleh Umar bin Khaththab dan Ali bin Abi Thalib radiallahu anhuma
adalah pe-buatannya, seperti yang menjadi pendapat Imam Malik. Wallahu aalam
Dalam kitab Shahihain
(al-Bukhari dan Muslim) juga telah diriwayatkan sebuah hadits, dari Aisyah
radiallahu’anha, ia berpendapat bahwasanya penyusuan anak yang sudah besar
berpengaruh dalam kemahraman. Yang demikian itu juga merupakan pendapat Atha’
bin Abi Ribah, al-Laits Dan Aisyah radiallahu’anha memerintahkan beberapa
wanita untuk menyusui laki-laki. Dalam hal itu Aisyah berlandaskan pada hadits
Salim, budak Abu Hudzaifah, di mana Rasulullah memerintahkan isteri Abu
Hudzaifah untuk menyusui Salim, padahal ia sudah besar. Salim masuk rumah istri
Abu Hudzaifah untuk menetek. Namun para istri Nabi menolak hal itu, dan mereka
berpendapat bahwa hal itu termasuk pengecualian. Yang demikian itu merupakan
pendapat jumhur ulama. Dan yang menjadi landasan jumhur ulama, yaitu empat imam
madzhab, tujuh orang ahli fiqih, para sahabat utama dan seluruh istri
Rasulullah kecuali Aisyah radiallahu anHaa, adalah hadits yang telah ditegaskan
dalam kitab Shahihain, dari Aisyah radiallahu’anha, bahwa Rasulullah bersabda:
“Perhatikanlah oleh kalian (kaum wanita) saudara-saudara kalian itu!
Sesungguhnya penyusuan itu karena kelaparan (pada masa bayi).” (HR. Al-Bukhari
dan Muslim).
Mengenai masalah
penyusuan dan hal-hal yang berkenaan dengan penyusuan orang besar akan
diuraikan lebih lanjut pada pembahasan surat an-Nisaa’ yang berbunyi: wa
ummaHaatukumul latii ardla’nakum (“Dan ibu-ibu kalian yang menyusui kalian.”)
(QS. An-Nisaa: 23)
Dan firman Allah: wa
‘alal mauluudi laHuu rizquHunna wa kiswatuHunna bilma’ruufi (“Dan ke-wajiban
ayah memberi makan dan pakaian kepada Para ibu dengan cara yang ma’ruf.”)
Maksudnya, seorang bapak berkewajiban memberikan nafkah dan pakaian kepada ibu
bayi yang menyusui dengan cara yang ma’ruf, yaitu yang sesuai dengan kebiasaan
yang berlaku bagi mereka di negeri mereka masing-masing dengan tidak
berlebih-lebihan atau juga terlampau kurang, sesuai dengan kemampuan dan
kemudahan yang dimiliki oleh bapak si bayi.
Sebagai-mana firman
Allah swt. yang artinya: “Hendaklah orang yang mampu memberi nafkah menurut
kemampuannya. Dan orang yang disempitkan rizkinya hendaklah memberi nafkah dari
harta yang diberikan Allah kepadanya. Allah tidak memikulkan beban kepada
seseorang melainkan sekedar apa yang telah Allah berikan kepadanya. Allah kelak
akan memberikan kelapangan sesudah kesempitan.” (QS. Ath-Thalaaq: 7).
Adh-Dhahhak mengatakan:
“Jika seseorang menceraikan isterinya, dan ia memperoleh anak dari isterinya tersebut,
lalu mantan isterinya itu menyusui anaknya, maka sebagai bapak ia berkewajiban
memberikan nafkah dan pakaian kepada mantan isterinya tersebut dengan cara yang
ma’ruf.”
Dan firman-Nya lebih
lanjut: laa tudlaarra waalidatum biwaladiHaa (“Janganlah seorang ibu menderita
kesengsaraan karena anaknya.”) Yaitu si ibu memberikan anaknya kepada bapaknya
dengan maksud untuk menyusahkan bapaknya dalam mengasuhnya. Tetapi si ibu tadi
tidak boleh menyerahkan bayinya itu ketika baru melahirkannya hingga ia menyusuinya
karena seringkali bayi yang tidak dapat bertahan hidup bila tidak menyusunya.
Kemudian setelah masa penyusuan itu, ia boleh menyerahkan bayi tersebut, jika
ia menghendaki. Tetapi jika hal itu menyusahkan bapaknya, maka ia tidak boleh
menyerahkan bayi itu kepadanya, sebagaimana si bapak tidak boleh merebut bayi
tersebut dari ibunya dengan tujuan untuk membuatnya sengsara. Oleh karena itu,
Allah berfirman: wa laa mauluudul laHuu biwaladiHi (“Dan jangan pula seorang
ayah [menderita ke-sengsaraan] karena anaknya.”) Yakni si bapak berkeinginan
untuk merebut anaknya dari istrinya dengan tujuan untuk menyakitinya.
Demikianlah yang
dikatakan oleh Mujahid, Qatadah, adh-Dahhak, az-Zuhri, as-Suddi, ats-Tsauri,
serta Ibnu Zaid, dan yang lainnya.
Firman Allah Ta’ala
berikutnya: wa ‘alal waaritsi mitslu dzaalika (“Dan waris pun berkewajiban
demikian.”) Ada yang mengatakan, tidak boleh menimpakan mudlarat kepada
kerabatnya. Demikian dikatakan oleh Mujahid, asy-Sya’bi dan adh-Dhahhak. Ada
juga yang mengatakan, kepada ahli waris diwajibkan pula seperti yang diwajibkan
kepada bapak anak itu. Yaitu memberi nafkah kepada ibu si bayi serta memenuhi
semua hak-haknya serta tidak mencelakakannya. Demikan pendapat jumhur ulama.
Yang demikian itu telah dibahas panjang lebar oleh Ibnu Jarir dalam tafsirnya.
Ayat itu juga dijadikan dalil oleh para pengikut madzhab Hanafi dan Hambali
yang mewajibkan pemberian nafkah kepada kaum kerabat, sebagian atas sebagian
yang lain. Dan pendapat ini juga diriwayatkan, dari Umar bin Khaththab dan
jumhur ulama salaf.
Dan disebutkan pula
bahwa penyusuan setelah dua tahun mungkinkan membahayakan si anak, baik
terhadap badan maupun otaknya.
Dan firman-Nya
selanjutnya: fa in araadaaa fishaalan ‘an taraadlim minHumaa wa tasyaawurin
falaa junaaha ‘alaiHimaa (“Apabila keduanya ingin meyapih [sebelum dua tahun]
dengan kerelaan keduanya dan permusyawaratan, maka tidak ada dosa bagi
keduanya.”) Maksudnya, jika kedua orang tua itu, baik bapak maupun ibu telah
sepakat untuk menyapihnya sebelum masa dua tahun dan keduanya melihat adanya
kebaikan dalam hal itu bagi si bayi lalu keduanya bermusyawarah dan mengambil
kesepakatan, maka tidak ada dosa bagi keduanya. Tetapi keputusan itu tidak
cukup jika hanya berasal salah satu pihak saja (bapak ataupun ibu), dan salah
satu pihak tidak boleh memaksakan hal itu tanpa adanya musyawarah dengan pihak
lainnya. Demikian dikatakan oleh ats-Tsauri dan ulama lainnya.
Hal ini merupakan
tindakan kehati-hatian terhadap anak dan keharusan memperhatikan masalah anak.
Anak merupakan rahmat dari Allah bagi hamba-hamba-Nya, di mana Dia mengingatkan
kedua orang tua untuk senantiasa memperhatikan pemeliharaan anak-anak mereka
serta membimbing keduanya kepada kebaikan mereka berdua dan juga anak-anaknya.
Sebagaimana yang difirmankan Allah Ta’ala dalam surat ath-Thalaq berikut ini
yang artinya: “Dan jika nereka menyusui (anak-anakmu untukmu, maka berikanlah
kepada mereka upahnya; dan musyawarahkanlah di antara kamu (segala sesuatu),
dengan baik.Dan jika kamu menemui kesulitan, maka perempuan lain boleh
menyusukan (anak itu) untuknya.” (QS. Ath-Thalaaq: 6).
Dan firman-Nya: wa in
aradtum an tastardli-‘uu aulaadakum falaa junaaha ‘alaikum idzaa sallamtum maa
aataitum bil ma’ruuf (“Dan jika kamu ingin anakmu disusukan oleh orang lain,
maka tidak ada dosa bagimu jika kamu memberikan pembayaran menurut apa yang
patut.”) Maksudnya bapak dan ibu si bayi itu telah sepakat untuk menyusukan
anaknya kepada orang lain karena suatu alasan, baik dari pihak si bapak maupun
si ibu, maka tidak ada dosa bagi keduanya atas penyerahan bayi mereka. Dan
bukan suatu kewajiban bagi pihak bapak untuk memenuhi permintan penyerahan itu
(untuk disusui wanita lain) apabila ia telah menyerahkan upahnya yang terdahulu
dengan cara yang paling baik, lalu si bayi disusukan wanita dengan upah
tersebut dengan cara yang ma’ruf. Demikian yang dikatakan oleh banyak ulama.
Dan firman Allah:
wattaqullaaHa (“Bertakwalah kepada Allah,”) dalam segala hal dan keadaan
kalian. Wa’lamuu annallaaHa bimaa ta’maluuna bashiir (“Dan ketahuilah bahwa
Allah Mahamelihat apa yang kamu kerjakan.”) Artinya, tidak ada sesuatupun yang
tersembunyi dari-Nya, baik yang berupa keadaan maupun ucapan kalian.
C.
Surat
Al-Qashas ayat 26-27
قَالَتْ اِحْدٰىهُمَا يٰٓاَبَتِ
اسْتَأْجِرْهُ ۖاِنَّ خَيْرَ مَنِ اسْتَأْجَرْتَ الْقَوِيُّ الْاَمِيْنُ
قَالَ اِنِّيْٓ اُرِيْدُ اَنْ
اُنْكِحَكَ اِحْدَى ابْنَتَيَّ هٰتَيْنِ عَلٰٓى اَنْ تَأْجُرَنِيْ ثَمٰنِيَ
حِجَجٍۚ فَاِنْ اَتْمَمْتَ عَشْرًا فَمِنْ عِنْدِكَۚ وَمَآ اُرِيْدُ اَنْ اَشُقَّ
عَلَيْكَۗ سَتَجِدُنِيْٓ اِنْ شَاۤءَ اللّٰهُ مِنَ الصّٰلِحِيْنَ
26. “Salah seorang dari
kedua wanita itu berkata: “Ya bapakku ambillah ia sebagai orang yang bekerja
(pada kita), Karena Sesungguhnya orang yang paling baik yang kamu ambil untuk
bekerja (pada kita) ialah orang yang Kuat lagi dapat dipercaya”.
27. Berkatalah dia
(Syu’aib): “Sesungguhnya aku bermaksud menikahkan kamu dengan salah seorang
dari kedua anakku ini, atas dasar bahwa kamu bekerja denganku delapan tahun dan
jika kamu cukupkan sepuluh tahun maka itu adalah (suatu kebaikan) dari kamu,
maka aku tidak hendak memberati kamu. Dan kamu Insya Allah akan mendapatiku
termasuk orang-orang yang baik”.
Mufrodat
قَالَتْ (
berkata )
أِحْدَىهُمَا ( salah
seseorang dari keduanya )
يَأَبَتَ ( wahai
ayahku )
اسْتَجِرْهُ (
ambillah upahan dia “sebagai buruh” )
أِنَّ (
sesungguhnya )
خَيْرَ ( lebih
baik )
مَنِ ( orang
)
اسْتَجَرْتَ (
engkau ambil upahan “sebagai buruh” )
الْقَوِىُّ ( yang
kuat )
الْأَمِيْنٌ ( dapat
dipercaya )
قَالَ ( “syu’aib” berkata
)
أِنِّ ( sesungguhnya
aku )
أُرِيْدُ (
aku bermaksud )
أَنَ ( untuk )
أنِكحَكَ (
aku menikahkan kamu )
اِحْدَى (
salah seorang )
ابْنَتَىَّ (
kedua anak perempuan ku )
هَتَيْنِ (
ini )
عَلَى ( atas )
أَن ( bahwa )
تَأْجُرَنِى (
kamu mengambil upah/bekerja padaku )
ثَمَنِى ( delapan )
حِجَجٍ (
tahun )
فَأِنْ (
maka jika )
أَتْمَمْتَ (
kamu sempurnakan )
عَشْرًا (
sepuluh )
فَمِنْ (
maka itu dari )
عِنْدِكَ (
sisimu/kemauanmu )
وَمَا ( dan aku tidak )
أُرِيْدُ (
bermaksud )
أَنَ ( bahwa )
اَشُقَّ (
aku memberatkan )
عَلَيْكَ (
atasmu )
سَتَجِدُنِى (
kamu akan mendapatiku )
أِن ( jika )
شِاءَ ( menghendaki )
اللّهُ (
ALLAH )
مِنَ ( dari/termasuk)
الصَلِحِيْنَ (
orang-orang yang soleh/baik )
Munasabah
Pada ayat-ayat yang lalu, Allah menerangkan bahwa Musa telah
dibunuh seorang penduduk asli Mesir, kaum Fir'aun, karena mereka ingin menolong
seorang Bani Israil. Berita mengenai pembunuhan yang pernah dilakukannya itu
tersiar luas ke pelosok negeri Mesir dan akhirnya sampai ke telinga Fir'aun.
Oleh karena itu, Fir’aun bermusyawarah dengan para pembesarnya, apakah tindakan
yang akan diambil terhadap Musa karena perbuatannya itu. Semua yang hadir
mengusulkan supaya Musa dibunuh saja dan usul itu diterima oleh Fir’aun dan
akan dilaksanakan secepat mungkin.
Kebetulan di antara yang hadir dalam pertemuan itu ada
seseorang yang beriman dan bersimpati kepada Musa. Pada ayat-ayat berikut ini,
Allah menerangkan bahwa orang yang mengetahui rencana pembunuhan Musa itu
menyampaikan kesepakatan itu kepada Musa dan menasihatinya agar segera
meninggalkan Mesir. Oleh sebab itu, berangkatlah Musa meninggalkan Mesir menuju
ke Negeri Madyan yang terletak di sebelah Timur Mesir.
قَالَ اِنِّيْٓ اُرِيْدُ اَنْ
اُنْكِحَكَ اِحْدَى ابْنَتَيَّ هٰتَيْنِ عَلٰٓى اَنْ تَأْجُرَنِيْ ثَمٰنِيَ
حِجَجٍۚ فَاِنْ اَتْمَمْتَ عَشْرًا فَمِنْ عِنْدِكَۚ وَمَآ اُرِيْدُ اَنْ اَشُقَّ
عَلَيْكَۗ سَتَجِدُنِيْٓ اِنْ شَاۤءَ اللّٰهُ مِنَ الصّٰلِحِيْنَ
Tafsir Ayat
(26) Rupanya orang tua itu tidak mempunyai anak laki-laki dan tidak
pula mempunyai pembantu. Oleh sebab itu, yang mengurus semua urusan keluarga
itu hanya kedua putrinya saja, sampai keduanya terpaksa menggembala kambing
mereka, disamping mengurus rumah tangga. Terpikir oleh salah seorang putri
untuk meminta tolong kepada Musa yang tampaknya amat baik sikap dan budi
pekertinya dan kuat tenaganya menjadi pembantu dirumah ini. Putri itu
mengusulkan kepada bapaknya agar mengangkat Musa menjadi pembantu mereka untuk
menggembala kambing, mengambil air, dan sebagainya karena dia seorang yang
jujur,dapat dipercaya, dan kuat tenaganya. Usul itu berkenan dihati bapaknya,
bahwa bukan hanya mengangkatnya sebagai pembantu, malah ia hendak mengawinkan
salah satu putrinya dengan Musa.
(27) Dengan segera orang tua itu mengajak Musa berbincang. Dengan
terus terang dia mengatakan keinginannya untuk mengawinkan Musa dengan salah
seorang putrinya. Sebagai mahar perkawinan ini, Musa harus bekerja
menggembalakan kambing selama delapan tahun, kalau Musa menyanggupi bekerja
sepuluh tahun maka itu lebih baik. Ini adalah tawaran yang amat simpatik dan
meletakkan hati Musa, sebagai seorang pelarian yang ingin menghindarkan diri
dari maut, seorang yang belum yakin akan masa depannya.
D. Surat
Ath-Thalaaq ayat 6
قَالَتْ اِحْدٰىهُمَا
يٰٓاَبَتِ اسْتَأْجِرْهُ ۖاِنَّ خَيْرَ مَنِ اسْتَأْجَرْتَ الْقَوِيُّ
الْاَمِيْنُأَسْكِنُوهُنَّ مِنْ حَيْثُ سَكَنتُم مِّن وُجْدِكُمْ وَلَا
تُضَآرُّوهُنَّ لِتُضَيِّقُوا۟ عَلَيْهِنَّ ۚ وَإِن كُنَّ أُو۟لَٰتِ حَمْلٍ
فَأَنفِقُوا۟ عَلَيْهِنَّ حَتَّىٰ يَضَعْنَ حَمْلَهُنَّ ۚ فَإِنْ أَرْضَعْنَ
لَكُمْ فَـَٔاتُوهُنَّ أُجُورَهُنَّ ۖ وَأْتَمِرُوا۟ بَيْنَكُم بِمَعْرُوفٍ ۖ
وَإِن تَعَاسَرْتُمْ فَسَتُرْضِعُ لَهُۥٓ أُخْرَىٰ
Tempatkanlah mereka
(para istri) dimana kamu bertempat tinggal menurut kemampuanmu dan janganlah
kamu menyusahkan mereka untuk menyempitkan (hati) mereka. Dan jika mereka (para
istri-istri yang sudah ditalak) itu sedang hamil, maka berikanlah kepada mereka
nafkahnya hingga mereka bersalin, kemudian jika mereka menyusukan (Anak-anak)
mu untukmu, maka berikanlah mereka upahnya; dan musyawarahkanlah di antara kamu
(segala sesuatu) dengan baik; dan jika kamu menemui kesulitan, maka perempuan
yang lain boleh menyusukan anak itu untuknya. (QS. Ath-Thalaaq: 6)
Mufrodat
أَسْكِنُوهُنَّ (
tempatkanlah mereka )
مِنْ ( dari )
حَيْسُ ( mana )
سَكَنْتُمْ ( kamu bertempat tinggal )
مّن ( dari )
وُجْدِكُمْ ( yang kamu dapati/menurut kemampuan )
وَلَا ( dan jangan )
تُضَارُّوهُنَّ (
kamu menyusahkan mereka )
لِتُضَايِّقوا ( untuk kamu menyempitkan )
عَلَيْهِنَّ ( atas mereka )
وَأِن ( dan jika )
كُنَّ ( mereka )
أُولَتِ ( mempunyai )
حَمْلٍ ( kandungan )
فَأَنفِقُوا ( maka berilah nafkah )
عَلَيْهِنَّ ( atas mereka )
حَتَّى ( sehingga )
يَضَعْنَ ( mereka melahirkan )
حَمْلَهُنَّ ( kandungan mereka )
فَأِنْ ( maka jika )
أَرْضَعْنَ ( mereka menyusukan )
لَكُمْ ( bagi kalian )
فاتُهُنَّ ( maka berilah mereka )
اُجُورَهُنَّ ( upah mereka )
وَأْتُمِرُوا ( dan musyawarahkanlah )
بَيْنَكُمْ ( diantara kamu )
بِمَعْرُوفٍ ( dengan baik )
وَاِنَّ ( dan jika )
تَعَاسَرْتُمْ ( kamu menemui kesulitan )
فَسَتُرْضِعُ ( maka akan menyusahkan )
Munsabah
Ayat ini bila dikaji
dari sisi munasabah ayat, maka ayat tersebut memuat aturan yang terkait dengan
konsekuensi hubungan perceraian antara suami isteri. Ketika anak masih menyusui
dan masih membutuhkan pengasuhan ibu, maka ibu (mantan isteri) berhak atas ujrahnya.
Tafsir
(Tempatkanlah mereka) yakni istri-istri yang ditalak itu (pada
tempat kalian tinggal) pada sebagian tempat-tempat tinggal kalian (menurut
kemampuan kalian) sesuai dengan kemampuan kalian, lafal ayat ini menjadi athaf
bayan atau badal dari lafal yang sebelumnya dengan mengulangi penyebutan huruf
jarr-nya/kata depan dan memperkirakan adanya mudhaf. Yakni pada tempat-tempat
tinggal yang kalian mampui, bukannya pada tempat-tempat tinggal yang di bawah
itu (dan janganlah kalian menyusahkan mereka untuk menyempitkan hati mereka)
dengan memberikan kepada mereka tempat-tempat tinggal yang tidak layak,
sehingga mereka terpaksa butuh untuk keluar atau membutuhkan nafkah, lalu
karena itu maka mereka mengeluarkan biaya sendiri. (Dan jika mereka itu sedang
hamil, maka berikanlah kepada mereka nafkahnya hingga mereka bersalin, kemudian
jika mereka menyusukan bayi kalian) maksudnya menyusukan anak-anak kalian hasil
hubungan dengan mereka (maka berikanlah kepada mereka upahnya) sebagai upah
menyusukan (dan bermusyawarahlah di antara kalian) antara kalian dan mereka
(dengan baik) dengan cara yang baik menyangkut hak anak-anak kalian, yaitu
melalui permusyawaratan sehingga tercapailah kesepakatan mengenai upah
menyusukan (dan jika kalian menemui kesulitan) artinya kalian enggan untuk
menyusukannya; yaitu dari pihak ayah menyangkut masalah upah, sedangkan dari
pihak ibu, siapakah yang akan menyusukannya (maka boleh menyusukan bayinya)
maksudnya menyusukan si anak itu semata-mata demi ayahnya (wanita yang lain)
dan ibu si anak itu tidak boleh dipaksa untuk menyusukannya.
BAB
III
PENUTUPAN
Kesimpulan
Dalam fiqh Islam disebut sewa menyewa
disebut ijarah. Al-ijarah menurut bahasa berarti “al-ajru” yang
berarti al-iwadu (ganti) oleh sebab itu as-sawab (pahala) dinamai ajru (upah).
Menurut istilah, al-ijarah ialah menyerahkan (memberikan) manfaat benda kepada
orang lain dengan suatu ganti pembayaran. Sehingga sewa menyewa atau ijarah
bermakna akad pemindahan hak guna/manfaat atas suatu barang/jasa, dalam waktu
tertentu dengan pembayaran upah sewa (ujrah), tanpa diikuti pemindahan
kepemilikan atas barang itu sendiri
Sewa menyewa menurut ayat-ayat tersebut adalah merupakan kegiatan
ekonomi dan bisnis yang bertujuan saling memenuhi kebutuhan dalam menunjang
kehidupan dan pengabdian kepada Allah, karena itu harus ditegakkan di atas
dasar hukum, asas etika ekonomi dan bisnis yang telah dijelaskan oleh Al-quran
dan tidak memuat unsur riba.
DAFTAR
PUSTAKA
Buku:
Mahali, Mundjab. 2017. Asbabun
Nuzul Studi Pemahaman Al-Quran. Yogyakarta
Syaikh, Abdullah bin Muhammad
Alur. 2008. Tafsir Ibnu Katsir Jilid 10.Jakarta: Pustaka Imam
Asy-Syafi’i.
az-Zuhaili,
Wahbah. 2016.At-Tafsir Al-Wasith. Depok: Gema Insani.
Syaikh, Abdullah bin Muhammad Alur. 2008.Tafsir
Ibnu Katsir Jilid 10. Jakarta: Pustaka Imam Asy-Syafi’i.
Ghofar, M. Abdul. 2004. Tafsir
Ibnu Katsir Jilid 8. Bogor: Pustaka Imam Asy-Syafi’i.
Kemenag RI. 2010. Al
Qurānul Karīm wa tafsīr. Jakarta: Kementerian Agama RI.
Ghoffar,
M Abdul. 2004. Tafsir Ibnu Katsir-Jilid 1. Bogor:Pustaka Imam
Syafii
Internet:
https://risalahmuslim.id/quran/al-baqarah2-233/(diakses pada 16 Februari 2020, pukul 11:54)
https://tafsirweb.com/7077-quran-surat-al-qashash-ayat-27.html(Diakses tgl 23 Februari 2020, pukul 19.23)
https://risalahmuslim.id/quran/ath-thalaaq/65-6/,
diakses pada 17 februari 2020, pukul 17:58
https://tafsirq.com/65-at-talaq/ayat-6, diakses pada 18 februari 2020, pukul 15:01